Upload
phungquynh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAPPEPROV JATIM PKDSP UNIBRAW
DIPERSIAPKAN UNTUK RAPAT KERJA GUBERNUR DENGAN
BUPATI/WALIKOTA DAN STAKEHOLDER
DALAM RANGKA SINKRONISASI PELAKSANAAN PROGRAM TAHUN 2011
DAN RENCANA PROGRAM TAHUN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF
Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur 2011
Foto-foto pada halaman sampul merupakan hak cipta ©Bank Dunia.
Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam dokumen ini. Batasan, warna, angka dan informasi lain yang tercantum pada setiap peta dalam dokumen ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.
DIPERSIAPKAN UNTUK RAPAT KERJA GUBERNUR DENGAN BUPATI/WALIKOTA DAN STAKEHOLDER
DALAM RANGKA SINKRONISASI PELAKSANAAN PROGRAM TAHUN 2011 DAN RENCANA PROGRAM TAHUN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF
Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur 2011
1
PENDAHULUAN
Jawa Timur selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki posisi strategis,
baik dari aspek ekonomi maupun dari sisi demografisnya. Secara ekonomi, provinsi ini merupakan
penghubung antara kawasan Timur dan Barat Indonesia, khususnya sebagai pintu gerbang perdagangan
antar pulau dan daerah. Pada tahun 2010, Jawa Timur mempunyai porsi perdagangan sebesar 52 persen
dengan wilayah Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua dan 47 persen dengan
wilayah Indonesia bagian barat seperti Sumatra dan Jawa. Sementara dari aspek demografi, jumlah
penduduk Jawa Timur adalah yang kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat. Pada tahun 2010,
jumlah penduduk Jawa Timur adalah sebesar 37,477 juta jiwa atau 16 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia. Dengan demikian, perkembangan ekonomi dan kependudukan yang terjadi di Jawa
Timur akan berpengaruh terhadap konstelasi perekonomian nasional.
Gambar 1. Kontribusi PDRB Jawa Timur dan perdagangan antar pulau, 2010
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, 2011.
Jawa Timur memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat cukup stabil dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir dengan rata-rata di atas pertumbuhan ekonomi nasional, namun angka kemiskinan masih
berada di atas angka nasional. Sebagai kontributor kedua terbesar bagi perekonomian Indonesia,
pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2005 selalu lebih tinggi dibanding pertumbuhan
ekonomi nasional, kecuali pada tahun 2008. Pada tahun 2010, ekonomi Jawa Timur tumbuh sebesar 6,7
persen, merupakan angka tertinggi di Jawa dan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
nasional. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur masih yang paling besar di Jawa
karena memang populasi penduduk Jawa Timur yang sangat besar. Di tahun 2010, tingkat kemiskinan
Jawa Timur sebesar 15,3 persen, masih di atas tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,3 persen.
Luas Wilayah Jumlah Kabupaten Kota Jumlah Penduduk
47.130,50 Km2 29 kabupaten dan 9 Kota 37,477 juta jiwa
0%
2%
4%
6%
8%
0%
5%
10%
15%
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur Banten
Kontribusi PDRB Provinsi Terhadap Nasional (2010)
Rata-rata Pertumbuhan PDRB Per tahun (2006-2010)
73.581.5
Nilai Perdagangan (Trilyun Rupiah)
Bongkar Muat
4.29
1.89
Vol. Perdagangan (Juta Ton)
37
10 1 12
21
19
Proporsi Nilai
Perdagangan (%)
58
16118
33
29
Nilai Perdagangan (Trilyun Rupiah)
SumateraAntar Provinsi Jawa
Antar Daerah Jawa Timur
Bali, Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi,Maluku & Papua
Pendahuluan
2
Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah telah membantu
penurunan persentase penduduk miskin di Jawa Timur terutama dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dan nasional, 2010
Sumber: BPS Pusat dan Jawa Timur, 2010.
Gambar 3. Peta tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Jawa Timur 2008
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data pemerintah provinsi Jawa Timur dan data BPS.
Pendahuluan
3
Pola pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi kewilayahan di Jawa Timur menunjukkan adanya wilayah
yang sangat maju dan wilayah yang masih tertinggal. Pertumbuhan yang tinggi terpusat di perkotaan
seperti Kota Surabaya dan sekitarnya (Sidoarjo dan Gresik), serta Kota Malang dan Kabupaten Malang.
Kota-kota tersebut merupakan pusat aktivitas ekonomi di Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 50
persen terhadap total ekonomi Jawa Timur pada tahun 2010. Kajian Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi
Jawa Timur (DPEJT, 2011) mengindikasikan bahwa pola pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang ini
tidak memerlukan intervensi khusus untuk memindahkan kegiatan ekonomi ke daerah-daerah
tertinggal. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa aglomerasi di daerah perkotaan memiliki efek
positif terhadap pertumbuhan ekonomi jika ditunjang dengan fasilitas dan infrastruktur yang tepat.
Sehingga yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menerapkan program pembangunan
yang bersifat umum dan netral secara spasial, seperti misalnya dengan meningkatkan akses pendidikan
dan kesehatan untuk memungkinkan penduduk daerah tertinggal memaksimalkan manfaatnya dan
bergerak ke arah peluang yang lebih baik serta diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang
menghubungkan secara spasial untuk meningkatkan arus barang, orang, dan informasi ke pusat-pusat
ekonomi. Peningkatan infrastruktur tersebut juga dapat memperluas perdagangan antar- dan dalam
provinsi.
Gambar 4. Ukuran geografis aktual per kabupaten/kota
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS.
Pendahuluan
4
Gambar 5. Ukuran ekonominya (sebagaimana diukur dari PDRB)
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS.
Jumlah penduduk yang cukup besar di Jawa Timur bisa menjadi penggerak perekonomian bila tenaga
kerja tersebut memiliki dan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi. Proporsi serapan tenaga
kerja berdasarkan sektoral di Jawa Timur dari tahun ke tahun relatif stabil, dengan tidak banyak
perubahan komposisi tenaga kerja di masing-masing sektor. Sebagian besar tenaga kerja di Provinsi
Jawa Timur terserap di sektor pertanian dengan proporsi sebesar 42,5 persen, sementara sektor ini
memiliki produktifitas tenaga kerja paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Kajian
DPEJT merekomendasikan bahwa untuk mengurangi kemiskinan di Jawa Timur, pemerintah provinsi
membutuhkan strategi untuk memfasilitasi transisi tenaga kerja ke sektor yang memiliki produktivitas
yang lebih tinggi, meningkatkan produktivitas sektor pertanian dengan meningkatkan nilai tambah
produk pertanian serta mempromosikan pekerjaan untuk non-tani di pedesaan seperti industri
pertanian dan industri pedesaan skala kecil untuk membantu petani-petani yang memiliki kemungkinan
kecil (misalnya karena usia yang sudah lanjut dan pendidikan yang rendah) untuk pindah ke sektor non-
pertanian.
Pendahuluan
5
Gambar 6. Tenaga kerja per sektor dan berdasarkan struktur di Jawa Timur
Sumber: BPS Jawa Timur, 2010.
Angkatan kerja di Jawa Timur sebagian besar masih memiliki latar belakang pendidikan yang rendah,
yang merupakan salah satu penyebab provinsi ini memiliki tingkat upah minimum dan rata-rata upah
bulanan paling rendah dibanding provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 2010, lebih dari 52 persen
angkatan kerja di Jawa Timur hanya berpendidikan SD atau bahkan lebih rendah. Sementara angkatan
kerja berpendidikan lanjutan (DI-III dan Universitas) dan tidak lebih dari 5 persen. Karena pendidikan
yang rendah maka ketrampilan pekerja juga cenderung rendah sehingga tingkat upah relatif rendah.
Rendahnya akses terhadap pendidikan menengah merupakan salah satu faktor rendahnya capaian
pendidikan di provinsi tersebut. Terdapat jurang yang lebar antara kaum berada dan kaum miskin, dan
juga antara penduduk pedesaan dan perkotaan dalam hal akses terhadap pendidikan menengah. Akses
yang timpang ini dapat disebabkan oleh terbatasnya jumlah sekolah menengah, distribusi sekolah yang
tidak merata dan relative tingginya biaya pendidikan menengah. Di tingkat kabupaten/kota, banyak
kabupaten/kota mencatat angka partisipasi murni sekolah dasar di atas 90 persen. Akan tetapi variasi
angka partisipasi yang lebih besar dapat dijumpai pada tingkat menengah pertama dengan rentang
antara 45 persen sampai 85 persen dan pada tingkat menengah atas dengan rentang antara 18 persen
sampai 80 persen di tahun 2009.
Gambar 7. Angkatan kerja per pencapaian pendidikan di tahun 2010
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas/BPS.
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
2008 2009 2010
Jum
lah
TK
(ri
bu
ora
ng
)
pertanian industri konstruksi perdagangan
Jumlah TK per Sektor
0.00
5,000,000.00
10,000,000.00
15,000,000.00
20,000,000.00
25,000,000.00
30,000,000.00
35,000,000.00
2008 2009 2010
bekerja pengangguran bukan angkatan kerja
Struktur Ketenagakerjaan
Pendahuluan
6
Dengan demikian, tantangan utama pembangunan Jawa Timur dalam pengelolaan keuangan daerah
adalah memposisikan APBD provinsi Jawa Timur sebagai instrumen untuk mempercepat terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah
memadai, yang pada akhirnya mengurangi secara signifikan angka kemiskinan. Mengingat besarnya
potensi ekonomi dan masih cukup tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur, maka target pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur seharusnya berada jauh di atas target pertumbuhan nasional, yaitu rata-rata di
atas 7 persen pertahun. Target tersebut perlu ditopang dengan manajemen pengelolaan keuangan
daerah yang baik. Tata kelola APBD yang baik dapat menjadi stimulus pembangunan dengan bertumpu
pada tiga komponen utama, yaitu: (i) percepatan perbaikan kualitas sumber daya manusia, termasuk
pengarusutamaan gender, (ii) percepatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan
mobilitas dan aktivitas ekonomi antar daerah, dan (iii) terjadinya percepatan transformasi struktural
melalui industrialisasi yang berbasis pada pertanian dan/atau sumber daya alam lainnya.
Pendapatan Daerah
7
PENDAPATAN DAERAH
Jawa Timur membutuhkan sumber daya keuangan yang cukup untuk dapat mengatasi beberapa
tantangan penting agar dapat meningkatkan pembangunan ekonomi seperti yang diuraikan diatas.
Bagian ini akan membahas tentang perkembangan sumber daya fiskal yang dimiliki pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota. Hal utama yang akan dilihat adalah pendapatan daerah di Jawa Timur, sumber –
sumber pendapatan yang berkontribusi cukup signifikan, serta ruang fiskal pemerintah untuk dapat
mengalokasikan dana tersebut bagi peningkatan kualitas infrastruktur, pendidikan dan pertanian.
Selama lima tahun terakhir, pendapatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa
Timur secara riil meningkat stabil dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 6 persen dari Rp. 33,3
trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 42,2 trilyun pada tahun 2010. Pendapatan daerah pemerintah
provinsi meningkat dari Rp. 6,3 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 8,2 trilyun pada tahun 2010. Dari
pendapatan daerah terserbut, secara riil komponen DAK meningkat cukup tinggi sekitar 14 persen per
tahunnya, dari Rp. 1,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 1,7 trilyun pada tahun 2010. Komponen PAD
mengalami pertumbuhan yang stabil dengan rata-rata 7 persen per tahunnya dari Rp. 7,1 trilyun pada
tahun 2006 menjadi Rp. 9,4 trilyun pada tahun 2010. Komponen Dana Bagi Hasil juga meningkat sebesar
10 persen dari Rp. 3,1 trilyun pada 2006 menjadi Rp. 4,5 trilyun pada 2010. Komponen pendapatan
daerah lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu kurang lebih 42 persen secara rata-rata per
tahun dari Rp. 1,7 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 6,4 trilyun pada tahun 2010. Dana DAU
mengalami penurunan secara riil semenjak tahun 2009 dari Rp. 21,2 trilyun tahun 2008 menjadi Rp. 20,8
trilyun pada tahun 2009 dan Rp. 19,9 trilyun pada tahun 2010. Ini disebabkan karena penurunan DAU
Gambar 8a. Pendapatan daerah Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota Jawa Timur, 2006-2010
Gambar 8b. Komponen pendapatan daerah
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Timur,
2006 – 2010
Sumber: APBD Jawa TImur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah.
6,1798,262
27,101
33,949
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
2006 2007 2008 2009 2010
Provinsi Kabupaten/Kota
20,105 21,203 21,279 20,882 19,920
7,1007,571 8,424 9,065 9,474
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
2006 2007 2008 2009 2010
DAU DAK Bagi Hasil PAD Pendapatan Daerah Lainnya
Pendapatan Daerah
8
untuk kabupaten/kota khususnya pada tahun 2010 dimana hampir seluruh kabupaten/kota mengalami
penurunan DAU kecuali Kota Batu. Penurunan DAU di kabupaten/kota disebabkan karena variabel PAD
yang turut diperhitungkan dalam formula perhitungan DAU mengalami peningkatan pada tahun
tersebut.1
Sebagian besar pendapatan daerah provinsi dan kabupaten/kota Jawa Timur berasal dari dana DAU,
namun kecenderungan dalam lima tahun terakhir menunjukkan semakin besarnya kontribusi
pendapatan asli daerah. Porsi DAU dalam pendapatan daerah provinsi dan kabupaten kota di Jawa
Timur turun dari 60 persen pada tahun 2006 menjadi 47 persen pada 2010. Besar kontribusi DAU ini
berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi, secara rata-rata selama 2006-2010,
lebih dari 70 persen pendapatan provinsi bersumber dari Pendapatan Asli Daerah yaitu sebesar Rp. 4,4
trilyun tahun 2006 dan Rp. 5,9 trilyun tahun 2010. Porsi pendapatan bagi hasil mengalami peningkatan
dari 11 persen menjadi 12 persen pada periode yang sama. Porsi DAU pada pemerintah provinsi
mengalami penurunan walaupun secara nominal mengalami peningkatan. Porsi ini turun dari 16,1
persen tahun 2006 (Rp. 993 milyar) menjadi 14 persen tahun 2010 (Rp. 1,1 trilyun). Sementara itu,
jumlah DAU pemerintah kabupaten/kota secara keseluruhan mengalami penurunan walaupun masih
merupakan komponen terbesar pendapatan daerah pemerintah kabupaten/kota. Porsi DAU menurun
dari 70 persen pada tahun 2006 (Rp. 19,1 trilyun) menjadi 55 persen pada tahun 2010 (Rp. 18,7 trilyun).
Porsi PAD meningkat dari 9 persen pada tahun 2006 menjadi 10 persen pada tahun 2010. Porsi DAK
meningkat dari 4 persen pada tahun 2006 menjadi 5 persen pada tahun 2010. Porsi Dana Bagi Hasil
mengalami peningkatan dari 9 persen menjadi 10 persen pada periode yang sama. Porsi pendapatan
daerah lainnya mengalami peningkatan paling tinggi dari 6 persen (2006) menjadi 18 persen (2010).
Gambar 9a. Porsi pendapatan daerah Pemerintah
Provinsi Jawa Timur, 2006-2010
Gambar 9b. Porsi pendapatan daerah Pemerintah
Kabupaten/kota Jawa Timur, 2006-2010
Sumber: APBD Jawa TImur, 2006-2010.
1 suarasurabaya.net, 14 Agustus 2010, diakses melalui http://kelanakota.suarasurabaya.net/?id=06beeec285d6dfbb145ed8414ac61408201080861 pada 13 Oktober 2011.
16.1 15.8 14.5 14.3 13.7
10.9 13.5 11.0 12.2 12.9
72.6 70.1 73.7 72.9 72.2
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009 2010
DAU DAK Bagi Hasil PAD Pendapatan Daerah Lainnya
70.5 69.0 67.3 61.5 55.3
9.3 9.9 9.910.2
10.4
9.7 9.7 10.110.4
10.3
6.4 6.3 6.8 11.318.9
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009 2010
DAU DAK Bagi Hasil PAD Pendapatan Daerah Lainnya
Pendapatan Daerah
9
Terdapat perbedaan yang besar dalam jumlah pendapatan daerah perkapita yang dimiliki oleh
kabupaten/kota di Jawa Timur. Kelompok dengan pendapatan daerah cukup tinggi terdapat pada
daerah perkotaan mencakup Kota Mojokerto, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Madiun, Kota Pasuruan, Kota
Probolinggo, dan Kota Batu dengan pendapatan fiskal perkapita sekitar Rp. 2-3 juta. Sebagian besar
kabupaten/kota lain di Jawa Timur, termasuk Kota Surabaya dan Kota Malang, memiliki pendapatan
fiskal perkapita rendah sekitar Rp. 500 ribu – 1 juta. Kawasan Gerbangkertasusila berada di kelompok
daerah dengan pendapatan perkapita daerah yang rendah walaupun mempunyai kebutuhan sumber
daya keuangan yang cukup tinggi karena cukup tingginya populasi di kawasan tersebut.
Gambar 10. Pendapatan perkapita daerah kabupaten/kota Jawa Timur tahun 2009
Sumber: APBD Jawa Timur, 2009.
Pendapatan Asli Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota Jawa Timur sebagian besar berasal dari pajak
daerah. Pada pemerintah provinsi, selama 2006-2010, secara rata-rata lebih dari 80 persen PAD provinsi
berasal dari pajak daerah. Komponen kedua terbesar dalam PAD provinsi disumbangkan oleh
pendapatan daerah lainnya yang sebagian besarnya terdiri dari keuntungan perusahaan besar. Secara
rata-rata kontribusi PAD lainnya pada PAD provinsi mencapai 6 persen selama periode 2006-2010.
Sumber PAD provinsi lainnya adalah retribusi daerah (4 persen) serta hasil kekayaan daerah yang
dipisahkan (3 persen). Di tingkat kabupaten/kota, sumber PAD mayoritas berasal dari pajak daerah dan
retribusi daerah. Porsi kedua komponen PAD ini hampir sama yaitu rata-rata 36 persen untuk pajak
daerah dan 35 persen untuk retribusi daerah selama 2006-2010.
Di masa yang akan datang Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki peluang untuk semakin
meningkatkan pendapatan pajak daerahnya dengan optimalisasi pengelolaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), namun hal tersebut memerlukan kebijakan pengelolaan yang baik. Salah satu contoh
praktik yang baik dalam inisiatif untuk mengelola PBB adalah seperti yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kota Surabaya. Setelah diberlakukannya undang-undang yang melimpahkan kewenangan pengelolaan
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
Ko
ta M
ojo
kert
o
Ko
ta B
litar
Ko
ta K
edir
i
Ko
ta M
adiu
n
Ko
ta P
asu
ruan
Ko
ta P
rob
olin
ggo
Ko
ta B
atu
Kab
. Mag
etan
Kab
. Mad
iun
Kab
. Pac
itan
Kab
. Tre
ngg
alek
Ko
ta S
ura
bay
a
Kab
. Tu
lun
gagu
ng
Kab
. Sit
ub
on
do
Ko
ta M
alan
g
Kab
. Bo
nd
ow
oso
Kab
. Nga
wi
Kab
. Po
no
rogo
Kab
. Nga
nju
k
Kab
. Blit
ar
Kab
. Pam
ekas
an
Kab
. Su
men
ep
Kab
. Gre
sik
Kab
. Lam
on
gan
Kab
. Tu
ban
Kab
. Sid
oar
jo
Kab
. Mo
joke
rto
Kab
. Lu
maj
ang
Kab
. Ban
yuw
angi
Kab
. Pro
bo
lingg
o
Kab
. Ban
gkal
an
Kab
. Sam
pan
g
Kab
. Bo
jon
ego
ro
Kab
. Ked
iri
Kab
. Pas
uru
an
Kab
. Jo
mb
ang
Kab
. Mal
ang
Kab
. Jem
ber
DAU DAK Revenue Sharing Own-Source Revenue Others
Pendapatan Daerah
10
PBB-nya ke kabupaten/kota.2 Pemerintah segera melakukan beberapa inisiatif untuk mengelola PBB-
nya. Kota Surabaya membangun sistem SISMIOP (Sistem Informasi dan Manajemen Objek Pajak dan
Prosedur Operasional Standar (SOP)). Kebijakan ini menujukkan kemajuan yang positif walaupun masih
banyak memerlukan perbaikan khususnya dalam hal kapasitas kelembagaan dan kriteria hukum.
Namun, proses implementasi kebijakan ini cukup mengalami hambatan seperti misalnya persetujuan
dari Kementerian Keuangan yang memakan waktu dan kurangnya staf terampil untuk menjalankan
sistem pajak yang baru ini. Beberapa usulan seperti kriteria pajak yang jelas serta pelatihan kepada para
pegawai pajak untuk mengoperasikan sistem SISMIOP dapat membantu implementasi kebijakan ini
berjalan secara optimal.
Gambar 11a. Komponen PAD Pemerintah Provinsi Jawa
Timur, 2006-2010
Gambar 11b. Komponen PAD Pemerintah
Kabupaten/Kota Jawa Timur, 2006-2010
Sumber: APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah.
Sumber: APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah.
Hampir seluruh pendapatan bagi hasil pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Jawa Timur berasal
dari bagi hasil pajak. Porsi bagi hasil pajak ini secara rata-rata mencapai 98 persen dari seluruh
pendapatan bagi hasil selama 2006-2010, meningkat dari Rp. 3,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp.
4,5 trilyun pada tahun 2010. Porsi bagi hasil sumber daya alam di Jawa Timur sangat minim, secara rata-
rata sebesar 2 persen dari total Bagi Hasil SDA Jawa Timur. Pada tahun 2008 dana bagi hasil ini
meningkat cukup tinggi dari Rp. 75 milyar menjadi Rp. 383 milyar yang sebagian besar berasal dari dana
bagi hasil SDA untuk minyak di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Brojonegoro (LKPP, 2008).
Porsi DAK, sebagai sumber daya keuangan lain untuk pembangunan infrastruktur dan pertanian,
sekitar 4 persen dari total pendapatan Jawa Timur. Walaupun DAK tumbuh dengan rata-rata 15 persen
per tahun, dari Rp. 1 trilyun menjadi Rp. 1,7 trilyun, namun nilai ini mungkin kurang memadai untuk
2 Indonesia Sub-National Public Expenditure Review, Policy Note 6: Financing Infrastructure Projects, The World Bank, July 2011.
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
2006 2007 2008 2009 2010
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
2006 2007 2008 2009 2010
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Pendapatan Daerah
11
dana pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Secara rata-rata setiap kabupaten/kota di Jawa Timur
menerima DAK sebesar Rp. 44 milyar (jika menggunakan data 2010). Sebagian besar atau sekitar 51
persen dana DAK dialokasikan untuk pendidikan. Porsi DAK untuk sektor infrastruktur di Jawa Timur
hanya sebesar 20 persen dan hanya 5 persen untuk sektor pertanian, atau jika dihitung dari rata-rata per
kabupaten/kota sebesar maka nilainya Rp. 9 milyar untuk infrastruktur dan Rp. 2,1 milyar untuk sektor
pertanian.
Pemerintah provinsi mempunyai ruang fiskal3 sebesar 40 persen dari pendapatan daerahnya (atau
sebesar Rp. 3 trilyun) sementara pemerintah kabupaten/kota mempunyai ruang fiskal sebesar 31
persen dari pendapatan daerahnya (atau sebesar Rp. 10,1 trilyun) pada tahun 2009. Ruang fiskal ini
sedikit lebih kecil dari ruang fiskal nasional sebesar 42 persen dari pendapatan. Dari seluruh
kabupaten/kota di Jawa Timur, Kota Mojokerto mempunyai ruang fiskal terbesar yaitu 50 persen dari
total pendapatan daerah Kota Mojokerto tahun 2009. Sebaliknya Kabupaten Ngawi mempunyai ruang
fiskal terkecil yaitu sebesar 19 persen dari pendapatan daerah Kabupaten Ngawi tahun 2009. Selama
lima tahun terakhir, ruang fiskal pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota mengalami penurunan.
Ruang fiskal pemerintah provinsi mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2008 dan 2010
yang berasal dari peningkatan belanja bagi hasil ke daerah bawahan yang cukup besar. Ruang fiskal
pemerintah kabupaten/kota semakin kecil, dari Rp. 11,7 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 7,6 trilyun
3 Ruang fiskal (fiscal space) menunjukkan proporsi dari anggaran pemerintah yang dapat digunakan untuk keperluan pembangunan setelah dikurangi dengan anggaran untuk keperluan yang wajib dipenuhi dan pendapatan yang sudah diatur peruntukkannya (earmarked). Dalam hal ini ruang fiskal di definisikan sebagai Total Pendapatan Pemerintah dikurangi dengan belanja gaji, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja bunga, dan pendapatan dana alokasi khusus.
Gambar 12a. Ruang fiskal Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota Jawa Timur, 2006-2010
Gambar 12b. Ruang fiskal kabupaten/kota tahun
2009
Sumber: APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah.
Sumber: APBD Jawa TImur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar adalah persen terhadap total pendapatan daerah kabupaten/kota.
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
2006 2007 2008 2009 2010
Provinsi Kabupaten/kota
Kota Mojokerto, 50.58
Kab. Ngawi, 19.13
- 20.00 40.00 60.00
Kota Mojokerto
Kota Blitar
Kab. Gresik
Kab. Bojonegoro
Kab. Pamekasan
Kab. Tuban
Kab. Madiun
Kab. Bondowoso
Kab. Kediri
Kab. Mojokerto
Kab. Ponorogo
Kab. Magetan
Kab. Lamongan
Pendapatan Daerah
12
pada tahun 2010. Penurunan ini terjadi paling besar pada tahun 2010, karena semakin meningkatnya
belanja pegawai.
Setelah menganalisis pendapatan daerah Jawa Timur, dapat dilihat bahwa sumber daya finansial Jawa
Timur mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Walaupun ruang fiskal memperlihatkan penurunan karena komponen belanja bagi hasil dan bantuan
keuangan ke daerah bawahan yang mengalami peningkatan, namun ruang fiskal ini dapat ditingkatkan
melalui peningkatan sumber pendapatan khususnya melalui PAD (Pajak Daerah). Selain itu pengelolaan
PBB yang akan diserahkan ke daerah dapat menjadi sumber potensial bagi pendapatan daerah di waktu
yang akan datang. Daerah-daerah yang memiliki ruang fiskal yang luas menunjukkan bahwa daerah
tersebut memiliki potensi besar untuk menggunakan anggarannya untuk menggerakkan pembangunan
jika alokasi belanjanya dikelola secara efektif. Selain melalui peningkatan PAD, pemerintah Jawa Timur
juga dapat meningkatkan sumber daya finansialnya melalui skema-skema pembiayaan alternatif seperti
kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnership). Kondisi fiskal yang relatif juga
memungkinkan beberapa pemerintah daerah untuk mengakses pembiayaan pinjaman baik dalam negeri
(seperti municipal bond, dan pinjaman ke pemerintah pusat) maupun luar negeri.
Belanja Daerah
13
BELANJA DAERAH
Gambaran Umum
Pengalokasian sumber daya keuangan ikut menentukan arah pembangunan ekonomi di Jawa Timur.
Bagian sebelumnya telah membahas mengenai ketersediaan sumber daya keuangan yang ada di jawa
timur, sementara bagian ini akan melihat bagaimana sumber daya ini dialokasikan. Pertama- tama dapat
dilihat gambaran belanja daerah serta trendnya secara umum, yang diikuti dengan komposisi belanja
tersebut baik berdasarkan klasifikasi ekonominya maupun berdasarkan sektoral secara umum.
Pembahasan belanja sektoral pada isu-isu utama seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan
pertanian akan dielaborasi secara lebih dalam di bagian selanjutnya.
Secara keseluruhan, belanja publik di Jawa Timur, mencakup Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
mengalami peningkatan. Pertumbuhan belanja tersebut cukup stabil secara rill selama 11 persen dari
Rp. 34 trilyun tahun 2006 menjadi Rp. 50,2 trilyun tahun 2010. Belanja publik di Jawa Timur 74 persen
dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, sementara belanja pemerintah pusat dan pemerintah
provinsi masing-masing hanya mengelola 8 persen dan 18 persen.
Seluruh komponen belanja daerah Jawa Timur berdasarkan klasifikasi ekonomi mengalami
peningkatan. Belanja Pegawai meningkat secara riil dari Rp. 13,2 trilyun tahun 2006 menjadi Rp. 23,2
trilyun pada tahun 2010. Belanja pegawai provinsi meningkat secara riil dengan rata-rata 12 persen per
tahun dan belanja pegawai kabupaten/kota meningkat secara riil sebesar 15 persen pada periode yang
sama. Belanja modal mengalami peningkatan secara rata-rata sebesar 11 persen per tahun selama
2006-2010 sedangkan belanja barang dan jasa tumbuh paling rendah sebesar 2 persen pada periode
yang sama. Belanja lain-lain secara riil tumbuh paling tinggi dari Rp. 4,6 trilyun menjadi Rp. 8,8 trilyun.
Gambar 13. Belanja daerah Jawa Timur oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota dan Pusat, 2006-10
Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah.
6,203
9,824
24,672
32,990
37,857
3,1631,447
6,0483,181
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
2006 2007 2008 2009 2010
Provinsi Kabupaten/kota Dekon dan TP
Belanja Daerah
14
Sebagian besar peningkatan belanja lain-lain ini berasal dari belanja bagi hasil serta bantuan keuangan
kepada daerah bawahan.
Belanja Daerah Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi
Porsi Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan jasa pemerintah provinsi hampir sama pada tahun 2009
masing-masing sebesar Rp. 1,5 trilyun dan Rp. 1,9 trilyun. Porsi belanja pegawai pada belanja
pemerintah provinsi stabil sebesar 20 persen selama periode 2006-2010. Porsi belanja barang dan jasa
pemerintah provinsi sempat mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2007 dan setelah itu
stabil kurang lebih 25 persen total belanja provinsi. Belanja barang dan jasa provinsi naik dari Rp. 2
trilyun menjadi Rp. 2,5 trilyun. Sebagian besar belanja pemerintah provinsi Jawa Timur dialokasikan
untuk belanja lain-lain, yaitu sebesar 45 persen pada tahun 2010. Belanja lain-lain ini meningkat cukup
signifikan dari Rp. 2,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 4,4 trilyun pada tahun 2010. Hampir seluruh
belanja lain-lain pemerintah provinsi ini dialokasikan untuk belanja bagi hasil dan bantuan keuangan ke
daerah bawahan (kabupaten/kota) untuk sektor-sektor pelayanan publik seperti sosial, pendidikan,
kesehatan dan lain-lain.
Sebagian besar belanja pemerintah kabupaten/kota dialokasikan untuk belanja pegawai. Porsi belanja
pegawai pemerintah kabupaten/kota ini juga mengalami peningkatan dari 48 persen pada tahun 2006
Gambar 14a. Porsi belanja Pemerintah Provinsi Jawa
Timur berdasarkan klasifikasi ekonomi, 2006-2010
Gambar 14b. Porsi belanja Pemerintah
Kabupaten/Kota Jawa Timur berdasarkan klasifikasi
ekonomi, 2006-2010
Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar merupakan persen terhadap total belanja provinsi.
Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar merupakan persen terhadap total belanja kabupaten/kota.
0
10
20
30
40
50
60
2006 2007 2008 2009 2010
Pegawai Barang dan Jasa
Modal Lainnya
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
2006 2007 2008 2009 2010
Pegawai Barang dan Jasa
Modal Lainnya
Belanja Daerah
15
menjadi 56 persen pada tahun 2010. Secara absolut, belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota juga
meningkat hampir dua kali lipat dari Rp. 12 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 21,3 trilyun pada tahun
2010. Seiring dengan peningkatan porsi belanja pegawai, porsi belanja barang dan jasa pemerintah
kabupaten/kota mengalami penurunan dari 23 persen pada tahun 2006 menjadi 14 persen pada tahun
2010 walaupun secara absolut penurunan belanja ini tidak terlalu besar dari Rp. 5,7 trilyun menjadi Rp.
5,5 trilyun. Porsi belanja modal pada tahun 2010 kurang dari seperlima total belanja pemerintah
kabupaten/kota. Porsi ini turun dari tahun sebelumnya, sebesar 22 persen (Rp. 7,3 trilyun) menjadi 14
persen (Rp. 6,5 trilyun)
Belanja Daerah Berdasarkan Sektor
Belanja administrasi umum merupakan belanja terbesar pemerintah provinsi. Belanja ini naik dari Rp.
7,7 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 10,9 trilyun pada tahun 2010. Namun, sebagian besar belanja
ini berasal dari belanja bagi hasil dan bantuan keuangan ke daerah bawahan serta belanja hibah/subsidi
pada urusan pemerintahan umum, yang mencapai lebih dari 50 persen dari total belanja administrasi
umum ini. Belanja terbesar kedua pemerintah provinsi Jawa Timur merupakan belanja kesehatan yang
meningkat dari 11 persen (Rp. 2 trilyun) pada tahun 2006 menjadi 14 persen (Rp. 3,8 trilyun) pada
tahun 2010. Belanja infrastruktur merupakan belanja terbesar ketiga yaitu sebesar 10 persen pada
tahun 2010.
Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan belanja daerahnya sebagian besar untuk sektor
pendidikan. Porsi belanja ini mengalami peningkatan dari 33 persen (Rp. 8,6 trilyun) pada tahun 2006
menjadi 41 persen (Rp. 15,7 trilyun) pada tahun 2010. Namun, perlu dianalisis lebih lanjut mengenai
Gambar 15a. Porsi belanja Pemerintah Provinsi
berdasarkan sektor, 2006-2010
Gambar 15b. Porsi belanja Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan sektor, 2006-2010
Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, 2006-2010. Catatan: Angka dalam gambar merupakan persen terhadap total belanja.
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
2006 2007 2008 2009 2010
Admin Umum Infrastruktur Pendidikan
Kesehatan Pertanian Lainnya
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
2006 2007 2008 2009 2010
Admin Umum Infrastruktur Pendidikan
Kesehatan Pertanian Lainnya
Belanja Daerah
16
alokasi belanja pendidikan ini agar dapat memperbaiki kualitas pelayanan pendidikan di Jawa Timur.
Porsi belanja infrastruktur tidak terlalu besar dan mengalami penurunan signifikan dari 16 persen (Rp.
3,8 trilyun) pada tahun 2006 menjadi 11 persen (Rp. 4,9 trilyun). Porsi belanja pertanian juga merupakan
porsi belanja terkecil diantara sektor-sektor pelayanan publik lainnya, yaitu sekitar 2 persen dari total
belanja pemerintah kabupaten/kota.
Serupa dengan pendapatan daerah, belanja daerah perkapita Jawa Timur cukup timpang diantara
kabupaten/kotanya. Kota-kota di Jawa Timur seperti Kota Mojokerto, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota
Pasuruan, Kota Madiun, Kota Batu, serta Kota Probolinggo berada di kelompok belanja daerah perkapita
yang relatif tinggi, berkisar antara Rp. 1,8 juta – Rp. 3,5 juta. Sedangkan kelompok kabupaten, Kota
Surabaya serta Kota Malang berada di kelompok belanja daerah perkapita yang relatif rendah, yaitu
antara Rp. 570 ribu – Rp. 1,2 juta.
Gambar 16. Belanja perkapita daerah kabupaten/kota Jawa Timur tahun 2009 (Rp)
Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur 2009.
Mealui analisis belanja daerah di Jawa Timur, terlihat bahwa terdapat tidak terjadi perubahan yang
cukup signifikan pada komposisi belanja sektoral Jawa Timur. Pemerintah provinsi mengalokasikan
sebagian besar dananya melalui belanja bagi hasil dan bantuan keuangan bagi daerah bawahan untuk
sektor-sektor sosial, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Di tingkat kabupaten/kota, belanja terbesar
dialokasikan kepada belanja pegawainya. Belanja pendidikan merupakan sektor utama alokasi belanja
pemerintah kabupaten/kota. Namun, perlu diteliti lebih lanjut alokasi belanja pendidikan yang cukup
besar dan meningkat di kabupaten/kota. Alokasi belanja daerah untuk sektor infrastruktur masih minim,
khususnya di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota perlu mengkaji lebih lanjut alokasi
belanja sektoral, khususnya untuk sektor infrastruktur, sebagai salah satu sektor yang menjadi isu utama
di Jawa Timur.
Analisa Sektoral
17
ANALISA SEKTORAL
Sektor Infrastruktur
Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di Jawa Timur membutuhkan tersedianya
infrastruktur.4 Ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan adalah yang dapat menunjang kegiatan
perekonomian yang menjadi tulang punggung provinsi, khususnya pertanian dan industri. Setiap
tingkatan daerah memiliki peranannya masing-masing dalam pemenuhan kebutuhan infrastruktur.
Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk memenuhi kebutuhan sarana jalan kabupaten,
yang dapat memberikan akses ke wilayah-wilayah yang merupakan pusat pelayanan publik dan sentra
kegiatan ekonomi/produksi. Pemerintah Provinsi bertugas untuk memenuhi kebutuhan akan jalan
provinsi yang pada dasarnya bertujuan untuk menghubungkan kabupaten/kota antara satu dan lainnya
sehingga sentra-sentra tersebut dapat terhubung dan memenuhi skala ekonomisnya. Pemerintah Pusat
berperan dalam menghubungkan daerah-daerah tersebut dengan provinsi lainnya.
Salah satu kendala utama bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan adalah
ketersediaan infrastruktur yang mempengaruhi iklim investasi. Dengan alasan tersebut, Pemerintah
Provinsi Jawa Timur memprioritaskan ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan.
Kebijakan infrastruktur mengarah pada (i) infrastruktur sosial yang berkaitan dengan sumber daya air;
(ii) percepatan infrastruktur penunjang pertanian dan wilayah pedesaan; (iii) infrastruktur yang
menunjang pemerataan pembangunan; dan (iv) kerja sama dengan pihak swasta untuk pembangunan
infrastruktur publik dan komersil.
Sejauh ini, kinerja pemerintah daerah di Jawa Timur dalam pemenuhan kebutuhan infrastruktur
dasar dapat mengimbangi daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai provinsi yang memiliki beban
pembangunan yang besar, dalam arti populasi yang tinggi dan cakupan daerah administratif yang
banyak, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki peran penting dalam upaya
pemenuhan kebutuhan tersebut. Secara umum, pemerintah daerah di Jawa Timur dapat mengimbangi
daerah lain. Secara umum pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar cukup memadai. Upaya
pemenuhan akses terhadap sanitasi dapat mengimbangi daerah lain secara rata-rata. Dalam upaya
pemenuhan akses terhadap air bersih, Provinsi Jawa Timur berada sedikit di bawah rata-rata nasional.
Untuk pemenuhan akses terhadap listrik, Jawa Timur bersama dengan provinsi-provinsi lain di Pulau
Jawa telah melampaui rata-rata nasional.
4 Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah sarana dan prasarana yang terkait Dinas Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan infrastruktur dasar yang terkait dengan pemukiman.
Analisa Sektoral
18
Kebutuhan akan sarana dan prasarana infrastruktur di Jawa Timur sangat besar. Sebagai Provinsi
dengan kegiatan ekonomi terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta, jumlah penduduk terbesar,
sebagai provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak, infrastruktur di Jawa Timur cukup tersedia.
Dalam hal ketersediaan jalan, data menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah salah satu provinsi yang
memiliki jalan kabupaten/kota terpanjang di Indonesia. Pada tahun 1998, Jawa Timur memiliki jalan
kabupaten/kota terpanjang di Indonesia dengan hampir 22 ribu km. Dalam satu dasarwarsa, jumlah
jalan tersebut meningkat 12 persen menjadi 24.600 km dan menghubungkan 38 kabupaten/kota yang
ada di Jawa Timur.
Gambar 18. Provinsi Jawa Timur memiliki jalan kabupaten/kota terpanjang di Indonesia
Sumber: Data Kementrian Pekerjaan Umum (2009).
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
Sum
ater
a U
tara
Jaw
a Ti
mu
r
Jaw
a Te
nga
h
Sula
wes
i Sel
atan
Jaw
a B
arat
Sum
ater
a B
arat
Nu
sa T
engg
ara …
Nan
ggro
e …
Pro
p. …
Ria
u
Lam
pu
ng
Pro
p. P
apu
a
Rat
a-ra
ta …
Sula
wes
i Ten
gah
Kal
iman
tan
…
Kal
iman
tan
…
Kal
iman
tan
…
Jam
bi
Kal
iman
tan
…
Bal
i
Sula
wes
i Uta
ra
Nu
sa T
engg
ara …
Sula
wes
i …
Mal
uku
Ben
gku
lu
Pap
ua
Bar
at
Ban
ten
D I
Yogy
akar
ta
Go
ron
talo
Mal
uku
Uta
ra
Kep
ula
uan
Ria
u
Kep
ula
uan
…
Sula
wes
i Bar
at
%
Pan
jan
g ja
lan
(km
)
1999 2008 %
Gambar 17. Penyediaan infrastruktur dasar dapat mengimbangi rata-rata nasional
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
0102030405060708090
100
2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
Akses thd sanitasi Akses thd air bersih Akses terhadap listrik
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Banten Nasional
Analisa Sektoral
19
Tantangan utama yang dihadapi oleh Provinsi Jawa Timur adalah bagaimana mempertahankan
infrastruktur yang ada untuk menjamin keterhubungan domestik (domestic interconnectivity). Sebagai
sebuah provinsi yang memiliki 38 kabupaten/kota dan populasi tertinggi, keterhubungan antar daerah adalah
aspek penting dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Bagi
pertumbuhan ekonomi, sangatlah penting untuk dapat menghubungkan wilayah-wilayah yang menjadi
sentra pertumbuhan dengan wilayah pendukungnya (hinterland), tempat dimana input untuk produksi
tersedia. Dilain pihak, pusat-pusat pertumbuhan dibutuhkan untuk dapat menggairahkan dan mendukung
kegiatan ekonomi di wilayah sekitarnya. Bagi pemerataan pembangunan, arus barang, jasa dan orang yang
lancar dari daerah pendukung ke pusat pertumbuhan akan mengurangi kesenjangan dengan memberikan
akses kepada penduduk di daerah pendukung untuk memanfaatkan peluang di sentra-sentra pertumbuhan.
Sebagian besar wilayah pedesaan di Jawa Timur telah terhubung dengan jalan, namun kualitasnya masih
perlu ditingkatkan. Secara umum desa-desa di Jawa Timur telah terhubung dengan jalan permanen. Namun
ada beberapa daerah yang tertinggal dibandingkan dengan yang lain. Daerah yang masih memiliki desa-desa
yang tidak terhubung dengan jalan adalah Bondowoso dan Sumenep. Bondowoso disebabkan oleh wilayah
geografisnya yang berada di daerah pegunungan sedangkan Sumenep karena sebagian daerahnya
merupakan wilayah kepulauan.
Gambar 19. Secara umum, sebagian besar desa telah memiliki akses ke jalan, namun sebagian besar
mengalami kerusakan setidak-tidaknya sebesar 20 persen
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS dan Kementerian Pekerjaan Umum.
Mempertahankan kualitas infrastruktur jalan adalah tantangan yang dihadapi oleh sebagian besar
kabupaten/kota. Ketersediaan akses jalan bukan berarti bahwa permasalahan infrastruktur yang dihadapi
oleh kabupaten/kota telah selesai. Jalan yang tersedia tersebut harus dapat dipelihara dan dipertahankan
kualitas sehingga dapat digunakan. Ini berarti bahwa kabupaten/kota harus dapat menyediakan anggaran
yang memadai untuk dapat menjaga kualitas jalan tersebut. Di Jawa Timur terlihat bahwa kabupaten/kota
mengalami kesulitan untuk menjaga kualitas jalannya. Secara rata-rata, hampir 20 persen dari seluruh jalan
kabupaten/kota berada dalam kondisi rusak atau rusak berat. Diperlukan komitmen lebih untuk menjaga
kualitas infrastruktur yang ada pada tingkat kabupaten/kota.
Analisa Sektoral
20
Belanja pemerintah pusat di Jawa Timur menyebabkan belanja infrastrukturnya berfluktuasi. Secara riil,
belanja pemerintah daerah untuk infrastruktur cenderung konstan walaupun ada variasi disetiap tahunnya.
Hal ini cukup berbeda dengan yang dialami oleh daerah-daerah lain, khususnya di Indonesia bagian Timur
yang mengalami peningkatan belanja infrastruktur yang cukup signifikan. Hal ini antara lain disebabkan
Provinsi Jawa Timur tidak banyak membangun infrastruktur baru untuk pemekaran wilayah, seperti di
daerah-daerah tersebut. Secara keseluruhan, belanja infrastruktur yang berasal dari belanja pusat dan
daerah konsisten berada di atas 10 persen, kecuali di tahun 2010 yang menggunakan angka APBN dan APBD
Perubahan. Namun, apabila dilihat besarannya secara riil, terlihat bahwa belanja pemerintah pusat
cenderung meningkat hingga tahun 2009 hingga mencapai Rp 1,6 trilyun, namun ditahun berikutnya turun
menjadi Rp 373 milyar.
Gambar 20. Belanja Pemerintah Daerah untuk infrastruktur cenderung stabil namun mengalami penurunan
proporsi dalam 5 tahun terakhir
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Ada variasi yang cukup besar dalam belanja infrastruktur pada tingkat kabupaten/kota. Data menunjukkan
bahwa kota cenderung memiliki angka belanja infrastruktur per kapita yang lebih tinggi dari pada kabupaten.
Dengan jumlah populasi yang lebih tinggi, ini berarti bahwa ada perbedaan yang cukup besar dalam ukuran
anggaran untuk infrastruktur di daerah urban daripada daerah rural. Belanja per kapita tertinggi (Rp 435 ribu)
bisa mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan belanja perkapita terendah (Rp 42 ribu). Belanja infrastruktur
terendah dialami oleh Kabupaten Lumajang dan Lamongan.
Sebagian besar belanja pemerintah daerah untuk infrastruktur di Provinsi Jawa Timur digunakan untuk
belanja modal. Tren belanja pemerintah daerah dari 2005 hingga 2010 menunjukkan bahwa secara konsisten
belanja modal merupakan komponen terbesar dari tahun ke tahun. Pada realisasi 2009 bisa terlihat bahwa
pemerintah provinsi membelanjakan hampir separuh untuk belanja modal dan Pemerintah Kabupaten/Kota
membelanjakan hampir 75 persen untuk belanja modal.
14% 15%
12%13%
10%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
2006 2007 2008 2009 2010*
Rp
mily
ar
Provinsi
Kabupaten/Kota
Dekon/TP/KL
% Belanja infrastruktur Pemda
Analisa Sektoral
21
Gambar 21. Komposisi belanja infrastruktur pemerintah daerah
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Besarnya belanja modal untuk infrastruktur pada tingkat kabupaten/kota menyebabkan alokasi belanja
untuk pemeliharaan menjadi terbatas. Ini adalah salah satu penyebab utama mengapa kualitas jalan
kabupaten/kota kurang terpelihara secara optimal. Ini menjadi hal yang mendesak, mengingat bahwa pada
tingkat kabupaten/kota, hanya 13 persen belanja yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa, dimana
didalamnya terdapat belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja operasional dan
pemeliharaan. Memang pemeliharaan juga tercakup dalam belanja dekonsentrasi dari pemerintah pusat,
namun melihat belanja dekonsentrasi yang sangat fluktuatif, sulit bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
bergantung pada belanja dekonsentrasi untuk pemeliharaan sarana dan prasarana infrastruktur yang telah
terbangun.
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
2006 2007 2008 2009 2010*pegawai Pegawai langsungPegawai tidak langsung barang dan jasamodal lain-lain
3%19%
30%
48%
2%11%
13%
74%
Belanja infrastruktur (2009) provinsi (dalam) kabupaten/kota (luar)
Pegawai langsung
Pegawai tidak langsung
barang dan jasa
modal
Gambar 22. Belanja program infrastruktur Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data APBD.
49% 46%
76%
56%
0%
50%
100%
0
200
400
600
2007 2008 2009 2010*Rp
mily
ar
Pembangunan jalan dan jembatan
Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan
Perhubungan
-
50
100
150
200
250
Pembangunan jalan dan jembatan
Rehabilitasi dan
pemeliharaan jalan dan jembatan
Perhubungan Irigasi, rawa, dan jaringan
pengairan
Pegawai Barang dan jasa Modal
Analisa Sektoral
22
Pada tingkat provinsi, belanja infrastruktur difokuskan pada empat program utama, yaitu pembangunan
jalan dan jembatan, rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan, perhubungan, dan irigasi serta sistem
pengairan. Keempat program ini merupakan menggunakan 76 persen dari belanja infrastruktur pemerintah
provinsi di tahun 2009. Dari keempat program ini terlihat program pembangunan jalan dan jembatan
mengalami penurunan belanja sejak tahun 2005. Dilain pihak, program dukungan untuk sistem perhubungan
mengalami peningkatan yang stabil. Program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan cenderung
stabil namun ada penurunan drastis di tahun 2010.
Perbandingan antara daerah yang kinerjanya berbeda menunjukkan bahwa komposisi belanja masing-
masing daerah bisa sangat berbeda. Perbandingan dilakukan antara Kota Surabaya sebagai daerah yang
memiliki salah beban dan belanja infrastruktur terbesar dengan Kabupaten Lumajang, yang memiliki salah
satu belanja infrastruktur per kapita terendah di Jawa Timur. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah
proporsi belanja pegawai tidak langsung dan belanja modal. Kota Surabaya yang memiliki total belanja
infrastruktur 15 kali lipat dibandingkan Lumajang, hanya mengalokasikan 5 persen dari belanjannya untuk
belanja pegawai tidak langsung. Lumajang mengalokasikan 28 persen dari belanjanya untuk belanja pegawai
tidak langsung. Apabila dilihat dari total belanja pegawai tidak langsungnya, Kota Surabaya tidak mencapai
tiga kali lipat dari Lumajang (Rp. 33 milyar berbanding Rp. 12 milyar). Ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi
belanja lebih tinggi di Kota Surabaya dibandingkan Lumajang. Dari sisi belanja program terlihat perbedaan
yang mencolok antara keduanya yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik.
Gambar 23. Perbedaan yang signifikan antara belanja Kota Surabaya dan Kabupaten Lumajang
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data APBD.
Jawa Timur menghadapi tantangan infrastruktur yang besar di masa yang akan datang. Walaupun
ketersediaan infrastruktur dan kinerjanya menunjukkan hasil yang memadai, tren pertumbuhan belanja
infrastruktur Jawa Timur (Provinsi, Kabupaten/Kota, Pusat) tidak dapat mengimbangi pertumbuhan PDRB
Jawa Timur. Dengan kata lain, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur akan
tertinggal oleh pertumbuhan ekonomi. Secara rata-rata, belanja infrastruktur di Jawa Timur hanya sekitar 0,8
persen dari PDRBnya. Dengan tingkat belanja infrastruktur tersebut, sangat sulit bagi pemerintah daerah
28%
3%
11%
58%
5% 4%
15%
76%
Perbandingan komposisi belanja infrastrukturKab. Lumajang (dalam) dan Kota Surabaya (luar)
tahun 2009
Belanja pegawai tidak langsung
Belanja pegawai langsung
Belanja barang dan Jasa
Belanja modal
-
59%
68%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Lumajang Kota Surabaya
Rp
mili
ar
Komposisi belanja program infrastruktur 2009
Pembangunan jalan dan jembatan
Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatanPembangunan Gorong-gorong
Irigasi dan sistem pengairan
Perhubungan
% dari belanja infrastruktur
Analisa Sektoral
23
untuk membiayai kebutuhan infrastruktur yang dapat menopang pertumbuhan ekonominya. Dibutuhkan
sumber-sumber pendanaan lain yang dapat membantu pembiayaan infrastruktur di Jawa Timur. Pembiayaan
ini dapat berasal dari sumber-sumber kerjasama dengan pihak swasta atau melalui mekanisme-mekanisme
inovatif lain yang tersedia, misalnya melalui surat berharga daerah (local bonds) maupun pinjaman baik ke
pemerintah pusat melalui fasilitas PIP atau pinjaman.
Gambar 24. Investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur masih dibawah 1 persen dari PDRB Jawa Timur
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data APBD dan BPS.
0.8% 0.9%0.8%
0.9%
0.7%
0.0%
0.2%
0.4%
0.6%
0.8%
1.0%
-
50
100
150
200
250
300
350
400
2006 2007 2008 2009 2010*
Rp
tri
lyu
n
Real PDRB Jatim (triliun) Belanja infrastruktur di Provinsi Jatim (triliun)
Belanja infrastruktur (% dari PDRB)
Analisa Sektoral
24
Sektor Pendidikan
Provinsi Jawa Timur melihat bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah salah satu
kunci dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Oleh karena
itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur memprioritaskan pembangunan pendidikan melalui peningkatan
kualitas dan akses pendidikan bagi masyarakat secara luas yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa
Timur tahun 2009 - 2014. Arah kebijakan tersebut diantaranya adalah menata sistem pembiayaan
pendidikan yang berprinsip keadilan, efisien, transparan dan akuntabel, serta peningkatan anggaran
pendidikan mencapai 20 persen APBD, untuk melanjutkan upaya pemerataan dan penyediaan layanan
pendidikan yang murah dan berkualitas, memberikan akses lebih besar kepada kelompok masyarakat
yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan yang murah dan bermutu.
Kebijakan sektor pendidikan provinsi adalah penuntasan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun, dan Pendidikan Menengah 12 Tahun. Seperti halnya provinsi-provinsi lain di
Indonesia, Angka Partisipasi Murni SD Jawa Timur hampir mencapai angka 100 persen yang berarti
hampir seluruh anak usia SD telah berada di sekolah dasar, baik di sekolah negeri, swasta, maupun
madrasah yang setingkat. Tantangan berikut yang dihadapi oleh Provinsi Jawa Timur adalah
menuntaskan program Wajib Belajar 9 tahun. Dengan APM SD yang mendekati sempurna, APM SMPnya
masih relatif rendah. Untuk tingkat SMA, angka ini menjadi semakin rendah dimana hanya sekitar
setengah dari anak usia SMA berada di sekolah.
Gambar 25. Tantangan pemerintah daerah di Jawa Timur adalah meningkatkan angka partisipasi sekolah
untuk tingkat SMP dan SMA
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
Salah satu penyebab utama rendahnya angka partisipasi sekolah pada tingkat SMP dan SMA adalah
desakan ekonomi. Ada desakan bagi anak usia remaja untuk ikut membantu perekonomian keluarga,
khususnya di daerah-daerah yang tertinggal atau terpencil. Data menunjukkan bahwa angka APM
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0APM SMP
Kelompok pengeluaran terendah (1)
2
3
4
Kelompok pengeluaran tertinggi (5)
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
Banten Nasional
APM SMA % %
Analisa Sektoral
25
terendah di Jawa Timur adalah di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, dua dari Kabupaten dengan
angka kemiskinan tertinggi di Jawa Timur.
Mayoritas angkatan kerja di Jawa Timur berpendidikan rendah. Pada tahun 2009, lebih dari setengah
(55 persen) dari angkatan kerja di Jawa Timur hanya lulusan SD atau lebih rendah, termasuk sekitar 21
persen dari total angkatan kerja yang belum pernah ke sekolah atau tidak menyelesaikan sekolah dasar.
Hanya sekitar 6 persen dari angkatan kerja menikmati pendidikan sekolah pasca SLTA.5
Gambar 26. Sebagian besar tenaga kerja berpendidikan rendah yang disebabkan oleh dorongan faktor ekonomi
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat menjadi salah satu kendala untuk produktivitas
tenaga kerja di Jawa Timur. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dapat meningkatkan
kesempatan masyarakat miskin untuk mengakses peluang ekonomi secara lebih luas, sementara
kapasitas yang lemah dapat menghambat kesempatan mereka untuk sepenuhnya meraih manfaat dari
pertumbuhan. Kapasitas manusia itu sendiri bergantung pada dua faktor dasar utama, pencapaian dan
akses kepada pendidikan.
5 East Java Growth Diagnostic, The World Bank, 2011.
Analisa Sektoral
26
Pemerintah Daerah di Jawa Timur terus meningkatkan belanja pendidikannya. Belanja pendidikan
tersebut didorong oleh belanja Pemerintah Kabupaten/Kota yang merupakan ujung tombak dalam
penyediaan jasa publik pendidikan. Secara rata-rata, belanja pendidikan kabupaten/kota selalu
merupakan komponen belanja terbesar yang diikuti oleh belanja pemerintah pusat melalui data
dekonsentrasi, tugas pembantuan, maupun Kementrian Lembaga. Di tahun 2009, data realisasi
menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menyumbang 63 persen dari seluruh belanja
pendidikan dan diikuti oleh belanja pemerintah pusat sebesar 36 persen.. Rasio belanja pendidikan
pemerintah daerah di Jawa Timur juga mengalami peningkatan dari 28 persen di tahun 2006 menjadi 33
persen di tahun 2009.
Gambar 27. Belanja pendidikan terus meningkat secara riil, namun pada tingkat kabupaten/kota masih
bervariasi
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan database PEA Jawa Timur dan BPS.
Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Malang, Jember, dan Banyuwangi adalah daerah-daerah yang memiliki
belanja pendidikan terendah. Secara per kapita, masing masing daerah membelanjakan kurang dari Rp.
250.000 untuk pendidikan di tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, pertama, tingkat
populasi sangat mempengaruhi belanja pendidikan yang terbatas. Penjelasan ini relevan untuk daerah
yang cenderung padat penduduknya seperti Gresik, Sidoarjo, dan Malang. Penjelasan yang kedua adalah
keterbatasan belanja pendidikan karena adanya prioritas-prioritas lain, khususnya untuk daerah-daerah
yang cukup jauh seperti Jember dan Banyuwangi. Selain itu, perlu diteliti lebih jauh apakah rendahnya
belanja pendidikan juga disebabkan oleh terbatasnya distribusi guru atau tenaga pengajar di Jember dan
Banyuwangi.
Gaji untuk guru dan pegawai menghabiskan sebagian besar dari belanja pendidikan pemerintah
daerah. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2010, belanja pendidikan pemerintah daerah meningkat 40
persen secara riil. Belanja pegawai merupakan komponen terbesar, khususnya belanja pegawai tidak
28%
29%
31%30%
33%
24%
26%
28%
30%
32%
34%
0
5000
10000
15000
20000
25000
2006 2007 2008 2009 2010*
Rp
mily
ar
ProvinsiKabupaten/KotaDekon/TP/KL% pendidikan dari total APBD
Analisa Sektoral
27
langsung yang mencakup belanja guru dan pegawai dinas pendidikan. Ditahun 2009, belanja guru dan
pegawai dinas pendidikan menghabiskan 84 persen dari total belanja kabupaten/kota dan 17 persen
dari belanja provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, belanja pegawai langsung, yang umumnya
digunakan untuk membayar guru honorer, tergolong kecil, hanya 2 persen. Lain halnya dengan pada
tingkat provinsi dimana belanja pegawai langsung mencapai hampir seperempat dari belanja
Pemerintah Provinsi.
Gambar 28. Belanja pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dihabiskan untuk belanja pegawai
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Belanja program lebih banyak dilakukan pada tingkat provinsi, sesuai dengan fungsi Pemerintah
Provinsi yang strategis. Selain bertugas memberikan pelayanan pendidikan tingkat menengah atas,
pemerintah Provinsi memiliki fungsi koordinasi dan pengawasan terhadap kabupaten/kota di
kawasannya. Belanja program Pemerintah Provinsi, sekitar 40 persen dari belanja pendidikan provinsi,
belanja program terbesar adalah untuk program peningkatan mutu pendidikan, yang sebagaian besar
digunakan untuk peningkatan kapasitas guru dan pegawai. Sesuai dengan kebijakan sektor pendidikan
dituangkan dalam dokumen perencanaannya, Pemerintah Provinsi telah membelanjakan anggaran
untuk penuntasan program Wajib Belajar 9 tahun dan pendidikan menengah. Selain itu peningkatan
mutu pendidikan telah mendapat perhatian setiap tahunnya dengan alokasi belanja program yang
terbesar di dua tahun terakhir.
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
2006 2007 2008 2009 2010*
Belanja pendidikan Pemerintah Daerah
pegawai Pegawai langsung
Pegawai tidak langsung barang dan jasa
modal lain-lain
24%
17%53%
6%
2%
84%
4%
10%
Belanja pendidikan Pemerintah Daerah (2009); provinsi (dalam) kabupaten/kota (luar)
Pegawai langsung
Pegawai tidak langsung
barang dan jasa
modal
Analisa Sektoral
28
Gambar 29. Belanja program pendidikan provinsi berfokus pada peningkatan mutu dan pendidikan menengah
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Secara rata-rata, biaya pendidikan yang ditanggung oleh rumah tangga di Jawa Timur terus
meningkat. Dalam kurun waktu 2007 hingga 2010, biaya yang ditanggung oleh rumah tangga dalam satu
tahun menjadi sekitar dua kali lipat secara riil, dari Rp. 887 ribu menjadi Rp. 1,7 juta. Di satu pihak ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan biaya pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat lebih tinggi dari
pada pertumbuhan belanja pendidikan pemerintah daerah secara per kapita. Ini dapat dilihat sebagai
beban yang ditanggung masyarakat menjadi lebih besar. Dilain pihak, hal ini menunjukkan peningkatan
kemampuan daya beli masyarakat akan pendidikan. Masyarakat menyadari bahwa pendidikan itu
penting sehingga mampu mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan pendidikan. Apabila dilihat
berdasarkan kelompok pengeluaran, hal ini konsisten dengan peruntukkan pelayanan pendidikan untuk
kelompok masyarakat miskin.
Sasaran berikutnya bagi Pemerintah Kabupaten/Kota adalah penuntasan Wajib Belajar 9 tahun dan
pendidikan menengah 12 tahun. Tingginya tingkat partisipasi sekolah pada tingkat SD, dapat menjadi
pertimbangan untuk mengalokasi belanja pendidikan pada tingkatan pendidikan yang lebih tinggi,
seperti SMP dan SMA, sesuai dengan kebijakan sektor pendidikan Provinsi Jawa Timur. Dengan porsi
belanja pendidikan yang cukup besar di tingkat kabupaten/kota, yaitu sekitar 40 persen dari total
belanja. ini merupakan peluang untuk memperluas akses ke pendidikan menengah utk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan yang akhirnya bisa meningkatkan tingkat
kesejahteraan pekerja di Jawa Timur.
40% 38%41%
49%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2007 2008 2009 2010*
Rp
mily
ar
PAUD
Wajar 9 tahun
Pendidikan Menengah
Peningkatan Mutu
% dari total belanja pendidikan Provinsi
0
10
20
30
40
50
60
PAUD Wajar 9 tahun
Pendidikan Menengah
Peningkatan Mutu
Rp
mily
ar
Pegawai Barang/jasa Modal
Analisa Sektoral
29
Gambar 30. Biaya pendidikan di Jawa Timur semakin meningkat, khususnya untuk kelompok pengeluaran tinggi.
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS .
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
2,000,000
2,006 2,007 2,008 2,009 2010*
Belanja Pendidikan Per Kapita
Biaya RT untuk Pendidikan (Jatim)
Biaya RT untuk Pendidikan (Nasional)
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
Jawa Timur
National Jawa Barat
Banten DKI Jakarta
Belanja Pendidikan RT (2009)
Kel. Pengeluaran terendah (1)
2
3
4
Kel. Pengeluaran tertinggi (5)
Analisa Sektoral
30
Sektor Pertanian6
Kebijakan revitalisasi pertanian di Jawa Timur dilakukan dalam upaya meningkatkan kontribusi sektor
pertanian dan kesejahteraan petani. Terdapat 4 arah kebijakan revitalisasi pertanian dalam RPJMD
Provinsi Jawa Timur 2009 – 2014, yakni: (i) peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga
pendukungnya; (ii) peningkatan produktivitas, produksi, daya saing, dan nilai tambah produk pertanian
dan perikanan; (iii) peningkatan pengamanan ketahanan pangan; dan (iv) pemanfaatan hutan untuk
diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan. Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang
diharapkan dapat mendorong pembangunan ekonomi di Jawa Timur.
Gambaran Sektor Pertanian
Nilai produksi riil sektor pertanian di Jawa Timur mengalami peningkatan secara konsisten per
tahunnya, namun kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Timur justru menurun.
Meskipun demikian, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Jawa Timur masih lebih tinggi dari
kontribusi sektor pertanian nasional terhadap PDB. Penurunan kontribusi sektor pertanian tersebut
disebabkan oleh adanya pertumbuhan lebih tinggi pada sektor lain di luar pertanian. Selain itu,
meskipun telah pulih setelah turun pada tahun 2007, pertumbuhan produksi sektor pertanian Jawa
Timur belum mampu melampaui pertumbuhan sektor pertanian nasional dalam 3 tahun terakhir.
Gambar 31. Produksi riil meningkat, namun kontribusi terhadap perekonomian menurun dengan pertumbuhan
dibawah pertumbuhan produksi pertanian nasional
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
Produksi per kapita sektor pertanian bervariasi antar kabupaten/kota. Kabupaten Banyuwangi,
Jember, dan Malang merupakan 3 kabupaten penyumbang produksi sektor pertanian tertinggi di Jawa
Timur. Selain kontributor produk pertanian terbesar di Jawa Timur, Kabupaten Banyuwangi juga
6 Sektor Pertanian dalam penelitian ini meliputi sektor dalam arti luas, yakni meliputi sub-sektor pertanian tanaman pangan,
peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Belanja pemerintah yang termasuk dalam pertanian meliputi urusan pertanian, ketahanan pangan, perikanan dan kelautan, perkebunan dan kehutanan.
3.2%
4.0%
3.1%3.1%
4.0%
2.7%
3.4%3.5%
4.8%
4.1%
2.5%
3.0%
3.5%
4.0%
4.5%
5.0%
2005 2006 2007 2008* 2009**
Per
tum
bu
han
Sek
tor
Per
tan
ian
(%
)
Pertumbuhan sektor pertanian Jawa Timur dan nasional
Jawa Timur
Nasional
44.746.5
47.949.4
51.4
0%
4%
8%
12%
16%
20%
38.0
43.0
48.0
53.0
58.0
2005 2006 2007 2008 2009 Ko
ntr
ibu
si t
hd
p P
erek
on
om
ian
%
Rp
tri
lyu
n
Produksi riil pertanian dan kontribusinya terhadap perekonomian
PDRB Riil Sektor Pertanian Jawa TimurKontribusi Sektor Pertanian terhadap PDRB Jawa TimurKontribusi Sektor Pertanian Nasional terhadap PDB
Analisa Sektoral
31
diperkirakan memiliki surplus pertanian yang cukup tinggi. Bersama Sumenep, Blitar, dan Probolinggo,
Banyuwangi memiliki produksi pertanian per kapita yang jauh diatas rata-rata. Daerah yang minim
produksi sektor pertanian, selain di 9 daerah perkotaan, juga terdapat di beberapa kabupaten seperti
Pacitan, Trenggalek, dan Sidoarjo.
Gambar 32. Kabupaten Banyuwangi, Sumenep, Blitar dan Probolinggo memiliki surplus produksi pertanian
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
Lebih dari setengah produksi sektor pertanian di Jawa Timur disumbang oleh tanaman pangan, diikuti
oleh perkebunan dan peternakan. Selain mendominasi produksi pertanian, sub-sektor tanaman pangan
juga memiliki pertumbuhan yang cenderung meningkat. Sementara itu, pertumbuhan sub-sektor
perikanan dan peternakan cenderung mengalami pertumbuhan yang menurun. Sub-sektor kehutanan
dan perkebuan merupakan dua sub-sektor dengan pertumbuhan yang paling tidak stabil (fluktuatif).
Gambar 33. Sub sektor tanaman pangan mendominasi sektor pertanian di Jawa Timur dengan pertumbuhan
meningkat tiap tahunnya
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
55.8% 55.0% 54.8% 54.6%
17.6% 17.6% 17.2% 17.4%
16.0% 16.4% 16.5% 16.5%
1.0% 1.0% 1.3% 1.2%
9.6% 9.9% 10.2% 10.2%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2006 2007 2008 2009
Kontribusi Sub-sektor Pertanian terhadap PDRB Sektor Pertanian
Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan
Kehutanan Perikanan
4%
5%
4%
-1%
4%
3%
1%
4%
31%
6%
2%
3%
6%
3%
7%
-5% 5% 15% 25% 35%
Tanaman Pangan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
Pertumbuhan Sub-sektor Pertanian 2007-2009
2007
2008
2009
Analisa Sektoral
32
Tingginya kontribusi tanaman pangan di Jawa Timur disumbang oleh produksi pada. Tahun 2009,
provinsi Jawa Timur mampu menyumbang 17,5 persen produksi padi nasional, atau ke-2 tertinggi
setelah Jawa Barat. Selain karena memiliki luas lahan padi ke-2 terluas, Provinsi Jawa Timur merupakan
provinsi dengan produktivitas padi tertinggi se-Indonesia, yakni sebesar 59,1 kuintal/ha, jauh di atas
produktivitas rata-rata nasional sebesar 37,4 kuintal/ha.
Gambar 34. Jawa Timur merupakah salah satu lumbung padi nasional dengan angka produktivitas tertinggi
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
Selain padi, provinsi Jawa Timur juga merupakan penyumbang tertinggi pada berbagai produksi
pertanian nasional. Beberapa produksi yang memiliki kontribusi cukup tinggi terhadap produksi nasional
adalah jagung, kedelai, kacang-kacangan, buah-buahan, gula, dan susu.
Tabel 1. Kontribusi produksi pertanian Jawa Timur terhadap nasional 2010
No Komoditas Produksi Jatim Produksi Nasional %
1. Padi 11.643.773 65.980.670 17,65 2. Jagung 5.587.318 17.844.676 31,31 3. Kedelai 339.491 905.015 37,51 4. Kacang Tanah 214.131 779.677 27,46 5. Kacang Hijau 79.877 323.518 24,69 6. Ubi Kayu 3.667.058 23.093.522 15,88 7. Ubi Jalar 141.103 2.060.272 6,85 8. Buah-Buahan 3.002.660 12.361.851 24,29 9. Sayuran 1.093.992 8.433.130 12,97
10. Gula 1.126.812 2.694.227 41,82 11. Daging 328.490 2.347.100 14,00 12. Telur 252.029 1.378.800 18,28 13. Susu 482.014 927.800 51,95
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data dari Provinsi Jawa Timur dalam Angka dan BPS.
29.9
55.8
24.6
35.3 33.7
42.3 37.4
53.5 47.8
41.5 47.9
38.4
57.6
38.0 35.6
58.5
41.4
31.3
45.1
27.0
43.3 50.5 50.0
44
31.1
47.9
39.9 46.9
41.9 45.9
50.2 55.7
59.1 58.1
-
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
Kep
ula
uan
Ria
u
DK
I Jak
arta
Ban
gka
Bel
itu
ng
Pap
ua
Bar
at
Mal
uku
Uta
ra
Mal
uku
Pap
ua
Go
ron
talo
Sula
wes
i Bar
at
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Sula
wes
i Uta
ra
Ben
gku
lu
DI Y
ogy
akar
ta
Kal
iman
tan
Tim
ur
Ria
u
Bal
i
Jam
bi
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Sula
wes
i Ten
gah
Kal
iman
tan
Ten
gah
Ace
h
Ban
ten
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Rat
a-ra
ta N
asio
nal
Kal
iman
tan
Bar
at
Sum
ater
a b
arat
Kal
iman
tan
Sel
atan
Lam
pu
ng
Sum
ater
a Se
lata
n
Sum
ater
a U
tara
Sula
wes
i Sel
atan
Jaw
a Te
nga
h
Jaw
a Ti
mu
r
Jaw
a B
arat
KU
/HA
Luas
Lah
an (
Rib
u H
A)
Luas Lahan (HA) Produktivitas (KU/HA)
Analisa Sektoral
33
Upah rata-rata dan Nilai Tukar Petani
Meskipun merupakan sektor yang berkontribusi besar dan terus tumbuh positif, upah rata-rata
pekerja di sektor pertanian jauh lebih rendah dibanding sektor lainnya. Rendahnya upah rata-rata
pekerja yang bekerja di sektor pertanian disebabkan oleh rendahnya nilai tambah dari produk pertanian
dibanding dengan produk lainnya. Selain itu, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian yang
cukup besar tidak sebanding dengan pertumbuhan nilai produksi pertanian.
Selain upah yang rendah, petani juga memiliki nilai tukar yang tidak menguntungkan. Sepanjang tahun
2009 dan 2010, indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa Timur secara terus menerus berada dibawah
100. Hal ini merpakan akibat dari kondisi dimana indeks harga yang diterima petani dari hasil penjualan
produk pertanian (IT) lebih kecil dibanding indeks harga yang harus dibeli oleh petani dalam bentuk
barang-barang input pertanian atau kebutuhan pokok (IB). Kondisi ini menggambarkan bahwa
peningkatan produksi belum tentu memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan petani.
Belanja Sektor Pertanian
Secara riil belanja pemerintah (Prov+Kab/Kota+Pusat) untuk sektor pertanian di Jawa Timur tidak
meningkat secara berarti sejak tahun 2008. Kenaikan belanja riil pertanian yang cukup berarti terjadi
pada tahun 2007, yakni dari Rp. 1,5 trilyun tahun 2006 menjadi Rp. 1,8 trilyun. Setelah itu, belanja
pertanian secara riil stagnan pada kisaran Rp. 1,8 trilyun. Kondisi stagnan ini sebagian besar disumbang
oleh adanya penurunan belanja pertanian yang bersumber dari Dekon/TP.
Gambar 35. Petani memiliki upah rata-rata terendah dibanding sektor lainnya, dengan Indeks NTP 2009-2010
selalu dibawah 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS.
373,953
796,199
823,211
891,880
905,507
1,067,443
1,167,690
1,305,477
1,544,214
Pertanian
Perdagangan, hotel & restoran
Industri pengolahan
Pertambangan dan penggalian
Konstruksi
Jasa-jasa
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan, persewaan & jasa …
Listrik, gas dan air bersih
90.00
100.00
110.00
120.00
130.00
140.00
150.00
Jan
-08
Ap
r-0
8
Jul-
08
Oct
-08
Jan
-09
Ap
r-0
9
Jul-
09
Oct
-09
Jan
-10
Ap
r-1
0
Jul-
10
Oct
-10
Jan
-11
Ap
r-1
1
Jul-
11
Indeks Harga Diterima Petani (IT)
Indeks Harga Dibayar Petani (IB)
Nilai Tukar Petani (NTP)
Analisa Sektoral
34
Gambar 36. Belanja Pemerintah untuk sektor pertanian tidak mengalami peningkatan yang berarti
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Secara umum pemerintah provinsi memberikan porsi lebih besar dari belanjanya untuk sektor
pertanian. Seluruh tingkat pemerintahan (provinsi+kab/kota+dekon/TP) memiliki pola belanja pertanian
yang berfluktuasi. Penurunan belanja riil pertanian secara bersamaan terjadi pada tahun 2009 yang
kemudian diikuti oleh peningkatan pada tahun 2010 oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
namun diikuti oleh penurunan kembali dalam belanja dekon/TP. Meskipun belanja riil tidak selalu
meningkat tiap tahunnya, namun secara umum pemerintah provinsi mengalokasikan lebih besar dari
belanjanya (rata-rata sekitar 4%) untuk pertanian.
Tabel 2. Pemerintah Provinsi memiliki proporsi belanja pertanian lebih besar dibanding tingkat
pemerintahan lainnya
2006 2007 2008 2009 2010
Provinsi
Belanja Pertanian (Rp. milyar) 151.6 194.3 427.8 241.0 388.9
Proporsi thdp Total Belanja Provinsi (%) 2.4% 3.2% 6.0% 3.2% 4.0%
Kab/Kota
Belanja Pertanian (Rp. milyar) 490.9 572.4 622.2 606.8 632.3
Proporsi thdp Total Belanja Kab/Kota (%) 2.0% 2.0% 2.1% 1.8% 1.7%
Dekonsentrasi/TP/KD
Belanja Pertanian (Rp. milyar) 519.1 685.8 432.6 443.8 266.6
Proporsi thdp Total Belanja Dekon/TP (%) 2.1% 2.5% 1.5% 1.4% 0.7%
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Belanja pertanian perkapita tertinggi terdapat di daerah perkotaan. Secara total, belanja pertanian
tertinggi terdapat di Kabupaten Malang, Sumenep dan Banyuwangi. Namun demikian, jika
memperhitungkan jumlah penduduk, belanja pertanian per kapita tertinggi terdapat di dua daerah
perkotaan, yakni kota Batu dan Probolinggo. Meskipun tidak termasuk daerah dengan belanja per kapita
1,5591,799 1,852 1,773 1,816
2.8% 2.9%2.8%
2.4%2.1%
0.0%
0.5%
1.0%
1.5%
2.0%
2.5%
3.0%
3.5%
-
500.00
1,000.00
1,500.00
2,000.00
2,500.00
2006 2007 2008 2009 2010
Rp
mily
ar
Belanja Riil Pertanian Proporsi terhadp Total Belanja
18.4% 16.8%28.8% 26.1% 33.3%
48.3% 45.1%
47.8% 48.9%52.0%
33.3% 38.1%23.4% 25.0%
14.7%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2006 2007 2008 2009 2010
Kontribusi terhadap Belanja Pertanian di Jawa Timur berdasarkan tingkat pemerintahan
Provinsi Kabupaten/Kota Dekonsentrasi/TP
Analisa Sektoral
35
tertinggi, beberapa daerah seperti Kabupaten Pacitan, Sumenep, dan Situbondo memiliki proporsi
belanja pertanian diatas 4 persen dari total belanjanya. Angka ini sedikit dibawah proporsi belanja
pertanian di Kota Batu dan Probolinggo, tapi diatas rata-rata daerah pada umumnya.
Gambar 37. Peta belanja pertanian per kapita 2009
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki prioritas yang cukup besar pada sub-sektor pertanian
tanaman pangan dibanding untuk perikanan/ kelautan dan kehutanan/perkebunan. Pada tahun 2009,
baik provinsi maupun kabupaten/kota mengalokasikan lebih dari setengah belanjanya di sektor
pertanian untuk sub-sektor pertanian tanaman pangan (termasuk peternakan). Sub-sektor kehutanan
dan perkebunan merupakan sub-sektor dengan proporsi belanja terkecil dalam komposisi belanja di
dalam sektor pertanian. Untuk sektor perikanan dan kelautan, pemerintah provinsi memiliki proporsi
lebih besar dibanding kabupaten/kota.
Gambar 38. Sebagian besar belanja pertanian dialokasikan untuk belanja pertanian tanaman pangan
(termasuk didalamnya peternakan)
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Proporsi belanja langsung pada belanja daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk sektor pertanian
sudah lebih besar dibanding belanja tidak langsung. Pada periode 2007, alokasi belanja langsung sektor
pertanian sudah mencapai 73,4 persen dan mengalami peningkatan hingga 75,5 persen tahun 2010.
52%40%
8%
Provinsi
70%
18%
12%
Kab/Kota
Pertanian
Perikanan dan Kelautan
Kehutanan dan Perkebunan
Analisa Sektoral
36
Belanja tidak langsung (untuk gaji pegawai) secara rata-rata kurang dari 25 persen belanja pertanian.
Kondisi ini cukup baik mengingat besarnya belanja langsung dapat memberikan peluang alokasi lebih
besar untuk investasi pembangunan pertanian dibanding untuk kepentingan gaji aparatur. Meskipun
belanja langsung cukup tinggi, namun lebih dari sepertiganya masih dibelanjakan untuk pegawai
(honorarium), yakni rata-rata sebesar 37 persen. Angka ini masih lebih tinggi dari proporsi untuk belanja
modal yang rata-rata hanya 27 persen.
Gambar 39. Belanja langsung sudah mendominasi belanja pertanian, namun proporsi belanja pegawai dalam
belanja langsung masih lebih besar dari modal
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Program peningkatan kesejahteraan petani baru memperoleh prioritas pada tahun 2010. Pada periode
tahun 2007 sampai 2008, prioritas program pemerintah daerah di Jawa Timur lebih banyak mengarah
pada peningkatan ketahanan pangan (pertanian/perkebunan). Pada tahun 2009, prioritas bergeser ke
pengembangan perikanan tangkap. Pada tahun 2010, program peningkatan perikanana tangkap masih
memperoleh alokasi cukup besar, namun masih lebih kecil dibanding dengan program peningkatan
kesejahteraan petani. Orientasi pemerintah daerah pada peningkatan produksi tidak serta merta
mampu meningkatkan kesejahteraan petani, bahkan bisa berakibat sebaliknya jika pengendalian
terhadap harga tidak dilakukan. Oleh karena itu, peningkatan belanja program peningkatan
kesejahteraan petani merupakan langkah yang tepat dan sesuai dengan prioritas utama pembangunan
sektor pertanian sebagaimana tertuang dalam RPJMD Jawa Timur periode 2009-2014.
26.6% 24.2% 26.2% 24.5%
73.4% 75.8% 73.8% 75.5%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2007 2008 2009 2010
Komposisi belanja langsung dan tIdak langsung dalam belanja sektor pertanian
Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung
39.9% 36.4% 36.5% 33.0%
31.1% 39.0% 32.9% 42.9%
29.0% 24.7% 30.6% 24.1%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2007 2008 2009 2010
Klasifikasi ekonomis belanja langsung
Pegawai - Honorarium Barang dan Jasa Modal
Analisa Sektoral
37
Gambar 40. Program peningkatan kesejahteraan petani baru menjadi prioritas pada tahun 2010
Sumber: Database PEA Jawa Timur.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari sisi nilai produksi bruto, kinerja pertanian Jawa Timur cukup baik, namun perlu perbaikan pada
sub-sektor non-tanaman pangan. Pertumbuhan riil sektor pertanian yang tetap positif, dan kontribusi
sektor pertanian terhadap perekonomian daerah yang masih cukup tinggi menunjukkan kinerja sektor
secara makro masih cukup baik. Namun demikian, dalam rangka revitalisasi sektor pertanian,
pemerintah daerah di Jawa Timur perlu melakukan beberapa perbaikan sebagai berikut: (i)
Mempertahankan kinerja produksi sub-sektor tanaman pangan, terutama padi yang sudah memiliki
tingkat produktivitas per hektar tertinggi di Indonesia; (ii) melakukan revitalisasi pada sub-sektor
perikanan dan peternakan yang mengalami penurunan angka pertumbuhan pada dua tahun terakhir;
(iii) menjaga stabilitas pertumbuhan produksi sektor kehutanan dan perkebunan melalui pengelolaan
budidaya hasil hutan dan perkebunan yang lebih berkelanjutan.
Masalah kesejahteraan petani masih merupakan tantangan yang cukup tinggi di sektor pertanian.
Sebagaimana terjadi pada umumnya di provinsi lain, tingkat upah pekerja di sektor pertanian di Jawa
timur secara rata-rata masih paling rendah dibanding sektor lainnya. Disamping itu, persoalan
peningkatan harga produk pertanian yang tidak sebanding dengan peningkatan harga barang input
pertanian (contoh: pupuk, benih, dll) dan harga-harga kebutuhan pokok mengakibatkan peningkatan
produksi pertanian kurang berdampak secara langsung pada peningkatan kesejahteraan petani. Upaya-
upaya lebih konkrit untuk meningkatkan kesejahteraan petani perlu dilakukan, misalnya melalui
peningkatan nilai tambah produksi pertanian, menjaga mata rantai pemasaran produk pertanian,
mendorong peningkatan kualitas kelembagaan pertanian, dan lain-lain.
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
2007 2008 2009 2010
Rp
mily
ar
Program Lainnya
pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak
peningkatan produksi hasil peternakan
Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan
pengembangan budidaya perikanan
optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikananpengembangan agribisnis
Peningkatan Ketahanan Pangan (pertanian/perkebunan)
Peningkatan Kesejahteraan Petani
pengembangan perikanan tangkap
Analisa Sektoral
38
Belanja pertanian secara riil cenderung stagnan dengan proporsi yang menurun. Di satu sisi belanja
daerah (provinsi+kabupaten/kota) untuk pertanian meningkat, namun di sisi lain belanja pertanian
yang bersumber dari Dekon/TP mengalami penurunan. Kondisi ini yang mengakibatkan belanja publik
(yang bersumber dari seluruh tingkatan pemerintahan) untuk sektor pertanian cenderung stagnan pada
kisaran Rp. 1,8 trilyun. Kondisi ini belum seiring dengan petumbuhan total belanja pemerintah di Jawa
Timur yang tiap tahun meningkat, sehingga secara proporsional belanja pertanian menjadi menurun.
Dalam rangka meningkatkan nilai investasi, pemerintah daerah perlu meningkatkan belanja pertanian,
minimal dengan menjaga proporsi belanja pertanian pada kisaran 4 persen, sehingga belanja pertanian
dapat tetap meningkat seiring dengan peningkatan belanja total pemerintah di Jawa Timur.
Struktur belanja sektor pertanian di Jawa Timur sudah didominasi oleh belanja langsung, namun
masih perlu perbaikan dalam komposisi belanja langsung. Proporsi belanja langsung (untuk
program/kegiatan) sektor pertanian di Jawa Timur yang sudah jauh lebih tinggi (75%) dibanding belanja
untuk gaji pegawai (25%). Namun demikian, alokasi belanja modal dalam belanja langsung masih sangat
minim. Investasi modal sangat diperlukan dalam pembangunan sektor pertanian, terutama untuk
meningkatkan nilai tambah produk pertanian serta pemasaran.
Analisa Sektoral
39
PENUTUP
Provinsi Jawa Timur memiliki peluang besar dalam upaya mencapai tujuan pembangunan daerahnya.
Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan diatas rata-rata nasional dalam kurun waktu 5 tahun terakhir,
bersama dengan sektor pertanian dan industri pengolahan sebagai pendorong perekonomian, dan
didukung oleh sumber daya manusia yang tersedia; merupakan faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan pembangunan di Jawa Timur. Posisinya juga diperkuat oleh sumber daya
finansial Jawa Timur mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
Namun ada beberapa hal yang dapat menghambat upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan
Jawa Timur. Dengan sumber daya finansial yang tersedia, tidak terlihat adanya perubahan yang
signifikan dalam komposisi belanja pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Kualitas
infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan kabupaten/kota yang dibutuhkan untuk keterhubungan
antar wilayah, khususnya di daerah rural, masih perlu ditingkatkan. Kualitas SDM tenaga kerja juga perlu
ditingkatkan dengan cara penuntasan program Wajib Belajar 9 tahun dan sekolah menengah 12 tahun.
Dari sektor pertanian, permasalahan kesejahteraan petani masih harus dicari pemecahannya.
Tantangannya adalah bagaimana APBD Pemerintah Daerah di Jawa Timur dapat menjadi instrumen
untuk mencapai tujuan pembangunannya. Ini adalah tantangan dalam pengelolaan keuangan daerah
dalam memposisikan APBD sebagai instrumen untuk mempercepat tercapainya sasaran-saaran
pembangunan di berbagai sektor, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, yang dapat
mengurangi secara signifikan angka kemiskinan, dan pada akhirnya dapat mewujudnya pertumbuhan
ekonomi yang inklusif.
Penutup
40