Upload
andrea-ranny
View
22
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mhdsk
Citation preview
Translate Bedah Anak
AKALASIA ESOFAGEAL
Disusun Oleh :
MARLINA UKAGO 060111242
GEORGINA GOSAL 080111219
Pembimbing :
dr. Ishak Lahunduitan, SpB,SpBA
BAGIAN / SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT
RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU
MANADO
2013
AKALASIA ESOFAGEAL
Thomas T. Sato
Rumah sakit Anak Wisconsin, Milwauke, WI, USA.
Pendahuluan
Akalasia esofageal adalah keadaan pembedahan yang jarang terjadi pada anak-anak
yang ditandai dengan kelainan, khususnya kegagalan esofagus distal untuk merelaksasi pada
proses menelan yang berhubungan dengan kelainan motilitas esofagus. Gambaran kasus
akalasia dilaporkan awalnya pada tahun 1674 oleh Sir Thomas Willis, yang merawat pasien
yang mengalami gangguan esofagus dengan dilator whalebone. Insiden akalasia pada anak
dibawah umur 15 tahun telah dilaporkan antara 0,02 dan 0,31 per 100.000 anak di Irlandia dan
Inggris. Kira-kira satu dari lima anak dengan akalasia pada waktu bayi akan menunjukan gejala
regurgitasi, batuk, aspirasi atau gagal berkembang. Namun diagnosis definitif dan pengobatan
yang tepat jarang sekali dapat ditegakkan pada bayi dengan gejala-gejala yang membingungkan
seperti ini dimana terjadi kesulitan pemberian makanan atau refluks gastroesofageal. Pada anak
yang lebih besar dan remaja dengan akalasia lebih khas dengan disfagia, nyeri dada substernal,
regurgitasi dan penurunan berat badan.
Pengobatan akalasia esofageal ditujukan pada pemulihan gejala klinik disfagia,
odinofagi dan regurgitasi. Hal ini akan terpenuhi dengan pengurangan tekanan sfingter
esofageal bawah (LES) pada saat istirahat dengan obat-obatan atau pembedahan. Saat ini belum
ada pengobatan yang dapat secara langsung melawan mekanisme patofisiologi yang
menyebabkan terjadinya akalasia pada anak. Seperti yang disebutkan, semua jenis pengobatan
yang ada ditujukan untuk mengontrol gejala secara efektif dengan pengurangan tekanan LES
pada saat istirahat. Membiarkan LES yang tidak berfungsi secara baik membuat pengosongan
esofagus lebih mengandalkan gaya gravitasi dan motilitas esofageal yang masih tersisa.
Perbaikan dalam pengosongan esofagus dapat meringankan atau mengurangi gejala yang
berhubungan dengan obstruksi esofageal.
Persoalan awal, intervensi definitif pada akalasia mengarah pada pemulihan motilitas
esofagus pada anak telah menjadi perhatian penuh; umumnya, gangguan motilitas intrinsik
esofagus dapat menetap, penyakit seumur hidup dengan pengobatan pembedahan yang
bertujuan pada perbaikan gejala.
Tiga terapi invasif utama telah digunakan pada pengobatan dengan pembedahan dari
akalasia pada bayi dan anak:
(1) Penyuntikan intrasfingter toksin botulinum
(2) Dilatasi esofagus dengan bouginiege atau dilator pneumatik
(3) Esofagomiotomi
Penyuntikan toksin botulinum dengan endoskopi dilakukan pada otot esofageal distal memiliki
potensi pengobatan yang efektif pada pasien-pasien tertentu dengan akalasia tapi umumnya
membutuhkan penyuntikan berkala supaya bebas dari gejala untuk waktu yang lama. Dilatasi
esofagus adalah pengobatan awal untuk akalasia dan telah menarik perhatian pada komunitas
bedah anak dengan pengembangan dilator balon kecil yang rendah komplikasinya. Pembelahan
otot distal esofagus dengan teknik esofagomiotomi dipilih pada teknik pembedahan karena
menawarkan kemungkinan tertinggi dari pengontrolan definitif terhadap gejala; namun
esofagomiotomi sering dilakukan pada pasien yang tidak berespon terhadap penyuntikan toksin
botulinum, dilatasi atau keduanya. Berdasarkan pengalaman pada teknik invasif secara minimal
dapat mengurangi morbiditas perioperatif sebelum dilakukan esofagomiotomi. Cara
pelaksanaan prosedur antirefluks bersamaan dengan esogafomiotomi masih kontroversial.
Diagnosis dan Penanganan Medis
Kebanyakan bukti yang dilaporkan dengan pemeriksaan histologis dari distal esofagus
pada pasien akalasia adalah terjadi penurunan atau hilangnya sel gangglion mienterik, namun
hal ini tidak konsisten. Infeksi Tripanozoma Cruzi dapat menyebabkan perkembangan penyakit
Chaga pada beberapa area di Amerika Tengah dan Selatan dan dihubungkan dengan gangguan
perkembangan motilitas dari esofageal distal dengan dilatasi progresif esofageal yang
menyerupai akalasia. Meskipun etiologi akalasia esofageal masih sebagaian besar tidak
diketahui, banyak kasus yang berkaitan dengan keluarga dan sebuah keadaan yang
menghubungkan akalasia dengan insufisiensi adrenokortikal, alakrima, dan gangguan lain dari
sistem saraf pusat dan perifer. Investigasi spesimen miektomi dari esofagus distal pada anak
dengan sindrom Allgrove autosomal resesif (trias akalasia, addisonisme, dan alakrima)
menunjukan fibrosis intramuskular esofageal dan ketidakmampuan atau penurunan sintesis
nitrat oksida neuronal. Terdapat data-data yang konsisten secara intrinsik, berhubungan dengan
patofisiologi antara innervasi esofageal dan perototan yang tidak efektif, relaksasi esofageal
distal tidak terkoordinasi dalam respon menelan pada kelompok pasien ini dengan penyakit
keturunan.
Karena alaminya terdapat kompleks masalah dari makan dan menelan anak,
penatalaksanaan diagnosis obyektif pada fase oral, faringeal dan esogfageal pada proses
menelan adalah hal penting untuk menegakkan diagnosis akalasia. Tiga tes untuk menegakkan
diagnosis sementara harus dipertimbangkan pada beberapa bayi dan anak yang dicurigai
akalasia.
(1) Videofluoroskopik pembelajaran menelan; (2) Manomatri esofageal dan (3)
esofagogastroduodenoskopi. Diagnostik standar yang diterima pada penatalaksanaan disfagia
pediatri berdasarkan analisis menelan videofluoroskopik. Film panduan dada dapat menunjukan
aspirasi pneumonia atau penyakit paru kronik dari infeksi paru yang berulang. Proses menelan
orofaringeal normal yang berdilatasi, kontras mengisi esofagus dan distal “paruh burung”
lonjong dekat perhubungan gastroesofagus merupakan ciri khas akalasia. Debris makanan
yang tertahan dalam esofagus harus diteliti. Manometri esofageal akan menunjukan ketiadaan
peristaltik esofagus distal dengan tekanan istirahat sfingter esofageal bawah yang normal atau
meningkat dan kurangnya koordinasi relaksasi LES pada waktu menelan. Relaksasi LES yang
tidak lengkap selama menelan merupakan ciri khas akalasia dan meningkatkan obstruksi
fungsional distal esofageal dalam respon menelan. Lebih ke proksimal, gelombang peristaltik
esofageal lebih kuat atau hampir tidak ada, tergantung derajat dilatasi esofagus.
Esofagogastroskopi khususnya menunjukan dilatasi esofagus toraks berdilatasi tanpa obstruksi
mekanik lambung. Penting, temuan ini mengecualikan anatomi terfiksir penyebab disfagia pada
bayi dan anak seperti cincin kartilago esofagus, selaput, leiomioma, atau striktur penyebab
refluks. Terdapat substansi debris makanan dan sekresi proksimal esofagus dan stasis esofagitis
yang ringan sampai sedang. Biopsi direkomendasikan untuk mengeluarkan penyebab disfagia
lain seperti eosinofilik esofagitis.
Berdasarkan penanganan medis penggunaan nitrat jangka panjang seperti isosorbide
dinitrat dan kalsium channel blockers (seperti nifedipin) sebagai agen relaksasi otot. Kedua
obat-obatan ini menyebabkan pengurangan tekanan LES pada pasien dengan akalasia yang
kira-kira satu-setengah besarnya yang dilakukan oleh dilatasi atau miotomi. Secara acak dengan
kontrol plasebo, penelitian potong lintang mengevaluasi pemakaian nifedipin pada akalasia, 10
pasien menunjukan penurunan statistik yang bermakna pada frekuensi disfagia dan
berhubungan dengan penurunan LES istirahat. Namun gejala disfagia, regurgitasi, dan batuk-
batuk malam persisten meskipun penurunan tekanan LES, membuat peneliti menyimpulkan
bahwa nifedipine tidak dapat direkomendasikan sebagai standar alternatif untuk pilihan
pengobatan lain yang lebih tahan lama dan sempurna menghilangkan gejala. Dari sudut
pandang pediatrik, penggunaan lama terapi farmakologi pada akalasia mengecewakan
berhubungan dengan kurangnya respon jangka panjang, substansi efek samping dan
komplikasi.
Permasalahan Hasil
Sebuah laporan menuliskan hasil intervensi yang paling banyak digunakan untuk
akalasia pada anak, penting diingatkan kembali pada bab ini. Analisis ini dibatasi secara
statistik oleh relatif ketidakadaaan kontrol yang baik, secara random percobaan klinis
perbandingan satu kasus pembedahan dengan yang lain pada pengobatan akalasia anak.
Namun, kebanyakan penelitian melaporkan pengobatan pembedahan akalasia pediatri dan
hasilnya pediatrik dalam literatur mewakili kejadian kategori IV, terdiri dari laporan
retrospektif dan serangkaian kasus. Penelitian-penelitian ini mewakili kejadian yang tidak biasa
terjadi pada akalasia anak.
Tabel 18.1. Skala Gejala dari Akalasia
Skor Deskripsi Gejala
1 Sangat Baik Asimptomatik
2 Baik Gejala kurang dari satu kali per
minggu
3 Sedang Gejala lebih dari satu kali per minggu
4 Buruk Gejala perhari
(diambil dari Ref.10)
Kemampuan perhitungan dan mengartikan berbanding kefektifan dari pengobatan yang
berbeda untuk akalasia tergantung pada beberapa faktor, termasuk (1) menggunakan kriteria
diagnostik yang sama untuk akalasia (2) definisi tepat dari gejala kontrol (3) keseragaman
teknik penatalaksanaan pada pre dan postoperatif; dan (4) penting, penanganan jangka panjang
yang seksama, dirandom percobaan klinis. Saat ini, tidak ada penelitian dari pengobatan
akalasia pediatrik yang memenuhi semua kriteria ini. Keseragaman adopsi relatif sederhana
dalam penggambaran klasifikasi gejala sama yang diajukan dan terdaftar pada Tabel 18.1 lebih
berarti dalam analisis perbandingan. Hal ini penting khususnya saat mendasari laporan yang
dibutuhkan dari orangtua terhadap gejala pada bayi atau anak. Penelitian ini kedepannya juga
bermanfaat dalam penggunaan standar, objektif, penanganan reoperatif akalasia yang idealnya
diulangi untuk jangka panjang dan follow up postoperatif. Penelitian ini umumnya berisi
riwayat, pemeriksaan fisik, berat badan, penelitian videofluoroskopik menelan, manometri dan
endoskopi. Pengulangan penelitian postoperatif ini akan menghasilkan data perbandingan
longitudinal antara sisi investigasi. Terakhir, tidak ada faktor kontrol pembanding, kedua
prosedur yang banyak digunakan untuk mengobati akalasia yaitu dilatasi pneumatik dan
esofagomiotomi pada populasi pediatrik. Meskipun, perhitungan data dari satu faktor kontrol
dewasa.
Toksin Botulinum
Penggunaan toksin botulinum untuk pengobatan akalasia terletak pada kemampuan
toksin menghambat pelepasan asetilkolin dari ujung nervus presinaps. Toksin tersebut
mengikat pada ujung nervus presinaps dan memblokade prosedur neuromuskular sehingga
terjadi relaksasi otot. Konsepnya adalah induksi blokade neuromuskular dari otot esofagus
LES, sehingga menurunkan irama LES istirahat dan membantu pengosongan esofagus. Dari
sudut pandang fisiologi, blokade neuromuskular dari penyuntikan toksin botulinum dilakukan
sementara dengan keefektifan dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyuntikan
toksin botulinum intrasfingter membutuhkan anastesi umum dan penglihatan dibantu
endoskopik pada sambungan gastroesofageal. Sejumlah toksin botulinum disuntikan secara
berputar di empat kuadran pada LES menggunakan jarum ukuran 25, 3-5 mm jarum
skleroterapi dimasukkan melewati jalur instrumen endoskopik. Dosis total biasanya adalah 80-
100 unit toksin; beberapa penyelidik juga memilih penyuntikan dibawah LES dengan
endoskopik retrofleksi sebagai penglihatan.
Berdasarkan pengalaman pada pasien dewasa dengan akalasia menunjukan bahwa
penyuntikan intrasfingter 80 sampai 100 unit toksin botulinum menghilangkan gejala disfagi
jangka pendek dan sedang pada lebih dari 50% pasien, meskipun waktu berfungsinya
bervariasi. Anese dkk, mengobati 57 pasien akalasia dengan kisaran umur antara 10 sampai 91
tahun dengan penyuntikan intrasfingter 100 unit toksin botulinum dan menunjukan penurunan
angka statistik yang bermakna pada gejala disfagia. Relaps gejala mengawali untuk
pengulangan penyuntikan. Dengan nilai rata-rata follow up dalam 24 bulan, 30 pasien
membutuhkan lebih dari atau sama pada pengulangan penyuntikan dua kali. Pengulangan
penyuntikan dibutuhkan interval 10 bulan dimana bebas gejala. Sebuah multicenter, meneliti
beberapa macam dosis penyuntikan toksin botulinum pada 118 pasien dewasa dengan akalasia
yaitu 50 unit, 100 unit atau 200 unit menunjukan respons rata-rata keseluruhan 82% dengan
tidak ada hubungan efek dari dosis. Dengan rata-rata follow up 12 bulan, relapsnya gejala
kebanyakan kurang terjadi pada pasien yang menerima penyuntikan toksin botulinum 100 unit
yang terbagi dalam 30 hari dibandingkan dengan dosis satu kali penyuntikan, menyebabkan
pembatasan penyuntikan senyawa toksin botulinum kurang dapat menghilangkan gejala untuk
jangka panjang.
Penggunaan penyuntikan intrasfingter toksin botulinum pada pengobatan akalasia
pediatrik, pertama kali dilaporkan pada tahun 1997. Dua penelitian ini melaporkan pengobatan
terhadap empat pasien pediatrik dengan akalasia. Penyuntikan toksin botulinum menghasilkan
pengontrolan gejala yang efektif selama follow up 6 sampai 8 bulan. Sebuah laporan survei
retrospektif dari 23 bayi dan anak dengan akalasia yang diobati dengan penyuntikan toksin
botulinum antara Juni 1995 dan November 1998 menunjukan respon klinis awal rata-rata 83%
yang dihitung dari penyembuhan atau pengurangan gejala, dan peningkatan berat badan setelah
penyuntikan. Durasi mean dari respon setelah penyuntikan dosis satu kali adalah 4,2 bulan.
Empat pasien tidak berespon dan dua belas pasien menjalani lebih dari satu kali prosedur
penyuntikan. Sebelas pasien akhirnya menjalani esogfagomiotomi selama periode penelitian.
Pada kesimpulan, tidak ada pasien yang asimptomatis yang tidak menjalani prosedur tambahan.
Penulis merekomendasikan penyuntikan toksin botulinum digunakan hanya pada anak dengan
akalasia yang dipertimbangkan akan memberi efek buruk terhadap pengobatan menggunakan
dilatasi atau pembedahan. Hal ini penting untuk memasukan pasien yang dapat dikontrol
sementara menggunakan toksin botulinum, sehingga menurunkan resiko dimasa yang akan
datang dari dilatasi atau esofagomiotomi seperti pemulihan dari aspirasi pneumonia atau
penstabilan status nutrisi yang adekuat preoperatif.
Penelitian lain telah memverifikasi keefektifan awal dari penyuntikan toksin botulinum
dalam pengontrolan gejala pada akalasia pediatrik. Ip dkk (2000) merawat tujuh anak berumur
2 sampai 15 tahun dengan 100 unit toksin botulinum intrasfingter.
Dalam ringkasan, penyuntikan intrasfingter toksin botulinum pada bayi dan anak
dengan akalasia yang menghasilkan respon awal yang baik, tapi kebanyakan dari pasien
menunjukan rekurensi dari gejala tersebut. Ada beberapa pasien tertentu yang mengalami
perbaikan sementara dalam proses menelan yang diinduksi oleh toksin botulinum sehingga
dapat membantu perbaikan penatalaksanaan preoperatif dan mengurangi resiko kedepan
terhadap dilatasi pneumatik atau esofagomiotomi. Tanpa pengulangan penyuntikan toksin
botulinum dalam waktu 1 sampai 6 bulan, kebanyakan anak dengan akalasia tidak dapat
terkontrol gejalanya untuk jangka panjang jika hanya mengandalkan cara ini saja. Tidak ada
komplikasi besar atau kematian berhubungan dengan penyuntikan toksin botulinum ke
esofagus yang telah dilaporkan pada populasi pediatrik.
Dilatasi Esofageal
Tujuan pengobatan akalasia dengan dilatasi esofageal adalah mendistensikan secara
paksa disfungsional LES dan memperbaiki ketidakmampuannya sehingga menurunkan tekanan
LES istirahat dan memperbaiki proses pengosongan esofagus. Pengobatan akalasia yang
berhasil menggunakan dilatasi esofagus kebanyakan diyakini oleh karena dapat menyebabkan
gangguan pada otot LES. Namun penyelidikan menggunakan pemeriksaan endoskopik
ultrasonografi dengan high resolusi pada dinding esofagus dengan membuat dilatasi penumatik
untuk akalasia gagal menunjukan terjadinya gangguan otot. Laporan riwayat dilatasi esofageal
menunjukan bahwa jenis peralatan yang telah banyak digunakan berkisar pada whalebone
bougie yang digunakan oleh Willis pada tahun 1674 dengan ukuran tetap pada bagian tumpul
dan ujung dilator yang lancip dan lebih berdasarkan pada dilator pneumatik sementara. Balon
dilator pneumatik dapat dikembangkan dalam esofagus dengan panduan floroskopik atau
penglihatan dengan endoskopik. Dengan adanya variasi dan ukuran dari kateter balon yang
dipakai, dilatasi radial esofageal semakin menarik dilakukan pada pasien pediatrik karena
menjamin dapat dilakukan dilatasi dengan panduan bahkan pada bayi dan anak paling kecil
sekalipun. Dengan fluoroskopik, pelaksanaan dilatasi dapat dikontrol dan dilihat secara
langsung. Sebagai tambahan, cedera traksi mukosa dari penarikan dilator dapat dihindari.
Dilatasi pneumatik untuk akalasia umumnya dapat dilakukan pada pasien rawat jalan
dengan laporan kecil morbiditas atau mortalitas. Komplikasi yang segera terjadi adalah
perdarahan atau perforasi sedangkan komplikasi yang terjadi setelahnya adalah refluks
gastroesofageal. Speiss dan Kahrila melaporkan di literatur Inggris dari tahun 1996 sampai
1997 dan terpilih 18 penelitian tak terkontrol pemeriksaan pengobatan dengan dilatasi
pneumatik akalasia pada orang dewasa berdasarkan laporan dari respon yang baik sampai
ekselent. Penelitian individu diukur proporsional untuk ukuran sederhana. Ruang lingkup
tersebut menghitung respon rata-rata dari dilatasi pneumatik akalasia pada 1276 pasien adalah
72% ± 26%. Kira-kira 21 % dari pasien akalasia yang menjalani dilatasi pneumatik
membutuhkan terapi ulang. Angka kejadian perforasi esofageal dengan dilatasi pneumatik
adalah 3 %.
Dilatasi pneumatik pada pasien akalasia dewasa melalui penelitian percobaan secara
acak telah menunjukan respon yang lebih lama jika dibandingkan dengan penyuntikan
intrasfingter toksin botulinum. Pada follow up 12 bulan, 70 % pasien yang diobati dengan
dilatasi pneumatik mengalami pemulihan terhadap gejala, bandingkan dengan 32% pasien yang
diobati dengan intrasfingter toksin botulinum. Secara objektif, dilatasi dihubungkan dengan
perbaikan yang bermakna pada proses pengosongan esofagus pada bulan ke 12 yang dinilai
dengan esofagram dan dibandingkan dengan kelompok yang diobati dengan toksin botulinum.
Pengalaman menggunakan dilatasi esofageal pneumatik sebagai terapi utama untuk
akalasia pada masa kanak-kanak dilaporkan dari Rumah Sakit Anak Philadelphia dengan
menggunakan dilator Brown McHardy dibawah pengawasan fluoroskopik. Sepuluh pasien
pediatrik dirawat lebih dari 10 tahun dengan follow up berkisar antara 9 bulan sampai 10 tahun.
Empat pasien dilaporkan memberi respon yang sangat baik dan yang lain menjadi
asimptomatik atau hanya memiliki gejala disfagia yang hilang timbul atau nyeri, dua pasien
membutuhkan membutuhkan multipel dilatasi untuk memberi hasil yang sangat baik. Dua
pasien dilaporkan memberi respon baik dengan disfagia yang menetap untuk beberapa
makanan tertentu atau pada keadaan lingkungan tertentu, dan dua pasien menjalani miotomi
Heller untuk gejala yang menetap. Para penulis merekomendasikan dilatasi pneumatik sebagai
terapi utama pada akalasia yang timbul masa akhir kanak-kanak , dengan pembedahan sebagai
cadangan pada anak yang lebih kecil atau anak-anak yang memberi respon buruk pada dua kali
dilatasi. Hasil yang sama menggunakan dilatasi pneumatik untuk akalasia pada anak-anak telah
dilaporkan dan dicantumkan pada tabel 18.2 dengan angka rata-rata keberhasilan keseluruhan
antara 60% sampai 83%. Secara keseluruhan, data pasien pediatrik ini hampir sama dengan
yang didapat pada orang dewasa, meskipun berbeda gambaran klinis dengan bayi dan anak-
anak.
Dengan kontras, hasil dilatasi esofageal pada 20 anak dengan akalasia yang diobati pada
Rumah Sakit Anak Boston kurang memberi harapan.Dilatasi pneumatik digunakan pada anak
yang berumur lebih dari 5 tahun atau dengan berat badan lebih berat dari 20 kg; dilatasi dengan
filiform digunakan pada anak bayi yang lebih kecil dan anak-anak. Lima anak berumur 9 tahun
bebas dari gejala dengan 2 kali dilatasi sedangkan 15 anak berespon buruk terhadap dilatasi
esofageal dan 12 anak akhirnya membutuhkan penanganan dengan operasi. Penulis
menyimpulkan bahwa dilatasi awal merupakan terapi yang baik tapi hanya untuk anak-anak
dengan akalasi yang lebih besar; terapi operasi lebih direkomendasikan untuk bayi dan anak-
anak yang lebih muda. Penelitian ini membahas potensi umur dihubungkan dengan perbedaan
respon dilatasi dan khususnya, pengamatan pasien yang tidak berespon pada dilatasi awal atau
yang memiliki riwayat rekurensi yang terlampau sering dengan pengulangan dilatasi.
Dilatasi pneumatik juga telah digambarkan secara anekdot yang berguna sebagai terapi
sekunder pada gejala anak yang tidak berhasil setelah dilakukan esofagomiotomi. Dilaporkan
rata-rata esofagus yang mengalami perforasi selama dilakukan dilatasi pneumatik pada anak
lebih dari 25 tahun lalu masih sedikit dan hampir sama dengan yang terjadi pada orang dewasa.
Pengenalan perbedaan bentuk anatomi antara striktur esofageal dan akalasia, saat ini banyak
kasus bayi dan anak yang menjalani dilatasi pneumatik untuk striktur esofagus atau akalasia
dilaporkan mengalami angka rata-rata perforasi esofagus 1,5% dari 260 prosedur. Penilaian
jangka panjang terhadap follow up penyakit refluks gastroesofageal yang muncul akibat dilatasi
menyimpulkan angka kejadian yang relatif rendah, tapi data-data yang tercatat ini masih kurang
dari penanganan objektif pada kebanyakan percobaan pediatrik.
Tabel 18.2. Hasil terpilih untuk dilatasi pneumatik primer akalasia pada masa kanak-kanak
Penulis N Dilatasi
Multipel
Sangat
Baik
Baik/
sedang
Cukup/
buruk
Komplikasi Pembedahan
Boyle dkk (1981) (kisaran follow
up 9 bln – 10 thn)
10 2 6 (60%) 2 2 0 2
Nakayama dkk (1987) (kisaran
follow up 1-5 thn)
15a 8 11 (73%) 0 0 0 4
Perisik dkk (1996) (kisaran follow
up 2-8 thn)
12 3 10 (83%) 0 2 1b 2
Hamza dkk (1999)(Kisaran follow
up 2-7 thn)
11 11 8 (72%) 2 1 0 1
Uphadhyaya dkk (2002) (kisaran
follow up 3 bln – 8 thn)
12 2 10 (83%) 2 0 0 0
a Pengecualian dua pasien yang menjalani esofagomiotomi primer dan dua pasien yang diobati dengan bouginiege dan
kelanjutan miotomib
satu pasien yang mengalami refluks esofagitis dengan ulserasi
Dalam ringkasan, dilatasi esofagus pneumatik pada masa kanak-kanak masih menjadi
pengobatan yang dapat diterima yang secara keseluruhan rata-rata menunjukan kesuksesan dan
dengan morbiditas yang rendah. Keefektifan dan hasil jangka panjang dari dilatasi pneumatik
dibandingkan dengan esofagomiotomi sebagai terapi utama untuk akalasia pediatrik tidak teliti
lebih lanjut. Kebanyakan anak membutuhkan anestesi umum untuk dilakukannya dilatasi
esofageal dan prosedurnya dapat dilakukan untuk pasien rawat jalan. Hasilnya lebih bertahan
lama dibanding dengan penyuntikan toksin botulinum. Sementara data-data pasien pediatrik
yang dapat dilaporkan masih kurang dengan kira-kira 60% sampai 83% dari pasien tertentu
memberi respon yang baik yang ditandai dengan hilangnya gejala namun hal ini masih rendah
jika dibandingkan dengan respon rata-rata pada orang dewasa. Kira-kira 20% akan
membutuhkan pengobatan ulang untuk gejala yang kembali muncul. Rata-rata perforasi
esofageal muncul kurang dari 3 %. Hal itu muncul berhubungan dengan masalah umur yang
spesifik dan pasien dengan kegagalan dilatasi awal atau gejala yang sering muncul setalah
dilakukan dilatasi yang tidak sesuai dengan yang dapat diterima dengan pengulangan dilatasi.
Saat ini terdapat beberapa yang belum teridentifikasi berkaitan dengan menentukan anak mana
yang tidak berespon terhadap dilatasi atau memiliki masa relaps dari gejala setelah dilatasi
awal.
Esofagomiotomi
Ernest Heller melaporkan penanganan pembedahan yang berhasil terhadap akalasia
esofageal pada tahun1913 dengan membuat dua esofagomiotomi longitudinal ekstramukosa
yang tidak menyebar ke dinding lambung. Modifikasi menjadi satu, esofagomiotomi di daerah
anterior oleh Brune Groenveldt merupakan jenis operasi yang paling banyak dilakukan saat ini
untuk menangani akalasia. Esofagomiotomi dapat dilakukan dengan melewati dada kiri,
transabdominal dan saat ini dapat melalui bantuan thorakoskopi atau laparaskopi.
Karena morbiditas yang disebabkan oleh operasi esofagosmiotomi melalui thorakoskopi
atau laparaskopi, dilatasi pneumatik telah direkomendasikan oleh banyak penulis sebagai
pilihan pengobatan awal untuk akalasia. Saat ini belum ada data yang dapat menyimpulkan
dengan pasti bahwa dilatasi pneumatik adalah yang paling baik atau tidak dibandingkan dengan
esofagomiotomi sebagai terapi utama untuk akalasia. Kemampuan penyembuhan dari
esofagomiotomi pada pengobatan akalasia anak dan orang dewasa telah menunjukan hasil yang
lebih dominan berdasarkan penelitian retrospektif terhadap serangkaian kasus. Secara kolektif,
penelitian ini menawarkan pendapat yang cukup kuat bahwa esofagomiotomi diprediksikan
sebagai pengobatan yang pasti terhadap kebanyakan pasien dengan akalasia. Terdapat sebuah
percobaan klinis prospektif yang secara acak membandingkan orang dewasa yang dilakukan
dilatasi pneumatik dengan esofagomiotomi pada 81 pasien dewasa. Pada kira-kira 5 tahun
follow up (kisaran 24 sampai 156 bulan), penyembuhan gejala dicatat pada 65% kelompok
yang dilakukan dilatasi berbanding 95% pada kelompok yang dilakukan esofagomiotomi.
Termasuk didalamnya percobaan kontrol ini, yang melaporkan kasus tertentu dari 30 tambahan
percobaan yang tak terkontrol dari esofagomiotomi yang dilakukan oleh Speiss dan Kahrilas.
Penelitian individual dipertimbangkan sebanding dengan ukuran sampel mereka. Tingkat
respon yang dikumpulkan, diperhitungkan rata-rata esofagomiotomi terhadap gejala disfagia
yang benar pada 2124 pasien dengan akalasia adalah 84% ± 20% dengan miotomi Heller
melalui thorakotomi, 85% ± 18% untuk laparatomi dan 92 % ± 18% dengan miotomi
laparaskopi. Data-data yang dikumpulkan mendukung pernyataan bahwa esofagomiotomi
merupakan pengobatan yang sangat efektif terhadap gejala disfagia sekunder akibat akalasia.
Tercatat, beberapa anak dan orang dewasa dengan akalasia akan mengalami masalah spesifik
disfagia, regurgitasi dan distensi proksimal esofagus, meskipun dengan pengobatan yang
agresif termasuk dengan pengulangan dilatasi, esofagomiotomi atau keduanya. Sementara itu,
meskipun perbaikan dengan pembedahan semakin mungkin untuk dilakukan namun
pengalaman untuk itu masih terbatas dan tidak terprediksi. Penggunaan anekdot esofagektomi
dengan koloni graft interposisi atau prosedur transposisi gaster telah dilaporkan.
Beberapa rangkaian kasus esofagomiotomi dilaporkan pada literatur bedah anak. Lebih
besar dan meneliti kasus tertentu dengan rekaman data follow up longitudinal yang diringkas
pada tabel 18.3. Perbedaan pada perhitungan perioperatif dari gejala, pendekatan operatif
(thorakotomi vs laparatomi) dan hasil pengobatan, analisis perbandingan hasil yang dibatasi
pada tabulasi dari keberhasilan penyembuhan yang dilaporkan dengan esofagomiotomi dalam
mengendalikan gejala disfagia. Meskipun terdapat pembatasan pada analisis perbandingan,
riwayat pelaporan dari pilihan pengobatan pembedahan pada akalasia pediatrik menunjukan
peralihan yang konsisten dari thorakotomi atau laparaskopi ke pendekatan invasif yang
minimal. Sebagai tambahan, hal tersebut berkembang menjadi sesuatu yang bisa diterima atau
konsensus untuk mendukung tindakan rutin dari prosedur antirefluks, yang paling banyak
dilakukan adalah fundoplikasi parsial setelah esofagomiotomi.
Tabel 18.3. Laporan serangkaian hasil terpilih penggunaan esofagomiotomi akalasia pada masa kanak-kanak
Penulis N Sangat
Baik
Baik/
sedang
Cukup/
buruk
Komplikasi Follow up
Tachovsky (1968) 15 12 1 1 3 Rata-rata 6,9 thn
Azizkhan (1980) 12 11 1a 0 3 Rata-rata 4 thn
Buick dan Spitz (1985) 15 9 3 3 1 Rata-rata 2,1 thn
Vane dkk (1988) 21 18 3b 0 9c Rata-rata 6,3 thn
Nihoul-Fekete dkk (1989) 35 32 2d 1 5 Rata-rata 1-25 thn
Emblem dkk (1993) 12 9 2 1e 4 Rata-rata 3,9 thn
Morris-Stiff dkk (1987) 10 8 2 0 3 Median 8 thn
Lelli (1997) 19 17 2f 0 0 Rata-rata 9 thn
Karnak dkk (2001) 19 14 3 2g 0 Kisaran 2 bulan –
16 thn
Hussain (2002) 29 15 4 2 0 Rata-rata 4,7 thn
a satu pasien membutuhkan operasi ulang setelah 4 bulan operasi awal
b satu pasien yang membutuhkan dilatasi setelah operasi; dua pasien membutuhkan esofagomiotomi kedua
c demam dan atelektasis; tiga pasien mengalami refluks gastroesofageal yang bermakna
d dua pasien membutuhkan fundoplikasi Nissen setelah operasi; prosedur antirefluks dilakuakan pada 33 pasien
e dua pasien membutuhkan dilatasi setelah operasi untuk sakitnya; satu pasien membutuhkan transposisi gaster setelah operasi
untuk sakitnya f
17 pasien mengalami penyembuhan terhadap gejala yang ada. Pasien secara subjektif menunjukan hasil keseluruhan rata-rata d sangat baik (68%) atau baik (32%)g
dua pasien mengalami stenosis esofageal sehingga membutuhkan esofagocardioplasti
Tidak ada data pasti yang menyarankan bahwa pembebasan gejala dari disfagia dari
cara yang berbeda berdasarkan penggunaan antara thorakotomi dengan laparatomi pada
akalasia pediatrik. Esofagomiotomi adekuat yang memotong distal esofagus dengan panjang 6
sampai 8 cm dan diperpanjang 1 sampai 2 cm ke fundus gaster dapat dilakukan dengan
pendekatan lain. Tachovsky, Lynn dan Ellis menggambarkan pengalaman Klinik Mayo antara
tahun 1950 sampai 1967 dengan 15 pasien pediatrik akalasia yang menggunakan cara
thorakostomi. Lama rata-rata perawatan di rumah sakit setelah operasi adalah kurang dari 7,5
hari dengan dilaporkan satu komplikasi sekunder empiema. Dengan pengecualian pasien ini,
lama rata-rata perawatan rumah sakit adalah 6,4 hari. Empat belas pasien yang diikuti
perkembangannya untuk periode rata-rata 6,9 tahun didapati 12 pasien yang dilaporkan bebas
dari gejala dengan sangat baik. Beberapa pusat kesehatan memakai pendekatan transabdominal
selama dua dekade. Laporan memasukan pendekatan thoraksatau trans abdominal lain untuk
memperbaiki akalasia pediatri. Tidak ditemukan perbedaan hasil dari thorakotomi dengan
laparatomi pada penelitian tak terkontrol ini dengan pengecualian lebih banyak pasien yang
dirawat dengan laparatomi yang secara bersama menjalani fundoplikasi rutin atau selektif.
Pemberian perhatian khusus pada refluks gastroesofageal yang terjadi segera atau tertunda
setelah dilakukan esofagomiotomi, beberapa ahli bedah menyarankan pendekatan
transabdominal yang lebih disukai untuk dilakukan fundoplikasi. Ballantine, Fitzgerald dan
Grosfeld melaporkan penggunaan dari transabdominal pada sembilan anak dengan akalasia;
tiga anak dilakukan fundoplikasi bersamaan dan dua anak membutuhkan fundoplikasi
berikutnya antara setelah 13 bulan dari pertama operasi untuk mengontrol gejala refluks
gastroesofageal.
Terdapat pendapat yang kuat tentang anatomi yang dirancang pada operasi untuk
memperbaiki kekurangan LES diperkirakan dapat meningkat kejadian refluks gastroesofageal.
Selanjutnya, tidak ada faktor preoperatif pada pasien tanpa hernia hiatus, yang membuat pasien
akalasia berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menjadi refluks gastroesofageal setelah
operatif. Meskipun penelitian melaporkan peralatan fundoplikasi tertentu dengan
esofagomiotomi umumnya anekdot. Penelitian menjelaskan kejadian refluks gastroesofageal
setelah operasi esofagomiotomi memiliki kisaran yang bermakna. Rata-rata laporan refluks
gastroesofageal setelah esofageal dengan atau tanpa fundoplikasi pada beberapa rangaian kasus
dewasa dari ) sampai 52 % dengan perhitungan insiden rata-rata 10-12%. Pembatasan panjang
miotomi sampai beberapa milimeter sampai ke lambung telah diajukan sebagai rata-rata
pengurangan refluks gastroesofageal dan mengurangi kebutuhan akan pemakaian fundoplikasi.
Pendekatan ini tidak ditujukan untuk mengurangi refluks gastroesofageal secara keseluruhan
saat dihitung dengan pengawasan pemeriksaan pH setelah operasi. Sebagai tambahan,
berdasarkan pengalaman saat ini dengan perpanjangan 3 cm miotomi gaster dilaporkan
mengurangi frekuensi dan beratnya disfagia setelah operasi jika dibandingkan dengan
perpanjangan 1,5 cm miotomi gaster pada orang dewasa.
Tabel 18.4. Rangkaian laparaskopi/thorakoskopi esofagomiotomi terpilih untuk akalasia pediatri
Penulis N TS Fundo Fungsi postopersi
sangat baik/baik
Komplikasi Follow up
Holcomb (1996) 2 0 0 2 (100%) 0 Rata-rata 17,5 bln
Esposito dkk (2000) 10 0 10 9 (90%) 3 Kisaran 6 bln - 6thn
Rothenberg dkk (2001) 9 4 5 7 (78%) 2
Mehra dkk (2001) 22 4 18 18 (82%) 2 Rata-rata 17 bln
Mattioli dkk (2003) 20 0 20 20 (100%) 2 Rata-rata 40 bln
TS = thorakoskopi
Fundo = fundoplikasi
Penerapan fundoplikasi dengan esofagomiotomi umumnya mewakili pilihan individu
atau institusi. Pengalaman di Perancis menggunakan esofagomiotomi tanpa fundoplikasi pada
empat pasien menyebabkan beratnya refluks gastroesofageal setelah operasi pada dua pasien
menyebabkan peneliti menggunakan esofagomiotomi dengan fundoplikasi pada 31 anak-anak
lainnya yang dilaporkan pada rangkaian kasus mereka. Berdasarkan pengalaman dari London
dan Cardiff pada anak-anak dengan akalasia yang diobati menggunakan esofagomiotomi
dengan fundoplikasi Nissen telah menunjukan hasil yang baik sampai sangat baik pada
pembebasan gejala untuk mengontrol penyakit refluks gastroesofageal setelah operasi, tanpa
peningkatan jelas disfagia. Pada rangkaian kasus dewasa yang dilakukan thorakoskopi
esofagomiotomi tanpa fundoplikasi dibandingkan dengan laparaskopi esofagomiotomi dengan
fundoplikasi sebagain untuk akalasia, kedua kelompok menunjukan pembebasan gejala disfagia
secara baik sampai sangat baik; namun, pada pasien yang telah menjalani pemeriksaan
pemantauan pH 24 jam postoperasi, 60% pasien diobati hanya dengan miotomi thorakoskopi
memiliki refluks gastroesofageal dibandingkan dengan 17 % pasien yang diobati menggunakan
miotomi laparaskopi dengan fundoplikasi parsial. Data-data ini menyarankan bahwa: (1)
esofagomiotomi didesain efektif untuk mengurangi tekanan LES istirahat tapi dapat
meningkatkan kejadian refluks gastroesofageal; (2) perpanjangan esofagomiotomi 1-3 cm distal
ke penghubung gastroesofageal mengurangi kemungkinan ketidaksempurnaan miotomi dan
disfagia postoperasi dan (3) penggunaan fundoplikasi bersamaan dengan esofagomiotomi
menjadi lebih disukai.
Pada tahun 1996, dilaporkan pengobatan yang berhasil dilakukan pada dua anak dengan
akalasia menggunakan laparaskopi esofagomiotomi. Pendekatan invasif minimal untuk
penyakit ini mengawali penerimaan penggunaan pendekatan ini dihubungkan dengan
pengurangan morbiditas postoperasi dan khususnya pengurangan sakit dan waktu perawatan
rumah sakit yang lebih pendek. Laporan penelitian kasus pediatri tertentu berdasarkan
pengalaman laparaskopi dan / atau thorakoskopi esofagomiotomi dicantumkan pada tabel 18.4.
Penelitian ini umumnya menunjukan hasil fungsional yang baik sampai sangat baik dengan
pengurangan disfagia. Pada pembukaan esofagomiotomi, perforasi mukosa esofagus dilaporkan
sebagai komplikasi dari laparaskopi atau thorakoskopi miotomi. Angka kejadian perforasi
mukosa esofagus awalnya lebih tinggi pada rangkaian invasif minimal berdasarkan pola
pembelajaran efek kurva. Seperti rangkaian kasus laparaskopi pada orang dewasa, ada
kecenderungan untuk dilakukan secara bersamaan dengan fundoplikasi baik pada anterior atau
posterior laparaskopi esofagomiotomi pada anak. Hasil awal dari laparaskopi esofagomiotomi
dengan fundoplikasi untuk anak dengan akalasia cukup memuaskan, tapi tetap butuh evaluasi
berlanjut untuk melihat keefisiennya pada follow up jangka panjang. Jika hasil jangka panjang
pada anak sama dengan hasil pada orang dewasa, maka pendekatan laparaskopi dapat enjadi
standar terapi primer untuk akalasia pada masa kanak-kanak.
Ringkasan
Pengobatan akalasia pada masa kanak-kanak masih menjadi masalah pembedahan yang
menantang. Pengobatan efektif dari akalasia pediatrik terletak pada pengurangan irama LES
istirahat dengan intervensi medis atau pembedahan, sehingga mempermudah pengosongan
lambung. Gangguan motilitas esofagus berhubungan dengan akalasia adalah gangguan seumur
hidup. Inti penyelesaian masalah yang dapat diterima untuk pengobatannya adalah
pertimbangan terhadap keefisiennya, tahan lama dan morbiditas dari intervensi terapeutik.
Penanganan yang akurat dari kemampuan bertahan hidup dan pengontrolan gejala disfagia
secara objektif dan refluks gastroesofageal selama periode postoperasi adalah hal yang sangat
berarti untuk menilai hasil jangka panjang. Dilatasi pneumatik telah diterima sebagai terapi
efektif untuk akalasia kanak-kanak namun efisiensi dan daya tahan dilatasi masih kurang
diprediksi dibandingkan dengan miotomi Heller. Esofagomiotomi adalah terapi mujarab dan
tahan lama untuk akalasia, dan dengan teknik laparaskopik mengurangi morbiditas.
Pembatasan panjang miotomi menjadi beberapa milimeter sampai lambung telah
diusulkan dengan maksud menurunkan refluks gastroesofageal postoperasi dan mengurangi
kebutuhan akan fundoplikasi. Namun teknik ini tidak dapat menghilangkan refluks
gastroesofageal secara sempurna saat dihitung dengan pemeriksaan kontrol pH postoperasi.
Sebagai tambahan, berdasarkan pengalaman dengan perpanjangan 3 cm dari miotomi lambung
dilaporkan dapat mengurangi frekuensi dan beratnya disfagia postoperasi jika dibandingkan
dengan riwayat miotomi gaster 1,5 cm pada orang dewasa. Berdasarkan pengalaman London
dan Cardiff pada anak akalasia yang diobati dengan esofagomiotomi dan fundoplikasi Nissen
menunjukan respon yang baik sampai sangat baik pada pembebasan gejala dan pengontrolan
penyakit refluks gastroesofageal tanpa peningkatan jelas pada disfagia postoperasi dari
fundoplikasi. Data-data ini menyarankan bahwa (1) esofagomiotomi diperpanjang 1 sampai 3
cm distal ke penghubung gastroesofageal akan mengurangi kemungkinan miotomi yang “tidak
sempurna” dan gejala disfagia; (2) esofagomiotomi efektif mengurangi tekanan LES istirahat
dengan konsekuensi peningkatan kemungkinan refluks gastroesofageal; dan (3) secara
bersamaan prosedur antirefluks dilakukan dengan esofagomiotomi mengurangi angka kejadian
refluks gastroesofageal postoperasi.
Lenner dkk melakukan transthorasik esofagomiotomi pada 6 anak dan rata-rata follow
up hampir 2 tahun menunjukan tidak ada yang memberi gejala refluks gastroesofageal.