22
AGAMA BUDHA a. Ajaran Tuhan Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum Era Umum). Beliau dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avidyā), kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatam dan mencapai Nirvana (Pali: Nibbana). Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan. Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami

Agama Budha

Embed Size (px)

DESCRIPTION

All about agama Budha

Citation preview

Page 1: Agama Budha

AGAMA BUDHA

a. Ajaran Tuhan

Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan

meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran

yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha

(berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di

bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum

Era Umum). Beliau dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau

tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri

ketidaktahuan/kebodohan (avidyā), kehausan/napsu rendah (taṇhā), dan penderitaan (dukkha),

dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatam dan mencapai Nirvana

(Pali: Nibbana).

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep

Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh

agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih

banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan

konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap

bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam

agama-agama lain.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka,

maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain,

tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan

dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam

semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan

Keselamatan atau Kebebasan.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara

samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami

proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada

pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah

kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk

yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran &

realitas sebenar-benarnya.

TIGA KEBENARAN UNIVERSAL

Suatu hari, Sang Buddha duduk di bawah naungan pohon dan melihat betapa indahnya pedesaan itu. Bunga-bunga mekar dan pepohonan memperlihatkan dedaun baru yang cerah, tapi di antara semua keindahan ini, ia melihat banyak ketidak-bahagiaan. Seorang petani memukul lembunya di

Page 2: Agama Budha

lapangan. Seekor burung mematuk pada cacing tanah, dan kemudian seekor elang menukik ke arah burung. Sangat terganggu, ia bertanya, "Mengapa petani itu memukul lembunya? Kenapa harus satu makhluk makan makhluk yang lain untuk kelangsungan hidupnya?"

 Selama pencerahanNya, Buddha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Ia menemukan tiga kebenaran besar. Dia menjelaskan kebenaran-kebenaran ini dengan cara sederhana sehingga semua orang bisa memahaminya.

1. Tidak ada yang hilang di alam semesta

 Kebenaran pertama adalah bahwa tidak ada yang hilang di alam semesta. Materi berubah menjadi energi, energi berubah menjadi materi. Sebuah daun mati berubah menjadi tanah. Bibit kecambah tumbuh dan menjadi tanaman baru. Sistem matahari hancur dan berubah menjadi sinar kosmik. Kita dilahirkan dari orang tua kita, anak-anak kita lahir dari kita.

Kami adalah sama seperti tanaman, seperti pohon-pohon, seperti orang lain, seperti hujan yang jatuh. Kami terdiri dari apa yang ada di sekitar kita, kita adalah sama dengan segalanya. Jika kita menghancurkan sesuatu di sekitar kita, kita menghancurkan diri kita sendiri. Jika kita menipu yang lain, kita menipu diri kita sendiri. Memahami kebenaran ini, Sang Buddha dan murid-muridnya tidak pernah membunuh binatang apapun.

2. Semuanya Berubah

Kebenaran universal kedua dari Buddha adalah segala sesuatu yang terus berubah. Hidup ini seperti sungai yang mengalir terus dan terus, terus berubah. Kadang-kadang mengalir perlahan-lahan dan kadang-kadang cepat. Ia halus dan lembut di beberapa tempat, tetapi kemudian halangan dan bebatuan muncul secara tiba-tiba. Segera setelah kita pikir kita aman, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Setelah dinosaurus, mammoth, dan harimau bergigi pedang-menjelajahi bumi ini. Mereka semua mati, namun ini bukan akhir dari kehidupan. Bentuk kehidupan lain seperti mamalia kecil muncul, dan akhirnya manusia juga. Sekarang kita bahkan bisa melihat Bumi dari ruang angkasa dan memahami perubahan yang telah terjadi di planet ini. Ide-ide kita tentang kehidupan juga berubah. Orang-orang pernah percaya bahwa bumi itu datar, tetapi sekarang kita tahu bahwa bumi itu bulat.

3. Hukum Sebab Akibat

Kebenaran universal ketiga dijelaskan oleh Sang Buddha adalah bahwa ada perubahan terus menerus karena hukum sebab dan akibat. Ini adalah hukum sebab dan akibat yang sama  yang

Page 3: Agama Budha

ditemukan di setiap buku pelajaran ilmu pengetahuan modern. Dari sudut pandang ini, ilmu pengetahuan dan Buddhisme sejalan.

Hukum sebab dan akibat dikenal sebagai Karma. Tidak pernah sesuatu terjadi pada kita kecuali kita layak menerimanya. Kami menerima persis seperti apa yang kita dapat, apakah itu baik atau buruk. Kita adalah keadaan kita sekarang karena hal-hal yang telah kita lakukan di masa lalu. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kita menentukan jenis kehidupan yang dapat kita miliki. Jika kita melakukan hal-hal baik, hal-hal yang baik di masa depan akan terjadi pada kita. Jika kita melakukan hal-hal buruk, hal-hal buruk di masa depan akan terjadi pada kita. Setiap saat kita menciptakan karma baru dengan apa yang kita katakan, lakukan, dan pikirkan. Jika kita memahami ini, kita tidak perlu takut pada karma. Hal ini dapat menjadi teman kita. Ini mengajarkan kita untuk menciptakan masa depan yang cerah.

Sang Buddha berkata,

"Jenis benih ditaburka

 akan menghasilkan buah seperti itu.

 Mereka yang berbuat baik akan menuai hasil yang baik.

 Mereka yang berbuat jahat akan menuai hasil kejahatan.

 Jika Anda hati-hati menanam benih yang baik,

 Anda sukacita akan mengumpulkan buah yang baik. "

Panca/Lima Sila

Semua agama memiliki beberapa aturan dasar yang menetapkan apa yang disebut tingkah laku yang baik dan tingkah laku apa yang harus dihindari. Dalam Buddhisme, aturan yang paling penting adalah Lima Sila. Sila ini diturunkan dari Buddha sendiri.

1. Tidak Membunuh                          –    Menghormati hak untuk hidup

2. Tidak Mencuri                               –    Menghormati harta benda orang lain

3. Tidak Melakukan Penzinaan        –    Menghormati kodrat murni kita

4. Tidak Berbohong                          –    Menghormati kejujuran

5. Tidak Minum Minuman Keras       –    Menghormati pikiran yang jernih

             Tidak Membunuh

Page 4: Agama Budha

Sang Buddha berkata, "Hidup ini berharga bagi semua makhluk. Mereka memiliki hak untuk hidup yang sama seperti kita." Kita harus menghormati semua kehidupan dan tidak membunuh apa pun. Membunuh semut dan nyamuk juga melanggar sila ini. Kita harus memiliki sikap cinta kasih terhadap semua makhluk, berharap mereka untuk menjadi bahagia dan bebas dari bahaya. Merawat bumi, termasuk sungai dan udara. Salah satu cara yang banyak umat Buddha praktekkan dalam ajaran ini adalah dengan menjadi vegetarian.

                                                               Tidak Mencuri

Jika kita mencuri dari orang lain, kita mencuri dari diri kita sendiri. Sebaliknya, kita harus belajar untuk memberi dan menjaga barang-barang milik keluarga kita, milik sekolah, atau milik umum.

                                                    Tidak Melakukan Penzinaan

Tingkah laku yang baik dengan menunjukkan rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain. Tubuh kita adalah hadiah dari orang tua kita, jadi kita harus melindungi mereka dari bahaya. Kaum muda khususnya harus menjaga kodrat murni dan mengembangkan kebajikan mereka. Terserah kepada pilihan mereka untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup. Dalam keluarga bahagia, suami dan istri saling menghormati.

                                                             Tidak berbohong

Kejujuran membawa perdamaian pada dunia. Ketika ada kesalah-pahaman, hal terbaik adalah membicarakannya. Sila ini termasuk tidak menggosip, tidak memfitnah, tidak ada kata-kata kasar dan tidak ada kata-kata yang tak berarti.

                                                  Tidak Minum Minuman Keras

Sila kelima didasarkan pada menjaga pikiran yang jernih dan tubuh yang sehat. Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang berbicara Dharma untuk majelis, seorang pemuda yang mabuk terhuyung-huyung masuk ke dalam ruangan. Dia tersandung beberapa biksu yang sedang duduk di lantai dan mulai memaki-maki dengan keras. Napasnya berbau alkohol dan memenuhi udara dengan bau yang memuakkan. Bergumam pada dirinya sendiri, ia terhuyung-huyung keluar dari pintu.

Semua orang heran melihat perilaku kasarnya, tapi Sang Buddha tetap tenang. "Majelis yang terhormat!" ia berbicara, "Lihatlah orang ini. Ia pasti akan kehilangan kekayaan dan nama baik. Tubuhnya akan menjadi lemah dan sakit-sakitan. Siang dan malam, ia akan bertengkar dengan keluarga dan teman-temannya sampai mereka meninggalkannya. Yang terburuk adalah bahwa ia akan kehilangan kebijaksanaan dan menjadi bodoh."

Page 5: Agama Budha

Sedikit demi sedikit, kita dapat belajar untuk mengikuti sila-sila ini. Jika kita kadang-kadang lupa, kita dapat memulainya lagi. Mengikuti ajaran-ajaran ini adalah pekerjaan seumur hidup. Jika seseorang membunuh atau melukai perasaan seseorang karena kesalahan, itu adalah melanggar sila, tapi itu tidak dilakukan dengan sengaja.

b. Kitab Suci

Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang

digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon

mereka.. Sesuai dengan makna istilah tersebut, Tripiṭaka pada mulanya mengandung tiga

"keranjang" atau tiga "kelompok" akan berbagai pengajaran: Sūtra Piṭaka (Sanskrit;

Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piṭaka (Sanskrit & Pali) danAbhidharma Piṭaka (Sanskrit;

Pali: Abhidhamma Piṭaka).

Sutta Pitaka berisi kotbah-kotbah Buddha selama 45 tahun membabarkan Dharma berjumlah

84.000 sutta. Vinaya Pitaka berisi peraturanBhikkhu/ni, sedangkan Abhidhamma Pitaka

berisi ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha.

Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pâli dan Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal sebagai 'pitaka' atau 'keranjang', yaitu :

1. Vinaya Pitaka 2. Sutta Pitaka, dan 3. Abhidhamma Pitaka

Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pâli) atau Tripitaka (sansekerta).

Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).

1. VINAYA PITAKA 

Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian : 1. Sutta Vibhanga 2. Khandhaka, dan 3. Parivâra.

Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu

Page 6: Agama Budha

adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.

Kitab Khandhaka terbagi atas Mahâvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan calon bhikkhu (sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

2. SUTTA PITAKA

Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu : 1. Dîgha Nikâya, merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).

2. Majjhima Nikâya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya. 

3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan. 

4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762

Page 7: Agama Budha

sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta. 

5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu : a. Khuddakapâtha, berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra, Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.

b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

c. Udâna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan. 

d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavâ (demikianlah sabda Sang Bhagavâ).

e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.

f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa. 

g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.

h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.

i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.

j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu. 

k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta; sedang Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipâta.

l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathâ).

m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.

n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.

o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang

Page 8: Agama Budha

terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.

ABHIDHAMMA PITAKA

Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu : 

1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.

2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.

3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.

4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya. 

5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. 

6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya. 

7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).

Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.

Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha Nikâya.

c. Dosa

TIGA AKAR KEJAHATAN (Ti Akusalamula)Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha ... "Wahai para bhikkhu, ada tiga akar kejahatan." "Apakah tiga akar itu?" "Akar kejahatan keserakahan (lobha), akar kejahatan kebencian (dosa), dan akar kejahatan kebodohan batin (moha). Itulah ketiganya."

Page 9: Agama Budha

Keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, yang muncul dari dalam dirinya, akan merugikan orang yang berpikiran jahat, seperti buah bambu menghancurkan tumbuhnya pohon itu sendiri. (Itivuttaka 3.1; Khunddaka Nikaya)Lobha adalah kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga membuat pikiran selalu merasa lapar, serakah serta tidak puas dengan apa yang telah dimiliki.Dosa adalah penolakan yang sangat terhadap sesuatu sehingga membuat pikiran selalu emosi, kesal dan penuh dengan kebencian.

Moha adalah kebodohan batin, yaitu tidak dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.

Dari ketiga akar kejahatan inilah seseorang berbuat jahat. Lobha

Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk sesuatu. Ini adalah hal yang wajar. Tetapi keinginan akan satu hal yang terus menerus dan ingin lebih dan lebih inilah Lobha.

Sebagai contoh: karena kemelekatan yang sangat terhadap kehidupan mewah, seseorang menginginkan kehidupan yang lebih mewah lagi, maka timbullah keserakahan dan agar keinginannya untuk hidup lebih mewah lagi tercapai, ia melakukan berbagai cara termasuk melakukan tindakan kejahatan.Untuk mencegah timbulnya Lobha dalam diri, maka perlu:- Menggunakan Sati (perhatian,kewaspadaan, kesadaran).- Berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan.

- Merenungkan untung dan rugi dengan menggunakan Panna (kebijaksanaa).

- Membangkitkan Hiri (malu berbuat jahat) dan Ottapa (takut berbuat jahat).

- Mengembangkan Dhamma yang berlawanan dengan Lobha, seperti berdana.

(Ajitamanavasa, Solasa panha)

Dosa

Pikiran untuk menyakiti, merusak, menghilangkan, mengingkirkan, memusnahkan sesuatu karena adanya rasa tidak suka yang sangat atau benci terhadap sesuatu tersebut, inilah Dosa.Dosa ini dapat diibaratkan dengan sebuah titik api yang menyala, dan bila tidak segera dipadamkan maka akan menjadi kobaran api yang lebih besar, sehingga dapat merusak segalanya, dalam hal ini merusak pemikiran, kesehatan fisik dan mental, bahkan dapat membuat seseorang menjadi pembunuh.Sebagai contoh: karena tidak menyukai seekor lalat, terjadi penolakan yang sangat dan timbul kebencian terhadap lalat tersebut, seseorang menginginkan lalat tersebut tersebut musnah, hilang, menyingkir dari hadapannya, menyakiti, merusak, maka ia melakukan berbagai cara untuk memusnahkan, menghilangkan, menyingkirkannya termasuk dengan melakukan tindakan kejahatan berupa pembunuhan.

Untuk menghindari timbulnya Dosa dalam diri, maka diperlukan menjalankan Panca Sila (Lima Sila)

Moha

Page 10: Agama Budha

Kebodohan batin atau kegelapan batin, yaitu tidak dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, tidak dapat menembus arti dari empat kebenaran Arya, Hukum Tilakkhana, Hukum Paticcasamuppada, Hukum Kamma.Jika diibaratkan, Moha seperti kegelapan yang membuat seseorang tidak dapat berbuat-apa-apa bahkan hanya dapat berbuat kesalahan.Sebagai contoh: karena tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk seseorang melakuan pencurian terhadap seorang hartawan untuk dibagian kepada kaum miskin. Ia menganggap mencuri hanya dari orang kaya adalah hal yang baik dan sah-sah saja sehingga ia melakukan pencurian tanpa merasa bersalah.Untuk mencegah timbulnya Moha dalam diri, maka cara terbaik adalah mengembangkan Panna (kebijaksanaan). Panna (kebijaksanaan dapat dicapai dengan berbagai macam cara, seperti banyak membaca, belajar, dan mendengar

d. KESELAMATAN

Keselamatan dan Kebebasan bukanlah monopoli suatu agama. Tapi keselamatan dan kebebasan adalah monopoli orang-orang yang mensucikan dirinya, membimbing diri ke arah yang baik dan benar, lurus, tanpa noda, apapun agama orang itu.

DUA JENIS KESELAMATAN

Dalam Buddha-Dhamma dikenal dua jenis keselamatan, yaitu

1). Keselamatan Relatif

2). Keselamatan Absolut.

YAITU l

1). Keselamatan Relatif

Dalam kebanyakan ajaran-ajaran selain Buddha-Dhamma, dinyatakan bahwa bentuk “Keselamatan” adalah suatu jaminan kelak setelah kita mati kita akan terlahir disisi “Maha-Dewa”, hidup penuh kesenangan didalam sorga.

Jika jenis keselamatan ini yang dimaksudkan, maka bagi agama Buddha keselamatan jenis ini adalah keselamatan “relatif”, karena alam surga sesungguhnya TIDAK-KEKAL, masih dicengkeram kelapukan, karena masih berpijaknya empat unsur alam semesta disana ( air, tanah, api dan udara ), yang senantiasa menuju kehancuran. Alam surga juga bersifat relatif, karena masih terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu.

Sang Buddha tidak pernah mengajarkan untuk berdoa dan menyembah Dewa / Dewi penghuni surga, karena mereka sendiri masih diliputi kekotoran batin, yaitu nafsu-nafsu indria, dan juga masih dicengkeram oleh kelahiran dan kematian. Juga, para Dewa / Dewi masih bisa marah, masih bisa murka, menghukum, tidak senang, cemburu, dan lain-lain sifat-sifat buruk, sehingga bukanlah sosok yang tepat untuk dijadikan perlindungan ( perlindungan yang tepat adalah diri sendiri ).

Seperti yang sudah pernah saya sebutkan pada artikel terdahulu, yang menyebabkan suatu makhluk / seseorang terlahir di alam-alam surga / dewata di keenam alam dewa lingkup-keindriaan / Kamadhatu ( Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, Paranimmitavatti ), adalah hal2 berikut ini :

1. Mempunyai “hiri”, yaitu : Rasa malu untuk berbuat jahat

2. Mempunyai “ottapa”, yaitu : Takut akan akibat perbuatan jahat.

Page 11: Agama Budha

Saat menjadi manusia, maka seseorang harus berlatih / mempraktekkan dhamma dengan baik, menjaga dan merawat SILA dengan baik, senantiasa berdana / berderma, maka ia akan terlahir di alam-alam Dewa lingkup-keindrian, ditunjang dengan hiri dan ottapa

Hiri dan ottapa akan mengikis emosi-emosi negatif yang bersifat destruktif, yaitu : kebencian, kemarahan, keirihatian, kemelekatan, dan stress / depressi.

Alam surga bukanlah monopoli agama tertentu. Tetapi, alam surga memang hanya akan dihuni oleh orang-orang tertentu, menjadi monopoli orang-orang semacam itu. Orang-orang seperti apakah ? Orang-orang yang baik hatinya, yang rendah hati, yang penuh cinta kasih, yang mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat dan mempunyai rasa takut akan akibat perbuatan jahat, yang selama hidup sebelumnya sangat gemar berderma, suka menolong semua makhluk yang mengalami penderitaan, dan lain-lain sifat dan watak yang positif. Kebajikan dan kebenaranlah yang akan menjamin seseorang masuk s u r g a , bukan agama yang menjamin seseorang masuk s u r g a .

2). Keselamatan Absolut

Buddha-Dhamma mengajarkan, bahwa surga bukanlah tujuan tertinggi bagi semua makhluk. Terbebas dari samsara adalah “Keselamatan-Absolut”, “Kebebasan-Mutlak”. Kebebasan ini diraih dengan merealisasi “Nibbana” ( Sanskerta : Nirvana ), keadaan tanpa-nafsu-keinginan, pemadaman semua kekotoran batin ( dalam ajaran Jawa dikenal dengan “Kahanan-Jati”, “Kang-Tanpa-Tanpa” ).

Musnahnya kekotoran batin, hancurnya nafsu yang abadi serta gemilang, inilah Keselamatan-Mutlak. Saat itulah semua makhluk akan terbebas dan berhasil keluar dari putaran arus kelahiran dan kematian.

Untuk merealisasi Nirvana ini, kita sendirilah yang harus menjalani, yaitu melalui “laku” / praktek : SILA ( moralitas-benar ), SAMADHI ( pemusatan-perhatian-benar ), dan PANNA ( kebijaksanaan-benar ).

Sila yang harus dikembangkan demi realisasi Nirvana ini adalah 227 Sila Pattimokha. Lima moralitas yang dijaga dan dirawat ummat awam ( Pancasila ), hanyalah menyebabkan seseorang terlahir kembali di alam manusia dan alam-alam surga lingkup Kammadhatu. Tapi jika berkehendak untuk merealisasi Nirvana, maka kita harus menjaga dan merawat 227 Sila Pattimokha, yaitu sila ke-Bhikkhu-an..

DOSA DAN KESELAMATAN

Untuk merealisasi Nirvana ini, maka dalam agama Buddha dikenal tingkatan-tingkatan pencapaian kesucian, yang sudah pernah saya singgung pada artikel “Ketuhanan YME dalam Buddhisme ( I ) “ yang terdahulu. Untuk mengingat kembali, maka tingkatan-tingkatan kesucian tersebut adalah :

1. SOTAPANN

Adalah manusia suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi. Sotapanna telah melenyapkan tiga belenggu ( samyojana ), yaitu :

1. Sakkaya-ditthi,

2. Vicikiccha, dan

Page 12: Agama Budha

3. Silabbata-paramasa.

2. SAKADAGAMI

Manusia suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi. Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu ( samyojana ), yaitu :

1. akkaya-ditthi,

2. Vicikiccha, dan,

3. Silabbata-paramasa.

Dan telah melemahkan belenggu :

4. Kama-raga, dan

5. Vyapada.

3. ANAGAMI

Manusia suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah alam Suddhavasa ( penjelasan mengenai alam Suddhavasa ada dalam buku saya “ Sang Jalan, Ariya-Athangika-Magga… .). Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbanna.

4. ARAHAT

Manusia suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam manapun. Ia akan parinibbana.

Belenggu-belenggu yang disebutkan diatas, secara rinci ada sepuluh ( 10 ) belenggu sebagai berikut :

1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa, atau “AKU” yang kekal ( sakkaya-ditthi ).

2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga keraguan kepada hukum sebab-akibat ( vicikiccha ).

3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan ( silabbata-paramasa ).

4. Nafsu indriya ( kama-raga ).

5. Dendam dan dengki ( vyapada ).

6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk ( rupa-raga ). Alam bentuk ( rupa-raga ) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan Samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III, atau Jhana IV.

7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk ( arupa-raga ). Alam tanpa bentuk ( arupa-raga ) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi telah mencapai Arupa Jhana I, II, III, dan Arupa Jhana IV.

8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Page 13: Agama Budha

9. Kegelisahan ( uddhaca ). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna ( ARAHAT ).

10. Kebodohan atau ketidaktahuan ( avijja ). Kebodohan atau ketidaktahuan ini menunjukkan seseorang yang tidak mengerti mana “Jalan”, mana yang “Bukan-Jalan”. Seseorang yang masih terbakar oleh “tiga-api” ( Nafsu keinginan, Kebencian, dan, Keserakahan ) termasuk dalam golongan orang yang mengalami ‘ketidaktahuan’. Ketidaktahuan akan adanya penderitaan ( dukkha ) dan jalan melenyapkan penderitaan inilah kebodohan. Ketidaktahuan bahwa semua di segenap semesta ini adalah tidak kekal ( anicca ), penderitaan ( dukkha ), dan tidak-ada AKU ( anatta ), adalah kebodohan.

e. Peran Agama untuk perdamaian

Sikap Buddhis terhadap kekerasan, perang dan perdamaian. Sang Buddha berkata di

Dhammapada:

* Kemenangan melahirkan kebencian. Yang kalah hidup dalam penderitaan. Untungnya dengan

damai hidup menyerah kemenangan dan kekalahan (Dp.15, 5) dan.

* Kebencian tidak pernah berhenti oleh kebencian di dunia ini, melalui cinta saja mereka berhenti.

Ini adalah hukum abadi. (Dp.1, 5)

Ajaran pertama mengacu pada melatih diri untuk tidak merugikan makhluk hidup. Meskipun

sejarah mencatat konflik yang melibatkan apa yang disebut negara Buddhis, perang-perang telah

berjuang karena alasan ekonomi atau mirip. Namun, sejarah tidak mencatat perang dilancarkan atas

nama menyebarkan Buddhisme. Buddhisme dan, mungkin, Jainisme yang unik dalam hal ini. Paus,

Dalai Lama tidak pernah menyarankan konflik bersenjata untuk mengatasi penganiayaan dan

kekejaman yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Komunis China. Ia selalu menganjurkan

solusi damai dan tanpa kekerasan. Mulia Maha Ghosananda, Patriark Agung Kamboja telah

mendesak Kamboja untuk mengesampingkan kemarahan mereka untuk genosida Khmer Merah dan

untuk menyatukan membangun kembali bangsa mereka. Ia telah menulis:

Penderitaan Kamboja telah mendalam. Dari penderitaan ini datang kasih sayang yang besar.

Sifat welas asih membuat hati damai. Hati yang damai membuat orang damai. Seseorang yang

damai membuat keluarga damai. Sebuah keluarga yang damai membuat masyarakat damai. Sebuah

komunitas yang damai membuat bangsa yang damai. Sebuah bangsa yang damai membuat dunia

yang damai.

Kembali ke sejarah awal agama Buddha, Kaisar Asoka, yang setelah kampanye militer

berdarah tapi sukses, memerintah lebih dari dua pertiga dari anak benua India, menderita

penyesalan besar bagi penderitaan yang ia disebabkan, melarang pembunuhan hewan dan mendesak

rakyatnya untuk menjalani kehidupan yang baik dan toleran. Dia juga mempromosikan toleransi

terhadap semua agama yang didukung secara finansial. Agama-agama lazim saat itu adalah

Page 14: Agama Budha

sramanas atau mengembara pertapa, Brahmana, Ajivakas dan Jain. Dia merekomendasikan bahwa

semua agama berhenti dari pujian diri dan kecaman orang lain. Pernyataan-Nya ditulis di atas batu

di pinggiran kerajaan-Nya dan di pilar di sepanjang jalan utama dan di mana peziarah berkumpul.

Dia juga mendirikan banyak rumah sakit untuk manusia dan hewan. Beberapa fatwa penting nya

batu menyatakan:

1. Asoka memerintahkan pohon beringin dan kebun mangga ditanam, rumah peristirahatan

dibangun dan sumur gali setiap setengah mil di sepanjang jalan utama.

2. Ia memerintahkan akhir untuk membunuh binatang untuk digunakan di dapur kerajaan.

3. Ia memerintahkan penyediaan fasilitas medis untuk manusia dan binatang.

4. Dia memerintahkan ketaatan kepada orang tua, kemurahan hati para imam dan pertapa dan

berhemat dalam pengeluaran.

5. Semua petugas harus bekerja untuk kesejahteraan orang miskin dan lanjut usia.

6. Dia mencatat niatnya untuk mempromosikan kesejahteraan semua makhluk untuk membayar

utang kepada semua makhluk.

7. Ia menghormati orang-orang dari semua agama.

Tidak semua umat Buddha mengikuti jalan tanpa kekerasan, namun. Seorang rahib Buddha, Phra

Kittiwutthi dari Phra Chittipalwon College di Thailand, terkenal karena ekstrim sayap kanan

tampilan. Dia mengatakan bahwa itu bukan sungsang dari ajaran pertama untuk membunuh

komunis. Dia mengatakan bahwa jika Thailand berada dalam bahaya pengambilalihan komunis, dia

akan mengangkat senjata untuk melindungi Buddhisme. Sulak Sivaraksa, seorang aktivis

perdamaian Thailand, laporan dalam bukunya, "adalah untuk membunuh komunisme atau ideologi

komunis bukan dosa" "Benih Perdamaian" yang Phra Kittiwutthi sejak pendiriannya dimodifikasi

dengan menyatakan. Sulak menambahkan bahwa biarawan itu mengaku bahwa perasaan nasionalis

itu lebih penting daripada praktek Buddhis dan bahwa ia akan bersedia untuk meninggalkan jubah

kuning untuk mengangkat senjata melawan penjajah komunis dari Laos, Kamboja atau Vietnam.

Dengan demikian, katanya, ia akan mempertahankan monarki, bangsa dan agama Buddha. Berbeda

dengan pandangan Phra Kittiwutthi, Sulak Sivaraksa melaporkan bahwa biksu Vietnam, Thich Nhat

Hanh berpendapat bahwa 'melestarikan Buddhisme tidak berarti bahwa kita harus mengorbankan

kehidupan manusia untuk menjaga hirarki Buddha, biara atau ritual. Bahkan jika agama Buddha

seperti itu sudah dipadamkan, ketika kehidupan manusia yang diawetkan dan ketika martabat

manusia dan kebebasan dibudidayakan menuju perdamaian dan cinta kasih, Buddha dapat terlahir

kembali di hati manusia.

Page 15: Agama Budha
Page 16: Agama Budha

BAB I PENDAHULUAN