an Dan Pengaruh Bank Asing

Embed Size (px)

Citation preview

Nama : Rosnalia NIM : 1200995875 Kelas : 07PBF

PERKEMBANGAN DAN PENGARUH BANK ASING DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA 1. Latar Belakang

Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote.Kata bank berasal dari bahasa Italia banca yang berarti tempat penukaran uang. Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.. Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir. Industri ini menjadi lebih kompetitif karena deregulasi peraturan. Saat ini, bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang mereka tawarkan, lokasi tempat mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar untuk simpanan deposan. Berdasarkan segi kepemilikannya, bank diklasifikasi menjadi 5 jenis, yaitu: Bank Pemerintah, yaitu bank yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah; Bank swasta nasional, yaitu bank yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta nasional Indonesia; Bank koperasi, yaitu bank yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh perusahaan berbadan hukum koperasi; Bank asing, yaitu bank yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh asing, baik swasta maupun pemerintah asing; Bank campuran, yaitu bank yang modalnya dimiliki swasta nasional Indonesia dan asing, dan pada umumnya sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta Indonesia. Bank asing adalah bank umum yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha asing. Bank asing hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya sebagai bank setelah mendapat ijin usaha dari menteri keuangan. Bank ini didirikan dalam bentuk cabang dari bank yang sudah ada di luar negeri atau suatu bank asing dan bank nasional di Indonesia yang berbadan hukum Indonesia dan berbentuk PT (Bambang Sunggono, 1995). Bank asing juga bias disebut sebagai kantor cabang bank asing, karena pada dasarnya bank asing hanyalah cabang dari kantor pusat bank asing yang terletak di Negara asalnya. Pada awalnya, bankbank swasta asing hanya boleh beroperasi di DKI Jakarta saja. Namun setelah dikeluarkan Pakto 27, 1988, bank-bank swasta asing ini diperkenankan untuk membuka kantor cabang pembantu di delapan kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Denpasar, Ujung Pandang (Makasar), Medan, dan Batam. Bank-bank asing ini menjalaskan fungsi sebagaimana layaknya bank-bank umum swasta nasional, dan mereka tunduk pula pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1947, pasal 19 Bank Asing diperkenankan menjalankan usahanya di Indonesia hanya di bidang bank pembangunan dan/atau bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dengan mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi pembangunan Negara dan kepentingan nasional pada umumnya. Sehingga Bank Asing, dapat melakukan usaha sebagai Bank Pembangunan yaitu pengumpulan dana terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan. Dan/atau sebagai bank umum yaitu pengumpulan dana terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek.

2. 2.1

Isi Ketentuan Bank Asing di Indonesia

Di Indonesia bank-bank dengan kepemilikan asing terbagi dalam tiga kelompok, yaitu yang beroperasi: (i) sebagai kantor cabang (disebut sebagai bank asing); (ii) sebagai anak perusahaan (subsidiary), baik melalui joint venture dengan bank domestik (disebut bank campuran), atau melalui merger dan akuisisi pada bank domestik yang terjadi pada periode paska krisis 1997 (program divestasi); dan (iii) sebagai kantor perwakilan. Sampai dengan Juni 2004, jumlah bank asing di Indonesia sebanyak 11 bank, hanya bertambah 1 bank dengan beroperasinya kembali Bank of China pada April 2003, dan bank campuran sebanyak 20 bank, menurun dibandingkan dengan jumlah sebelum krisis (tidak termasuk bank dengan kepemilikan asing melalui program divestasi). Pada umumnya, sebagai bank asing, maka strategi pelaksanaan kegiatan operasional serta kebijakan yang diterapkan bank-bank tersebut akan cenderung sarat dengan kepentingan-kepentingan kantor pusatnya di luar negeri. Setiap rencana ke depan maupun operasionalnya akan lebih banyak tergantung pada keputusan kantor pusat atau kantor regional. Perbedaan utama antara bank asing dan bank campuran adalah pada bentuk hukumnya. Bank asing tetap berbadan hukum mengikuti kantor pusatnya di luar negeri dan merupakan bagian penting dari organisasi kantor pusatnya. Konsekuensinya, segala kebijakan keuangan bank asing amat tergantung dari kantor pusatnya, dan pada umumnya penyaluran kredit diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar (Pigott,1986), seperti juga yang terjadi pada bank asing di Indonesia yang penyaluran kreditnya cenderung pada perusahaan multinasional yang juga mendapat pembiayaan dari kantor pusatnya. Sementara itu, bank campuran berbadan hukum lokal, di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, dan secara hukum merupakan entity yang terpisah dari kantor induknya. Pada dasarnya kebijakan dan pengaturan oleh Bank Indonesia terhadap bank asing dan bank campuran bersifat equal. Seluruh ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan kehati-hatian, diterapkan secara seragam untuk seluruh bank yang beroperasi di Indonesia, baik bank domestik, bank campuran maupun bank asing. Perbedaan pengaturan terdapat pada modal. Untuk bank dengan badan hukum Indonesia, mengikuti undang-undang

PT, dan modal usaha tercatat pada neraca bank sebagai modal disetor, sedangkan untuk bank asing dengan badan hukum mengikuti kantor pusatnya, maka modal usaha tercatat pada neraca sebagai antar kantor dan disebut sebagai dana usaha. Pembatasan yang diterapkan terhadap bank asing berupa pembatasan secara geografis dalam membuka kantor, yaitu hanya diperbolehkan pada ibukota propinsi. Latar belakang dibukanya kesempatan bank asing dan bank campuran untuk beroperasi di Indonesia terkait dengan kebutuhan akan modal asing. Selain itu, masuknya bank-bank tersebut ke Indonesia diharapkan dapat mendorong perkembangan perbankan serta perekonomian nasional. Secara umum, keuntungan yang diperoleh dengan masuknya bank-bank asing, termasuk bank campuran, antara lain adalah sebagai saluran capital inflows untuk ekonomi domestik, meningkatkan kompetisi antar bank, dan memperkenalkan produk-produk yang lebih bervariasi. Namun demikian, tetap terdapat sisi negatif yang perlu diantisipasi, terutama pada saat krisis, karena bank-bank tersebut dapat berperan sebagai tempat untuk pelarian modal (capital flight), dan disamping itu dana asing yang masuk tersebut dapat lebih bersifat temporer dan hanya untuk mencari keuntungan sesaat (capital inflow during good times capital outflow during bad times). Sementara itu, kompleksitas produk dan teknologi yang dibawa bank asing dari negara maju belum tentu dapat dilihat dan dikuasai oleh otoritas pengawas host country, sehingga bukannya meningkatkan pengaturan dan proses pengawasan bank namun malah akan lebih memperburuk. Dari beberapa kajian mengenai bank asing diketahui bahwa, walaupun lebih responsif terhadap fluktuasi perekonomian domestik, penyaluran kredit oleh bank milik asing berbentuk anak perusahaan (subsidiary) relatif lebih stabil dibandingkan dengan penyaluran kredit oleh bank asing berupa kantor cabang (Montgomery). Sementara itu, stabilitas penyaluran kredit oleh bank asing (berupa kantor cabang dan subsidiary) selama masa krisis perbankan akan tergantung pada bentuk bank asing dimaksud (mode of entry), apakah sebagai kantor cabang atau subsidiary. Kajian menyimpulkan bahwa bank asing berbentuk subsidiary dapat menyediakan kegiatan usaha keuangan yang lebih luas dan penyaluran kredit yang lebih stabil pada host country dibandingkan dengan kantor cabang bank asing (Clarke and Sanches, 2001; Miller and Parkhe, 1998). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa masuknya lembaga keuangan asing cenderung memberikan keuntungan kepada host country, namun untuk dapat memperoleh keuntungan tersebut secara penuh, pembuat kebijakan harus dapat menerima lembaga-lembaga tersebut dalam bentuk fully owned subsidiary dan joint ventures, dan berpaling dari model offshore institutions dan kantor cabang. Memilih bentuk hukum ideal bagi bank asing yang ingin melakukan kegiatan usaha di suatu negara tidak begitu mudah. Beragam pilihan tersedia seperti international banking facilities, kantor perwakilan (representative office), keagenan, kantor cabang atau perusahaan anak (subsidiary). Pilihan tersebut mencerminkan tingkat kedalaman intervensi ke pasar negara penerima. Kantor perwakilan misalnya memiliki kewenangan terbatas, tidak boleh menerima simpanan, menyalurkan kredit atau melakukan transfer. Kantor cabang menawarkan jasa perbankan secara utuh dan kantor pusat bertanggung jawab atas kewajibannya. Perusahaan anak didirikan terpisah dari perusahaan induk. Perusahaan anak

adalah badan hukum independen yang melakukan kegiatan perbankan secara lengkap dan beroperasi sebagai suatu perusahaan terpisah dari perusahaan induk namun dimiliki atau dikontrol oleh perusahaan induk. UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan tidak memberikan banyak pilihan mengenai bentuk hukum keberadaan bank asing. Pihak asing yang ingin melakukan kegiatan usaha di sektor perbankan hanya dapat melakukannya melalui tiga cara yaitu pembukaan kantor cabang, pendirian bank baru dan membeli saham bank yang telah berdiri, langsung atau melalui bursa efek. Untuk pembukaan kantor cabang dipersyaratkan bank yang memiliki peringkat dan reputasi yang baik. Total asset yang dimiliki bank asing yang ingin membuka kantor cabang tersebut harus termasuk dalam dua ratus besar dunia dan wajib menempatkan dana usaha dalam valuta rupiah atau valuta asing sekurang-kurangnya Rp.3. trilyun. Sedangkan pembukaan perusahaan anak hanya dapat dilakukan dengan bermitra dengan perorangan atau badan hukum domestik. Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan tidak mengenal perusahaan anak yang sepenuhnya dimiliki oleh asing (wholly owned subsidiary).

2.2

Sejarah Bank Asing di Indonesia

Sejak awal sejarah perbankan di Indonesia, bank asing sudah berperan besar dalam pembangunan dunia perbankan. Sejak Indonesia merdeka pemerintah mulai menasionalisasikan bank-bank belanda, Langkah awal untuk nasionalisasi bank-bank Belanda diprakarsai oleh KSAD selaku penguasa militer yang menetapkan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan bank-bank Belanda dipercayakan kepada Badan Pengawasan Bank-Bank Belanda Pusat. Badan pengawasan tersebut didirikan pada setiap daerah yang terdapat bank cabang milik Belanda dengan nama Badan Pengawasan BankBank Daerah dengan tujuan mencegah berlangsungnya run pada bank-bank Belanda sehubungan dengan tindakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah. Pengawasan terhadap bank-bank Belanda dilakukan secara langsung dengan cara menempatkan tim pengawas pada setiap bank. Kebijakan pemerintah untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ditetapkan dalam UU No. 86/1958 yang berlaku surut hingga 3 Desember 1957. Beberapa bank Belanda yang dinasionalisasi pada saat itu adalah Nationale Handelsbank yang pada 1959 menjadi Bank Umum Negara (BUNEG), Escomptobank pada 1960 diubah menjadi Bank Dagang Negara (BDN), dan Nederlandsch Handel Maatschappij N.V. (Factorij) yang pada 1957 digabungkan ke dalam Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) yang merupakan hasil peleburan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan Bank Tani dan Nelayan (BTN). Jika bank-bank milik Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah, maka lain halnya dengan bankbank asing yang bukan milik Belanda. Dengan prinsip berdikari dan semangat nasionalisme yang terus menggelora, pada masa 1950-an pemerintah menyatakan enutupan beberapa bank asing (bukan Belanda), yaitu Overseas Chinese Banking Corporation, Bank of China, serta Hong Kong and Shanghai Banking Corp. berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2/1959.

Selama perkembangan bank asing dari masa orde lama, bank asing masih terlihat dominan memberi kredit pada debitur asing hingga sebesar 78 % dan hanya porsi kecil yang didapat debitur nasional. Bank-bank asing yang mendominasi pemberian kredit kepada perusahaan perusahaan asing, perannya makin menurun karena terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda disamping itu perusahaan Belanda dinasionalisasi. Keberadaan kantor cabang bank asing di Indonesia telah melalui proses sejarah yang panjang. Di awal Orde Baru, Presidium Kabinet Ampera mengintruksikan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral untuk memberikan izin usaha kepada beberapa bank asing untuk beroperasi di Indonesia. Dalam Instruksi tersebut jumlah bank asing dibatasi berdasarkan azas resiprositas serta peranan negara asal bank asing yang bersangkutan sebagai sumber penanaman modal asing dan atau sumber bantuan ekonomi. Alasan dibolehkannya bank asing beroparasi di Indonesia pada waktu itu, agar bank asing dapat ikut serta memperlancar masuknya investasi asing dan penyelenggaraan impor/ekspor di Indonesia, pengembangan industri dan produksi dalam negeri serta perluasan kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas bagi potensi-potensi nasional. Menteri Negara Ekonomi pada 20 Februari 1968 menyatakan agar semua instansi pemerinta, para usahawan dan niagawan menunjukkan sikap positif terhadap kehadiran bank asing. Dalam sikap positif tersebut termasuk pula sikap untuk menghindari dan mengelakkan kebijakan dan peraturan yang simpang siur dan tidak menjamin kepastian kerja bagi bank asing serta menyalahi azas-azas perbankan yang lazim. Pembatasan-pembatasan secara apriori seperti dalam soal giro, deposito, dan perkreditan akan mempersempit kegiatan bank asing sehingga tidak memadai dibanding dengan risiko yang mereka hadapi dalam beroperasi di Indonesia. Instruksi Presidum Kabinet tersebut direalisasikan dengan terbitnya UU No.14/1967 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1968 tentang Bank Asing. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain ditetapkan bahwa bank asing yang berusaha dalam bidang bank umum hanya dapat didirikan dalam bentuk kantor cabang dari bank yang sudah ada di luar negeri atau merupakan bank campuran antara bank asing dan bank nasional yang berbadan hukum Indonesia, dan bank campuran tersebut harus berbentuk perseroan terbatas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut 11 bank asing mendapatkan izin untuk berusaha di Indonesia yang terdiri dari 10 kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri dan satu bank campuran. Sepuluh kantor cabang bank asing tersebut adalah National City Bank of New York yang berubah menjadi Citibank, Bank of America, Chase Manhattan Bank, American Express Bank, The Chartered Bank yang kemudian menjadi Standard Chartered, Algemene Bank Nederland yang kemudian menjadi ABN-Amro, Deutsche Bank, Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC), Bank of Tokyo berubah menjadi TokyoMitsibishi Bank dan Bangkok Bank. Sedangkan bank campuran adalah Bank campuran adalah PT Bank Perdania. Disamping dibolehkan melakukan kegiatan usaha sebagai bank umum, bank asing juga diberi kesempatan untuk menjalankan usaha bank pembangunan, akan tetapi hanya bank asing dalam bentuk bank campuran. Tempat usaha bagi bank umum asing dibatasi hanya di Jakarta sedangkan bank pembangunan asing dapat didirikan dan menjalankan usaha di Jakarta dan di tempat-tempat lain sepanjang ada kebutuhan yang nyata. Dalam menjalankan

kegiatan usaha, bank asing dilarang menghimpun dana dalam bentuk tabungan. Kehadiran sepuluh kantor cabang bank asing tersebut kemudian diberikan jaminan penuh dalam komitmen pemerintah pada WTO/GATS pada tahun 1998. Artinya kesepuluh kantor cabang bank asing tersebut diperbolehkan terus beroperasi dalam bentuk kantor cabang dan setiap perubahan kebijakan pemerintah tidak berakibat apapun bagi mereka. 2.2 Perkembangan Bank Asing di Indonesia

2.2.1 Perkembangan Market Share Bank Asing Paska krisis di Asia yang terjadi pada tahun 1997 masih menyisakan beberapa persoalan pada perbankan di Indonesia. Sampai dengan saat ini, perkembangan penyaluran kredit perbankan relatif masih stagnan atau tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Permasalahan tersebut masih ditambah dengan terus berfluktuasinya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang keras dunia (hard currency), seperti dollar Amerika, yang mempengaruhi perkembangan ekonomi Indonesia. Terus merosotnya nilai tukar Rupiah beberapa waktu lalu, ditengarai salah satu penyebabnya adalah beberapa bank asing di Indonesia yang melakukan transaksi yang bersifat spekulasi. Dengan statusnya sebagai bank asing terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki, terutama dalam hal variasi produk dan credit line dengan bank-bank di luar negeri yang memungkinkan bank-bank asing tersebut untuk bertransaksi secara lebih leluasa dengan pasar luar negeri. Berkaitan dengan masih relatif sulitnya penyaluran kredit oleh perbankan, termasuk bank asing, sementara di sisi lain bank-bank tersebut memiliki kelebihan likuiditas, maka sebagai bank komersial yang cenderung profit oriented bank-bank asing akan melakukan kegiatan atau transaksi dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan profitabilitasnya. Dengan masih adanya permasalahan intermediasi perbankan serta kemungkinan terus berlanjutnya kegiatan spekulasi bank asing yang dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi domestik, maka perlu dibuat suatu kajian mengenai peranan bank asing terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Kajian tersebut akan membahas dan membandingkan kinerja bank asing, bank campuran, dan bank domestik, sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai peranan dari masing-masing kelompok bank tersebut terhadap perekonomian nasional. Rekomendasi yang diusulkan akan tergantung dari hasil kajian tersebut, yaitu apakah perlu tetap mempertahankan bentuk bank asing sebagai kantor cabang namun dengan pembatasan tertentu, atau merubah kantor cabang ke alam bentuk subsidiary, untuk kantor cabang bank asing yang telah ada dan untuk pembukaan kantor bank asing selanjutnya. Seiring dengan perkembangan, tingkat kepercayaan masyarakat kepada bank-bank asing dan campuran cenderung meningkat. Terbukti, pertumbuhan dana pihak ketiga di kelompok bank tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebaliknya, pertumbuhan di kelompok bank BUMN masih yang terendah. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per April 2005, secara keseluruhan dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 981,1 triliun, tumbuh 12,09 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kelompok bank asing dan campuran mencatat pertumbuhan 33,8

persen dengan ekspansi senilai Rp 32 triliun. Adapun pertumbuhan DPK kelompok bank BUMN hanya 2,82 persen dengan ekspansi Rp 10,1 triliun. Direktur Institute for Development Economics & Finance (Indef) Iman Sugema mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat masyarakat lebih tertarik menyimpan dananya di bank asing. Pertama, bank asing memiliki daya saing relatif lebih baik. Kedua, bank asing mendapat keuntungan dari berbagai gejolak yang terjadi akhir-akhir ini di bank BUMN. Kepercayaan masyarakat terhadap bank BUMN kemungkinan menurun akibat berbagai gejolak mulai dari pergantian pengurus sampai masalah kredit macet, katanya. akan tetapi, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Sigit Pramono mengatakan, gejolak yang terjadi di sejumlah bank BUMN sama sekali tidak berdampak terhadap BNI dari segi penghimpunan dana maupun pengucuran kredit. Sesuai siklusnya, pertumbuhan DPK di BNI pada awal tahun biasanya rendah karena banyak deposan besar yang menarik dananya. Namun, pada pertengahan tahun, pertumbuhan DPK akan kembali meningkat. Rendahnya pertumbuhan DPK saat ini semata hanya masalah siklus, kata Sigit. Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk Krisna Wijaya memperkirakan pertumbuhan DPK di kelompok bank asing dipicu oleh melonjaknya simpanan valuta asing. Simpanan dalam dollar AS dengan sendirinya meningkat jika dollar AS menguat. Dalam menyimpan dollar AS, masyarakat merasa lebih aman di bank asing, katanya. Dari data BI, pada minggu pertama hingga minggu ketiga April 2005, nilai dollar AS cenderung menguat atas rupiah. Untuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut, salah satu langkah yang ditempuh BI adalah menaikkan suku bunga penjaminan untuk simpanan dollar AS secara signifikan pada akhir April 2005. Dari sisi besaran suku bunga sebagai salah satu daya saing, bunga simpanan rupiah bank asing lebih rendah dibandingkan kelompok bank lainnya. Per Maret 2005, suku bunga deposito satu bulan kelompok bank asing rata-rata 6,14 persen, sementara kelompok bank BUMN rata-rata 6,34 persen. Adapun suku bunga simpanan bank swasta relatif lebih tinggi. Adapun pada simpanan dollar AS, suku bunga di bank asing relatif lebih tinggi. Per Maret 2005, suku bunga deposito dollar AS berjangka satu bulan di bank asing sebesar 2,17 persen, sementara di bank BUMN hanya 1,93 persen. Menurut Iman, jika pertumbuhan DPK yang tinggi di bank asing terus terjadi, maka dapat dikatakan bank BUMN sudah kehilangan daya saing. Menurunnya daya saing bank BUMN karena kelompok bank ini sudah sulit berkembang. Bank BUMN yang umumnya beraset besar membutuhkan tambahan modal yang besar pula untuk terus berkembang. Tambahan modal yang besar tidak bisa terpenuhi karena pemerintah selaku pemegang saham juga menginginkan dividen yang besar, katanya. Total DPK pada bank BUMN yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN sebesar Rp 368,7 triliun atau 37,6 persen dari total kredit. Adapun total DPK kelompok bank asing dan campuran Rp 127 triliun atau berpangsa 13 persen. Dari sisi kredit, semua kelompok bank mencatat pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tahunan kredit bank BUMN per April 2005 sebesar 25,28 persen dengan ekspansi Rp 45,66

triliun. Bank asing mencatat pertumbuhan 29,77 persen dengan ekspansi kredit Rp 18,39 triliun. Secara keseluruhan, pertumbuhan kredit sebesar 29,23 persen sehingga posisi April 2005 menjadi Rp 587,8 triliun. Sementara, Rapat Dewan Gubernur BI menyimpulkan, dari sisi stabilitas sistem, industri keuangan dan perbankan relatif terjaga karena didukung permodalan dan likuiditas yang memadai. Sepanjang bulan April 2005, kredit baru tercatat Rp 16,1 triliun. Rasio kredit terhadap DPK (LDR) sebesar 51,3 persen dan rasio kecukupan modal (CAR) 21,2 persen. Adapun rasio laba terhadap aset (ROA) dan pendapatan bunga bersih (NII) masing-masing 3,5 persen dan 6 persen. (FAJ) Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007/2008 telah mengangkat kembali perdebatan tentang kehadiran pihak asing dalam sektor perbankan. Hal ini antara lain dipicu pengalaman negara-negara di Eropa Tengah dan Timur. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah bank mentransmisikan kesulitan keuangannya dengan mengurangi kredit yang disalurkan ke nasabah kantor cabang atau nasabah perusahaan anak. Pengalama Eropa Tengah dan Timur pada awal krisis 2007-2008 menunjukan bahwa masalah keuangan yang dialami oleh kantor pusat suatu bank ditularkan secara cross border ke Eropa Tengan dan Timur. Akibatnya, perusahaan kesulitan memperoleh kredit dari bank asing yang kantor pusatnya mengalami kesulitan keuangan. Alasannya adalah bank enggan mengucurkan kredit kepada nasabahnya di lua negeri. Kondisi ini semacam ini dapat mengakibatkan votalitas dan instabilitas di negara tempat kantor cabang bank asing tersebut beroperasi. Pengalaman ini mengundang pertanyaan apakah kehadiran bank asing di suatu negara lebih baik dalam bentuk perusahaan anak. Dipahami bahwa kehadiran bank asing dapat membawa manfaat kepada industri perbankan di negara penerima. Bank asing memfasilitasi akses negara penerima (host countries) terhadap produk dan teknologi baru dan meningkatkan efisiensi pasar keuangan dan kompetisi. Kehadiran bank asing di Indonesia dalam bentuk kantor cabang membawa permasalahan tersendiri. Selain risiko seperti yang di alami Eropa Tengah dan Timur yang lainnya dan lebih mikro adalah adalah kewajiban kantor cabang bank asing menjadi peserta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Keikutsertaan kantor cabang bank asing menimbulkan masalah hukum apabila kantor pusat bank asing tersebut dicabut ijin usahanya dan kemudian dilikuidasi. Secara hukum kepailitan aset kantor cabang adalah bagian dari aset kantor pusat sehingga apabila kantor pusat bank dicabut ijin usahanya maka aset kantor cabang menjadi bagian dari aset likuidasi dan keseluruhan aset bank akan digunakan untuk membayar seluruh kewajiban bank tersebut. Sementara itu, kewajiban kantor cabang kepada nasabah simpanan sampai dengan batasan jumlah tertentu adalah kewajiban LPS. Dengan kondisi seperti ini potensi konflik hukum menjadi timbul. Pertanyaan hukumnya adalah apakah kepentingan LPS harus didahulukan dibandingkan kepentingan kreditur lainnya dari kantor pusat bank yang bersangkutan. Pasal 59 UU LPS menetapkan bahwa LPS menguasai aset bank yang dilikuidasi dan hasil penjualan aset tersebut terlebih dahulu digunakan untuk pembayaran kepada LPS untuk mengembalikan dana LPS yang telah digunakan untuk membayar nasabah penyimpan.

Berdasarkan UU kepentingan LPS harus didahulukan, alasannya adalah kantor cabang bank tersebut beroperasi di Indonesia sehingga tunduk kepada hukum Indonesia. Dalam perjanjian keikutsertaan sebagai anggota LPS secara tegas harus dicantumkan persyaratan bahwa aset kantor cabang bank asing harus terlebih dahulu digunakan untuk membayar kewajibannya di Indonesia. Kebangkrutan lintas negara merupakan masalah pelik dan membutuhkan aturan yang juga bersifat lintas negara. Akan tetapi sulit membayangkan kehadiran aturan likuidasi yang berlaku secara internasional. Oleh karena itu ada pemikiran agar bentuk hukum kantor cabang asing diubah menjadi badan hukum Indonesia dalam bentuk perusahaan anak. Bank dalam bentuk perusahaan anak (subsidiaries) memiliki karakter dan permasalahan tersendiri. Perusahaan induk bank cenderung melakukan sentralisasi seluruh keputusan strategis dan manajemen risiko di kantor pusat. Perusahaan induk membatasi tanggung jawab hukumnya sebesar modal yang ditanamkan pada perusahaan anak. Badan pengawas di negara asal lebih banyak terlibat dalam penyusunan model-model risiko dan memperoleh lebih banyak informasi tentang kondisi perusahaan induk tetapi tidak bertanggung jawab atas potensi kegagalan perusahaan anak. Konsekuensinya negara penerima memikul tanggung jawab akhir dalam menyediakan bantuan likuiditas darurat dan mengumpulkan sisa-sisa asset bila terjadi krisis. Negara penerima juga pihak yang wajib menjaga stabilitas keuangan dan memproteksi pembayar pajak yaitu pihak yang akhirnya menanggung biaya apabila ada bank yang bangkrut. Perusahaan induk sebagai pemilik bank secara hukum berhak mewajibkan perusahaan anaknya agar mematuhi setiap strategi bisnis yang mereka anggap tepat untuk memaksimalkan keuntungan. Padahal diantara strategi bisnis tersebut mungkin ada yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan anak. Akses pasar yang terbuka memerlukan rambu-rambu pengaman dan peningkatan kersama antar negara. Kehadiran pihak asing memang dibutuhkan tetapi bukan untuk solusi jangka pendek (short term medicine) dan menimbulkan implikasi negatif dalam jangka panjang baik bagi individual bank maupun sistem perbankan nasional. Peningkatan kerjasama dengan otoritas pengawasan bank negara lain merupakan salah satu opsi untuk mengatasi risiko kehadiran asing di sektor perbankan. Kerjasama internasional penting karena bank adalah makluk global bila hidup, akan tetapi sangat nasionalis bila mati. Sampai dengan akhir 2002, hanya 10 bank asing yang beroperasi di Indonesia. Pada Mei 2004, dengan diaktifkannya kembali Bank of China, jumlah bank asing menjadi 11 bank yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. American Express Bank Ltd. Bank of America, N.A. Bank of China Limited Citibank N.A. Deutsche Bank Ag. JP. Morgan Chase Bank, N.A. Standard Chartered Bank The Bangkok Bank Comp. Ltd. The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd.

10. 11.

The Hongkong & Shanghai B.C. BNP Paribas

dengan total aset sebesar Rp103 triliun atau 8,77% dari total aset perbankan. Total aset bank asing mengalami perkembangan yang cukup signifikan apabila dibandingkan satu tahun sebelum krisis terjadi, yaitu sebesar Rp14,37 triliun pada 1996 (2,85% dari total aset perbankan) atau meningkat Rp88,63 triliun atau naik 617%. Perubahan yang signifikan tersebut utamanya disebabkan adanya perubahan nilai tukar yang tajam yaitu dari Rp2.383 pada 1996 menjadi Rp9.210 per 1 dollarnya pada Mei 2004. Kondisi ini mengakibatkan total aset bank asing yang portofolio valasnya cukup besar meningkat dengan signifikan.

Dengan memasukkan bank campuran sebagai bagian dari kelompok bank asing maka porsi total aset kelompok bank asing tersebut terhadap total asset perbankan mencapai 7,74% pada 1996 menjadi 12,75% pada Mei 2004. Hal ini utamanya disebabkan perkembangan bank campuran yang ternyata cukup siginifkan terhadap total aset perbankan.

Dibandingkan dengan pertumbuhan kredit antar beberapa kelompok bank, kelompok bank asing mengalami pertumbuhan kredit negatif terkecil dibandingkan dengan kelompok lainnya pada tahun 1999. Selanjutnya, kelompok tersebut juga memiliki percepatan pertumbuhan kredit yang terendah dibandingkan dengan kelompok bank lainnya pada periode 2002 s.d 2004. Sementara, dilihat dari undisbursed loan (UL)-nya, kelompok bank asing dengan jumlah bank yang relatif sedikit memiliki UL yang cukup besar, bahkan menyumbang 25,0% dari total UL perbankan selama 2004 yang sebesar Rp21,0 triliun (s.d. April 2004).

Pada kelompok bank asing, UL tersebut lebih banyak terjadi pada jenis kredit modal kerja dan pada sektor industri. Khusus sektor industri, persentase pangsa UL tersebut lebih besar dibanding persentase perbankan. Artinya, selain fokus bank asing di Indonesia tidak pada penyaluran kredit, sektor riil yang telah diberikan alokasi kredit pun tidak mampu menyerap secara baik dana yang telah disiapkan oleh kelompok bank tersebut.

2.2.1 Perkembangan Kinerja Bank Asing Akibat krisis yang lalu, kualitas aktiva produktif khususnya kredit kelompok bank asing relatif lebih buruk dibandingkan dengan industri perbankan secara total. Hal ini tercermin dari NPL gross kelompok bank tersebut yang termasuk tinggi bila dibandingkan dengan kelompok bank lain maupun dengan industri perbankan, walaupun dengan kecenderungan menurun. Tercatat NPL gross kelompok bank asing (April 2004) sebesar 11,5% dan NPL net sebesar 1,1%. Disamping itu terjadi perubahan orientasi penyaluran kredit sebelum krisis dan sesudah krisis. Sebelum krisis, bank asing cenderung menyalurkan kredit jangka panjang untuk kegiatan investasi, namun karena krisis dan besarnya portofolio kredit investasi tersebut mengakibatkan kondisi kualitas kredit bank asing menjadi lebih buruk dibanding industri perbankan keseluruhan. Hal tersebut mengakibatkan bank-bank asing paska krisis merubah perilaku penyaluran kreditnya pada penempatan dana jangka pendek dan yang memiliki risiko kecil yaitu pada jenis konsumsi terutama terkait dengan kegiatan fee based income, khususnya pada kartu kredit. Akhir-akhir ini begitu variatif jenis

kredit konsumsi yang ditawarkan dengan limit terbatas seperti kredit tanpa agunan dengan nominal dibawah Rp10 juta.

Dampak perubahan orientasi tersebut mengakibatkan persentase pendapatan bunga kelompok bank asing mulai didominasi oleh fee based income dengan kecenderungan terus meningkat. Meskipun demikian, pendapatan operasional dan non operasional kelompok bank tersebut masih relatif tinggi dibanding kelompok bank lain, baik sepanjang tahun 2003 maupun 3 bulan pertama tahun 2004. Sumber utama pendapatan tersebut bukan berasal dari kredit, tetapi dari transaksi valas/derivatif. Dengan profitabilitas yang cukup baik tersebut, CAR kelompok bank ini termasuk tinggi dibandingkan kelompok bank lainnya, sehingga cukup luas ruang bagi bank asing untuk meningkatkan penyaluran kreditnya. Tingginya CAR tersebut tak lain secara akuntansi disebabkan adanya transfer Dana Usaha yang cukup signifikan ditempatkan oleh kantor pusat bank asing tersebut, namun ditengarai transfer tersebut hanya untuk memenuhi ketentuan permodalan. Hal ini dimungkinakan karena Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/37/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 yang mengatur mengenai Dana Usaha membuka peluang akan hal tersebut. Sementara, di sisi liabilitiesnya, dana pihak ketiga (DPK) kelompok bank asing selama 3 tahun terakhir relatif tetap dengan porsi sebagian besar dalam bentuk valas (April 2004 sebesar 55,4%) terutama dalam bentuk deposito. 2.3 Pengaruh Bank Asing Terhadap Industri Perbankan di Indonesia

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti tentang pegaruh keberadaan bank asing terhadap perbankan domestik. Salah satunya dilakukan oleh Claessens, DemirgKunt, dan Huizinga (1998) yang berjudul How Does Foreign Entry Affect the Domestic Banking Market?. Di dalam tulisan ini dibahas bagaimana pengaruh keberadaan bank asing terhadap bank domestik di 80 negara, dengan periode penelitian 1988 hingga 1995. Untuk mengetahui bagaimana bank asing mempengaruhi indikator kinerja perbankan, dipergunakan regresi dengan model first defference sebagai berikut: Iijt = o + FSjt + i Bit + j Xjt + ijt

Iijt merupakan dependent variables yang menunjukkan indikator kinerja dan profitabilitas untuk bank domestik i di negara j pada waktu t. Indikator perbankan ini digambarkan oleh variabel net margin/ta, yang menggambarkan pendapatan bunga bersih perbankan terhadap aset total, dan noninterest income/ta. Indikator profitabilitas digambarkan oleh before tax profit/ta, overhead/ta, dan loan provisioning/ta. FSjt merupakan independent variables, yaitu kepemilikan bank asing di negara j pada waktu t. kepemilikan asing merupakan porsi aset bank asing terhadap aset total perbankan. Bit merupakan variabel bank domestik i pada waktu t. Xjt merupakan variabel makro ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi, GDP/cap, inflasi, dan suku bung ril. o merupakan konstanta (intersep), dan ijt adalah error term. Penetrasi bank asing dilakukan melalui dua penghitungan, yaitu melalui jumlah bank asing terhadap jumlah total bank dan aset bank asing terhadap aset total bank di setiap negara. Pada beberapa negara, penetrasi jumlah bank asing melebihi penetrasi aset bank asing (Perancis, Jerman, Italia, Inggris, dan Amerika). Hal ini menggambarkan bahwa bank asing cenderung lebih kecil dibandingkan dengan bank domestik di negara tersebut. Di beberapa negara lain tidak terdapat penetrasi asing (Finlandia, Guatemala, Haiti, India, dan lainlain). Sementara itu, negara sampel Nepal dan Swaziland hanya memiliki bank asing (tidak terdapat bank domestik). Pada tabel juga diperlihatkan penetrasi bank asing yang besar (penetrasi minimal 75 persen) di negara Bahrain, Bostwana, Luxemburg, dan lainlain. Berikut dijelaskan hubungan antara penetrasi bank asing dan pendapatan nasional. Hasilnya dihasilkan bahwa penetrasi bank asing di negaranegara berpendapatan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan negaranegara berpedapatan tinggi, dan kelompok negara perekonomian transisi memiliki penetrasi bank asing yang tertinggi.

Selanjutnya, hasil estimasi data panel dengan menggunakan weighted least squares menunjukkan bahwa masuknya bank asing secara signifikan mengurangi profitabilitas bank domestik. Share bank asing juga dapat dihitung sebagai rasio antara aset bank asing terhadap aset total bank. Rasio ini tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi persaingan di dalam

pasar perbankan nasional. Secara keseluruhan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah bank asing lebih mempengaruhi persaingan bank domestik daripada jumlah aset asing (market share). Kelonggaran terhadap hambatan masuk bank asing mengurangi profitabilitas perbankan domestik, tetapi berpengaruh positif terhadap perekonomian domestik. 2.3.1 Pengaruh Bank Asing dalam Trade Finance Pada awalnya, peran bank asing dalam kegiatan perdagangan luar negeri (trade finance) cukup bervariasi dan tinggi. Dari metode pembiayaan dan pembayaran perdagangan luar negeri, Letter of Credit (LC) memiliki peranan yang penting dalam rangka pembiayaan perdagangan luar negeri oleh bank asing, sedangkan cara pembayaran lainnya adalah transfer dana. Berdasarkan data yang diperoleh dari GINSI, pola pembiayaan/pembayaran perdagangan luar negeri (ekspor) telah mengalami pergeseran terutama sejak 1995. Pembayaran ekspor yang semula didominasi oleh LC dengan pangsa 89% (1982) beralih ke non LC (70%) pada tahun 2002. Pada Juli 2004, pangsa LC turun menjadi 11,90% dengan nilai $288 juta dari total ekspor sebesar $1.794 juta. Ini menunjukkan semakin menurunnya peran perbankan dalam perdagangan luar negeri. Hal ini patut menjadi pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan dan pengaturan perbankan (khususnya bank asing) ke depan. Dari 16% pembiayaan perdagangan luar negeri yang menggunakan LC tersebut, jumlah akseptasi LC yang dilakukan kelompok bank asing terus turun sementara untuk kelompok bank bank umum swasta nasional (BUSN) devisa dan bank campuran masih menunjukkan adanya pertumbuhan. Fakta ini semakin membuktikan akan semakin turunnya peran perbankan asing dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. 3. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap keseluruhan kelompok bank dengan diperoleh hasil estimasi bahwa bank asing secara khusus lebih fokus menjadi bank yang melakukan aktivitas yang menghasilkan fee (fee based income), sehingga kurang berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Disamping itu produk fee based income yang sama juga sudah banyak ditawarkan oleh bank domestik. Hasil estimasi terhadap keseluruhan kelompok bank memberikan konfirmasi terhadap fenomena bank asing di Indonesia bahwa walaupun dari aspek efisiensi dan kredit bermasalah bank asing memiliki perilaku yang sama dengan bank domestik atau campuran namun dari aspek pendapatan, bank asing lebih mengutamakan pendapatan yang berasal dari non kredit (42,1%). Kondisi permodalan kantor cabang bank asing yang dicerminkan oleh KPMM secara umum dalam kondisi yang memadai yaitu rata-rata agregat sebesar 15,3%. Oleh karena itu, arahan agar bank melakukan penyaluran kredit tidak akan menurunkan KPMM bank tersebut secara signifikan. Selain itu berdasarkan studi empiris per kelompok bank, bank asing lebih kurang sensitif terhadap perubahan sinyal kondisi domestik dibandingkan bank campuran dan bank domestik. Hal ini disebabkan karena dana bank asing relatif tergantung dari dana-dana yang berasal dari kantor pusat bank sehingga kurang sensitif terhadap perubahan kondisi makroekonomi Indonesia. Selain itu, bank asing juga menunjukkan tingkat volatilitas yang tinggi dalam penyaluran kredit dan cenderung kontraktif pada periode paska krisis.

Berkaitan dengan kelemahan penyajian dana usaha dalam permodalan bank asing, dapat disimpulkan beberapa hal sbb: 1. Konsep modal yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/37/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 berpotensi menyebabkan fluktuasi jumlah modal atau dana usaha kantor cabang bank asing, dan dapat dipergunakan untuk kegiatan lain yang bersifat spekulatif dan menguntungkan bank. Kelemahan tersebut mengakibatkan modal tidak dapat digunakan sebagai bantalan dalam mengantisipasi kerugian yang timbul di kantor cabang tersebut dan tidak bisa dipakai sebagai alat untuk mengontrol perkembangan aset kantor cabang yang bersangkutan.

2.

Kondisi tersebut diatas, tentunya dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan terhadap peningkatan peranan bank asing dalam melakukan penyaluran kredit sehingga bank asing dapat lebih berperan dalam perkembangan ekonomi domestik dan menjadi motivator investor asing untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Sehubungan dengan penyelesaian permasalahan tersebut, kiranya dapat diterapkan beberapa alternatif untuk mendorong bank asing agar meningkatkan kontribusinya dalam perekonomian sebagai berikut: 1. Memelihara dan menetapkan (declared) Dana Usaha (DU) kantor cabang bank asing pada minimal jumlah tertentu (asumsi minimal Rp3 triliun) sehingga jumlahnya tidak mengalami fluktuasi (ditransfer). Namun hal ini belum lazim diterapkan perbankan internasional. 2. Kantor Cabang Bank Asing diarahkan untuk melakukan konversi menjadi bank domestik sehingga ketentuan modalnya mengacu pada ketentuan modal bank umum. Kepada bank ini dapat diberikan insentif permodalan. Dengan mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan kredit yang diharapkan 10-15 tahun kedepan relatif sama dengan bank domestik, maka untuk dapat memenuhi persyaratan modal Rp3 triliun terhadap kantor cabang bank asing tersebut dapat diberikan grace period selama 5 tahun pemenuhan ketentuan modal yang sebagian diantaranya dapat berasal dari konversi DU kedalam Rupiah pada tanggal akhir neraca pada saat berlakunya ketentuan tersebut. Sebagai implikasinya, dengan tidak berfluktuasinya DU maka komponen modal ini akan menjadi stabil sehingga konsep modal yang ada di bank tersebut bisa mendekati konsep modal yang sesungguhnya. Kestabilan konsep modal ini jika dipergunakan untuk menghitung KPMM akan menghasilkan suatu angka yang dapat dipercaya. Dan selanjutnya perkembangan trend KPMM juga dapat dijadikan dasar untuk melihat perkembangan bank dari sisi komponen modal dan ATMR-nya. Pertimbangan penurunan modal disetor adalah karena jumlah tersebut sudah disesuaikan dengan proyeksi penyaluran kredit dan bank asing tersebut sudah beroperasi serta memperoleh laba yang memadai sehingga tidak diperlukan lagi alokasi kerugian selama dua tahun sebagaimana yang akan dialami oleh bank baru, dan pemenuhan biaya-biaya untuk kegiatan investasi dan SDM bank.

3. Apabila kantor cabang bank asing belum dapat diarahkan melakukan konversi menjadi bank domestik maka dapat diterapkan constraint antara lain sebagai berikut: 1. Pengaturan tentang pertumbuhan kredit Pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit investasi secara bertahap minimal sama dengan pertumbuhan kredit keseluruhan dengan komposisi jenis jumlah kredit yang seimbang khususnya mengingat bahwa pada saat ini terdapat ekses likuiditas yang sangat besar sehingga mengganggu perekonomian. Penerapan ketentuan diperkirakan tidak akan bertentangan dengan komitmen di WTO karena ditujukan untuk pelaksanaan pengawasan bank dan efektivitas kebijakan moneter. Adapun implikasi ketentuan ini adalah bank akan merasa dipaksa sehingga apabila kredit bank kemudian memburuk maka bank dapat berkilah untuk ikut meminta pertanggungjawaban Bank Indonesia. 2. Penetapan alokasi kredit Kantor cabang bank asing tersebut dan bahkan seluruh bank dapat diminta untuk mengadakan alokasi dana untuk penyaluran kredit dari total dana pihak ketiga (DPK) yang diperolehnya secara bertahap. Dengan mempertimbangkan rasio LDR Kantor cabang bank asing pada saat ini maka penetapan rasio dapat diusulkan sebesar 60% dan dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian dan bank yang bersangkutan. Dengan mengingat komitmen Indonesia pada World Trade Organization (WTO) sebagaimana diatur dalam Schedule of Specific Commitment dan dengan mempertimbangkan potensi balas dendam (resiprokal) negara lain terhadap kegiatan perbankan Indonesia di luar negeri dan bahkan dapat berdampak pada produk Indonesia lainnya maka penetapan kebijakan tersebut kiranya harus tetap dilakukan dalam kerangka penegakan ketentuan kehati-hatian (pendekatan pengawasan) terhadap perbankan atau efektivitas kebijakan moneter sehingga tidak melanggar kesepakatan Indonesia dan ketentuan yang diatur dalam WTO tersebut atau ketentuan lainnya.

4. Daftar Pustaka Sunggono, Bambang (1995). Pengantar Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju Claessens et.al (1998), How does foreign entry affect the domestic banking market? The world bank East Asia and Pasific Region and development research group. http://www.dpr.go.id/uu/uu1967/UU_1967_14.pdf http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-A030-454A-BC759858774DF852/13313/uu_bi_1099.pdf http://id.wikipedia.org/wiki/Bank#Jenis-jenis_bank_dan_fungsinya

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_bank_di_Indonesia#Bank_Asing http://pebyword.wordpress.com/2011/03/23/1-1-pengertian-bankklasifikasi-tugas-fungsikegiatan/ http://tiosijimbo.wordpress.com/2011/03/19/pengertian-klasifikasi-bank/ http://zulsitompul.wordpress.com/2011/04/18/bank-asing/ http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/28A5E81B-0F93-424F-87B619C349C4A3EC/7820/BankAsing.pdf http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-49B1-9DDCCB01AB6C60D0/19383/SejarahPerbankanPeriode19531959.pdf http://blognyamyun.blogspot.com/2008/08/bank-asing-dan-industri-perbankan.html http://www.bumn.go.id/19464/publikasi/berita/tertinggi-pertumbuhan-dana-masyarakatdi-bank-asing/ http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_3_1968.pdf