17
ADMINISTRASI PEMBANGUNAN PARIWISATA TINGGALAN BUDAYA. BELAJAR DARI PENGALAMAN EKOWISATA Asep Rosadi 1 Abstrak Tulisan ini membahas mengenai persoalan-persoalan menyangkut administrasi pembangunan pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan di Indonesia, khususnya mengenai pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tinggalan-tinggalan budaya yang sejatinya merupakan ranah ilmu-ilmu arkeologi, paleontologi, atau sejarah, yang kemudian dimanfaatkan sebagai atraksi atau objek pariwisata di Indonesia. Perkembangan pariwisata dunia yang sangat pesat, khususnya kegiatan pariwisata yang sering disebut sebagai new tourism, menjadi prospek yang menggiurkan dan sekaligus juga mengandung tantangan-tantangan yang cukup pelik untuk dipecahkan. Berbagai usaha pelestarian tinggalan-tinggalan budaya tersebut, pemanfaatannya sebagai atraksi wisata tidak cukup memuaskan. Di sisi lain, kegiatan ekowisata yang lebih dahulu berkembang, menunjukkan perkembangan yang berarti. Dengan pertimbangan kedua kegiatan ini memiliki persamaan-persamaan, maka model yang telah dilakukan dalam ekowisata mungkin dapat dijadikan sebagai model alternatif dari suatu tourism best practice bagi pengelolaan dan pengembangan wisata tinggalan budaya (heritage tourism). Kata kunci: administrasi pembangunan pariwisata, atraksi wisata, wisata tinggalan budaya (heritage tourism), ekowisata Pengantar Apabila seseorang diminta untuk membayangkan apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata 1 Mahasiswa Program Pascasarjana STIA LAN Bandung, Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah 2015, NPM: 15.1.1.55.1.003 Administrasi Pembangunan Pariwisata - 1

Administrasi Pembangunan Pariwisata

  • Upload
    oz-aza

  • View
    51

  • Download
    12

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kajian administrasi pembangunan pariwisata tinggalan budaya dengan special refference pada ekowisata

Citation preview

Page 1: Administrasi Pembangunan Pariwisata

ADMINISTRASI PEMBANGUNAN PARIWISATA TINGGALAN BUDAYA. BELAJAR DARI PENGALAMAN EKOWISATA

Asep Rosadi1

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai persoalan-persoalan menyangkut administrasi pembangunan pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan di Indonesia, khususnya mengenai pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tinggalan-tinggalan budaya yang sejatinya merupakan ranah ilmu-ilmu arkeologi, paleontologi, atau sejarah, yang kemudian dimanfaatkan sebagai atraksi atau objek pariwisata di Indonesia. Perkembangan pariwisata dunia yang sangat pesat, khususnya kegiatan pariwisata yang sering disebut sebagai new tourism, menjadi prospek yang menggiurkan dan sekaligus juga mengandung tantangan-tantangan yang cukup pelik untuk dipecahkan. Berbagai usaha pelestarian tinggalan-tinggalan budaya tersebut, pemanfaatannya sebagai atraksi wisata tidak cukup memuaskan. Di sisi lain, kegiatan ekowisata yang lebih dahulu berkembang, menunjukkan perkembangan yang berarti. Dengan pertimbangan kedua kegiatan ini memiliki persamaan-persamaan, maka model yang telah dilakukan dalam ekowisata mungkin dapat dijadikan sebagai model alternatif dari suatu tourism best practice bagi pengelolaan dan pengembangan wisata tinggalan budaya (heritage tourism).

Kata kunci: administrasi pembangunan pariwisata, atraksi wisata, wisata tinggalan budaya (heritage tourism), ekowisata

Pengantar

Apabila seseorang diminta untuk membayangkan apa yang pertama kali

terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata kebudayaan, maka sudah dapat

diduga bahwa pasti jawabannya sangatlah beragam. Setiap orang, mulai dari abang-

abang becak di pingir jalan, mbok jamu gendong yang berjualan keliling kota, para

pegawai pemerintahan sampai pejabat negara, atau para anggota DPR sampai

menteri dan presiden pasti memiliki jawabannya masing-masing. Mungkin di antara

mereka ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu adalah tradisi, atau adat-

istiadat, atau bahkan tata krama dan sopan santun. Sebagian lagi menyatakan

kebudayaan itu adalah kesenian dan upacara-upacara adat, makanan tradisional,

penginggalan-peninggalan masa lalu, atau suku bangsa-suku bangsa terasing, atau

gaya hidup suatu komunitas, dan sebagainya. 1 Mahasiswa Program Pascasarjana STIA LAN Bandung, Program Studi Manajemen Pembangunan

Daerah 2015, NPM: 15.1.1.55.1.003

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 1

Page 2: Administrasi Pembangunan Pariwisata

Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan memang diartikan lebih mengacu

pada aspek-aspek yang khusus saja, seperti keindahan, kesusastraan, kesenian,

bangunan-bangunan peninggalan masa lalu, upacara-upacara adat, atau hal-hal

yang berkaitan dengan sopan santun suatu kelompok atau masyarakat tertentu.

Pengertian kebudayaan yang bersifat khusus ini berlainan dengan pengertian

kebudayaan menurut para ahli antropologi atau sosiologi yang memandang

kebudayaan secara lebih umum dan menyeluruh. Sir Edward Burnett Tylor yang

dianggap sebagai pencetus pertama definisi kebudayaan yang bersifat menyeluruh

mengartikannya sebagai “kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain kecakapan yang

diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Sementara itu, definisi

kebudayaan yang lebih populer berkembang dalam masyarakat kita menyatakannya

sebagai “hasil cipta karsa dan karya manusia”. Makalah ini tidak bermaksud untuk

membahas lebih lanjut mengenai teori-teori kebudayaan, tetapi hanya ingin

menunjukkan bahwa penggunaan batasan atau definisi tersebut akan memberikan

implikasi terhadap bentuk-bentuk administrasi pembangunan pariwisata budaya.

Studi-studi mengenai sejarah pariwisata yang merupakan “...the temporary

movement of people to destinations of work and residence, the activities undertaken

during their stay in those destinations, and the facilities created to cater to their

need” (Mathieson dan Wall, 1982:1), khususnya yang terjadi pada masyarakat Eropa

dan juga Amerika, menunjukkan bahwa fenomena ini sudah berlangsung sangat

lama disertai dengan aturan-aturan yang mengikat. Misalnya pada masyarakat

Inggris, para bangsawan dan mahasiswa muda harus melakukan grand tour ke

pelosok negeri untuk lebih mengenal masyarakat dan karakteristik wilayahnya.

Dengan demikian, karena kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang dan

berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, lama kelamaan menjadi habit

(kebiasaan) yang umum.

Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologis, Valene Smith (1989)

menyatakan bahwa pariwisata itu merupakan budaya karena selain memerlukan

kecukupan pendapatan (discrepancy income) dan waktu luang (leisure time), juga

memerlukan positive local sanction yang dapat mendorong orang untuk melakukan

perjalanan. Dalam masyarakat Amerika dan Eropa, orang-orang yang tinggal di

rumah ketika waktu liburan akan digolongkan pada kelompok orang-orang miskin

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 2

Page 3: Administrasi Pembangunan Pariwisata

atau orang tua jompo dan anak-anak. Hal ini berkaitan erat dengan konsep vacation

(berlibur, yang berarti tidak melakukan aktivitas bekerja) yang berasal dari bahasa

latin vacare yang berarti meninggalkan/mengosongkan rumah, dan holiday, dari

holy-day, yaitu hari merayakan sesuatu yang dianggap suci.

Pariwisata juga merupakan “...a multidimensional, multifaceted activity, which

touches many lives and many different economy activities.” (Cooper, 1993). Dengan

demikian, pariwisata merupakan sektor pembangunan yang memiliki keterkaitan

yang tinggi dengan sektor-sektor lainnya dan dalam pelaksanaannya bersinggungan

dengan aktivitas-aktivitas lain di sekelilingnya sehingga sering disebut sebagai

multidimensional and multifaceted activity. Dalam bahasa pemerintahan, kondisi

seperti ini dianggap kondisi yang memiliki lingkup koordinasi dan kerjasama yang

tinggi. Pencapaian administrasi pembangunan pariwisata tidak hanya menjadi beban

dan tanggung jawab satuan kerja, seperti dinas pariwisata yang membidanginya,

tetapi juga tergantung dari dukungan satuan kerja lain. Hal ini sesuai dengan hakikat

(ilmu) administrasi yang dikemukakan Buchari (2015), yaitu proses kerjasama

sekelompok manusia yang didasarkan pada pelayanan, rasionalitas, efektivitas dan

efisiensi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Pariwisata dan Pariwisata Tinggalan Budaya (Heritage Tourism)

Pariwisata merupakan sebuah produk jasa, baik yang bersifat tangible

maupun intangible, dengan unsur utama berupa leisure dan pleisure. Karena sifat-

sifat tersebut, sebuah produk wisata harus merupakan satu kesatuan dari Amenity

(fasilitas utama dan pendukung), Accessibility (akses), dan Attractions (atraksi atau

objek wisata itu sendiri) sehingga sering disebut dengan 3-A, yang tidak dapat

berdiri sendiri atau dipisahkan dengan bidang dan/atau sektor pembangunan

lainnya. Amenitas yang dibutuhkan pada satu daerah tujuan wisata tertentu antara

lain: sarana akomodasi, sarana makan-minum, infrastruktur dasar (listrik, air,

telepon) dan sarana umum (sarana peribadatan dan kesehatan), tour operator, toko-

toko souvenir, sarana parkir, dan lain-lain. Aksesibilitas adalah sarana untuk

mencapai daerah tujuan wisata tersebut, mencakup jalan dan sarana

pencapaiannya, dan atraksi adalah objek wisata itu sendiri (alam, budaya, buatan).

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 3

Page 4: Administrasi Pembangunan Pariwisata

Banyak pakar pariwisata menyatakan bahwa inti atau pusat kegiatan

pariwisata adalah atraksi wisata itu sendiri, akan tetapi dalam implementasi

kegiatannya, pariwisata tidak dapat melepaskan diri dari unsur-unsur pembentuk

produk wisata yang lain. Oleh karena itu, aktivitas yang timbul dalam pariwisata juga

dapat dikelompokkan dalam jenis atau ragam atraksi itu sendiri, yaitu yang

berdasarkan pada alam (nature based tourism), buatan (build based tourism), dan

budaya (cultural tourism).

Yang dimaksud dengan pariwisata budaya dalam makalah ini mengacu pada

batasan yang dipergunakan oleh World Tourism Organization, yang sekarang

menjadi salah satu badan PBB (UN-WTO), berdasarkan kajian ETC Research

Group (2005:16) yang menyatakannya sebagai:

“cultural tourism consists of several dimensions ” historical and contemporary (time), objects and performance (type), contextual and non-contextual (travel) as well as wide or narrow (scope)”. Furthermore, the term cultural tourism is applied to any or all of these but the diversity means that it will be difficult to treat visits to them all as an entity. It may be misleading to analyze all within the same broad category of cultural tourism and, at least initially, more worthwhile to isolate each as separate forms of tourism”

Penggunaan batasan ini menyebabkan fenomena pariwisata budaya dapat

dibagi menjadi dua lingkungan, yaitu lingkungan dalam budaya (inner circle), dan

lingkungan luar budaya (outer circle) sebagaimana yang tampak pada gambar di

bawah ini. The inner circle represents the cultural core, the more traditional or basic

elements of culture representing what people make or produce in cultural terms. The

outer circle represents the way of life or lifestyle of a place or region.

I. The inner circle represents the primary elements of

cultural tourism which can be divided into two parts,

namely heritage tourism (cultural heritage related to

artefacts of the past) and arts tourism (related to

contemporary cultural production such as the performing

and visual arts, contemporary architecture, literature,

etc.).

II. The outer circle represents the secondary elements of cultural tourism which can

be divided into two elements, namely lifestyle (elements such as beliefs, cuisine,

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 4

IInner

OuterII

Page 5: Administrasi Pembangunan Pariwisata

traditions, folklore, etc.) and the creative industries (fashion design, web and graphic

design, film, media and entertainment, etc.).

Dengan demikian, maka pembahasan tulisan ini akan mengacu pada

administrasi pembangunan wisata tinggalan budaya (heritage tourism) yaitu wisata

yang berhubungan dengan peniggalan-peninggalan budaya masa lalu yang bersifat

fisikal, sebagaimana yang juga dikemukakan Dunlap et.al (2001): “Heritage tourism

is a leisure trip with the primary purpose of visiting historic, cultural, natural,

recreational and scenic attractions to learn more about the past in an enjoyable

way”. Selain itu The National Trust for Historic Preservation mendefinisikan heritage

tourism sebagai “traveling to experience the places, artifacts and activities that

authentically represent the stories and people of the past and present.” (Hargrove,

2002)

Prospek Pembangungan Pariwisata Tinggalan Budaya

Pada awalnya fenomena kepariwisataan ini berkembang dengan fokus pada

pemanfaatan lingkungan alam, baik reka bentuk alam, cuaca, maupun keindahan

dan keragaman flora dan fauna, terutama yang berbasis pantai. Wisatawan datang

pada suatu destinasi wisata dengan maksud utama untuk bersenang-senang,

dengan pola kedatangan berbentuk kelompok (group/mass tourism), sehingga timbul

pameo bahwa pariwisata itu berarti sun, sea, and sand.

Namun, sejalan dengan perkembangannya pola dan bentuk-bentuk aktivitas

yang diminati oleh para wisatawan pun mengalami perubahan-perubahan sehingga

kemudian dikenal istilah new tourism. Sebagaimana yang telah diidentifikasi

UNESCO, wisatawan sekarang lebih berminat dalam pemeliharaan kualitas

lingkungan dan pelayanan sebagai faktor penentu pemilihan daerah tujuan wisata

(DTW). Dengan perkembangan teknologi komunikasi, terutama internet, prakondisi

yang diinginkan tersebut dapat dengan mudah dicari, sehingga DTW-DTW yang

dianggap tidak ramah lingkungan akan mudah dihindari. Kawasan Wisata

Pangandaran yang menjadi primadona Jawa Barat pernah di-boycott oleh para

wisatawan asing dan para tour operator karena melakukan perusakan terumbu

karang.

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 5

Page 6: Administrasi Pembangunan Pariwisata

Selain sensitif terhadap pemeliharaan lingkungan, wisatawan yang

menginginkan memperoleh pengalaman yang “nyata” dengan budaya dan

kehidupan masyarakat lokal juga semakin bertambah. Mereka menginginkan bisa

lebih aktif melakukan interaksi dengan lingkungan dan objek yang dikunjunginya dan

mecari objek-objek wisata yang lebih edukatif. Dengan demikian, kesempatan

memperoleh pengalaman yang baru yang lebih dekat dengan kenyataan di lapangan

menjadi ketertarikan wisatawan saat ini (educational and adventuresome tourists).

Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat wisatawan juga kemudian

berimbas pada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi orang para pelaku usaha

pariwisata. Mereka terdorong untuk lebih mempertimbangkan dan bertanggung

jawab terhadap pembangunan yang berkelanjutan dan penekanan pada

implementasi corporate social responsibility.

Pariwisata budaya, khususnya wisata tinggalan budaya, memang

memberikan prospek dan optimisme kepada para pelaku pariwisata. Studi yang

dilakukan National Tour Association di Amerika tahun 1999 menunjukkan bahwa

20% dari total pendapatan pariwisata Amerika dikeluarkan oleh pariwisata budaya.

Studi yang sama juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% wisatawan asal Kanada

lebih tertarik pada heritage/culturan tourism (FSS 03).

Namun demikian, kondisi perkembangan makro yang menggembirakan

tersebut harus disikapi bijaksana. Paling tidak, dalam upaya melakukan tata kelola

pembangunan pariwisata Indonesia, ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam

pengelolaan dan pengembangan wisata tinggalan budaya ini.

Yang pertama, sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh UNESCO, jumlah

wisatawan jenis ini tidak jelas besarannya sehingga memerlukan kajian lebih lanjut

untuk mengetahui berapa besar jumlah yang sebenarnya. Apabila ini dilakukan

makan penentuan segmentasi wisatawan dalam upaya pemasaran dan bentuk

treatment (service) yang direncanakan akan memiliki tingkat kepastian yang lebih

tinggi karena didasari pengetahuan empirik. Bagi Indonesia, potensi pasar yang

berasal dari wisatawan nusantara/domestik semakin tidak jelas. Pada umumnya,

wisatawan yang dianggap “memiliki minat” untuk mengkonsumsi tinggalan budaya

didominasi oleh kelompok pelajar, terutama dari kalangan sekolah dasar dan

sekolah menengah pertama, sementara wisatawan umum sangatlah kecil

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 6

Page 7: Administrasi Pembangunan Pariwisata

jumlahnya. Ketika musim libur sekolah, dapat disaksikan deretan bus diparkir di

depan Museum Geologi Bandung di sepanjang jalan Diponegoro.

Kondisi tersebut seharusnya tidak membuat para perencana dan pengelola

pariwisata terbuai. Apabila dikaji lebih mendalam, anak-anak sekolah yang datang

ke Museum Geologi, dan mungkin museum-museum lain, datang karena program

yang sudah ditentukan sekolahnya, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan,

memiliki program kunjungan lapangan ke museum. Dengan kata lain, mereka itu

bukanlah pasar aktual karena keinginan untuk membeli produk atau berwisata ke

museum, jika sulit mengatakan dipaksa, diatur oleh sekolah dan bukan atas

keinginan siswa sendiri. Padahal, keputusan untuk membeli sesuatu produk atau

berwisata harus bersifat sukarela (voluntary). Beberapa penelitian proyek akhir yang

dilakukan mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung yang mengkaji

pengembangan museum umumnya menunjukkan bahwa pola perjalanan wisatawan

domestik yang berwisata di kota Bandung, biasanya berwisata pada lebih dari satu

DTW, dan preferensi utama yang diinginkan adalah destinasi-destinasi yang

memberikan sifat rekreatif, sehingga museum bukan menjadi destinasi kunjungan

yang utama.

Kedua, sebagaimana hakekat pariwisata yang menekankan unsur leisure,

pariwisata tinggalan budaya sebagaimana dikemukakan Dunlap et.all di atas juga

mensyaratkan enjoyable way dalam pengkonsumsiannya. Namun demikian,

enjoyable way ini tidak harus mengatasi apalagi mengesampingkan fokus utama dari

pendirian suatu museum atau kawasan cagar budaya tertentu, yaitu pelestarian

suatu tinggalan budaya.

Administrasi Pembangunan Pariwisata Tinggalan Budaya. Belajar dari Pengalaman Ekowisata.

Mengapa harus belajar dari ekowisata? Sebagaimana telah diketahui

bersama, ekowisata (ecotourism) telah terlebih dahulu berkembang dibandingkan

dengan heritage tourism. Tekanan dunia internasional terhadap pentingnya

pemeliharaan lingkungan telah menyebabkan berkembangnya jenis wisata yang

lebih ramah terhadap lingkungan sehingga teori-teori atau berbagai best practice

(program-program, tindakan-tindakan, atau kondisi-kondisi yang telah terbukti

berhasil dilaksanakan) yang mengkaji mengenai ekowisata sangat mudah diperoleh

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 7

Page 8: Administrasi Pembangunan Pariwisata

dibandingkan yang mengkaji heritage tourism. Selain itu, dalam beberapa hal, ada

kemiripan antara sifat dan prinsip ekowisata dengan pariwisata tinggalan budaya.

Kedua jenis wisata ini umumnya berlokasi di tempat-tempat yang dikategorikan

terbatas penggunaannya (restricted atau potected area) dan oleh karena itu daya

dukung lingkungan harus diutamakan, selain itu prinsip pemeliharaan dan

pelestarian melekat dan menjadi fokus pada keduanya.

Alasan lainnya adalah, sampai saat ini penulis masih belum menemukan

contoh atau model pengelolaan dan pemanfaatan tinggalan budaya yang dilakukan

di Indonesia yang cukup memuaskan. Sebagai contoh, salah satu usaha pelestarian

dan pemanfaatan tinggalan budaya yang seringkali dianggap “berhasil” adalah

upaya pelestarian candi Borobudur dan Prambanan yang menelan biaya luar biasa

besar dan didukung penuh oleh Unesco. Dari sisi pelestarian fisikal, proyek tersebut

patut diacungi jempol karena keberhasilannya. Akan tetapi, dari sisi lain, yaitu

pelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita patut kaji ulang atau

pertanyakan kembali keberhasilannya. Pada umumnya, candi-candi di Indonesia

merupakan rumah-rumah ibadat yang suci bagi para pemeluknya, Hindu atau

Budha. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung pada candi-candi yang telah berhasil

dilestarikan itu memudar atau bahkan menghilang. Padahal, nilai-nilai itulah yang

akan mendekatkan emosi dan kecintaan kita pada benda-benda tersebut, seperti

halnya seseorang yang dari kecil dibesarkan pada suatu rumah tertentu akan sangat

sulit meninggalkan atau pindah dari rumah tersebut. Wisatawan yang datang ke

candi Borobudur-Prambanan atau tinggalan budaya lainnya hanya menganggap

tempat yang didatanginya sebagai suatu objek tempat mereka bersenang-senang –

tidak ada keterikatan emosional.

Berikut ini adalah contoh pengelolaan suatu kawasan yang dilindungi yang

telah dilakukan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Lido, Sukabumi2. Pusat

pendidikan konservasi alam ini didirikan di salah satu pintu masuk Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan tujuan untuk pusat pendidikan alam yang

dikembangkan secara berkelanjutan dengan menggunakan teknologi yang ramah

lingkungan. Mengingat keterbatasan yang dimiliki dan visi pelestariannya yang

2 Untuk memahami lebih lanjut mengenai model pengelolaan pusat pendidikan alam ini lihat Indriani Setiawati, Pengelolaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Sebagai Model Kawasan Wisata Terbatas, dalam Pariwisata Indonesia Menghadapi Abad XXI, P3Par ITB, 2000; atau PPKA Bodogol, http://ppkab.blogspot.com/search/label/Profil%20PPKAB.

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 8

Page 9: Administrasi Pembangunan Pariwisata

diembannya maka pengelolaan kawaan ini diperuntukkan terutama sebagai

kawasan wisata terbatas, dan oleh karena itu harus melakukan pengelolaan-

pengelolaan sebagai berikut:

1. Pembatasan Pengunjung

Dengan pertimbangan menjaga daya dukung lingkungan dan kontrol terhadap

perilaku pengunjung yang tidak diinginkan, maka pengelola pusat pendidikan

alam yang terdiri dari unsur LSM Internasional (Conservation International

Indonesia), LSM Lokal dan pemerintah (Balai Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango), menetapkan jumlah kunjungan harian hanya 50 orang. Untuk tamu

yang menginap disediakan ecolodge dengan jumlah yang dibatasi pula.

Untuk bisa membatasi jumlah pengunjung pada angka tersebut sehingga prinsip

“low volume, high value” dapat tercapai, pengelola menentukan kebijakan untuk

menetapkan reservasi bagi yng ingin berkunjung, selain itu, melalui sistem ini

pengelola dapat lebih mempersiapkan staf/SDM di lapangan untuk lebih

memperlancar kunjungan wisatawan. Kendala dalam penetapan sistem ini

adalah wisatawan yang datang tanpa melakukan reservasi (walk in guests).

Namun karena jenis wisatawan ekowisata (dan heritage tourism) biasanya tidak

besar, maka kendala tersebut dapat diatasi dengan menyediakan relawan-

relawan yang merupakan penduduk lokal. Hal ini berarti bahwa pengelola harus

memiliki program pengembangan masyarakat terlebih dahulu sehingga dapat

meningkatkan keterampilan masyarakat lokal.

2. Penetapan Harga.

Sejak dalam taraf perencanaan, pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan

memiliki komitmen untuk menjadikan pusat pendidikan alam ini sebagai kawasan

wisata terbatas dengan menggunakan prinsip kemandirian usaha, sehingga oleh

karenanya kelayakan usaha secara ekonomis harus tercapai. Dari hasil studi

yang mereka lakukan, maka diputuskan bahwa wisatawan akan ditarik bayaran

yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan DTW sejenis seperti di Cibodas

Cianjur, namun demikian relatif masih dapat terjangkau oleh wisatawan.

Revenue tahunan yang dihasilkan pusat pendidikan ini relatif tidak terlalu besar

mengingat jumlah wisatangan yang datang sangat dibatasi.

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 9

Page 10: Administrasi Pembangunan Pariwisata

Revenue bagi pengelola sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pengunjung. Ada

berbagai alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan. Di

Inggris dan Amerika pengelolaan situs-situs arkeologi, museum, diserahkan

kepada badan otonom non pemerintah (trust council). Mereka umumnya adalah

orang-orang kaya, pengusaha, atau pejabat negara yang memiliki komitmen

dalam melestarikan lingkungan dan kebudayaan, dan memiliki kewajiban untuk

menjaga dan mengembangkan situs atau museum, termasuk mendanainya.

Pelestarian tinggalan budaya di Indonesia masih meletakkan tanggung jawab

pada pundak pemerintah, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan

pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan, menjadi hak dan tanggung jawab

pemerintah.

3. Pemanduan

Pengunjung yang datang ke pusat pendidikan ini mau tidak mau harus ditemani

oleh pemandu yang oleh pengelola disebut “sahabat alam”. Apabila datang

pengunjung dalam jumlah besar, maka mereka akan dibagi ke dalam kelompok-

kelompok yang lebih kecil,maksimal 6 orang, dan masing-masing akan ditemani

oleh seorang sahabat alam.

Pengunjung yang datang akan diberi penjelasan-penjelasan mengenai hutan

dan ekosistemnya. Kendala yang dihadapi pengelola adalah kehandalan para

sahabat alam tersebut dalam meng-interpretasikan alam.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa wisata tinggalan budaya adalah traveling

to experience the places, artifacts and activities that authentically represent the

stories and people of the past and present. Hal ini berarti bahwa, segala artefak,

situs arkeologis, bangunan-bangunan atau monument-monumen yang menjadi

pusat atraksi wisata harus mampu menggambarkan, menimbulkan imaginasi,

mengenai kondisi dan orang-orang di masa lalu itu, sehingga interpretasi, baik

melalui media cetak atau lebih baik melalui pemandu menjadi unsur yang

penting dalam wisata ini. Tanpa penginterpretasian, beda-benda tersebut hanya

menjadi benda mati yang tidak bermakna sehingga costumer satisfaction tidak

akan tercapai.

Contoh: bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung hanya akan memberi

makna yang sangat berarti dan mendalam pada wisatawan asal Belanda,

sehingga tanpa didampingi seorang pemandu mereka dapat memperoleh

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 10

Page 11: Administrasi Pembangunan Pariwisata

pengalaman yang memuaskan. Hal ini terjadi karena dalam memori mereka

sudah tersimpan informasi, makna-makna, nilai-nilai mengenai bangunan

tersebut sebagai tempat yang pernah digunakan oleh nenek moyang mereka.

Hal yang berbeda akan terjadi pada wisatawan asal Amerika yang secara

historis tidak punya kaitan dengan Indonesia.

Penutup

Potensi pengembangan pariwisata tinggalan budaya (heritage tourism) dalam

bentuk besaran pangsa pasar yang memiliki minat yang sangat besar terhadap

budaya yang disertai dengan jumlah dan keragaman peninggalan budaya yang

dimiliki Indonesia, tidak boleh menjadikan pembangunan pariwisata tinggalan

budaya ini hanya bertumpu pada pemenuhan kepuasan wisatawan. Kaidah-kaidah

dan prinsip-prinsip yang melekat dalam konservasi suatu benda cagar budaya harus

tetap dipertahankan dan menjadi acuan utama dalam administrasi

pembangunannya. Contoh yang ditunjukkan di Pusat Pendidikan Alam Bodogol

sudah membuktikan bahwa wisatawan jenis ini (new tourist) bisa mengapresiasi dan

mengikuti tindakan-tindakan pengamanan dan mengaturan yang dilakukan

pengelola. Yang lebih penting bagi wisatawan kategori ini adalah kedalaman

pengalaman berwisata dan keterlibatan dalam kegiatan yang mereka, dan

kesamaan pandangan tentang apa yang mereka hormati (pemeliharaan terhadap

lingkungan dan penghargaan budaya) sehingga tercipta pemahaman yang lebih

dalam.

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 11

Page 12: Administrasi Pembangunan Pariwisata

Referensi

Buchari, R. Ahmad. teori dan Konsep Adminstrasi. Bahan Kuliah pada Program Pascajarjana LAN Bandung, tidak diterbitkan: 2015

Cooper, C.P., Fletcher, J., Gilbert, D., and Wanhill, S. Tourism. Principles and Practice. London: Pitman. 1993

Eropean Travel Comission (ETC). City Tourism & Culture. The European Experience. Madrid: World Tourism Organization. 2005

Dunlap, Rick, Gloria Schleicher, Tim Keptner, Barry Denk. Moving Heritage Tourism Forward in Pennsylvania. Department of Conservation and Natural Resources (DCNR), Pennsylvania: 2001

de la Torre, Marta. Assessing the Values of Cultural Heritage. Research Report. Los Angeles, The Getty Conservation Institute: 2005

Hargrove, Cheryl M. Heritage Tourism. Cultural Resource Management No 1—2002

The Heritage Canada Foundation. Discovering Heritage Tourism. Practical Ideas For The Tourism Industry. Canada, 2004

Mathieson, Alister and Wall, Geoffrey. Tourism: Economic, Physical, and Social Impacts. Michigan: Longman, 1982

Pedersen, Arthur. Managing Tourism at World Heritage Sites: a Practical Manual for World Heritage Site Managers. Paris: UNESCO World Heritage Centre. 2002

Setiawati, Indriani. Pengelolaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Sebagai Model Kawasan Wisata Terbatas, dalam Pariwisata Indonesia Menghadapi Abad XXI, P3Par ITB, 2000.

Smith, Valene L. (Editor). Hosts and Guests. The Anthropology of Tourism. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. 1989

http://ppkab.blogspot.com/search/label/Profil%20PPKAB

Administrasi Pembangunan Pariwisata - 12