8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI 2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya. Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid. Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari Universitas Sumatera Utara

Alergi Rinitis vs Asma

Embed Size (px)

Citation preview

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN

    RHINITIS ALERGI

    2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis

    Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai

    penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya

    berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung

    berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan

    konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan,

    melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian

    bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila

    hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena

    dampaknya.

    Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh

    tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan

    jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh

    darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.

    Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga

    mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai

    cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke

    distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan

    mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena

    vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan

    vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik,

    obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma.

    Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik

    terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak

    mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya

    obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari

    jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada

    resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui

    mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari

    Universitas Sumatera Utara

  • jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah,

    terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan

    menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal

    tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala

    penyakit paru.

    Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang

    menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi

    hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung

    mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-

    otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung.

    Rhinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi.

    Gejalanya adalah blockade atau sumbatan hidug, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran

    nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak

    bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah.

    Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan

    ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet. Penelitian

    terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi

    rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias

    terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan

    ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan

    pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan

    pengujian penyakit saluran nafas atas.

    Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis

    ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero

    modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai

    penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada

    hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah.

    Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan

    pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus.

    Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini

    membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas

    bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim

    bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen.

    Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung

    Universitas Sumatera Utara

  • ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas

    bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak

    menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada

    asma.

    Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan

    menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat

    fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang.

    Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati

    hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma.

    Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks

    nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat

    hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung

    dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring

    udara yang masuk menjadi hilang.

    Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan

    salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi

    setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium

    hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau

    kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat

    beratnya asma.

    Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa

    disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya

    berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11%

    sampai 32% penderita rhinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih

    ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau

    karbakol. Di antara penderita rhinitis alergi musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas

    bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden

    hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis alergi musiman sebelum dan selama musim

    tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rhinitis alergi perennial

    mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rhinitis alergi musiman. Meskipun

    ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rhinitis

    merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain

    menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis tidak bermanfaat dalam

    meramalkan penderita rhinitis untuk berkembang menjadi asma (Judarwanto, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.1.2. Hubungan Imunopatologis

    Proses imunopatologi pada rhinitis dan asma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan

    tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang

    menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus

    yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah

    atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator

    inflamasi.

    Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian

    merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang

    menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh

    glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal

    ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin,

    kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung.

    Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala

    gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediator-

    mediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar.

    Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala

    inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini

    menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran

    nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada

    saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu

    bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi

    saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari

    mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari

    8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama..

    Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan

    rhinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang

    mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan

    reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila

    dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah.

    Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga

    merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum

    dan setelah adanya rhinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga

    Universitas Sumatera Utara

  • dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan

    pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat

    diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan

    secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan

    lingkungan.

    Asma bronkial dan rhinitis alergi, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai

    penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa

    terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering

    dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan

    lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini

    sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki

    asmanya (Judarwanto, 2009).

    2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma

    Teori yang diajukan oleh dokter Alkis Togias menyebutkan adanya hubungan vertikal

    dan horizontal antara rhinitis alergi dan asma. Hubungan horizontal yang terjadi adalah

    semakin berat gejala rhinitis yang muncul, semakin besar kemungkinan menderita asma.

    Sedangkan hubungan vertikal yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di saluran

    pernafasan atas akan berpengaruh negatif terhadap saluran pernafasan bawah. Hubungan

    vertikal tersebut ditegaskan dengan adanya beberapa studi yang menyebutkan bahwa peran

    mukosa nasalis dalam memfilter, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke

    saluran pernafasan bawah menjadi terganggu akibat rhinitis alergi. Selain itu, kongesti nasal

    yang terjadi pada rhinitis alergi sering membuat penderitanya terpaksa bernafas melalui

    mulut. Bahkan, sekret nasal yang mengandung mediator-mediator inflamatorik dapat secara

    langsung memasuki saluran pernafasan bawah dan menimbulkan reaksi inflamasi. Inhalasi

    allergen juga dapat menimbulkan perubahan-perubahan inflamatorik pada saluran pernafasan

    atas dan bawah secara bersamaan (Braunstahl G-J,2003); (OHollaren MT, 2005).

    2.1.4. Refleks-Refleks Neural

    Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rhinitis

    alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks

    nasobronchial dan bronchial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris

    Universitas Sumatera Utara

  • nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut

    refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat

    disebut refleks bronchial (OHollaren MT, 2005).

    2.2. IMPLIKASI RHINITIS ALERGI TERHADAP ASMA

    2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma

    Rhinitis alergi merupakan kondisi komorbid yang umum ditemukan pada pasien

    dengan asma. Prevalensi rhinitis alergi pada pasien asma mencapai 80%. Bahkan, ada pula

    studi yang menyatakan bahwa 50-100% pasien asma juga menderita rhinitis alergi. Hubungan

    yang demikian juga berlaku sebaliknya. Pada pasien rhinitis alergi, prevalensi asma dapat

    mencapai 40%, bahkan 58% pada studi lain (Slavin RG, 2008); (Pawankar R, 2004).

    2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma

    Telah dinyatakan pula bahwa penyakit pada saluran pernafasan atas merupakan faktor

    risiko untuk asma. Hal tersebut berdasarkan pada fakta bahwa orang yang menderita rhinitis

    alergi memiliki risiko tiga kali lipat untuk menderita asma dari pada mereka yang tidak

    menderita rhinitis alergi. Bahkan bagi anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergika dalam

    tahun pertama kehidupannya, kemungkinan menderita asma dua kali lebih besar daripada

    anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergi dalam tahun-tahun belakangan. Hal lain yang

    mendukung pernyataan diatas adalah diagnosa rhinitis alergika yang sering mendahului asma,

    rhinitis alergi dapat memperberat derajat eksaserbasi asma akut dan memperburuk prognosis

    untuk penderita asma. (Slavin RG, 2008) (Jeffrey PK,2006) (Thomas M, 2006) (Pawankar R,

    2004)

    2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma

    Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rhinitis alergi

    komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan mekanisme kunci

    dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan

    obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan rhinitis alergi dan asma mulai ramai

    diperbincangkan dan diteliti. Selain anti-inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti

    dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah

    kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4

    (Phosphodiesteras e-4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek

    sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma.

    Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rhinitis alergi seperti anti histamin dan

    Universitas Sumatera Utara

  • cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah.

    Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap

    allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid

    intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik

    dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu

    efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinophil pada darah dan sputum,

    menurunkan perekrutan eosinophil dari tulang sumsum, dan meningkatkan produksi nitric

    oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast merupakan salah satu

    contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rhinitis alergi dan asma.

    Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rhinitis, juga menurunkan

    gejala rhinitis harian pada penderita rhinitis alergi dan asma. (Jeffrey PK,2006)

    2.3. PENATALAKSANAAN ASMA DENGAN RHINITIS ALERGI DI INDONESIA

    Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rhinitis

    alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi

    diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen,

    penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi

    pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan

    antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rhinitis

    maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rhinitis

    dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk mengatasi

    gejala asma saja atau rhinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk

    rhinitis alergi.

    Untuk imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas

    5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan

    respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan

    melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien

    menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen

    mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara 5-2 0 g, sedangkan preparat oral memiliki

    dosis 50-100 kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan

    penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia

    belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rhinitis alergi di

    Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui

    mengenai hubungan rhinitis dan asma, dan akan sangat menguntungkan apabila pengetahuan

    Universitas Sumatera Utara

  • tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah

    disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada

    GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada

    pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan

    asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya,

    mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa

    menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat

    pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma.

    Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor

    1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada

    pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada

    rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana kombinasi untuk keadaan

    komorbid. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk asma.

    Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk rhinitis alergika,

    sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai

    panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global,

    dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat

    spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan

    penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum,

    hanya mengenai rhinitis alergika serta komorbiditas dan tata laksana yang dikombinasikan.

    Universitas Sumatera Utara