Upload
dionissashabira
View
239
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
acp
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Krajan Kidul- Wirgomo Banyubiru
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Menikah
Bangsa/suku : Indonesia/ Jawa
Tanggal dirawat : 25 Juli 2015 – 28 juli 2015
B. Anamnesis
Autoanamnesis (25 Juli 2015)
Keluhan Utama :
Kenceng-kenceng
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dengan G4P3A0 usia kehamilan 40 minggu rujukan dari RS Bina
Kasih datang dengan keluhan kenceng-kenceng sejak tadi pagi (jam 08.00).
Kenceng-kenceng dirasakan 2 kali dalam 10 menit, dengan lama 10 detik.
Sudah keluar lendir yang bercampur darah yang timbul hampir berbarengan
dengan keluhan kenceng-kenceng. Keluhan keluar cairan rembes atau
ngepyok disangkal. Gerakan janin masih dirasakan. Pasien di bawa ke RS
Bina Kasih dan dipimpin mengejan 1 jam namun bayi tidak lahir, keluar urin
berwarna kemerahan. Kemudian pasien di rujuk Ke RS Ambarawa
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit asma, hipertensi dan DM disangkal oleh pasien.
1
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit asma, hipertensi dan DM disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan.
Riwayat Perkawinan :
Pasien telah menikah 1x, dengan suami sekarang kurang lebih 20 tahun.
Riwayat Haid :
Menarche = usia 12 tahun
Siklus menstruasi = teratur dengan siklus 28 hari
Lama menstruasi = 7 hari
Nyeri perut saat menstruasi = (-)
HPHT = 20 Oktober 2014
HPL = 27 Juli 2015
Riwayat Persalinan :
Aterm, spontan, laki-laki dengan BBL 2700 gram, usia 14 tahun,
Meninggal
Aterm , Spontan, laki-laki dengan BBL 3000 gram, usia 6tahun
Aterem , SC, Perempuan dengan BBL 2600 gram, Meninggal saat usaia
5 hari
Hamil ini
Riwayat Operasi :
Operasi SC 1 kali, 6 tahun yang lalu
Riwayat Kontrasepsi:
KB suntik 3 bulan selama 6 tahun namun sudah lepas sejak 2 tahun
Riwayat Alergi :
Alergi obat dan makanan disangkal
Riwayat Kebiasaan :2
Makan teratur, merokok (-), minuman beralkohol (-).
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4,V5,M6)
Tanda Vital :
- TD : 119/80 mmHg - Nadi : 109 kali/menit
- Suhu : 36,5°C - RR : 20 kali/menit
Status Generalis
Kepala : Mesocephal
Mata : Pupil isokor kanan = kiri, CA -/-, SI -/-
Mulut : Bibir kering, pucat, sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Jantung : BJ I & II reguler, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+ , wheezing (-), rhonchi (-)
Abdomen : Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, CRT < 2 detik
Pemeriksaan Obstetri
Leopold I : Bulat lunak
Leopold II : Punggung kiri
Leopold III : Bulat keras
Leopold IV : Divergent
Bundel ring : +
His : (+) namun jarang
TFU : 30 cm
DJJ : 162 kali per menit
VT : Bukaan lengkap , KK (-), sudah masuk PAP
3
D. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal : 15-07-2015 jam 13.00
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 10.9 (L) 12.5-15.5 g/dL
Leukosit 9.5 4-10 Ribu
Eritrosit 4.12 3.8-5.4 Juta
Hematokrit 35.8 35-47 %
MCV 86.9 82-98 Mikro m3
MCH 28.9 >=27 Pg
MCHC 33.2 32-36 g/dL
RDW 13.2 10-16 %
Tombosit 220 150-400 Ribu
PDW 14.7 10-18 %
MPV 8.1 7-11 Mikro m3
Limfosit 1.8 1.0-4.5 103/mikro
Monosit 0.4 0.2-1.0 103/mikro
Granulosit 7.2 (H) 2-4 103/mikro
Limfosit % 19.3 (L) 25-40 %
Monosit % 4.6 2-8 %
Granulosit % 76.1 50-80 %
PCT 0.178 0.2-0.5 %
PTT
APTT
INR
10.3
44.0
0,95
9.7-13.1
23.9-39.8
detik
detik
detik
E. Diagnosis Kerja
4
G4P3A0 UK ± 40 minggu dengan ruptur uteri imminens
F. Rencana Tindakan
1. Resusitasi cairan Infus RL 20 tpm
2. Terminasi pro SC cito
G. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
5
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
25 Juli 2015
11.35
Kenceng-kenceng
(+) tapi jarang,
pegal pada
pinggang, keluar
lendir/darah (+),
rembes (-), Mual
(-), sesak (-),
nyeri perut (+),
nyeri kepala (-)
Lahir bayi
perempuan
dengan SC.
BBL : 2500 gram
PB : 45 cm
A/S : 4-5-6
KU/Kes : Baik/CM Vital sign :
TD: 119/80 mmHg
Nadi : 109 bpm
RR : 20 kali per
menit
T: 36,50C
Kepala : CA -/- SI -/-
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thorax :
Cor : BJ I,II Reg
Pulmo : SDV +/+
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : dbn
DJJ : 162 kali per
menit
G4P3A0 Hamil
40 minggu
dengan ruptur
uteri iminens
Infus RL 20 tpm
SC CITO
26 Juli 2015 Nyeri pada bekas
jahitan (+). Flatus
(+), nyeri kepala
(-), mual (-),
sesak (-)
KU/Kes : Sakit sedang/CMVital sign :
TD: 110/85 mmHg
Nadi : 90 bpm
RR : 21 kali per
menit
T: 36,20C
Kepala : CA -/- SI -/-
P4A0 post SC
hari 1
Infus RL 20 tpm
Amoxicilin 3x1
Metronidazole 3x1
Inj Ketorolac 1 amp
6
Thorax :
Cor : BJ I,II Reg
Pulmo : SDV +/+
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : dbn
27 Juli 2015 Nyeri bekas
jahitan (+), flatus
(+), mual (-),
sesak (-)
KU/Kes : Sakit sedang/CMVital sign :
TD: 120/81 mmHg
Nadi : 84 bpm
RR : 20 kali per
menit
T: 36,30C
Kepala : CA -/- SI -/-
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thorax :
Cor : BJ I,II Reg
Pulmo : SDV +/+
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : dbn
P4A0 post SC
hari 2
Infus RL 20 tpm
Amoxicilin 3x1
Metronidazole 3x1
Inj Ketorolac 1 amp
28 Juli 2015 Nyeri pada bekas
jahitan (+), mual
(-)
KU/Kes : Sakit sedang/CMVital sign :
TD: 120/79 mmHg
Nadi : 94 bpm
RR : 20 kali per
menit
T: 36,70C
Kepala : CA -/- SI -/-
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thorax :
Cor : BJ I,II Reg
P3A1 post SC
hari 3
Infus RL 20 tpm
Amoxicilin 3x1
Metronidazole 3x1
Inj Ketorolac 1 amp
7
Pulmo : SDV +/+
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : dbn
H. Laporan Operasi
- Pasien tidur dengan posisi supine dengan spinal anestesia
- Dilakukan tindakan aseptik di medan operasi
- Ditutup dengan doek steril
- Insisi linea mediana
- Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai peritoneum parietal
- Plika vesicouterina dibuka, SBR diiris semilunar
- Bayi lahir perempuan, BBL 2500 gram, PB 45 cm, APGAR score 4-5-6
- Plasenta lahir lengkap
- Bloody angle atau sudut perdarahan dijahit, SBR dijahit interload
- Reperitonealisasi viseral
- Dilakukan reperitoneal parietal
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis, kulit dijahit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Ruptur Uteri
II.1.1 Definisi
8
Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim pada saat
kehamilan atau dalam persalinan akibat dilampauinya daya regang miometrium,
dengan atau tanpa disertai robeknya peritoneum viseral.
II.1.2 Epidemiologi
Terjadinya ruptur uteri pada seseorang ibu hamil atau sedang bersalin masih
merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian
ibu dan anak karena ruptur uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang
tinggi kita jumpai di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Asia dan
Afrika. Angka ini dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan
masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas
pengangkutan yang memadai dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah
yang cukup juga merupakan faktor yang penting.
Frekwensi ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia
berkisar antara 1:92 sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara maju (antara 1:1250 dan 1:2000 persalinan).
Hal ini disebabkan karena rumah sakit –rumah sakit di Indonesia menampung
banyak kasus darurat dari luar.
II.1.3 Klasifikasi
1. Menurut tingkat robekan :
Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh
lapisan dinding uterus.
Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai
miometrium, disebut juga dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
melakukan eksplorasi dinding rongga uterus setelah janin dan plasenta
lahir.
Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi
ruptur. Penderita merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun
di luar his. Teraba ligamentum rotundum menegang. Teraba cincin
Bandle setinggi pusat. Segmen bawah rahim menipis. Urine kateter
kemerahan.
9
2. Menurut etiologinya:
Ruptur uteri spontan
Bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut
(utuh) dan tanpa adanya manipulasi dari penolong. Faktor pokok disini
ialah bahwa persalinan tidak maju karena rintangan, misalnya panggul
sempit, hidrosepalus, janin dalam letak lintang dan sebagainya, sehingga
segmen bawah uterus makin lama makin meregang. Faktor yang
merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri adalah
multiparitas, disini ditengah – tengah miometrium sudah terdapat banyak
jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi
kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Oleh
banyak penulis dilaporkan pula bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh
dukun – dukun memudahkan timbulnya ruptur uteri. Pada persalinan
yang kurang lancar, dukun – dukun biasanya melakukan tekanan keras
kebawah terus – menerus pada fundus uteri, hal ini dapat menambah
tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah meregang dan
mengakibatkan terjadinya ruptur uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis
yang terlampau tinggi dan atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula
menyebabkan ruptur uteri
Ruptur uteri traumatika
Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena
jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu
yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena
rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar. Yang lebih
sering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur uteri violenta.
Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan
usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur
uteri. Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang
dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut.
Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi.
Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut diatas dan juga
setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan
10
kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri.
Gejala-gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.
Ruptur uteri pada parut uterus
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas
seksio sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah
dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang lagi
pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam. Di
antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi ssesudah
seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada
parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini
disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai
daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan
lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio bisa
menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan
tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal
yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan
lambat laun jaringan disekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah
sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum tidak
ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.
Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan
timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum
dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus
dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa nyeri
spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria besar
luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam
uterus meninggal pula.
3. Menurut waktu terjadinya:
Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi
pada korpus
11
Ruptur Uteri Durante Partum, terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya
sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
4. Menurut lokasi:
Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak
maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah
ruptur.
Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau
versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.
12
II.1.4 Faktor Resiko
Faktor risiko ruptur uteri meliputi riwayat histerotomi sebelumnya (seksio
sesarea, myomektomi, reseksi cornual), trauma (kecelakaan lalu lintas, ekstraksi
forcepal), overdistensi uterus (hidramnion, gemelli, makrosomia), anomali uterus,
plasenta perkreta, choriocarsinoma.
13
II.1.5 Gejala dan Tanda
Gejala yang bisa didapatkan pada pasien dengan ruptur uteri adalah :
Penderita pucat dan perdarahan vaginal
Pada saat terjadi ruptur penderita kesakitan sekali dan merasa ada robekan di
perutnya
Gejala kolaps dan kemudian syok.
Sedangkan tanda yang bisa kita dapatkan pada pemeriksaan adalah :
Penderita pucat
Tachicardi
Perdarahan vaginal
Dapat diraba jelas bagian-bagian janin langsung di bawah dinding perut
14
Perut kembung, kadang-kadang defance muscular dan pada keadaan ini
janin sukar diraba
Dapat ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi di samping
bagian janin
Denyut jantung janin negatif
His berhenti;
Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan
melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR
yang semakin tipis dan teregang
Tanda-tanda adanya cairan bebas dalam kavum peritonii
Pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau
teraba tinggi dalam jalan lahir. Kadang robekan dapat diraba, demikian
pula usus pada rongga perut melalui robekan
Pemeriksaan penunjang: laboratorium darah hemoglobin, hematokrit
II.1.6 Ruptur Uteri Komplit dan Ruptur Uteri Imminens
Ruptur uteri komplit dapat terjadi pada akhir kehamilan atau dalam
persalinan yang sebelumnya terdapat riwayat seksio sesarea klasik atau
pembedahan uterus yang ekstensif. Adanya riwayat pembedahan uterus
sebelumnya memberikan korelasi 3:1 dibandingkan tanpa riwayat pembedahan
untuk terjadinya ruptur uteri.
Ruptur uteri imminens, gejala dan tanda-tandanya: penderita gelisah,
pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan nyeri terus menerus di perut
bagian bawah baik ada his maupun di luar his, segmen bawah rahim tegang dan
menipis, lingkaran retraksi (Bandle) meninggi sampai mendekati pusat, urine
kateter berwarna kemerahan, terdapat tanda-tanda gawat janin.
15
II.1.7 Penatalaksanaan
Untuk mencegah timbulnya ruptur uteri pimpinan persalinan harus
dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan
distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan
lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan segmen bawah
rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus segera diselesaikan.
Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan
perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa
dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan,
karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan bisa diterima.
Bila sudah diagnosa dugaan ruptur uteri sudah ditegakkan maka tindakan
yang harus diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien ( resusitasi
cairan dan persiapan tranfusi ) dan persiapan tindakan laparotomi atau persiapan
rujukan ke sarana fasilitas yang lebih lengkap.
Sebagai bentuk tindakan definitif maka bila robekan melintang dan tidak
mengenai daerah yang luas dapat dipertimbangkan tindakan histerorafia ; namun
bila robekan uterus mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah banyak bagian
yang nekrotik maka tindakan terbaik adalah histerektomi
Histerektomi dianjurkan pada pasien yang sudah cukup anak, sedangkan
yang masih ingin hamil dilakukan repair uterus. Pemberian antibiotika diperlukan
pada kasus risiko infeksi. Tidak disebutkan jenis antibiotika tertentu yang
dianjurkan di sini.
Angka kematian maternal akibat ruptur uteri mencapai 4,2%, sedangkan
angka kematian perinatal mencapai 46%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
perdarahan, syok, infeksi postoperasi, kerusakan ureteral, tromboflebitis, emboli
air ketuban, DIC (disseminated intravascular coagulation), dan kematian.
16
SKEMA PENATALAKSANAAN RUPTUR UTERI
Ruptura uteri
Imminens Inkomplit Komplit
Kepala Kepala Tepi luka Luka compang-
belum masuk sudah masuk lurus/baik camping
Janin hidup Janin mati Laparatomi
histerorafi
Ekstraksi forsep Embriotomi
Histerorafi Amputasi uteri/
histerektomi total
Bedah sesarea Cukup anak Tubektomi
17
KU jelek KU baik
II.1.8 Prognosis
Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari
50 hingga 75%, tetapi jika janin masih hidup pada saat terjadinya peristiwa
tersebut, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan
persalinan segera, yang paling sering dilakukan lewat laparotomi, kalau tidak
keadaan hipoksia baik sebagai keadaan terlepasnya plasenta ataupun hipovolemi
maternal tidak akan terhindari, jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita
akan meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi
kemudian, kendati penyembuhan spontan pernah juga ditemukan pada kasus yang
luar biasa.
Diagnosa cepat, tindakan operasi segera, ketersediaan darah dalam jumlah
besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat
besar bagi wanita dengan ruptur pada uterus yang hamil.
18
BAB III
AFTER CARE PATIENT
III.1 Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
III.1.1 Fungsi Biologik
Pasien adalah seorang perempuan, berusia 37 tahun. Pasien post partum
dengan SC atas indikasi ruptur uteri imminens, pasien tidak memiliki gangguan
pada fungsi biologiknya.
III.1.2 Fungsi Psikologik
Hubungan pasien dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya baik.
III.1.3 Fungsi Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Penghasilan keluarga pasien
berasal dari suami pasien yang bekerja sebagai pegawai pabrik. Kondisi ekonomi
pasien termasuk golongan bawah.
III.1.4 Fungsi Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SMP sedangkan pendidikan terakhir
suami pasien adalah SMA.
III.1.5 Fungsi Religius
Pasien dan keluarganya adalah seorang muslim, dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agamanya. Pasien juga sering mengikuti pengajian yang diadakan
oleh lingkungan rumahnya.
III.1.6 Fungsi Sosial dan Budaya
Kedudukan pasien dalam lingkungan sosial budaya adalah sebagai warga
negara yang baik. Pasien tetap menjalin hubungan baik dengan warga lingkungan
sekitarnya dan mampu bersosialisai dengan baik. Sesekali pasien mengikuti arisan
yang diselenggarakan oleh ibu-ibu sekitar rumahnya.
19
III.1.7 Pola Konsumsi Makanan Pasien
Frekuensi makan pasien dan keluarga sehari-hari, cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi. Pasien tidak memiliki masalah dalam mencukupi kebutuhan gizi
dirinya sehari-hari.
III.2 Rencana Pembinaan Keluarga
III.2.1 Terhadap Pasien
a. Edukasi pasien tentang pemberian ASI eksklusif, vaksinasi dasar,
dan perawatan bayi baru lahir.
b. Melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik sederhana untuk
melihat perkembangan kesembuhan pasien dan bayinya.
III.2.2 Terhadap Keluarga
a. Memberikan motivasi dan edukasi mengenai pemberian ASI
eksklusif, vaksinasi dasar, dan perawatan bayi baru lahir sehingga
seluruh keluarga dapat mengerti sepenuhnya dan dapat saling
mengingatkan.
III.3. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Pasien
dan Bayinya
III.3.1 Faktor Perilaku
Pasien sudah cukup memahami mengenai perawatan ibu post partum.
Setelah pulang, pasien melakukan follow up ke RSUD Ambarawa hingga saat ini
sebanyak 2 kali, untuk melakukan lepas jahitan pada kontrol pertama, dan kontrol
kedua untuk ganti perban. Pasien akif bertanya mengenai kondisi jahitan post
operasi apakah sudah kering ataua belum. Pasien juga melakukan breast care
dengan baik, 1-2 hari post partum pasien melakukan pemijatan dan pengurutan di
sekitar areola, setiap harinya pasien memakai bra yang menyerap keringat, setiap
habis mandi pasien membersihkan kedua puting dengan air hangat.
Pasien sudah paham benar akan pentingnya pemberian ASI eksklusif.
Anak – anak pasien sebelumnya pun diberi ASI eksklusif semua.
Berat badan bayinya saat ini adalah 2800 gram, keadaannya sehat.
Menetek kuat dan aktif.
20
III.3.2 Faktor Non-Perilaku
Sarana kesehatan cukup mudah dijangkau oleh pasien. Akses transportasi
untuk mencapai tempat-tempat tertentu dinilai mudah.
21
DAFTAR PUSTAKA
ACOG. Vaginal birth after previous cesarean delivery. ACOG practice bulletin
no. 54. Washington, DC: American College of Obstetricians and
Gynecologists;2004.
Cuningham FG, Gary NF, 2001. Ruptur Uteri, Obstetri Williams Edisi 21. EGC.
Jakarta : 716, 876
Gyamfi C, Juhasz G, Gyamfi P, Blumenfeld Y, Stone JL. Single- versus
double-layer uterine incision closure and uterine rupture. J Matern Fetal
Neonatal Med. Oct 2006;19(10):639-43.
Kayani SI, Alfirevic Z. Uterine rupture after induction of labour in women with
previous caesarean section. BJOG. Apr 2005;112(4):451-5.
Klein GH. Vaginal Birth after Cesarean Delivery: An admission Scoring System.
Obgyn.net journal review. Obstet Gynecol 1997;90:907-10.
http://www.obgyn.net/jr/review17.htm
Lim AC, et al.Pregnancy after uterine rupture: a report of 5 cases and a review
of the literature.Obstet Gynecol Surv.2005 ;60(9):613-7
Locatelli A, Regalia AL, Ghidini A, et al. Risks of induction of labour in women
with a uterine scar from previous low transverse caesarean section. BJOG.
Dec 2004;111(12):1394-9.
Macones GA, Cahill A, Pare E, et al. Obstetric outcomes in women with two
prior cesarean deliveries: is vaginal birth after cesarean delivery a viable
option?. Am J Obstet Gynecol. Apr 2005;192(4):1223-8; discussion 1228-9.
Walsh CA, O’Sullivan RJ, Foley ME (2006). “Unexplained prelabor uterine
rupture in a term primigravida”. Obstetrics and gynecology 108 (3 Pt 2):
725–7.
22