10
Makalah seminar 1 ANALISIS DAMPAK PERKEMBANGAN KAWASAN PERGURUAN TINGGI JATINANGOR TERHADAP BIAYA INPUT PENYEDIAAN AIR Oleh Adjie Pamungkas, ST (Perencanaan Wilayah dan Kota, ITS) Adanya fenomena perkembangan yang pesat di Kawasan Perguruan Tinggi (KPT) Jatinangor memberikan berbagai macam dampak. Fenomena ini dapat dilihat dari perkembangan kawasan tersebut dari sisi fisik, ekonomi dan sosial. Perkembangan fisik kawasan terlihat dari adanya konversi lahan, yaitu sebesar 115 ha dalam kurun waktu lima tahun kebelakang. Konversi lahan terlihat dari terjadinya perubahan pemanfaatan lahan dari lahan tidak terbangun (tegalan dan tanah kering) menjadi lahan terbangun (yang didominasi oleh perumahan, perguran tinggi, dan industri). Perkembangan ekonomi kawasan terlihat dari tumbuhnya kawasan tersebut sebagai pusat pertumbuhan baru. Perkembangan pusat pertumbuhan ini selain didorong oleh aktivitas perguruan tinggi, dipengaruhi pula oleh berkembangnya aktivitas industri. Hal ini terlihat pada kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kecamatan Jatinangor (49,9%). Selain itu pula, perkembangan KPT Jatinangor dapat dilihat dari munculnya aktivitas perdagangan yang mendukung baik untuk aktivitas perguruan tinggi maupun industri. Perkembangan sosial terlihat dari perkembangan jumlah penduduk yang memiliki laju eksponensial. Perkembangan ini pun terlihat dari semakin banyaknya penduduk pendatang di kawasan tersebut. Penduduk migran yang cukup besar terlihat memiliki karakteristik usia muda dan lulusan SMA. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kawasan tersebut sudah menjadi daerah tujuan migran. Seiring dengan perkembangan tersebut, perkembangan KPT Jatinangor menimbulkan peningkatan kebutuhan air baik untuk aktivitas ekonomi penduduk maupun aktivitas dasar manusia. Pola pemenuhan air dan perkembangan kawasan yang ada saat ini, ternyata memberikan dampak negatif terhadap kondisi air tanah. Hal ini terlihat pada terjadinya penurunan muka air tanah sebesar 20 m dalam 6 tahun dan telah terjadi kenaikan koefisien aliran permukaan dari 0,2 menjadi 0,5 (Forum Jatinangor: 2001). Beberapa fenomena perkembangan di atas, KPT Jatinangor ternyata dipengaruhi oleh dua aktivitas utama, yaitu perguruan tinggi dan industri.. Dengan demikian, jika melihat pada kondisi masa lalu, dapat diasumsikan bahwa perkembangan

Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 1

ANALISIS DAMPAK PERKEMBANGAN KAWASAN PERGURUAN TINGGI

JATINANGOR TERHADAP BIAYA INPUT PENYEDIAAN AIR

Oleh

Adjie Pamungkas, ST

(Perencanaan Wilayah dan Kota, ITS)

Adanya fenomena perkembangan yang pesat di Kawasan Perguruan Tinggi

(KPT) Jatinangor memberikan berbagai macam dampak. Fenomena ini dapat dilihat

dari perkembangan kawasan tersebut dari sisi fisik, ekonomi dan sosial. Perkembangan

fisik kawasan terlihat dari adanya konversi lahan, yaitu sebesar 115 ha dalam kurun

waktu lima tahun kebelakang. Konversi lahan terlihat dari terjadinya perubahan

pemanfaatan lahan dari lahan tidak terbangun (tegalan dan tanah kering) menjadi lahan

terbangun (yang didominasi oleh perumahan, perguran tinggi, dan industri).

Perkembangan ekonomi kawasan terlihat dari tumbuhnya kawasan tersebut sebagai

pusat pertumbuhan baru. Perkembangan pusat pertumbuhan ini selain didorong oleh

aktivitas perguruan tinggi, dipengaruhi pula oleh berkembangnya aktivitas industri. Hal

ini terlihat pada kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kecamatan Jatinangor

(49,9%). Selain itu pula, perkembangan KPT Jatinangor dapat dilihat dari munculnya

aktivitas perdagangan yang mendukung baik untuk aktivitas perguruan tinggi maupun

industri. Perkembangan sosial terlihat dari perkembangan jumlah penduduk yang

memiliki laju eksponensial. Perkembangan ini pun terlihat dari semakin banyaknya

penduduk pendatang di kawasan tersebut. Penduduk migran yang cukup besar terlihat

memiliki karakteristik usia muda dan lulusan SMA. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa kawasan tersebut sudah menjadi daerah tujuan migran.

Seiring dengan perkembangan tersebut, perkembangan KPT Jatinangor

menimbulkan peningkatan kebutuhan air baik untuk aktivitas ekonomi penduduk

maupun aktivitas dasar manusia. Pola pemenuhan air dan perkembangan kawasan yang

ada saat ini, ternyata memberikan dampak negatif terhadap kondisi air tanah. Hal ini

terlihat pada terjadinya penurunan muka air tanah sebesar 20 m dalam 6 tahun dan telah

terjadi kenaikan koefisien aliran permukaan dari 0,2 menjadi 0,5 (Forum Jatinangor:

2001).

Beberapa fenomena perkembangan di atas, KPT Jatinangor ternyata

dipengaruhi oleh dua aktivitas utama, yaitu perguruan tinggi dan industri.. Dengan

demikian, jika melihat pada kondisi masa lalu, dapat diasumsikan bahwa perkembangan

Page 2: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 2

dimasa depan akan dipengaruhi oleh kedua aktivitas tersebut. Kedua perkembangan

tersebut tentunya akan memberikan bobot dampak negatif yang berbeda terhadap sistem

air tanah di kawasan tersebut. Dampak negatif terhadap sistem air tanah ini akan

dialihkan pada peningkatan biaya input penyediaan air sebagai upaya mitigasi

terganggunya sistem alam tersebut. Dengan demikian, dampak negatif yang lebih besar

terhadap sistem alam tersebut dapat dihindarkan. Oleh karena itu, studi ini akan

memberikan gambaran hubungan antara perkembangan KPT Jatinangor dengan biaya

input penyediaan air secara sistematis dan terukur melalui simulasi perkembangan.

Studi ini ditujukan pula untuk menemukan spesifikasi alternatif perkembangan KPT

Jatinangor dikaitkan dengan biaya input penyediaan air. Dengan demikian, dapat dipilih

alternatif perkembangan KPT Jatinangor yang lebih berkelanjutan ditinjau dari basis

analisis kondisi air.

Dalam memperoleh hubungan perkembangan dengan biaya input penyediaan

air, dilakukan proses analisis dengan tiga submodel sebagai berikut: submodel perkiraan

jumlah penduduk, komuter, dan tenaga kerja, submodel perkiraan kebutuhan air dan

lahan, dan submodel perkiraan biaya input penyediaan air.

Analisis perkembangan akan dilihat pada dua skenario yaitu perkembangan

KPT Jatinangor akan mengikuti skenario industri yang mengedepankan sektor produksi

industri dan swasta (dilakukan dengan melihat LQ dan kontribusinya), dan skenario

perguruan tinggi yang mengedepankan aktivitas perguruan tinggi dan sektor produksi

perdagangan dan swasta selaku sektor pendukung aktivitas perguruan tinggi (dilakukan

dengan melihat beberapa kebijakan kawasan tersebut).

Pada tahap analisis pertama dilakukan perkiraan jumlah penduduk, komuter

dan tenaga kerja. Kedua skenario menggunakan model yang berbeda mengingat input

data yang berbeda. Dari kedua input yang berbeda ini akan diharapkan menghasilkan

output proses submodel pertama yang sama. Untuk skenario industri, dilakukan dengan

menggunakan analisa sektor basis dengan basis data tenaga kerja. Perkembangan

diproyeksikan dengan melihat perkiraan PDRB pada sektor basis di tahun 2010. Dengan

menggunakan beberapa asumsi seperti rasio antara tenaga kerja basis dan PDRB basis

tetap, multiplier sektor basis tetap, rasio antara jumlah penduduk dan tenaga kerja yang

tetap dan asumsi civitas akademika yang akan melakukan komuting, akan didapat

perkiraan jumlah penduduk, komuter dan tenaga kerja pada tahun 2010. Hal ini dapat

dilihat pada gambar 1.1.

Page 3: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 3

GAMBAR 1.1 MODEL PERKIRAAN PENDUDUK DAN TENAGA KERJA

Untuk skenario perguruan tinggi, dilakukan sesuai dengan arahan pada RUTR

KPT Jatinangor 2000-2010. Dengan menggunakan asumsi jumlah penduduk 2010

berdasarkan RUTR tersebut, rasio penduduk dan tenaga kerja yang tetap, dan rasio

penduduk siang dan malam yang tetap maka didapat jumlah tenaga kerja dan komuter

pada tahun 2010. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1.2. Dengan demikian, kedua

submodel ini akan menghasilkan out yang sama.

PDRB BASIS TAHUN AWAL (0) LAJU PDRB PADA LEVEL TERTENTU

Rasio Antara Tk Basis dan PDRB Basis

TETAP

TENAGA KERJA YANG KOMUTING (EK)

EK = ET - ETI

TENAGA KERJA YANG TINGGAL (ETI)

ETI = (1 – Z) ET

TENAGA KERJA BASIS TAHUN 2010

EB0 * PDRBB2010

PDRBB0

TENAGA KERJA TOTAL TAHUN 2010

ET0 * EB2010

EB0

Multiplier sektor basis

TETAP

TENAGA KERJA MASING-MASING SEKTOR (Ei)

Ei2010 = Ei1999 * ET2010

ET1999

PENDUDUK TAHUN KE 10 (P 10)

P2010 = ETI * γ

γ = rasio ketergantungan

PROYEKSI PDRB BASIS TAHUN 2010

KOMUTER

Civitas akademika yang komuting

Page 4: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 4

GAMBAR 1.2 MODEL PERKIRAAN PENDUDUK, KOMUTER, DAN TENAGA KERJA

MENURUT SKENARIO PERGURUAN TINGGI

Tahap analisis yang kedua adalah memperkirakan kebutuhan lahan dan air.

Input dari model ini adalah jumlah penduduk, tenaga kerja dan komuter yang

merupakan output pada submodel pertama. Model kebutuhan lahan dapat dilihat sebagai

kebutuhan lahan untuk perumahan, kebutuhan lahan untuk fasilitas kota, kebutuhan

lahan untuk industri dan kebutuhan lahan untuk perguruan tinggi. Kebutuhan lahan

untuk perumahan dapat dilihat dari pola rumah di kawasan tersebut yang

dikelompokkan pada tiga tipe, yaitu tipe besar, sedang dan kecil (dengan luas lahan 200

m2, 120 m2, dan 90 m2). Kebutuhan lahan untuk fasilitas kota ini dipengaruhi oleh

jumlah penduduknya dan perhitungannya berdasarkan standar kebutuhan fasilitas kota

(Dinas Pekerjaan Umum: 1987). Kebutuhan lahan untuk industri dipengaruhi oleh

peningkatan jumlah tenaga kerjanya. Dengan rasio 80 tenaga kerja membutuhkan 1 ha.

lahan industri (Dinas Perindustrian). Khusus lahan untuk perguruan tinggi tidak akan

mengalami penurunan maupun penambahan mengingat dari keempat perguruan tinggi

tidak akan melakukan peningkatan fasilitas yang signifikan terhadap perluasan lahan

untuk aktivitas perguruan tinggi (survei primer: 2001). Model kebutuhan air dapat

dilihat pada dua kategori sumber air, yaitu: air tanah dangkal, dan air tanah dalam-

tengah. Untuk kebutuhan air yang disediakan oleh air tanah dangkal, didapat dari

jumlah kebutuhan air oleh jumlah penduduk dan komuter (dengan standar kebutuhan air

sebesar 90 lt/det dan 10 lt/det). Selain itu pula air yang disediakan oleh air tanah

ASUMSI JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN RUTR KPT JATINANGOR 2000-2010 (P2010)

JUMLAH PENDUDUK SIANG 2010

Rasio Pend. Siang dan Malam

CIVITAS AKADEMIKA

YANG KOMUTING

TENAGA KERJA YANG KOMUTING

KOMUTER

TENAGA KERJA YANG TINGGAL

γ = rasio ketergantungan

TENAGA KERJA TOTAL TAHUN 2010

TENAGA KERJA MASING-MASING SEKTOR (Ei)

Page 5: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 5

dangkal digunakan untuk memenuhi kebutuhan air oleh fasilitas kota. Perhitungan

dilakukan dengan melihat pada standar dari berbagai sumber (Pedoman RUTRW Inti

Metropolitan Bandung Raya, dan Dinas Pekerjaan Umum: 1987). Untuk kebutuhan air

yang disediakan oleh air tanah dalam-tengah, didapat dari jumlah kebutuhan air dari

aktivitas industri dan perguruan tinggi. Kebutuhan air oleh aktivitas industri akan

dipengaruhi oleh jumlah luas lahan industri. Dengan menggunakan standar dari PPLH

ITB maka didapat hubungan sebagai berikut: untuk 1 ha. luas lahan akan dibutuhkan

suplai air sebesar 200.000 lt/hari. untuk aktivitas perguruan tinggi tersebut diasumsikan

tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Submodel kebutuhan lahan dan air ini

dapat dilihat pada gambar 1.3.

Tahap ketiga melakukan analisis perkiraan terhadap biaya input penyediaan air.

Asumsi pada submodel ini, yaitu: sumur resapan dengan spesifikasi tinggi 3m, luas

sumur 1,96 m2, dan keliling penampang 5,6 m mampu menggantikan luas lahan 34,132

m2 lahan yang terkonversikan, dan perbandingan antara kapasitas sistem dengan

pembiayaan akan mengikuti grafik biaya investasi dan pengelolaan air (Glen de Wolf:

1984). Proses yang dilakukan, sebagai berikut: input data merupakan hasil pada

submodel perkiraan kebutuhan lahan dan air, yaitu: jumlah air yang harus disediakan

oleh air tanah dalam-tengah, jumlah air yang disediakan oleh air tanah dangkal, dan

jumlah kebutuhan lahan. Untuk jumlah air yang harus disediakan akan dibandingkan

dengan potensinya baik untuk air tanah dalam-tengah maupun dangkal. Jika potensi

lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan maka upaya yang dilakukan adalah

mempertahankan jumlah air yang terinfiltrasi dengan mengkorelasikan jumlah luas

lahan yang terkonversi dengan jumlah sumur resapan melalui perbandingan di atas. Jika

potensi lebih kecil dari kebutuhan maka diperlukan suplai buatan untuk menambah

kekurangannya. Penambahan suplai buatan ini dapat dilakukan dengan melakukan

pengolahan air permukaan dengan menggunakan sistem WTP (Water Treatment Plant).

Dengan demikian, kedua upaya tersebut akan memberikan dampak pada peningkatan

biaya input untuk menyediakan air.

Penambahan kedua jenis biaya tersebut adalah total biaya input penyediaan air

sebagai konsekuensi atas perkembangan melalui skenario perkembangan tertentu.

Pembebanan dari masing-masing biaya input ini dapat dilakukan dengan cara yang

berbeda. Hal ini mengingat penyebab dan karakteristik pembiayaan yang berbeda.

Submodel ini dapat dilihat pada gambar 1.4.

Page 6: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 6

Page 7: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 7

Page 8: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 8

Setelah melalui beberapa submodel di atas, maka didapat suatu perbandingan

hasil analisis antara skenario perkembangan industri dengan skenario perkembangan

perguruan tinggi. perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1.

TABEL 1.1 PERBANDINGAN HASIL ANALISIS MELALUI KEDUA SKENARIO

Skenario Industri Skenario Pendidikan Civitas akademika menetap Sektor basis

Jumlah penduduk

Jumlah tenaga kerja

Fasilitas

Kebutuhan air

Kebutuhan lahan

Kompensasi biaya

8.487 orang. Sektor industri dan swasta

354.512 orang.

Meningkat menjadi 145.340

pekerja. Komuter sebanyak 49.946

orang. Membutuhkan fasilitas

sejumlah 4.440 unit, luas lahan 261,32 ha (7,91%).

Total suplai adalah untuk air

tanah dangkal 46.801.550 lt/ hari dan air tanah dalam-tengah 132.086.280 lt / hari.

Total lahan terbangun akibat

perkembangan skenario ini adalah 2.199.97 ha atau 66,6%.

Pembuatan sumur 645 buah

memerlukan biaya Rp. 681.397.350, 00 sampai Rp. 740.414.850.

Untuk membuat WTP

diperlukan biaya investasi Rp. 540 milyar, dan biaya pengelolaannya Rp. 54 milyar.

30.968 orang. Pendidikan dan aktivitas

pendukung pendidikan (perdagangan dan swasta),

171.548 orang

Meningkat menjadi

115.268 pekerja. Komuter sebanyak 53.506

orang. Membutuhkan fasilitas

sejumlah 2.149 unit, luas lahan 126,45 ha (3,8 %).

Total suplai adalah untuk

air tanah dangkal 30.412.238 lt/ hari dan air tanah dalam-tengah 57.586.280 lt / hari.

Total lahan terbangun

akibat perkembangan skenario ini adalah 1.304,26 ha atau 39,5%.

Pembuatan sumur 477

buah memerlukan biaya Rp. 402.410.260, 00 sampai Rp. 438.509.260.

Untuk membuat WTP diperlukan biaya investasi Rp. 270 milyar, dan biaya pengelolaannya Rp. 27 milyar.

Perbandingan kedua skenario ini dapat nilai berdasarkan beberapa hal, yaitu:

mengenai kepadatan penduduk, penggunaan luas lahan total, penggunaan luas lahan

industri, dan biaya input yang ditimbulkan itu sendiri. Kepadatan penduduk pada

skenario industri sebesar 107,3 penduduk/ha, sedangkan pada skenario perguruan tinggi

51,9 penduduk/ha. kepadatan penduduk melalui skenario industri ini dua kali lipat

dibandingkan berdasarkan skenario perguruan tinggi. Penggunaan luas lahan total

sebesar 66,6% untuk skenario industri, dan 39,49% untuk skenario perguruan tinggi.

Luas lahan total yang terkonversi pada skenario industri ini sangat besar jika

Page 9: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 9

dibandingkan dengan kondisi topografi KPT Jatinangor (dimana memiliki kondisi ideal

lahan terbangun seluas 50%-70% dari luas lahan total). Penggunaan luas lahan industri

pada skenario industri sebesar 19,7%, sedangkan pada skenario perguruan tinggi sebesar

8,5%. Kondisi pada skenario industri ini melebihi kondisi ideal menurut Eisner (1993)

yaitu sebesar 10% sampai 11%.

Khusus untuk pembebanan pembiayaan dapat dilakukan dengan melihat pada

pihak yang menimbulkan eksternalitas negatif tersebut (the doer is the payer). Untuk

membiayai pembuatan sumur resapan dapat dibebankan kepada pihak yang melakukan

konversi lahan (dengan kata lain adalah pihak yang melakukan pembangunan baik

untuk tempat tinggal maupun aktivitas produksi). Pembebanan dilakukan dengan

memperkirakan nilai masa depan (future value), luas lahan yang terkonversi dan usia

sumur resapan. Berdasarkan perhitungan tersebut maka pembebanan biaya sumur

resapan sebesar 9,61 per m2 pertahunnya sampai 10,45 per m2 pertahunnya. Jika melihat

pada karakteristik bangunan yang harus ada sepanjang tahun, maka akan diperlukan

pula proses pembiayaan yang kontinyu. Oleh karena itu, pembebanan biaya ini

dilakukan untuk setiap tahunnya bagi penduduk yang memiliki lahan terbangun baik

digunakan untuk perumahan maupun aktivitas produksi.

Untuk pembiayaan WTP, maka dibebankan kepada pihak industri dan perguruan tinggi

yang memerlukan suplai air. Hal ini disebabkan kedua pihak tersebutlah yang secara

intensif menggunakan air tanah dalam-tengah. Penggunaan yang aman adalah

penggunaan jumlah air sebesar potensi air tanah tersebut, sedangkan kekurangannya

akan disuplai oleh WTP tersebut. Dengan demikian, mekanisme ini dapat dilakukan

dengan mengontrol penggunaan sumur bor dan menciptakan mekanisme pendistribusian

penggunaan air dari WTP dan air tanah dalam-tengah. Pembebanan WTP ini dapat

dilihat sebagai berikut:

Untuk biaya investasi (1 kali pembayaran)

Rp . 126.000.000.000 / 33.446,828 m3 = Rp. 3.767.173,37 /m3.

Untuk biaya pengelolaan (tarif untuk setiap penggunaan)

Rp. 13.500.000.000 / (33.446,828 m3 X 365 ) = Rp. 1.105,82 /m3 .

Dengan melihat pada latarbelakang studi, proses analisis dan perbandingan

hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa; perkembangan KPT Jatinangor akan

menimbulkan peningkatan biaya input penyediaan air. Peningkatan biaya ini akan

berbeda-beda dan dipengaruhi oleh skenario perkembangan kawasan tersebut.

Perkembangan KPT Jatinangor dengan skenario industri akan menyebabkan biaya input

Page 10: Analisa Dampak Perkembangan JTNGR

Makalah seminar 10

penyediaan air yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perkembangan berdasarkan

skenario perguruan tinggi. Selain itu pula, perkembangan berdasarkan skenario industri

ini akan menimbulkan beban terhadap daya dukung lingkungan yang jauh lebih besar

dibandingkan dengan beban yang ditimbulkan akibat perkembangan berdasarkan

skenario perguruan tinggi. Beban pada skenario industri tersebut, untuk beberapa

kriteria terlihat telah melebihi kondisi idealnya. Oleh karena itu, perkembangan KPT

Jatinangor dimasa depan sebaiknya diarahkan melalui skenario perguruan tinggi.

Perkembangan KPT Jatinangor dengan skenario industri maupun skenario

perguruan tinggi memerlukan suatu kebijakan dalam mencegah terganggunya sistem air

tanah yang lebih tinggi. Kebijakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kondisi

sistem air tanah adalah:

1. Pembebanan biaya dilakukan kepada pihak yang melakukan eksternalitas negatif.

Pembebanan ini dapat pula dijadikan sebagai instrumen dalam menciptakan

mekanisme insentif dan disinsentif bagi perkembangan KPT Jatinangor. Hal ini

dapat dilakukan dengan melakukan pembedaan beban biaya yang harus ditanggung

diantara pihak yang menciptakan eksternalitas tersebut.

2. Pembebanan biaya sumur resapan dapat dilakukan dengan memasukkannya kepada

komponen biaya pajak bumi bangunan. Adapun pengelolaannya dapat dilakukan

oleh badan pemerintah yang bertugas dalam memberikan izin bangunan. Dengan

demikian, diperlukan suatu mekanisme kelembagaan tertentu dalam mengelola

pembiayaan tersebut.

3. Pembebanan biaya pembuatan dan pengelolaan WTP dapat dilakukan kepada pihak

yang menggunakan air tanah dalam-tengah. Adapun pengelolaannya dapat

dilakukan oleh PDAM ataupun badan lain yang dipercaya selaku penyedia sumber

air bagi aktivitas industri dan perguruan tinggi. Pengelolaan oleh badan lain tersebut

sangatlah memungkinkan dengan menggunakan mekanisme build own operate

(BOO), build operate transfer (BOT), ataupun build own lease (BOL). Hal ini

mengingat pada kemampuan PDAM masih rendah, terutama dalam hal pendanaan.