Upload
rahma-fitri
View
786
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG
SKRIPSI
ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA
Diajukan oleh: ARISNA HENDRAWAN
NPM: 04460004173
AJUN AKUNTAN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun 2002
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
Guna Mencapai Gelar Sains Terapan Akuntansi Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun 2006
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI NAMA : ARISNA HENDRAWAN
NPM : 04460004173
BIDANG SKRIPSI : PERPAJAKAN
JUDUL SKRIPSI :
ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA
Mengetahui Menyetujui
Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Suyono Salamun, Ph. D NIP 060052727
Dosen Pembimbing,
Dr. F. Zebua, MM.
ii
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG
PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF NAMA : ARISNA HENDRAWAN
NPM : 04460004173
BIDANG SKRIPSI : PERPAJAKAN
JUDUL SKRIPSI :
ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA
Jakarta,
1. …………………………………………………. (Ketua Penguji)
2. …………………………………………………. (Anggota Penguji/Pembimbing)
3. …………………………………………………. (Anggota Penguji)
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “ANALISIS KECURANGAN
RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA” dapat
diselesaikan guna memenuhi sebagian dari syarat-syarat lulus program Diploma IV pada
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan
untuk penyempurnaan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada
semua pihak yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya untuk membantu penulis
dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta. Almarhum dan Almarhumah yang telah
membesarkan, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab
dan rasa kasih sayang.
2. Bapak Suyono Salamun, Ph.D. selaku Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
3. Bapak Dr. F Zebua, MM selaku dosen pembimbing materi skripsi yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis secara langsung.
4. Bapak Bambang Yuli Istanto, SE. selaku dosen pembimbing teknis yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
iv
5. Seluruh dosen dan widyaiswara yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan
bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan di Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara.
6. Ibut dan Yoyok, adik-adikku yang selalu memberi semangat dan perhatian, serta
seluruh rekan-rekan semuanya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang
telah membantu baik secara moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Dan hanya kepada Allah SWT kita berharap.
Tangerang, Mei 2006
Penulis
Arisna Hendrawan
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ......................................................................
LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF ...........................
KATA PENGANTAR .................................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................................
ii
iii
iv
vi
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN ...................................................................................
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
B. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................
D. Metodologi Penelitian ........................................................................
E. Sistematika Penulisan ........................................................................
LANDASAN TEORI ......................................................................
A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai ..............................
B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ..............................
C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai ............................................
1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai .........................................
2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai ..................
3. Dasar Pengenaan Pajak .................................................................
4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ......................
5. Faktur Pajak ......................................... .........................................
6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai ...................
7. Sanksi Administrasi dan Pidana ....................................................
1
1
3
3
5
5
8
8
10
11
11
15
16
17
18
20
21
vi
BAB III.
BAB IV.
BAB V.
MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN
RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI .................................
A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak ..........................................................
B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai ..........................
C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ......
D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ...........
PEMBAHASAN ....................................................................................
A. Tinjauan Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak ............................
1. Asas Equality .................................................................................
2. Asas Certainty ...............................................................................
3. Asas Convenience .........................................................................
4. Asas Efficiency ..............................................................................
B. Analisis dan Pembahasan ...................................................................
1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak
Pertambahan Nilai ....................................................... ...............
2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ...............
3. Pencegahan dan Penanganannya ..................................................
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………....
A. Simpulan ............................................................................................
B. Saran …………………………………………………………….......
25
25
27
30
33
45
45
46
49
53
56
59
59
70
78
88
88
90
DAFTAR PUSTAKA .
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu permasalahan utama dalam pelaksanaan pembangunan adalah
tersedianya dana. Dalam sistem kenegaraan yang modern, pajak merupakan tulang
punggung pembiayaan pelaksanaan pembangunan. Pajak juga sangat berperan dalam
menggerakkan roda-roda perekonomian secara makro, yaitu sebagai stimulus fiskal yang
terkait dengan iklim investasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kestabilan
perekonomian. Sebagai wujud dari kemandirian bangsa, sudah seharusnya masyarakat
sebagai Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya, sebagai kewajiban kenegaraan,
dalam pembiayaan negara untuk pembangunan nasional.
Mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia telah diatur melalui
undang-undang perpajakan. Melalui reformasi perpajakan sejak tahun 1983 dan disusul
dengan perubahan-perubahan lainnya dalam undang-undang perpajakan, sistem
perpajakan Indonesia telah berubah dari sistem official assessment menjadi sistem self
assessment. Dalam sistem self assessment ini Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk
menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang, serta
melaporkan kewajiban perpajakannya. Penerapan sistem ini bukan berarti Wajib Pajak
diberi kebebasan penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakan sesuai kehendaknya
sebab dalam undang-undang perpajakan juga telah diatur mekanisme pengawasan bagi
1
2
Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar. Pemberian
kesempatan kepada Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakan melalui sistem self
assessment ini diharapkan akan semakin meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib
Pajak sehingga penerimaan negara diharapkan semakin meningkat.
Disamping meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan,
setiap tahun pasti terdapat kasus dimana Wajib Pajak memohon pengembalian atas pajak
yang lebih bayar atau sering disebut restitusi, terutama di bidang Pajak Pertambahan
Nilai. Wajib Pajak mempunyai hak atas restitusi karena adanya kelebihan pembayaran
pajak yang telah disetor ke kas negara dan diharapkan dengan hasil dari restitusi tersebut
akan dapat membantu arus kas usahanya.
Bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat yang sah untuk pengembalian
kelebihan pajak sudah seharusnya segera dikabulkan permohonan restitusinya karena
disamping pertimbangan ekonomi Wajib Pajak, hal ini merupakan kewajiban bagi negara
untuk memenuhinya. Permasalahan yang timbul adalah adanya upaya kecurangan atas
restitusi-restitusi Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Kasus-kasus kecurangan restitusi ini
tentu saja sangat merugikan negara karena seharusnya pajak yang direstitusikan dapat
digunakan sebagai biaya pembangunan.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk Tahun Anggaran 1999/2000
menunjukkan adanya kecurangan dalam kasus restitusi Pajak Pertambahan Nilai sebesar
3
Rp 642,11 Milyar.1 Kerugian negara tersebut baru berdasarkan sampel saja karena tidak
semua Kantor Pelayanan Pajak dan semua restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang telah
dikeluarkan oleh fiskus diperiksa. Dapat dibayangkan kerugian negara akibat adanya
kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang sangat besar, dan belum termasuk
jenis pajak yang lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, skripsi ini berusaha untuk menganalisis
kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan mencoba untuk memberikan
saran-saran alternatif pencegahan dan upaya penanganannya.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kecurangan restitusi
Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam
upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bagaimana peraturan perpajakan
memandang permasalahan ini akan diuraikan oleh penulis tetapi sebelumnya akan
diuraikan mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai dan mekanisme
kompensasi serta restitusi Pajak Pertambahan Nilai.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara ringkas, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui
penulisan skripsi ini, adalah:
1Badan Pemeriksa Keuangan, Hasil Pemeriksaan Atas Pemberian Restitusi Pajak
(Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2003), hal. 3.
4
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kecurangan dalam restitusi Pajak
Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan
penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan
Nilai
b. Untuk mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari kecurangan dalam restitusi
Pajak Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan
penggunaan Faktur Pajak.
c. Mencari alternatif cara untuk menanggulangi kecurangan dalam restitusi Pajak
Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam
upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai.
d. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa Program Diploma IV
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
2. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan
mengenai adanya kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya
penyimpangan penggunaan Faktur Pajak.
5
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam
bidang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai.
c. Sebagai sarana pelatihan bagi penulis untuk menulis suatu karya ilmiah yang baik
dan benar.
D. Metodologi Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian ilmiah tinjauan kepustakaan
yang bersifat deskriptif berdasarkan data sekunder dengan mencoba memberikan
gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. Disamping itu juga digunakan
pendekatan normatif dimana penulis akan mencoba memberikan saran-saran yang
diharapkan dapat membantu pemecahan permasalahan yang ada.
E. Sistematika Penelititan
Dalam rangka pembahasan dan pemberian gambaran yang lebih sistematis, skripsi
ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari beberapa subbab yang akan
diuraikan sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, ruang lingkup penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan untuk
memperoleh bahan penulisan skripsi ini, serta sistematika pembahasan yang
menggambarkan secara garis besar/pokok-pokok permasalahan yang ditulis
secara menyeluruh.
6
BAB II. LANDASAN TEORI
Untuk mendukung dan memperkuat pembahasan yang akan dilakukan, bab ini
akan menguraikan dasar-dasar teori yang akan digunakan sebagai pembahasan
permasalahan yang meliputi pengertian dan sejarah Pajak Pertambahan Nilai,
asas-asas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dan konsep dasar Pajak
Pertambahan Nilai.
BAB III. MEKANISME PENGKREDITAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN
KECURANGAN RESTITUSI PPN
Pada bab ini akan diuraikan secara garis besar kebijakan dan perlakuan
perpajakan terhadap mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai serta
mekanisme kompensasi dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bab ini juga
akan mencoba memberikan kasus-kasus kecurangan restitusi Pajak
Pertambahan Nilai, tetapi sebelum menguraikan hal-hal tersebut akan
diberikan gambaran tentang konsep mengenai Faktur Pajak dan jenis-jenis
Faktur Pajak.
BAB IV. PEMBAHASAN
Bab ini berisi tinjauan dari segi asas pemungutan pajak serta analisis dan
pembahasan mengenai sebab-sebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak
Pertambahan NilaI, akibat, serta alternatif pencegahan dan penanganannya.
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan permasalahan yang
7
telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan beberapa saran-saran perbaikan
yang diharapkan dapat bermanfaat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai
1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Terdapat beberapa pengertian Pajak Pertambahan Nilai, antara lain disebutkan
bahwa “Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan terhadap
pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di
setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.”2
Sementara itu, Columbia Encyclopedia menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan
Nilai adalah “a tax levy imposed on business at all levels of the manufacture and
production of a good or service and based on the increase in price, or value, provided by
each level.”3
2. Sejarah Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia merupakan pengganti dari produk
sebelumnya yang berlaku yaitu Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan
2 Muhammad Rusjdi, PPN dan PPnBM (Jakarta: PT Indeks, 2004), hal. 01-1. 3Columbia Encyclopedia, edisi keenam 2005 (Columbia University Press, 2005)
diunduh dari http://www.encyclopedia.com/html/v1/valueadd.asp per tanggal 16 Januari 2006.
8
9
Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan menjadi undang-undang
oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1953.4
Sejak tanggal 1 April 1985 pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya tetap disebut Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984). Latar belakang penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak
Pertambahan Nilai adalah:
a. Dalam pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah terjadi banyak
perubahan fundamental baik yang bersifat sebagai penyempurnaan maupun
tambahan. Sebagai akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.
b. Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan berdasarkan Undang-undang Pajak
Penjualan 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan pajak
berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak untuk berusaha menghindar dari
pengenaan pajak bahkan kalau perlu menyelundupkan pajak.
c. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan
pajak, yaitu untuk pengusaha tertentu diterapkan self assessment system sedangkan
untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official assessment system. Keadaan
ini sangat menyulitkan pengawasan pelaksanaannya.
4Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 15.
10
d. Dampak dari pengenaan pajak berganda membuat Pajak Penjualan menjadi tidak
netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional
karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah beban pajak yang dipikul oleh
konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan
diekspor.
e. Variasi tarif yang cukup banyak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya
sehingga cukup besar pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.5
B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations, asas pemungutan pajak dinamakannya “The Four Maxims”.6 Asas
pemungutan pajak tersebut juga harus dipenuhi dalam pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai, yaitu:
1. Asas Equality
Asas ini mengemukakan bahwa pembagian tekanan pajak di antara masing-masing
subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang
dengan penghasilan yang dinikmatinya, di bawah perlindungan pemerintah.
Dalam asas ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara
sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak
5Ibid., hal. 15. 6Erly Suandy, Hukum Pajak, edisi ke-2 (Revisi) (Jakarta: Penerbit Salemba Empat,
2002), hal. 27.
11
yang sama.
2. Asas Certainty
Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus pasti (certain) dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah
mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya.
3. Asas Convenience
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya
dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. Asas Efficiency
Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-
hematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya.
C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai
1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai antara lain:7
a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung.
Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat
dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang sebagai berikut:
7Untung Sukardji, op.cit., hal. 19.
12
1) Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak
yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.
2) Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara
tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang ini
membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila
pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual
atau pengusaha kena pajak, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak
tersebut ke kas negara.
b. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Objektif
Yang dimaksud Pajak Objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya
kewajiban pajak yang ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya tatbestand.
Tatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan
pajak (disebut juga objek pajak). Oleh karena itu, faktor subjektif subjek pajak tidak
ikut menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Multi Stage Tax
Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan
pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap penyerahan barang
yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan kemudian di
tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat
pedagang eceran dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
13
d. Pajak Pertambahan Nilai Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Dihitung
Menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method.
Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan
hasil perhitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kepada
Pengusaha Kena Pajak lain (disebut Pajak Masukan) dengan Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa (disebut Pajak Keluaran). Metode ini
dinamakan metode pengurangan tidak langsung (Indirect Subtraction Method). Pajak
yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar
ke kas negara dinamakan kredit pajak, oleh karena itu metode ini dinamakan juga
metode pengkreditan (credit method). Untuk memastikan bahwa jumlah Pajak
Masukan dan Pajak Keluaran yang tercatat benar, diperlukan dokumen penunjang
sebagai alat bukti yaitu Faktur Pajak (tax invoice) sehingga metode ini disebut metode
faktur (invoice method).
Sebagai konsekuensi dari metode pengkreditan, untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang maka pada setiap penyerahan barang atau jasa yang
menjadi objek pajak (Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak), Pengusaha Kena
Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutan pajak. Di pihak lain, bagi pembeli, penerima jasa, atau importir
merupakan bukti pembayaran pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung
jumlah pajak yang terutang dalam satu masa pajak yang wajib dibayar ke kas negara.
14
e. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri.
Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya
dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan di dalam negeri. Pajak atas konsumsi sebagai tujuan akhir Pajak
Pertambahan Nilai mempunyai maksud mengenakan pajak atas pengeluaran untuk
konsumsi (a tax consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan
maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan pemerintah.
f. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral.
Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor, yaitu:
1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa.
2) Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tempat tujuan (destination principle)
dalam pemungutannya.
Pajak Pertambahan Nilai mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu:
1) Prinsip tempat asal (origin principle).
Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan Nilai
dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi.
2) Prinsip tempat tujuan (destination principle).
Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat
barang atau jasa dikonsumsi.
g. Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda.
Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak mungkin
15
karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambahnya saja.
2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai
Beberapa kelebihan dan kelemahan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
karateristiknya:8
a. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai.
1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri.
3) Pajak Pertambahan Nilai sangat membantu likuiditas perusahaan.
4) Ditinjau dari sumber pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai tidak
membebani konsumen selaku pemikul pajak sehingga memudahkan untuk
memungutnya.
b. Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai.
1) Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung
lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun Wajib Pajak.
2) Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif menimbulkan
dampak regresif, yaitu:
a) Semakin besar tingkat kemampuan konsumen maka semakin ringan beban
pajaknya, dan sebaliknya;
b) Semakin rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban
pajaknya.
8Ibid., hal. 29.
16
3) Pajak Pertambahan Nilai sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
4) Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh
administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya.
3. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak digunakan untuk menentukan besarnya Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang dengan mengalikannya dengan tarif yang berlaku. Terdapat beberapa
Dasar Pengenaan Pajak, yaitu:9
a. Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
c. Nilai Impor
Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang, yang menjadi
9Ibid., hal. 263.
17
dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor
Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984.
d. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang,
termasuk biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai Lain
Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi
kriteria tertentu.
4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas “Nilai Tambah” (added value) dari Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
Sedangkan “Nilai Tambah” adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya
produksi atau distribusi dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana,
nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual
dengan harga beli dagangan.
18
Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas Nilai Tambah
tersebut, dikenal tiga metode yaitu:10
a. Addition Method
Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai dihitung dari penjumlahan seluruh
unsur Nilai Tambah dikalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku.
b. Substraction Method
Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dari selisih
antara harga penjualan dengan harga pembelian, dikalikan tarif Pajak Pertambahan
Nilai yang berlaku.
c. Credit method
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang merupakan hasil pengurangan antara Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut oleh pengusaha pada saat ia melakukan penjualan
(Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat ia
melakukan pembelian (Pajak Masukan).
Dari ketiga metode tersebut, Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut “Credit
Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method.”
5. Faktur Pajak
a. Pengertian Faktur Pajak
Sesuai dengan Pasal 1 Nomor 23 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984,
definsi Faktur Pajak adalah: bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
10Ibid., hal.32
19
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
b. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau
penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak. 11
c. Faktur Pajak Fiktif
Faktur Pajak Fiktif adalah Faktur Pajak yang dibuat tanpa adanya penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.12 Nama/jenis barang/jasa yang menjadi
objek transaksi, jumlah dan harga yang ada di dalam faktur serta jumlah Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut semuanya fiktif.
11Muhammad Rusjdi, op.cit., hal. 09-1. 12Almuden Situmorang, “Faktur Pajak Fiktif Siapa yang Terlibat?”, Berita Pajak,
Nomor 1333, hal.45-48.
20
d. Faktur Pajak Sebagai Alat Pengawasan
Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menjelaskan
bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan
Barang Kena Pajak dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak tersebut
kemudian dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan.
Faktur Pajak menunjukkan pertanggungjawaban pajak dari penjual dan bukti
utama bagi pembeli untuk mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
dibayarnya. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi besarnya
Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak melalui sarana Faktur
Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa.
6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai
Dalam hal terjadi kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, Wajib Pajak
mempunyai hak untuk mengkompensasi atau merestitusi kelebihan Pajak Masukan
tersebut. Hak tersebut dapat dipergunakan dengan mengajukan permohonan tertulis
kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha
Kena Pajak dikukuhkan.
Kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor Kep-160/PJ.21/2001 adalah:
a. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
21
b. Dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, disamping kelebihan
Pajak Masukan sebagaiman dimaksud dalam huruf a, juga Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Mewah yang diekspor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984.
7. Sanksi Administrasi dan Pidana
Berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Undang-undang Perubahan
Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengatur ketentuan sanksi dan/atau denda administrasi
dan sanksi pidana yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai.
a. Sanksi dan/atau Denda Administrasi
1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a Undang-undang Perubahan
Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), jumlah
pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari Pajak
22
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
yang tidak atau kurang dibayar.
3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah
pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat
Pemberitahuan itu.
4) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum
dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Perubahan
Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terhadap
ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan,
apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah
pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar
2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
23
5) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
6) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat
Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak.
7) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat
atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi
selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
b. Sanksi Pidana
1) Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
24
Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan
atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan
oleh Wajib Pajak.
BAB III
MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak
Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 pada
prinsipnya pajak terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak. Ketentuan ini tidak mempersoalkan mengenai pembayaran, sehingga prinsip
timbulnya utang pajak dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah
prinsip akrual. Pada saat timbul utang pajak, maka pajak tersebut wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
Sarana untuk melakukan kewajiban memungut tersebut adalah Faktur Pajak. Faktur
Pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai:
1. bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
2. bukti pembayaran pajak ditinjau dari pihak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak;
3. sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.13
Pasal 13 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menyebutkan bahwa
terdapat tiga jenis Faktur Pajak, yaitu:
13Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 ), hal.220.
25
26
1. Faktur Pajak Standar
Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan (yaitu Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984).
Direktur Jenderal Pajak juga dapat menentukan dokumen-dokumen tertentu yang
diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dalam rangka lebih memberikan kemudahan
dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Dokumen-dokumen tersebut
antara lain:
a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;
b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi; f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliverry Bill, yang
dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.14
2. Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar yang memuat lebih dari satu
14Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
312/PJ./2001 tentang Perubahan Atas KEP-522/PJ./2000 tentang Dokumen-dokumen Tertentu yang Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar, tanggal 23 April 2001.
27
transaksi dalam satu Masa Pajak untuk pelanggan yang sama.
3. Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan
pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir
atau kepada pembeli/penerima jasa dengan identitas tidak lengkap.
B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai
1. Prinsip dasar pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai atau lebih sering disebut
pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 secara garis besar sebagai berikut:
a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa
Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
c. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. Meskipun
28
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan penyerahan kena
pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak Masukan tersebut
tidak dapat dikreditkan.
2. Persyaratan Umum Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
a. Memenuhi persyaratan formal.
Persyaratan formal tersebut yaitu :
1) Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang
diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Faktur Pajak yang secara material dapat dikreditkan
menjadi tidak dapat dikreditkan apabila tercantum dalam Faktur Pajak Standar
yang cara pengisiannya tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan;
2) Apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama karena Faktur Pajaknya
belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang
bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau
terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
29
143 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
b. Memenuhi persyaratan material.
Persyaratan material material tersebut yaitu:
1) Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) jo ayat (8) Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984. Kegiatan usaha yang dilakukan dalam rangka
penyerahan kena pajak antara lain kegiatan produksi, manajemen, distribusi,
dan pemasaran;
2) Belum dibebankan sebagai biaya. Pada hakikatnya pengkreditan Pajak
Masukan sama dengan upaya untuk memperoleh kembali Pajak Pertambahan
Nilai yang telah dibayar. Dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak
Masukan maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat meminta
restitusi dari negara. Apabila Pajak Masukan ini telah dibebankan sebagai
biaya, maka Pajak Masukan ini menjadi unsur harga jual barang dagangan
sehingga akan diperoleh kembali dari pembeli. Oleh karena itu apabila Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan telah dibebankan sebagai biaya maka Pajak
Masukan yang telah dibebankan sebagai biaya ini tidak boleh dikreditkan.
30
C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan hasil pengkreditan Pajak Masukan dapat menyebabkan terjadinya
kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena:
1. Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran dalam suatu Masa
Pajak yang dapat disebabkan oleh:
a. Pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang dilakukan
sebelum usaha dimulai atau pada awal usaha dimulai.
b. Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak.
c. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
d. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang dananya berasal dari
bantuan luar negeri baik berupa hibah maupun pinjaman.
e. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah
lebih lanjut kepada Enterport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE).
f. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa bahan baku atau bahan pembantu dan/atau
Jasa Kena Pajak kepada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET).
2. Kemungkinan adanya kekeliruan pembayaran pajak karena terjadi kesalahan
pemungutan atau pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Dalam kasus ini
yang berhak mengajukan restitusi adalah pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak sepanjang Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya
31
atau belum dikreditkan jika pembeli/penerima jasa tersebut adalah Pengusaha Kena
Pajak.
Terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut Wajib Pajak dapat memilih untuk
melakukan kompensasi atau restitusi atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
tersebut. Mekanisme untuk melakukan kompensasi dan restitusi sebagai berikut:
1. Mekanisme Kompensasi Pajak Pertambahan Nilai
Atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan kompensasi
terhadap kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai tersebut ke Masa Pajak berikutnya (di-
offset ke Masa Pajak berikutnya).
Mekanisme kompensasi atas Pajak Pertambahan Nilai lebih sederhana
dibandingkan dengan mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atau melalui permintaan tertulis dan
disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan.
2. Mekanisme Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dengan mekanisme sebagai berikut:
32
a. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak disampaikan oleh Pengusaha
Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai atau dengan surat tersendiri, dan dilampiri dengan
bukti-bukti dan atau dokumen yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak
dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan.
b. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditentukan 1 (satu)
permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak dan dapat dilakukan permohonan restitusi
pada setiap akhir Masa Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
c. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan kegiatan tertentu (ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai) harus
menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat:
1) 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan, kecuali permohonan yang
penyelesaiannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak;
2) 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan sepanjang penyelesaian
atas permohonannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak.
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas telah lewat, Direktur Jenderal
Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, maka permohonan pengembalian
33
kelebihan pembayaran pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah
jangka waktu tersebut berakhir.
D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Secara umum, kasus kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dilakukan
melalui penyalahgunaan Faktur Pajak dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan
terhadap Pajak Keluaran. Oleh karena itu penyalahgunaan ini dapat ditinjau dari sudut
pandang Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan dan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran.
1. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan
Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan (selanjutnya disebut Faktur
Pajak Masukan) dalam Pajak Pertambahan Nilai dapat berupa pelaporan secara tidak
benar semua unsur dalam Faktur Pajak atau hanya sebagian saja. Umumnya
penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan ini dilakukan dalam rangka restitusi atas
kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan
ini antara lain:
a. Melakukan Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif
Wajib Pajak dalam usahanya memperbesar Pajak Masukan diantaranya melakukan
transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif. Dalam hal ini asumsi yang digunakan
adalah Wajib Pajak telah mengetahui bagaimana mekanisme proses penyelesaian restitusi
di Kantor Pelayanan Pajak dimana dalam pemeriksaan untuk restitusi salah satunya
adalah prosedur konfirmasi terhadap kebenaran Pajak Masukan secara on-line. Sehingga
34
mau tidak mau Wajib Pajak tersebut mencoba mengakalinya dengan kegiatan seperti ini.
Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
memohon restitusi dengan cara mendirikan perusahaan fiktif tetapi juga dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak baik dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama
maupun tidak sama. Diperlukan administrasi yang baik dalam rangka permohonan
restitusi agar usaha dari Pengusaha Kena Pajak ini lancar.
Pengusaha Kena Pajak fiktif ini bertindak seolah-olah sebagai penjual kepada
Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi dan atas transaksi penjualannya juga
dibuatkan Faktur Pajak serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai di Kantor Pelayanan Pajak tempat dikukuhkan. Dalam kenyatannya
sebenarnya tidak pernah dilakukan penjualan barang secara nyata. Jadi hanya pencatatan
atas transaksi penjualan tetapi barang tidak pernah diserahkan bahkan tidak ada.
Administrasi dari kedua belah pihak harus sangat rapi agar usaha memohon restitusi ini
dapat berjalan dengan lancar. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sesuai dengan tujuannya
untuk memohon restitusi biasanya hanya berdiri untuk beberapa saat dan selanjutnya
akan bubar atau menghilang agar dalam melakukan usahanya lebih aman.
Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat agar terjadi Pajak
Masukan yang besar bagi Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi sehingga atas
kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai pembelian tersebut dapat dimintakan restitusi.
Meskipun dapat dimintakan kompensasi tetapi biasanya Pengusaha Kena Pajak seperti ini
cenderung memohon restitusi atas kelebihan bayar yang fiktif ini.
35
b. Transaksi Fiktif
Transaksi fiktif terjadi karena adanya kerja sama antar Pengusaha Kena Pajak.
Dalam kasus ini hampir sama dengan kasus Pengusaha Kena Pajak fiktif hanya saja yang
fiktif adalah transaksi penjualan. Kedua pihak Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
transaksi merupakan Pengusaha Kena Pajak yang benar-benar dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan dalam melakukan transaksi penjualan juga dibuatkan Faktur
Pajak, hanya saja barang yang tercantum dalam Faktur Pajak sebenarnya tidak ada atau
tidak dijual. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan ini biasanya tidak berdiri
hanya sementara waktu dan bisa dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang sudah lama
dikukuhkan.
Transaksi fiktif biasanya berupa transaksi barang yang berkaitan langsung dengan
usaha Pengusaha Kena Pajak tersebut. Dalam transaksi fiktif ini, Pengusaha Kena Pajak
yang menjual membuat Faktur Pajak berkolusi dengan Pengusaha Kena Pajak yang
memperoleh Faktur Pajak tersebut dengan maksud untuk memperoleh imbalan. Atau
dengan kata lain Pengusaha Kena Pajak penjual menjual Faktur Pajak yang berisi
transaksi fiktif kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya (sebagai Pengusaha Kena Pajak
pembeli) yang mana akan digunakan sebagai Faktur Pajak Masukan.
Pengusaha Kena Pajak yang membeli Faktur Pajak tersebut kemudian
menggunakannya dengan maksud agar jumlah Pajak Masukan bisa lebih besar daripada
Pajak Keluaran sehingga dapat dimintakan restitusi. Selain untuk keperluan restitusi,
transaksi fiktif ini juga dilakukan untuk keperluan kompensasi dengan Pajak Keluaran
36
yang besar jumlahnya. Hal ini akan lebih sulit diketahui karena Pengusaha Kena Pajak
akan tetap menyetorkan kelebihan pajak yang dipungut walaupun jumlahnya sangat kecil.
c. Faktur Pajak Fiktif
Penggunaan Faktur Pajak fiktif atau Faktur Pajak yang dipalsukan atau diubah
isinya baik nilai transaksi maupun nilai Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut biasanya
dilakukan bukan untuk melakukan restitusi. Pihak Direktorat Jenderal Pajak biasanya
menemukan Faktur Pajak fiktif ini setelah dilakukan konfirmasi dan klarifikasi dalam
pemeriksaan dan biasanya Pengusaha Kena Pajak pembuat Faktur Pajak yang diubah
isinya tidak mengetahui mengenai hal tersebut.
Penyalahgunaan dengan menggunakan Faktur Pajak fiktif ini sulit diketahui tanpa
dilakukan penelitian atau pemeriksaan yang seksama. Kesulitan yang terjadi karena
keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak seperti nama Pengusaha Kena Pajak,
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan nomor seri
Faktur Pajak adalah benar. Hanya saja isinya telah diubah tanpa sepengetahuan
Pengusaha Kena Pajak yang membuatnya.
Dalam melakukan penyalahgunaan ini Pengusaha Kena Pajak berusaha
menghindari pemeriksaan material seperti bila memohon restitusi. Mengkreditkan Faktur
Pajak Masukan fiktif dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut (Faktur Pajak
Keluaran) akan menguntungkan Pengusaha Kena Pajak karena tidak perlu menyetorkan
Pajak Pertambahan Nilai yang sebenarnya. Isi dari Faktur Pajak Masukan telah
disesuaikan dengan peredaran usaha Pengusaha Kena Pajak dan berapa Pajak
37
Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor sehingga jumlah yang harus disetor dapat
ditekan sekecil mungkin. Setoran ini tetap perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan
fiskus dan menghindari pemeriksaan material.
d. Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembelian dari penjual yang belum
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak akan memperoleh Faktur Pajak atas
pembelian yang dilakukannya. Hal ini akan mengakibatkan penjualan yang dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut akan menimbulkan Pajak Keluaran yang harus
disetor.
Salah satu cara untuk mengurangi jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus
disetor adalah dengan membuat transaksi pembelian dari pengusaha non Pengusaha Kena
Pajak seolah-olah melakukan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena
Pajak tersebut akan melengkapi pembeliannya dengan Faktur Pajak fiktif yang dibuat
dengan sengaja untuk tujuan di atas.
Penjual yang bukan Pengusaha Kena Pajak tersebut dibuat seolah-olah sebagai
Pengusaha Kena Pajak dalam Faktur Pajak fiktif tersebut dan jenis barang yang dijual
dibuat seolah-olah sebagai Barang Kena Pajak sehingga telah dipungut Pajak Masukan-
nya. Seperti halnya dengan penyalahgunaan Faktur Pajak fiktif pada huruf c sebelumnya,
biasanya untuk transaksi dengan penjual non Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan untuk
memperkecil jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor dan bukan untuk
memohon restitusi karena akan sangat berisiko bagi Pengusaha Kena Pajak tersebut.
38
e. Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha
Banyak pengusaha yang mempunyai lebih dari satu perusahaan yang sejenis dan
berdiri sendiri dalam satu kelompok usaha serta biasanya tidak semuanya dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sengaja dilakukan untuk meminimalkan jumlah
Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh kelompok usaha tersebut.
Penyalahgunaan yang dilakukan adalah jika terdapat transaksi pembelian maka
akan ditangani oleh perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pada saat melakukan transaksi penjualan, penjualan akan dilakukan oleh semua
perusahaan dalam satu kelompok usaha tersebut dan calon pembeli akan ditanya apakah
bersedia atau tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Jika calon pembeli bersedia
dipungut Pajak Pertambahan Nilai maka transaksi akan dilakukan oleh perusahaan yang
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan dibuatkan Faktur Pajak. Jika calon
pembeli tidak bersedia dipungut Pajak Pertambahan Nilai maka faktur penjualan akan
dibuat oleh perusahaan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga
tidak perlu dibuat Faktur Pajak.
Dalam kasus penyalahgunaan ini Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya
dipungut dan disetor dapat diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dari
pihak pembeli. Jika ditinjau dari sudut pandang Pajak Penghasilan, besar kemungkinan
terjadi transfer pricing dalam kasus satu kelompok usaha ini.
2. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran
Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran (selanjutnya disebut Faktur
39
Pajak Keluaran) selalu berkaitan dengan Faktur Pajak Masukan. Penyalahgunaan Faktur
Pajak Keluaran berkaitan dengan pelaporan Pajak Keluaran yang tidak benar.
a. Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif
Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
dengan tarif 0% (nol persen) dan guna keperluan pengkreditan Pajak Masukan maka atas
ekspor tetap dibuat Faktur Pajak Keluaran. Penyalahgunaan Faktur Pajak ini umumnya
dilakukan dalam rangka restitusi, jika dilihat secara sepintas kasus penyalahgunaan ini
hampir sama dengan kasus L/C fiktif yang terjadi di perbankan Indonesia.
Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor fiktif disertai dengan dokumen-
dokumen yang diperlukan (biasanya asli tetapi palsu) kemudian melakukan permohonan
restitusi kepada Kantor Pelayanan Pajak. Pengusaha Kena Pajak ini sebelumnya telah
memperoleh Faktur Pajak Masukan yang biasanya juga telah dipalsukan terlebih dahulu
seperti kasus-kasus penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan pada bagian sebelumnya.
Beberapa kemungkinan indikasi adanya manipulasi restitusi melalui mekanisme
ekspor (fiktif) ini antara lain:
1) Tempat dihasilkan Barang Kena Pajak, tempat kedudukan Pengusaha Kena Pajak,
dan tempat melakukan ekspor berbeda-beda dan terkadang agak aneh. Sebagai contoh
Pengusaha Kena Pajak berkedudukan di Jakarta kemudian membeli barang-barang di
Semarang dan kemudian mengekspornya melalui pelabuhan di Surabaya padahal di
Surabaya tidak terdapat kantor cabang atau pabrik dari si Pengusaha Kena Pajak.
40
2) Barang-barang yang diekspor merupakan jenis barang yang pada umumnya
diproduksi oleh para pengusaha kecil atau pengrajin yang bukan merupakan
Pengusaha Kena Pajak. Seperti halnya kondisi penyelewengan Faktur Pajak Masukan
melalui transaksi dengan pengusaha yang Non Pengusaha Kena Pajak, maka apabila
pengusaha tersebut mengajukan restitusi atas Faktur Pajak Masukan dimana memuat
jenis barang yang dibeli (dari pengusaha kecil) tersebut ada kemungkinan Faktur
Pajak tersebut juga diperoleh melalui jual beli Faktur Pajak.
3) Barang yang diekspor merupakan barang yang termasuk dalam kategori Non Laporan
Pemeriksaan Surveyor Ekspor (LPSE).
4) Jenis dan uraian barang yang dilaporkan dalam PEB tidak spesifik.
b. Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Perusahaan yang menjadi rekanan pemerintah, baik dalam penyediaan barang
maupun jasa mensyaratkan perusahaan sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Atas barang dan jasa yang diterima oleh pemerintah, pemerintah akan langsung
memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara. Kewajiban seperti ini seharusnya
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sendiri tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 16A
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, kewajiban ini dilakukan oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
41
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah,
badan, atau instansi Pemerintah tersebut. Pemungutan yang dilakukan oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai mempunyai tujuan untuk mengamankan penerimaan negara dari
Pajak Pertambahan Nilai.
Pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah dan mempunyai kontrak kerja
dan/atau menerima pembayaran dari pemerintah akan biasanya akan mempunyai
kelebihan jika tidak mempunyai penghasilan dari pihak lain. Diantara pengusaha ini ada
yang dengan sengaja tidak meminta kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas
Pajak Masukan pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Hal ini
disebabkan pengusaha akan berurusan dengan fiskus dan khawatir akan mengakibatkan
efek samping yang lebih buruk bagi pengusaha tersebut.
Jalan keluar yang biasanya dilakukan oleh para pengusaha tersebut adalah sesedikit
mungkin mempunyai Pajak Masukan atau membuat Pajak Keluaran fiktif. Mengurangi
Pajak Keluaran dengan jalan melakukan pembelian tanpa Pajak Pertambahan Nilai sangat
berisiko pada kewajiban Pajak Penghasilan. Jika dilakukan pemeriksaan Pajak
Penghasilan maka pemeriksa akan menolak mengakui pembelian tanpa Pajak
Pertambahan Nilai sebagai biaya. Hal tersebut dikarenakan pembelian barang hasil
olahan/pabrikan akan terutang Pajak Pertambahan Nilai. Tidak diakuinya biaya akan
mengakibatkan bertambahnya jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sebagai
akibat pemeriksaan tersebut.
42
Pengusaha cenderung untuk membuat Faktur Pajak Keluaran fiktif sehingga tidak
terjadi kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai. Kemudian atas Faktur Pajak Keluaran
fiktif tersebut sengaja diperjualbelikan kepada Pengusaha Kena Pajak lain yang berminat
dan juga mempunyai itikad yang tidak baik seperti untuk melakukan restitusi fiktif.
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atas semua Faktur Pajak
Keluaran yang dibuat termasuk Faktur Pajak Keluaran fiktif akan dilaporkan seluruhnya
sehingga tidak mengundang kecurigaan dari fiskus. Fiskus biasanya akan menaruh
perhatian yang lebih besar terhadap Pajak Masukan daripada Pajak Keluaran sehingga
penelitian diutamakan pada Faktur Pajak Masukan dibandingkan Faktur Pajak Keluaran.
Penghasilan fiktif dari transaksi yang dikeluarkan Faktur Pajak Keluaran fiktif ini
diatur sedemikian rupa biaya-biayanya sehingga akan mengakibatkan laba yang kecil dan
jumlah Pajak Penghasilan pengusaha tersebut otomatis juga akan berkurang. Bagi
pengusaha tersebut ada dua keuntungan yaitu dari sisi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penghasilan dimana jumlah pajak yang harus disetor ke Kas Negara akan semakin kecil.
c. Pembuatan Faktur Pajak Ganda
Penyalahgunaan Faktur Pajak Keluaran yang dilakukan dengan membuat Faktur
Pajak ganda merupakan hal yang sering ditemui di lapangan. Inti dari pembuatan Faktur
Pajak ganda yaitu terhadap beberapa penjualan akan dibuatkan beberapa Faktur Pajak
dengan nomor seri yang sama. Perbedaannya hanya terdapat dalam informasi dari
pembeli.
Hal ini biasanya dilakukan atas penjualan yang mempunyai jumlah yang sama
43
dalam Masa Pajak yang sama pula. Biasanya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan barang hasil pabrikan masal, bukan atas dasar pesanan.
Pembeli tidak menyadari bahwa Faktur Pajak yang diterimanya sama dengan
pembeli yang lain karena faktur tersebut asli. Pembeli akan melaporkan Faktur Pajak
tersebut sebagai Faktur Pajak Masukan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai. Laporan tersebut jarang menimbulkan kecurigaan fiskus. Meskipun
fiskus melakukan konfirmasi terhadap nomor seri Faktur Pajak dan jumlahnya tidak akan
ditemui keganjilan. Keganjilan baru akan ditemui jika Kantor Pelayanan Pajak pembeli
melakukan konfirmasi terhadap Faktur Pajak Masukan sebagai akibat pembelian tersebut.
Penjual yang membuat Faktur Pajak Keluaran ganda tersebut akan memilih salah
satu dari beberapa Faktur Pajak yang bernomor sama untuk dilaporkan sementara yang
lainnya tidak dilaporkan dan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
nomor seri Faktur Pajak yang dilaporkan akan urut.
d. Tidak Membuat Faktur Pajak
Penyalahgunaan Faktur Pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai dengan tidak
membuat Faktur Pajak merupakan hal yang sering terjadi. Pengusaha yang melakukan
penyalahgunaan ini biasanya didasari niat pribadi dan juga desakan dari pembeli yang
tidak ingin dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Biasanya Penjual tetap memungut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli tetapi
tidak memberikan Faktur Pajak kepada pembeli. Jika pembeli menginginkan dibuatkan
Faktur Pajak maka penjual akan membuatkan Faktur Pajak, jika tidak menginginkan
44
maka tidak akan dibuat. Disamping itu, pembeli terkadang tidak mengerti bahwa atas
pembelian tersebut telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai tetapi tidak dilaporkan oleh
penjual. Pembeli yang tidak mengerti peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai Pajak Pertambahan Nilai akan menganggap tidak terjadi sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak
Seperti telah disebutkan dalam Bab II bahwa dalam pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai maka asas-asas pemungutan pajak juga harus dipenuhi, hal ini
dikarenakan agar pemungutan pajak tersebut sesuai dengan tujuan dan tidak membebani
Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban atas pembayaran pajak yang dipungut tersebut.
Adam Smith membagi asas pemungutan pajak tersebut menjadi empat asas
pemungutan pajak atau lebih sering dikenal dengan nama “The Four Maxims”. Meskipun
demikian terdapat beberapa ahli ekonomi yang kurang setuju terhadap ”The Four
Maxims” ini seperti David Ricardo.15 Tetapi karena asas-asas pemungutan pajak ini telah
lama dipakai sebagai dasar dalam pemungutan pajak di berbagai negara dan masih
relevan penggunaannya maka pembahasan mengenai asas pemungutan pajak dalam
hubungannya dengan permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini menggunakan asas
pemungutan pajak menurut Adam Smith tersebut.
Subbab ini akan mencoba menguraikan bagaimana penerapan atas asas pemungutan
pajak tersebut khususnya terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan dikaitkan dengan kondisi
15David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation, Bab
12,(1871) diunduh dari http://www.hard-loans.com/Principles%20Ch%2012.htm per tanggal 20 April 2006.
45
46
mengenai penyalahgunaan Faktur Pajak utamanya dalam memohon pengembalian
kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
1. Asas Equality
Asas ini mengatur bahwa pengenaan pajak terhadap subjek pajak harus seimbang
dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah
perlindungan pemerintah. Asas ini juga menerangkan bahwa tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang
sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
Jika kita tarik kesimpulan maka pemungutan pajak harus mencerminkan adanya
keadilan dalam pelaksanaannya, yaitu terhadap Wajib Pajak yang mempunyai
penghasilan lebih banyak harus dikenakan pajak dengan jumlah yang lebih besar
dibandingkan dengan Wajib Pajak yang jumlah penghasilannya lebih sedikit. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor subjektif keadaan dari Wajib Pajak menjadi faktor yang
utama dalam penentuan besarnya pajak yang harus dibayar.
Dibandingkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan pajak objektif
dimana timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif (tatbestand, keadaan,
peristiwa, perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak) maka asas ini lebih cenderung
kepada pajak yang bersifat subjektif seperti Pajak Penghasilan yang lebih menekankan
47
pada faktor subjektif daripada faktor objektif dari Wajib Pajak. Menurut Nadia Werner16,
asas pemungutan pajak dari Adam Smith ini pada saat dikembangkan saat itu lebih
ditekankan terhadap pajak terhadap barang mewah (di Indonesia disebut Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah) dan pajak atas sewa tanah dimana kondisi perekonomian yang tidak
sekompleks saat ini.
Perbedaan kedua jenis pajak ini (Pajak Penghasilan merupakan pajak subjektif) pula
yang menyebabkan Pajak Pertambahan Nilai menimbulkan dampak regresif karena tidak
memperhatikan keadaan subjektif dari subjek pajak yaitu semakin besar tingkat
kemampuan konsumen maka semakin ringan beban pajaknya, dan sebaliknya semakin
rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban pajaknya.
Meskipun prinsip dasarnya sedikit berbeda tetapi terdapat beberapa hal yang
menghubungkan keberadaan asas ini dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
Keadilan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukannya pemungutan
terhadap pihak yang menikmati dari barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(yaitu Barang Kena Pajak).
Jika pihak yang menikmati tersebut merupakan Pengusaha Kena Pajak dan Barang
Kena Pajak yang dibeli digunakan untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usahanya maka terhadap Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut kepada
Pengusaha Kena Pajak tersebut (Pajak Masukan) dapat dilakukan pengurangan terhadap
16Nadia Werner, Adam Smith’s Recommendation on Taxation, (Banneker Center,
2005) diunduh dari http://www.progress.org/banneker/adam.html per tanggal 20 April 2006.
48
Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut (Pajak
Keluaran) dan harus disetor ke Kas Negara (Prinsip Pengkreditan Pajak Masukan).
Sehingga Pengusaha Kena Pajak tidak akan terbebani dengan jumlah pajak yang besar
yang harus dibayarkan karena terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan
pengkreditan Pajak Masukan.
Asas equality (asas keadilan) dapat pula dihubungkan dengan adanya kelebihan
pembayaran pajak. Dalam hal ini apabila terjadi kelebihan pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai maka Pengusaha Kena Pajak dapat memohon pengembalian kelebihan
pembayaran pajak (restitusi). Hal ini merupakan penerapan dari asas keadilan dalam
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
Asas keadilan ini tidak hanya adil bagi pihak Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak
yang memohon restitusi) tetapi juga adil bagi negara (Pemerintah selaku penyelenggara
negara) sesuai dengan penggunaan asas-asas pemungutan ini dalam tujuan negara dalam
memungut pajak. Keadilan harus berlaku bagi kedua pihak, jika Pengusaha Kena Pajak
memohon restitusi dimana dari hasil restitusi tersebut dapat digunakan untuk membiayai
kegiatan usahanya maka pemerintah harus segera memberikannya sesuai dengan tata cara
yang berlaku.
Sebaliknya pemerintah juga berhak untuk mengetahui berapa jumlah pajak yang
sebenarnya harus dibayar oleh Wajib Pajak tersebut, apakah sudah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika kedua pihak saling mengerti dan
mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku tanpa merugikan satu sama lain
49
maka kasus-kasus penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka restitusi sebenarnya tidak
perlu terjadi.
Ditinjau dari asas keadilan, penyalahgunaan Faktur Pajak terjadi kemungkinan
karena pemerintah sering berlaku tidak adil (seperti adanya kemudahan bagi Pengusaha
Kena Pajak yang diistimewakan dalam proses restitusi) dalam melakukan pelayanan
terhadap para Wajib Pajak. Disamping itu sering terdapat celah (loop holes) dalam
ketentuan perundang-undangan yang memang sengaja dimanfaatkan oleh para Pengusaha
Kena Pajak nakal untuk merugikan keuangan negara.
2. Asas Certainty
Asas ini memiliki pengertian bahwa pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus
terang (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian
hukum yang dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga
ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
Agar ketentuan mengenai pemungutan pajak lebih jelas cara pelaksanaannya, maka
diperlukan suatu kepastian (hukum). Di Indonesia, pajak dipungut berdasarkan Pasal 23
ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Segala pajak untuk
kegunaan Kas Negara berdasarkan Undang-undang”. Pasal inilah yang melandasi
dibuatnya beberapa Undang-undang Perpajakan yang masih berlaku hingga saat ini.
Dalam hubungannya dengan Pajak Pertambahan Nilai, maka berlaku ketentuan
Undang-undang Nomor 16 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut
50
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) sebagai ketentuan formal
dalam pemungutan pajak. Sedangkan untuk ketentuan material Pajak Pertambahan Nilai
menggunakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yaitu Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (disebut juga Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984).
Apabila dalam ketentuan material tidak diatur ketentuan tersendiri mengenai suatu
ketentuan tertentu maka kita mengacu kembali kepada ketentuan material, seperti
misalnya ketentuan mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana
yang tidak diatur dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 maka kita
mengacu kepada ketentuan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 secara tegas telah mengatur
mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya seperti yang paling diutamakan dalam asas certainty ini. Oleh karena itu
asas ini telah dipenuhi dalam rangka pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
Dua hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana asas certainty ini
dihubungkan dengan proses restitusi dan juga penyalahgunaan Faktur Pajak. Proses
restitusi merupakan hak dari Wajib Pajak untuk memperoleh kembali uang yang telah
disetorkannya ke Kas Negara dikarenakan adanya kelebihan pembayaran pajak, oleh
karena itu sudah seharusnya negara memberikan hak dari Wajib Pajak tersebut sesuai
51
dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan yang diperlukan baik formal
maupun material dan hasil pemeriksaan terhadap permohonan restitusi dari Wajib Pajak
adalah benar adanya maka sudah sepatutnya negara segera memberikan hak Wajib Pajak
tersebut tanpa harus ada upaya untuk membuat lebih lama atau menyusahkan Wajib
Pajak. Kepastian hukum dalam restitusi ini sebenarnya sudah diwadahi dalam peraturan
pelaksanaan dilapangan yaitu melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-
160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Meskipun sudah ada kepastian dalam proses restitusi ini tetapi terkadang tidak
semua Wajib Pajak mengerti mengenai ketentuan ini, disamping itu terdapat beberapa hal
yang membingungkan Wajib Pajak terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
Contohnya adalah mengenai tidak diaturnya secara tegas mengenai jangka waktu
penyelesaian permohonan restitusi yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Kriteria
Tertentu.
Asas kepastian hukum ini juga diperlukan oleh Wajib Pajak dalam menentukan
apakah akan memperoleh imbalan bunga jika jangka waktu penyelesaian restitusi yang
diajukannya lebih lama dari ketentuan yang berlaku. Sedangkan bagi pihak Kantor
Pelayanan Pajak sendiri merupakan sebagai alat pengawasan agar jangka waktu
penyelesaian tidak melebihi ketentuan yang berlaku sehingga juga tidak merugikan
keuangan negara.
52
Salah satu kepastian yang berkaitan dengan proses restitusi yang cukup menarik
adalah apakah hasil pemeriksaan yang memberikan koreksi terhadap permohonan
restitusi Wajib Pajak adalah sesuai atau tidak dengan ketentuan perundang-undangan. Hal
ini juga menjadi salah satu kepastian hukum yang harus diberikan oleh negara, koreksi
yang dilakukan oleh fiskus harus benar dan tidak dibuat-buat. Wajib Pajak yang baik
tentu saja akan merasa sangat dirugikan dengan koreksi yang tidak jelas dan mengada-
ada bahkan terkadang fiskus sengaja melakukan hal ini hanya untuk memohon imbalan
atau gratifikasi.
Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan.
Berkaitan dengan asas certainty, penyalahgunaan Faktur Pajak sangat bertentangan dan
tidak dibenarkan secara hukum. Karena secara jelas telah diatur dalam Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dimana sarana untuk memungutnya adalah Faktur
Pajak tersebut. Oleh karena itu kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
menyalahgunakan Faktur Pajak tersebut harus secara tegas dilaksanakan.
Hal-hal mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana mengenai
penyalahgunaan Faktur Pajak ini telah diatur secara tegas dalam Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan Faktur Pajak ini apakah
sudah sesuai atau belum. Pihak-pihak yang menyalahgunakan Faktur Pajak bisa berasal
dari Wajib Pajak yang sengaja melakukannya atau dari oknum fiskus sendiri yang dengan
53
sengaja membantu kemudahan pelaksanaan restitusi fiktif ini. Karena itu hukuman bagi
pihak-pihak yang menyalahgunakan harus sesuai dengan ketentuan dan dilaksanakan
dengan tegas.
3. Asas Convenience
Teknik pemungutan pajak ini menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada
saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik
diterimanya penghasilan yang bersangkutan. Asas convenience ini sangat berkaitan
dengan asas yang terakhir yaitu asas efficiency. Asas ini memberi pengertian bagaimana
agar pemungutan pajak dapat dilaksanakan pada saat yang tepat sehingga akan
memberikan hasil yang maksimal.
Berkaitan dengan asas convenience ini, sesuai dengan Pasal 11 Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 telah diatur mengenai saat terutangnya pajak. Saat
terutangnya pajak ini sangat diperlukan untuk menentukan saat Pengusaha Kena Pajak
melaksanakan kewajiban melunasi utang pajaknya.
Pajak Pertambahan Nilai menganut ajaran material dalam menentukan timbulnya
utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang menentukan demikian. Atau
timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya
suatu keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Ajaran
material dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajaknya
menggunakan sistem self assessment. Mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran
54
material.
Seperti telah disebutkan bahwa asas ini menginginkan agar pemungutan pajak
dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat yang paling baik bagi Wajib Pajak dimana saat
yang sesuai tersebut adalah pada saat diterimanya penghasilan oleh Wajib Pajak. Secara
implisit, asas ini cenderung menekankan kepada jenis pajak subjektif daripada jenis pajak
objektif.
Meskipun demikian kita dapat mengambil esensinya yaitu pemungutan pajak
dilakukan pada saat yang tepat. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ditentukan
berdasarkan saat terutangnya pajak, oleh karena itu Wajib Pajak yang harus membayar
Pajak Pertambahan Nilai karena menikmati Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
seharusnya sudah mengerti konsekuensi atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang akan menimbulkan adanya utang pajak.
Atas utang pajak ini harus segera dipungut sesuai dengan mekanisme pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai. Bagi Pengusaha Kena Pajak mungkin hal ini dapat diberikan
kemudahan dengan menggunakan prinsip pengkreditan Pajak Masukan sebelum
mengetahui berapa jumlah pajak yang seharusnya disetor ke Kas Negara. Tetapi bagi
konsumen akhir yang bukan Pengusaha Kena Pajak hal ini merupakan konsekuensi dari
menggunakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dimana akan dipungut kepadanya
Pajak Pertambahan Nilai.
Prinsip pengkreditan Pajak Masukan merupakan salah satu cara sesuai dengan asas
convenience ini. Dimana pada tiap tingkat produksi sampai dengan konsumsi akan
55
dikenakan pajak, dan pajak tersebut dipungut pada saat yang tepat yaitu pada saat
terutang pajak tersebut harus segera dipungut.
Salah satu cara lain untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan asas
ini adalah dengan melalui pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai. Disamping sesuai dengan tujuan dalam asas convenience ini,
pemungutan melalui Pemungut Pajak Pertambahan Nilai ini dimaksudkan untuk
mengamankan penerimaan pajak dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun
demikian pemungutan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai masih saja menimbulkan penyalahgunaan dalam rangka untuk restitusi atau
kompensasi Pajak Pertambahan Nilai.
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebenarnya sudah diberikan kemudahan
dengan melalui sistem self assessment dan saat terutangnya pajak hingga saat
pembayaran pajak yang sangat jelas aturannya. Prinsip pengkreditan Pajak Masukan
merupakan salah satu kemudahan untuk memperingan beban Pajak Pertambahan Nilai
dari Pengusaha Kena Pajak, tetapi tetap saja terdapat penyalahgunaan Faktur Pajak dalam
rangka restitusi maupun kompensasi. Jika dihubungkan dengan asas ini, hal ini
sebenarnya disebabkan oleh keengganan pihak-pihak tertentu untuk menyetorkan
pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sudah menjadi sesuatu yang jamak jika Wajib Pajak selalu ingin agar beban
pajaknya lebih ringan bahkan jika perlu tidak membayar pajak yang sudah menjadi
kewajibannya. Begitu pula dengan Pengusaha Kena Pajak yang dengan sengaja
56
menyalahgunakan Faktur Pajak untuk tujuan restitusi atau kompensasi, mereka justru
tidak ingin membayar kewajiban pajaknya dan bahkan malah merugikan keuangan
negara dengan memohon restitusi fiktif atau kompensasi fiktif tersebut.
4. Asas Efficiency
Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-
hematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya.
Asas ini sangat dipengaruhi oleh pandangan ekonomi liberal pada saat itu dimana dengan
biaya yang seminimal mungkin untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Pokok permasalahan asas efficiency (asas efisiensi) ini adalah bagaimana membuat
suatu administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan mudah baik bagi pihak fiskus
maupun Wajib Pajak. Jika administrasi perpajakan yang rumit dan bertele-tele akan
menimbulkan banyak penyimpangan baik dari pihak Wajib Pajak maupun adanya oknum
fiskus yang mencoba bermain didalamnya.
Oleh karena itu, jika dilihat dari sektor Pajak Pertambahan Nilai maka sudah
seharusnya administrasi dari pihak fiskus harus efisien. Hal ini menjadi suatu kewajiban
agar suatu proses restitusi sebagai contoh tidak memakan terlalu lama dan sesuai dengan
jangka waktu yang telah ditetapkan. Jangka waktu penyelesaian restitusi harus sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan karena negara juga mempunyai kewajiban jika
adanya keterlambatan penyelesaian yaitu pemberian imbalan bunga.
Penyederhanaan proses agar tercapai adanya efisiensi dalam Pajak Pertambahan
Nilai khususnya sangat diperlukan. Penyederhanaan proses ini bukan berarti
57
menghilangkan prosedur yang telah ditentukan tetapi bekerja sesuai dengan prosedur dan
meminimalkan adanya manipulasi dalam restitusi.
Jika kita lihat secara keseluruhan terhadap asas pemungutan pajak dalam “The Four
Maxims” maka terdapat beberapa perbedaan antara asas tersebut dengan pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai terutama dalam asas equality. Tetapi ini bukan menjadi suatu
masalah yang besar, karena asas-asas tersebut secara keseluruhan masih dapat digunakan.
Masih berkaitan antara asas-asas pemungutan pajak dengan Pajak Pertambahan
Nilai, disamping untuk mengamankan penerimaan negara melalui penghindaran pajak,
Everett Gross menyebutkan bahwa sudah seharusnya pemungutan pajak juga memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:17
a. Economic neutrality,
Pajak harus bersifat netral dan tidak menimbulkan distorsi dalam kehidupan ekonomi
dalam suatu negara.
b. Efficiency,
Seperti halnya dengan asas efficiency dari The Four Maxims, pajak yang dipungut
harus mengeluarkan biaya yang seminimal mungkin tetapi dengan tambahan bahwa
pengenaan pajak terhadap suatu objek pajak tidak boleh mengganggu permintaan dan
penawaran pasar terhadap objek pajak tersebut.
17 Everett Gross, How to Separate Smart and Dumb Taxes, (Nebraska: Everett
Gross, 2004) diunduh dari http://www.progress.org/2004/gross06.htm per tanggal 24 April 2006.
58
c. Equity,
Prinsip ini merupakan pusat dari segala perencanaan pemungutan pajak. Perencanaan
dalam pemungutan pajak harus adil dan sampai pada tingkat mana dapat disesuaikan
dengan prinsip yang lain.
d. Administrability,
Bagaimana suatu pajak dapat diadministrasikan dengan mudah dan juga dalam hal
pemungutannya. Pajak yang menimbulkan distorsi dalam kehidupan ekonomi tidak
akan efisien dan dapat menimbulkan berbagai efek samping lainnya seperti
penghindaran pajak, ketidakadilan, dan biaya untuk pemeriksaan yang akan menjadi
lebih besar.
e. Simplicity,
Semakin kompleks suatu peraturan perpajakan, maka akan ditemukan celah-celah
(loopholes) untuk melakukan penyimpangan, menimbulkan ketidakadilan, dan
membuat biaya administrasi semakin besar.
f. Stability,
Prinsip ini mempunyai arti kemampuan pajak untuk menghadapi berbagai perubahan
kehidupan ekonomi yang sering terjadi
g. Sufficiency
Prinsip ini menekankan bagaimana menilai suatu jenis pajak akan menghasilkan
penerimaan bagi negara yang sangat potensial.
59
B. Analisis dan Pembahasan
1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan suatu tindakan kejahatan dan dapat
dikenakan sanksi pidana. Tindakan kejahatan didasari atas adanya niat dan kesempatan.
Niat berasal dari diri Wajib Pajak atau dorongan dari pihak lain sedangkan kesempatan
timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan serta kejadian
atau perbuatan berulang-ulang yang tidak diketahui.
Selama kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi begitu banyak tindakan
penyalahgunaan Faktur Pajak ini terutama dalam rangka memohon restitusi.
Penyalahgunaan Faktur Pajak terjadi berulang kali dan di tempat yang berbeda dan
menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Hal ini membuktikan bahwa sistem
administrasi Kantor Pelayanan Pajak utamanya seksi Pajak Pertambahan Nilai kurang
tertata dengan baik. Menurut Direktur Pemeriksan, Penyelidikan, dan Penyidikan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak, Gunadi, banyaknya kasus restitusi pajak terjadi karena tiga hal,
yakni transparansi keuangan perusahaan wajib pajak, moral pengusaha wajib pajak, dan
integritas petugas pajak.18
Uraian berikut ini mencoba membahas sebab-sebab munculnya kecurangan restitusi
Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan melalui penyalahgunaan Faktur Pajak sesuai
dengan kondisi yang sering terjadi seperti yang diuraikan pada Bab III.
18Majalah Trust, “Restitusi Tanpa Transaksi,” Majalah Trust, 2, No.35 (Tanggal 31
Mei-6 Juni 2004)
60
a. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan
1) Melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif
Beberapa sebab terjadinya penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melakukan
transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif, yaitu:
a) Pengusaha Kena Pajak merasa keberatan untuk menyetor Pajak Pertambahan
Nilai yang telah dipungut dan/atau ingin memperoleh jumlah restitusi yang
lebih besar daripada yang seharusnya.
b) Adanya penelitian yang kurang mendalam terhadap Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai terutama untuk Pajak Masukan selama
Pengusaha Kena Pajak tidak memohon restitusi.
c) Pengusaha Kena Pajak mengetahui bagaimana sistem administrasi dalam
rangka restitusi. Hal ini biasanya dilakukan kerjasama dengan konsultan pajak
dan oknum fiskus yang memberitahukan celah mana saja yang bisa ditembus,
terutama dalam sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.
Sehingga pembuatan perusahaan fiktif untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak fiktif dapat berjalan dengan baik.
d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus dalam proses restitusi. Misalnya
memberikan bantuan untuk mempercepat proses restitusi dengan tidak
melakukan konfirmasi terhadap semua Faktur Pajak Masukan sehingga proses
restitusi dapat berjalan dengan cepat dan meminimalisasi terbongkarnya
kejahatan ini.
61
e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga
Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
f) Ancaman hukuman yang kurang berat terhadap penyalahgunaan jenis ini yaitu
ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi.
2) Transaksi Fiktif
Penyebab penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini hampir sama dengan jenis yang
sebelumnya yaitu antara lain:
a) Pengusaha Kena Pajak merasa keberatan untuk menyetor Pajak Pertambahan
Nilai yang telah dipungut dan/atau ingin memperoleh jumlah restitusi yang
lebih besar daripada yang seharusnya.
b) Terdapat Pengusaha Kena Pajak lain yang mau diajak kerjasama untuk
membuat Faktur Pajak yang sebenarnya tidak pernah terjadi transaksi antara
penjual dan pembeli.
c) Penelitian yang kurang mendalam terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai terutama untuk Pajak Masukan selama Pengusaha Kena
Pajak tidak memohon restitusi dan terhadap daftar lampiran pembelian juga
tidak dilakukan penelitian secara seksama.
d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus untuk memperlancar proses restitusi.
62
e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga
Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan
tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada
yang diancamkan dalam perundang-undangan.
3) Faktur Pajak Fiktif
Terdapat beberapa kesamaan penyebab penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini
dengan kedua jenis sebelumnya, yaitu:
a) Adanya niat dan kesempatan yang dilakukan oleh pengusaha untuk
melakukan kejahatan perpajakan ini.
b) Faktur Pajak yang yang diterima atas pembelian barang dan/atau jasa mudah
untuk dibuat sendiri tanpa sepengetahuan Pengusaha Kena Pajak pembuat
Faktur Pajak yang asli.
c) Pengusaha Kena Pajak mengetahui dengan baik mengenai prosedur penelitian
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan pemeriksaan dalam
rangka restitusi.
d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus yang dengan sengaja ingin
memperoleh imbalan atau gratifikasi.
63
e) Kurangnya sosialisasi mengenai beberapa jenis penyalahgunaan Faktur Pajak
oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain
sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan
kurang mengantisipasinya.
f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan
tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada
yang diancamkan dalam perundang-undangan.
4) Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak
Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini memiliki latar belakang antara lain:
a) Pengusaha Kena Pajak berniat mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya disetor. Transaksi pembelian dari penjual non Pengusaha Kena
Pajak tidak akan dibuatkan Faktur Pajak, oleh karena itu Pengusaha Kena
Pajak sengaja membuat Faktur Pajak fiktif (Pajak Masukan) untuk dikreditkan
dengan Pajak Keluaran sehingga jumlah yang seharusnya disetor lebih sedikit.
b) Pengusaha Kena Pajak mengetahui bahwa terhadap Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai yang kurang bayar dengan jumlah yang sedikit
tidak akan diteliti secara mendalam.
c) Kemudahan dalam membuat Faktur Pajak fiktif, baik dengan membuat sendiri
maupun bekerja sama dengan Pengusaha Kena Pajak lain.
d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus yang dengan sengaja ingin
memperoleh imbalan atau gratifikasi.
64
e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga
Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan
tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada
yang diancamkan dalam perundang-undangan.
5) Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dengan
melalui cara transaksi dalam satu kelompok usaha dapat dikarenakan oleh
beberapa alasan, antara lain:
a) Pengusaha Kena Pajak berniat mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang
seharusnya disetor bahkan jika bisa tidak menyetor Pajak Pertambahan Nilai
ke Kas Negara.
b) Terdapat banyak pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
tidak menginginkan terhadap Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang mereka beli dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
c) Pengawasan terhadap pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang kurang ketat
karena untuk usaha yang sama terkadang tidak semua perusahaan dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak. Biasanya atas permohonan Wajib Pajak
sendiri baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
65
d) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga
Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
e) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan
tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada
yang diancamkan dalam perundang-undangan.
b. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran
1) Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif
Kegiatan ekspor fiktif dilakukan dengan sebab antara lain:
a) Pengusaha Kena Pajak ingin memperoleh kembali Pajak Masukan yang telah
dipungut pada saat pembelian. Hal ini disebabkan terhadap ekspor dikenakan
tarif 0% (nol persen) sehingga Pajak Masukan akan lebih besar daripada Pajak
Keluaran dan dapat menimbulkan kelebihan bayar pajak.
b) Adanya kerjasama dengan instansi terkait lain seperti pihak Bea dan Cukai,
Departemen Perdagangan, bank, Kantor Pelayanan Pajak dan pihak-pihak lain
yang terkait guna memperoleh dokumen asli tetapi palsu berkaitan dengan
kegiatan ekspor yang sengaja digunakan untuk permohonan restitusi.
Penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melakukan kegiatan ekspor fiktif ini
memerlukan administrasi yang baik dan kompleks dari Pengusaha Kena Pajak
karena banyak berkaitan dengan banyak pihak dan dokumen yang harus disiapkan
66
oleh karena itu mungkin tidak terlalu banyak penyalahgunaan jenis ini.
2) Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Penyebab mengapa terjadi penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini antara lain:
a) Banyak Wajib Pajak yang hanya mengandalkan penghasilannya dari proyek
pemerintah sehingga sering menimbulkan kelebihan Pajak Masukan.
Terhadap kelebihan Pajak Masukan ini, Pengusaha Kena Pajak enggan untuk
memperoleh kembali kelebihan bayar Pajak Masukan tersebut dikarenakan
anggapan proses yang akan terlalu lama dan biaya yang akan jauh lebih besar
jika memohon restitusi.
b) Wajib Pajak merasa takut terhadap adanya pemeriksaan terhadap kegiatan
usahanya karena fiskus akan mengetahui keadaan Wajib Pajak yang
sebenarnya dan akan menimbulkan biaya yang lebih besar.
c) Adanya Pengusaha Kena Pajak lain yang mau membeli Faktur Pajak Keluaran
fiktif yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut.
d) Proses pembuatan Faktur Pajak Keluaran relatif mudah dan sederhana dan
tidak diperlukan pengetahuan lebih dalam Pajak Pertambahan Nilai.
e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga
Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
67
3) Pembuatan Faktur Pajak Ganda
Pembuatan Faktur Pajak Keluaran ganda merupakan perbuatan yang sengaja
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sendiri. Terdapat beberapa sebab mengapa
dilakukan pembuatan Faktur Pajak ganda, antara lain:
a) Pengusaha Kena Pajak sengaja ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya dari Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut olehnya dan tidak
disetorkan ke Kas Negara.
b) Pengetahuan yang cukup dari Pengusaha Kena Pajak mengenai prosedur
administrasi dari Pajak Pertambahan Nilai.
c) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga
Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
d) Ancaman hukuman yang tidak terlalu berat dan sering adanya negosiasi antara
Pengusaha Kena Pajak dengan oknum fiskus untuk melancarkan usaha ini.
4) Tidak Membuat Faktur Pajak
Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
a) Niat dari Pengusaha Kena Pajak untuk memperoleh keuntungan bagi diri
Pengusaha Kena Pajak sendiri. Hal ini dilakukan kepada konsumen yang tidak
mengerti mengenai Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak
68
memungut Pajak Pertambahan Nilai dari konsumen tetapi tidak dibuatkan
Faktur Pajak dan konsumen sendiri tidak mengetahui mengenai haknya.
b) Banyak konsumen yang merasa senang jika atas pembelian yang
dilakukannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Terutama jika
konsumen tersebut bukan Pengusaha Kena Pajak maka sangat ingin
menghindari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
c) Pengawasan yang kurang dari Direktorat Jenderal Pajak dan Kurangnya
sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor
Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang
mengantisipasinya.
d) Ancaman hukuman yang tidak terlalu berat dan sering adanya negosiasi antara
Pengusaha Kena Pajak dengan oknum fiskus untuk melancarkan usaha ini.
Dari beberapa sebab-sebab penyalahgunaan Faktur Pajak di atas maka akan dapat
kita tarik suatu kesimpulan mengenai sebab-sebab penyalahgunaan Faktur Pajak, antara
lain:
a. Lemahnya pengawasan terhadap Wajib Pajak, baik pada saat Wajib Pajak mulai
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun setelah Wajib Pajak menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Hal ini yang menyebabkan Wajib Pajak menyalahgunakan
Faktur Pajak dalam rangka memohon restitusi maupun kompensasi.
69
b. Kerja sama antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak lain yang dengan sengaja
menyalahgunakan Faktur Pajak untuk memohon restitusi maupun kompensasi. Pihak-
pihak lain tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak lain baik yang fiktif maupun tidak
fiktif, konsultan pajak, dan oknum fiskus sendiri.
c. Pengetahuan dari Wajib Pajak yang dibantu oleh konsultan pajak maupun oknum
fiskus yang dengan sengaja memberitahukan mengenai celah yang dapat ditembus
dalam memohon restitusi. Hal ini terutama berhubungan dengan sistem konfirmasi
Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang masih terdapat kelemahan. Misalnya
penyalahgunaan dengan membuat Pengusaha Kena Pajak fiktif, mereka sengaja
mendirikan suatu perusahaan untuk sementara waktu dengan maksud untuk
melakukan restitusi fiktif.
Perusahaan ini juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan juga Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang tercatat di administrasi Kantor Pelayanan
Pajak. Hal ini dilakukan karena sistem konfirmasi yang sekarang dilakukan sudah on-
line antar Kantor Pelayanan Pajak dan sudah banyak diketahui oleh Pengusaha Kena
Pajak. Sehingga mereka sengaja mendirikan perusahaan fiktif ini agar proses
konfirmasi berjalan lancar.
d. Fiskus yang tidak profesional dalam pekerjaannya. Permohonan restitusi sengaja
dibuat sebagai ajang bagi oknum fiskus untuk meminta imbalan atau gratifikasi.
70
Sudah menjadi rahasia umum jika hasil dari restitusi akan dicairkan maka fiskus akan
meminta bagian dari hasil restitusi tersebut.19
e. Pemeriksaan umumnya diutamakan kepada pemeriksaan terhadap Surat
Pemberitahuan Masa pada akhir tahun pajak dimana beban pemeriksaan sangat besar
sehingga ketelitian dalam pemeriksaan sering kurang mendalam. Disamping itu,
pemeriksaan hanya dilakukan jika terdapat permohonan restitusi, kalaupun tidak
biasanya bersamaan dengan pemeriksaan segala jenis pajak terhadap Wajib Pajak
yang telah memenuhi kriteria tertentu.
Banyak kemungkinan akan lolosnya restitusi fiktif jika fiskus tidak melakukan
pemeriksaan terutama terhadap Wajib Pajak yang mempunyai peredaran usaha yang
sangat fluktuatif jika hanya mengandalkan pemeriksaan pada akhir tahun atau secara
bersamaan dengan jenis pajak yang lain.
2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Secara umum akibat dari kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok antara lain:
a. Bidang Keuangan Negara
Adanya penyalahgunaan Faktur Pajak sangat merugikan keuangan negara dengan
berkurangnya jumlah penerimaan negara dari sektor pajak khususnya jenis Pajak
Pertambahan Nilai.
19Tri Wibowo, Studi Pelaksanaan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia,
2005, (Jakarta: Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional, 2005 ), hal. 6.
71
b. Bidang Ekonomi
Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan salah satu jenis kejahatan, hal ini akan
sangat mempengaruhi persaingan yang sehat dalam dunia usaha karena adanya
keunggulan biaya dari pengusaha dengan menggunakan cara yang tidak sehat
tersebut.
Seperti telah disebutkan sebelumnya kebijakan ekonomi dari pemerintah haruslah
jelas agara tidak menimbulkan adanya kejahatan-kejahatan dalam bidang perpajakan
khususnya Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena itu penyalahgunaan Faktur Pajak
secara tidak langsung juga dapat menimbulkan kurang lancarnya perputaran roda
perekonomian dan langkanya modal karena pengusaha akan berusaha
menyembunyikan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan yang dilakukannya.
c. Bidang Psikologis Wajib Pajak
Wajib Pajak yang terbiasa melakukan kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak ini dan
tidak diketahui oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak akan terbiasa untuk
melakukannya lagi dan terbiasa untuk melanggar ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan akibat dari penyalahgunaan Faktur Pajak secara khusus dari setiap
penyalahgunaan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan
1) Melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif
Akibat yang ditimbulkan dari kegiatan melakukan transaksi dengan Pengusaha
Kena Pajak Fiktif adalah:
72
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Faktur
Pajak Masukan fiktif akan mengurangi besarnya Pajak Pertambahan Nilai
yang seharusnya disetor. Jika Pengusaha Kena Pajak melakukan restitusi
dengan Faktur Pajak fiktif maka kerugian negara akan menjadi lebih besar.
b) Perusahaan yang melakukan kegiatan ini akan mempunyai biaya tambahan
dari penjual fiktif. Biaya ini (biasanya disarukan ke dalam suatu jenis biaya)
akan mengurangi laba dari pengusaha yang juga akan mengakibatkan jumlah
Pajak Penghasilan yang seharusnya disetor menjadi berkurang. Hal ini
mengakibatkan kerugian negara selain dari sektor Pajak Pertambahan Nilai
juga berasal dari sektor Pajak Penghasilan.
c) Terlambatnya antisipasi dari pihak Direktorat Jenderal Pajak serta hukuman
yang ringan akan mengakibatkan pengusaha lain juga mencoba untuk
melakukan kegiatan yang sama.
d) Semakin banyak pengusaha yang melakukan kegiatan ini berarti juga akan
menambah jumlah oknum-oknum fiskus yang terlibat kolusi. Hal ini akan
membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang. Untuk itu
pemerintah (khususnya Direktorat Jenderal Pajak) perlu lebih meningkatkan
pengawasan terhadap pegawainya karena yang terlibat sering tidak hanya
oknum fiskus di tingkat pelaksana tetapi juga atasan dari oknum fiskus
tersebut.
e) Kelemahan dibidang peraturan dan kurangnya penegakan hukum dibidang
73
perpajakan akan mengakibatkan masyarakat menganggap pemerintah tidak
tegas dan kurang berwibawa khususnya dalam dunia usaha.
f) Dengan adanya penyalahgunaan ini akan mengakibatkan pengawasan yang
lebih ketat dan dapat menimbulkan beban administrasi tambahan bagi Wajib
Pajak, tidak hanya Wajib Pajak yang melakukan penyalahgunaan tetapi juga
bagi Wajib Pajak yang termasuk patuh.
2) Transaksi Fiktif
Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini menimbulkan beberapa akibat, yaitu:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai.
b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan
mengalami penurunan karena adanya upaya untuk membuat laporan yang
tidak benar.
c) Pengusaha yang telah berhasil untuk melakukan kegiatan ini akan cenderung
untuk mengulanginya dan bagi pengusaha lain akan mencoba untuk
melakukannya.
d) Bertambahnya jumlah oknum fiskus yang terlibat dalam kejahatan perpajakan.
e) Berkurangnya wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
f) Pemerintah akan cenderung memandang Wajib Pajak dengan sikap curiga
karena sistem Self Assessment yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya
74
telah disalahgunakan.
3) Faktur Pajak Fiktif
Akibat dari kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini adalah:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai karena adanya kompensasi dan/atau restitusi dengan
menggunakan Faktur Pajak fiktif.
b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan
mengalami penurunan karena adanya Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar
pengenaan Pajak Penghasilan berkurang.
c) Pengusaha yang melakukan kejahatan ini semakin banyak dan jumlah Faktur
Pajak Masukan fiktif juga semakin besar akibat kurangnya pengawasan dari
fiskus.
d) Kepercayaan fiskus kepada Wajib Pajak dalam menerapkan sistem Self
Assessment pada umumnya menurun.
e) Pengusaha Kena Pajak yang Faktur Pajaknya dipalsukan akan menderita
kerugian yang sangat besar. Kerugian tersebut dapat berupa pencemaran nama
baik dan adanya kecurigaan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini akan
menyulitkan bagi Pengusaha Kena Pajak karena kemungkinan besar akan
diperiksa dan bisa dilakukan penyidikan.
4) Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak
Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini mempunyai beberapa akibat, yaitu:
75
a) Penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai akan
mengalami penurunan. Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena
Pajak secara tidak sah dan tidak benar akan mengakibatkan berkurangnya
Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor.
b) Penerimaan negara dari sektor pajak khusunya Pajak Penghasilan secara tidak
langsung juga akan berkurang. Hal ini karena pembelian yang menggunakan
Faktur Pajak Masukan fiktif tersebut akan dijadikan biaya yang menyebabkan
berkurangnya Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak yang
berkurangnya tentu akan mengurangi besarnya Pajak Penghasilan yang
disetorkan ke Kas Negara.
5) Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha
Penyalahgunaan Faktur Pajak dalam transaksi dalam satu kelompok usaha
mempunyai beberapa akibat, yaitu:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai.
b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan
mengalami penurunan karena adanya upaya untuk membuat laporan yang
tidak benar dengan membuat perencanaan pajak yang cenderung
menggelapkan pajak melalui mekanisme transfer pricing..
c) Berkurangnya wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
76
d) Pemerintah akan cenderung memandang Wajib Pajak dengan sikap curiga
karena sistem Self Assessment yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya
telah disalahgunakan.
b. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran
1) Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif
Kegiatan ini mengakibatkan beberapa hal, yaitu:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi jika restitusi fiktif yang diajukan
dikabulkan permohonannya.
b) Tidak ada devisa yang masuk bagi negara karena ekspor yang dilakukan tidak
benar-benar terjadi.
c) Adanya upaya manipulasi untuk jenis pajak yang lain seperti Pajak
Penghasilan dengan membuat pelaporan yang tidak benar agar jumlah pajak
yang seharusnya disetor tidak besar. Hal ini dilakukan karena pengusaha
tersebut tentu saja tidak ingin mengalami kerugian bagi usahanya akibat
adanya kewajiban perpajakan.
2) Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini mempunyai beberapa akibat, antara lain:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengkreditan Pajak
77
Pertambahan Nilai yang tidak benar dengan menggunakan Faktur Pajak
Keluaran fiktif.
b) Penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Penghasilan juga akan
mengalami penurunan karena adanya pelaporan yang tidak benar atau adanya
rekayasa dalam laporan keuangan Wajib Pajak.
c) Kecenderungan Wajib Pajak akan melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak
dengan cara yang sama untuk waktu yang akan datang dengan tujuan
menghindari adanya pemeriksaan dan memperkecil jumlah pajak yang
seharusnya disetor ke Kas Negara.
3) Pembuatan Faktur Pajak Ganda
Kegiatan Pengusaha Kena Pajak dengan membuat Faktur Pajak ganda akan
mengakibatkan beberapa hal, antara lain:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi karena adanya Pajak Pertambahan
Nilai yang telah dipungut dalam pnejualan yang dilakukan pengusaha tidak
dilaporkan dan tidak disetorkan ke Kas Negara.
b) Dengan membuat Faktur Pajak Keluaran Ganda, pengusaha dengan sendirinya
akan menyembunyikan penjualan yang sebenarnya yang berarti mengurangi
peredaran usaha pengusaha. Berkurangnya peredaran usaha ini akan
mengakibatkan Pajak Penghasilan yang seharusnya disetor akan berkurang
dan akan mengurangi penerimaan negara.
78
c) Kurangnya pengawasan akan mengakibatkan kejahatan serupa sering terjadi,
khususnya Wajib Pajak dengan produk massal.
4) Tidak Membuat Faktur Pajak
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak akan mengakibatkan
beberapa hal, yaitu:
a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak
Pertambahan Nilai. Jika Faktur Pajak Keluaran tidak dibuat, maka dengan
sendirinya tidak akan ada Pajak Pertambahan Nilai yang disetorkan ke Kas
Negara dan penerimaan negara pun akan berkurang.
b) Pajak Penghasilan pengusaha tersebut akan berkurang karena peredaran usaha
yang sebenarnya tidak dilaporkan dengan benar. Hal ini tentu saja
mengakibatkan penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan
akan berkurang.
c) Bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli maka tidak dapat mengkreditkan Pajak
Masukan yang sebenarnya telah dipungut karena tidak memiliki Faktur Pajak
Masukan.
3. Pencegahan dan Penanganannya
Setelah pembahasan mengenai penyebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak
Pertambahan Nilai dan juga mengetahui akibat-akibat yang mungkin dapat ditimbulkan
dari kecurangan tersebut, pada pembahasan kali ini penulis mencoba untuk mencari
79
alternatif pencegahan dan penanganan kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai
melalui penyalahgunaan Faktur Pajak.
Alternatif pencegahan dan penanganan ini dibahas secara keseluruhan untuk semua
jenis penyalahgunaan Faktur Pajak. Beberapa alternatif pencegahan dan penanganan yang
coba diberikan penulis antara lain:
a. Pengukuhan Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan dengan
ketat dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Meskipun saat ini Nomor
Pokok Pengusaha Kena Pajak sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak tetapi
pemberiannya harus selektif dan ketat. Hal ini agar tidak timbul banyak Pengusaha
Kena Pajak tetapi mereka tidak aktif, mereka hanya aktif pada tahun-tahun awal
berdirinya perusahaan. Peningkatan Pengusaha Kena Pajak haruslah diiringi dengan
peningkatan penerimaan negara dari pajak jenis Pajak Pertambahan Nilai, hal ini
sesuai dengan asas efficiency dalam Four Maxims dari Adam Smith.
b. Perlunya peningkatan pengawasan terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
baik yang skalanya kecil, menengah, atau besar. Pengawasan ini dapat dilakukan baik
melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi.
Kegiatan ekstensifikasi sesuai dengan sasaran yaitu mencari yang tersembunyi untuk
mengamankan penerimaan negara.20 Kegiatan ini dapat dilakukan antara lain dengan
melakukan penjaringan Pengusaha Kena Pajak baru. Sedangkan kegiatan intensifikasi
20Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-
178/PJ/2004 tentang “Cetak Biru (Blue Print) Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 sampai dengan 2010, tanggal 22 Desember 2004.
80
dilakukan untuk mengungkapkan suatu kondisi yang tidak jujur.21 Kegiatan ini dapat
dilakukan antara lain dengan:
1. Pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai indikasi
melakukan kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak baik penyalahgunaan Faktur
Pajak Masukan maupun Faktur Pajak Keluaran dalam rangka memohon restitusi
maupun kompensasi Pajak Pertambahan Nilai. Perlu ditekankan apakah barang-
barang dalam Faktur Pajak benar-benar dijual dengan melakukan pemeriksaan
kepada catatan bukti penyerahan barang dan tidak hanya dengan konfirmasi.
Dengan kata lain dilakukan pemeriksaan secara acak terhadap Pajak Keluaran
disamping Pajak Masukan yang sudah sering biasa dilakukan dalam pemeriksaan
Pajak Pertambahan Nilai.
2. Penelitian dan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan
usahanya sangat fluktuatif dan mempunyai deviasi sangat besar terlebih jika
Pengusaha Kena Pajak tersebut memohon restitusi atau kompensasi. Pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang melakukan kompensasi terus-menerus disamping yang
sering memohon restitusi juga harus dilakukan karena potensi penyimpangan
terhadap Wajib Pajak yang melakukan kompensasi tersebut juga sama besarnya.
Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang sering melakukan kompensasi tersebut
juga harus memperhatikan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
21Ibid.
81
dari Wajib Pajak terhadap jenis pajak lainnya seperti Pajak Penghasilan Pasal 21,
Pasal 23, dan Pasal 25 serta Pajak Bumi dan Bangunan.
3. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang sering menjadi rekanan pemerintah perlu
dilakukan equalisasi antara Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 25 dengan Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang, perlu dinilai kewajaran apakah jumlah Pajak
Pertambahan Nilai yang disetor ke Kas Negara sudah benar. Hal ini terutama
terhadap Pengusaha Kena Pajak di daerah, karena penyalahgunaan sering terjadi.
4. Kebanyakan proses penyelesaian permohonan restitusi hanya dilakukan melalui
Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) dimana kegiatan PSK ini hanya lebih
bersifat penelitian bukan pemeriksaan yang mendalam. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan yang lebih mendalam misalnya dengan melakukan
Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) agar hasil pemeriksaan lebih akurat dan
dapat mengetahui ada tidaknya kecurangan yang dilakukan Wajib Pajak.
5. Pemeriksaan tidak hanya dilakukan pada masa-masa akhir pada suatu tahun pajak
seperti yang sudah sering dilakukan karena beban pemeriksaan pada akhir tahun
pajak sangat berat dan hal ini akan mempermudah Pengusaha Kena Pajak untuk
melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka memohon restitusi atau
kompensasi.
6. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tergabung dalam satu kelompok usaha
untuk mencari adanya kemungkinan penyelundupan pajak baik Pajak
Pertambahan Nilai maupun Pajak Penghasilan.
82
7. Pemeriksaan terhadap permohonan restitusi melalui mekanisme ekspor perlu lebih
mendalam karena hal ini berkaitan dengan dokumen yang harus diperiksa yang
lebih banyak dan kompleks. Kebenaran dokumen ekspor yang dilampirkan harus
diperiksa kebenarannya dengan melakukan konfirmasi dengan pihak yang
berkaitan. Beberapa dokumen ekspor yang harus dilakukan pemeriksaan adalah
PEB, Letter of Credit (L/C), Bill of Lading (B/L), Price List, Packing List,
Dokumen Surveyor, Surat Sertifikasi dari Departemen Perdagangan atau
Departemen Perindustrian atau Departemen Kehutanan, Nota Kredit dari Bank,
Invoice, Kontrak Penjualan, Kuota, dan Biaya Muat untuk menguji kebenaran
transaksi ekspor.
c. Pada bab II telah disebutkan bahwa Faktur Pajak dapat digunakan sebagai alat
pengawasan dalam penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangatlah penting
karena Faktur Pajak merupakan sarana utama dalam mekanisme pengkreditan Pajak
Pertambahan Nilai dan sebagai alat kelengkapan untuk memohon restitusi atau
kompensasi.
Kebenaran material dalam Faktur Pajak sangat penting, oleh karena itu pengawasan
dimulai dari proses penerimaan sampai dengan proses perekaman agar data yang
dimasukkan ke dalam sistem perpajakan benar-benar valid. Kantor Pelayanan Pajak
terutama seksi Pajak Pertambahan Nilai sering menggunakan tenaga honorer untuk
melakukan perekaman Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, hal ini
dapat juga menjadi salah satu penyebab adanya penyalahgunaan dalam rangka
83
restitusi, harus ada pengawasan terutama pemberian login dan password kepada
tenaga honorer itu. Sebab hal ini juga menyangkut kerahasiaan negara dan juga
kerahasiaan negara menjaga data dari Wajib Pajak.
Dengan data yang valid akan mempermudah dalam melakukan proses konfirmasi
terhadap kebenaran Faktur Pajak jika terdapat permohonan restitusi atau kompensasi
dari Pengusaha Kena Pajak sehingga jangka waktu penyelesaian dapat segera
terpenuhi.
d. Sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan di Direktorat Jenderal Pajak
sekarang ini sudah dilakukan secara langsung antar Kantor Pelayanan Pajak (on-line
system). Hal ini sudah menjadi suatu kebutuhan dimana dengan sistem teknologi
informasi yang berkembang pesat maka kegiatan konfirmasi juga dapat lebih
dipercepat.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan sistem konfirmasi Pajak Keluaran
dan Pajak Masukan secara on-line ini benar-benar sudah dioptimalkan? Sekarang ini
data yang direkam hanyalah untuk Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah diatas
Rp 200.000,00 sedangkan yang wajib dilakukan konfirmasi dalam rangka restitusi
adalah Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah di atas Rp 500.000,00.
Hal ini tentu akan menimbulkan pemborosan dalam space kapasitas penyimpanan
data karena Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah antara Rp 200.000,00 sampai
dengan Rp 500.000,00 tidak akan dikonfirmasi. Belum lagi jika Pengusaha Kena
Pajak sengaja memecah nilai nominal Pajak Pertambahan Nilai menjadi di bawah
84
Rp 200.000,00 sehingga tidak akan terekam dalam sistem dan jika Pengusaha Kena
Pajak tersebut melakukan restitusi atau kompensasi tentu dengan mudah akan
terlewatkan karena banyak data yang tidak terekam. Oleh karena itu sebaiknya perlu
kebijakan yang sama antara jumlah yang direkam dengan jumlah yang
dikonfirmasikan.
Salah satu cara untuk memudahkan perekaman sekarang ini adalah penggunaan
media elektronik sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai terutama untuk Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai volume transaksi
sangat besar (atau disebut e-filling) dimana otomatis dari hasil pembukuan Pengusaha
Kena Pajak akan masuk ke dalam lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai.
Hal ini akan sangat membantu fiskus dan meminimalisasi adanya penyalahgunaan
Faktur Pajak dan mempercepat pencarian data serta memudahkan administrasi. Tetapi
tidak semua Pengusaha Kena Pajak terkomputerisasi pembukuannya bahkan yang
sudah terkomputerisasi terkadang tidak sinkron dengan komputer di Kantor
Pelayanan Pajak.
Oleh karena itu sebaiknya pihak Direktorat Jenderal Pajak membuat program
perekaman Surat Pemberitahuan Masa dan dibagikan secara gratis kepada para
Pengusaha Kena Pajak serta cara penggunaannya. Program ini juga harus disertai alat
kontrol agar Pengusaha Kena Pajak yang akan menyalahgunakan Faktur Pajak tidak
dapat melakukannya.
85
Selain proses konfirmasi terkadang perlu dilakukan proses klarifikasi jika jawaban
konfirmasi menunjukkan ketidaklengkapan, sebaiknya hal ini juga dapat dilakukan
secara on-line karena dalam praktik sering proses klarifikasi ini memakan waktu yang
lama sehingga terkadang jangka waktu penyelesaian restitusi atau kompensasi
menjadi sempit atau terlampaui.
e. Pengawasan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pelaporan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai-nya melalui sistem e-filing karena
bukan tidak mungkin dapat terjadi penyalahgunaan melalui sistem ini. Harus terdapat
pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap sistem ini, karena di masa yang
akan datang akan banyak Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan sistem ini dan
untuk mencegah adanya kebocoran penerimaan negara.
f. Banyak kasus penyalahgunaan Faktur Pajak melibatkan fiskus baik dalam rangka
administrasi maupun pada saat pemeriksaan. Hal ini menunjukkan mental yang tidak
baik dari fiskus dan akan semakin mengurangi kepercayaan dari masyarakat kepada
fiskus yang sudah bersikap antipati sebelumnya.
Oleh karena itu, profesionalisme fiskus dalam melaksanakan pekerjaannya harus
ditingkatkan. Kontak langsung dengan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
sebisa mungkin dikurangi dan hanya untuk pembahasan yang penting saja, hal ini
agar independensi fiskus tetap terjaga dan tidak terpengaruh dalam pengambilan
keputusan baik untuk pekerjaan saat ini maupun untuk masa yang akan datang.
86
g. Hampir setiap tahun terjadi penyalahgunaan Faktur Pajak baik dalam rangka restitusi
maupun kompensasi. Kejadian yang lebih sering terjadi dan sering diekspos oleh
media kebanyakan adalah kasus restitusi fiktif dengan jumlah yang sangat besar.
Jumlah ini akan bertambah besar jika tidak adanya kerjasama antar Kantor Pelayanan
Pajak untuk menangulangi permasalahan ini dan mengamankan penerimaan negara
dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu perlu segera dilakukan
penyebarluasan informasi mengenai adanya tindak kejahatan ini dan modus operandi
yang sering dilakukan.
Meskipun restitusi fiktif lebih sering diberitakan sangat merugikan keuangan negara
tetapi kompensasi fiktif juga sangat perlu diwaspadai karena bukannya tidak mungkin
jumlah kompensasi fiktif bisa sama besar dengan restitusi fiktif. Walaupun uang
negara tidak masuk ke kantong Pengusaha Kena Pajak nakal tetapi hal ini sama saja
merugikan keuangan negara karena seharusnya penerimaan negara bertambah.
h. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap kejahatan penyalahgunaan Faktur Pajak.
Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sanksi
hukuman yang telah diatur harus ditegakkan baik kepada Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan tindakan kejahatan maupun kepada fiskus yang ikut serta memberikan
kemudahan terhadap penyalahgunaan ini. Meskipun penegakan hukum di Indonesia
dengan adil merupakan hal yang sangat sulit tapi hal ini menjadi suatu kewajiban.
Berkaitan dengan tindakan kejahatan menyalahgunakan Faktur Pajak maupun jenis
kejahatan perpajakan lainnya sebaiknya dikenakan sanksi hukuman yang berlapis
87
agar membuat jera para pelakunya dan mencegah adanya perbuatan yang sama
dikemudian hari.
Pengenaan hukuman berkaitan dengan kejahatan perpajakan dapat pula dikenakan
sanksi hukuman yang berlapis yaitu selain melalui Undang-undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur mengenai sanksi dan/atau denda
administrasi serta sanksi pidana, dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-
undang Korupsi karena kejahatan perpajakan merupakan tindakan yang merugikan
keuangan negara.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1. Kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai melalui penyalahgunaan Faktur Pajak
merupakan salah satu kejahatan perpajakan. Kejahatan perpajakan timbul karena
adanya niat dan kesempatan. Niat berasal dari diri Wajib Pajak atau dorongan dari
pihak lain sedangkan kesempatan timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan
perundang-undangan serta kejadian atau perbuatan berulang-ulang yang tidak
diketahui.
2. Kejahatan perpajakan khususnya penyalahgunaan Faktur Pajak dalam restitusi Pajak
Pertambahan Nilai umumnya melibatkan beberapa pihak. Salah satunya seringkali
melibatkan oknum-oknum fiskus untuk memperlancar kegiatannya. Keterlibatan dari
oknum-oknum fiskus tersebut dapat secara langsung terlibat dengan kegiatan
Pengusaha Kena Pajak untuk menyalahgunakan Faktur Pajak atau melalui pemberian
saran, bantuan administrasi, memperlancar dan mempermudah proses restitusi
maupun kompensasi (dari proses penelitian, pemeriksaan, sampai dengan pencairan
restitusi Pajak Pertambahan Nilai). Pemberian informasi oleh oknum fiskus mengenai
kelemahan sistem konfirmasi juga dapat dijadikan sarana untuk memudahkan adanya
manipulasi restitusi.
88
89
3. Proses konfirmasi sebagai pendukung utama dalam rangka pemeriksaan untuk
restitusi Pajak Pertambahan Nilai kurang dioptimalkan penggunaannya. Kurang
optimalnya proses konfirmasi bisa dikarenakan data yang sering tidak lengkap atau
karena kualitas sumber daya manusia yang berbeda-beda untuk tiap kantor yang
menyebabkan proses konfirmasi juga klarifikasi berjalan kurang lancar.
4. Kerugian negara yang diakibatkan kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai
melalui penyalahgunaan Faktur Pajak sangat besar. Bahkan lebih besar dari jumlah
yang tercantum dalam Faktur Pajak fiktif. Kerugian negara ini tidak hanya dari jenis
Pajak Pertambahan Nilai tetapi juga jenis Pajak Penghasilan. Dengan tarif progresif
yang diterapkan untuk Pajak Penghasilan bukan tidak mungkin kerugian negara dari
jenis pajak ini lebih besar dari Pajak Pertambahan Nilai yang hanya menerapkan tarif
tunggal 10%.
5. Ancaman sanksi hukuman terhadap kejahatan perpajakan yang terkadang dalam
penerapannya lebih ringan membuat para pelaku cenderung untuk mengulanginya.
Penegakan hukum terhadap pelaku kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai
yang diekspos keluar biasanya hanya yang menyangkut restitusi fiktif yang
jumlahnya besar. Jarang sekali adanya kasus kompensasi fiktif yang diungkapkan,
karena bukan tidak mungkin kasus restitusi fiktif yang terkadang diungkapkan
hanyalah puncak gunung es dari berbagai macam kasus kejahatan perpajakan.
6. Profesionalisme dari fiskus sering menjadi pertanyaan masyarakat terutama berkaitan
dengan restitusi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa restitusi menjadi salah satu
90
sumber utama bagi oknum fiskus untuk meminta imbalan atau gratifikasi. Jika ingin
proses penyelesaian restitusi dipercepat maka biasanya oknum fiskus akan meminta
imbalan untuk proses tersebut. Hal ini merupakan sumber dari salah satu
penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka proses restitusi.
B. Saran
Saran yang penulis coba berikan dari pembahasan mengenai permasalahan
penyalahgunaan Faktur Pajak ini antara lain:
1. Adanya persamaan pandangan untuk setiap Kantor Pelayanan Pajak dalam penerapan
sistem konfirmasi Faktur Pajak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-754/PJ.2001 tanggal 26 Desember 2001 mengenai Tata Cara
Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.
Sistem konfirmasi Faktur Pajak ini juga harus lebih dioptimalkan penggunaannya
agar dapat lebih memuaskan semua pihak dan utamanya dapat mengamankan
penerimaan negara. Perlu juga diatur sanksi yang diberikan apabila tidak dipenuhinya
ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ.2001
tanggal 26 Desember 2001, sehingga akan lebih meningkatkan ketertiban
pelaksanaannya.
2. Penyuluhan Pajak Pertambahan Nilai khususnya mengenai permasalahan restitusi
Pajak Pertambahan Nilai perlu lebih ditingkatkan agar Wajib Pajak lebih mengerti
mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Hal ini perlu
91
dilakukan agar Wajib Pajak lebih nyaman dalam memohon restitusi sehingga
penyalahgunaan Faktur Pajak dapat diminimalisasi dan dihilangkan.
3. Penggalian potensi perpajakan khususnya pengukuhan Wajib Pajak sebagai
Pengusaha Kena Pajak perlu dilakukan dengan hati-hati dan ditingkatkan. Hal ini
dilakukan dengan maksud agar penerimaan negara dapat lebih meningkat tetapi juga
tidak terjadi kebocoran seperti adanya restitusi fiktif. Oleh karena itu pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan secara selektif dan hati-hati untuk
menghindari adanya kebocoran.
4. Pengamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai dapat dilakukan dengan memberikan data yang akurat dan valid
mengenai transaksi yang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22
telah dipungut. Pajak Penghasilan Pasal 22 ini dapat digunakan sebagai data
pembanding apakah Pajak Pertambahan Nilai yang dilaporkan telah sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya.
5. Pemeriksaan pajak khususnya yang berkaitan dengan restitusi agar lebih profesional.
Hal ini perlu karena restitusi merupakan salah satu sumber utama kebocoran
penerimaan negara. Semua prosedur pemeriksaan harus dilakukan dengan benar dan
dilakukan oleh fiskus yang mempunyai cukup pengetahuan.
6. Penegakan hukuman disiplin terhadap oknum fiskus yang melakukan kejahatan
perpajakan harus dilakukan dengan tegas oleh Direktorat Jenderal Pajak sehingga
menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan yang berniat melakukannya.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Agama
Alamat
Nama Ibu
Nama Ayah
Pendidikan
Pengalaman Kerja
:
:
:
:
:
:
:
Arisna Hendrawan
Jombang, 29 Oktober 1973
Islam
Jalan Basuki Rahmad Gg II No. 4 Rt 4/1
Jabon, Kab. Jombang
Surmini (Almh.)
Soebowo (Alm.)
1. D IV Akuntansi, 2004-2006
2. Ajun Akuntan dengan Kurikulum Khusus, 2002
3. Pembantu Akuntan, 1998
4. Prodip III Keuangan Spesialisasi Anggaran, 1996
5. SMA Negeri II Jombang, 1992
6. SMP Negeri I Jombang, 1989
7. SD Negeri Kepanjen II Jombang, 1986
1. Pelaksana KPP Padang Sidempuan (1996 s.d. 1997)
2. Pelaksana KPP Surabaya Krembangan (1998 s.d. 2000)
3. Pelaksana KPP Palembang Ilir Barat (2002 s.d. 2004)