Upload
christophore-santoso
View
425
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
ADENOMIOSIS UTERI
A. Pendahuluan
Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan
kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan
endometrium fungsional di miometrium.1,2 Istilah adenomiosis diperkenalkan pertama
kali oleh Frankl (1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh
Sampson (1927).2,3
Gambaran cystosarcoma adenoids uterinum (istilah awal adenomiosis)
pertama kali dilaporkan oleh patolog Carl von Rokitansky (1860).2,3,4 Pada tahun
1896, von Recklinghausen melaporkan fenomena yang sama dengan istilah
adenomyomata dan cystadenomata.2 Pada masa itu, patomekanisme adenomiosis dan
endometriosis masih dianggap berbeda.3 Thomas Stephen Cullen (1908) menemukan
tumor intramiometrial dengan epitel dan stroma endometrial terdistribusi di
dalamnya. Tahun 1921 barulah disadari bahwa ‘adenomiosis’ dan
‘endometriosis’keduanya berasal dari jaringan endometriotik serupa.2,3
Tahun 1972, Bird et al. mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi
jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan
pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma
endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik
dan hiperplastik.2,3,4 Belakangan diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasi
sebagai lesi fokal terisolasi dalam miometrium.1
Pada awal tahun 1988, Honoré et al. mempublikasikan kasus adenomiosis
pada tiga wanita muda infertil yang menjalani pembedahan dengan diagnosis awal
leiomioma uteri.4 Memang, telah lama dicurigai adenomiosis berperan sebagai salah
satu penyebab subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja
1
diagnosis adenomiosis saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga
sangat sulit mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4
Kini, pada wanita muda tanpa gejala sekalipun magnetic resonance imaging
(MRI) memungkinkan identifikasi penebalan junctional zone (JZ), tautan antara
endometrium dengan sisi dalam miometrium. JZ mengalami penebalan signifikan
pada adenomiosis.4Transvaginal sonography(TVS) memungkinkan identifikasi
adenomiosis itu sendiri.4,5,6 Kedua teknik noninvasif tersebut cukup akurat dalam
mendiagnosis adenomiosis preoperatif.4
B. Definisi dan Klasifikasi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak
jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran
uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik
non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.2,3,4
Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis
adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di
kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ seringkali
ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis
minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di
sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus
adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.2
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan
dalam dan lapisan permukaan.7
Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis sederhana
berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ sederhana,
ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun. Kedua,
adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas
2
sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan
ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal
rendah pada semua sekuens MRI.4
C. Epidemiologi
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain
dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .8 Studi di
Nepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen
histerektomi.5 Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997)
melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani
histerektomi atas berbagai indikasi.10 Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi
studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang.4,10
Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan teknologi
memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya
dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54%
hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti
lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan
agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152
pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang
diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa peningkatan
ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan kegagalan implantasi pada IVF.
Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5%
pada subjek lain.4
D. Faktor Resiko
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain
usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus
spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali,
3
riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas,
menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD
dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.2,10
E. Histologi
Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,
berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar endometrium
berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted menunjukkan tiga
lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan dalam, mukosa
endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.
Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut bersifat
hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan secara siklis
menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya peristaltik
uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur pada
MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH.4
F. Patofisiologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium
masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferasi
secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan
fungsional menjadi tempat implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan
dalam proses regenerasi setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi.
Selama periode regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan
langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari
stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya
hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam
4
miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis
dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller.4
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada masih
harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis
menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di
lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional
sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber
produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat
menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem
mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia.
Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak
dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium
memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan
lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium.4,9
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu
menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang
normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini
mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel
endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi
reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar
endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif
dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma.4
5
Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang
tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada
40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor
progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik
pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen
dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.4
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang
menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi
estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana
halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan
estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium
ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4
Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma endometri,
endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen,
namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase
menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi
oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang
meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi,
akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.
mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama
aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir
secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4
6
G. Diagnosis
Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan
pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat
dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis
seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis. Sehingga adanya kecurigaan
klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa
USG transvaginal dan MRI.4
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga
ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun
endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis
setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis
prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai
adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,
beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat
digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu
Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.4
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan
kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki
sensitivitas yang rendah.4
Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar
berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium
7
dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001 melaporkan
bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan
akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki
kapasitas diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang
terdapat fibroid.4
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal
yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik
dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang
heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak
tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan
sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG
transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif &
spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan
modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal
ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat
anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis.
Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu
adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional
zone >12 mm.4
Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG
transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu
menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG
transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat
akurasinya.4
8
H. Gambaran Klinis
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah studi
dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari spesimen
histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala adenomiosis
yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini
juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang
terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.
Presentasi klinis adenomiosis
Gejala Klinis Adenomiosis
1. Asimtomatis
Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal
atau MRI;
bersama dengan patologi yg lain)
2. Perdarahan uterus abnormal
Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses
adenomiosis
(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat)
Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan
adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)
9
Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar
adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari
kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan
hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi
penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi
endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan
dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis
superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan pada kasus
adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang berlanjut, perlu
dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi.2,11,12
I. Penatalaksanaan
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi
dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi noninvasif
terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral
dan progestin telah menunjukkan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis
pada prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan endometriosis.8,12
a. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi
hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat hormonal
hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian obat dihentikan.
Obat hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin releasing hormone
agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme
kerja GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
10
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis
dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.4
b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis.
Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang
progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1 tahun
walaupun telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik operasi baru
telah dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi
yang baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus
direkonstruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur
uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang
mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil dan 14 dapat mempertahankan
kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan.
Akan tetapi teknik ini belum diterima secara luas karena masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut.4
J. Kesimpulan
Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al.
(1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan
endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus
difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non
neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi. Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem
klasifikasi adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus.
- Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ≤12 mm pada
wanita berusia ≤35 tahun.
11
- Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus
miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar
miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔.
- Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas
sinyal rendah pada semua sekuens MRI.
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain
dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik
yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain :
- Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah
(<7 tahun mengenyam pendidikan), riwayat hiperplasia endometrium, riwayat
abortus spontan, dan polimenore.10
- Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus
provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause,
panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD
dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium
masih belum jelas. Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia
insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Beberapa menunjukkan
tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan
yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis
endometrium maupun adenomiosis.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga
12
ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun
endometriosis.
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya.
a. Terapi Hormonal
b. Terapi Operatif
Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari
90% kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan.
Dan karena kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause
dapat menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat
dilakukan apabila keluhan sangat mengganggu dan mengancam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10 th
Ed. 2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update
1998; 4: 312-322.
13
3. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res
Clin Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.
4. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility.
Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.
5. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.
6. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st 2012).
www.medscape.com.
8. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7 th Ed.
2007. London : Blackwell Science, Ltd.
9. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and
Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J
Ultrasound Med 2006; 25:617–627.
10. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6
pp.1275–1279, 1997.
11. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania :
Lippincott Williams & Wilkins.
12. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell
Science, Ltd.
14