Upload
vankhuong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TA 2016
ANALISIS DUKUNGAN (SUPPORTS) PEMERINTAH
TERHADAP SEKTOR PERTANIAN: 1995-2015
Tim Peneliti:
Tahlim Sudaryanto Reni Kustiari
Saktyanu K.Dermoredjo
Chairul Muslim Wahida
Yonas Hangga Saputra
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
i
KATA PENGANTAR
Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian diterapkan melalui beberapa
instrumen kebijakan. Besaran dan komposisi dukungan yang diberikan kepada
sektor pertanian, serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu, perlu
dianalisis sebagai bahan perbaikan kebijakan pembangunan pertanian kedepan.
Tujuan umum kegiatan ini adalah untuk untuk menganalisis perkembangan
kebijakan pertanian dan pembaruan indikator PSE tahun 2013-2014. Secara khusus
tujuan kegiatan ini adalah mengumpulkan data dan informasi perkembangan
kebijakan pertanian, memvalidasi data dan informasi perkembangan kebijakan
pertanian, mengolah data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian,
menganalisis dan menginterpretasi data dan informasi perkembangan kebijakan
pertanian, dan merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian.
Sebagai bagian dari Agricultural Policy Monitoringand Evaluation
indikatorProducer Support Estimates (PSEs) dan indikator lainnya yang disajikan
dalam laporan ini memiliki relevansi dengan kebijakan pertanian. Pertama,
memonitor perkembangan tingkat dan komposisi dukungan (support) terhadap
sektor pertanian. Kedua, sebagai acuan dalam merumuskan instrumen kebijakan
mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikurangi atau dihapus.
Ketiga,sebagai bahan dialog untuk mewujudkan koherensi kebijakan (policy
coherence)di tingkat global.
Ucapan terima kasih ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membantu dan
mendukung terlaksananya kegiatan yang disajikan dalam laporan ini. Kritik dan
saran tetap diharapkan demi penyempurnaan isilaporan ini agar bermanfaat bagi
yang berkepentingan.
Bogor, September 2016
Kepala Pusat,
Dr. Ir. Abdul Basit, MS
NIP. 196109291986031003
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
1. Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian diterapkan melalui beberapa
instrumen kebijakan. Besaran dan komposisi dukungan yang diberikan kepada sektor pertanian, serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu, perlu dianalisis sebagai bahan perbaikan kebijakan pembangunan pertanian kedepan.
2. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mengembangkan metodologi Producer Support Estimate (PSE) dan beberapa
indikator lainnya yang dirancang khusus untuk memonitor sekaligus mengevaluasi tingkat serta komposisi dukungan yang diberikan terhadap sektor
pertanian, untuk negara-negara anggota OECD dan negara mitra, termasuk Indonesia.
3. Relevansi analisis tersebut bagi kebijakan pembangunan pertanian Indonesia adalah: (a) mengetahui perkembangan tingkat dan komposisi dukungan (support) terhadap sektor pertanian; (b) sebagai acuan dalam merumuskan
instrumen kebijakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikurangi atau dihapus; dan (c) partisipasi Indonesia dalam analisis PSE tingkat
global sebagai bahan dialog untuk mewujudkan koherensi kebijakan (policy coherence) antar negara.
4. Tujuan kajian ini adalah: (a) mengumpulkan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian; (b) memvalidasi data dan informasi perkembangan
kebijakan pertanian; (c) mengolah data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian; (d) menganalisis dan menginterpretasi data perkembangan indikator
dukungan (support) terhadap sektor pertanian; dan (e) merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian ke depan.
METODOLOGI
5. Metodologi perhitungan PSE dan indikator-indikator terkaitmengandung enam prinsip dasar, yaitu: (a) dukungan terhadap produsen pertanian merupakan
kriteria kunci kebijakan yang memiliki dua syarat (i) kebijakan harus secara eksplisit atau implisit memberikan dukungan baik dalam bentuk dana maupun berupa barang atau jasa; dan (ii) kebijakan tersebut harus ditujukan kepada
produsen pertanian; (b) tidak ada pertimbangan terkait dengan sifat, tujuan, dan dampak ekonomi dari kebijakan; (c) kebijakan yang secara umum berlaku untuk
seluruh sektor ekonomi tidak dianggap sebagai dukungan terhadap sektor pertanian; (d) dukungan kebijakanpertanian diukur secara garis besar (bruto); (e) acuan dukungan adalah di tingkat petani (farm gate level); (f) dukungan
terhadap produsen diklasifikasikan menurut kriteria implementasi, dimana penyediaannya adalah untuk petani atau menurut kondisi kelayakan.
iv
6. Data dan informasi sebagian besar berasal dari sumber sekunder yang menyebar di beberapa Kementerian/Lembaga terkait. Kunjungan lapang dilakukan untuk
mendapatkan gambaran nyata (cross-check) serta melakukan validasi data dan informasi dari sumber primer. Lokasi kunjungan lapang adalah di Kabupaten
Malang, Provinsi Jawa Timur.
7. Data dan informasi yang diperlukan untuk analisis ini meliputi 15 komoditas (padi, jagung, kedele, kelapa sawit, kakao, ubikayu, pisang, gula, karet, kopi, susu, daging sapi, daging babi, daging unggas, dantelur). Cakupan waktunya
adalah tahun 2013-2015.
HASIL DAN PEMBAHASAN
8. Subsidi BBM diturunkan sejak bulan Nopember 2014 dan kemudian dihapuskan
bulan Januari 2015 (kecuali subsidi untuk solar sebesar Rp.1000/liter). Perubahan kebijakan ini telah melepaskan sumberdaya fiskal, yang sebagian
akan digunakan untuk mendorong peningkatan produksi pertanian, terutama infrastruktur.
9. Kabinet baru yang mulai bertugas bulan Oktober 2014 telah menekankan kembali komitmen untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pangan pokok (beras, jagung, kedele, gula dan daging sapi). Jangka waktu pencapaian
target swasembada tersebut telah direvisi menjadi akhir tahun 2017 untuk beras, jagung dan kedele, dan akhir tahun 2019 untuk gula dan daging sapi. Telah
diluncurkan pula perubahan kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut, yang juga mencakup upaya-upaya untuk mendorong produksi komoditas strategis
lainnya seperti cabe, bawang merah, kentang dan kakao.
10. Anggaran yang dihemat dari subsidi BBM sebagian telah dialokasikan untuk membiayai infrastruktur irigasi, sebagian besar untuk mendukung peningkatan
produksi padi. Dalam rangka mendukung target tersebut, Kementerian Pertanian berkomitmen akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp.4,2 trilyun
untuk membiayai rehabilitasi jaringan irigasi seluas 1,5 juta ha, bersamaan dengan upaya optimalisasi lahan untuk produksi padi seluas 500 ribu ha.
11. Pemerintah membatasi impor beberapa komoditas pertanian strategis (komoditas yang masuk dalam target swasembada) dan memungut pajak ekspor terhadap beberapa komoditas, seperti CPO dan kakao. Sejak tahun 2008
setiap importir harus terdaftar sebagai importir terdaftar yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor produk olahan dari daging,
serealia, gula, dan kakao. Pembatasan serupa berlaku juga untuk impor ternak dan produk ternak pada tahun 2011.
12. Indonesia tetap mempertahankan sistem kuota untuk impor daging sebagai
bagian dari target swasembada untuk komoditas tersebut. Kuota impor ditetapkan setiap tahun untuk sapi bakalan, dan daging beku (boxed beef) secara terpisah berdasarkan perkiraan selisih antara permintaan dan penawaran.
v
13. Nilai PSE sektor pertanian meningkat dari Rp.3,2 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp.348,5 trilyun tahun 2013-2015. Sebagian besar dari dukungan
tersebut berupa perlindungan harga yang mencapai 75,5% tahun 1995-1997 dan 84,4% tahun 2013-2015.
14. Selain dukungan yang langsung ditujukan kepada petani (PSE) ada beberapa intrumen dukungan pemerintah untuk sektor pertanian secara keseluruhan,
yaitu: (a) dukungan pelayanan umum (General Services Support Estimate, GSSE); dan (b) transfer pemerintah kepada konsumen.
15. Nilai GSSE meningkatdari Rp.1,1 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp.22,0
trilyun tahun 2013-2015 (5,2 % dari TSE). Komponen terbesar darikelompok pengeluaran tersebut adalah biaya untuk pembangunan dan rehabilitasi
infrastruktur yang mencapai 72,8% tahun 1995-1997 dan 76,4% tahun 2013-2015. Secera keseluruhan, nilai total dukungan kepada sektor pertanian mencapai Rp.423,2 trilyun tahun 2013-2015.
16. Secara umum nilai PSE menunjukkan trend peningkatan dari 3,9% tahun 1995-1997 menjadi 24,6% tahun 2012-2014. Artinya sekitar 24,6% dari nilai produksi
pertanian adalah transfer dari pembayar pajak dan konsumen. Perbandingan nilai PSE antar negara menunjukkan bahwa PSE sektor pertanian Indonesia
tahun 2013-2015 lebih tinggi dari Tiongkok (20,1%), Uni Eropa (19%) dan rata-rata OECD (17,4%).
17. Negara-negara seperti Australia dan Selandia baru yang dikenal sebagai
produsen dan eksportir produk pertanian yang kompetitif ternyata memperoleh dukungan pemerintah yang relatif kecil. Keunggulan mereka terletak pada
sistem inovasi, infrastruktur yang memadai dan iklim usaha yang kondusif.
18. Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara
signifikan dari 0,8% tahun 1995-1997 menjadi 4,6% tahun 2013-2015. Pada tahun 2013-2015 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi, diatas Tiongkok (3,2%), Uni Eropa (0,7%) rata-rata OECD (<0,7%).
19. Trend jangka panjang, serupa dengan PSE, nilai TSE di banyak negara maju cenderung menurun, sementara di negara berkembang (terutama Indonesia dan
Tiongkok) menunjukkan trend peningkatan.
20. Nominal Protection Coeficient (NPC) di Indonesia meningkat tajam dari 1,03
tahun 1995-1997 menjadi 1,32 tahun 2013-2015. Artinya harga-harga komoditas pertanian di dalam negeri 32% lebih tinggi dari harga-harga komoditas serupa di pasar internasional. Hal yang sama juga terjadi di Tiongkok
dimana NPC meningkat dari 1,0 menjadi menjadi 1,23 pada periode yang sama.
Kesimpulan
21. Dukungan (support) terhadap sektor pertanian yang diukur dengan Producer’s Support Estimate (PSE) menunjukkan trend peningkatan dan lebih tinggi dari Tiongkok, Uni Eropa maupun negara-negara anggota OECD. Sekitar 84,4% dari
dukungan tersebut adalah berupa perlindungan harga yang menyebabkan harga domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hasil analisis ini
vi
membantah anggapan umum bahwa dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian relatif kecil.
22. Transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian meliputi: (a) transfer atas penggunaan input dalam bentuk subsidi pupuk dan benih/bibit maupun bantuan
alat dan mesin pertanian; (b) transfer berupa pelayanan di tingkat usahatani, terutama penyuluhan; dan (c) transfer pemerintah dalam rangka bantuan
bencana alam. Komponen yang paling tinggi adalah transfer untuk subsidi pupuk.
23. Selain dukungan langsung kepada petani (PSE), dukungan pemerintah untuk
sektor pertanian juga meliputi: (a) dukungan pelayanan umum (General Services Support Estimate, GSSE); dan (b) transfer kepada konsumen.
Komponen terbesar dari kelompok pengeluaran GSSE adalah biaya untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur yang mencapai sekitar 76,4% dari total GSSE.
24. Walaupun nilai PSE Indonesia bukan yang tertinggi, namun dengan kontribusi pertanian dalam PDB nasional yang masih relatif besar, maka nilai dukungan
terhadap sektor pertanian menjadi beban yang relatif besar terhadap ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya bagi negara-negara maju seperti anggota
OECD, walaupun secara absolut nilai dukungan pertanian cukup besar namun secara relatif dibanding dilai PDB negara-negara tersebut relatif kecil.
Implikasi Kebijakan
25. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga terutama dalam rangka mencapai swasembada pangan berdampak pada
peningkatan harga pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya menurunkan asupan gizi, terutama bagi penduduk miskin. Dalam jangka
panjang, prioritas kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan produktivitas melalui sistem inovasi, pembangunan infrastruktur dan mempermudah investasi
swasta.
26. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah subsidi pupuk yang secara kumulatif lebih banyak dinikmati oleh petani berlahan
luas dan produsen pupuk. Skema yang lebih efisien adalah menkonversi subsidi tersebut kedalam sistem transfer yang khusus ditargetkan untuk para petani
kecil.
27. Kebijakan pertanian Indonesia kedepan sebaiknya mengacu pada negara-negara
yang pertaniannya relatif maju namun dukungan terhadap pertanian yang relatif rendah (seperti Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan dan Chili). Sebaliknya kebijakan dukungan di negara-negara OECD yang memberikan
subsidi input dan transfer pendapatan relatif besar tidak dapat dijadikan acuan mengingat sifatnya yang mendistorsi pasar dan membebani anggaran
pemerintah yang cukup besar.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii
RINGKASAN EKSEKUTIF.............................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN.............................................................. xii
I. PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang........................................................................ 1
1.2. Tujuan Penelitian..................................................................... 2
1.3. Keluaran Penelitian................................................................... 2
II. METODOLOGI................................................................................... 3
2.1. Kerangka Pemikiran................................................................. 3
2.2. Lokasi dan Jadwal Penelitian...................................................... 4
2.3. Pengumpulan Data dan Informasi.............................................. 4
2.4. Analisis Data dan Informasi....................................................... 5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 7
3.1. Perkembangan Kebijakan Pertanian........................................... 7
3.1.1. Kebijakan Domestik....................................................... 7
3.1.2. Kebijakan Perdagangan................................................. 9
3.2. Besaran dan Komposisi Dukungan (Support) Terhadap Sektor
Pertanian............................................................................
11
3.2.1. Perkembangan APBN Untuk Mendukung Kedaulatan
Pangan............................................................................
11
viii
3.2.2. Dukungan langsung Kepada Petani.................................. 13
3.2.3. Total Bantuan Langsung Kepada Sektor Pertanian (Total
Support Estimate, TSE)..................................................
15
3.3. Analisis Indikator Dukungan Terhadap Sektor Pertanian............... 17
3.3.1. Total Support Estimate (TSE) ......................................... 20
3.3.2. Produser Support Estimate (PSE) ................................... 25
3.3.3. Nominal Protection Coeficient (NPC) untuk Produsen......... 27
3.3.4. Single Commodity Transfer (SCT) ................................... 28
3.4. Persepsi Petani dan Stakeholder terhadap Dukungan pada Sektor
Pertanian..................................................................................
29
3.4.1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ( BPTP) Jawa Timur 29
3.4.2. Dinas Pertanian Dan Perkebunan Kabupaten Malang........ 30
3.4.3. Dukungan Terhadap Petani Sayuran................................ 37
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN........................................... 41
4.1. Kesimpulan.................................................................... 41
4.2. Implikasi Kebijakan......................................................... 42
Daftar Pustaka............................................................................. 43
Lampiran..................................................................................... 44
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Sumber Data dan Informasi................................................................. 5
2. Rincian Data dan Informasi Perkembangan Kebijakan Pertanian............. 5
3. Anggaran Kedaulatan Pangan, 2011 2016 (Triliun rupiah)...................... 12
4. Besaran dan komposisi Dukungan (Support) di sektor pertanian, 1995-
1997 dan 2013-2015 (Rp. Juta)...........................................................
18
5. Alokasi persasaran pembangunan tahun 2015....................................... 34
6. Perbandingan Pencapaian Kinerja dan Anggaran 2015........................... 34
7. Rekapitulasi Alsintan Sumber Dana APBN TA. 2016............................... 36
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Pangsa Nilai Tambah Pertanian dan TSE tahun 1995-1997 dan 2013-
2015...............................................................................................
20
2. Pangsa TSE terhadap GDP menurut negara, tahun 1995-1997 dan
2013-2015 ....................................................................................
22
3. Rasio TSE terhadap Nilai Tambah Pertanian menurut negara, tahun
1995-1997 dan 2013-2015...............................................................
23
4. Komposisi TSE menurut negara, tahun 1995-1997 dan 2013-2015...... 24
5. Perkembangan dan komposisi PSE Indonesia, 1995-2015................... 25
6. Komposisi PSE menurut negara, 2013-2015 (% thd GDP).................. 26
7. Nominal Protection Coefficient (NPC) menurut negara, 1995-97 dan
2013-15..........................................................................................
27
8. Pangsa SCT seluruh negara, 1995-1997 dan 2013-2015..................... 28
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar Lampiran tabel Halaman
1. Perkembangan Pengeluaran Publik untuk Pelayanan Umum, 1990-
2013 (Rp Milyar)........................................................................
44
xii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Amber Box Semua subsidi domestik dalam sektor pertanian yang
dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan
ADB Asian Development Bank
AoA Agreement on Agriculture
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APM Agricultural Policy Monitoring
Bakorluh Badan Koordinasi Penyuluhan
BI Bank Indonesia
Bimas Bimbingan Massal
Blue Box Amber box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk
mengurangi distorsi
BPP Balai Penyuluhan Pertanian
BPPSDMP Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian
BPS Badan Pusat Statistik
BULOG Badan Urusan Logistik
CGSSE General Service Support Estimate
CPO Crude Palm Oil
CSE Consumer Support Estimate
DAK Dana Alokasi Khusus
Development Box Perlakuan khusus dan berbeda (special and differential
treatment) untuk negara berkembang dalam AoA
Ditjen Direktorat Jenderal
FGD Focus Group Discussion
MD Food and Mouth and Disease
GDP Gross Domestic Product
Green Box Bentuk subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada
sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan, sehingga
tidak perlu dikurangi (subsidi tersebut harus dibiayai dari
anggaran pemerintah dan tidak termasuk subsidi harga)
HPP Harga Pembelian Pemerintah
IB Inseminasi Buatan
Kementan Kementerian Pertanian
xiii
Lao PDR Lao People's Democratic Republic
Litbang Penelitian dan Pengembangan
OECD Organization for Economic Co-operation and Development
PPHP Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
PPN Pajak Pertambahan Nilai
PSE Producer Support Estimate
PSE-KP Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
PSP Prasarana dan Sarana Pertanian
PUMK Penguatan Modal Usaha Grup
PUPR Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
RASKIN Beras untuk Orang Miskin
Ristek Riset dan Teknologi
STA Sub-Terminal Agribisnis
TA Tahun Anggaran
UPT Unit Pelaksana Teknis
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian diterapkan melalui beberapa
instrumen kebijakan. Besaran dan komposisi dukungan yang diberikan kepada sektor
pertanian, serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu, perlu dianalisis
sebagai bahan perbaikan kebijakan pembangunan pertanian kedepan. Dalam
konteks global, perbandingan ltingkat dukungan antar negara merupakan input
penting dalam dialog koherensi kebijakan pertanian global. Aspek tersebut
diperlukan baik oleh para pembuat dan analis kebijakan, peneliti, akademisi, maupun
pemangku kepentingan lainnya.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah
mengembangkan metodologi Producer Support Estimate (PSE) dan beberapa
indikator lainnya yang dirancang khusus untuk memonitor sekaligus mengevaluasi
tingkat serta komposisi dukungan yang diberikan terhadap sektor pertanian. Semula
seperangkat indikator tersebut digunakan khusus untuk lingkup negara-negara
anggota OECD. Selanjutnya, cakupan negara dalam pengukuran tingkat dukungan
tersebut diperluas ke negara-negara mitra (enhanced engagement countries), yaitu
Afrika Selatan, Brazil, China, Indonesia, Kazakhstan, Rusia, dan Ukraina. Pada tahun
2015 bahkan diperluas lagi meliputi Kolumbia dan Viet Nam. Secara keseluruhan ada
34 negara yang tercakup dalam analisis tersebut.
Khusus untuk Indonesia, pada tahun 2012, OECD bekerja sama dengan
Kementerian Pertanian telah menerbitkan laporan yang berjudul "OECD Review on
Agricultural Policies: Indonesia", yang didalamnya antara lain juga memuat
perhitungan mengenai PSE. Mulai tahun 2013 dan selanjutnya, dilakukan
pembaharuan tentang kebijakan terkait sektor pertanian, termasuk perhitungan PSE,
yang diterbitkan dalam laporan "Agricultural Policy Monitoring and Evaluation” yang
meliputi negara-negara anggota OECD dan negara-negara mitra termasuk Indonesia.
Laporan tersebut memuat informasi tentang perkembangan kebijakan terkait dengan
sektor pertanian, perdagangan, dan lain-lain.
2
Relevansi analisis tersebut bagi kebijakan pembangunan pertanian Indonesia
adalah: (1) mengetahui perkembangan tingkat dan komposisi dukungan (support)
terhadap sektor pertanian; (2) sebagai acuan dalam merumuskan instrumen
kebijakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikurangi atau
dihapus; dan (3) partisipasi Indonesia dalam analisis PSE tingkat global sebagai
bahan dialog untuk mewujudkan koherensi kebijakan (policy coherence) antar
negara.
Analisis sebelumnya yang mencakup periode tahun 1990-2012, perlu
diperbaharui sesuai dengan perkembangan kebijakan yang telah dilaksanakan dalam
periode tahun 2013-2015. Dalam jangka panjang, inisiatif ini akan memposisikan
PSE-KP sebagai pusat referensi untuk analisis dalam aspek tersebut.
1.2. Tujuan Penelitian
Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan
kebijakan pertanian dan pembaruan indikator PSE tahun 2013-2015. Secara khusus
tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
4. Mengumpulkan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;
5. Memvalidasi data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;
6. Mengolah data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;
7. Menganalisis dan menginterpretasi data perkembangan indikator dukungan
(support) terhadap sektor pertanian; dan
8. Merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian ke depan.
1.3. Keluaran Penelitian
Berdasarkan tujuan di atas, keluaran kegiatan ini adalah:
1. Terkumpulnya data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;
2. Validasi data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;
3. Hasil pengolahan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;
4. Hasil pengolahan data perkembangan indikator dukungan (support) terhadap
sektor pertanian;
5. Rumusan alternatif kebijakan pertanian ke depan.
3
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Metodologi PSE dan indikator-indikator terkait mengandung enam (6) prinsip
dasar. Prinsip pertama, kedua, dan ketiga berhubungan dengan lingkup penentuan
langkah dan pertimbangan terkait dengan identifikasi kriteria kebijakan mendukung
sektor pertanian diantara berbagai kebijakan sektor lainnya. Sementara itu, prinsip
keempat, kelima, dan keenam menyangkut tentang pentingnya cara pengukuran
melalui interpretasi indikator-indikator dalam metodologi ini. Uraian umum tentang
keenam prinsip tersebut masing-masing sebagai berikut:
Pertama: dukungan terhadap produsen pertanian merupakan kriteria kunci
kebijakan. Prinsip ini memiliki dua syarat, yaitu: (a) kebijakan harus secara eksplisit
atau implisit memberikan dukungan baik dalam bentuk dana maupun berupa barang
atau jasa; dan (b) kebijakan tersebut harus ditujukan kepada produsen pertanian.
Kedua: tidak ada pertimbangan terkait dengan sifat, tujuan, dan dampak ekonomi
dari kebijakan. Kata “dukungan” adalah hal positif (positive externalities) yang
diterima produsen, bukan bersifat “subsidi” mendukung produksi pertanian.
Ketiga: kebijakan yang secara umum berlaku untuk seluruh sektor ekonomi tidak
dianggap sebagai estimasi dukungan terhadap sektor pertanian, kendati dukungan
tersebut bersifat ke dan atau dari sektor pertanian. Dengan kata lain, prinsip ini
secara tegas menyatakan bahwa dukungan kebijakan adalah spesifik untuk sektor
pertanian.
Keempat: dukungan kebijakan pertanian diukur secara garis besar (bruto). Oleh
karena itu, pada prinsip ini terkandung makna bahwa tidak ada penyesuaian-
penyesuaian biaya yang terjadi dalam kaitannya dengan bantuan yang diterima
produsen, misalnya biaya peningkatan produksi atau pembayaran untuk pemenuhan
kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi, biaya-biaya seperti penyimpanan dan
pemasaran termasuk dalam prinsip ini. Dalam pengertian lebih jauh, prinsip ini lebih
menekankan “upaya” dari pada “akibat”.
4
Kelima: acuan dukungan adalah di tingkat petani (farm gate level). Prinsip ini
menegaskan bahwa dukungan yang diberikan adalah untuk produsen utama
pertanian. Dengan demikian, keberadaan “konsumen” adalah pembeli langsung ke
petani seperti penggilingan, pabrik gula, dan pengolah susu.
Keenam: dukungan terhadap produsen diklasifikasikan menurut kriteria
implementasi, dimana penyediaannya adalah untuk petani atau menurut kondisi
kelayakan. Prinsip ini menggarisbawahi bahwa berbagai implementasi kebijakan yang
digunakan adalah untuk mendukung sektor pertanian terkait dengan produksi,
perdagangan, pendapatan, dan lingkungan.
Selain itu ada beberapa hal yang perlu ditekankan dalam metodologi dan
aplikasi PSE. Pertama, indikator-indikator yang digunakan dalam metodologi ini
adalah representasi kebijakan komprehensif terhadap sektor pertanian. Kedua, tiap
indikator merupakan komponen pokok yang mengandung dimensi khusus dalam
suatu kesatuan sistem yang saling melengkapi. Ketiga, seperangkat data dasar
(database) baik PSE maupun CSE (Consumer Support Estimate) dan CGSSE (General
Service Support Estimate) memiliki banyak sumber informasi kebijakan lingkup
internasional yang diperbarui secara berkala.
2.2. Lokasi dan Jadwal Kegiatan
Kegiatan dilakukan selama empat bulan, mulai Februari hingga Mei 2016. Data
dan informasi sebagian besar berasal dari sumber sekunder yang menyebar di
beberapa instansi terkait. Kunjungan lapang dilakukan untuk mendapatkan
gambaran nyata (cross-check) serta melakukan validasi data dan informasi dari
sumber primer. Lokasi kunjungan lapang adalah di kabupaten Malang Provinsi Jawa
Timur.
2.3. Pengumpulan Data dan Informasi
Data dan informasi kegiatan ini sebagian besar berasal dari sumber sekunder
dan sebagian lagi dari sumber primer. Beberapa data dan informasi sekunder
dikumpulkan dari berbagai instansi baik lingkup Kemeterian Pertanian maupun
5
instansi terkait lainnya. Data dan informasi primer berasal dari pelaku pertanian
(petani, pedagang, dan lain-lain) yang diperlukan untuk mendukung data dan
informasi sekunder. Sumber data dan informasi sekunder disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sumber Data dan Informasi
No. Kementerian Pertanian No. Kementerian/Lembaga Lainnya
1. Badan Karantina Pertanian 1. BPS (Badan Pusat Statistik) 2. Badan Ketahanan Pangan 2. Perum BULOG 3. Badan Litbang Pertanian 3. BI (Bank Indonesia) 4. Sekretariat Jenderal Kementan 4. Ditjen Anggaran, Kemenkeu 5. BPPSDMP 5. Ditjen Pengairan, Kemen PUPR 6. Ditjen Tanaman Pangan 7. Ditjen Perkebunan
8. Ditjen Hortikultura 9. Ditjen Peternakan dan Keswan
10. Ditjen PSP
2.4. Analisis Data dan Informasi
Secara garis besar, data dan informasi yang dikumpulkan terkait dengan
perkembangan kebijakan pertanian (policy development) dan sektor terkait lainnya.
Rincian data dan informasi yang dikumpulkan dapat diperhatikan pada Tabel 2.
Analisis data dan informasi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah
indikator PSE dan indikator-indikator terkait lainnya. Metode ini mengandung
beberapa prinsip mendasar yang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.
Pertama, berhubungan dengan lingkup penentuan langkah dan pertimbangan
terkait dengan identifikasi kriteria kebijakan mendukung sektor pertanian diantara
berbagai kebijakan sektor lainnya. Kedua, menyangkut pentingnya cara pengukuran
melalui interpretasi indikator-indikator dalam metode ini.
Tabel 2. Rincian Data dan Informasi Perkembangan Kebijakan Pertanian
No. Uraian Keterangan
1. Main policy instruments Updated kebijakan swasembada pangan
2. Domestic policy development (a) HPP gabah dan kedelai serta
provenue gula; (b) RASKIN; (c) subsidi pupuk; (d) subsidi benih; (e) bantuan alat pascapanen; (f) perkreditan; (g)
pembangunan dan rehabilitasi irigasi; (h) perubahan kebijakan PPn; dan (i)
asuransi, penyuluhan, dan lain-lain.
6
3. Trade policy development (2012-2014)
(a) quantitative import restrictions; (b)
quantitative limits of beef imports; (c) import from country free from FMD (based on zones); (d) food safety, quarantine, and standards and labelling purposes; (e) import on horticultural products; (f) export tax on CPO and cocoa bean; dan (g) new policy initiatives
Data dan informasi yang diperlukan untuk analisis ini meliputi 15 komoditas
(rice, maize, soybeans, palm oil, cocoa beans, cassava, bananas, sugar cane, rubber,
coffee, raw milk, beef and veal, pigmeat, poultry, and eggs). Cakupan waktunya
adalah tahun 2013-2014 dan tahun-tahun sebelumnya untuk beberapa variable yang
perlu ditelusuri (check) kembali. Data dan informasi dianalisis dalam format work
sheet excel yang antara lain meliputi: (1) domestic farm-gate prices; (2) agro food-
trade (export and import volume and value); (3) border prices, tariffs, export taxes;
(4) wholesale prices margin; (5) production and consumption (food balance sheet);
(6) value of agricultural production; (7) feed use of crops; (8) budget on agricultural
development by type; (9) exchange rates; dan (10) gross domestic product (GDP).
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini diawali dengan deskripsi tentang struktur dukungan terhadap sektor
pertaian. Berikutnya analisis indikator dukungan terhadap sektor pertanian dan
persepsi petani terhadap dukungan pada sektor pertanian.
3.1. Perkembangan Kebijakan Pertanian
3.1.1. Kebijakan Domestik
Ada beberapa perkembangan dalam kebijakan pertanian domestik pada tahun
2014-2015. Tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, telah terjadi perubahan
dalam subsidi BBM yang mulai diturunkan sejak bulan Nopember 2014 dan kemudian
dihapuskan bulan Januari 2015 (kecuali subsidi untuk solar sebesar Rp.1000/liter).
Perubahan kebijakan ini telah melepaskan sumberdaya fiskal, yang sebagian akan
digunakan untuk mendorong peningkatan produksi pertanian, terutama infrastruktur.
Kabinet baru yang mulai bertugas bulan Oktober 2014 telah menekankan
kembali komitmen untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pangan pokok
(beras, jagung, kedele, gula dan daging sapi). Tetapi jangka waktu pencapaian
target swasembada tersebut telah direvisi menjadi akhir tahun 2017 untuk beras,
jagung dan kedele, dan akhir tahun 2019 untuk gula dan daging sapi. Telah
diluncurkan pula perubahan kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut, yang juga
mencakup upaya-upaya untuk mendorong produksi komoditas strategis lainnya
seperti cabe, bawang merah, kentang dan kakao. Khusus untuk kakao, paket
kebijakan bernilai Rp.101,7 milyar yang difokuskan pada intensifikasi, rehabilitasi
tanaman tua, perluasan areal tanam, pemberdayaan petani dan peningkatan
qualitas.
Perlindungan harga untuk beberapa komoditas terus dipertahankan. Petani
tebu dan yang terbaru petani kedele memperoleh insentif harga pembelian minimum
oleh BULOG untuk kedele dan pabrik gula untuk tebu. Untuk gula, harga provenue
tahun 2012 terus berlaku sampai tahun 2013 sebesar Rp.8 100/kg yang kemudian
dinaikan menjadi Rp.8 500/kg pada tahun 2014. Untuk kedele, HPP untuk pembelian
8
oleh BULOG ditetapkan sebesar Rp.7 000/kg, namun belum efektif karena belum
jelas skema pembiayaannya.
Untuk beras, BULOG terus mendapat mandat untuk melakukan operasi pasar
dan pembelian gabah dari petani. Tetapi karena hambatan perdagangan dalam
rangka pencapaian swasembada, harga beras di dalam negeri selalu lebih tinggi dari
harga di pasar internasional. Menurut Bank Dunia (2015), harga beras di tingkat
eceran di Indonesia sekitar 30-50% lebih tinggi dari harga beras di beberapa negara
ASEAN. Selama tahun 2013-2014, HPP gabah dan beras tidak pernah dinaikan, dan
baru pada bulan Maret tahun 2015, HPP gabah dinaikan menjadi Rp. 3.700/kg GKP
di tingkat petani dan Rp.4.650/GKG di gudang BULOG, sedangkan harga beras
menjadi Rp.7.300/kg di gudang BULOG. Kebijakan harga beras tetap merupakan
komponen terbesar dalam dukungan terhadap sektor pertanian yang diukur dengan
Producer Support Estimate (PSE), dengan kontribusi sebesar 45% terhadap PSE
tahun 2014.
Untuk melindungi konsumen keluarga miskin, BULOG terus menyalurkan beras
melalui program RASKIN. Pada tahun 2012, anggaran untuk kebijakan ini mencapai
Rp.19,1 trilyun, yang meningkat menjadi Rp.20,3 trilyun tahun 2013 dan menurun
kembali menjadi Rp.18,8 trilyun tahun 2014. Namun analisis yang dilakukan OECD
(2015a) baru-baru ini mempertanyakan efektifitas dari kebijakan ini dalam
meningkatkan ketahanan pangan dan merekomendasikan untuk merubahnya
menjadi bantuan langsung tunai (BLT) atau kupon pangan (food voucher) .
Anggaran yang dihemat dari subsidi BBM sebagian telah dialokasikan untuk
membiayai infrastruktur irigasi, sebagian besar untuk mendukung peningkatan
produksi padi. Pada tahun 2015, 10 Gubernur dari propinsi penghasil padi telah
sepakat untuk meningkatkan produksi padi sebesar 11,5 juta ton. Dalam rangka
mendukung target tersebut, Kementerian Pertanian berkomitmen akan
mengalokasikan anggaran sebesar Rp.4,2 trilyun untuk membiayai rehabilitasi
jaringan irigasi seluas 1,5 juta ha, bersamaan dengan upaya optimalisasi lahan untuk
produksi padi seluas 500 ribu ha. Peningkatan pembiayaan tersebut diluar
9
pengecualian dimana petani dibebaskan dari iuran irigasi untuk mengalirkan air ke
jaringan tersier melalui jaringan primer dan sekunder. Pada tahun 2012, anggaran
untuk infrastruktur irigasi sebesar Rp.2,2 trilyun yang meningkat menjadi Rp.3,8
trilyun tahun 2013.
Peningkatan subsidi untuk berbagai macam sarana produksi telah disampaikan
untuk mendorong peningkatan produksi dan pencapaian target swasembada.
Sebagai contoh, di akhir tahun 2014 Kementerian Pertanian menyalurkan bantuan
langsung kepada petani padi di 13 propinsi, yang berjumlah Rp.2 trilyun. Anggaran
tersebut digunakan untuk membiayai pembelian 7 800 traktor tangan, 3 000 pompa
air, 100 alat tanam, selain subsidi pupuk dan benih. Tambahan 6 100 traktor tangan
dan 2 328 pompa air telah dijanjikan sebagai bagian dari dukungan kepada propinsi-
propinsi sentra produksi padi. Secara keseluruhan, subsidi pupuk tetap merupakan
kebijakan terpenting dalam kerangka dukungan pemerintah terhadap sektor
pertanian. Pada tahun 2013, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp.17,6 trilyun atau
41% dari total nilai dukungan terhadap sektor pertanian (dukungan langsung kepada
petani dan sektor pertanian secara umum, seperti diukur dari General Services
Support Estimate, GSSE).
Pada bulan September 2014, DPR menyetujui perubahan UU Perkebunan yang
mengatur kepemilikan asing terhadap perusahaan perkebunan. Pada awalnya UU
tidak mengatur batas kepemilikan saham asing secara spesifik, UU yang baru
menetapkan bahwa pengaturan kepemilikan saham asing menjadi kewenangan
kewenangan menurut kasus per kasus berdasarkan jenis tanaman, ukuran
perusahaan, dan interest nasional serta petani. Pada tahun 2013 pemerintah
mengecualikan penerapan PPN untuk komoditas perkebunan, beberapa komoditas
pangan, tanaman hias dan produk kayu yang dijual di pasar dalam negeri.
3.1.2. Kebijakan Perdagangan
Pemerintah membatasi impor beberapa komoditas pertanian strategis
(komoditas yang masuk dalam target swasembada) dan memungut pajak ekspor
terhadap beberapa komoditas, seperti CPO dan kakao. Untuk CPO, dihadapkan
10
dengan menurunnya harga CPO di pasar dunia pemerintah menurunkan pajak ekspor
dari 15% tahun 2013 menjadi 9%, dan mengikuti langkah yang dilakukan Malaysia,
sementara menangguhkan penerapan pajak ekspor sejak bulan Oktober 2014.
Skema penerapan pajak ekspor yang serupa tetapi lebih sederhana telah diterapkan
pula untuk biji kakao sejak bulan April 2010 dengan skala yang progresif sesuai
harga pasar kakao dunia yang berlaku di New York. Pajak ekspor bervariasi sekitar
5-15% sejak pertama kali diterapkan dan pada tahun 2014-2015 pajak ekspor sekitar
10% berhubung rendahnya harga kakao di pasar dunia.
Sejak tahun 2008 setiap importir harus terdaftar sebagai importir terdaftar
yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor produk olahan dari
daging, serealia, gula, dan kakao. Pembatasan serupa berlaku juga untuk impor
ternak dan produk ternak pada tahun 2011. Sejalan dengan peraturan Menteri
Perdagangan tentang impor dan ekspor ternak dan produk ternak yang diterbitkan
tahun 2011, impor produk-produk tersebut hanya bisa dilakukan bila produksi dalam
negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tingkat harga
yang terjangkau. Pada tahun 2014, pemerintah lebih memperketat aturan impor
beras setelah menemukan beras impor ilegal di pasar lokal.
Sebagai bagian dari kebijakan pemerintah dalam produksi dan harga kedele
(insentif produksi dan stabilisasi harga bagi konsumen), pada tahun 2013 telah
dilakukan beberapa langkah untuk mengatur impor kedele. Impor hanya bisa
dilakukan oleh BULOG, BUMN lain, koperasi dan perusahaan swasta yang
berpartisipasi dalam program harga jual grosir yang tetap.
Indonesia tetap mempertahankan sistem kuota untuk impor daging sebagai
bagian dari target swasembada untuk komoditas tersebut. Kuota impor ditetapkan
setiap tahun untuk sapi bakalan, dan daging beku (boxed beef) secara terpisah
berdasarkan perkiraan selisih antara permintaan dan penawaran. Menghadapi
tingginya harga daging di pasar domestik, sejak 27 September 2013 BULOG
mendapat ijin untuk mengimpor daging dalam rangka stabilisasi harga. Kebijakan ini
jugamengecualikan BULOG dari persyaratan sebagai importir terdaftar. Harga tinggi
11
menyebabkan peningkatan kuota impor daging maupun sapi bakalan. Tetapi kuota
impor sapi bakalan kuartal I 2015 menunjukkan penurunan dari 133 507 ekor kuartal
I 2014 menjadi 100 000. Kuota tersebut terus dikurangi sehingga menjadi hanya 50
000 ekor yang langsung berdampak pada akselerasi harga daging dalam negeri dari
Rp.80 000/kg menjadi Rp.130 000/kg bulan Agustus 2015.
Peningkatan harga daging dipicu juga oleh kebijakan pelarangan impor
jagung dalam rangka melindungi petani jagung dalam negeri. Sebagai respon
terhadap permasalahan tersebut pemerintah telah menyetujui peningkatan kuota
impor sapi bakalan menjadi 250 000-300 000 pada kuartal III 2015.
Pada tanggal 14 Oktober 2014, pemerintah menerbitkan UU No.41/2014
sebagai revisi dari UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU
baru memungkinkan impor daging dari suatu zona yang telah ditetapkan bebas dari
penyakit menular seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), merubah dari UU lama
yang lebih ketat, yang hanya memperbolehkan impor dari negara yang bebas
penyakit menular. Dengan UU yang baru, impor daging dari negara yang memiliki
zona bebas penyakit seperti Brazil dan India sedang dipertimbangkan, dengan tetap
disertai prosedur karantina yang memadai.
3.2. Besaran dan Komposisi Dukungan Terhadap Sektor Pertanian 3.2.1. Perkembangan APBN Untuk Mendukung Kedaulatan Pangan
Kegagalan di pasar input pertanian biasa terjadi di negara berkembang dan
merupakan kendala utama dalam upaya meningkatkan produktivitas. Petani di
Indonesia menghadapi permasalahan harga output pertanian yang rendah dan
fluktuatif, harga pupuk yang tinggi, rendahnya akses terhadap permodalan dan
terbatasnya pengetahuan. Dalam kondisi rendahnya input dan output, subsidi input
produksi dapat sangat berperan dalam meningkatkan penggunaan pupuk dan
produktivitas pertanian. Namun demikian tidak merepresentasikan opsi kebijakan
yang dapat dilakukan dalam jangka panjang, karena hal itu tidak memecahkan akar
permasalahan dari rendahnya produktivitas pertanian.
12
Tabel 3 menunjukkan perkembangan anggaran subsidi pemerintah. Tampak
bahwa subsidi pemerintah untuk mencapai kedaulatan pangan naik dari Rp 20,2
triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 23,3 triliun pada 2012, namun kemudian terus
menurun sampai Rp 19,5 triliun tahun 2014 dan meningkat lagi pada tahun 2015
menjadi sebesar Rp 43 triliun, atau meningkat rata-rata 16,3% per tahun selama
periode 2011-2015.
Tabel 3. Anggaran Kedaulatan Pangan, 2011-2016 (Triliun rupiah) Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 Trend
((%) I. Kementerian Negara/Lembaga 20,2 23,3 22,2 19,5 43,0 16,3
(%) 35,0 36,4 34,4 28,6 36,4
1. Kementerian Pertanian 16,0 18,2 15,9 13,6 32,8 15,0
2. Kementerian PU dan PERA 4,2 5,1 6,3 5,9 10,2 20,2
II. Non-Kementerian/Lembaga 37,5 40,8 42,4 48,7 75,0 17,0
(%) 65,0 63,6 65,6 71,4 63,6
1. Subsidi 32,9 33,2 38,3 40,8 59,3 14,8
(%) 57,0 51,8 59,3 59,8 50,3
a. Subsidi Pangan 16,5 19,1 20,3 18,2 18,9 2,1
b.Subsidi Pupuk 16,3 14,0 17,6 21,0 39,5 24,6
c. Subsidi Benih 0,1 0,1 0,4 1,6 0.9 50,0
2. Belanja Lain-lain 1,5 4,4 3,0 3,5
(%) 2,6 6,9 4,4 3,0
a. Cadangan Beras Pemerintah 1,0 2,0 1,0 1,5
b. Cadangan Stabilitas Harga Pangan
Cadangan Stabilitas Harga Pangan
1,4 2,0 2,0
c. Cadangan Benih Nasional 0,5 0,3
d. Cadangan Ketahanan Pangan 0,7
3. Transfer ke Daerah (DAK) 3,1 3,2 4,1 4,9 12,2 36,2
(%) 5,4 5,0 6,4 7,2 10,3
a. DAK Irigasi 1,3 1,3 1,6 2,3 5,5 39,2
b. DAK Pertanian 1,8 1,9 2,5 2,6 6,7 33,9
Total 57,7 64,1 64,6 68,2 118,0 16,7
Sumber: Ditjen Anggaran-Kemenkeu (diolah)
Persentase anggaran untuk mencapai kedaulatan pangan yang disalurkan
melalui Kementerian Negara/Lembaga mencapai 35,0% dari total anggaran (Rp. 20,2
triliun) pada 2011 naik menjadi 36,4% (Rp 23 triliun) pada 2012 kemudian
menunjukkan penurunan menjadi hanya 28,6% pada tahun2014, namun kemudian
naik menjadi 36,4 persen pada tahun 2015. Kecenderungan yang sama ditunjukkan
oleh persentase anggaran melalui Kementerian Negara/Lembaga. Persentase
13
anggaran kedaulatan pangan yang disalurkan melalui Kementerian Pertanian naik
dari Rp 16 triliun tahun 2011 menjadi Rp 18,2 triliun tahun 2012, namun kemudian
terus menurun menjadi hanya Rp 13,6 triliun pada 2014 dan kemudian meningkat
drastis menjadi Rp 32,8 triliun atau meningkat dengan laju pertumbuhan sekitar
15,0%/tahun selama 2011-2015.
Persentase anggaran untuk subsidi mencapai 57,0% dari total anggaran
kedaulatan pangan pada 2011 meningkat sampai 59,8% tahun 2014 dan turun lagi
menjadi 50,3% pada tahun 2015. Subsidi kedaulatan pangan terdiri dari subsidi
pangan, pupuk dan benih. Subsidi pangan selama periode 2011-2013 tampak
meningkat dari Rp 16,5 triliun menjadi Rp 20,30 triliun, namun kemudian menurun
menjadi Rp 18,2 triliun pada 2014. Selain subsidi pangan, subsidi lainnya yang
sangat besar nilainya adalah subsidi pupuk yang mencapai Rp 39,5 triliun pada tahun
2015.
Anggaran kedaulatan pangan yang terkait dengan belanja lain terdiri dari
cadangan beras pemerintah, stabilitas harga pangan, cadangan benih nasional dan
ketahanan pangan. Namun, belanja lain ini tidak dianggarkan oleh pemerintah pada
tahun 2013. Anggaran kedaulatan pangan untuk cadangan ketahanan pangan hanya
dianggarkan pada tahun 2012, yaitu sebesar Rp 0,7 triliun.
Sementara anggaran kedaulatan pangan yang ditransfer ke daerah (DAK)
adalah untuk irigasi dan pertanian yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke
waktu selama 2011-2015. DAK untuk irigasi meningkat dari Rp 1,3 triliun pada 2011
menjadi Rp 5,5 triliun pada 2015 atau meningkat rata-rata sebesar 39,2 %/tahun
selama 2011-2015, sedang DAK untuk pertanian meningkat dari Rp 1,8 triliun tahun
2011 menjadi Rp 6,7 triliun pada tahun 2015 atau meningkat rata-rata sebesar 33,9
%/tahun selama 2011-2015.
3.2.2. Dukungan Langsung Kepada Petani
Kerangka kebijakan pembangunan pertanian Indonesia ditujukan untuk
membangun ketahanan pangan nasional dengan memberlakukan Undang-undang
Pangan yang baru di Tahun 2012. UU No. 18 Tahun 2012 mengamanatka bahwa
penyelenggaraan pagnan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang
14
memberikan manfaat secara adil, merata dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan
pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional.
Hal terpenting dari UU No. 18 Tahun 2012 ini disebutkan bahwa
penyelenggaraan pangan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi
pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi
persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan
tingkat kecukupan pangan, terutama bahan pokok dengan harga yang wajar dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tujuan penting lainnya juga
meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan dan pelaku
usaha pangan dan melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan
nasional.
Implementasi dari UU Pangan No. 18 Tahun 2012 diterjemahkan dalam
pencapaian kebijakan swasembada padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi.
Pencanangan kebijakan ini berdampak sangat signifikan terhadap peningkatan
bantuan (support) langsung kepada petani. Bantuan diberikan dalam bentuk subsidi
pupuk, benih dan alat mesin pertanian. Dampak dari kebijakan swasembada pangan
ini adalah terjadinya peningkatan bantuan langsung kepada petani (Producer’s
Support Estimate).
Bantuan langsung kepada petani (Producer’s Support Estimate, PSE) terdiri atas
dua komponen. Pertama, bantuan dalam bentuk perlindungan harga melalui
penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan pembatasan impor. Kedua,
bantuan dalam bentuk transfer anggaran kepada petani melalui subsidi input,
terutama pupuk dan benih/bibit. Peningkatan perlindungan harga yang signifikan ini
ditunjukkan oleh nilai rata-rata PSE sektor pertanian yang meningkat dari Rp. 2,1
trilyun pada periode 1995–1997 menjadi Rp. 348,5 trilyun selama kurun waktu 2013
– 2015. Selama tiga tahun terakhir, bantuan langsung kepada petani yang diberikan
meningkat sebesar 25 persen setiap tahunnya, seperti yang terlihat dari Tabel 3.
Sebagian besar dari dukungan tersebut berupa perlindungan harga yang
mencapai 58,1 % tahun 1995-1997 dan melonjak menjadi 84,4 % tahun 2013-2015.
15
Hal ini menunjukkan semakin besarnya intervensi harga komoditas di tingkat
produsen untuk memberikan insentif produksi yang lebih tinggi.
Dari sisi transfer anggaran pemerintah (bersumber dari pembayar pajak)
meliputi beberapa komponen, yaitu: (a) transfer atas penggunaan input, baik input
variabel (subsidi pupuk dan benih/bibit) maupun input tetap (bantuan alat dan mesin
pertanian); (b) transfer berupa pelayanan di tingkat usahatani, terutama
penyuluhan; dan (c) transfer pemerintah yang berdasarkan luas areal tanam,
terutama dalam rangka bantuan bencana alam. Namun demikian, dari berbagai
jenis transfer anggaran tersebut yang paling besar adalah transfer untuk
penggunaan input variabel (terutama subsidi pupuk) yang nilainya meningkat dari
Rp. Rp.429,6 milyar tahun 1995-1997 menjadi Rp.26,0 trilyun tahun 2013-2015.
Selama kurun waktu 3 tahun, subsidi pupuk meningkat mendekati 25,6 %/tahun dan
di tahun 2015 nilainya mencapai lebih dari Rp.40,9 trilyun.
3.2.3. Total Bantuan Langsung Kepada Sektor Pertanian (Total Support Estimate, TSE)
Selain dukungan yang langsung ditujukan kepada petani (PSE) ada
beberapa instrumen dukungan pemerintah untuk sektor pertanian secara
keseluruhan, yang dibedakan atas: (a) bantuan pelayanan umum (General Services
Support Estimate, GSSE), nilai besaran GSSE dinyatakan dalam satuan persentase
terhadap TSE; dan (b) transfer pemerintah kepada konsumen. Bantuan pelayanan
umum (GSSE) di bedakan atas: a) Teknologi dan sistem inovasi, didalamnya
mencakup beragam kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor pertanian dan
pembiayaan transfer teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, universitas
dan pihak swasta kepada para petani; b) Inspeksi dan pengawasan, didalamnya
mencakup pengeluaran pemerintah terkait aspek keamanan pangan dan
pengendalian hama dan penyakit tanaman; c) Pembangunan dan pemeliharaan
(rehabilitasi) infrastruktur, didalamnya mencakup pembangunan jaringan irigasi,
pendirian gudang, pembangunan kelembagaan pengguna infrastruktur pertanian dan
pengeluaran untuk restrukturisasi lahan; d) pemasaran dan promosi; serta e) biaya
cadangan pangan pemerintah yang dikelola BULOG. Sementara komponen transfer
16
yang dijadikan bagian perhitungan besarnya dukungan pemerintah terhadap sektor
pertanian adalah transfer dari konsumen dan transfer dari pembayar pajak.
Peningkatan bantuan langsung kepada petani (PSE) sangat mempengaruhi
besarnya total bantuan pemerintah yang dialokasikan untuk sektor pertanian. Sektor
pertanian memegang peranan yang cukup signifikan didalam perekonomian nasional,
sehingga dampak peningkatan PSE menjadikan Indonesia menjadi negara penerima
bantuan total terhadap sektor pertanian terbesar dari 23 negara yang dianalisa
dalam laporan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pertanian yang diterbitkan oleh
OECD di tahun 2016. Sementara bantuan atau dukungan yang bersifat pelayanan
umum (GSSE) memiliki pangsa yang minimal, di tahun 2013-2015 pangsanya hanya
mencapai 5,2 persen dari total support estimate (TSE).
Nilai GSSE meningkat dari Rp.1,1 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp.22
trilyun pada tahun 2013-2015 (5,2% dari TSE). Komponen terbesar dari kelompok
pengeluaran tersebut adalah biaya untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur
yang mencapai 72,8% tahun 1995-1997 dan 76,5% tahun 2013-2015.
Kebijakan perlindungan harga komoditas pertanian (terutama untuk bahan
pangan pokok) membawa konsekuensi transfer dari konsumen kepada produsen.
Dalam besaran yang lebih kecil sebagian konsumen (terutama penduduk miskin)
juga menerima transfer dari pemerintah melalui program RASKIN. Dengan
komposisi tersebut, nilai dukungan kepada konsumen mencapai Rp.-2,4 trilyun tahun
1995-1997 dan meningkat signifikan menjadi Rp.-387.7 trilyun tahun 2013-2015.
Secera keseluruhan, nilai total dukungan kepada sektor pertanian (TSE)
meningkat dari Rp.4,1 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp.423.2 trilyun tahun 2013-
2015 atau meningkat 100 kali lipat dalam kurun waktu 20 tahun. Pada tahun 2015
nilai TSE mencapai Rp.529.9 trilyun. Komponen utama dari TSE tersebut adalah
transfer dari konsumen. Hal ini berarti konsumen membayar harga komoditas jauh
lebih tinggi dari harga di perbatasan.
17
3.3. Analisis Indikator Dukungan Terhadap Sektor Pertanian
Sub bab berikut ini akan membahas analisa bantuan atau dukungan terhadap
sektor pertanian antar negara-negara yang dianalisis dalam laporan “Agricultural
Policy Monitoring and Evaluation” (2016) dengan menggunakan indikator yang sama
antar negara. Analisa dimulai dengan membandingkan total bantuan yang
disalurkan untuk sektor pertanian dan nilainya relatif terhadap GDP dan nilai tambah
sektor pertanian. Penilaian berikut ini mempertimbangkan komponen utama
penentu besarnya total dukungan, dengan turut mendiskusikan besarnya nilai
transfer yang diberikan kepada produsen yang diukur dari besarnya persentase PSE.
18
Tabel 4. Besaran dan komposisi Dukungan (Support) di sektor pertanian, 1995-1997 dan 2013-2015 (Rp. Juta)
Uraian 1995-1997 2013-2015 2013 2014 2015
1.Producer Support Estimate (PSE) 78 785 517 1 310 545 924 1 242 333 736 1 282 746 686 1 406 557 350
a.Perlindungan harga1) 2 140 286 348 536 563 258 739 919 346 595 459 440 274 309
b.Transfer atas penggunaan input: 769 754 32 013 831 24 532 409 30 602 570 40 906 513
Input variabel2) 429 579 26 045 066 19 798 916 23 523 189 34 813 093
Input tetap3) 310 214 5 649 921 4 636 261 6 977 732 5 335 770
c.Transfer pelayanan usahatani4) 29 961 318 843 97 232 101 649 757 650
d.Transfer menurut luas areal5) 6 664 595 430 482 947 1 000 000 303 342
Total nilai produksi pertanian 82 758 356 1 500 805 695 1 365 194 458 1 524 403 609 1 612 819 018
% PSE terhadap nilai produksi 3,6 24,6 20,4 24,3 29,1
2. Dukungan pelayanan umum (GSSE): 1 140 356 22 001 525 18 408 549 20 183 854 27 412 174
a.Sistim inovasi pertanian 248 204 2 454 514 2 371 251 2 200 154 2 792 138
b.Inspeksi dan pengawasan 59 838 678 452 736 876 587 483 710 998
c.Pembangunan dan rehab. infrastruktur 829 971 16 842 306 12 851 822 14 749 051 22 926 044
d.Pemasaran dan promosi 1 884 244 211 183 768 167 287 381 579
e.Cadangan pangan pemerintah 0 1 734 568 2 206 013 2 433 247 564 445
f.Lain-lain 459 47 474 58 820 46 632 36 969
3. Consumer Support Estimate (CSE) -2 504 026 -390 091 329 -313 529 318 -380 145 718 -476 598 951
a.Transfer dari konsumen ke produsen 6) -2 490 741 -387 687 989 -299 168 018 -383 000 831 -480 895 117
b.Transfer lain dari konsumen -26 503 -34 228 186 -41 385 623 -30 547 344 -30 751 590
c.Transfer ke konsumen 7) 50 433 20 034 504 20 310 112 18 800 000 20 993 400
d.Kelebihan biaya pakan -37 216 11 790 342 6 714 211 14 602 458 14 054 356
19
% CSE terhadap nilai produksi -3,3 -30,0 -25,7 -30,1 -34,4
4.Total Support Estimate (TSE) 4 107 493 423 181 852 322 473 935 417 181 883 529 889 738
a.Transfer dari konsumen 2 517 244 421 916 175 340 553 641 413 548 176 511 646 707
b.Transfer dari pembayar pajak 1 616 752 35 493 863 23 305 917 34 181 052 48 994 621
c.Penerimaan pemerintah -26 503 -34 228 186 -41 385 623 -30 547 344 -30 751 590
% TSE terhadap PDB 0,8 4,0 3,4 4,0 4,6
Keterangan:
1) Penetapan HPP dan pembatasan impor yang menyebabkan harga domestik lebih tinggi dari harga di perbatasan 2) Terutama subsidi/bantuan pupuk dan benih/bibit
3) Bantuan peralatan budidaya, panen dan pasa panen 4) Biaya penyuluhan, pemeriksaan dan sertifikasi 5) Terutama bantuan bencana alam dan serangan hama/penyakit
6) Konsumen membayar harga yang lebih tinggi dari harga pasar 7) Dalam bentuk dana RASKIN
20
3.3.1. Total Support Estimate (TSE)
Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara
signifikan dari 0,8% tahun 1995-1997 menjadi 4,0 % tahun 2013-2015.
Gambar 1. Pangsa Nilai Tambah Pertanian dan TSE tahun 1995-1997 dan 2013-2015 (Sumber : OECD, 2016)
Gambar berikut ini menunjukkan pangsa nilai tambah yang dihasilkan oleh
negara Tiongkok meningkat dari 18 % pada tahun 1995-1997 menjadi 42 % di
tahun 2013-2015. Sementara negara-negara emerging economies seperti Brazil,
Rusia dan Indonesia juga menunjukkan peningkatan pangsa nilai tambah sektor
pertanian terhadap total GDP. Indikator yang sama menunjukan penuruan nilai
tambah sektor pertanian di beberapa negara-negara maju seperti Uni Eropa,
Amerika Serikat dan Jepang. Untuk Uni Eropa besarnya nilai tambah pertanian
menurun dari 27% menjadi 13% sementara Amerika Serikat juga mengalami
penurunan dari 15% di tahun 1995-1997 menjadi kurang dari 10% di tahun 2013-
2015.
Peningkatan nilai bantuan atau dukungan total terhadap sektor pertanian di
Tiongkok, disebabkan oleh meningkatnya peran sektor pertanian didalam
pertumbuhan ekonomi Tiongkok baik dari sisi kuantitas maupun nilai. Pangsa nilai
21
tambah sektor pertanian meningkat dari 3 % di pertengahan tahun 1990-an
menjadi lebih dari 44 % di tahun 2013-2015.
Gambar-gambar berikut ini menunjukkan besarnya TSE yang diukur dalam
bentuk pangsanya terhadap GDP (persentase) dan rasio relatif terhadap nilai
tambah sektor pertanian.
Pangsa besaran TSE terhadap GDP (%)
Disaat hampir sebagian besar negara-negara pada gambar diatas
mengalami trend penurunan TSE terhadap total GDP negaranya, Tiongkok dan
Indonesia menunjukkan arah yang berlawanan. Gambar diagram diatas
mendudukan Indonesia sebagai negara dengan nilai TSE tertinggi dibandingkan
negara-negara lainnya bahkan terhadap Tiongkok sekalipun. Kondisi ini tentu saja
berdampak terhadap keputusan pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dengan kata lain selama kurun waktu 2013-
2015 telah terjadi transfer yang cukup besar dari konsumen dan para pembayar
pajak terhadap sektor pertanian. Di dalam negeri kondisi ini didukung oleh alokasi
APBN yang meningkat secara signifikan bagi Kementerian Pertanian. Dengan nilai
TSE yang tertinggi, kontribusi pertanian dalam PDB nasional yang tidak sebesar
sektor industri dan jasa, maka hal yang perlu dicatat adalah nilai dukungan
terhadap sektor pertanian menjadi beban yang relatif besar terhadap ekonomi
Indonesia secara keseluruhan.
22
Gambar 2. Pangsa TSE terhadap GDP menurut negara, tahun 1995-1997 dan 2013-2015 (Sumber : OECD, 2016)
Sebaliknya bagi negara-negara maju seperti anggota OECD, walaupun
secara absolut nilai dukungan pertanian cukup besar namun secara relatif
dibanding nilai PDB negara-negara tersebut relatif kecil. Secara agregat,
persentase TSE terhadap nilai GDP mengalami penurunan dari 1,5 persen di tahun
1995-1997 menjadi kurang dari 0,7 persen pada tahun 2013-2015. Negara-
negara dengan nilai TSE yang cukup tinggi di masa lampau, secara berkala
berupaya mengurangi nilai TSEnya. Korea, Turki, Swis dan Meksiko merupakan
contoh negara-negara yang telah menerapkan kebijakan tersebut. Negara-negara
yang memiliki TSE kurang dari 2 persen adalah Turki, Korea, Swiss, Islandia and
Jepang.
Rasio TSE relatif terhadap Nilai Tambah Sektor Pertanian
Jika uraian sebelumnya sangat bagus untuk mengilustrasikan beban bantuan
total terhadap sektor pertanian terhadap perekonomian suatu negara, uraian
berikut ini akan membahas besarnya bantuan atau dukungan relatif terhadap
23
besarnya nilai tambah sektor pertanian di suatu negara. Secara keseluruhan nilai
rasio ini berkisar antara 0,1 dan 0,3 dan hanya 5 negara yang mengalokasikan
bantuan sangat kecil (kurang dari 0,06) untuk sektor pertaniannya dibandingkan
nilai tambah yang dihasilkan. Negara-negara tersebut adalah Vietnam, Brazil,
Chili, Selandia Baru dan Australia.
Gambar 3. Rasio TSE terhadap Nilai Tambah Pertanian menurut negara, tahun
1995-1997 dan 2013-2015 (Sumber : OECD, 2016)
Komposisi TSE
Total bantuan terhadap sektor pertanian atau Total Support Estimate (TSE)
memiliki komposisi sebagai berikut: bantuan langsung kepada petani (PSE),
bantuan pelayanan umum (GSSE) dan transfer dari wajib pajak kepada petani
sebagai bagian dari bantuan langsung kepada konsumen (CSE). Di banyak negara
kontribusi PSE mendominasi besaran TSE, rata-rata nilainya mencapai 80 persen
24
dari TSE, namun demikian komposisi ini tidak berlaku untuk Amerika Serikat.
Bantuan ke konsumen diberikan melalui program Supplemental Nutrition
Assistance Program (SNAP) sebelumnya dikenal dengan istilah “food stamps” dan
beragam bantuan pangan lainnya, bantuan ini berkontribusi lebih dari 50 % dari
nilai TSE. Sedangkan bantuan pelayanan umum (GSSE) memegang kontribusi
cukup tinggi di Vietnam, Selandia Baru dan Australia dengan nilai proporsi
mendekati 50 persen dari nilai TSE.
Gambar 4. Komposisi TSE menurut negara, tahun 1995-1997 dan 2013-2015 (Sumber : OECD, 2016)
Nilai persentase TSE yang tinggi pada umumnya diasosiasikan dengan
tingginya bantuan langsung kepada petani (PSE). Salah satu bentuk bantuan
yang diberikan adalah subsidi harga yang memberikan ruang kepada negara untuk
menyalurkan bantuan langsung kepada petani dengan jumlah bantuan yang tidak
terbatas.
Pada umumnya, hampir seperenam dari pendapatan kotor yang diterima
petani didapatkan dari bantuan atau subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
25
3.3.2. Produser Support Estimate (PSE)
Nilai PSE sektor pertanian dalam periode tahun 1995-2014 berfluktuasi
tergantung pada rasio antara harga komoditas di pasar domestik dengan harga di
pasar internasional (Gambar 5). Namun demikian, secara umum nilai PSE
menunjukkan trend peningkatan dari 3,6% tahun 1995-1997 menjadi 24,6%
tahun 2013-2015. Artinya sekitar 24,6% dari nilai produksi pertanian adalah
transfer dari pembayar pajak dan konsumen. Dukungan tersebut sebagian besar
diberikan dalam bentuk perlindungan harga dan subsidi input (terutama subsidi
pupuk).
Gambar 5. Perkembangan dan komposisi PSE Indonesia, 1995-2015 Sumber: OECD (2016)
Perbandingan nilai PSE antar negara menunjukkan bahwa PSE sektor
pertanian Indonesia tahun 2013-2015 lebih tinggi dari Tiongkok sebesar 20,1%,
Uni Eropa (19,0) dan rata-rata negara OECD (17,4%). Lima negara yang
memiliki nilai PSE tertinggi pada tahun 2013-2015 adalah Norwegia (59,7%), Swis
(55,7%), Jepang (48,2%), Korea (49,7%) dan Islandia (49,1). Sebaliknya lima
negara yang memiliki nilai PSE terkecil tahun 2013-2015 adalah: Ukraina (-6,3%),
Selandia Baru (0,7%), Australia (1,6%), Afrika Selatan (3,1%) dan Chile (3,2%).
26
Dalam jangka panjang di kebanyakan negara yang dianalisis, nilai PSE
menunjukkan penurunan, sementara di beberapa negara (terutama Brazil,
Indonesia, Kazakstan dan Tiongkok) dukungan terhadap pertanian (% PSE)
cenderung meningkat. Ukraina adalah satu-satunya negara yang masih
menerapkan kebijakan yang bersifat menarik pajak terhadap sektor pertanian,
sehingga nilai PSE tahun 2013-2015 negatif.
Negara-negara seperti Australia dan Selandia baru yang dikenal sebagai
produsen dan eksportir produk pertanian yang kompetitif ternyata memperoleh
dukungan pemerintah yang relatif kecil. Keunggulan mereka terletak pada sistem
inovasi, infrastruktur yang memadai dan iklim usaha yang kondusif.
Selain besarannya, komposisi PSE juga penting mengingat dampaknya
akan berbeda terhadap sektor pertanian. Dukungan tersebut dapat berupa
perlindungan harga, transfer secara langsung kepada petani, atau bentuk
dukungan lainnya. Di beberapa negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Israel,
Turki, Kolombia, Tiongkok, Kazakhstan dan Islandia dukungan terutama diberikan
dalam bentuk perlindungan harga dan subsidi yang terkait dengan output.
Besarnya dukungan tersebut mencapai lebih 70% dari total PSE pada tahun 2013-
2015 (Gambar 6).
Gambar 6. Komposisi PSE menurut negara, 2013-2015 (% thd GDP)
Sumber: OECD (2016), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture Statistics (database), http://dx.doi.org/10.1787/agr-pcse-data-en.
27
3.3.3. Nominal Protection Coeficient (NPC) untuk Produsen
NPC menunjukkan perbandingan harga di dalam negeri dibandingkan harga
di pasar dunia. Dari Gambar 7 terlihat bahwa hanya Australia, Chile, Vietnam,
Selandia Baru dan Brazil yang harga komoditasnya terkait sangat dekat dengan
harga di perbatasan. Untuk negara-negara lainnya, harga di dalam negeri
umumnya lebih tinggi dari harga di pasar dunia, kecuali di Ukrania yang
menunjukkan harga domestik lebih rendah dibanding harga perbatasan. Di
banyak negara, perbedaan harga domestik dan harga pasar dunia menurun secara
drastis terutama di negara-negara yang memiliki NPC tinggi seperti Korea,
Norwegia, Jepang, Islandia dan Swiss. Di pihak lain, NPC di Indonesia meningkat
tajam dari 1,03 tahun 1995-1997 menjadi 1,32 tahun 2013-2015. Pada tahun
2015, NPC bahkan mencapai 1,40. Hal yang sama juga terjadi di Tiongkok dimana
NPC meningkat dari 1,0 menjadi menjadi 1,21 pada periode yang sama.
Gambar 7. Nominal Protection Coefficient (NPC) menurut negara, 1995-97 dan 2013-15 (Sumber: OECD, 2016)
28
3.3.4. Single Commodity Transfer (SCT)
Dukungan terhadap komoditas berdasarkan sinyal pasar terhadap
keputusan produsen mengakibatkan fleksibilitas petani dapam pilihan produksi.
Rata-rata SCT mengalami penurunan 15 % menjadi 12 % sejak pertengahan
1990-an. Dari Gambar 8 ditunjukkan terjadi penurunan drastis untuk komoditas
susu dan daging domba antara tahun 1995-1997 dan 2013-2015. Pangsa dalam
SCT untuk barley, wool, dan telur adalah yang terendah. Sedangkan komoditas
beras/padi dan gula memperoleh nilai dukungan yang terbesar.
Gambar 8. Pangsa SCT seluruh negara, 1995-1997 dan 2013-2015
(Sumber : OECD, 2016)
29
3.4. Persepsi Petani dan Stakeholder Terhadap Dukungan pada Sektor Pertanian
3.4.1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur
Pada tahun 2016 BPTP Jawa Timur memberikan dukungan program
pembangunan pertanian yang sedang membuat kanal atau saluran air irigasi
temuan khususnya dari petani padi yang disebut Inovasi Teknologi Hazton,
mungkin juga bisa terjadi pada komoditi yang lain. Temuan teknologi ini diakui,
bisa meningkatkan produksi padi secara spesifik lokasi”. Produktivitas bisa
mencapai 12 ton GKP/ha, bahkan lebih namun dibawa 15 ton/ha. Dengan catatan
petani berkomitmen dan serius menerapkan teknologi yang direkomendasikan.
Intinya program tersebut tidak perlu menyediakan benih padi 10 kali lipat (20-30
bibit per lubang tanam), seperti budidaya usahatani konvensional. Apabila rata-
rata kebutuhan benih padi untuk tanam tegel 25 kg/ha atau sekitar 30 kg/ha
untuk jajar legowo, maka pada teknologi Hazton, petani harus menyediakan benih
minimal 200 kg/ha, bahkan lebih.
Teknologi Hazton sebagai “Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi” adalah suatu
strategi yang dilakukan untuk menampung hasil-hasil temuan para petani, swasta
di luar hasil Badan Litbang Pertanian. Tujuannya adalah agar supaya aliran
inovasi yang datang dari “luar” dapat berjalan lancar, terarah dan terkendali
dalam alur kanal yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian. Hal ini serupa
dengan kasus yang sama dengan Teknologi Salibu, yang diawali oleh petani
penemunya dari Sumatera. Semua aktivitas yang telah dilakukan oleh petani
tersebut, memiliki potensi besar yang patut dihargai. Mereka mampu menggali
kearifan lokal sebagai penelitian dasar.
Dalam tahun yang sama BPTP Jawa Timur juga memunculkan inovasi
teknologi Jarwo Super, VUB, Biodecomposer yang didesign dan dimasalkan melalui
Demfarm dengan luasan minimal 5 hektar bahkan sampai 10 hektar digelar di
lapangan dengan melibatkan petani. Dalam melaksanakan demfarm seluas 5-10
hektar, tidak hanya target produksi saja yang hendak dicapai sebagai hasil akhir.
Namun lebih dari itu, diharapkan pula dari hasil itu juga akan diperoleh produksi
30
benih, sehingga siklus produksi dari musim tanam ke musim tanam berikutnya
akan berjalan terus secara berkesinambungan terjamin oleh ketersediaan benih
bermutu produksi Balitbangtan.
Bila Petani ingin sejahtera harus banyak memanfaatkan inovasi teknologi.
BPTP sebagai ujung tombak. Perlu dipahami bersama bahwa BPTP adalah
pengungkit percepatan adopsi inovasi, dan BPTP adalah pengungkit utama
penciptaan inovasi yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Kearifan lokal
merupakan sumberdaya yang perlu dikembangkan guna kemaslahatan petani.
Namun demikian, Balitbangtan perlu memperhitungkan dengan presisi tinggi agar
tidak ada lagi keragu-raguan dan kerugian dalam penerapan teknologi.
3.4.2. Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang
Informasi dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang bahwa
program bantuan pemerintah yang telah berjalan khususnya di kabupaten Malang,
yakni asuransi pertanian agar petani lebih mempunyai kepastian dalam berusaha.
Program asuransi tersebut adalah untuk mendorong petani meningkatkan
produktifitasnya dalam bertani, sehingga bisa diwujudkan dengan adanya
kepastian bahwa produk mereka tidak gagal penen serta harganya terjamin di
pasar. Kalau produksi melimpah tapi harga di pasar turun tajam maka bagi petani
dianggap kurang menguntungkan, untuk itulah, perlindungan bagi produksi
pertanian tidak hanya terkait dengan gagal dan tidaknya panen, yang lebih
penting terkait dengan harga di pasar. Dengan demikian, pemerintah perlu
menentukan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beberapa komoditas penting,
yang sudah ditetapkan pemerintah. Dengan adanya HPP tersebut, maka jika harga
komoditas masih di bawah HPP, perusahaan asuransi menanggung
kekurangannya. Peran pemerintah dalam hal ini membayar sebagian besar premi
asuransi pertanian, sebagian kecil lagi ditanggung petani sendiri. Model
perlindungan seperti itu, kata dia, lebih efektif daripada dengan skema bantuan
sarana produksi (saprodi) kepada petani.
31
Bantuan saprodi sering tidak tepat sasaran dari sebaran penerima maupun
target penerima. Petani yang mampu justru bisa saja memperoleh bantuan
saprodi dengan berbagai cara.Terkait dengan kesediaan petani membayar premi,
dia optimsitis, petani akan mampu dan membayar premi dengan pertimbangan
program akan menguntungkan mereka dengan memberikan perlindungan atas
usaha tani.
Dengan melindungi komoditas pertanian lewat program asuransi setidaknya
petani akan bergairah untuk berusaha. Kegairahan petani pada gilirannya dapat
meningkatkan produktifitas pangan menuju kedaulatan pangan. Kalau petani tidak
khawatir harga komoditas anjlok maupun gagal panen, maka otomatis mereka
akan giat bercocok tanam.
Komoditas Hortikultura ( Buah dan Sayuran)
Untuk komoditas hortikultura harus dilindungi asuransi, dengan
dilindunginya produksi pertanian lewat asuransi, maka petani lebih tenang dalam
usahanya. Lahan pertanian holtikultura sangat rawan bencana karena berada di
bawah maupun di lereng gunung berapi. Sisi lain tanaman holtikultura sangat
rawan gagal panen karena faktor semburan debu akibat erupsi gunung berapi.
Yang menjadi pertanyaan, perusahaan asuransi mana yang bersedia menjual
produk perlindungan bagi tanaman holtikultura karena risikonya terlalu tinggi.
Program bantuan lainnya khususnya di kecamatan Kepanjen siap untuk
dijadikan Desa Organik sesuai dengan program Kementerian Pertanian untuk
memproduksi beberapa jenis pertanian seperti beras dan buah-buahan.
Pengembangan menjadikan desa-desa yang potensial menjadi Desa Organik
sebenarnya sudah ada, namun tantangannya memang tidak mudah. Persiapannya
tentunya dalam bentuk penyediaan petugas untuk membuat agen hayati di setiap
kecamatan. Hal ini sesuai moto dari Kementerian Pertanian tengah
mengembangkan sejumlah desa organik tahuh ini untuk memproduksi beberapa
komoditas seperti beras jenis khusus, dan buah-buahan.
32
Beberapa desa di kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang sudah siap untuk
dijadikan sebagai Desa Organik, disitu sudah ditanam padi organik di lahan seluas
100 hektare. Dari sisi produktifitas lahan juga cukup bagus meskipun
menggunakan sistem pertanian organik. Per hektare lahan sawah mampu
menghasilan 7,5 ton. Namun bila dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia,
memang produksi lebih rendah. Dengan menggunakan sistem pertanian
konvensional terpadu, seperti menggukan pola tanam, jejer legowo, produksi padi
per hektare-nya bisa mencapai di atas 10 ton lebih.
Sisi lain keuntungan padi organik tentu sehat karena tidak menggunakan
bahan kimia baik pupuk maupun obat-obatan. Yang membuat petani masih
bertahan, karena panen bisa empat kali dalam setahun di samping harga beras
organik lebih mahal daripada beras konvensional. Untuk komoditas buah-buahan
seperti jeruk organik seluas 300 hektare.
Yang menjadi hambatan untuk membangun Desa Organik, yakni cara
berfikir petani yang menganggap bahwa bertani konvensional dengan
menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia lebih menguntungkan.Petani tidak
percaya bahwa dengan menggunakan pupuk dan obat-obatan organik tetap bisa
bisa meningkatkan produksi. Selain itu, harga dari produk pertanian lebih tinggi
bila dibandingkan produk pertanian konvensional.Karena itulah untuk merangsang
petani untuk menggunakan pola tanam organik, perlu terus adanya
pendampingan dari pemerintah. Selain itu perlu perluasan produk pertanian
organik, sehingga petani tidak khawatir, produk yang mereka hasilkan tidak dapat
diserap pasar. Secara konsep bagus, namun tantangannya tidak mudah.
Bantuan lainnya seperti alsintan terutama traktor tangan khususnya di
Kecamatan Kepanjen, mengeluhkan minimnya traktor tangan bantuan dari
pemerintah untuk petani setempat karena satu desa/kelurahan hanya ada satu
unit dan itupun sudah rusak. Mantri Tani Kecamatan Kepanjen, Kabupaten
Malang, mengatakan bahwa para petani yang ada di kecamatan itu masih
kekurangan jumlah traktor tangan untuk mengolah lahan pertanian di wilayah
Kepanjen yang mencapai 2.368 hektare. Bantuan traktor yang di terima selama ini
33
adalah 'singkal' (seperti bajak), padahal lahan pertanian di Kepanjen tergolong
dalam, maka yang dibutuhkan adalah traktor tangan sejenis Rotari agar
pengolahan lahan pertanian sawah lebih mudah, bukan traktor tangan sejenis
singkal. Bahkan, traktor tangan bantuan pemerintah itupun sudah rusak, sehingga
menggunakan traktor tangan milik perorangan.
Dalam pelaksanaannya bahwa dari lahan pertanian di Kecamatan Kepanjen
seluas 2.368 hektare tersebut, 58 hektare diantaranya milik kelompok tani .
Dengan luas lahan tersebut, paling tidak dibutuhkan 3 hingga 4 traktor tangan lagi
yang terstandar agar tidak cepat rusak. Menanggapi keluhan petani tersebut,
Ketua KTNA pusat mengatakan tahun depan Kementerian Pertanian (Kementan)
memiliki program satu kelompok tani, satu traktor tangan. Oleh karena itu,
petugas penyuluh pertanian dan Manteri Tani di kota/kabupaten segera membuat
usulan ke Dinas Pertanian masing-masing agar pengajuan bantuan traktor tangan
itu segera diproses, sehingga tahun depan bisa direalisasi, sehingga hambatan
minimnya traktor di daerah ini bisa teratasi.
Kendala bagi petani masih minimnya bantuan traktor tangan, petani yang
tergabung dalam Kelompok Tani di Kecamatan Kepanjen itu juga mengeluhkan
hasil produksi kualitas beras kurang baik, karena benih padi yang dihasilkan masih
kualitas rendah. Hasil prosessing kedua jenis benih padi tersebut hancur dan itu
terjadi di hampir semua lokasi yang menanam kedua jenis benih tersebut. Hasil
panennya memang sangat bagus, tapi berasnya tidak seperti yang diharapkan.
Berasnya rusak (hancur). Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada terobosan agar
penelitian komoditas pangan ini tidak hanya diteliti berapa hasil panennya
(produktivitas) per hektare, ketahanan terhadap hama, proses penanaman hingga
panen, tetapi juga hasil akhirnya berupa beras, apakah hasilnya bagus atau
sebaliknya.
Alokasi penggunaan sumberdaya anggaran ini digunakan sebagai
pengukuran penyerapan anggaran dibandingkan dengan capaian kinerja yang
telah dilaksanakan seperti pada Tabel 5. berikut.
34
Tabel.5. Alokasi persasaran pembangunan tahun 2015
Sasaran Strategis Indikator / Outcome Anggaran (Rp.000) Persentase
Anggaran
Pencapaian -Persentase peningkatan produksi 324.900 0,028
peningkatan Tanaman Padi
Produksi -Persentase peningkatan produksi 167.479 0,014
Tanaman Tanaman Palawija
Pangan Dan -Persentase peningkatan produksi 230.161 0,019
Perkebunan Tanaman Hortikultura
-Persentase peningkatan produksi 450.490 0,038
Tanaman Kopi
-Persentase peningkatan produksi 9.272.800 Tanaman Tebu Dana APBN
Sumber : Dinas Pertanian Dan perkebunan Kab. Malang tahun 2015
Tabel.6. Perbandingan Pencapaian Kinerja dan Anggaran 2015
NO Sasaran Strategis Indikator/ Outcome
kinerja Anggaran
1
Pencapaian peningkatan
produksi Tanaman Pangan Dan
Perkebunan
Persentase
peningkatan produksi Tanaman Padi
target realisasi capaian target realisasi capaian
0,01% 3,8% 380% 324.900.000 324.900.000 100%
Persentase peningkatan
produksi Tanaman Palawija
0,01% -23,6% -2.360% 167.479.100 167.479.100 100%
Persentase peningkatan
produksi Tanaman Hortikultura
0,01% 67,7% 6.770% 230.161.000 230.161.000 100%
Persentase
peningkatan produksi Tanaman Kopi
3,5% -32,3% -9,2% 450.490.000 431.081.000 95,68%
Persentase peningkatan
produksi Tanaman Tebu
2% -4,5% -2,3% 9.272.800.000 4.639.181.840 50,03%
Sumber : Dinas Pertanian Dan perkebunan Kab. Malang tahun 2015
Realisasi Anggaran
Pada tahun 2016 Program dan kegiatan Dinas Pertanian Dan Perkebunan
Kabupaten Malang salah satunya adalah pendekatan untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan. Program dan kegiatan yang dilaksanakan meliputi
35
9(sembilan) program yang dilaksanakan dengan alokasi anggaran baik yang
bersumber dari APBN, APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten. Dukungan
pemerintah daerah dari dinas pertanian dan perkebunan pada tahun 2016 adalah
bantuan Alsintan yang akan dibagikan kepada kelompok tani.
Sektor pertanian sebagai sektor yang sangat penting dan berperan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Malang, yang ditujukan
dengan nilai kontribusi pada PDRB sebesar 27,87% diatas perdagangan hotel dan
restoran sebesar 27,31%, industri pengolahan 19,04%, jasa-jasa 12,72%, serta di
sektor lainnya sebesar 13,06%.
Dengan berdasarkan pada kondisi dan data tersebut, Pemerintah
Kabupaten Malang cukup sering dalam mengembangkan bidang pertanian secara
luas, dimana strategi yang telah dilaksanakan salah satunya memperkuat sektor
pertanian, sebagai basis perekonomian masyarakat yang kemudian diharapkan
dapat memacu sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pariwisata sebagai
upaya percepatan peningkatan perekonomian.
Beberapa komoditas yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian
masyarakat dan terus didorong pertumbuhannya antara lain selain Padi yang
berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan, hasil produksinya sebesar
478.930 ton (surplus beras sebesar 72.573 ton), dan sayur-sayuran yang telah
mampu memenuhi pasar di luar Malang, yang kesemuanya merupakan kebutuhan
pokok masyarakat yang harus terpenuhi agar tercipta ketahanan pangan daerah.
Dari uraian diatas tentunya merupakan hal yang menggembirakan karena
menunjukkan kinerja bidang pertanian di Kabupaten Malang yang telah menuju ke
jalur yang lebih baik. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan
seperti masih terbatasnya kemampuan petani dalam menyediakan,
mengoperasionalkan alsintan yang modern. Oleh karena itu, Pemerintah
Kabupaten Malang melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan selalu berusaha dan
terus menggaet Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat agar mendapatkan
alsintan yang diperlukan oleh para petani di Kabupaten Malang.
36
Salah satu tujuan untuk membantu para petani adalah mempermudah dalam
berusaha-tani/budidaya tanaman, selain itu juga diharapkan agar dapat dijadikan
sebagai berikut:
1. Sebagai solusi bersama guna mempertahankan bahkan meningkatkan hasil
produksi pertanian dalam arti luas di Kabupaten Malang yang saat ini telah
menunjukkan kinerja yang cukup baik;
2. Pada tahun 2016 dijadikan titik awal komitmen bersama guna melaksanakan
pembangunan daerah yang difokuskan pada Pertumbuhan Ekonomi Andalan
(Pertanian, Hortikultura, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, Industri,
Perdagangan dan Pariwisata).
3. Sebagai media pengenalan berbagai tehnologi pertanian terbaru yang dapat
diimplementasikan oleh para petani guna semakin meningkatkan
kesejahteraannya.
Tabel. 7. Rekapitulasi Alsintan Sumber Dana APBN TA. 2016
No Nama Alsintan Sumber Dana Jumlah
Bentuk APBN APBN TAN PROV
1 TR-2 Singkal 65 140 205
Rotary 50 - 50
2 TR4 2 - 2
3 Pompa Air 6 28 34
4 Rice Transplanter 10 18 28
Jumlah 319
Sumber : Dinas Pertanian Dan Perkebunan. 2016
Adapun langka positif yang telah mendukung program pembangunan
pertanian khususnya tanaman sayuran antara lain; Meningkatnya produksi pada
tahun 2015 yang cenderung meningkat sebesar 6.770 %. Ada beberapa indikator
yang mendukung antara lain:
a) Kegiatan perluasan kawasan sayur dan buah melalui bantuan benih dan pupk organik Penyelenggaraan sosialisasi penerapan GAP dan GHP untuk
sayur dan buah
b) Penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan untuk mendukung
perluasan desa sayur dan buah organik
37
c) Pemberian bantuan alat pascapanen dan rumah grading untuk komoditas
sayur dan buah-buahan.
Dalam rangka meningkatkan produksi hortikultura tersebut dan sebagai
langkah peningkatan capaian kinerja pada tahun yang akan datang ( tahun 2016)
dan seterusnya, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang telah
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman hortikultura (sayur, buah
dan bunga) melalui perluasan kawasan sayur dan buah
b) Penerapan teknologi ramah lingkungan dan organik
c) Memberikan subsidi benih dan pupuk organik
d) Menyelenggarakan farm free day (FFD) temu lapang petani bertujuan untuk
menyebarkan informasi hasil demplot Dalam hal pencapaian kinerja Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang tersebut, program/kegiatan
yang menunjukkan output paling mendukung bagi pencapaian kinerja organisasi adalah program Ketahanan Pangan. Hal tersebut dikarenakan program/kegiatan tersebut dapat memberikan dampak secara langsung
kepada masyarakat
3.4.3. Dukungan Terhadap Petani Sayuran
Pemerintah Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur sekitar 10 tahun
terakhir sudah menerapkan untuk mengembangkan pertanian organik seluas
15.500 hektare atau 25% dari total lahan pertanian di daerah itu yang mencapai
62.000 hektare. Petani yang mengembangkan pertanian organik sudah
meninggalkan penggunaan pupuk kimia, melainkan menggunakan pupuk kandang
dan kompos. Pertanian ramah lingkungan ini sudah dimulai sejak 2006. Meskipun
untuk mengubah sawah bukan organik menjadi organik dibutuhkan waktu lima
tahun, Dinas pertanian kabupaten Malang optimistis pada 2010 seluas 62.000
hektare sawah yang tersebar di 33 kecamatan sudah berubah seluruhnya menjadi
pertanian organik.
38
Kecamatan Kepanjen merupakan salah satu dari 33 Kecamatan di
Kabupaten Malang dan bedasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2008
tentang pemindahan ibu kota Kabupaten Malang dari wilayah Kota Malang ke
wilayah Kecamatan Kepanjen sekaligus sebagai ibukota Kabupaten Malang.
Beberapa tahun terakhir ini di kecamatan kepanjen telah dirintis usaha pembibitan
tanaman buah-buahan dan sayuran yang telah menghasilkan bibit untuk
kebutuhan dibeberapa daerah di wilayah Jawa Timur. Pemberdayaan Pembibitan
Tanaman Di kecamatan kepanjen juga dibangun Kebun Dapur, yaitu aneka
tanaman sayuran kebutuhan sehari-hari dan ditanam di sekitar rumah yang bisa
memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Awal daerah percontohan pertanian organik berada di Desa sekitar kota
kepanjen, yakni Petani hampir seluruhnya sudah meninggalkan penggunaan
pupuk kimia. Mereka para petani menggunakan pupuk kandang dan kompos
dalam menyuburkan tanah dan tanaman. Sehingga berhasil mendapat sertifikat
organik. di Di kecamatan lainnya, selain kecamatan kepanjen pertanian serupa
juga sudah dikembangkan, untuk mewujudkan tercapainya pertanian organik
2010 atau go organic di 33 kecamatan di Kabupaten Malang, dinas pertanian
setempat melakukan pendampingan secara intensif terhadap petani.
Antusias petani sangat berkeinginan mengembangkan pertanian organik
mendapat stimulus berupa bantuan alat-alat pertanian dan bibit dari Pemkab
Malang. Selain itu, petugas penyuluh lapang digiatkan dalam memberikan
pengarahan kepada petani tentang cara mengembangkan pertanian organik. Pola
pembinaan pertanian organik berupa pendampingan mulai mengolah lahan,
pascapanen, mengemas hasil produksi hingga pemasaran.
Hasil akhir produksi tidak hanya sayuran, padi pun sudah dipasarkan
bahkan petani memiliki lumbung desa modern. Percepatan dalam mewujudkan
pertanian organik itu, berawal dari makin tidak produktifnya lahan pertanian yang
berpengaruh pada turunnya hasil panen. Hal itu disebabkan oleh penggunaan
pupuk kimia tidak seimbang dan berlebihan.
39
Di Kecamatan Kepanjen, petani yang memiliki sawah seluas setengah
hektare saja menghabiskan empat kuintal pupuk kimia. Akibat penggunaan pupuk
secara berlebihan itu kesuburan tanah menjadi berkurang. Hasil panen pun tidak
maksimal. Perbandingan hasil panen pertanian organik jauh lebih bagus
ketimbang hasil panen pertanian bukan organik. Perbandingan untuk satu hektare
sawah organik mampu menghasilkan 12,24 ton gabah. Sebaliknya hasil panen
sawah bukan organik hanya menghasilkan 9 ton gabah.
Saat survei informasi yang didapat, petani terus berupaya mengembangkan
produksi pupuk organik guna menutup kekurangan kebutuhan pupuk bersubsidi
dari pemerintah yang masih kurang hingga ratusan ton per tahun. Tentunya
dalam hal ini peran pemerintah daerah ( Dinas Pertanian dan Perkebunan )
bersama petani terus melakukan inovasi dan mencari terobosan untuk menutup
kekurangan pupuk bersubsidi tersebut. Salah satunya adalah mengajak kelompok
tani membuat pupuk organik.
Pembuatan pupuk organik sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir
ini, bahkan terus dikembangkan, karena pupuk bersubsidi yang disediakan
pemerintah tidak mencukupi. Tahun lalu, ( tahun 2015) mendapat pasokan pupuk
bersubsidi sebanyak 450 ton dan tahun ini sebanyak 500 ton, sedangkan
kebutuhan petani rata-rata mencapai 650 ton, baik jenis Urea, TSP maupun HCL.
Dengan kuota sebanyak 450-500 ton itu, sehingga setiap tahunnya selalu
kekurangan pupuk. Namun, kondisi itu tidak menjadi masalah bagi petani karena
kebutuhan pupuk dapat dipenuhi petani dengan menggunakan pupuk organik,
bahkan karena mampu memproduksi pupuk organik sendiri, pasokan pupuk
bersubsidi tersebut tidak terserap 100 persen.
Beberapa keuntungan penggunaan pupuk organik di antaranya adalah tidak
merusak tanah, mampu menciptakan tanaman yang lebih segar, dan hasilnya juga
lebih memuaskan dibanding dengan pupuk kimia. Contoh pada sayur wortel yang
ditanam dengan menggunakan pupuk organik lebih tahan lama dibandingkan
wortel yang dipupuk menggunakan pupuk kimia, sebab wortel yang dipupuk kimia
40
lebih cepat membusuk. Karena hasil tanaman dengan menggunakan pupuk
organik lebih bagus.
Peran dari Dinas Pertanian Dan Perkebunan untuk memproduksi pupuk
organik, antara lain menyelenggarakan pelatihan tentang pembuatan pupuk
organik yang diikuti oleh anggota Gapoktan dan pelatihan itu dilakukan secara
kontinyu. Optimis pemerintah daerah bahwa anggota Gapoktan mampu membuat
pupuk organik dalam skala besar, sehingga ke depan petani tidak akan terus
tergantung dengan pupuk kimia bersubsidi, bahkan harapan tahun ini penyerapan
pupuk bersubsidi akan berkurang lagi dari tahun sebelumnya. Menyinggung
upaya peningkatan produksi pertanian di wilayah , peran pemerintah juga
melakukan sejumlah hal, di antaranya pengawalan distribusi pupuk subsidi agar
benar-benar sampai kepada kelompok tani yang berhak menerima sesuai dengan
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) tani. Sebab, lanjutnya, RDKK itu
diajukan oleh kelompok tani kepada kios pengecer pupuk resmi, sehingga pupuk
tersedia dalam lima tepat, yakni tepat waktu, tepat jumlah, tepat tempat, tepat
mutu, dan tepat harga. Selain itu pengawalan distribusi bantuan benih oleh
pemerintah pusat sesuai dengan Rencana Kebutuhan Benih (RKB) yang diajukan
oleh kelompok tani calon penerima bantuan benih serta pengawalan kegiatan
Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) tahun 2015, yakni optimalisasi lahan,
rehabilitasi jaringan irigasi tersier, fasilitas pompa air dan fasilitas traktor roda
dua.
41
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
1. Dukungan terhadap sektor pertanian yang diukur dengan Producer’s Support
Estimate (PSE) meningkat dari Rp.3,17 trilyun tahun 1995-1997 menjadi
Rp.348,5 trilyun tahun 2013-2015. Sekitar 84,4% dari dukungan tersebut
adalah berupa perlindungan harga yang menyebabkan harga domestik lebih
tinggi dari harga di pasar internasional.
2. Transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian meliputi: (a) transfer
atas penggunaan input dalam bentuk subsidi pupuk dan benih/bibit maupun
bantuan alat dan mesin pertanian; (b) transfer berupa pelayanan di tingkat
usahatani, terutama penyuluhan; dan (c) transfer pemerintah dalam rangka
bantuan bencana alam. Komponen yang paling tinggi adalah transfer untuk
subsidi pupuk yang meningkat dari Rp.429,6 milyar tahun 1995-1997 menjadi
Rp.26,0 trilyun tahun 2013-2015
3. Selain dukungan langsung kepada petani (PSE) ada beberapa intrumen
dukungan pemerintah untuk sektor pertanian secara keseluruhan, yaitu: (a)
dukungan pelayanan umum (General Services Support Estimate, GSSE); dan
(b) transfer kepada konsumen. Nilai GSSE meningkat dari Rp.1,1 trilyun tahun
1995-1997 menjadi Rp.22,0 trilyun tahun 2013-2015 (5,2% dari TSE).
Komponen terbesar dari kelompok pengeluaran tersebut adalah biaya untuk
pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur yang mencapai 72,8% tahun
1995-1997 dan 76,4% tahun 2013-2015.
4. Nilai PSE (% dari nilai produksi) menunjukkan trend peningkatan dari 3,9%
tahun 1995-1997 menjadi 24,6% tahun 2013-2015. Artinya sekitar 24,6%
dari nilai produksi pertanian adalah transfer dari pembayar pajak dan
konsumen. Pada tahun 2012-2014, PSE sektor pertanian Indonesia lebih tinggi
dari Tiongkok (20,1%), Uni Eropa (19%) dan rata-rata negara anggota OECD
(17,4%).
5. Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara
signifikan dari 0,8% tahun 1995-1997 menjadi 4,6% tahun 2013-2015. Pada
42
tahun 2012-2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi, diatas Tiongkok
(3,2%), Uni Eropa (0,7%) dan rata-rata OECD (<0,7%). Hasil analisis ini
membantah anggapan umum bahwa dukungan pemerintah terhadap sektor
pertanian relatif kecil.
6. Walaupun nilai PSE Indonesia bukan yang tertinggi, namun dengan kontribusi
pertanian dalam PDB nasional yang masih relatif besar, maka nilai dukungan
terhadap sektor pertanian menjadi beban yang relatif besar terhadap ekonomi
secara keseluruhan. Sebaliknya bagi negara-negara maju seperti anggota
OECD, walaupun secara absolut nilai dukungan pertanian cukup besar namun
secara relatif dibanding dilai PDB negara-negara tersebut relatif kecil.
4.2. Implikasi Kebijakan
7. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga
terutama dalam rangka mencapai swasembada berdampak pada peningkatan
harga pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya menurunkan asupan
gizi, terutama bagi penduduk miskin. Dalam jangka panjang, prioritas
kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan produktivitas melalui sistem
inovasi, pembangunan infrastruktur dan mempermudah investasi swasta.
8. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah
subsidi pupuk yang secara kumulatif lebih banyak dinikmati oleh petani
berlahan luas dan produsen pupuk. Skema yang lebih efisien adalah
menkonversi subsidi tersebut kedalam sistem transfer yang khusus
ditargetkan untuk para petani kecil.
9. Kebijakan pertanian Indonesia kedepan sebaiknya mengacu pada negara-
negara yang pertaniannya relatif maju namun dukungan terhadap pertanian
yang relatif rendah (seperti Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan dan Chile).
Sebaliknya kebijakan dukungan di negara-negara OECD yang memberikan
subsidi input dan transfer pendapatan relatif besar tidak dapat dijadikan acuan
mengingat sifatnya yang mendistorsi pasar dan membebani anggaran
pemerintah yang cukup besar.
43
DAFTAR PUSTAKA
OECD. 2012. “OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia”. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Publishing, Paris. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264179011-en.
OECD. 2014. “OECD’s Producer Support Estimates: Methodology and Practical Application. Materi Training Worsksop”. Hotel Salak, Bogor, 13 November
2014.
OECD. 2015. “Agricultural Policy Monitoring and Evaluation 2015”, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/agr_pol-2015-en
OECD. 2016. “Agricultural Policy Monitoring and Evaluation 2016”, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/agr_pol-2016-en
44
LAMPIRAN
Lampiran Tabel 1. Perkembangan Pengeluaran Publik untuk Pelayanan Umum, 1990-2013 (Rp Milyar)
Tahun Total
Pelayanan Umum Penelitian dan Pengembangan,
serta Penyuluhan Karantina Infrastruktur
Pemasaran dan Promosi
Biaya Stok Publik Lainnya
1990 1.217.642 175.092 37.015 1.003.687 1.579 0 270 1991 1.237.087 184.776 38.154 1.011.951 1.891 0 315
1992 1.251.939 199.918 38.815 1.010.955 1.968 0 283 1993 1.154.099 185.510 50.566 915.450 2.239 0 334 1994 1.174.082 215.805 53.505 902.104 2.335 0 334
1995 1.205.938 218.422 56.432 928.718 2.002 0 365 1996 1.200.410 241.131 61.278 895.764 1.831 0 406
1997 1.014.718 285.059 61.803 665.431 1.820 0 605 1998 874.549 380.437 76.211 415.157 1.936 0 806 1999 1.108.007 402.649 92.274 610.219 1.958 0 906
2000 1.196.767 357.166 107.720 728.800 2.073 0 1.007 2001 5.367.031 434.590 144.199 4.785.000 2.135 0 1.107 2002 4.481.203 463.948 147.798 3.866.000 2.149 0 1.308
2003 6.385.968 470.162 146.777 5.765.000 2.507 0 1.521 2004 7.847.507 603.100 167.243 4.641.000 4.184 2.422.230 9.750
2005 7.153.129 951.902 213.075 5.125.400 5.611 847.780 9.361 2006 11.721.090 781.694 293.771 9.420.480 37.980 1.078.020 109.145 2007 10.662.390 867.854 378.657 7.912.640 41.329 1.225.010 236.900
2008 14.365.350 725.603 478.621 11.135.796 66.258 697.830 1.261.242 2009 15.150.953 890.130 458.852 11.563.796 37.395 1.000.287 1.200.492
2010 15.025.438 903.224 448.006 11.563.796 32.670 1.072.541 1.005.200 2011 15.688.044 1.166.314 406.383 11.997.100 23.722 1.000.000 1.094.525 2012 16.820.894 1.425.620 557.825 12.070.588 31.779 2.000.000 735.082
Sumber:OECD,2014
45