Upload
picha-picho
View
11
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN
RHINITIS ALERGI
2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis
Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai
penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya
berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung
berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan
konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan,
melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian
bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila
hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena
dampaknya.
Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh
tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan
jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh
darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.
Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga
mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai
cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke
distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan
mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena
vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan
vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik,
obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma.
Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik
terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak
mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya
obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari
jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada
resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui
mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari
Universitas Sumatera Utara
jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah,
terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan
menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal
tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala
penyakit paru.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang
menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi
hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung
mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-
otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung.
Rhinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi.
Gejalanya adalah blockade atau sumbatan hidug, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran
nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak
bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah.
Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan
ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet. Penelitian
terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi
rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias
terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan
ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan
pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan
pengujian penyakit saluran nafas atas.
Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis
ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero
modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai
penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada
hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah.
Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan
pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus.
Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini
membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas
bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim
bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen.
Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung
Universitas Sumatera Utara
ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas
bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak
menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada
asma.
Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan
menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat
fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang.
Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati
hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma.
Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks
nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat
hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung
dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring
udara yang masuk menjadi hilang.
Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan
salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi
setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium
hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau
kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat
beratnya asma.
Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa
disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya
berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11%
sampai 32% penderita rhinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih
ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau
karbakol. Di antara penderita rhinitis alergi musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas
bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden
hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis alergi musiman sebelum dan selama musim
tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rhinitis alergi perennial
mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rhinitis alergi musiman. Meskipun
ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rhinitis
merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain
menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis tidak bermanfaat dalam
meramalkan penderita rhinitis untuk berkembang menjadi asma (Judarwanto, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Hubungan Imunopatologis
Proses imunopatologi pada rhinitis dan asma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan
tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang
menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus
yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah
atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator
inflamasi.
Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian
merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang
menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh
glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal
ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin,
kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung.
Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala
gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediator-
mediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar.
Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala
inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini
menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran
nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada
saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu
bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi
saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari
mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari
8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama..
Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan
rhinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang
mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan
reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila
dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah.
Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga
merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum
dan setelah adanya rhinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga
Universitas Sumatera Utara
dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan
pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat
diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan
secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan
lingkungan.
Asma bronkial dan rhinitis alergi, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai
penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering
dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini
sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki
asmanya (Judarwanto, 2009).
2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma
Teori yang diajukan oleh dokter Alkis Togias menyebutkan adanya hubungan vertikal
dan horizontal antara rhinitis alergi dan asma. Hubungan horizontal yang terjadi adalah
semakin berat gejala rhinitis yang muncul, semakin besar kemungkinan menderita asma.
Sedangkan hubungan vertikal yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di saluran
pernafasan atas akan berpengaruh negatif terhadap saluran pernafasan bawah. Hubungan
vertikal tersebut ditegaskan dengan adanya beberapa studi yang menyebutkan bahwa peran
mukosa nasalis dalam memfilter, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke
saluran pernafasan bawah menjadi terganggu akibat rhinitis alergi. Selain itu, kongesti nasal
yang terjadi pada rhinitis alergi sering membuat penderitanya terpaksa bernafas melalui
mulut. Bahkan, sekret nasal yang mengandung mediator-mediator inflamatorik dapat secara
langsung memasuki saluran pernafasan bawah dan menimbulkan reaksi inflamasi. Inhalasi
allergen juga dapat menimbulkan perubahan-perubahan inflamatorik pada saluran pernafasan
atas dan bawah secara bersamaan (Braunstahl G-J,2003); (OHollaren MT, 2005).
2.1.4. Refleks-Refleks Neural
Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rhinitis
alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks
nasobronchial dan bronchial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris
Universitas Sumatera Utara
nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut
refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat
disebut refleks bronchial (OHollaren MT, 2005).
2.2. IMPLIKASI RHINITIS ALERGI TERHADAP ASMA
2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma
Rhinitis alergi merupakan kondisi komorbid yang umum ditemukan pada pasien
dengan asma. Prevalensi rhinitis alergi pada pasien asma mencapai 80%. Bahkan, ada pula
studi yang menyatakan bahwa 50-100% pasien asma juga menderita rhinitis alergi. Hubungan
yang demikian juga berlaku sebaliknya. Pada pasien rhinitis alergi, prevalensi asma dapat
mencapai 40%, bahkan 58% pada studi lain (Slavin RG, 2008); (Pawankar R, 2004).
2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma
Telah dinyatakan pula bahwa penyakit pada saluran pernafasan atas merupakan faktor
risiko untuk asma. Hal tersebut berdasarkan pada fakta bahwa orang yang menderita rhinitis
alergi memiliki risiko tiga kali lipat untuk menderita asma dari pada mereka yang tidak
menderita rhinitis alergi. Bahkan bagi anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergika dalam
tahun pertama kehidupannya, kemungkinan menderita asma dua kali lebih besar daripada
anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergi dalam tahun-tahun belakangan. Hal lain yang
mendukung pernyataan diatas adalah diagnosa rhinitis alergika yang sering mendahului asma,
rhinitis alergi dapat memperberat derajat eksaserbasi asma akut dan memperburuk prognosis
untuk penderita asma. (Slavin RG, 2008) (Jeffrey PK,2006) (Thomas M, 2006) (Pawankar R,
2004)
2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rhinitis alergi
komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan mekanisme kunci
dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan
obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan rhinitis alergi dan asma mulai ramai
diperbincangkan dan diteliti. Selain anti-inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti
dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah
kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4
(Phosphodiesteras e-4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek
sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma.
Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rhinitis alergi seperti anti histamin dan
Universitas Sumatera Utara
cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah.
Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap
allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid
intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik
dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu
efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinophil pada darah dan sputum,
menurunkan perekrutan eosinophil dari tulang sumsum, dan meningkatkan produksi nitric
oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast merupakan salah satu
contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rhinitis alergi dan asma.
Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rhinitis, juga menurunkan
gejala rhinitis harian pada penderita rhinitis alergi dan asma. (Jeffrey PK,2006)
2.3. PENATALAKSANAAN ASMA DENGAN RHINITIS ALERGI DI INDONESIA
Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rhinitis
alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi
diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen,
penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi
pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan
antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rhinitis
maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rhinitis
dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk mengatasi
gejala asma saja atau rhinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk
rhinitis alergi.
Untuk imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas
5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan
respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan
melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien
menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen
mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara 5-2 0 g, sedangkan preparat oral memiliki
dosis 50-100 kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan
penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia
belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rhinitis alergi di
Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui
mengenai hubungan rhinitis dan asma, dan akan sangat menguntungkan apabila pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah
disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada
GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada
pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan
asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya,
mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa
menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat
pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma.
Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor
1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada
pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada
rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana kombinasi untuk keadaan
komorbid. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk asma.
Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk rhinitis alergika,
sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai
panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global,
dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat
spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan
penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum,
hanya mengenai rhinitis alergika serta komorbiditas dan tata laksana yang dikombinasikan.
Universitas Sumatera Utara