Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
106
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN YUSUF AL-QARDHAWI
A. Hak-Hak Ahl-adz-Dzimmah
Al-Qaradhawi adalah seorang ulama yang berusaha memberikan hak yang sesuai untuk
ahl adz-dzimmah yang berada di kekuasaan umat islam. Dia selalu berusaha menyetarakan hak
mereka dengan hak-hak yang dimiliki umat islam. Menurutnya, ketika syariat Islam difahami
dengan baik, maka akan terlihat betapa Allah dan RasulNya telah memberikan panduan yang rinci
bagaimana menangani urusan non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Negara Islam.
Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada non-
Muslim. Tidak ada cara yang lebih baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran dan keindahan
Islam kecuali dengan mereka hidup di dalam sistem Islam dan merasakan sendiri kedamaian dan
keadilan hukum Allah SWT atas mereka. Islam menganggap semua orang yang tinggal di
Negaranya sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan
yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan
melindungi kepercayaan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka.
Usaha al-Qaradhawi untuk memberikan ahl adz-dzimmah hak yang semestinya mereka
dapatkan, sangat sesuai dengan piagam madinah yang menyatakan bahwa mereka mendapatkan
hak perlindungan. Perlindungan ini sangat jelas tertulis dalam Piagam Madinah. Dalam pasal 15
disebutkan “Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang
106
107
dekat”.1Dalam piagam ini, dinyatakan bahwa setiap orang yang berada di Madinah mempunyai
hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan, meskipun berbeda latar belakang agama dan suku.
Dari sejarah di atas, bisa disimpulkan bahwa non-muslim mempunyai hak yang sama
dalam mendapatkan perlindungan, mereka tidak boleh disia-siakan karena alasan perbedaan
agama. Mereka adalah bagian dari Negara Islam, bahkan dalam teks Piagam Madinah orang
muslim dan non-muslim disebutkan dengan Istilah umat. Dalam pasal 25 dari Piagam Madinah
disebutkan “Kaum Yahudi dari Bani A’uf adalah satu umat dengan mukminin, Bagi kaum Yahudi
agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kebebasan ini juga berlaku bagi sekutu-
sekutu mereka masing-masing kecuali bagi orang yang zalim dan berbuat jahat. Hukumannya
hanya akan menimpa diri dan keluarganya”.2Ketika Nabi Muhammad membawa istilah dengan
kata umat, ini mengisyaratkan bahwa mereka mempunyai hak yang sama dengan orang Islam,
tidak boleh dizalimi ataupun disia-siakan dalam keadaan terzalimi.
Orang-orang Yahudi adalah orang yang paling dekat hidup berdampingan dengan kaum
muslimin di Madinah. Meskipun mereka itu menyembunyikan permusuhan terhadap kaum
muslimin, tetapi mereka tidak menampakkannya dalam bentuk perlawanan atau permusuhan
apapun. Lantas Rasulullah menetapkan perjanjian ini yang menetapkan nasehat dan kebaikan
untuk mereka. Dalam perjanjian tersebut, beliau memberikan kebebasan mutlak kepada mereka
dalam urusan agama dan harta, dan beliau tidak mengarah ke politik pengusiran atau penyitaan
atau permusuhan.3
1 Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim Tazkia, “Enseklopedi Leadership & Manajemen Muhammad S.A.W”
The Super Leader Super Menager”. Kepemimpinan sosial dan politik, Social & political Leadership.(Jakarta:
Tazkia Publishing), h 97.
2 Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim Tazkia, Enseklopedi, h 98.
3 Raghib As-Sirjani, Solidaritas Islam, h 184.
108
Materi piagam ini menetapkan bahwa tidak ada arena keraguan bahwa Negara Islam –
padahal pada saat itu masih dalam fase pertama dari pembangunan dan pendirian- memiliki
kebebasan lengkap dan pensyariatan (legitimasi) yang mengatur kehidupan individu di dalam
masyarakat muslim; baik warga muslim atau kafir. Yaitu sebuah aturan yang memelihara hak
mereka dan menahan kezhaliman dari mereka jika terjadi pada mereka. Semua ini mustahil sekali
dapat terwujud dalam masyarakat yang berdiri di atas diktatorisme dan konservatif terhadap orang
lain atau mengekang mereka.4
Inilah dokumen politik yang diletakkan Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh
tahun silam dan telah menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat,
jaminan atas keselamatan harta benda dan larangan melakukan kejahatan. Ia telah membukakan
pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban manusia masa itu. Dunia yang selama ini hanya
menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan kehancuran semata.5
Apa yang dinyatakan oleh al-Qaradhawi tentang hak ahl adz-dzimmah, terutama dalam hal
perlindungan dan kebebasan mereka, sudah sangat sesuai dengan sejarah umat islam di masa
kehidupan rasulullah. Sehingga, apabila ada pendapat yang berbeda dengan apa yang dibawakan
oleh al-Qaradhawi tentunya akan berbeda juga dengan apa yang telah diperaktikkan oleh nabi
Muhammad S.a.w.
Ketika apa yang yang telah dinyatakan oleh al-Qaradhawi di atas dapat direalisasikan
dalam kehidupan nyata, kemungkinan besar tuduhan bahwa agama Islam agama yang tidak
perhatian dengan orang yang berbeda keyakinan akan hilang, seiring semakin membaiknya
pemahaman umat muslim dengan agama Islam itu sendiri. Secara teoritis, Nampak sekali bahwa
4 Raghib As-Sirjani, Solidaritas Islam, h 184.
5 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup, h 208.
109
semangat syariat Islam pada awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak
nonmuslim. Namun dalam prakteknya di beberapa Negara muslim dewasa ini, yang sering terjadi
justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syariah
itu sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai nonmuslim, ahl adz-dzimmah sering kali mendapatkan
perlakuan yang tidak setara dengan komunitas muslim.
Salah satu contuh yang dikemukakan al-Qaradhawi, sebagai bentuk persamaan hak
antara orang muslim dan nonmuslim, adalah persamaan hak dalam hokum qishas. Al-Qaradhawi
lebih memilih berbeda pendapat dengan kebanyakan ulama, demi menyamakan hak ahl adz-
dzimmah dengan orang muslim. Mayoritas ulama, seperti imam Syafi' dan imam Ahmad sepakat
bahwa orang muslim yang membunuh ahl adz-dzimmah tidak boleh diqishas, dengan alasan Nabi
Muhammad pernah bersabda” orang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir”.
Akan tetapi imam Abu Hanifah beserta para muridnya mengatakan bahwa orang muslim yang
membunuh ahl adz-dzimmah boleh diberlakukan hukum qishas, dengan dalil bahwa nas Al-quran
yang memerintahkan hukum qishas berlaku secara umum. Sedangkan hadis Nabi yang
menyatakan bahwa tidak boleh diperlakukan qishas tersebut adalah ketika orang muslim
membunuh orang kafir harbi, bukan dzimmi.6
Al-Qaradhawi lebih cenderung untuk mengambil pendapat yang kedua, dengan
menyatakan bahwa kasus ini pernah terjadi di zaman pemerintahan Ali Bin Abi Tholib. Dilaporkan
kepada Khalifah Ali bahwa seorang muslim telah membunuh ahl adz-dzimmah, dengan bukti-
bukti yang sudah jelas. Khalifah Ali memerintahkan untuk diberlakukan hukum qishas kepada si
pelaku pembunuhan, sambil mengatakan” barang siapa yang berada di bawah jaminan kita, maka
6 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairu, h 12.
110
darah dan nyawanya seperti kita”.7Pendapat yang dikuatkan oleh al-Qaradhawi ini lebih tepat
untuk diikuti di masa sekarang, meskipun berbeda dengan kebanyakan ulama, namun pendapat ini
masih pendapat dukungan dari sebagian ulama, seperti Abu Hanifah dan murid-muridnya. Dan
kaedah yang selalu dipakai adalah mengambil pendapat yang terbaik, meskipun cuma sedikit yang
mengatakannya.
Untuk masalah kebebasan ahl adz-dzimmah dalam hak kepemilikan harta benda, al-
Qaradhawi terlihat berani memberikan hak yang lebih untuk mereka. al-Qaradhawi menyatakan
bahwa umat Islam tidak boleh memiliki minuman keras serta binatang babi, namun untuk ahl adz-
dzimmah hal ini dibolehkan. Al-Qaradhawi membahas ini karena mengingat ada perbedaan jenis
harta diantara orang muslim dengan orang non-muslim. Minuman keras dan binatang babi tidak
boleh dimiliki oleh orang Islam, baik untuk dirinya atau diperjual belikan, karena keduanya tidak
dikatagurikan harta bagi orang muslim, dan bagi siapa yang merusak kedua benda tersebut dari
orang Islam, maka tidak ada sanksi yang akan dijatuhkan, bahkan orang tersebut mendapatkan
pahala, karena melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Namun, hal tersebut tidak berlaku
jika minuman keras dan binatang babi tersebut dimiliki oleh non-muslim, kedua benda tersebut
merupakan harta milik mereka dan barang siapa merusaknya maka wajib menganti rugi atas
kerusakan tersebut).18
Meskipun pendapat yang ditawarkan oleh al-Qaradhawi, tentang harta ahl adz-dzimmah ini
bukan pendapat mayoritas ulama, akan tetapi pendapat inilah yang paling sesuai untuk masa
sekarang, sebagai penetralisir atas tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa ketika hukum Islam
diterapkan di sebuah Negara, maka orang-orang nonmuslim akan dikesampingkan dan dizalimi.
7 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairu, h 12.
8 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairu, h 15.
111
Pendapat ini sekaligus menjelaskan bahwa agama Islam, selain memberikan kebebasan terhadap
akidah mereka yang berbeda agama, juga memberikan kebebasan kepada mereka untuk memiliki
atau melakukan sesuatu yang berbeda dengan agama Islam dengan syarat tidak menyinggung dan
menyakiti perasaan umat Islam.
Jaminan hari tua bagi ahl adz-dzimmah yang ditawarkan al-Qaradhawi juga merupakan
bentuk pengamalan sejarah yang terjadi di masa kepemimpinan Umar Ibn Khattab. Pemerintahan
yang menerapkan nilai-nilai keislaman adalah pemerintahan yang memperhatikan kesejahtraan,
menjamin kecukupan pangan, tempat tinggal serta kesehatan bagi seluruh rakyatnya, tidak ada
perbedaan antara yang muslim dengan nonmuslim, karena agama Islam adalah rahmat bagi
semesta alam. Pemberlakuan jaminan hari tua atau jaminan kemiskinan bagi seluruh
rakyat,memang memiliki dampak yang kurang baik bagi sebagian orang, karena akan
menyebabkan orang tersebut malas bekerja dan cuma mengharap jaminan tersebut. Namun, semua
bisa diantisipasi dengan menetapkan beberapa aturan, misalkan dia harus bekerja sekian tahun,
atau telah melaksanakan tugas-tugasnya, sebagaimana diisyaratkan oleh perkataan Khalifah
Umar” kita menarik jizyah ketia ia muda”, menunjukkan bahwa ketika muda dan tidak miskin, ia
sudah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai pembayar jizyah. Dana pensiun untuk pegawai
negri sipil serta karyawan perusahan, merupakan sesuatu yang menarik untuk ditelaah lebih
mendalam, mengingat esinsinya sangat mirip dengan ajaran Islam, dengan harapan yang
mendapatkan dana tersebut lebih menyeluruh dan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.
Menurut al-Qaradhawi, meskipun ahl adz-dzimmah sudah mendapatkan hak yang
begitu banyak, mereka harus tau batasan-batasan mereka, terutama maslah perasaan umat Islam,
ia mengharapkan agar ahl adz-dzimmah selalu memperhatikan perasaan umat Islam. Oleh karena
itu, mereka dilarang untuk menampakkan salib serta syia’r agama mereka (selain hari raya mereka)
112
di daerah yang mayoritasnya umat Islam. Mereka juga dilarang membangun gereja di tempat
tersebut. Menurut al-Qaradhawi, pembangunan gereja tersebut akan menyakitkan perasaan umat
Islam, dan akan membawa kepada fitnah serta kekacawan. Namun, al-Qaradhawi juga
menyebutkan, bahwa sebagian ulama juga ada yang memiliki pendapat yang berbeda dengan
dirinya. Mereka berpendapat, bahwa pembangunan gereja atau tempat-tempat ibadah agama selain
Islam tetap diperbolehkan apabila Imam mengizinkan pembangunan tersebut, karena
kemaslahatan yang diperhatikan Islam.9
Al-qaradhawi tetap memberikan hak yang sesuai dengan kebutuhan ahl adz-dzimmah.
Apabila sebuah tempat banyak nonmuslim yang tinggal disana, dan kebutuhan mereka terhadap
tempat ibadah sangat besar, maka mereka dipersilahkan untuk membangun tempat ibadah, dengan
tetap memperhatikan perasaan umat Islam di sana, seperti besar bangunannya hanya sesuai dengan
kebutuhan, tidak lebih besar dari masjid, dan harus mendapat izin dari penguasa muslim. Namun,
jika nonmuslim yang tinggal di sana hanya sedikit, maka tidak dibenarkan membangun tempat
ibadah tersebut.
Apabila sebuah kota mayoritasnya nonmuslim, maka tidak ada larangan untuk
mendirikan atau memperbesar tempat ibadah mereka. Al-qaradhawi menyebutkan, bahwa
kebanyakan gereja yang berdiri di Mesir dibangun pada masa pemerintahan Islam, dan khalifah
pada waktu itu mengizinkan pembangunan tersebut. Ketika sebuah daerah mayoritasnya
nonmuslim, mereka juga dipersilahkan untuk menampakkan syia’r agama mereka. Karena yang
demikian itu, tidak akan berbenturan dengan perasaan umat Islam.
Pendapat yang dibawakan oleh al-Qaradhawi ini juga mendapat penolakan dari sebagian
ulama, terlebih lagi ulama yang punya pemikiran keras. Ismail Ibnu Muhammad dalam kitabnya
9 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 20-21.
113
yang berjudul “Hukum membangun gereja dan tempat-tempat kesyirikan di Negara muslim”,
menyatakan, bahwa Para ulama telah sepakat haramnya membangun gereja-gereja di negeri-negeri
Islam dan wajib menghancurkannya apabila telah dibangun. Dan sesungguhnya membangunnya
di semenanjung Arab, seperti Najed, Hijaz, negera-negara teluk, dan Yaman, lebih berat dosa dan
lebih besar kesalahan, karena Rasulullah menyuruh mengeluarkan kaum Yahudi dan Kristen, serta
kaum musyrik dari semenanjung Arab, dan melarang dua agama ada padanya, dan dalam hal ini
para sahabat mengikutinya.Tatkala Umar diangkat menjadi khalifah, dia mengusir kaum Yahudi
dari Khaibar, karena mengamalkan sunnah ini. Semenanjung Arab adalah tempat kelahiran Islam,
daerah tujuan para dai, dan tempat kiblat kaum muslimin, karena itu tidak boleh dibangun padanya
tempat ibadah, selain tempat ibadah kepada Allah Sebagaimana juga tidak boleh menetap di sana
orang yang menyembah selain kepada-Nya.10
Pengharaman untuk membangun tempat ibadah agama lain dengan dalil pengusiran nabi
Muhammad terhadap kaum Yahudi, harus ditelaah lebih mendalam. Hal ini disebabkan
penghianatan orang Yahudi terhadap umat Islam yang menjadikan mereka berstatus kafir harbi.
Sebuah kezaliman ketika menyamakan orang yang memusuhi Islam dengan orang yang tidak
memusuhinya. Pendapat ini juga harus dibandingkan dengan perintah nabi Muhammad saw, ketika
mengutus pasukan perang agar jangan menghancurkan tempat ibadah nonmuslim. Dan sesuatu
yang tidak masuk akal, ketika kita mengatakan bahwa Islam memberikan kebebasan kepada agama
lain untuk melaksanakan ibadahnya, namun di sisi lain Islam melarang pembangunan tempat
ibadah mereka.
10 Ismail Ibnu Muhammad, Hukum Membangun Gereja dan Tempat-tempat Kesyirikan di Negara Muslim,
terjemah;Muhammad Iqbal Ghazali ( Islam Hous,1988 ), h 4.
114
Dari penjelasan di atas, terlihat pendapat al-Qaradhawi lebih sesuai dan lebih bijaksana
dalam menyikapi permasalahan ini, sehingga pendapat inilah yang lebih sesuai untuk zaman
modern ini. Dimana kaum mayoritas harus menjaga dan memberikan hak yang layak bagi kaum
minoritas, sedangkan kaum minoritas harus tetap menghormati perasaan kaum mayoritas.
Pendapat al-Qaradhawi ini, sangat perlu untuk diaflikasikan dalam kehidupan
bernegara. Ketika ada wacana untuk pembangunan sebuah tempat ibadah agama lain, umat Islam
harus bersikap dewasa dalam menanggapi masalah ini. Mereka tidak dibenarkan langsung
menolak tanpa mengamati situasi dan kondisi yang menyebabkan adanya wacana tersebut. Apabila
tempat tersebut memang banyak nonmuslim serta sangat memerlukan dengan tempat ibadah, maka
sebaiknya umat Islam di daerah tersebut memberikan izin untuk pembangunannya. Namun, jika
tempat tersebut hanya sedikit nonmuslim yang tinggal, maka pembangunan tersebut tidak boleh
diizinkan. Hal ini akan membawa fitnah, karena pembangunan tersebut hanya menarik orang
nonmuslim untuk berdatangan kedaerah tersebut, dan akan menyakitkan perasaan umat Islam.
Mengingat apa yang dibawakan oleh al-Qaradhawi ini, semuanya untuk menjaga
perasaan umat Islam, maka akan berbeda satu daerah dengan daerah lain sesuai dengan tingkat
sensitifitas umat Islam di daerah tersebut, dan bagi ahl adz-dzimmah yang hidup di lingkungan
tersebut harus arif dan bijak untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar, sehingga
tidak ada gesekan yang merugikan serta menghancurkan keharmonisan hubungan mereka.
Ketika aturan sebuah Negara seperti Indonesia yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan ditambahkan dengan asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ini menunjukkan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara yang sangat menghormati dan menghargai agama tanpa
mengadakan diskriminasi atau pembedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Setiap
agama menerima hak dan fasilitas, perlindungan serta kesempatan yang sama. Negara Indonesia
115
juga tidak menghalang-halangi hubungan keagamaan antara warga negaranya dengan bangsa-
bangsa lain atau pusat-pusat keagamaan demi kemajuan agama yang bersangkutan. Pelaksanaan
kehidupan keagamaan tersebut diharapkan dapat membawa persatuan dan kesatuan bangsa,
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, yang adil dan beradab, menumbuh kembangkan kehidupan
demokrasi yang sehat, serta membawa seluruh bangsa Indonesia menuju terwujudnya kehidupan
yang berkeadilan sosial.11
Untuk permasalahan kebebasan pendapatkan pekerjaan bagi ahl adz-dzimmah, pendapat
yang dibawakan al-Qaradhawi merupakan pendapat yang paling toleran dibandingkan dengan
pendapat-pendapat yang lain. Kebebasan untuk mendapatkan pekerjan bagi ahl adz-dzimmaah
merupakan hal yang diperdebatkan oleh ulama di masa lalu, mereka terbagi menjadi tiga pendapat;
1. Tidak memperbolehkan kepada ahl adz-dzimmah untuk memegang satu jabatan apapun dalam
pemerintahan, meskipun jabatan tersebut terbilang kecil, dan meskipun umat Islam berhajat untuk
mengangkat mereka. Pendapat ini menurut Ibnu Qayyim adalah pendapat jumhur ulama, yang
sependapat dengan ini Ibnu Muflih, Al-jasshas dari mazhab Hanafi, Al-qurthubi dari mazhab
Maliki, Abu Umamah Ibnu An-naqqash dari mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazam dari Az-zhahiri.
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa ahl adz-dzimmah pada mulanya tidak diperbolehkan untuk
memegang satu jabatanpun, namun apabila umat Islam memerlukan untuk mengangkat mereka
menjabat sebuah jabatan, maka hal ini diperbolehkan. Ulama yang sependapat dengan ini adalah
Ibnu Hammam dala kitab fathu al-qadir.
3. Pendapat ketiga, menyatakan bahwa ahl adz-dzimmah pempunyai hak untuk menjabat jabatan
apapun dalam pemerintahan, asalkan jangan ada hubungan dengan masalah keagamaan. Pendapat
11 Armaidy A’rmawi, Pemikiran Filosofis Hubungan Agama dan Negara di Indonesia (Desertasi tidak
diterbitkan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,2009) h 12.
116
ini banyak dipegang oleh para pemikir dan ulama kontemporer, seperti Abu A’la al-Maududi dan
Abul Karim Zidan.12
Pendapat ketiga inilah yang dipegang oleh al-Qardhawi, meskipun berbeda dengan
kebanyakan ulama, namun ia berpendapat inilah yang paling relevan untuk masa sekarang karena
dalil yang tidak membolehkan tersebut seperti dilarang menjadikan orang kafir awliaya atau teman
setia, masih ada kemunkinan hal tersebut adalah kasuistik, karena orang kafir pada masa itu sangat
memusuhi orang Islam.
Menurut Abdul Karim Zidan, di zaman sekarang Negara arab sudah tidak
memeberikan batasan kepada ahl adz-dzimmah dalam mencari pekerjaan, perbedaan agama sudah
tidak menjadi syarat dalam mencari pekerjaan, dengan catatan pekerjaan tersebut bukan hal-hal
berkaitan dengan ibadah umat Islam.13
Toleransi yang diajarkan oleh al-Qaradhawi memang sangat sesuai untuk persatuan
ummat manusia, namun menurut sebagian ulama pemahaman seperti mempunyai sisi negatif bagi
umat Islam sendiri. Majid Ibnu Shaleh menyebutkan, salah satu yang menyebabkan runtuhnya
kekhalifan Islam, serta tidak berlakunya lagi hukum-hukum Islam di sebuah Negara yang
mayoritasnya muslim, karena diberikannya toleransi yang berlebihan terhadap ahl adz-dzimmah,
mereka diperbolehkan menjabat jabatan yang strategis, sehingga mereka dapat menentukan
kebijakan-kebijakan sebuah Negara Muslim.14
Al-Qaradhawi, ketika memberikan toleransi terhadap ahlu ad-dzimmah, dipastikan
tidak menginginkan hal ini terjadi, ia cuma berusaha untuk memberikan hak dan kewajiban kepada
12 Majid Ibnu Shalih, Dauru Ahlu ad-Dzimmah fῑ Iqshầi as-Syari’ah, (Mesir; Darul Huda an-Nabawi,
2007), h 33-34.
13 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h 83.
14 Majid Ibnu Shalih, Dauru, h 18.
117
ahlu ad-dzimmah sesuai dengan porsinya. Adapun menempatinya ahlu ad-dzimmah posisi-posisi
yang strategis di dalam pemerintahan Islam, menurutnya disebabkan lemahnya ummat Islam dari
segi ilmu pengetahuan, sehingga menyebabkan mereka kalah bersaing dengan ahlu ad-dzimmah.
Pendapat al-Qaradhawi terlihat kuat, karena kita dituntut untuk berbuat adil meskipun
kepada orang yang berbeda keyakinan dengan kita, ketika mereka mempunyai hak yang boleh
mereka ambil, kita diperintahkan untuk memberikannya. Dan ketika kita dituntut untuk bersaing
dengan mereka, maka kita harus menjalani persaingan tersebut dengan sehat dan tidak boleh
mengurangi hak-hak mereka. Ditambah lagi penyebab keruntuhan khilafah islamiah bukan hanya
disebabkan oleh satu sebab. Menurut Majid Ibnu Shaleh sendiri, kehancuran khilafah islamaiyah
karena disebabkan banyak faktor, di antaranya;1, daulah ustmaniyah( khilafah islamiyah terakhir)
terfokus sebagai Negara militer, dan banyak bertentangan dengan ajaran Islam, 2, dipengaruhi oleh
kekuatan asing, 3, kemewahan kehidupan para pemimpin, 4, kurangnya perhatian sultan terhadap
keamanan wilayah kekuasaannya. 5, terlalu luas daerah kekuasaan, yang menyebabkan sangat sulit
untuk mengatur dengan baik, 6, pasukan salib dari eropa yang sangat menginginkan untuk
menguasai khilafah usmaniyah, 7, kelalain daulah ustmaniyah dalam memperhatikan kemajuan
peradaban mereka, serta kurang perhatian mereka terhadap ilmu pengetahuan.15
Meskipun al-Qaradhawi memberikan kebebasan yang luas bagi ahl adz-dzimmah
untuk pendapatka pekerjaan, ia tetap memberikan pengecualian terhadap trnsaksi riba. Transaksi
riba mendapatkan perhatian khusus, karena bahaya yang ditimbulkan oleh transaksi ini akan
merusak masyarakat, bangsa bahkan dunia. Transaksi ini dipastikan akan membuat kesejahteraan
manusia tidak akan merata, yang kaya akan bertambah kaya dengan menikmati jerih payah yang
miskin, dan yang miskin akan sangat susah untuk bisa hidup sejahtera. Karena begitu berbahaya
15 Majid Ibnu Shalih, Dauru, h 35.
118
transaksi ini, Islam memberikan ancaman yang sangat keras bagi pelaku riba, dengan menyatakan
bahwa orang yang melakukan transaksi ini adalah orang yang berperang melawan Allah dan
rasulNya, ditambah lagi Allah akan menghancurkan harta yang dihasilkan dari riba tersebut, dan
akan bangkit dari kubur seperti orang yang kerasukan.
Al-Qaradhawi memberikan bab khusus ketika membahas peran ahl adz-dzimmah
dalam pemerintahan. Ia menyebutkan hak ahl adz-dzimmah dalam menjabat sebuah jabatan di
Negara muslim sama haknya dengan orang Islam, ada beberapa jabatan yang memang tidak
diperbolehkan untuk ahl adz-dzimmah, karena jabatan tersebut sangat erat hubungannya dengan
agama Islam. Jabatan tersebut seperti menjadi khalifah, presiden, pemimpin pasukan perang,
hakim dalam urusan agama Islam, amil dalam pemungutan zakat dan sebagainya.16
Alasan ahl adz-dzimmah tidak diperbolehkan memegang jabatan ini karena jabatan
tersebut sangat berkaitan dengan akidah Islam. Jabatan khalifah menurut al-Qaradhawi, adalah
sebuah jabatan yang menggantikan posisi nabi Muhammad saw, sehingga sangat tidak mungkin
jabatan tersebut dipegang oleh nonmuslim, ditambah lagi secara kebiasaan kelompok mayoritaslah
yang memimpin kelompok minoritas. Adapun jabatan pemimpin perang, dalam pandangan Islam
adalah ibadah, karena perang membela agama dan Negara dalam pandangan Islam adalah jihad,
sehingga jabatan ini sangat tidak layak dipegang oleh nonmuslim. Sedangkan jabatan hakim dalam
urusan agama Islam atau petugas zakat, sangat jelas bahwa ini harus dipegang oleh orang Islam,
karena masalah ini cuma ada di dalam agama Islam.17
Al-Qaradhawi, sudah memberikan alasan yang rasional dalam membatasi jabatan
yang dipegang oleh ahl adz-dzimmah, sehingga diharapkan orang muslim dan nonmuslim yang
16 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 23
17 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 24
119
mengetahui permasalahan ini, tidak lagi menganggap bahwa ini adalah suatu kesalahan yang harus
diperbaiki. Kecuali orang yang hanya menginginkan persamaan, tanpa memandang aspek-aspek
yang lain. Orang tersebut akan cenderung menyalahkan batasan-batasan yang diberikan oleh al-
Qaradhawi ini.
Menurut Abdul Karim Zidan, batasan jabatan yang diberikan Islam terhadap ahl adz-
dzimmah, bukan hal yang aneh, karena jabatan dalam Islam adalah taklif bukan hak. Dan sebuah
Negara mempunyai wewenang untuk memberikan syarat-syarat tertentu bagi orang yang akan
memegang jabatan tersebut. Mengingat jabatan ini sangat erat hubungannya dengan akidah Islam,
maka selayaknya jabatan tersebut dipegang oleh umat Islam.18
Dalam sirah nabawiyah, banyak perbuatan nabi Muhammad saw yang
mempekerjakan nonmuslim dalam urusan kenegaraan, seperti nabi Muhammad saw, mewajibkan
kepada tawanan perang badar yang tidak punya uang tebusan untuk mengajari baca tulis kepada
sepuluh orang anak madinah. Dalam sirah nabawiyah juga disebutkan, bahwa nabi Muhammad
saw di tahun keenam hijriah mengutus seorang mata-mata dari bani Khuza’h untuk mencari
khabar tentang kafir Quraiys. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang berkaitan dengan
kenegaraan boleh saja diberikan kepada nonmuslim, selama mempunyai keahlian dalam bidang
itu dan bisa dipercaya.19
Dari fakta sejarah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Islam adalah agama
yang memberikan kebebasan untuk pemeluk agama lain dalam menjabat sebuah jabatan. Mereka
boleh barsaing dengan orang Islam, bahkan mereka boleh lebih banyak mendapatkan jabatan
tersebut dari pada orang Islam. Meskipun hal ini menunjukkan lemahnya kuwalitas kebanyakan
18 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h 78-79.
19 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h 79-80
120
umat Islam waktu itu, sehingga mereka kalah bersaing dengan nonmuslim. Hal ini tidak perlu lagi
terjadi, karena Islam menuntut umatnya untuk selalu maju, baik untuk perkara dunia maupun
akhirat.
Dari uraian di atas, juga di ambil kesimpulan, bahwa tidak ada masalah ketika sebuah
Negara yang mayoritasnya muslim, namun yang menjabat jabatan gubernur, wali kota, bupati dan
camat sebagiannya adalah nonmuslim, selama mereka tidak menaruh kebencian dengan Islam
serta memiliki kemampuan dan amanah untuk jabatan tersebut. Meskipun sebagai orang Islam,
kita perlu prihatin, karena kemunduran yang dimiliki orang Islam sekarang ini tidak boleh
dibaiarkan berlarut-larut. Suatu yang menyedihkan, apabila seorang gubernur yang beragama
Islam namun tersandung kasus korupsi, sedangkan di sisi lain, nonmuslim yang menjabat jabatan
gubernur sangat jauh dari perbuatan haram tersebut.
B. Kewajiban Ahl-adz-Dzimmah
Sebagaimana ahl adz-dzimmah memiliki hak yang harus dipenuhi oleh Negara muslim,
mereka juga punya kewajiban yang harus mereka lakukan. Kewajiban mereka ada tiga macam;
- Kewajiban membayar sejumlah harta yang telah ditetapkan.
- Kewajiban mentaati hukum Islam dalam urusan perdata lainnya(di luar urusan memeluk agama
dan hal-hal yang bersifat pribadi).
- Menghormati syiar-syiar Islam dan tempat-tempat suci orang Islam
Salah satu kewajiban ahl adz-dzimmah adalah membayar jizyah kepada Negara muslim yang
melindungi mereka. Menurut al-Qaradhawi, jizyah adalah pajak tahunan yang diambil dari setiap
laki-laki yang sudah balig dan mampu dari ahl adz-dzimmah. Sedangkan orang fakir dari kalangan
ahl adz-dzimmah tidak dibebani sediktpun dari jizyah ini. Besar atau kecilnya jizyah tersebut
121
menurut al-Qaradhawi adalah kebijakan pemimpin, dan harus ada perbedaan antara yang kaya
raya, menengah dari segi kekayaan, dan paling rendah dari segi kekayaan. Khalifah Umar
menerapakan ukuran jizyah menurut tiga tingkatan, ahl adz-dzimmah yang kaya raya harus
membayar 48 dirham setiap tahun, orang yang menengah dari segi kekayaan harus membayar 24
dirham pertahun, dan orang yang paling rendah dari kekayaan cuma diwajibkan membayar 12
dirham pertahun.20
Amir Abdul Aziz, mempunyai pempunyai pembagian yang berbeda tentang tingkatan
orang yang membayar jizyah, ia membagi menjadi tiga kelompuk, yaitu orang kaya, menengah
dan orang miskin. Orang kaya menurutnya setiap tahun wajib membayar 4 dinar setiap tahun,
orang yang menengah, diwajibkan membayar 2 dinar setiap tahun, sedangkan orang miskin wajib
membayar 1 dinar pertahun.21
Perbedaan jumlah penarikan jizyah tersebut karena perbedaan kebijakan yang diambil
oleh pemimpin waktu itu, sekiranya Negara waktu itu memerlukan pemasukan yang banyak,
sehingga jumlah penarikannya juga berbeda-beda. Namun, pembagian yang menyebutkan bahwa
orang miskin wajib membayar jizyah, terlihat tidak kuat dibandingkan pendapat yang mengatakan
bahwa mereka tidak wajib membayar jizyah.Dalam sebuah riwayat Khalifah Umar Ibnu al-Khattab
melihat beberapa orang ahl adz-dzimmah diberi sanksi dengan cara di jemur di terik matahari,
Umar bertanya kepada para penjaga; apa yang telah mereka lakukan?, para penjaga menjawab
bahwa mereka tidak membayar jizyah, Umar bertanya lagi; apa alasan mereka tidak
membayarnya?, para penjaga menjawab; mereka beralasan tidak memiliki harta, Umar berkata
biarkan mereka bebas, kita tidak membebani kepada mereka sesuatu yang mereka tidak mampu.22
20 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 34.
21 Amir Abdul Aziz, Iftiraat, h 30
22 Muhammad al-Ghazali, At-tasamuh, h 40.
122
Jizyah yang dibayar oleh ahlu ad-dzimmah sebagai pengganti keikut sertaan mereka
dalam membela Negara, menurut para ulama boleh diganti dengan nama lain, sesuai apa yang
diinginkan oleh ahlu ad-dzimmah, seperti sadakah, hibah dan lain sebagainya.23Karena menurut
pendapat yang benar, jizyah bukanlah sanksian yang diberikan Negara Islam terhadap ahlu ad-
dzimmah, tetapi sebagai pengganti atas ketidak ikut sertaan mereka dalam membela Negara.
Adapun kewajiban membayar jizyah untuk masa sekarang, menurut Abdul Karim Zidan
sudah tidak berlaku lagi, mengingat kebanyakan ahlu ad-dzimmah sudah ikut serta dengan orang
Islam membela negaranya24, dan hal ini merupakan salah satu yang menyebabkan kewajiban
tersebut tidak berlaku lagi. Meskipun hal ini sudah tidak diberlakukan lagi, namun tetap penting
untuk dibahas, mengingat kebanyakan ulama menganggap, bahwa penarikan jizyah tersebut
merupakan bentuk sanksi yang diberikan oleh Negara Islam kepada ahl adz-dzimmah, karena tidak
mau masuk agama Islam.25
Pendapat yang mengatakan bahwa penarikan jizyah tersebut adalah sanksi, sangat
berbenturan dengan nilai-nilai Islam, yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk
agama Islam, ditambah lagi dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat nabi dengan ahl adz-
dzimmah, sama sekali tidak ada mengisyaratkan bahwa jizyah tersebut adalah sanksi yang
diberikan oleh Negara Islam. Pendapat seperti ini muncul, kemunkinan besar karena adanya
konplik antara orang Islam waktu itu dengan nonmuslim, sehingga menyebabkan ada penafsiran-
penafsiran yang keluar dari esinsi Islam sesungguhnya.
Kewajiban berikutnya adalah membayar kharraj. Kharraj merupakan pengganti zakat
yang dibebankan kepada orang islam dari hasil tanah mereka(zakầtu az-ziȓa’h). Pendapat yang
23 Amir Abdul Aziz, Iftiraat, h 32.
24 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h 157
25 Abdul Karim Zidan, Ahkam, h 146.
123
kuat juga mengatakan bahwa penarikan kharraj ini tergantung dengan kebijakan imam, banyak
atau sedikitnya penarikan tersebut harus dilihat dari hasil bumi tersebut.26
Al-Qaradhawi mengutip pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa kharraj
tetap dibebankan kepada ahl adz-dzimmah, meskipun telah masuk islam. Berbeda dengan jizyah,
ketika seorang ahl adz-dzimmah menyatakan diri memeluk agama islam, maka kewajiban tersebut
sudah tidak ada lagi. Kebanyakan ulama juga berpendapat bahwa ahl adz-dzimmah yang tidak mau
memeluk agama Islam, selain dibebani membayar kharraj tersebut, mereka juga wajib membayar
sepersepuluh dari hasil bumi tersebut.27 Namun, pendapat ini diakui Al-Qaradhawi berbeda dengan
pendapat Abu Hanifah, yang menyatakan bahwa ahl adz-dzimmah cuma berkewajiban membayar
kharraj, sedangkan kewajiban membayar sepersepuluh dari hasil bumi hanya diwajibkan kepada
orang Islam sebagai zakat dari hasil tanaman mereka.28
Menurut penulis, pendapat yang dinyatakan oleh Abu Hanifah lebih sesuai untuk masa
sekarang ini, keadilan yang merupakan pilar agama Islam lebih terlihat jelas. Orang Islam
diwajibkan membayar zakat dari hasil tanaman mereka, sebagai bentuk ketaatan mereka terhadap
agama, serta peran mereka dalam membangun Negara. Adapun ahl adz-dzimmah, tidak ada
kewajiban membayar zakat, karena itu ibadah orang Islam, namun mereka tetap dituntut untuk ikut
serta dalam membangun Negara tersebut dalam bentuk membayar kharraj.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban membayar kharraj bagi
ahl adz-zimmah, dan membayar zakat bagi orang Islam adalah merupakan aturan Islam yang harus
dilakukan setiap manusia yang hidup disebuah Negara. Karena dengan aturan ini manusia bisa
saling berbagi, serta ikut berperan dalam membangun serta memajukan negaranya. Bahkan
26 Abdul Karim Zidan, Ahkam, 160-162.
27 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairut, h 35.
28 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairut h 36.
124
kemunkinan besar aturan inilah yang mengilhami setiap Negara yang ada di dunia untuk menarik
pajak dari setiap orang yang hidup di Negara tersebut.
Namun yang menjadi pertanyaan, ketika ahl adz-dzimmah telah masuk islam, mengapa
mereka tetap dibebani untuk membayar kharraj?. Bahkan Al-Qaradhawi mengikuti pendapat ini.
Menurut penulis, al-Qaradhawi dalam hal ini tidak menemukan pendapat yang berbeda untuk
masalah ini, sehingga ia tidak mengutarakan pendapat yang lain dan mengikuti pendapat ini,
mengingat al Qaradhawi tidak pernah berbeda pendapat dengan para ulama kecuali ia mengatakan
bahwa ada sebagian ulama yang berbeda pendapat dengan mereka dan ia mengikuti pendapat
tersebut.
Salah satu kewajiban yang harus dibayar oleh ahl adz-dzimmah yang memiliki perdangan
adalah pajak perdangan. Kewajiban ini mulai berlaku ketika Syaidina Umar menjabat sebagai
khalifah.29 Pajak perdagangan yang diwajibkan oleh Khalifah Umar adalah pengganti dari zakat
perdagangan yang diwajibkan kepada umat Islam, sebagai bentuk keikut sertaan para pedagang
dalam berbagi terhadap sesama, karena agama Islam adalah agama yang tidak menyukai bahwa
harta kekayaan hanya berputar dikalangan orang kaya saja. Oleh karena itu harus ada aturan yang
mengatur perputaran harta tersebut, sehingga bisa dinikmati oleh orang lain. Salah satu aturan
tersebut adalah kewajiban membayar zakat perdagangan bagi umat Islam, dan membayar pajak
perdagangan bagi ahl adz-dzimmah.
Namun, ketika mengamati jumlah penarikan pajak perdagangan ahl adz-dzimmah,
terlihat ada perbedaan jumlah penarikan terhadap orang Islam, ahl adz-dzimmah berkewajiban
membayar 5% dari jumlah harta perdagangannya, sedangkan umat Islam hanya membayar 2,5%.
Hal seperti ini dipastikan akan mendapatkan respon negatif dari para pemikir yang mencari
29 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairut h 40.
125
kesalahan agama Islam. Dan umat Islam yang membahas masalah ini juga harus berhati-hati, agar
tidak menyebabkan kesalah pahaman yang menjauhkan nilai-nilai keadilan yang dibawa agama
Islam.
Al-Qaradhawi berusaha menjelaskan kepada kita latar belakang terjadinya berpedaan
penarikan harta tersebut dengan mengutip beberapa pendapat ulama. Pendapat pertama, ia
mengutip pendapat Abu Ubaid, yang menyatakan bahwa penarikan 5% tersebut adalah
kesepakatan Umar dan ahl ad-dzimmah pada waktu itu, berarti penarikan 5% tersebut bukan sesuatu
yang pasti, namun bisa berubah-ubah. Pendapat kedua, menurut Ibnu Syihab, bahwa hal ini sudah
terjadi di zaman jahiliyah, dan Umar memberlakukan itu lagi. Pendapat ketiga, dikutip ulama
Hanafi, bahwa penarikan harta dari para pedagang ahl adz-dzimmah lebih banyak dari pedagang
muslim, disebabkan biaya yang dikeluarkan Negara untuk melindungi harta perdagangan ahl adz-
dzimmah lebih besar dari biaya perlindungan harta orang Islam, karena para pencuri lebih sering
mengintai harta ahl adz-dzimmah. Pendapat keempat, adalah pendapat Abu A’la al- Maududi, yang
menyatakan bahwa orang Islam waktu itu disibukkan untuk membela agama Islam, sehingga
hampir semua perdagangan dipegang oleh nonmuslim. Hal ini menyebabkan para ulama fiqih
waktu itu menambahkan jumlah harta yang diambil dari ahl adz-dzimmah, untuk menjaga
keseimbangan perdagangan waktu itu.30
Al-Qaradhawi meskipun telah menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang alasan
perbedaan penarikan jumlah harta tersebut, terlihat tidak puas dengan alasan-alasan tersebut,
bahkan ia memberikan kritikan terhadap pendapat kedua dan keempat, menurutnya Umar tidak
patut mengamalkan sesuatu yang berlaku dizaman jahiliyah. Adapun pendapat keempat,
menurutnya ketetapan 5% adalah ketetapan Umar, bukan ahli fiqih.
30 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairut, h 40-41.
126
Al-qardhawi lebih suka dengan alasan yang dibawakan oleh Dr. Abdul Karim Zidan,
yang menyatakan bahwa adanya perbedaan penarikan sejumlah harta antara orang Islam dan ahl
adz-dzimmah disebabkan kerena harta yang diambil dari ahl adz-dzimmah hanya dari harta
perdagangan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Adapun harta perdagangan mereka
yang ada negaranya tidak akan dihitung pajaknya, begitu juga harta simpanan mereka, seperti
emas, perak dan lainnya. Sedangkan pedagang muslim, meskipun hanya wajib membayar zakat
sebesar 2,5%, tetapi semua perdagannya dihitung, baik didalam negeri atau yang diluar negeri,
begitu juga harta simpanan mereka, semuanya dihitung untuk dizakati.31
Dari urain di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan pajak perdagangan terhadap ahl
adz-dzimmah yang dilakukan oleh Khalifah Umar, dan kemudian diikuti oleh para ulama sangat
jauh dari kezaliman. Meskipun persentasi penarikannya lebih banyak dari pada zakat orang Islam,
namun pada kenyataannya sangat memelihara keadilan antara sesama orang yang hidup di bawah
naungan Negara Islam. Ini adalah salah satu contoh keadilan agama Islam terhadap pemeluk
agama lain, serta pembuktian Islam bahwa tidak ada paksaan bagi agama lain untuk melakukan
ibadah. Karena zakat dalam Islam adalah ibadah, dan ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa
melakukan sesuatu yang tidak diyakininya, namun di sisi lain, mereka juga dituntut untuk ikut
berperan serta dalam membangun negaranya.
Kewajiban berikutnya yang harus dipatuhi oleh ahl adz-dzimmah adalah mentaati hukum
yang berlaku di Negara muslim. Meskipun ahl adz-dzimmah diwajibkan mentaati peraturan yang
ada di Negara Muslim, namun syariat Islam telah memberikan pengecualian terhadap mereka.
Menurut al-Qaradhawi, Islam juga memberikan kebebasan kepada mereka dalam urusan pribadi
atau bermasyarakat, untuk melakukan sesuatu yang dibolehkan oleh agama mereka, meskipun
31 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairut, h 42.
127
Islam mengharamkannya, seperti urusan perkawinan, perceraian, makan daging babi, meminum
khamar dan sebagainya. Islam tidak ikut campur dengan orang Majusi yang kawin dengan salah
satu muhrimnya, orang Yahudi yang kawin dengan putri saudaranya, atau Nasrani yang memakan
daging babi atau meminum khamar.32
Sangat terlihat jelas, bahwa pemikiran yang dibawakan oleh al-Qaradhawi tentang
aturan Islam terhadap ahl adz-dzimmah sangat toleransi, ketika Islam mengharamkan sesuatu,
namun agama yang dianut oleh ahl adz-dzimmah tersebut membolehkannya dan tidak bermudharat
bagi orang lain maka Negara yang menganut syariat Islam tersebut akan memperbolehkannya.
Kewajiban berikutnya yang harus dilakukan oleh ahl adz-dzimmah setelah
mendapatkan hak mereka adalah menghormati syiar-syiar Islam, tempat-tempat suci orang Islam
serta memelihara perasaan orang Islam. Al-Qaradhawi memberikan beberapa contoh untuk
kewajiban yang ketiga ini. Menurut al-Qaradhawi mereka dilarang mencela Islam, rasul umat
Islam dan kitab al-Quran secara terang-terangan. Mereka juga dilarang memasukkan akidah atau
pemikiran yang bertentangan dengan umat Islam, kecuali akidah yang telah lama ada di dalam
agama mereka.33
Apa yang dinyatakan oleh al-Qaradhawi, bahwa setiap penganut agama yang
berlindung di bawah naungan Negara Muslim tidak boleh memasukkan akidah baru, sangat sesuai
dengan apa yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan, bahwa
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hazairin Seorang Guru Besar Hukum
Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam bukunya Demokrasi
Pancasila, menyatakan bahwa;
32 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 43.
33 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 45.
128
1, Dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Nasrani bagi umat Nasrani atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi orang-
orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan Budha bagi orang-orang Budha.
2, Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani
bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syari’at tersebut
memerlukan perantaraan kekuasan Negara.
3, Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya, dan karena
itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban
pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya
masing-masing.34
Kewajiban selanjutnya yang harus mereka lakukan adalah tidak boleh menampakkan
kemaksiatan di depan umat Islam, seperti minum khamar, memakan babi atau menjualnya kepada
umat Islam. Mereka juga dilarang menampakkan makan dan minum di siang hari ramadhan,
karena semuanya itu memelihara perasaan umat Islam. Secara keseluruhan, setiap apa yang di
larang dalam ajaran Islam namun diperbolehkan dalam ajaran mereka, jika mereka ingin
melakukannya, maka mereka dilarang menampakkannya terhadap umat Islam. Tujuannya adalah
untuk saling menghormati antara sesama agama sehingga tercipta keamanan sebuah Negara.35
Sebagian aturan yang gariskan oleh Al-Qaradhawi, sudah terlaksana di beberapa daerah di
Indonesia, seperti perda tidak boleh membuka warung di siang hari ramadhan. Meskipun Islam
membolehkan agama lain bahkan bagi umat Islam sendiri yang musafir atau sakit, untuk makan
34 Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta: IBLAM, 2004), Cet 1, h 7.
35 Yusuf Al-Qaradhawi, Ghairu, h 45-46.
129
dan minum di siang hari ramadhan. Namun mereka dituntut untuk tidak terang-terangan
melakukannya, karena mereka harus menghormati perasaan yang berpuasa.
C. Keunikan Pemikiran Yusuf Al-qardhawi
Setiap ulama mempunyai metode tersendiri dalam memahami teks Al-quran dan hadis.
Itulah salah satu penyebab banyak ditemukannya perbedaan pendapat antara ulama yang satu
dengan yang lain. Al-Quran dan hadis merupakan sumber hukum dan panutan umat Islam dalam
menyikapi permasalahan-permasalahan umat Muslim, baik hubungan antara sesama Muslim atau
dengan nonmuslim.
Beberapa keunikan pemikiran Yusuf al-Qaradhawi di antaranya;
1. Menjauhi kejumudan dalam memahami teks Al-qur’an dan hadis, sekaligus tidak terlalu
bebas dalam memahaminya.
Al-Qardhawi merupakan salah satu ulama Muslim yang pemikirannya memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan umat Islam. Pemikirannya bisa diterima oleh
kebanyakan umat Muslim karena pemikirannya selalu mengedepankan kemaslahatan, menajuhi
kejumudan dalam berpikir, serta selalu berpegang dengan teks Al-quran dan hadis. Al-Qardhawi
juga selalu berusaha mencari jalan tengah dalam memahami teks Al-quran dan hadis. Al-Qardhawi
tidak terpaku dengan teks Al-quran dan hadis seperti kebanyakan ulama konserpatif, namun juga
tidak berlebihan dalam memahami konteks Al-quran dan hadis sebagaimana yang sering dilakukan
oleh para pemikir liberal, sehingga pendapatnya selalu berada di tengah-tengah yang sering disebut
dengan istilah “at-tayyar al-washatiah.”
130
Salah satu contoh bahwa al-Qardhawi tidak terpaku dalam memahami teks Al-quran ketika
ia membahas ayat tentang persiapan menghadapi musuh. Firman Allah Swt dalam Q.S. al-
Anfal/8:60
وا كم واعد ة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو هللا وعدو لهم ما استطعتم من قو
“Dan siapkanlah semampu kalian kekuatan dan kuda terlatih (supaya) kalian membuat takut
musuh Allah dan musuh kalian”.
Memurut al-Qardhawi kuda terlatih yang dimaksud dalam ayat tersebut untuk zaman
sekarang bisa dipahami sebagai senjata berlapis baja(tank) dan sejenisnya.36Di sisi lain al-
Qaradhawi mengingkari penafsiran yang bebas terhadap Al-quran, misalkan ketika membahas
masalah riba, al-Qaradhawi sangat menentang orang yang membolehkan riba meskipun berdalil
bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang banyak sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S.
al-Baqarah/2:130
با أضعافا مضاعفة يايها ال ذين أمنوا لتأكلوا الر
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda(banyak)”.
Menurutnya ayat tersebut merupakan metode Islam untuk mengahapus secara
berangsur-angsur sistem ribawi yang berlaku di zaman dulu seperti pengharaman meminum
khamar, dengan alasan ayat Al-qur’an yang terakhir turun memerintahkan untuk menjahui riba
meskipun sedikit37. Firman Allah Swt dalam Q.S.al-Baqarah/2:278
با ان كنتم مؤمنين وذروا ما بقي من الر
“Dan tinggalkan apapun yang tersisa dari riba jika kalian beriman”
36 Yusuf Al-qardhawi, Kaifa Natâmal ma’a as-Sunnah.(Kairo:Bank at-Takwa, 1981), h 140-141.
37 Yusuf Al-qardhawi, Kaifa Natâmal ma’a al-Quran, (Libanon:Darusyuruk, 2000). h 276-279.
131
Pendapat seperti ini mendapat pujian dari para ulama yang sejalan dengan pemikirannya,
sekaligus mendapat kritikan dari ulama yang menentangnya.
2. Selalu perpegang dengan pendapat ulama terdahulu
Al-qardhawi selalu mengutamakan maslahat dalam pendapatnya meskipun harus
berbenturan dengan pendapat jumhur ulama, namun al-Qaradhawi masih bisa mempertanggung
jawabkan pendapatnya dan tetap berusaha mengambil pendapat salah satu dari ulama terdahulu.
Ketika jumhur ulama berpendapat bahwa orang Islam yang membunuh orang kafir (baik harbi
atau dzimmi) tidak boleh diqishah (dihukum mati), ia cuma diwajibkan bayar diat. Al-qaradhawi
mempunyai pendapat lain, menurutnya yang tidak boleh dihukum mati dalam masalah ini adalah
orang yang membunuh kafir harbi, sedangkan orang yang membunuh kafir zdimmi diperbolehkan
untuk dihukum mati. Meskipun berbeda dengan pendapat jumhur ulama, al-Qardhawi mengatakan
bahwa pendapat ini juga pernah dibawakan oleh Abu Hanifah.38
3. Menolak kebanyakan pemikiran dari Barat
Salah satu pemikiran yang sangat nampak dari al-Qaradhawi adalah penolakannya
terhadap kebanyakan pemikiran-pemikiran yang datang dari Barat. Menurutnya orang Barat bukan
sekedar telah berhasil menjajah negeri Timur, namun mereka juga berhasil memerangi mereka
dengan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Sehingga menurutnya peperangan yang pernah
terjadi antara orang Timur melawan Barat bukan hanya dalam bentuk fisik, namun juga ada
peperangan dalam bentuk ideologi. Peperangan dalam bentuk yang terakhir ini lebih berbahaya,
karena kebanyakan orang tidak menyadari bahwa pemikiran mereka telah dikuasai.39
38 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairu , h 36.
39 Yusuf al-Qaradhawi, Sahwah al-Islâmîah wâ Humûm al-Wathan al-Araby, h145.
132
Apa yang disebutkan oleh al-Qaradhawi merupakan merupakan bentuk
keperihatinannya terhadap negeri Arab yang pada waktu itu selalu tunduk dan patuh terhadap
dominasi Barat. Bahkan yang membuatnya kecewa adalah banyaknya pelajar dari Arab yang
belajar ke negeri Barat, dan membawa seluruh pemikiran Barat dalam memehami agama Islam.
Dan ketika Mesir merdeka dari penjajahan, pemerintahan pada waktu itu lebih cenderung untuk
meniru sistem pemerintahan yang berlaku di negeri Barat. Padahal menurut al-Qaradhawi
kebanyakan dari sistem tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Meskipun al-Qaradhawi begitu menentang pemikiran yang datang dari Barat, ia tetap
memberikan ruang bagi pemikiran Barat yang menurutnya sesuai dengan syaria’t Islam. Karena
dalam Islam, sebuah hikmah adalah sesuatu yang harus dicari oleh orang Islam, meskipun harus
mendapatkannya melalui orang kafir.40
4. Memberikan istilah-istilah baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam
Dalam berbagai buku yang ditulisnya, al-Qaradhawi sering menawarkan istilah-istilah
baru, terutama dalam rangka pembaharuan fiqih. Istilah-istilah tersebut awalnya kurang populer di
lidah kaum Muslimin. Sehingga tidak jarang mengundang kritikan dari pengkaji Ilmu-ilmu
keislaman. Ia memperkenalkan istilah Fiqih Prioritas atau Fiqh Al-Aulawiyya, Fikih keseimbangan
atau Fiqh Al-Muwazanah, fiqih kekinian atau Fiqh Al-Waqi’, fiqh perbedaan pendapat atau Fiqh
Al-Ikhtilaf, dan beberapa istilah lain.
Dalam kajian fiqih prioritas, dalam bukunya, al-Qaradhawi tidak menyebutkan defenisi
yang komprehensif tentang apa yang dimaksudkannya dan tidak menyertakan dari mana defenisi
itu ia nukil. al-Qaradhawi hanya menulis,“Di Antara konsep terpenting dalam fiqh kita sekarang
ini ialah apa yang sering saya utarakan dalam berbagai buku saya, yang saya namakan
40 Yusuf al-Qaradhawi, Sahwah al-Islâmîah wâ Humûm al-Wathan al-Araby, h 79.
133
dengan"fiqh prioritas" (fiqh al-awlawiyyat). Sebelum ini saya mempergunakan istilah lain
dalam buku saya, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yaitu fiqh urutan
pekerjaan (fiqhmaratibal-a'mal). Yang saya maksud dengan istilah tersebut ialah meletakkan
segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya.
Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang
shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.41
5. Selalu fokus dengan fiqih prioritas
Al-Qaradhawi menitik beratkan kajian fiqih prioritas ini pada urutan amal yang
semestinya diutamakan atau didahulukan. Sehingga sesuatu yang tidak
penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan
atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat(marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu
yang kuat (rajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama,
atau yang paling utama. Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang
semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu
yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya
dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang.
Salah satu pemikiran al-Qaradhawi yang dianggap penulis sebagai sesuatu yang unik
adalah pendapat al-Qaradhawi bahwa setiap umat islam harus memperhatikan dengan seksama apa
saja yang disebutkan Al-quran, apabila sesuatu tersebut disebutkankan berulang-ulang dalam Al-
quran itu berarti harus lebih diperhatikan daripada permasalahan yang hanya disebutkan satu kali.
Ia membandingkan antara ayat tentang berwdhu yang cuma disebutkan satu kali, dengan ayat yang
41 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhu al-Awlawiyât, Dirâsah Jadîdah fî Dhaui al-Qur’an wa as-
Sunnah,(Kairo:Maktabah Wahbah, 1986), h 9.
134
memerintahkan umat Islam untuk membela dan mempertahankan agamanya yang disebutkan
berkali-kali. Menurutnya mempelajari tata cara berwudhu adalah sesuatu yang penting, namun
sesuatu yang lebih penting lagi adalah mempelajari mempertahankan dan membela agama islam
dari gangguan musuh.42Pemahan seperti ini akan membuka kesadaran umat Islam untuk
mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan alam semesta, karena semuanya
sangat sering diisyaratkan dalam Al-quran, karena Al-quran menganggap mengamati alam
semesta akan menuntun manusia mengenal keagungan sang pencipta.
6. Menggabungkan metode riwayah dan dirayah
Dalam memehami Al-quran, banyak ulama yang lebih menitik beratkan metode riwayah
dan mengenyampingkan metode dirayah. Namun al-Qaradhawi berusaha mengkompromikan dua
metode tersebut. Metode Bil ma’tsur sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qardhawai bahwa tafsir
bil ma’tsur sendiri juga mempunyai kelemahan-kelemahan, diantaranya:
a. Adanya riwayat yang dha’if, maudu’ dan mungkar yang diriwayatkan dari nabi, sahabat
dan tabi’in.
b. Adanya pertentangan riwayat yang satu dengan yang lain
c. Diantara sebagain bil ma’tsur ada sebagian pendapat dari orang yang bersangkutan,
sehingga tidak ada jaminan dari kebebebasan dari kesalahannya.
d. Tafsir bil-ma’tsur seperti yang disampaikan kepada kita, bukan merupakan tafsir yang
sistematis, menguapas Al-quran, surat demi surat, mengupas surat, ayat demi ayat, kata demi
kata.43
42 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhu al-Awlawiyât, h 451-452.
43 Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nataâ’mal ma’a al-Qur’an, h 207.
135
Jika seorang mufasir menitik beratkan pada penafsiran dengan cara ini terlalu sempit dan
sangat sulit untuk membuka ruang berfikir sehingga interaksi dengan Al-quran melalui penfasiran
sangat sulit untuk dicapai. sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qaradawi metode penafsiran yang
terbaik adalah dengan mengkompromikan riwayah dan dirayah, yaitu mengkompromikan
penukilan yang shahih yang bersumber dari Al-Quran, hadis, Riwayah sahabat, Riwayat tabi’in
dan memakai penalaran yang kuat, menyatukan pendapat-pendapat orang salaf dan pengetahuan
orang-orang khalaf.
7. Kemaslahatan lebih utama dari pada mengikuti pendapat jumhur ulama
Al-Qardhawi merupakan ulama yang bergelut dalam menyikapi permasalahan-
permasalahan umat yang muncul di jaman sekarang. Kemaslahatan di masa sekarang menurutnya
lebih penting dari pada mengikuti kebanyakan pendapat ulama terdahulu. Ketika sebuah
pembahasan yang di masa lalu hampir seluruh ulama sepakat, namun ketika di masa sekarang
menurutnya tidak relevan lagi, maka al-Qaradhawi akan mengambil pendapat salah satu ulama
yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya, asalkan pendapat tersebut menurutnya sesuai
untuk jaman sekarang. Ini terlihat jelas ketika al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian ulama
Hanafiah dalam kasus pembunuhan kafir dzimmi44
Salah satu bukti bahwa al-Qaradhawi akan mengenyampingkan pendapat kebanyakan
ulama, apabila menurutnya sudah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, yaitu pendapatnya
tentang hadis45 “ Barang siapa menebang pohon sidrah Allah akan akan memasukkannya kedalam
neraka”. Kebanyakan ulama menerut al-Qaradhawi berpendapat bahawa ancaman neraka bagi
orang yang menebang pohon tersebut ketika berihram, dan pohonnya berada di tanah haram.
44 Yusuf al-Qaradhawi, Ghairu, h 36.
45 Imam as-Syuthi, al-Jami’ as-Shaghir, juz 2, (Surabaya:Maktabah Hidayah), h179.
136
Menurutnya, pensyarahan hadis tersebut benar, karena setiap orang yang berihram akan
diharamkan memutong jenis tanaman apapun yang berada di tanah haram. Namun, menurutnya
ada penafsiran yang lebih baik dan sesuai dengan realita yang ada, ia mengambil pendapat Imam
Abu Daud, yang berbeda dengan seluruh pendapat ulama waktu itu, yaitu hadis tersebut berlaku
kepada setiap orang yang menebang sebuah pohon dengan tidak ada alasan yang jelas, padahal
pohon tersebut merupakan tempat berteduh dan sangat dibutuhkan oleh orang lain.46Menurutnya
lagi, penafsiran tersebut sangat sesuai dengan esensi syaria’h Islam yang sangat memperhatikan
kelestarian alam dan lingkungan hidup, ketika banyak pohon yang ditebang tanpa aturan dan
menyebabkan kerusakan alam serta merugikan orang lain, sudah sepantasnya orang yang
melakukan hal tersebut mendapat sanksi yang sangat keras, yaitu masuk kedalam api neraka.47
Contoh lain dari pemikiran al-Qaradhawi tentang kemaslahatan adalah zakat fitrah dalam
bentuk uang. Menurutnya zakat fitrah dalam bentuk uang merupakan sesuatu yang sangat sesuai
di zaman sekarang, mengingat keperluan fakir miskin adalah uang. Meskipun kebanyakan ulama
berpendapat bahwa zakat fitrah tersebut harus dengan makanan pokok, karena Rasulullah
memerintahkan dengan kurma dan gandum. Menurut al-Qaradhawi orang yang memaksakan harus
dengan makanan pokok adalah sesuai dengan lafaz(teks) hadis namun tidak sesuai dengan
roh(konteks) dari hadis tersebut. Nabi memerintahkan dengan makanan pokok karena makan
pokok merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang miskin serta mudah didapat di masa lalu,
adapun di zaman sekarang uanglah yang menggantikan kedudukan makan pokok tersebut.48
8. Selalu menggunakan metode tarjih
46 Yusuf al-Qaradhawi, as-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wa al- Hadarah,( Libanon:Dar as-syuruk,
2005), h 143-144
47 Yusuf al-Qaradhawi, As-sunnah Masdaran, h 143.
48 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Natâmal ma’ sunnah, h 135-136
137
Cara berpikir al-Qaradhawi yang seharusnya ditiru oleh setiap orang yang bergelut di
bidang agama adalah metode tarjih yang selalu ia pakai ketika mengambil sebuah keputusan, al-
Qaradhawi selalu memaparkan pendapat-pendapat para ulama dan dalil yang mereka utarakan,
namun setelah itu al-Qaradhawi mengambil sikap, yaitu mentarjih salah satu dari pendapat
mereka, tanpa meremehkan pendapat yang lain. Salah satu contohnya adalah perbedaan pendapat
para ulama di jaman dulu bahkan sampai jaman sekarang tentang tafsir ilmu pengetahuan dalam
Al-quran. Al-Qaradhawi menyebutkan ulama-ulama yang menentang sekaligus ulama yang
mendukung penafsiran tersebut. Ulama-ulama yang menentang penafsiran tersebut diantaranya
Imam as-Syatibi, Syekh Syaltut, Sayid Qutub, adapun ulama yang mendukung penafsiran tersebut
diantaranya Imam al-Ghazali, Imam as-Sayuthi. Setelah memaparkan dalil masing-masing, al-
Qaradhawi mengambil sikap dengan mentarjih salah satu pendapat, namun tetap mensyaratkan
beberapa syarat yang tidak disebutkan oleh ulama terdahulu. Al-Qaradhawi berpendapat bahwa
manafikan tafsir ilmu pengetahuan adalah sebuah kekeliruan, namun berlebihan dalam
menafsirkannya juga sebuah kesalahan.49 Al-Qaradhawi mensyaratkan beberapa syarat dalam
menafsirkan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan, di antaranya;1, benar-benar ahli dalam bidang
ilmu pengetahuan tersebut, 2, menggunakan hakekat ilmu pengetahuan(yang sudah teruji
kebenarannya) dalam menafsirkan Al-quran, bukan sekedar teori ilmu pengetahuan, 3, tidak
memaksakan penafsiran dalam memahami teks Al-quran, 4, jangan merasa lebih mengetahui dari
pada para sahabat Nabi, 5, menjahui sesuatu yang ditentang oleh ulama syaria’t dan para pakar
ilmu pengetahuan.50
49 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nataâ’mal ma’a al-Qur’an, h 369-379.
50 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nataâ’mal ma’a al-Qur’an, h 379-383.
138
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi
1. Faktor Sosial
Setiap kegiatan intelektual yang muncul dari suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan dari
problem sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruksi pemikiran yang muncul
memiliki hubungan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan
berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Begitu juga yang terjadi pada al-Qaradhawi,
di kampung halaman tempat lahir dan dibesarkannya terdapat beberapa fenomena yang mendorong
terhadap kepribadiannya, yaitu dengan adanya madzhab fiqih dan aliran-aliran tarikat yang dianut
masyarakat secara turun temurun. Tradisi ketaatan mereka terhadap madzhab tertentu secara
ekstrim telah menyebabkan mereka hidup statis dan monoton yang sering sekali berubah menjadi
sikap fanatik yang tidak dapat dibenarkan oleh Islam, sehingga dalam beribadah, mereka tidak lagi
mengikuti Al-quran dan sunnah atau qaul yang argumentatif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut disebabkan karena kepatuhan mereka adalah semata-mata merupakan kepatuhan
terhadap individu dan bukan pada kekuatan hujjah yang digunakan.51
Semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, al-Qardhawi telah banyak belajar agar dapat
hidup berdampingan dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pada tingkat ini pulalah
ia mulai belajar untuk mengikuti hujjah dan bukan mengikuti figur, karena ia mengetahui (sesuai
perkataan Imam Malik), bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan
kebenaran, meskipun pada perjalanannya, secara tidak disengaja ia melakukan kesalahan. Oleh
sebab itu, semenjak duduk di tingkat Ibtidaiyah, jika ia mendapatkan gurunya tidak memiliki
51 Cecep Taufikurrohman, http://web-iskandar.tripod.com/qardawi.htm, (diakses pada jumat 07 Maret 2008
139
argumen yang jelas dari Al-quran dan sunnah, ia tidak segan-segan mengkritik dan membantah
pendapat gurunya.52
Al-Qardhawi, menganjurkan seandainya kita akan mengambil sebuah qaul dari
madzhab tertentu, maka ia harus diambil langsung dari qaul pendirinya yang ditulis dalam buku
induknya, (seperti al-Umm bagi madzhab Syafi’i), karena menurutnya, jika suatu madzhab
semakin dekat kepada sumber-sumber utamanya, maka pengikutnya akan semakin toleran, tetapi
jika mereka semakin jauh dari sumber aslinya, justru inilah yang selalu menimbulkan fanatisme
buta, meskipun mereka mengetahui bahwa pendapat tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat.53
2. Faktor Politik
Ketika Mesir mengalami kemunduran, sedangkan Eropa yang beragama Kristen
mencapai kemajuan sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
menjadikan eropa kuat dalam bidang politik dan militer. Kekuatan militer dimanfaatkan untuk
mengintervensi politik internal muslim yang sedang merosot serta menjadi imperialisme dan
kolonialisme yang eksploitatif. Eropa kemudian menuduh bahwa kemunduran dunia Islam, karena
Islam itu sendiri. Para misionaris beranggapan bahwa Kristen mendukung kemajuan dan
sebaliknya Islam karena sifatnya mengakibatkan terhentinya kebudayaan dan perkembangan.
Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pembaharu-pembaharu Mesir termasuk al-
Qardhawi, untuk mencurahkan kemampuan intelektualnya dalam membela doktrin dan hukum
Islam dari serangan dan menyanggah persepsi mereka yang salah terhadap Islam. Akibat modernis
yang dijalankan Mesir adalah dasar Islam tradisional dari negara Islam telah berubah. Hukum dan
52 Cecep Taufikurrohman, http://web-iskandar.tripod.com/qardawi.htm
53 Cecep Taufikurrohman, http://web-iskandar.tripod.com/qardawi.htm
140
lembaga-lembaga kenegaraan tidak lagi berpijak pada legitimasi Islam, melainkan sudah
mengikuti model-model yang diimpor dari barat.54
E. Perbedaan Al-Qaradhawi dengan pemikir lain
Setelah membahas dengan detil tentang hak dan kewajiban ahl adz-dzimmah, penulis
tertarik untuk meneliti latar belakang yang menyebabkan al-Qaradhawi berpikiran lebih toleransi
dari sebagian ulama lainnya. Pemikirannya yang moderat ini tidak lepas dari peran para guru yang
mendidiknya, serta latar belakang pendidikan yang ia tempuh. Ketika mengamati pemikiran salah
satu gurunya yaitu Syekh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul at-taa’shub wa at-
tasamuh baina al-masihiyah wa al-Islam, terlihat jelas bahwa Al-Qaradhawi banyak mengambil
pemikiran darinya.
Pendidikan yang dijalani oleh al-Qaradhawi di universitas al-Azhar yang selalu
mengutamakan persatuan ummat, dan selalu berusaha untuk menajauhi perpecahan merupakan
salah satu faktor utama yang menyebabkan pemikirannya begitu moderat. Ditambah lagi dengan
korikolum universitas ini yang mewajibkan mempelajari beberapa mazhab fiqih, dan mengambil
pendapat yang paling kuat serta paling sesuai dengan zamannya, menyebabkan al-Qaradhawi tidak
terjerumus kedalam pemahaman yang konservatif. Menurut famahaman penulis, al-Qaradhwi
sangat mengetahui pendapat-pendapat ulama tentang ahl adz-dzimmah, ia sendiri sering
menyebutkan pendapat para ulama tersebut, namun ia tetap memilih mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan meskipun hanya sedikit ulama yang berpendapat seperti itu.
Kemungkinan berikutnya, yang menyebabkan al-Qaradhawi berbeda pendapat dengan
sebagian ulama, karena al-Qaradhawi adalah ulama yang mengakaui adanya perubahan hukum
54 John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h 60.
141
ketika perubahan zaman terjadi. Cara berpikir seperti ini akan sangat berbeda dengan ulama yang
cuma berpegang dengan kitab-kitab terdahulu tanpa melihat keadaan zaman yang telah berubah.
Para ulama yang mempunyai pandangan yang sama dengan al-Qaradhawi menyebutkan beberapa
alasan atau dalil yang menyatakan adanya perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman,
di antaranya; 1, Tidak diberlakukannya hukum potong tangan kepada pencuri di zaman Khalifah
Umar Ibnu al-Khattab ketika musim kelaparan. 2. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik,
berpendapat bahwa Bani Hasyim boleh menerima zakat karena perbedaan keadaan zaman,
dahulunya mereka dilarang menerima zakat karena memiliki bagian harta dari baitul mal,
sedangkan zaman sekarang mereka tidak memiliki bagian tersebut. 3. Imam as-Syafi’ memiliki
dua mazhab, mazhab qadim dan mazhab jadid, semua disebabkan perubahan zaman dan tempat.55
Al-Qaradhawi adalah adalah ulama yang sangat menghormati pendapat ulama-ulama
yang terdahulu, bahkan ia mengutarakan kekagumannya dengan beberapa tokoh ulama seperti
Ibnu Taymiyyah, namun kekaguman serta penghormatannya tersebut tidak menyebabkannya
mengikuti seluruh pendapat Ibnu Taymiyyah, ia tetap mengkritik beberapa pendapat Ibnu
Taymiyyah seperti masalah ada atau tidak adanya majaz dalam Al-quran. Ibnu Taymiyyah
mengatakan tidak ada majaz dalam Al-quran, namun al-Qaradhawi dengan tegas mengatakan
bahwa Al-quran mengandung kalimat yang berupa majaz.56 Pemikiran al-Qaradhawi ini dipastikan
akan bersebrangan dengan pendapat para ulama yang mengikuti Ibnu Taymiyyah.
Meskipun pemikiran al-Qaradhawi sangat toleran dengan umat nonmuslim, namun
tidak pernah ada pernyataan darinya tentang ploralisme agama, seperti yang dibawakan oleh para
pemikir liberal. Bahkan ia sangat menentang pemikiran tersebut. Sebagai perbandingan, penulis
55 Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Qawầi’d al-Fiqhiyyah, ( Mesir: Darul Hadis, 2005), h 213.
56 Yusuf al-Qaradhawi, kayfa Nata’mal Ma’a al-Quran, h 290-291.
142
mengutip pendapat Nurkhalis Majid yang menyatakan bahwa, ada tiga sikap dialog agama yang
bisa diambil. Yaitu; Pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain ( agama-agama lain adalah
salah dan menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua, sikap inklusif ( agama-agama lain adalah bentuk
implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis ( agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah
untuk mencapai kebenaran yang sama, agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi
merupakan kebenaran yang sah, atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah
kebenaran. Lalu ia melanjutkan “ sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam
bersifat inklusif dan merentangkan penafsirannya kearah pluralis, sebagai contuh adalah filsafat
parenial yang semakin banyak dibicarakan ketika dialog antara agama, filsafat ini menyatakan
bahwa setiap agama merupakan ekspresi terhadap tuhan yang sama, menurutnya lagi filsafat ini
membagi agama pada level esoterik (batin ) dan level eksoterik( lahir). Satu agama berbeda dengan
agama lain pada level esoteric, namun relatif sama pada level eksoteriknya. Oleh karena itu ada
istilah “satu tuhan, banyak jalan”. Jadi menurutnya pluralisme adalah sunnatullah (aturan tuhan)
yang tidak munkin dilawan atau diingkari.57
Pemahaman yang dibawakan oleh pemikir liberal ini, memang terlihat menjanjikan
toleransi yang tinggi antara sesama agama, namun sekaligus menghancurkan kebenaran yang
dimiliki oleh agama tersebut, seakan-akan tidak ada ayat Al-quran yang mengkritik agama lain
ketika mereka menyimpang dari ajaran sesungguhnya. Bahkan membenarkan bahwa tuhan
memiliki sekutu, padahal Al-quran dengan jelas menentangnya.
Pluralisme agama ini sebenarnya bukan dari ajaran islam, namun dari pemikir-pemikir
agama lain, seperti Moses Mandelshon, Frans Rosenzweig dari Yahudi. Ernst Troeltsch, prof. John
57 Dr. Adian Husaini, Pluralisme Agama, Musuh-Musuh Agama( Jakarta:Dewan Da’wah Islamiah
Indonesia, 2010), h 7.
143
Hick dari Kristen. Pluralisme sangat pesat berkembang di Kristen Barat, setidaknya disebabkan
oleh tiga hal; yaitu. 1. Trauma sejarah kekuasaan gereja di zaman pertengahan dan konflik Katolik-
Protestan. 2. Problema teologis Kristen. 3. Problema tek Bibel. Ketika gereja berkuasa di zaman
pertengahan banyak melakukan kekeliruan dan kekerasan yang menyebabkan sikap trauma
masyarakat Barat terhadap kebenaran agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat
Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang terpesona oleh Barat
atau memandang bahwa hanya dengan mengikuti peradaban Baratlah umat Muslim akan maju.58
Sejarah gereja di masa lalu merupakan sejarah yang menakutkan bagi ilmu pengetahuan
dan kebebasan berpikir, gereja lebih memilih keboduhan dari pada ilmu pengetahuan, memilih
khurafat daripada berpikir, dan memilih penindasan daripada kebebasan, hingga terjadi
pemberontakan terhadap mereka, serta berlepas dari hukum-hukum yang dibuat gereja.59
Misi-misi penginjil itu berkata: ‘Tetapi jiwa Kristen secara mutlak menjauhkan diri dari
perang.’ Di sini saya tidak bermaksud membahas benar tidaknya pernyataan itu. Tetapi di hadapan
kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, dan di hadapan kita sejarah Islam juga adalah saksi
yang jujur. Dari pertama sejarah agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru
bumi telah berlumuran darah atas nama Yesus Kristus, dilakukan oleh Romawi, juga dilakukan
oleh bangsa Eropa semua. Beberapa kali terjadi perang salib karena dikobarkan oleh kalangan
Kristen, bukan oleh pihak Islam. Mengalirnya pasukan demi pasukan tentara sejak ratusan tahun
dari Eropa menuju daerah Islam di Timur, adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan,
pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus pengganti Yesus, memberi berkah dan restu kepada
pasukan-pasukan tentara yang bergerak maju hendak menguasai baitulmukadas (Yerusalem) dan
58 Dr. Adian Husaini, Pluralisme Agama, h 3-6
59 Yusuf al-Qaradhawi, al-Islam wa al-I’lmaniyah, Wajhan Li Wajhin,(Kairo; Maktabah Wahbah), h 50.
144
tempat-tempat suci lainnya. Adakah barangkali paus-paus itu orang yang sudah menyimpang
semua dari ajaran agamanya (heretic) ataukah kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga
juga karena mereka pembual-pembual yang bodoh, tidak tahu bahwa agama Kristen secara mutlak
menjauhkan diri dari perang? Atau akan mereka katakan: ‘Itu adalah Abad Pertengahan, abad
kegelapan; janganlah agama Kristen juga yang diprotes’.60
Sebuah kesalahan besar ketika umat Islam berusaha menyelaraskan pemikiran Barat yang
menurut sejarah sudah tidak sepenuhnya lagi percaya dengan agama yang mereka anut. Sedangkan
agama Islam tidak pernah mengalami sejarah kelam yang dialami agama lain, sehingga tidak ada
alasan untuk menyamakan pemikiran dengan mereka. Ditambah dengan dengan masalah teks-teks
keagamaan mereka yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga membuat
mereka mencari penafsiran yang sebebas-bebasnya untuk tetap mempertahankan keyakinan
mereka.
Sangat jelas, ajaran yang dianut oleh al-Qaradhawi sangat berbeda dengan yang dianut oleh
kaum liberal. Ia sangat menentang adanya pluralisme agama. Menurutnya orang yang menganut
paham pluralisme adalah sekelompok orang yang memahami ayat Al-quran hanya dari ayat yang
mutasyabihat, dan mengenyampingkan ayat-ayat yang muhkamat. Ia juga menambahkan bahwa
pemikiran kaum muslimin yang berusaha untuk selalu selaras dengan pemikiran barat adalah
sebuah kesalahan besar, memenurutnya orang Islam sangat memelihara makanan dan pergaulan
sehingga pemikirannya pasti berbeda dengan orang yang tidak memelihara makanan dan pergaulan
tersebut. Terlebih lagi orang Islam percaya dengan adanya Tuhan sedangkan kebanyakan orang
60 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, h 242-243.
145
barat menaganut paham ateis. Inilah yang menurut al-qardhawi penyebab adanya perbedaan
ideologi antara pemikir muslim dengan pemikir yang nonmuslim.61
Penurut penulis, salah satu penyebab pemikiran al-Qaradhwi berbeda dengan pemikir
liberal adalah tempat pendidikan yang mereka tempuh, al-Qaradhawi mengenyam pendidikan di
daerah Timur, yang terkenal tunduk dan patuh terhadap teks-teks keagamaan, sedangkan para
pemikir liberal kebanyakannya sekolah di Barat yang menjadi tradisi mereka berpikir sebebas
munkin, meskipun terkadang berbenturan dengan teks-teks keagamaan. Sudah dipastikan ada
perbedaan pemikiran, antara al-Qaradhawi yang melarang murid-muridnya untuk berkiblat
kebarat, dengan para sarjana muslim yang menjadikan Barat sebagai kiblat pengetahuan mereka.
61 Yusuf al-Qaradhawi, al-Hulul al-Mustawridah, h 76.