Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
1 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
AKTING SUPALI DALAM PEMENTASAN YANG BERJUDUL
SUPALI GENDENG WEDOKAN
ROCI MARCIANO
Dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
ABSTRAK
Ludruk telah menjadi teater tradisi yang memiliki makna sebagai media pembelajaran yang baik di
masyarakat, khususnya Jawa Timur. Hidupnya Ludruk juga tidak terlepas dari peran serta aktor
yang menjadi icon, sehingga ludruk sebagai kesenian menjadi sangat dekat dengan penontonnya,
seperti Supali yang bahkan tidak berjarak dengan masyarakat. Sosok Supali telah menjadi ikon
dalam setiap pementasan yang diperankannya, sehingga disetiap kehadirannya dalam pementasan
selalu dihadiri oleh penggemarnya yakni masyarakat khususnya Jawa Timur. Melalui penelitian ini
pula dapat mengetahui struktur dan tekstur tentang lakon SGW dan bagaimanakah gaya akting
Supali dalam berperan. Mengapa meneliti gaya akting Supali? Karena tema penelitian masih sesuai
dalam mengikuti perkembangan gaya akting di Indonesia, ludruk Jawa Timur khususnya, dan juga
melihat semakin hilangnya esensi gaya akting aktor-aktor Indonesia baik dalam film dan teater yang
lebih terpengaruh dengan metode atau gaya akting aktor-aktor Barat. Penelitian gaya akting Supali
dalam lakon Supali Gendeng Wedokan, diharapkan mampu menjadi pembanding sebagai pilihan
untuk menjadi salah satu gaya acting untuk di aplikasikan di kancah perteateran Indonesia.
Kata kunci: penelitian gaya akting, SGW, ludruk, aktor, Jawa Timur, teater.
A. PENDAHULUAN
Ludruk sebagai suatu jenis kesenian yang berasal dari daerah Jawa Timur berasal dari
pergerakan seorang aktor, meskipun tokoh yang sedang menyajikan ludruk tersebut tidak
mengetahaui dirinya seseorang yang disebut dengan istilah aktor. Sebab ludruk diketahui berasal
dari daerah Jombang, yakni ketika seorang bernama Pak Santik (aktor) di desa Ceweng, Kecamatan
Jombang, yang mempunyai sifat humoris dan lucu, yang didesak oleh kebutuhan hidup. Berkeliling
seorang diri sambil menari dan bernyanyi dan sedikit berceritera, lalu memperoleh uang atas
kegiatannya, dan dari sinilah lahir apa yang disebut dengan Lerok Barangan, yakni suatu bentuk
ludruk yang mula-mula dilakukan seorang diri. Dalam perkembangannya ada juga yang disebut
dengan Ludruk Garingan, yaitu ludruk yang dimainkan seorang diri dengan tidak diiringi oleh
tetabuhan apapun (Ahmad, 2006: 151-152).
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
2 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
Meskipun akhir-akhir ini ludruk mengalami pasang surut dalam eksistensi, Seperti yang
diungkapkan oleh Kasiyanto Kasemin (1999) yang mengatakan bahwa; akhir-akhir ini ludruk
kurang menguntungkan sebagai komoditi komersial, karena ada kecendrungan kesenian tradisi
Jawa Timur ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat (Kasiyanto, 1999: 2). Pernyataan ini
penulis bantah karena melihat kondisi di lapangan tidaklah demikian, melihat masih bergairahnya
masyarakat Jawa Timur dalam mengapresiasi kesenian ludruk. Jika sambutan dari kaum akademisi
atau terpelajar bisa saja benar, sebab setiap kali ludruk di pentaskan jarang terpublish tulisan dalam
bentuk kritik yang membangun atas pementasan ludruk yang berlangsung.
Padahal di masa kejayaannya, ludruk sempat menjadi hiburan primadona bagi masyarakat,
khususnya masyarakat Jawa Timur, dan juga menjadi alat politik bagi oknum-oknum tertentu.
Seperti yang pernah dikatakan Peacock, dua manajer rombongan ludruk tampaknya telah berhasil
meningkatkan statusnya dengan mengambil bagian dalam partai politik PNI dan PKI. Karena para
partisipan ludruk kebanyakan adalah orang-orang abangan, mereka tidak akan bisa memasuki
hirarki birokratis kementrian agama pemerintah pusat yang penuh warna keislaman (Peacock,
2005:142). Berdasarkan kutipan tersebut jelas bahwa pada masa Orde Lama ludruk terbagi
kedalam dua golongan, yaitu ludruk yang berada dalam ikatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) dan ludruk dalam ikatan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional).
Terlepas dari persoalan yang telah diterangkan di atas, berbicara soal ludruk tidak akan
pernah bisa melupakan hal-hal penting lain yang tergabung di dalamnya, seperti masalah
kesejarahan atau asal-usul, manfaat, bentuk penyajian, kemasan, pemain, dan lain sebagainya.
Terutama aktor, karena memang pada dasarnya seni pertunjukan yang menghadirkan cerita sebagai
sajian utamanya, akan sangat bergantung pada tokoh aktor yang berperan di dalamnya. Seperti
Teater Bangsawan (1870-an di Penang) yang memiliki pemain wanita pertama yang menjadi
primadona yaitu Cik Tot, teater Orion yang dikenal dengan Miss Riboet’s Orion (1925), The Malay
Opera Dardanela (1926) dengan bintang panggungnya Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II, dan
Astaman dan penulis naskah Andjar Asmara, yang bahkan mendapat gelar dengan sebutan sebagai
“Dardanela’s big five” (Sumardjo, 102 & 108: 1997).
Hal ini menegaskan bahwa sukses atau tidaknya pementasan, ditentukan oleh seorang
pemeran yang membawakan lakon sebagai tontonan utamanya yaitu, berkat peran aktor yang hadir
dalam mendukung pementasan. Mengingat banyaknya peran positif seni pertunjukan ini sebagai
warisan bangsa, karena cukup unik dan menarik, maka sudah sepantasnya generasi selanjutnya
memiliki kesadaran untuk menjaga, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan kesenian
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
3 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
ini menjadi kesenian yang bisa diapresiasi secara Nasional dan Internasional. Selain itu ludruk dan
aktor yang berperan di dalamnya juga merupakan cerminan masa lalu yang memberikan arti besar
tentang penggambaran perjuangan masyarakat Indonesia.
Salah seorang tokoh sekaligus aktor ludruk yang akan penulis bahas disini adalah
Almarhum Supali, seorang pelaku seni tradisi yang banyak memberikan sumbangan pada dunia
kesenian tradisional Indonesia khususnya ludruk hingga akhir hayatnya. Eksistensi Supali ini juga
seiring dengan pernyataan Setiawan (2012) yang mengatakan; “Supali menjadi faktor penting di
balik besarnya gaung LKBM. Berbicara LKBM berarti berbicara tentang Supali. Darinya senantiasa
memunculkan rangkaian kejutan yang selama ini mandul dimiliki oleh kelompok ludruk lain. Sebut
saja misalnya nuansa dagelan serta drama yang secara khusus menggunakan gending-gending
karyanya. Ia menjadi maestro lawak, yang namanya tidak semata mampu untuk disandingkan
dengan tokoh-tokoh ludruk lainnya, namun juga abadi di hati masyarakat pecinta ludruk Jawa
Timur”
Pementasan ini memuat keunikan Supali dalam membawakan perannya ketika berada di atas
panggung. Penulis merasa bahwa dalam pementasan lakon SGW, Supali sukses membawakan
perannya, dan membuat penontonnya terus mengingatnya sehingga dampaknya mengalami
kesuksesan untuk Perdana Record pada masanya. Seperti yang dikatakan Raharja (2011)
mengatakan; “Di luar tugasnya sebagai pelawak LKBM, ia juga mengembangkan sayapnya melalui
dunia musik, terutama campursari. Untuk mendukung kegelisahannya tersebut, pada tahun 2005 ia
mendirikan HSP Production yang membidangi seluruh bentuk kesenian yang bersifat hiburan.
Tidak berselang lama, ia kemudian juga mendirikan Grup Campursari yang diberinya nama
Omnata. Grup ini lantas di daftarkannya secara resmi ke Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Mojokerto untuk memperoleh nomor induk kesenian. Kegelisahannya dalam
bidang musik inilah yang kemudian dijadikan pertimbangan oleh Drs. H. Eko Edy Susanto, M. Si,
selaku Ketua Umum Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM), mendapuk Cak Supali
sebagai pengurus dalam Biro Musik Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto untuk masa bakti 2010
- 2015. Sebelumnya, Cak Supali juga menjadi pengurus DKKM periode 2005 - 2010 sebagai Biro
Seni Tradisi yang diketuai oleh Hardjono WS”.
Secara umum masyarakat tahu bahwa Supali juga tokoh di LKBM. LKBM juga ikut
merasakan dampaknya, karena Supali menjadi salah satu idola tokoh luduruk di Jawa Timur.
Bahkan Aris Setiawan juga menuliskan bahwa namanya sejajar dengan maestro ludruk lainnya
seperti Kartolo, Sapari, Umi Kalsum, Sidik dan Agus Kuprit. Namun berbeda dari para seniornya
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
4 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
itu, Supali berjuang bukan lewat jalur rekaman kaset komersial. Ia justru dengan teguh
menziarahkan hidupnya untuk dibesarkan dari panggung ludruk tobong, berpentas dari satu pintu
rumah ke rumah yang lain. Tidak hanya itu, di balik kelihaiannya dalam mengocok perut
masyarakat, Supali adalah musisi dan komposer musik yang handal. Tak kurang 50 lagu campursari
dan konser gamelan untuk ludruk telah diciptakannya. Salah satu karyanya yang paling monumental
dan hingga detik ini masih membahana di pangung-panggung musik gamelan Nusantara adalah
‘sambel kemangi’.
Banyaknya prestasi yang dilakukan Supali seperti pada keterangan di atas, akhirnya penulis
memilih salah satu diantaranya, yaitu pementasan lakon SGW. Kesuksessan Supali dalam
membawakan perannya dalam lakon SGW inilah yang kemudian merangsang rasa penasaran
penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang akting atau gaya akting Supali. Dalam
penelitian ini penulis akan menyingkap apakah Supali melakukan akting atau seni akting yang
disebut juga dengan gaya akting atau justru malah tidak berakting, hal inilah yang akan disingkap
pada penelitian ini.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan ini juga beralasan karena sebelumnya, telah cukup lama teater modern Indonesia
banyak menggali teori-teori dramaturgi teater Barat (Sahid, 2013: 9). Teori yang membantu untuk
membaca gaya akting Supali juga beberapa menggunakan metode teori akting dalam teater Barat,
namun tidak menutup kemungkinan berdasarkan penelitian ini bisa menemukan metode baru
tentang gaya akting yang telah diwujudkan oleh Supali selama masa karirnya menjadi aktor ludruk.
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menawarkan konsep, ide dan gagasan penelitian yang berdasarkan versi penulis adalah suatu
kebaruan.
2. Menguji metode penelitian keilmuan pemeranan yang telah dipelajari selama ini, untuk
diterapkan dalam mata kuliah seni peran yang diajarkan di Jurusan Teater STKW.
3. Memperkaya bentuk-bentuk penelitian di kampus STKW Surabaya.
4. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dipelajari sejak tahun 2007 hingga sekarang dalam
bentuk penelitian tentang gaya akting.
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
5 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Menambah wawasan dan pengalaman bagi Penulis tentang gaya berperan yang diciptakan
oleh Supali sebagai salah satu gaya akting di Indonesia.
2. Sebagai referensi dan bahan pustaka mengenai Supali dengan Gaya aktingnya
3. Sebagai bahan referensi, karena penelitian yang dilakukan saat ini dan sebelumnya belum
pernah ditulis.
D. PEMBAHASAN
Menganalisis gaya akting Supali dalam pementasan lakon SGW berasal dari ide karya dan
Sutradara Cak Bowo yang diproduksi oleh Perdana Record. Pementasan SGW adalah pementasan
lawak ludruk dengan ide cerita dan sutradara Cak Bowo. Cak Bowo dalam pementasan ini juga
merangkap sebagai pemain yang kemudian berperan menjadi solusi akhir cerita. Dalam cerita
lakon SGW, sudah dilakukan pengkajian melalui struktur dan tekstur, yang kemudian memutuskan
bahwa Supali adalah pemain utama, yang juga bertugas sebagai penarik garis dari keseluruhan
cerita yang disajikan kepada penonton (point of interes). Tugas fundamental aktor adalah
“menemukan, mengadopsi, dan memerankan” topeng yang tepat (Harrop & Epstein, 1982: 10).
Dalam pembukaan pementasan SGW ini di awali dengan berbunyinya suara keprakan
gendang sebagai tanda musik pembuka adegan pertama. Masuklah Supali dan Langgeng dengan
menari bersamaan. Tampak dari tarian yang dibawakan oleh Supali dan Langgeng, ialah tari
improvisasi. Adegan pembuka dengan hadirnya Supali, telah melakukan demonstrasi tubuhnya
sebagai perangkat untuk berakting, meskipun tubuh yang dihadirkan dalam menari sengaja dibuat-
buat atau direkayasa dan karikatural, terkadang dilakukan secara slapstick. Kemunculan dengan
menari inilah yang menjadi penanda awal bahwa Supali dan Langgeng masuk ke area panggung,
yang disebut juga area beraktingya para aktor. Mungkin ada yang beranggapan persoalan ini tidak
penting, tetapi sebenarnya justru kasus-kasus perbatasan antara akting dan bukan-akting ini yang
akan memperdalam pemahaman tentang teori akting dan hakekat seni akting (Kirby, 1998: 80).
Pada saat menari di beberapa adegan termasuk awal, juga tampak gaya Supali yang
berakting pura-pura mau jatuh, dan aksi tersebut dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan
efek tawa pada penonton. Supali mengeluarkan beberapa teknik dalam jogednya, di antaranya gerak
pantomime dan tubuh yang karikatural, tidak berpola, kasar dan tanpa rancangan yang dilatihkan,
apa yang tampak dari demonstrasi tubuh Supali adalah berdasarkan memori tubuh yang selalu
digunakan saat berperan dalam setiap pementasan dan adegan ini berlangsung selama lima menit.
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
6 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
Setelah lima menit menari secara improvisasi kemudian terdengar kata stop-stop dan Supali
langsung merespon property handphone yang mengantung di ikat pinggannya seakan mematikan
musik yang mengiringi tarian mereka.
Gambar:
Akting Supali saat menari improvisasi
(foto koleksi Perdana Record, tahun 2006).
Akting yang menggunakan dialog akhirnya bisa di lihat pada adegan pertama. Dalam
konteks ini, dialog merupakan unsur penting di dalam drama (Sahid, 2013: 67). Dialog adalah
percakapan dua orang atau lebih. Karya sastra berbentuk drama biasanya sangat identik dengan
dialog. Biasannya dengan adanya dialog-lah watak dan karakter dari masing-masing tokoh di
sebuah lakon bisa terbaca oleh penonton (Sahid, 2000: 82).
1 Langgeng : heeeh... Stop stop stop stop reekk.. Stop rek .. Koncoku enek sing
kenek struk . Lhoh iki loh laaap (mlihat baju Supali) .. Oo. Ketoro
nek wong kedunyan kok li. / heeeh... Stop stop stop stop reekk..
Stop rek... Temanku ada yang kena struk. Lhoh ini loh nga (mlihat
baju Supali)... Oo. Ketauhan kamu kalau mementingkan hartamu
kok li
2 Supali : loh kok kedonyan / lah kok mementingkan hartamu
3 Langgeng : lah enak enak joget kok malah nyekeli hp ikuloh / lah enak enak
joget kok malah pengang hp ituloh
4 Supali : loooh... Iki maeng seng muni iki’e / lah tadi ini yang bunyi’e
Berdasarkan fakta dari kutipan dialog di atas, maka identifikasi gaya akting Supali bisa
diketahui, apakah suara dan teknik diksi terolah seperti para aktor yang memahami ilmu-ilmu
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
7 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
keaktoran yang berangkat dari Barat.1 Setelah mengamati dengan seksama, maka tampak bahwa
Supali tidak menggunakan gaya akting yang dipahami secara keilmuan dalam seni peran realisme
yang menegaskan aktor dalam aktingnya memiliki system untuk mencipta secara organik (Sitorus,
2002: 32). Berhasilnya aktor menciptakan peran secara organik bertujuan untuk menciptakan
cerminan bagi penonton yakni, secara tidak langsung aktor menciptakan ilusi.
Dalam lakon SGW yang diamati untuk mengetahui gaya aktingnya, baik itu pengamatan
melalui dialog antara Supali dan Langgeng, tampak berkutat dalam ranah improvisasi yang banyak
memabahas seputar pengetahuan tentang hal-hal yang tercipta spontan. Sehingga dari akting yang
dilakukan Supali muncul beberapa dialek yang diungkapkan di antaranya ialah dialek Bali, tetapi
tubuh dan rasanya tidak menjadi orang Bali, hanya kemampuan verbal yang bisa menirukan dialek
Bali. Pada adegan ini bisa terlihat bahwa Supali melakukan split akting secara dialek, dari dialek
Jawa Timur sebagai bahasa ibu, ke dialek Bali sebagai hasil eksplorasi dalam improvisasi cerita.
Akting adalah berpura-pura, menirukan, merepresentasikan, memerankan. Seperti tampak
jelas dalam Happening, tidak seluruh pergelaran (performing) adalah akting (acting). Meski akting
kadang digunakan, pelaku dalam Happening umumnya cenderung tidak ‘menjadi’ siapa pun selain
dirinya sendiri; juga, dia tidak merepresentasikan atau berpura-pura sedang berada pada waktu atau
tempat yang berbeda dengan penonton. Mereka berjalan, berlari, berkata-kata, bernyanyi, mencuci
piring, menyapu, menjalankan mesin dan peralatan pentas dan seterusnya, tetapi ketika
melakukannya mereka tidak sedang menirukan atau memerankan orang lain (Kirby, 1998: 80).
Berdasarkan dari pernyataan Kirby ini maka jelas bahwa ada saatnya Supali berakting dan
ada saatnya Supali tidak berakting. Akting yang bisa dilihat pada Supali ialah pada saat Ia
mempraktekkan semua tiruan laku, dialek, jogged yang ia bisa, dan yang menarik serta membuat
lucu dari aktingnya ialah pada saat jogged poco-poco yang diplesetkan.
Gambar
Akting Supali saat menari poco-poco dan meniupkan ingusnya
(foto koleksi Perdana Record, tahun 2006).
1 Pemahaman Barat yang dimaksud dalam penelitian ini ialah metode yang secara umum telah diketahui oleh
khalayak umum khususnya di bidang seni peran teater. Pemahaman ilmu keaktoran yang diakui secara akdemisi ialah
metode aktingnya Stanislavsky dan Richard Bolelavsky.
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
8 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
Dalam pementasan ini juga tampak aksi Supali yang berakting sarkasme dengan tiba-tiba
menyemprotkan ingusnya pada Langgeng (seperti adegan awal misalnya). Bahkan Supali yang
memiliki tutup kepala udeng batik ini melakukan adegan menyemprot ludah pada temannya.
Tampak akting yang dilakukan oleh para aktor seperti Supali dan Langgeng slapstik, seperti topi
dicopot dan di lempar sebagai bagian dari atraksi dalam lawak SGW, meskipun lemparan tersebut
adalah pura-pura sebagai ungkapan rasa kesal. Komedi pada umumnya melibatkan pemakaian
topeng-topeng manusia, permainan dengan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan
manusia (Harrop&Epstein, 1982: 137). Akhirnya akting Supali pada adegan ini menandakan bahwa
gaya aktingnya yang digunakan ialah akting representatasi.
Akting representasi pada dasarnya berusaha untuk mengimitasikan dan mengilustrasikan
tingkah laku karakter. Aktor representasi percaya bahwa bentuk karakter diciptakan untuk dilihat
dan dieksekusi di atas panggung. Dengan kata lain, akting representasi berusaha memindahkan
“pyche” (jiwanya) sendiri untuk mengilustrasikan tingkah laku karakter yang dimainkan sehingga
penonton teralienasi dari si aktor. Tendensi akting representasi adalah formal dan cendrung
mengikuti “fashion” yang ada. Tetapi empati dengan tingkah laku manusia, keikut sertaan emosi
antara aktor dan penonton tidak ada (Sitorus, 2002: 19).
Sebagai bagian dari pendukung perangkat akting, seperti kostum Supali yang berbaju hijau
garis hitam lurus ke bawah, mengenakan udeng batik, celana biru dan bersepatu sandal, property
handphone, dompet dan rokok, seting yang memiliki latar kain biru, lantai karpet hijau dan make-
up korektif. Menunjukkan bahwa lakon SGW ini tampak sederhana dan ingin menghadirkan apa
adanya. Intinya pada lakon SGW ini lebih ditonjolkan ide cerita dan kekuatan para aktor/aktrisnya.
Sehingga apa yang tampak sebagai perangkat untuk membantu akting Supali, tidak bisa dijadikan
sebagai tolok ukur sebagai untuk mengidentifikasi tokoh yang diperankan Supali, karena memang
Supali dalam lakon ini tidak memerankan siapa-siapa, melainkan memerankan dirinya sendiri yang
terkadang berpura-pura menjadi siapa saja yang diinginkannya.
Gambar
Akting Supali saat berdialog dengan Langgeng
(foto koleksi Perdana Record, tahun 2006)
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
9 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
Dalam gaya Supali ketika berakting juga bisa dilihat ketika Ia sengaja melakukan salah
dalam mengucapkan kata, misalnya mengucapkan kata musik menjadi musim atau musir. Hal ini
akhirnya menjadi Cirri khas Supali dalam berakting disetiap pementasannya. Bagaiamana
mempertontonkan suatu kesalahan menjadi tontonan yang menarik, karena didalam bermain
komedi tampak bahwa suatu kesalahan bisa menimbulkan effek lucu pada penonton. Proses yang
mendasari semua kreativitas adalah bahwa setiap tindak penciptaan dimulai dari suatu jenis
impulse. Impulse itu bisa berupa ide, bisa berupa gambar, bisa bermuara dari imajinasi murni, atau
sebagaimana biasanya diasumsikan dalam dunia teater. Bisa berujud respon aktor terahadap teks
drama. Impulse adalah gerak kearah aksi (Harrop&Epstein, 1982: 4).
Keluar masuknya Supali dalam berakting membuat tontonan tidak jenuh untuk disaksikan.
Namun pada adegan dua ini pembahasan belum jelas, artinya belum tampak arah konflik cerita
yang akan dituju, para aktor masih sibuk berbicara dan bercerita melompat-lompat dari topik yang
satu dan topik lainnya, sehingga gagasan cerita belum mengarah seperti judul pementasan. Supali
dan Langgeng masih melucu, meskipun kelucuan yang tampak dengan gaya sarkasme, seperti
Supali yang di dorong mulutnya oleh Langgeng. Adagium “style is the man” mengandung
pengertian bahwa gaya merepresentasikan suatu pendekatan esensial kekehidupan yang
termanifestasi dalam pilihan-pilihan aksi (Harrop&Epstein, 1982: 5).
Selama pertunjukan berlangsung, pengolahan rasa memang tidak bisa dirasakan dalam
pertunjukan, terutama ketika para aktor sibuk dalam dagelannya, atau ketika melucu. Pertunjukan
ini ketika dimulai sudah membawa suasana yang bahagia, yakni munculnya Supali dan Langgeng
dengan menari improvisasi, sehingga ketika pertunjukan berlangsung, yang bisa dirasakan adalah
suasana canda dan tawa, meskipun dalam komedi tersebut disampaikan pesan-pesan moral secara
wajar. Akan tetapi pada saat Supali bernyanyi sholawatan yang nadanya sesuai dengan gending
karawitan, bisa dirasakan adanya rasa yang terolah sebagai perangkat keaktoran Supali. Tidaklah
mudah menyesuaikan nada melalui gending karawitan seperti yang di lakukan oleh Supali ketika
cek nada dengan pengrawit ninano, ninanonane nano. Bisa dirasakan bahwa Supali memang
seorang aktor yang baik olah rasanya. Demonstrasi gesture yang dibuat-buat yang ditampilkan oleh
aktor Supali dan Langgeng yakni, ketika Supali menampilkan gerak robotik pada saat selesainya
lagu sholawatan. Tubuh adalah sumber utama signifikansi, dan sarana untuk memahami hubungan
antara alam dan budaya dalam kehidupan manusia. Kita menggunakan tubuh, wajah, tangan dan
bagian tubuh lainnya untuk merepresentasikan dan mengkomunikasikan maksud, peran, kesan,
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
10 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
kebutuhan dan seterusnya, bukan hanya memberi sinyal untuk kebutuhan biologis (Danesi, 2012:
74).
Pada beberapa pementasan yang banyak bersifat improvisasi, ia selalu membawa ciri
khasnya. Diantaranya menyanyikan lagu populer, qiro’at, dan beberapa campursari-an. Namun
bakat yang sangat menonjol dalam improvisasi musikal ialah memparodikan lirik-lirik lagu. Itu
terjadi pada pementasannya yang lain pula. Hal ini ditandai dengan ketika para aktor berbicara
selalu diiringi dengan gerak tangan yang tidak singkron dengan maksud perkataan, misalnya gerak
tangan yang monoton, tampak bahwa gesture yang hadir dari aktor tidak lahir dari bangunan
perasaan, melainkan tampak bagian dari efek improvisasi. Akting adalah pemeranan aksi-aksi fisik,
dan karenanya menolong aktor memperoleh suatu gambaran kongkrit mengenai bagaimana
seharusnya melakukan pemeranan gaya itu sendiri secara fisik (HarropEpstein, 1982: 11).
Komedi cendrung “bermain-main” dengan apa yang kemungkinan besar menyakitkan, dan
kebutuhan memelihara keseimbangan yang diperlukan, yakni kebutuhan memelihara
(mempertahankan:pen) jarak yang tepat dari realitas yang menyakitkan. Suatu pendekatan lincah
dan jenaka namun sama sekali serius, membuat pemeran komedi itu sendiri menjadi barangkali tes
terbesar terhadap kemampuan seorang aktor (Harrop&Epstein, 1982: 138). Tubuh Supali ketika
menari juga sesekali menggunakan kiting tangan yang biasanya di tarikan oleh para penari Jawa.
Jogged-joged dilakukan secara improvisasi seperti gerakan pantomim, dan pada adegan dua ini
suasana yang dihadirkan masih berkutat pada kegembiraan, masih melucu dan cerita belum
menyinggung tema yang akan disampaikan. Komedi itu sendiri berkisar mulai dari bentuk humor
fisik yang paling kasar dan paling kasual sampai kepada pengekspresian kata-kata jenaka intelektual
yang paling elegan. Komedy rendah (low comedy) ke komedi tinggi (high comedi), farce kekomedi
tata karma (comedy of manners) (Harrop & Epstein, 1982: 137).
Aksi karikatural Supali yang membuat penonton tertawa terbahak, juga didukung pada
adegan saat Supali menyanyi lagu dangdut yang berjudul cup-cup dikecup. Supali mencium pipi
Langgeng dua kali hingga kemudian mencium ketiak Langgeng. Karena Langgeng curiga bahwa
Supali menciumnya dua kali secara berulang-ulang, dengan gaya dan posisi yang sama. Fokus
komedi adalah mengacaukan dan memulihkan “ekwilibrium” sang tokoh protagonist, kemenangan
sang protagonist oleh karena kecakapan verbal, kebertuntungan atau kekuatan. Atau penerimaan
kesialan oleh humor filosofis atau ironis (Harrop&&Epstein, 1982: 137). Supali dan Langgeng
saling bernyanyi dan kemudian mempraktekkan adegan dari setiap lagu yang dinyanyikan, pada
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
11 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
saat adegan inilah terdengar bahwa suara Supali termasuk pada kategori bagus dan indah bila
didengarkan, meskipun gerak tangannya diulang-ulang.
Di dalam drama terdapat beberapa ide yang tidak sama, pengarang mewujudkannya dalam
bentuk watak-watak yang berbeda sehingga terjadilah penokohan. Seorang tokoh bergerak di atas
panggung oleh dorongan motivasi yang kemudian berkembang menjadi perbuatan atau watak yang
bisa diamati melalui identifikasi tokoh secara makhluk sosial, dan perwatakan tokoh dapat di
maknai apakah Flat Character (perwatakan dasar) atau Round Character (perwatakan bulat)
(Satoto, 2012: 44). Seperti yang dikatakan Evan Darwin Winet dalam penelitiannya terhadap gaya
akting di Indonesia bisa dilacak pada kutipan di bawah ini: “Sani looked to Konstantin Stanislavsky
as the answer to Ismail’s failure to discover a productive middle ground between technique and
spontaneity. He began his formal theatre studies with a brief sojourn at the Theaterschool of the
Hogeschool voor de Kunsten in Amsterdam in 1952 (Rosidi and Sani, 1997: xv). Either here or on
subsequent trips to the United States in 1954 (to Harvard) and 1956 (to the University of Southern
California), he became convinced that Indonesia’s path to its own version of Italian neorealism
depended on a Stanislavskian approach to akting. It can be surmised that he was drawn to
American Method more specifically at the time of his extended study of dramaturgy and
cinematography at USC in Los Angeles in 1956 (1997: xvii). Indeed, the akting manuals that
formed the canon of the Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI, Indonesian National Theatre
Academy) through Sani’s translations (Richard Boleslavsky’s The First Six Lesson) and
Stanislavsky’s American trilogy – An Actor Prepares, Building a Character and Creating a Role)
indicate that he followed the American, rather than the Russian or even European textual
traditions.12 Sani was not content, however, simply to translate. Through his philosophical
commitments to individualism, existentialism and postcolonial cultural nationalism, he developed a
unique understanding of American Method acting as indispensable to the Indonesian national
project. As head of Indonesia’s leading theatre academy, Sani built the entire training program
around this understanding (Winet, 210: 134)”
Joseph Chaikin, telah mencatat bahwa “gaya teater adalah berinterkoneksi dengan gaya
hidup dan gaya fikir, segala yang kita lihat membawa suatu rekomendasi untuk dilihat di dalam
suatu system persepsi tertentu (Harrop, 1982: 7). Pada adegan tiga ini Supali masih berperan dengan
gaya flat karakter, karena belum tampak transisi akting yang menonjol, aksi yang dilakukan ialah
mempraktekkan sinchan kartun Jepang yang sempat popular di layar kaca, sehingga yang bisa
dirasakan dan didengar sebagai akting Supali ialah pada olah suara.
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
12 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
Saat Supali berakting ngambek, dengan spontan Ia berajalan bergaya seolah-olah seorang
model, aktingnya ini kemudian disebut juga dengan split akting, namun aksi yang dilakukan hanya
bersifat untuk memberi efek lucu pada penonton. Berbeda menurut penulis, bila diamati lebih detil
bahwa disinilah tampak kekuatan Supali sebagai seorang aktor ludruk. Ludruk tidak akan mampu
berkembang pesat dan bisa diterima oleh masyarakat luas jika orang-orang yang menaunginya tidak
mempunyai strategi penyampaian yang baik, untuk itu perlu diadakan pementasan yang terkemas
rapi dan menarik agar penyampaian kesenian tradisional ludruk bisa diwujudkan (Supriyanto, 2001:
7).
Gaya perwujudan eksternal suatu esensi internal, yang dengan sendirinya ditentukan oleh
pelbagai respon warisan dan lingkungan atau keadaan tertentu. (Harrop&Epstein, 1982: 5). Namun
pada adegan ini, ada satu hal yang kemudian menjadi hal menarik sebagai teknik akting Supali,
yakni pada saat Ia menatap kearah luar dan akting Supali seoalah-olah sedang melihat motor yang
Ia parkir, bahkan PS sebagai lawan bermainnya, sempat terkecoh dan tidak menduga bahwa apa
yang dimaksud Supali adalah sesuatu bercanda.
Penilaian ini akhirnya mengamati bahwa Supali mampu memberi sugesti dalam aktingnya
meskipun kemudian akting tersebut dipatahkan kembali. Setelah berakting dengan tatapan imaji
tersebut, kemudian Supali keluar dengan kalimat penutup bahwa Ia ingin membicarakan soal
niatnya pada orang tua perihal keinginannya untuk menikah, dan Ia juga berpesan kepada pacarnya
agar membicarakan persoalan pernikahan mereka kepada kedua orang tuanya.
Pengadeganan ini menjadi lucu dan bertambah seru karena terjadi perdebatan yang ganjil
melihat anak dan ibu sama tuanya yakni Supali dan IS. Akting yang muncul dari masing-masing
aktor tampak berpura-pura kaget karena Supali belum disunat, dengan pura-pura menampilkan rasa
sedih, PS cukup kecewa mengingat mengapa sampai setua ini Supali belum disunat. Akting yang
muncul dalam pengadeganan ini tidak menunjukkan kesungguhan dalam penyesalan, baik itu dari
PS maupun dari Supali itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Harrop menyatakan: “The
‘temperance’, the focus and control are a function of the skill with which an actor creates a sign;
usually by the use of gestures: the doing of some physical activity, including speaking. The right
gesture will be the precise, integrated centre of everything taking place on stage at that moment. It
will have an inevitability in the way in which it illustrates the essence of the moment of action as
intuited by the playwright. It is calculated, but appears effortless—yet another of the dichotomies of
theatre.It will be the right choice, at the right moment, with the right dynamics. It will be articulated
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
13 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
so as to command attention, while integrated to appear to have arisen unconsciously from the
character’s needs: a perfect balance of life and art” (Harrop, 2005: 45).
Tidak ada rasa takut untuk tidak menikah yang dialami Supali, secara tidak langsung aktor
bahkan Supali, hanya menyampaikan pesan cerita saja dalam pementasan ini, meskipun sesekali
mengeluarkan kehebatan aktingnya. Namun dari aktingnya tersebut tidak tampak bahwa Ia
konsisten mempertahankan karakter tokohnya yakni dirinya sendiri, namun dengan kemampuan
olah tubuh dan rasa, diketahui bahwa Supali memiliki ketrampilan akting yang mempesona dengan
kelucuannya.
1096 Ibu Supali : loh kok rencana? Lah awakmu wes tau lapo lapo ta ? / lah kok
rencana? Lah kamu sudah pernah ngapa ngapain ta ?
1097 Supali : loh yo dorong , mankane menikah terus ngunu hamil / lah ya belum,
mangkanya menikah terus begitu hamil
1098 Ibu Supali : mangkane... Wes ojok nak . Nek isok sunnato disik baru rabi /
mangkanyaa.. Wes jangan nak. Kalau bisa kamu khitan dulu baru
menikah
1099 Supali : loh lah yo opo rek .. Wong arek’e wes nuntut perkawinan’e / loh lah
gimana rek.. Wong anaknya sudah menuntut perkawinan’e
1100 Ibu Supali : Ibu Supali : waduh.. Lak bengong seh emak iki. / waduh.. Kan
ya bingung sih emak ini
1101 Supali : lah terus yo opo iki? / lah terus gimana ini?
1102 Ibu Supali lah kate rabi disik terus sunnat ngunu ta / lah mau nikah dulu terus
khitan begitu ta
1103 Supali : lah nanggap wayang iko lak gak sunnatku ta / loh sewa wayang dulu
itu kan khitanku ta
1104 Ibu Supali : ooo iko ta / ooo dulu itu ta
1105 Supali : lah iko.. / lah dulu itu
1106 Ibu Supali : sunat’e bapakmu ehehehe... Kok sunat’e bapakmu .. Kon iki kok ero
nek sunat nanggap wayang iku durung nak.. / khitannya bapak kamu
ehehehe... Kok khitannya bapak kamu.. Kamu ini kok tau kalau
khitan sewa wayang itu belum nak
1107 Supali : wes lah mak gak usah sunat gak opo opo tah mak / sudah lah mak
nggak usah khitan nggak apa apa lah mak
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
14 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
1108 Ibu Supali : ndoh yo opo se / loh gimana seh?
Pada saat hadirnya klimaks ini, tidak tampak tanda-tanda akting di dalam diri aktor, bahkan
Supali, baik itu akting panik, bingung, dan berusaha mencari ide untuk menyelesaikan
permasalahan, akan tetapi para pemeran dalam pementasan SGW membawakannya lebih bersahaja
yakni dalam suasana canda tawa. Muncul dalam lakon klimaks tentu saja dibutuhkan ada solusi
untuk menyelesaikan permasalahannya. Solusinya ialah Ibu Supali memerintahkan Langgeng
memanggil calak, agar Supali bisa menikah, tetapi konflik disikapi dengan komedi sehingga yang
hadir adalah suasana lucu meskipun keadaan seharusnya tegang, di mana Supali sudah mulai
Gendeng Wedokan.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan keseluruhan uraian yang telah dilakukan dalam bentuk anlisis di atas, jawaban
atas pertanyaan penelitian dalam rumusan masalah yang telah di paparkan adalah sebagai berikut.
Pertama, gaya akting Supali dalam pementasan “Supali Gendeng Wedokan” pada pertunjukan yang
di produksi Perdana REcord merupakan akting representasi yang memuat banyak unsure gaya
akting yang bisa diaplikasikan dalam satu-waktu pementasan. Penulis juga melihat bahwa Supali
melakukan mix-akting dalam pengaplikasiannya saat memerankan suatu tokoh, baik itu tokoh yang
di luar dirinya, maupun memainkan tokoh dirinya sendiri. Secara gaya akting Supali tampak lebih
mendominasi gaya karikatural. Dalam beberapa sesi juga bisa terlihat akting Supali seperti dalam
teater realisme yang bercampur dengan unsur-unsur teater Barat. Berkat kepintarannya dalam
mengolah akting tersebut secara stilisasi, maka akting Supali mampu menimbulkan efek alienasi
pada penonton.
Melalui pemeranan improvisasi ini pula secara tidak langsung Supali bermain tidak berada
dibawah tekanan, dimana harus berkonsentrasi menjaga pikiran-pikiran tokoh, seperti dalam teater
modern yang berangkat dari naskah lakon. Pemeranan secara improvisasi inilah yang kemudian
membuat Supali tampak tenang dan wajar dalam menyampaikan pesan-pesan kebaikan saat
berakting. Kritik sosial yang dipaparkan Supali dalam pementasan lakon SGW ini juga berjalan
dengan lancar, meskipun kritik sosial tersebut tidak disampaikan secara fulgar, akan tetapi Supali
cukup berhasil menjadi contoh yang baik ketika memerankan dirinya dalam pementasan SGW.
Banyak pesan kebaikan yang bisa diterima oleh penonton saat Supali berakting, hal ini tentu saja
didukung berkat gaya akting Supali yang memerankan tokohnya secara representasi.
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
15 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
Kedua ialah, kontribusi apa yang diberikan oleh Supali saat berperan dalam lakon “Supali
Gendeng Wedokan” terhadap penonton? Pertanyaan ini tentu saja bisa ditemukan karena telah
melakukan analisis struktur dan tekstur lakon SGW, serta berdasarkan analisis gaya akting Supali
yang telah di paparkan. Dalam pementasan ini, banyak memuat kritik sosial, terutama pada lakon
yang menggambarkan sifat serta karakter masyarakat Jawa Timur yang lebih terbuka, dan tidak
menjauhkan diri dari kekuasaan Ilahi saat ingin menyelesaikan permasalahan. Hal ini bisa dilihat,
didengar dan dirasakan, bahwa betapa pengetahuan Supali tentang agama juga tidak perlu
diragukan, terlepas dari bagaimana Supali mengaplikasikan kepribadiannya dalam kehidupan
realitas, akan tetapi secara tidak langsung, dengan pengetahuan Supali yang hapal ayat-ayat Al
Quran, setidaknya Supali telah menjadi bukti bahwa iqra’ itu penting, dan membawa pengetahuan
religiusnya di atas panggung.
Isu sosial yang berkaitan dengan persoalan pribadi seperti khitan kemudian hanya sebagai
pengantar dan cara untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang dimuat dalam lakon SGW.
Banyak yang bisa dipetik setelah menyaksikan lakon SGW ini di antaranya ialah, bagaimana
memperat tali persahabatan yang dicontohkan dalam tokoh antara Supali dan langgeng, melihat
kesetian Supali pada sang pacar, patuhnya Supali pada IS dan mempercayai bahwa khitan sebagai
sesuatu keharusan dan kebaikan yang harus dilakukan agar pernikahan bisa berjalan sesuai seperti
apa yang diinginkan. Kontribusi Supali saat berperan dalam lakon SGW juga bisa dirasakan bahwa
menyampaikan pesan kebaikan bisa disajikan secara komedi. Permasalahan yang dipaparkan dalam
lakon ini secara simbolik mampu melintasi ruang dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Acmad, A. Kasim. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
2006.
______,___. Pendidikan Seni Teater, Buku Guru Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan. PT. Tema Baru. 1990.
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna, Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. 2012.
Donna, Soto-Morettini. The Philosophical Actor A Practical Meditation For Practicing Theatre
Artists. USA: Intellect, The University of Chicago Press. 2010.
Harrop, John. Akting Theatre concepts series. London: This edition published in the Taylor &
Francis e-Library, 2005.
e-ISSN: 2550-0058
p-ISSN: 2615-1642
Roci Marciano
16 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 1, Juni 2018
______,____& Epstein, Sabin R. Acting With Style (1982). Diterjemahkan oleh Yudiaryani.
Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. 2008.
Kasemin, Kasiyanto. Ludruk Sebagai Teater Sosial, Kajian Kritis Terhadap Kehidupan, Peran dan
Fungsi Ludruk Sebagai Media Komunikasi. Surabaya: Airlangga University Press, 1999.
Kyrbi, Michael. “On Acting and Not-Acting” dalam Philip B. Zarrilli (ed.), Acting (Re)
Considered. London & New York: Routledge 1998. Diindonesiakan oleh Teuku
Ferdiansyah Tadjib & Landung Simatupang.
Peacock, James L. Ritus Modernisasi Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Depok:
Penerbit Desantara, 1968.
Satoto, Soediro. Analisis Drama Dan Teater. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI). 2012.
_____,_______. Analisis Drama Dan Teater Jilid 2. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI). 2012.
Scholes, Robert. Semiotic and Interpretation. New Haven and London: Yale University Press.
1982.
Supriyanto, Henri. Ludruk Jawa Timur, Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan
Himpunan Lakon. Jawa Timur: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur, 2001.
_________, Kidungan Ludruk. Malang: Pemerintah Jawa Timur Bekerja Sama Dengan Widya
Wacana Nusantara (Wicara), 2004.
Sahid, Nur. Interkulturalisme Dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. 2000.
_________. Semiotika Teater. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
2004.
_________. Sosiologi Teater. Yogyakarta: Prastista. 2008.
_________. Estetika Teater Gandrik Yogyakarta Era Orde Baru Kajian Sosiologi Seni.
Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2013.
_________. Semiotika Untuk Teter, Tari, Wayang Purwa, dan Film. Yogyakarta: Gigih Pustaka
Mandiri. 2016.
Sitorus, Eka D. The Art Of Acting, Seni Peran Untuk Teater, Film dan TV. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka. 2002.
Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI Press. 1997.
Susasnto, Eko Edy. Ludruk Karya Budaya, Mbeber Urip. Mojokerto: Paguyuban Ludruk Karya
Budaya Mojokerto. 2014.
Winet, Evan Darwin. Indonesian Postcolonial Theatre Spectral Genealogies and Absent Faces,
Studies In International Performance. New York: Palgrave Macmillan. 2010.