Upload
oz-aza
View
51
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kajian administrasi pembangunan pariwisata tinggalan budaya dengan special refference pada ekowisata
Citation preview
ADMINISTRASI PEMBANGUNAN PARIWISATA TINGGALAN BUDAYA. BELAJAR DARI PENGALAMAN EKOWISATA
Asep Rosadi1
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai persoalan-persoalan menyangkut administrasi pembangunan pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan di Indonesia, khususnya mengenai pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tinggalan-tinggalan budaya yang sejatinya merupakan ranah ilmu-ilmu arkeologi, paleontologi, atau sejarah, yang kemudian dimanfaatkan sebagai atraksi atau objek pariwisata di Indonesia. Perkembangan pariwisata dunia yang sangat pesat, khususnya kegiatan pariwisata yang sering disebut sebagai new tourism, menjadi prospek yang menggiurkan dan sekaligus juga mengandung tantangan-tantangan yang cukup pelik untuk dipecahkan. Berbagai usaha pelestarian tinggalan-tinggalan budaya tersebut, pemanfaatannya sebagai atraksi wisata tidak cukup memuaskan. Di sisi lain, kegiatan ekowisata yang lebih dahulu berkembang, menunjukkan perkembangan yang berarti. Dengan pertimbangan kedua kegiatan ini memiliki persamaan-persamaan, maka model yang telah dilakukan dalam ekowisata mungkin dapat dijadikan sebagai model alternatif dari suatu tourism best practice bagi pengelolaan dan pengembangan wisata tinggalan budaya (heritage tourism).
Kata kunci: administrasi pembangunan pariwisata, atraksi wisata, wisata tinggalan budaya (heritage tourism), ekowisata
Pengantar
Apabila seseorang diminta untuk membayangkan apa yang pertama kali
terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata kebudayaan, maka sudah dapat
diduga bahwa pasti jawabannya sangatlah beragam. Setiap orang, mulai dari abang-
abang becak di pingir jalan, mbok jamu gendong yang berjualan keliling kota, para
pegawai pemerintahan sampai pejabat negara, atau para anggota DPR sampai
menteri dan presiden pasti memiliki jawabannya masing-masing. Mungkin di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa kebudayaan itu adalah tradisi, atau adat-
istiadat, atau bahkan tata krama dan sopan santun. Sebagian lagi menyatakan
kebudayaan itu adalah kesenian dan upacara-upacara adat, makanan tradisional,
penginggalan-peninggalan masa lalu, atau suku bangsa-suku bangsa terasing, atau
gaya hidup suatu komunitas, dan sebagainya. 1 Mahasiswa Program Pascasarjana STIA LAN Bandung, Program Studi Manajemen Pembangunan
Daerah 2015, NPM: 15.1.1.55.1.003
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 1
Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan memang diartikan lebih mengacu
pada aspek-aspek yang khusus saja, seperti keindahan, kesusastraan, kesenian,
bangunan-bangunan peninggalan masa lalu, upacara-upacara adat, atau hal-hal
yang berkaitan dengan sopan santun suatu kelompok atau masyarakat tertentu.
Pengertian kebudayaan yang bersifat khusus ini berlainan dengan pengertian
kebudayaan menurut para ahli antropologi atau sosiologi yang memandang
kebudayaan secara lebih umum dan menyeluruh. Sir Edward Burnett Tylor yang
dianggap sebagai pencetus pertama definisi kebudayaan yang bersifat menyeluruh
mengartikannya sebagai “kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain kecakapan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Sementara itu, definisi
kebudayaan yang lebih populer berkembang dalam masyarakat kita menyatakannya
sebagai “hasil cipta karsa dan karya manusia”. Makalah ini tidak bermaksud untuk
membahas lebih lanjut mengenai teori-teori kebudayaan, tetapi hanya ingin
menunjukkan bahwa penggunaan batasan atau definisi tersebut akan memberikan
implikasi terhadap bentuk-bentuk administrasi pembangunan pariwisata budaya.
Studi-studi mengenai sejarah pariwisata yang merupakan “...the temporary
movement of people to destinations of work and residence, the activities undertaken
during their stay in those destinations, and the facilities created to cater to their
need” (Mathieson dan Wall, 1982:1), khususnya yang terjadi pada masyarakat Eropa
dan juga Amerika, menunjukkan bahwa fenomena ini sudah berlangsung sangat
lama disertai dengan aturan-aturan yang mengikat. Misalnya pada masyarakat
Inggris, para bangsawan dan mahasiswa muda harus melakukan grand tour ke
pelosok negeri untuk lebih mengenal masyarakat dan karakteristik wilayahnya.
Dengan demikian, karena kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang dan
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, lama kelamaan menjadi habit
(kebiasaan) yang umum.
Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologis, Valene Smith (1989)
menyatakan bahwa pariwisata itu merupakan budaya karena selain memerlukan
kecukupan pendapatan (discrepancy income) dan waktu luang (leisure time), juga
memerlukan positive local sanction yang dapat mendorong orang untuk melakukan
perjalanan. Dalam masyarakat Amerika dan Eropa, orang-orang yang tinggal di
rumah ketika waktu liburan akan digolongkan pada kelompok orang-orang miskin
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 2
atau orang tua jompo dan anak-anak. Hal ini berkaitan erat dengan konsep vacation
(berlibur, yang berarti tidak melakukan aktivitas bekerja) yang berasal dari bahasa
latin vacare yang berarti meninggalkan/mengosongkan rumah, dan holiday, dari
holy-day, yaitu hari merayakan sesuatu yang dianggap suci.
Pariwisata juga merupakan “...a multidimensional, multifaceted activity, which
touches many lives and many different economy activities.” (Cooper, 1993). Dengan
demikian, pariwisata merupakan sektor pembangunan yang memiliki keterkaitan
yang tinggi dengan sektor-sektor lainnya dan dalam pelaksanaannya bersinggungan
dengan aktivitas-aktivitas lain di sekelilingnya sehingga sering disebut sebagai
multidimensional and multifaceted activity. Dalam bahasa pemerintahan, kondisi
seperti ini dianggap kondisi yang memiliki lingkup koordinasi dan kerjasama yang
tinggi. Pencapaian administrasi pembangunan pariwisata tidak hanya menjadi beban
dan tanggung jawab satuan kerja, seperti dinas pariwisata yang membidanginya,
tetapi juga tergantung dari dukungan satuan kerja lain. Hal ini sesuai dengan hakikat
(ilmu) administrasi yang dikemukakan Buchari (2015), yaitu proses kerjasama
sekelompok manusia yang didasarkan pada pelayanan, rasionalitas, efektivitas dan
efisiensi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Pariwisata dan Pariwisata Tinggalan Budaya (Heritage Tourism)
Pariwisata merupakan sebuah produk jasa, baik yang bersifat tangible
maupun intangible, dengan unsur utama berupa leisure dan pleisure. Karena sifat-
sifat tersebut, sebuah produk wisata harus merupakan satu kesatuan dari Amenity
(fasilitas utama dan pendukung), Accessibility (akses), dan Attractions (atraksi atau
objek wisata itu sendiri) sehingga sering disebut dengan 3-A, yang tidak dapat
berdiri sendiri atau dipisahkan dengan bidang dan/atau sektor pembangunan
lainnya. Amenitas yang dibutuhkan pada satu daerah tujuan wisata tertentu antara
lain: sarana akomodasi, sarana makan-minum, infrastruktur dasar (listrik, air,
telepon) dan sarana umum (sarana peribadatan dan kesehatan), tour operator, toko-
toko souvenir, sarana parkir, dan lain-lain. Aksesibilitas adalah sarana untuk
mencapai daerah tujuan wisata tersebut, mencakup jalan dan sarana
pencapaiannya, dan atraksi adalah objek wisata itu sendiri (alam, budaya, buatan).
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 3
Banyak pakar pariwisata menyatakan bahwa inti atau pusat kegiatan
pariwisata adalah atraksi wisata itu sendiri, akan tetapi dalam implementasi
kegiatannya, pariwisata tidak dapat melepaskan diri dari unsur-unsur pembentuk
produk wisata yang lain. Oleh karena itu, aktivitas yang timbul dalam pariwisata juga
dapat dikelompokkan dalam jenis atau ragam atraksi itu sendiri, yaitu yang
berdasarkan pada alam (nature based tourism), buatan (build based tourism), dan
budaya (cultural tourism).
Yang dimaksud dengan pariwisata budaya dalam makalah ini mengacu pada
batasan yang dipergunakan oleh World Tourism Organization, yang sekarang
menjadi salah satu badan PBB (UN-WTO), berdasarkan kajian ETC Research
Group (2005:16) yang menyatakannya sebagai:
“cultural tourism consists of several dimensions ” historical and contemporary (time), objects and performance (type), contextual and non-contextual (travel) as well as wide or narrow (scope)”. Furthermore, the term cultural tourism is applied to any or all of these but the diversity means that it will be difficult to treat visits to them all as an entity. It may be misleading to analyze all within the same broad category of cultural tourism and, at least initially, more worthwhile to isolate each as separate forms of tourism”
Penggunaan batasan ini menyebabkan fenomena pariwisata budaya dapat
dibagi menjadi dua lingkungan, yaitu lingkungan dalam budaya (inner circle), dan
lingkungan luar budaya (outer circle) sebagaimana yang tampak pada gambar di
bawah ini. The inner circle represents the cultural core, the more traditional or basic
elements of culture representing what people make or produce in cultural terms. The
outer circle represents the way of life or lifestyle of a place or region.
I. The inner circle represents the primary elements of
cultural tourism which can be divided into two parts,
namely heritage tourism (cultural heritage related to
artefacts of the past) and arts tourism (related to
contemporary cultural production such as the performing
and visual arts, contemporary architecture, literature,
etc.).
II. The outer circle represents the secondary elements of cultural tourism which can
be divided into two elements, namely lifestyle (elements such as beliefs, cuisine,
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 4
IInner
OuterII
traditions, folklore, etc.) and the creative industries (fashion design, web and graphic
design, film, media and entertainment, etc.).
Dengan demikian, maka pembahasan tulisan ini akan mengacu pada
administrasi pembangunan wisata tinggalan budaya (heritage tourism) yaitu wisata
yang berhubungan dengan peniggalan-peninggalan budaya masa lalu yang bersifat
fisikal, sebagaimana yang juga dikemukakan Dunlap et.al (2001): “Heritage tourism
is a leisure trip with the primary purpose of visiting historic, cultural, natural,
recreational and scenic attractions to learn more about the past in an enjoyable
way”. Selain itu The National Trust for Historic Preservation mendefinisikan heritage
tourism sebagai “traveling to experience the places, artifacts and activities that
authentically represent the stories and people of the past and present.” (Hargrove,
2002)
Prospek Pembangungan Pariwisata Tinggalan Budaya
Pada awalnya fenomena kepariwisataan ini berkembang dengan fokus pada
pemanfaatan lingkungan alam, baik reka bentuk alam, cuaca, maupun keindahan
dan keragaman flora dan fauna, terutama yang berbasis pantai. Wisatawan datang
pada suatu destinasi wisata dengan maksud utama untuk bersenang-senang,
dengan pola kedatangan berbentuk kelompok (group/mass tourism), sehingga timbul
pameo bahwa pariwisata itu berarti sun, sea, and sand.
Namun, sejalan dengan perkembangannya pola dan bentuk-bentuk aktivitas
yang diminati oleh para wisatawan pun mengalami perubahan-perubahan sehingga
kemudian dikenal istilah new tourism. Sebagaimana yang telah diidentifikasi
UNESCO, wisatawan sekarang lebih berminat dalam pemeliharaan kualitas
lingkungan dan pelayanan sebagai faktor penentu pemilihan daerah tujuan wisata
(DTW). Dengan perkembangan teknologi komunikasi, terutama internet, prakondisi
yang diinginkan tersebut dapat dengan mudah dicari, sehingga DTW-DTW yang
dianggap tidak ramah lingkungan akan mudah dihindari. Kawasan Wisata
Pangandaran yang menjadi primadona Jawa Barat pernah di-boycott oleh para
wisatawan asing dan para tour operator karena melakukan perusakan terumbu
karang.
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 5
Selain sensitif terhadap pemeliharaan lingkungan, wisatawan yang
menginginkan memperoleh pengalaman yang “nyata” dengan budaya dan
kehidupan masyarakat lokal juga semakin bertambah. Mereka menginginkan bisa
lebih aktif melakukan interaksi dengan lingkungan dan objek yang dikunjunginya dan
mecari objek-objek wisata yang lebih edukatif. Dengan demikian, kesempatan
memperoleh pengalaman yang baru yang lebih dekat dengan kenyataan di lapangan
menjadi ketertarikan wisatawan saat ini (educational and adventuresome tourists).
Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat wisatawan juga kemudian
berimbas pada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi orang para pelaku usaha
pariwisata. Mereka terdorong untuk lebih mempertimbangkan dan bertanggung
jawab terhadap pembangunan yang berkelanjutan dan penekanan pada
implementasi corporate social responsibility.
Pariwisata budaya, khususnya wisata tinggalan budaya, memang
memberikan prospek dan optimisme kepada para pelaku pariwisata. Studi yang
dilakukan National Tour Association di Amerika tahun 1999 menunjukkan bahwa
20% dari total pendapatan pariwisata Amerika dikeluarkan oleh pariwisata budaya.
Studi yang sama juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% wisatawan asal Kanada
lebih tertarik pada heritage/culturan tourism (FSS 03).
Namun demikian, kondisi perkembangan makro yang menggembirakan
tersebut harus disikapi bijaksana. Paling tidak, dalam upaya melakukan tata kelola
pembangunan pariwisata Indonesia, ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam
pengelolaan dan pengembangan wisata tinggalan budaya ini.
Yang pertama, sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh UNESCO, jumlah
wisatawan jenis ini tidak jelas besarannya sehingga memerlukan kajian lebih lanjut
untuk mengetahui berapa besar jumlah yang sebenarnya. Apabila ini dilakukan
makan penentuan segmentasi wisatawan dalam upaya pemasaran dan bentuk
treatment (service) yang direncanakan akan memiliki tingkat kepastian yang lebih
tinggi karena didasari pengetahuan empirik. Bagi Indonesia, potensi pasar yang
berasal dari wisatawan nusantara/domestik semakin tidak jelas. Pada umumnya,
wisatawan yang dianggap “memiliki minat” untuk mengkonsumsi tinggalan budaya
didominasi oleh kelompok pelajar, terutama dari kalangan sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama, sementara wisatawan umum sangatlah kecil
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 6
jumlahnya. Ketika musim libur sekolah, dapat disaksikan deretan bus diparkir di
depan Museum Geologi Bandung di sepanjang jalan Diponegoro.
Kondisi tersebut seharusnya tidak membuat para perencana dan pengelola
pariwisata terbuai. Apabila dikaji lebih mendalam, anak-anak sekolah yang datang
ke Museum Geologi, dan mungkin museum-museum lain, datang karena program
yang sudah ditentukan sekolahnya, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan,
memiliki program kunjungan lapangan ke museum. Dengan kata lain, mereka itu
bukanlah pasar aktual karena keinginan untuk membeli produk atau berwisata ke
museum, jika sulit mengatakan dipaksa, diatur oleh sekolah dan bukan atas
keinginan siswa sendiri. Padahal, keputusan untuk membeli sesuatu produk atau
berwisata harus bersifat sukarela (voluntary). Beberapa penelitian proyek akhir yang
dilakukan mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung yang mengkaji
pengembangan museum umumnya menunjukkan bahwa pola perjalanan wisatawan
domestik yang berwisata di kota Bandung, biasanya berwisata pada lebih dari satu
DTW, dan preferensi utama yang diinginkan adalah destinasi-destinasi yang
memberikan sifat rekreatif, sehingga museum bukan menjadi destinasi kunjungan
yang utama.
Kedua, sebagaimana hakekat pariwisata yang menekankan unsur leisure,
pariwisata tinggalan budaya sebagaimana dikemukakan Dunlap et.all di atas juga
mensyaratkan enjoyable way dalam pengkonsumsiannya. Namun demikian,
enjoyable way ini tidak harus mengatasi apalagi mengesampingkan fokus utama dari
pendirian suatu museum atau kawasan cagar budaya tertentu, yaitu pelestarian
suatu tinggalan budaya.
Administrasi Pembangunan Pariwisata Tinggalan Budaya. Belajar dari Pengalaman Ekowisata.
Mengapa harus belajar dari ekowisata? Sebagaimana telah diketahui
bersama, ekowisata (ecotourism) telah terlebih dahulu berkembang dibandingkan
dengan heritage tourism. Tekanan dunia internasional terhadap pentingnya
pemeliharaan lingkungan telah menyebabkan berkembangnya jenis wisata yang
lebih ramah terhadap lingkungan sehingga teori-teori atau berbagai best practice
(program-program, tindakan-tindakan, atau kondisi-kondisi yang telah terbukti
berhasil dilaksanakan) yang mengkaji mengenai ekowisata sangat mudah diperoleh
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 7
dibandingkan yang mengkaji heritage tourism. Selain itu, dalam beberapa hal, ada
kemiripan antara sifat dan prinsip ekowisata dengan pariwisata tinggalan budaya.
Kedua jenis wisata ini umumnya berlokasi di tempat-tempat yang dikategorikan
terbatas penggunaannya (restricted atau potected area) dan oleh karena itu daya
dukung lingkungan harus diutamakan, selain itu prinsip pemeliharaan dan
pelestarian melekat dan menjadi fokus pada keduanya.
Alasan lainnya adalah, sampai saat ini penulis masih belum menemukan
contoh atau model pengelolaan dan pemanfaatan tinggalan budaya yang dilakukan
di Indonesia yang cukup memuaskan. Sebagai contoh, salah satu usaha pelestarian
dan pemanfaatan tinggalan budaya yang seringkali dianggap “berhasil” adalah
upaya pelestarian candi Borobudur dan Prambanan yang menelan biaya luar biasa
besar dan didukung penuh oleh Unesco. Dari sisi pelestarian fisikal, proyek tersebut
patut diacungi jempol karena keberhasilannya. Akan tetapi, dari sisi lain, yaitu
pelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kita patut kaji ulang atau
pertanyakan kembali keberhasilannya. Pada umumnya, candi-candi di Indonesia
merupakan rumah-rumah ibadat yang suci bagi para pemeluknya, Hindu atau
Budha. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung pada candi-candi yang telah berhasil
dilestarikan itu memudar atau bahkan menghilang. Padahal, nilai-nilai itulah yang
akan mendekatkan emosi dan kecintaan kita pada benda-benda tersebut, seperti
halnya seseorang yang dari kecil dibesarkan pada suatu rumah tertentu akan sangat
sulit meninggalkan atau pindah dari rumah tersebut. Wisatawan yang datang ke
candi Borobudur-Prambanan atau tinggalan budaya lainnya hanya menganggap
tempat yang didatanginya sebagai suatu objek tempat mereka bersenang-senang –
tidak ada keterikatan emosional.
Berikut ini adalah contoh pengelolaan suatu kawasan yang dilindungi yang
telah dilakukan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Lido, Sukabumi2. Pusat
pendidikan konservasi alam ini didirikan di salah satu pintu masuk Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan tujuan untuk pusat pendidikan alam yang
dikembangkan secara berkelanjutan dengan menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan. Mengingat keterbatasan yang dimiliki dan visi pelestariannya yang
2 Untuk memahami lebih lanjut mengenai model pengelolaan pusat pendidikan alam ini lihat Indriani Setiawati, Pengelolaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Sebagai Model Kawasan Wisata Terbatas, dalam Pariwisata Indonesia Menghadapi Abad XXI, P3Par ITB, 2000; atau PPKA Bodogol, http://ppkab.blogspot.com/search/label/Profil%20PPKAB.
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 8
diembannya maka pengelolaan kawaan ini diperuntukkan terutama sebagai
kawasan wisata terbatas, dan oleh karena itu harus melakukan pengelolaan-
pengelolaan sebagai berikut:
1. Pembatasan Pengunjung
Dengan pertimbangan menjaga daya dukung lingkungan dan kontrol terhadap
perilaku pengunjung yang tidak diinginkan, maka pengelola pusat pendidikan
alam yang terdiri dari unsur LSM Internasional (Conservation International
Indonesia), LSM Lokal dan pemerintah (Balai Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango), menetapkan jumlah kunjungan harian hanya 50 orang. Untuk tamu
yang menginap disediakan ecolodge dengan jumlah yang dibatasi pula.
Untuk bisa membatasi jumlah pengunjung pada angka tersebut sehingga prinsip
“low volume, high value” dapat tercapai, pengelola menentukan kebijakan untuk
menetapkan reservasi bagi yng ingin berkunjung, selain itu, melalui sistem ini
pengelola dapat lebih mempersiapkan staf/SDM di lapangan untuk lebih
memperlancar kunjungan wisatawan. Kendala dalam penetapan sistem ini
adalah wisatawan yang datang tanpa melakukan reservasi (walk in guests).
Namun karena jenis wisatawan ekowisata (dan heritage tourism) biasanya tidak
besar, maka kendala tersebut dapat diatasi dengan menyediakan relawan-
relawan yang merupakan penduduk lokal. Hal ini berarti bahwa pengelola harus
memiliki program pengembangan masyarakat terlebih dahulu sehingga dapat
meningkatkan keterampilan masyarakat lokal.
2. Penetapan Harga.
Sejak dalam taraf perencanaan, pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan
memiliki komitmen untuk menjadikan pusat pendidikan alam ini sebagai kawasan
wisata terbatas dengan menggunakan prinsip kemandirian usaha, sehingga oleh
karenanya kelayakan usaha secara ekonomis harus tercapai. Dari hasil studi
yang mereka lakukan, maka diputuskan bahwa wisatawan akan ditarik bayaran
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan DTW sejenis seperti di Cibodas
Cianjur, namun demikian relatif masih dapat terjangkau oleh wisatawan.
Revenue tahunan yang dihasilkan pusat pendidikan ini relatif tidak terlalu besar
mengingat jumlah wisatangan yang datang sangat dibatasi.
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 9
Revenue bagi pengelola sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pengunjung. Ada
berbagai alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan. Di
Inggris dan Amerika pengelolaan situs-situs arkeologi, museum, diserahkan
kepada badan otonom non pemerintah (trust council). Mereka umumnya adalah
orang-orang kaya, pengusaha, atau pejabat negara yang memiliki komitmen
dalam melestarikan lingkungan dan kebudayaan, dan memiliki kewajiban untuk
menjaga dan mengembangkan situs atau museum, termasuk mendanainya.
Pelestarian tinggalan budaya di Indonesia masih meletakkan tanggung jawab
pada pundak pemerintah, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan, menjadi hak dan tanggung jawab
pemerintah.
3. Pemanduan
Pengunjung yang datang ke pusat pendidikan ini mau tidak mau harus ditemani
oleh pemandu yang oleh pengelola disebut “sahabat alam”. Apabila datang
pengunjung dalam jumlah besar, maka mereka akan dibagi ke dalam kelompok-
kelompok yang lebih kecil,maksimal 6 orang, dan masing-masing akan ditemani
oleh seorang sahabat alam.
Pengunjung yang datang akan diberi penjelasan-penjelasan mengenai hutan
dan ekosistemnya. Kendala yang dihadapi pengelola adalah kehandalan para
sahabat alam tersebut dalam meng-interpretasikan alam.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa wisata tinggalan budaya adalah traveling
to experience the places, artifacts and activities that authentically represent the
stories and people of the past and present. Hal ini berarti bahwa, segala artefak,
situs arkeologis, bangunan-bangunan atau monument-monumen yang menjadi
pusat atraksi wisata harus mampu menggambarkan, menimbulkan imaginasi,
mengenai kondisi dan orang-orang di masa lalu itu, sehingga interpretasi, baik
melalui media cetak atau lebih baik melalui pemandu menjadi unsur yang
penting dalam wisata ini. Tanpa penginterpretasian, beda-benda tersebut hanya
menjadi benda mati yang tidak bermakna sehingga costumer satisfaction tidak
akan tercapai.
Contoh: bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung hanya akan memberi
makna yang sangat berarti dan mendalam pada wisatawan asal Belanda,
sehingga tanpa didampingi seorang pemandu mereka dapat memperoleh
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 10
pengalaman yang memuaskan. Hal ini terjadi karena dalam memori mereka
sudah tersimpan informasi, makna-makna, nilai-nilai mengenai bangunan
tersebut sebagai tempat yang pernah digunakan oleh nenek moyang mereka.
Hal yang berbeda akan terjadi pada wisatawan asal Amerika yang secara
historis tidak punya kaitan dengan Indonesia.
Penutup
Potensi pengembangan pariwisata tinggalan budaya (heritage tourism) dalam
bentuk besaran pangsa pasar yang memiliki minat yang sangat besar terhadap
budaya yang disertai dengan jumlah dan keragaman peninggalan budaya yang
dimiliki Indonesia, tidak boleh menjadikan pembangunan pariwisata tinggalan
budaya ini hanya bertumpu pada pemenuhan kepuasan wisatawan. Kaidah-kaidah
dan prinsip-prinsip yang melekat dalam konservasi suatu benda cagar budaya harus
tetap dipertahankan dan menjadi acuan utama dalam administrasi
pembangunannya. Contoh yang ditunjukkan di Pusat Pendidikan Alam Bodogol
sudah membuktikan bahwa wisatawan jenis ini (new tourist) bisa mengapresiasi dan
mengikuti tindakan-tindakan pengamanan dan mengaturan yang dilakukan
pengelola. Yang lebih penting bagi wisatawan kategori ini adalah kedalaman
pengalaman berwisata dan keterlibatan dalam kegiatan yang mereka, dan
kesamaan pandangan tentang apa yang mereka hormati (pemeliharaan terhadap
lingkungan dan penghargaan budaya) sehingga tercipta pemahaman yang lebih
dalam.
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 11
Referensi
Buchari, R. Ahmad. teori dan Konsep Adminstrasi. Bahan Kuliah pada Program Pascajarjana LAN Bandung, tidak diterbitkan: 2015
Cooper, C.P., Fletcher, J., Gilbert, D., and Wanhill, S. Tourism. Principles and Practice. London: Pitman. 1993
Eropean Travel Comission (ETC). City Tourism & Culture. The European Experience. Madrid: World Tourism Organization. 2005
Dunlap, Rick, Gloria Schleicher, Tim Keptner, Barry Denk. Moving Heritage Tourism Forward in Pennsylvania. Department of Conservation and Natural Resources (DCNR), Pennsylvania: 2001
de la Torre, Marta. Assessing the Values of Cultural Heritage. Research Report. Los Angeles, The Getty Conservation Institute: 2005
Hargrove, Cheryl M. Heritage Tourism. Cultural Resource Management No 1—2002
The Heritage Canada Foundation. Discovering Heritage Tourism. Practical Ideas For The Tourism Industry. Canada, 2004
Mathieson, Alister and Wall, Geoffrey. Tourism: Economic, Physical, and Social Impacts. Michigan: Longman, 1982
Pedersen, Arthur. Managing Tourism at World Heritage Sites: a Practical Manual for World Heritage Site Managers. Paris: UNESCO World Heritage Centre. 2002
Setiawati, Indriani. Pengelolaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Sebagai Model Kawasan Wisata Terbatas, dalam Pariwisata Indonesia Menghadapi Abad XXI, P3Par ITB, 2000.
Smith, Valene L. (Editor). Hosts and Guests. The Anthropology of Tourism. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. 1989
http://ppkab.blogspot.com/search/label/Profil%20PPKAB
Administrasi Pembangunan Pariwisata - 12