Upload
doanthien
View
252
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA KUAI ZI (SUMPIT) PADA
MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN
“筷子”在印尼 棉兰华裔中的文化功能意义分析 (Kuàizi zài yìnní
mián lán huáyì zhōng de wénhuà gōngnéng yìyì fēnxī )
SKRIPSI SARJANA
Disusun Oleh:
NUR AFDIA WULAN LESTARI
080710029
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
ii
ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA KUAI ZI (SUMPIT) PADA
MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN
“筷子”在印尼 棉兰华裔中的文化功能意义分析 (Kuàizi zài yìnní mián lán
huáyì zhōng de wénhuà gōngnéng yìyì fēnxī )
SKRIPSI SARJANA
Disusun Oleh:
NUR AFDIA WULAN LESTARI
080710029
Disetujui oleh:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Yu Xueling,M.A.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA CINA
MEDAN
2012
iii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah
satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu
Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1.
2.
3.
4.
5.
iv
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Dr. T. THYRHAYA ZEIN, M.A.
NIP 1965
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhana Wataala
atas segala limpahan rahmat dan katrunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proses akademik atau belajar secara formal di Departemen Sastra Cina, Fakultas Ilmu
Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Juga penulis mengucapkan
Shalawat beriring salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassalam, yang telah menuntun penulis dengan Islam dan iman.
Adapun tujuan dari tulisan dalam bentuk skripsi ini adalah untuk memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu di Departemen Sastra Cina FIB USU
Medan. Skripsi ini berjudul Analisis Fungsi dan Makna Kuai Zi (sumpit) pada masyarakat
Tionghoa di Medan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Suheri. W dan Ibu Sri Hartaty yang telah
bersusah payah membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan saya sampai jenjang yang
tinggi khususnya di tingkat strata satu ini dan yang selalu memberikan dukungan secara
moril maupun materil. Semua yang telah ayah dan ibu berikan tidak mampu saya balas
dengan apapun. Hanya skripsi inilah yang bisa saya berikan sebagai tanggung jawab dan
bakti anak kepada orang tuanya.
Secara akademis, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu
Budaya, USU, yaitu Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan segenap jajarannya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua Departemen Sastra Cina FIB
USU, Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. dan Sekretaris Departemen Sastra Cina FIB USU,
Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si.
Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada Bapak Drs. Muhammad Takari,
M.Hum, Ph.D, yang merupakan Dosen Pembimbing I yang sudah banyak membantu dan
vi
membimbing saya dalam penulisan skripsi ini. Juga terima kasih kepada Laoshi Yu
Xueling,M.A. yang juga banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi Cina ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen dari Jinan University,
Guangzhou RRC yaitu: Mr. Shao Chang Chao, M.A.Ph.D., Mr. Yang Runzheng,
M.A.Ph.D., Mr. Zhu Xiaohong, M.A.Ph.D., Mr. Yu Xin, M.A., Ms. Wu Qiao Ping, M.A.,
Ms. Liu Jin Feng, M.A., Mr. Liang Yun Chuan, M.A., Ms. Cao Milian, M.A., dan Ms.
Chen Shushu, MTCSOL.
Terakhir penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa
Sastra Cina angkatan 2008 yang telah membantu dan memberikan semangat kepada
penulis. Juga diucapkan terima kasih kepada para sahabat penulis yaitu: Kristin Nataya
Tamara Sitorus, Harnidar Febrina Harahap, Intan Erwany, Dameria Elizabeth, Budiman
Pusuk, Edy Li, Vivi Adryani, Niza Ayu Ningtias, Meri Sari Simbolon, Sucita Anggraini,
Mira Hayani, Yoan Gaby dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang
selalu membantu dan memberikan perhatian kepada saya sebagai sahabat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu dapat menjadi
sumbangan untuk ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Sastra Cina. Oleh sebab itu,
kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi perbaikan skripsi ini.
Medan, Juli 2012
Penulis,
Nur Afdia Wulan Lestari
vii
ABSTRACT
This thesis aims to analyze function and meaning of chopsticks in Tionghoa Medan City culture. To analyze chopsticks’s functions in Tionghoa Medan City culture, I apply functionalism theory both from Malinowski and Radcliffe-Brown. Then, to analyze meaning of chopsticks I use semiotic theory both from Saussure and Barthes. I use library research methode and technique qualitative, based on interview, observation, participant observer, and choose key informants who know very much about chinese chopsticks. The scientific conclussions are: (a) function of chopsticks as eating utensils are increasingly popular, not only by the Chlnese Tionghoa community but also by indigenous communities in Medan city and now many restaurants in Medan city that provides chopsticks as eating utensils. (b) the beauty of chopsticks make it have a new function is as a work of art, and as a work of art, chopsticks can be considered as art product. (c) chopsticks have more value than other utensils, because its characteristics are practical, simple, and contain science. (d) the chopsticks have been a source of inspiration in the field of technology. Keywords : chopsticks, Tionghoa, function, meaning
viii
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang fungsi dan makna sumpit pada masyarakat Tionghoa di kota Medan. Untuk menganalisis fungsi sumpit digunakan teori fungsionalismenya Malinowski dan Radcliffe-Brown. Sedangkan untuk menganalisis makna sumpit digunakan teori semiotik dari Saussure dan Barthes. Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dengan berdasar kepada studi kepustakaan, wawancara, observasi, pengamatan terlibat (participant observer), dan menggunakan informan kunci yang dipandang menguasai tentang penggunaan sumpit pada masyarakat Tionghoa. Temuan saintifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (a) fungsi sumpit sebagai alat makan saat ini semakin digemari, tidak hanya oleh masyarakat Tionghoa tetapi juga oleh masyarakat pribumi. Dan sudah banyak dijumpai rumah makan Indonesia di kota Medan yang menyediakan sumpit sebagai alat makan. (b) keindahan sumpit membuatnya memiliki satu fungsi baru, yaitu sebagai seni dan sebagai suatu karya seni, sumpit dapat dianggap sebagai hasil seni. (c) sumpit memiliki nilai lebih dibandingkan alat makan lain, karena karakteristiknya yang praktis, sederhana, dan mengandung ilmu pengetahuan. (d) sumpit pernah menjadi sumber inspirasi di bidang teknologi. Kata kunci : sumpit, Tionghoa, fungsi, makna
ix
DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................. i KATA PENGANTAR................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 1.2 Batasan Masalah ...................................................................... 8 1.3 Rumusan Masalah ................................................................... 8 1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 9 1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 9 1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................. 9 1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................... 10 BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 11 2.1 Konsep .................................................................................... 11 2.1.1 Masyarakat Tionghoa...................................................... 11 2.1.2 Kebudayaan .................................................................... 13 2.1.3 Sumpit ............................................................................ 14 2.2 Landasan Teori ........................................................................ 15 2.2.1 Fungsionalisme ............................................................... 15 2.2.2 Semiotik ......................................................................... 18 2.3 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 22 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 25 3.1 Deskriptif Kualitatif................................................................. 25 3.2 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 26 3.2.1 Studi Kepustakaan .......................................................... 26 3.2.2 Wawancara ..................................................................... 27 3.3 Data dan Informan ................................................................... 28 3.4 Lokasi Penelitian ..................................................................... 29 3.5 Teknik Analisis Data ............................................................... 29 BAB IV SUMPIT DALAM KEBUDAYAAN TIONGHOA .................... 30 4.1 Masyarakat Tionghoa di Indonesia .......................................... 30 4.2 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan ...................................... 35 4.3 Sumpit ..................................................................................... 39 4.3.1 Awal munculnya sumpit ................................................. 39 4.3.2 Bentuk dan ukuran sumpit............................................... 40 4.3.3 Cara Penggunaan Sumpit ................................................ 41 4.3.4 Keunikan Sumpit ............................................................ 43 4.4 Etika Penggunaan Sumpit ........................................................ 45 BAB V EKSISTENSI, FUNGSI DAN MAKNA SUMPIT ..................... 49 5.1 Fungsi sumpit bagi masyarakat Tionghoa di Medan ................. 49
x
5.1.1 Sumpit sebagai alat makan .............................................. 49 5.1.2 Sumpit sebagai identitas budaya Cina ............................. 50 5.1.3 Sumpit dalam pendidikan budaya dan teknologi ............. 51 5.2 Makna sumpit bagi masyarakat Tionghoa di Medan ................. 52 5.2.1 Sumpit dalam nilai estetika ............................................. 55 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 60 6.1 Simpulan ................................................................................. 60 6.2 Saran ....................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9).
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu
terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan
erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan
dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem
tersendiri dalam kumpulan masyarakat.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri”. Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism.
2
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat yang sangat dinamis berubah
seiring berjalannya waktu. Begitu pula dengan kebutuhan manusia, namun ada
kebutuhan yang semenjak dahulu yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, yaitu: makanan dan minuman. Sejak zaman prasejarah pun kedua hal
tersebut sering disebut sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan manusia.
Dalam kajian-kajian ilmu budaya, makanan dan minuman ini selu debut
juga dengan kuliner. Makanan dan minuman yang dihasilkan oleh sebuah
peradaban atau kebudayaan, bagaimanapun mengekspresikan gagasan
manusianya. Makanan dan minuman yang dihasilkan juga memperkuat identitas
kebudayaan suatu masyarakat. Kuliner ini biasanya dihasilkan sesuai dengan
bahan dasar yang dihasilkan oleh kebudayaan tersebut atau lingkungan sekitar
wilayah budaya tersebut.
Kuliner yang memberikan identitas khas masyarakat penghasilnya, baik
keoompok kecil, etnik, atau bangsa dapat kita lihat contoh-contohnya. Mie Aceh
adalah makanan yang dihasilkan oleh masyarakat Aceh. Arsik ikan mas adalah
khas dihasilkan oleh kebudayaan Batak Toba. Kemudian pecel, getuk lindri,
gudeg, dan lainnya adalah makanan yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa.
Kemudian ada lagi cotto yang dihasilkan masyarakat Makasar dan Bugis. Selain
itu ada pula minuman tuak yang dhasilkan kebudayaan Toba. Demikian juga sake
y6ang dihasilkan oleh masyarakat Jepang. Anggur (wine) dan bir adalah minuman
yang dihasilkan oleh kebudayaan Barat.
Selain menghasilkan makanan, manusia di seluruh dunia juga
menghasilkan peralatan untuk menunjang aktivitas makan. Misalnya untuk
menempatkkan kuliner digunakan piring atau mangkuk. Untuk minuman
ditempatkan di teko, ceret, guci, dan kemudian dituang ke dalam gelas atau
3
sejenisnya. Kemudian diminum dengan gaya tersendri pula. Di Jepang dan Cina
ada pula tradisi minum the bersama. Di beberapa masyarakat ada pula tradisi
minum kopi bersama. Dalam meracik kopi pun ada juga unsur etniknya, misalnya
kopi tiam adalah khas dari budaya Tionghoa. Kopi luwak khas berasal dari Jawa.
Begitu pula kopi putih awalnya diproduksi di Eropa. Selain itu, dalam tradisi
makan makanan pokok, manusia juga membuat peralatan seperti sendok di
budaya Eropa dan sumpit dalam kebudayaan Cina.
Dari banyak bangsa di dunia, bangsa Cina merupakan bangsa yang
menjadikan tradisi makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu
hal yang penting. Menurut Dorothy Perkins (1999:104-105), “seni makanan dan
minuman telah lama dikembangkan secara tinggi di Cina”. Hal serupa juga
dikemukakan oleh James Danandjaja (2007:417) yang berpendapat bahwa,
“makanan dan minuman selalu memegang peranan utama dalam adat istiadat,
festival, dan seremonial Cina seperti kelahiran, pernikahan, dan pemakaman.”
Berbicara mengenai makanan, kuai zi (sumpit) adalah alat makan
tradisional Cina yang masih digunakan hingga saat ini, tidak hanya oleh bangsa
Cina di negaranya sendiri, namun juga digunakan di beberapa negara di dunia.1
Begitu juga dengan masyarakat Tionghoa atau etnik keturunan Cina yang berada
di Medan. Etnik Tionghoa merupakan etnik yang masih tetap kuat melestarikan
budayanya. Salah satu budaya yang masih dilestarikan tersebut adalah tradisi
makan menggunakan sumpit.
1Kuai zi memang kuat mengekspresikan identitas kebudayaan Cina. Namun demikian di dunia ini ada pula alat-alat sejenis yang digunakan manusia untuk menyantap makanan. Di dalam kebudayaan Barat, dikenal sendok, garpu, pisau pengiris daging, dan lain-lainnya. Tujuannya secara budaya adalah untuk kesehatan dalam mentransmisikan makanan secara higienis, juga sebagai gaya hidup. Di berbagai kebudayaan lain di dunia makan makanan pokok dan lauknya biasa dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan kanan, namun supaya juga bersih dan higienis, sebelum makan telapak tangan dan jari-jarinya dicuci dengan air. Demikian juga selepas makan dicuci dengan air, ada juga yang menggunakan sabun supaya benar-benar bersih dan menghilangkan bau bekas makanan. Ini semua adalah tatacara makan dalam budaya manusia di dunia ini.
4
Sumpit tidak hanya digunakan di Cina, tetapi juga di Jepang, Korea dan
Vietnam, termasuk orang Indonesia. Dikarenakan kegemaran penduduk dari
negara-negara tersebut terhadap mie, hingga membuatnya menjadi alat makan
nomor dua yang paling banyak dipakai setelah pasangan sendok dan garpu.
Cina sendiri merupakan negara dengan populasi penduduk yang sangat
tinggi dan merupakan bangsa yang paling banyak tersebar di seluruh dunia.
Walaupun tersebar di seluruh dunia, mereka selalu membawa dan melestarikan
budaya mereka di mana pun mereka berada. Salah satu contohnya adalah, bahwa
dalam kebanyakan keluarga Cina saat ini, orangtua masih mengajarkan kepada
anaknya untuk makan menggunakan sumpit. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa
Cina masih tetap kuat mempertahankan budayanya, sehingga hal ini menjadi salah
satu alasan yang membuat budaya Cina masih bertahan disaat kebudayaan
bangsa-bangsa lain mulai punah dan menghilang.
Pada awalnya, menurut para ahli sejarah, sumpit diciptakan hanya sebagai
alat masak orang Cina. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dan nilai sumpit
berkembang. Sumpit pun kemudian menjadi alat makan. Kini, orang tidak hanya
melihat sumpit sebagai seperangkat alat makan, namun juga menghargai
keberadaannya sebagai suatu benda yang dapat dijadikan koleksi atau hiasan. Hal
ini disebabkan oleh motif-motif dan warna-warna yang unik dan menarik pada
sumpit. Keindahan sumpit tersebut membuatnya mempunyai satu fungsi baru,
yakni sebagai seni.
Sumpit pada umumnya terbuat dari sepasang bilah bambu yang sama
panjang. Namun saat ini sumpit juga bisa dibuat dari bahan seperti bambu, logam,
gading, dan plastik yang permukaannya sudah dihaluskan atau dilapis dengan
5
bahan pelapis seperti pernis atau cat supaya tidak melukai mulut dan terlihat
bagus.
Di sisi lain, sumpit tidak hanya mempunyai makna tersendiri di dalam
kehidupan bangsa Cina sehari-hari, sumpit juga dapat merepresentasikan Cina.
Dengan kata lain, dengan melihat sepasang sumpit orang akan berpikir bahwa
sumpit tersebut merupakan bagian dari budaya Cina yang tak dapat terpisahkan
dari kehidupan sehari-hari masyarakat Cina.
Tidak hanya itu, tata cara pemakaian sumpit yang membutuhkan
kesabaran, keterampilan dan pengalaman juga merupakan seni. Sebagai suatu
karya seni, sumpit dapat dianggap sebagai hasil seni. Pandangan orang terhadap
sumpit yang memiliki nilai seni pun diwujudkan dengan dibuatnya galeri sumpit.
Erik Wegweiser, yang berasal dari Boston, Massachusetts, Amerika Serikat,
memilki sebuah galeri sumpit. Galeri tersebut tercipta atas dasar hobinya dalam
mengoleksi sumpit. Menurut Erik, sumpit yang indah sulit untuk didapatkan dan
jarang ditemui. Hal inilah yang membuatnya tertarik untuk mengoleksi sumpit
dan akhirnya mendirikan galeri untuk menjual koleksi-koleksinya tersebut
(Wegweiser, Erik. Erik’s Chopsticks Gallery. http://www.ichizencom/chopsticks/)
Menggunakan sumpit secara tidak langsung juga dapat membantu dan
melatih kita dalam mengatur koordinasi pergerakan bahu, lengan, pergelangan
tangan, dan jari-jari agar dapat saling bekerja dan berfungsi dengan baik, sama
seperti saat sedang menulis guratan atau karakter Cina. Lebih lanjut, disebutkan
bahwa orang yang ahli dalam menggunakan sumpit, pada umumnya dapat
menuliskan guratan Cina menggunakan tinta dengan indah. Tangan orang Cina
yang sudah terlatih dengan baik karena sering menggunakan sumpit, secara tidak
langsung juga membuat orang Cina ahli dan terampil dalam membuat kerajinan
6
tangan, dan hal ini membuat orang Barat merasa kagum. China On Your Mind.
“Chopsticks.” Chinese Articles of Everyday Use, 2008 (Lihat lebih jauh pada
http://www.chinaonyourmind.com/Chinese%20culture/Chinese%20daily%20use.
htm).
Salah satu bukti orang Barat ikut mempopulerkan kebiasaan orang Cina
dalam menggunakan sumpit dapat dilihat pada program pembelajaran mengenai
budaya Cina untuk siswa tingkat dua, di Sekolah Dasar Vermont (Vermont
Elementary School), Amerika Serikat. Program ini bertujuan untuk
memperkenalkan kebudayaan Cina kepada anak-anak dengan mempelajari bahasa
Cina, tulisan Cina, menceritakan dongeng rakyat Cina, serta mempelajari dan
berlatih menggunakan sumpit untuk makan.
Sumpit masih tetap digunakan meskipun pembuatan sumpit kadang tidak
aman, dilihat dari segi kesehatan. Konon proses pembuatan sumpit dinilai asal-
asalan dan tidak aman, serta tidak sehat bagi tubuh karena mengandung bahan
kimia, sebab dalam proses pembuatannya, sumpit menggunakan zat pemutih.
Hikaruyuki, Kontroversi Sumpit-Hati-Hati bagi yang Sering Makan dengan
Sumpit, 2007 (http://www.hikaruyuki.com/blog/2007/10/05/kontroversi-sumpit-
hati-hati-bagi-yang-sering-makan-dengan-sumpit.phpx).
Sumpit masih tetap digunakan meskipun keberadaannya dinilai dapat
merusak lingkungan karena China setiap tahun membuang 45 miliar pasang
sumpit atau sekitar 130 juta pasang sumpit per hari. Dengan kata lain,untuk
memenuhi kebutuhan tersebut harus tersedia 100 are lahan pohon bambu yg harus
diperbaharui setiap harinya. Joni Prayoga, Sejarah dan Kontroversi Sumpit, 2010
(http://lovenroll.wordpress.com/2010/08/23/sejarah-dan-kontroversi-sumpit/).
7
Topik tulisan ini adalah fungsi dan makna sumpit bagi masyarakat
Tionghoa yang terdiri dari sejarah atau awal munculnya sumpit, bentuk dan
ukuran sumpit, cara pemakaian sumpit, etika penggunaan sumpit, estetika
penataan sumpit dalam hidangan Cina serta kebiasaan menggunakan sumpit pada
masyarakat Tionghoa di Medan atau etnik keturunan Cina, yang dihubungkan
dengan keeratan hubungannya dengan kebudayaan masyarakat Cina. Penggunaan
sumpit dalam masyarakat Cina memiliki banyak sekali hal-hal yang menarik yang
mengemukakan bahwa tradisi penggunaan sumpit memiliki nilai-nilai budaya
yang sangat tinggi dan juga memiliki hubungan erat dengan kehidupan
masyarakat Cina itu sendiri. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk
memilih topik ini.
Untuk mengetahui lebih dalam, penulis berniat untuk melakukan suatu
penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada fungsi dan makna sumpit
bagi masyarakat Tionghoa di Medan. Berdasar pada latar belakang di atas, maka
saya tertarik untuk membuat penelitian ini kedalam sebuah tulisan ilmiah dengan
judul “Analisis Fungsi dan Makna Kuai Zi (Sumpit) Pada Masyarakat
Tionghoa di Medan.”
1.2 Batasan Masalah
Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan
tulisan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian
pada kajian fungsi dan makna sumpit pada masyarakat Tionghoa terhadap
penggunaan sumpit dalam tradisi kuliner Cina saat ini.
8
I.3 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, beberapa
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan
pembahasan masalah tersebut, penulis merumuskan pokok-pokok permasalahan
penelitian yang berpedoman pada manfaat dan kegunaan dari masalah tersebut
serta kemampuan penulis untuk memecahkannya. Atas dasar tersebut maka
permasalahan penelitian yang akan penulis kaji tertuang dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah fungsi kuai zi (sumpit) bagi masyarakat Tionghoa?
2. Bagaimanakah makna kuai zi (sumpit) bagi masyarakat Tionghoa?
I.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah fungsi kuai zi (sumpit) bagi masyarakat
Tionghoa.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah makna kuai zi (sumpit) bagi masyarakat
Tionghoa.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap
fungsi dan makna sumpit pada masyarakat Tionghoa adalah:
1. Memberi informasi kepada masyarakat luas, bahwa sumpit adalah alat
makan tradisional cina yang masih digunakan hingga kini karena
penggunaan sumpit memiliki berbagai macam makna dalam kehidupan
9
sehari-hari masyarakat cina maupun etnis Tionghoa atau etnis
keturunan cina.
2. Menjadi sumber rujukan bagi peneliti berikutnya dalam
mengungkapkan penelitian ilmu pengetahuan tentang budaya dengan
fokus objek yang sama.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian fungsi dan makna sumpit pada masyarakat Tionghoa
secara praktis sebagai salah satu bahan perbandingan dalam kajian budaya tradisi
masyarakat Tionghoa yang berkaitan dengan tradisi penggunaan sumpit. Selain
itu, penelitian ini juga akan bermanfaat untuk memberikan gambaran umum
kedudukan kuai zi (sumpit) dalam kebudayaan Tionghoa.
10
BAB II
KONSEP, KAJIAN PUSTAKA
DAN LANDASAN TEORI
2.1 Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian
(Singarimbun, 1989:33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456)
konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
pengertian kongkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar
bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam hal
ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara
mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta
menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.
2.1.1 Masyarakat Tionghoa
Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan
bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana
setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,
1985:60). Masyarakat juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation
system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk
mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan, anggota masyarakat perlu
11
belajar dan memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh
mereka dalam suatu keadaan tertentu.
Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia
yang berasal dari kata zhinghuo dalam dialek Hokkien dilafalkan sebagai
Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur
mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun
lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan
kuno di nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di
Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang dari Tiongkok ke nusantara dan sebaliknya.
Suku bangsa Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai
Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Sedangkan
dalam dialek Mandarin disebut Tangren (bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini
sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal
dari Tiongkok Selatan yang menyebutkan diri mereka sebagai orang Tang,
sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi,
hanyu pinyin : hanren, bahasa Indonesia :orang Han).
Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka
mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini
merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos
yang berkembang di masyarakat.
Pada awalnya bermacam-macam perayaan ini mempunyai sejarah sendiri-
sendiri, kemudian hal ini mengalami perubahan karena pengaruh dari berbagai
agama di sekeliling masyarakat Tionghoa. Secara umum, agama dan kepercayaan
12
masyarakat Tionghoa dapat dikelompokkan (1) Konghucu, (2) Taoisme dan
Budha, (3) Kristen Protestan, (4) Kristen Katolik, (5) Islam, (6) Ajaran Tridharma.
2.1.2 Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi
yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu: (1)
Deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang
menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif,
yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4)
Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri
kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang
menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu system yang berpola dan teratur, (6)
Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia
(P.W.J.Nababan, 1984:49).
Menurut Eppink dalam ensiklopedia bebas untuk budaya, ”kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan pengertian struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat”.
Sementara itu, Tylor dalam ensiklopedia bebas untuk budaya mengatakan,
“kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
13
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat”.
Dari berbagai defenisi tersebut diatas, dapat diperoleh pengertian bahwa
kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain yang seluruhnya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.1.3 Sumpit
Sumpit adalah alat makan yang berasal dari Asia Timur, berbentuk dua
batang kayu sama panjang yang dipegang di antara jari-jari salah satu tangan.
Sumpit digunakan untuk menjepit dan memindahkan makanan dari wadah, dari
piring satu ke piring lain atau memasukkan makanan ke dalam mulut. Sumpit bisa
dibuat dari bahan seperti bambu, logam, gading dan plastik yang permukaannya
sudah dihaluskan atau dilapis dengan bahan pelapis seperti pernis atau cat supaya
tidak melukai mulut dan terlihat bagus.
Sumpit digunakan di banyak negara di seluruh dunia untuk menikmati
makanan khas Asia Timur. Di beberapa negara Asia Tenggara, terutama Cina,
sumpit merupakan alat makan utama yang sama pentingnya seperti sendok dan
garpu.
14
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Fungsionalisme
Teori merupakan alat terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya
ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan
untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.
Untuk melihat fungsi dan makna Sumpit pada Masyarakat Tionghoa,
penulis menggunakan teori fungsionalisme dan semioitik. Dimana Teori
fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang
menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata)
dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan
bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara,
agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.
Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu
Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera
keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra
Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan
yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama
studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat,
sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi
kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
15
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori
fungsionalisme kebudayaan atau a functional theory of culture. Ia kemudian
mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru
besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga
meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya,
diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu
(Malinowski:1944).
Bagi Malinowski (T.O. Ihromi, 2006), mengajukan sebuah orientasi teori
yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa,
“semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu
terdapat”. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan
mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan,
setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam
suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang
bersangkutan. Menurut Malinowski,
“...fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.”
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi
berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya
tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku
etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa
16
konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-
pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi
sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya,
terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam
masyarakat;
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya,
terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai
maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang
bersangkutan;
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya,
terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari
suatu sistem sosial yang tertentu.
Contohnya: unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan
menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam
pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan
bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang menjamin
kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan
Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat
dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
17
Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955),
seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai perilaku
manusia pada konsep fungsionalisme. Tapi berlainan dengan Malinowski,
Radcliffe-Brown (T.O.Ihromi, 2006) mengatakan,
“...bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”
Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya mengandung
deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak
banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan,
dan mitologi.
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakan
Radcliffe-Brown, dan dapat dirumuskan mengenai upacara budaya
(Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut:
1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu
sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka
untuk berperilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang
dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat,
menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;
3. Sentimen itu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai
akibat pengaruh hidup masyarakat;
18
4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-
sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-
ulang pada saat-saat tertentu;
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu
dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya
kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922: 233-234).
Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi
sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada
solidaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “...the social
function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from
one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it
constituted) depends for its existence.”
Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu
teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsionalisme
struktural, ia mengatakan, “...bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah
berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk
mempertahankan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah
seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada”.
2.2.2 Teori Semiotik
Teori Semiotik dikemukakan oleh Ronald Barthes. Semiotik berasal dari
bahasa Yunani, yaitu Semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model
penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap
mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan
bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin
sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau
19
semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu populer.
(Endaswara, 2008:64).
Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara
kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification,”
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-
signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut
akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
20
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut
akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
“keramat” karena dianggap sebagai hunian para mahkluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada
simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi
sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua.
Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah
Mitos.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki
atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah
kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912).
Putri Agustioko, skripsi (2009) : “Sumpit Sebagai Ikon Budaya Cina”.
Penulis mengemukakan bahwa dua hal yang menjadi alasan atau faktor mengapa
hingga kini sumpit tetap digunakan, bahkan justru meluas kegunaannya adalah
bahwa sumpit memiliki bermacam-macam makna yang membuatnya menjadi
bagian tak terpisahkan dari budaya Cina. Kemudian yang terakhir adalah, karena
sumpit memiliki keunikan-keunikan yang membuat orang tetap menggunakannya.
Penulis juga mengatakan bahwa penggunaan sumpit tidak dapat terlepas dari
pengaruh Konfusius yang merupakan seorang filsuf Cina yang ajaran-ajarannya
sangat berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan bangsa Cina selama ratusan
tahun.
21
Henny Tanty, skripsi (2010) : “Penggunaan Sumpit dalam Masyarakat
Tionghoa Muda di Surabaya”. Teknik Analisis yang dipakai dalam penelitian ini
adalah deskriptif kuantitatif dengan metode survei, untuk menjelaskan alasan etnis
Tionghoa memilih menggunakan sumpit atau tidak. Penulis menggunakan
kuisioner menjadi alat bantu utama untuk memperoleh data. Hasil penelitian
menunjukkan mayoritas etnis Tionghoa muda tidak lagi menggunakan sumpit,
namun ada sebagian dari mereka yang sebenarnya bisa menggunakan sumpit.
Alasan utama mereka menggunakan sumpit karena telah terbiasa sejak kecil.
Mereka yang tidak menggunakan sumpit berpendapat penggunaan sumpit sangat
sulit dan tidak praktis.
Indra, jurnal (2010) : “Meneropong Kebudayaan Tionghoa Saat Ini”.
Penelitian dilakukan untuk mencari tahu seberapa besar tingkat kebudayaan
masyarakat Tionghoa yang masih ada di masyarakat saat ini. Besar tingkat
kebudayaan masyarakat Tionghoa ini dapat dilihat dari nama, budaya, alat sehari-
hari, dan sebagainya. Namun komunitas masyarakat Tionghoa masih terbagi -bagi
menjadi banyak bagian. Beragamnya komunitas masyarakat Tionghoa tersebut
dapat ditemukan di sekitar kita. Sebanyak sembilan komunitas akhirnya dipilih
mewakili untuk menjadi bahan referensi penelitian yang diadakan oleh Sally
Azaria ini. Menurut Sally, “Being A Chinese, menjadi masyarakat Tionghoa di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, harus tetap menjaga kebudayaan Tionghoa
itu sendiri, namun juga harus memiliki jiwa Nasionalisme. Nasionalisme diukur
dari memberikan yang terbaik bagi bangsa ini”.
Zhou jing (周婧), skripsi (2011): Sumpit Dalam Budaya China
(筷子里中国文化). Penelitian ini menjelaskan tentang produksi sumpit di China
22
meliputi proses produksi sumpit hingga pada penggunaan sumpit pada masyarakat
China.
Li Huiling (李慧玲), skripsi (2008): Etika Penggunaan Sumpit dan
Maknanya (筷子的文化意义与使用禁忌). Penelitian ini menjelaskan tentang etika
dalam tradisi penggunaan sumpit dan makna yang terkandung yang berkaitan
dengan adat istiadat dan kesehatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Deskriptif Kualitatif
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif bertujuan
untuk mendeskripsikan apa-apa yang berlaku saat ini. Didalamnya terdapat upaya
23
mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi
yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan
antara variabel-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak
menggunakan hipotesa, melainkan variabel-variabel yang diteliti.
Metode deskriptif kualitatif adalah data-data yang dikumpulkan bukanlah
angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut sebagai
akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi
kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan
dengan penamaan kualitatif. Deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara
akurat sesuai dengan sifat alamiah itu sendiri (Fatimah, 1993:16).
Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, wawancara, catatan,
lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, dan sebagainya. Data digambarkan
sesuai dengan hakikatnya (ciri kriteria ilmiah tertentu) secara intuitif kebahasaan,
berdasarkan pemerolehan (pengalaman gramatika) kaidah kebahasaan tertentu
sebagai hasil studi pustaka pada awal penelitian (tahap studi pustaka sebelum
penelitian dimulai). Hal tersebut hendaknya disusun dengan teliti bagian demi
bagian dengan pertimbangan ilmiah (Fatimah, 1993:17).
Secara deskriptif peneliti dapat memberikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta
gambaran data melalui pemilihan data yang dilakukan pada tahap pemilihan data
setelah data terkumpul. Dengan demikian, penelitian akan selalu
mempertimbangkan data dari segi watak itu sendiri, dan hubungannya dengan
data lainnya secara keseluruhan. Peneliti tidak berpandangan bahwa sesuatu itu
memang demikian adanya, akan tetapi harus diberikan berdasarkan pertimbangan
ilmiah yang digunakannya sebagai pisau (alat) kajiannya (Fatimah, 1993:17).
24
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan dan menganalisa suatu keadaan atau status fenomena secara
sistematis dan akurat mengenai fakta dari makna sumpit dalam representasi
budaya Cina bagi masyarakat Tionghoa
3.2 Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Studi Kepustakaan
Secara metodologi dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data,
diantaranya observasi, wawancara, angket dan studi dokumentasi (studi
kepustakaan). Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumentasi (studi
kepustakaan) (Abdurrahmat, 2005:104).
Studi dokumentasi adalah langkah-langkah atau cara pengumpulan data
atau informan yang menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari buku,
majalah atau surat kabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada relevannya dengan
masalah yang diteliti.
3.2.2 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung
kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat
informan. Koentjaraningrat (1981:136) mengatakan, “...kegiatan wawancara
secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik
bertanya dan pencatatan data hasil wawancara”.
25
Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut, maka penulis juga
mengacu pada pendapat Soehartono (1995:67) yang mengatakan, “...wawancara
adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan dicatat
atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).”
Koentjaraningrat (1981:139) juga menemukan bahwa wawancara itu
sendiri terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
“...wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu. Wawancara terfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi langsung dari suatu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi langsung yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul.”
Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat dan Soehartono mengenai
kegiatan wawancara, demi kelancaran wawancara maka sebelum melakukan
kegiatan wawancara hendaknya penulis telah mempersiapkan hal-hal yang
berhubungan dengan kegiatan wawancara, seperti alat tulis, daftar pertanyaan dan
tape recorder untuk merekam. Teknik bertanya penulis kemukakan berdasarkan
daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dan pencatatan hasil wawancara
dilakukan begitu mendapatkan jawaban dari nara sumber. Dan jawaban yang
belum sempat tercatat masih bisa didengarkan dari hasil rekaman.
Pada saat proses wawancara berlangsung, penulis menerapkan metode
wawancara bebas. Dimana pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan kepada
informan berlangsung dari satu masalah ke masalah lain tetapi tidak keluar dari
topik permasalahan.
26
3.3 Data dan Sumber Data
Sumber data primer yang dipakai yaitu jurnal elektronik Cina , buku-buku,
internet, artikel-artikel di surat kabar dan lain-lain. Selanjutnya rangkuman dan
pernyataan-pernyataan dari sumber data disusun dalam satuan-satuan. Baru
kemudian data diinterpretasikan secara logis dan analitis.
3.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis adalah Komplek Perumahan
Cemara Asri yang berada di kota Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini karena
penduduk di Komplek Perumahan Cemara Asri mayoritas adalah masyarakat
Tionghoa. Dan disana juga banyak terdapat restoran seafood atau rumah makan
Cina yang cukup ramai dikunjungi, sehingga memudahkan penulis untuk mencari
sumber data atau informan.
3.5 Teknik Analisis Data
Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran
tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis
menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji
kebenarannya secara empiric, antara lain melalui analisi data (Abdurrahmat,
2005:104).
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Teknik
Analisi Data Kualitatif. Proses analisis data dimulai dengan mencari teori-teori,
konsep-konsep generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian
yang akan dilakukan. Landasan ini perlu ditegakkan agar penelitian itu
mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. Untuk
27
mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang disebutkan diatas, orang
harus melakukan penelaahan kepustakaan. Pada umumnya lebih dari lima puluh
persen kegiatan dalam seluruh proses penelitian itu adalah membaca. Karena itu,
sumber bacaan merupakan bagian penunjang penelitian yang esensial
(Abdurrahmat, 2005:17).
Data yang terkumpul lalu diolah. Pertama-tama data itu diseleksi atas
dasar reabilitas dan validitasnya. Data yang rendah reabilitas dan validitasnya
adalah data yang kurang lengkap, digugurkan atau dilengkapi dengan substitusi
selanjutnya yang telah lulus dalam seleksi itu lalu diatur dalam tabel, matriks,
yang akan memudahkan pengelolaan selanjutnya (Abdurrahmat, 2005:38).
Kemudian dengan diskusi, penulis berusaha melakukan perincian atau
pengkhususan dengan induksi peneliti melakukan pemanduan dan pembuatan
generalisasi dan akhirnya semua bahan itu dimasukkan kedalam suatu system
berupa kesimpulan teoritis yang akan menjadi landasan bagi penyusun hipotesis
penelitian. Di dalam kesimpulan teoritis, peneliti harus mengidentifikasikan hal-
hal atau faktor-faktor utama yang akan digarap dalam penelitiannya. Faktor-faktor
inilah yang akan menjadi variabel yang akan digarap dalam penelitiannya.
Permulaan ini penting karena disitulah letak mutu sistem pemikiran teoritis
peneliti. Penyatuan hasil-hasil bacaan secara kronologis dan kompilatif saja tidak
cukup. Hasil itu harus diramu berdasarkan suatu garis pemikiran yang konsisten.
Setelah itu data diinterpretasikan secara logis dan analitis (Abdurrahmat,
2005:19).
Adapun proses yang dilakukan adalah:
28
1. Mewawancarai beberapa narasumber yang berasal dari kalangan
masyarakat Tionghoa yang dianggap memilki pengetahuan tentang hal
yang menjadi topik penelitian.
2. Mengumpulkan dan menyeleksi data-data yang berasal dari jurnal dan
buku-buku secara sistematis yang dapat mendukung tulisan ini .
3. Berdasarkan data yang didapat, lalu penulis membuat kesimpulan dari
hasil yang diteliti dan mendeskripsikannya dalam tulisan secara logis dan
analitis.
29
BAB IV
SUMPIT DALAM KEBUDAYAAN TIONGHOA
4.1 Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Minoritas Tionghoa di Indonesia sering dianggap sebagai kelompok yang
homogen, padahal mereka adalah kelompok yang heterogen. Namun, sebagai
minoritas orang Tionghoa di Indonesia masih sangat kentara. Secara kebudayaan,
peranakan Tionghoa telah cukup berbaur akan tetapi mereka masih tidak diterima
sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hal ini karena bangsa Indonesia diartikan
oleh Negara secara sempit. Hanya pribumi yang bisa diterima sebagai bagian dari
bangsa Indonesia. Padahal, pada masa lalu banyak pemimpin Indonesia yang
pribumi berpendapat bahwa konsep bangsa itu adalah konsep budaya dan politik
bukan ras. Peninjauan sejarah pemikiran politik minoritas Tionghoa di Indonesia
menunjukkan bahwa persepsi orang Tionghoa tentang posisi mereka di Indonesia
pun berubah sesuai dengan perubahan masyarakat Tionghoa dan tuntutan zaman.
Indonesia adalah sebuah negara kebangsaan yang dibentuk berdasarkan
realitas sosial, yaitu terdiri dari berbagai macam etnik, budaya, dan agama.
Indonesia menerapkan konsep bhineka tunggal ika (walau berbeda-beda namun
tetap satu juga). Dalam konteks yang demikian orang Tionghoa diberikan hak-
haknya untuk tinggal menetap dan menjadi warga negara Indonesia (WNI).
30
Namun realitas sosial juga ada semacam arahan polarisasi politis kepada warga
keturunan Tionghoa ini. Mereka diupayakan bergerak di bidang ekonomi saja
bukan ke politik dan pertahanan negara. Namun demikian, beberapa kalangan di
antara orang Tionghoa di Indonesia menduduki posisi menteri baik masa Orde
Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Claudine Salmon bersama Denys Lombart dalam bukunya yang berjudul
Kelenteng-kelenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Les Chinois de Jakarta-
Temple et Vie Collective) antara lain mendeskripsikan orang Tionghoa sudah
terdapat di pesisir utara Jawa Barat, jauh sebelum orang Belanda datang ke
Indonesia. Orang Tionghoa yang berada di Indonesia tersebut, tidak merupakan
satu kelompok yang berasal dari satu daerah di Cina, tetapi terdiri dari beberapa
suku bangsa yang kebanyakan berasal dari Provinsi Fu Kien dan Kwangtung
(1986:15)
Menurut Vasanty, orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya
terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik, kadang ditulis juga etnis) yang ada di
Negeri Cina. Umumnya mereka berasal dari dua Propinsi yaitu Fukien dan
Kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran Tionghoa ke
Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing bersama dengan
bahasanya. Para imigran Tionghoa yang tersebar di Indonesia ini mulai datang
sekitar abad keenam belas sampai kira-kira pertengahan abad kesembilan belas,
yang sebagian besar bersuku Hokkien. Mereka berasal dari provinsi Fukien bagian
selatan. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan
dagang orang Cina ke seberang lautan. Orang Hokkien dan keturunannya telah
banyak berasimilasi dengan orang Indonesia, sebagian besar terdapat di Indonesia
Timur, Jawa Tengah, dan pantai barat Sumatera (1982:346).
31
Selain itu, imigran Tionghoa lainnya adalah suku bangsa Teo-Chiu yang
berasal dari pantai selatan Negeri Cina di daerah pedalaman Swatow di bagian
timur Provinsi Kwangtung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai
pekerja di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton
(Belitung). Walaupun orang Hakka merupakan suku bangsa Cina yang paling
banyak merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Pusat
daerah mereka adalah Provinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah
gunung-gunung kapur yang tandus. Orang Hakka merantau karena terpaksa atas
kebutuhan mata pencaharian hidup. Selama berlangsungnya gelombang-
gelombang imigrasi dari tahun 1850 sampai 1930, orang Hakka adalah orang yang
paling miskin di antara para perantau Tionghoa. Mereka bersama orang Teo-Chiu
dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber mineral
sehingga sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di
distrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka, dan
Belitung. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang Hakka mulai bermigrasi ke
Jawa Barat, karena tertarik dengan perkembangan Kota Jakarta dan karena
dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Tionghoa.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di Provinsi
Kwangtung tinggallah orang-orang Kanton (Kwong Fu). Serupa dengan orang
Hakka, orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai buruh pertambangan.
Mereka bermigrasi pada abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebagian besar
tertarik oleh tambang-tambang timah di Pulau Bangka. Umumnya mereka datang
dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka dan mereka datang dengan
keterampilan teknik dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia, mereka dikenal
sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik tokoh-tokoh besi, dan industri kecil.
32
Orang Kanton ini lebih tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding
orang Hokkien, Kwong Fu, Teo-Chiu, atau Hakka. Jadi, orang Tionghoa merantau
di Indonesia ini paling sedikitnya ada empat suku bangsa seperti terurai di atas
(1982:347).
4.2 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Medan adalah kota terbesar keempat di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung. Medan adalah salah satu kota yang
menjadi tujuan migrasi utama orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara. Mereka
awalnya datang ke mari sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda
terutama di perusahaan tembakau Deli.
Medan adalah ibukota Provinsi Sumatera Utara, yang menjadi pusat
perekonomian di kawasan pulau Sumatera. Medan dan Sumatera Utara memiliki
komposisi penduduk yang heterogen. Pada masa sekarang sebagian besar
masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik
setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah
Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai
berikut:
“The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku).”
Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir,
dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan
populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan
suku-suku.
33
Di Medan dan sekitarnya seperti Belawan, Tanjung Morawa, Binjai,
Batang Kuis, orang-orang Cina lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang
menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan menyebutkan orang Cina,
yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun dalam kehidupan sehari-hari
kedua istilah ini sama-sama dipergunakan.
Dari bahan-bahan literatur yang ada tahun dan jumlah yang pasti mengenai
kapan datangnya orang-orang Tionghoa ke Medan tidak dapat ditentukan secara
pasti hingga sekarang ini. Karena tidak ada petunjuk yang nyata yang dapat
dijadikan pegangan ke arah hal tersebut. Di dalam Ensiklopedia Nasional
Indonesia, jilid 4, juga disebutkan bahwa hubungan Cina dengan Indonesia sudah
berlangsung kira-kira sejak abad ketujuh (ENI 1989:133)
Orang Belanda datang ke Indonesia pada sekitar abad keenam belas, ketika
VOC (Verenigde Oost Indische Company) memonopoli perdagangan di
Indonesia. Kemudian berangsur-angsur menguasai wilayah Indonesia satu per
satu. Tentang kedatangan orang-orang Cina pada abad ketujuh ini Dada Meuraxa
ternyata pernah pula mencatatnya.
Rahman, melalui skripsinya yang berjudul Masalah Pembauran
Masyarakat Etnik Cina Di Kotamadya Medan, antara lain mencatat hal-hal
kesejarahan sebagai berikut. Pergantian dinasti yang terjadi di Negeri Cina
menyebabkan pula adanya perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu
terhadap daerah lain, seperti pada masa kekuasaan Dinasti Ming (1368-1644)
yang berkuasa di Negeri Cina, yang tidak bermaksud untuk meluaskan
teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya.
Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain,
sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri Cina dengan
34
daerah lain sangat lancar sekali. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat
di kepulauan Indonesia dan kawasan-kawasan Asia Tenggara tidak luput
disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina. Lancarnya arus perdagangan ini adalah
karena perlindungan keamanan dari para raja Cina terhadap pedagang-
pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-pelabuhan
yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-
kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian Dinasti yang
memegang kekuasaan Negeri Cina dan timbul kegoncangan-kegoncangan sosial
ekonomi hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk,
hingga telah banyak pula di antara orang-orang di Negeri Cina yang menjadi
imigran ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekalipun.
Seorang dari mereka yang mengikuti perjalanan Laksamana Mahmud Cheng Ho
ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak
orang Cina yang menetap di sini.
Selanjutnya pada abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan
tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh
setempat hampir tidak mencukupi, bahkan hampir tidak ada. Maka didatangkanlah
dalam jumlah yang banyak tenaga buruh Cina dari Singapura. Pada tahun 1870
perkebunan Tembakau Deli Maatschappij (1809) mendatangkan 4000 orang
tenaga buruh Cina dari Singapura. Antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang
305.000 orang tenaga buruh Cina didatangkan dari Singapura dan pulau Jawa ke
Sumatera Timur, khususnya Tanah Deli (Medan). Para buruh dari orang-orang
Cina ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan. Lalu sebagian besar di
antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut,
atau mencari pekerjaan lain ke Medan, dan banyak pula di antaranya bekerja
35
sebagai tukang maupun nelayan. Medan sendiri pada waktu itu telah banyak
ditempati orang-orang Cina, dengan memiliki pemuka-pemuka golongan yang
diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri, seperti pada tahun 1880, sewaktu
Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapatinya kakaknya telah menjadi
pemuka golongan masyarakat Cina di Medan dengan pangkat majoor. Ia
meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang Cina perantauan yang
memiliki banyak harta di Medan, Jakarta, serta Singapura.
Demikian gambaran singkat tentang kedatangan orang-orang Cina ke
Medan, yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang dan
Pulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan Tembakau Deli Maatschappij, dan
sebagian lagi sebagai imigran. Tiga sebagian di antara mereka ini ada yang
menetap di daerah ini, ada yang kembali ke Republik Rakyat Cina. Namun
sebagian besar menetap di daerah ini, dan sekaligus menjadi warga Negara
Republik Indonesia beserta keturunannya (Rahman 1986: 32-33).
4.3 Sumpit
Sumpit (kuaizi) yang dalam bahasa Tionghoa kuno disebut sebagai zhu,
aslinya berasal dari Cina. Sumpit baru tersebar ke negara-negara sekitarnya pada
zaman Dinasti Shang. Dan sekarang sumpit menjadi alat makan paling umum
selain sendok. Biasanya, sumpit sangat umum dipakai oleh suku bangsa di Asia
Timur, seperti Cina, Jepang, Korea, dan juga beberapa negara di Asia lainnya
seperti Vietnam, Thailand, dan lain-lain. Sumpit kebanyakan dibuat dari bambu
atau kayu, ada juga yang terbuat dari metal, gading, plastik dan bahkan yang lebih
mewah, dari batu giok, emas atau perak (Sunanto Eddy Tamrin, 2007).
36
4.3.1 Awal Munculnya Sumpit
Tidak seorangpun tahu secara pasti kapan sebenarnya sumpit mulai
diciptakan dan digunakan. Lan Xiang (2005: 7-10) menyebutkan bahwa, “catatan
paling awal mengenai sumpit yang ditemukan adalah sekitar 3.000an tahun yang
lalu, sekitar abad kesebelas sebelum masehi”.
Di dalam buku Fu Chunjiang, yang berjudul Origins of Chinese Food
Culture, diceritakan sebuah legenda tentang seorang bernama Tong Yu yang
mengajarkan pada para penduduknya untuk memanggang daging. Saat itu, para
penduduk tersebut mendapat kesulitan untuk membalik daging dengan
menggunakan tangan karena takut terkena panas dan tangan menjadi kotor. Dan
mereka mencoba menggunakan batang kayu untuk membalik makanan tetapi
tidak berhasil. Tong Yu pun kemudian memotong bambu menjadi ramping dan
digunakan untuk mengambil makanan tersebut. Batang bambu ini kemudian
menjadi sumpit seperti yang sekarang kita ketahui.
Dahulu, sumpit disebut 著 (zhu). Melihat radikal yang terdapat di atas pada
huruf tersebut dalam karakter Cina yang berarti bambu dan karakter yang dibawah
radikal tersebut memiliki arti memasak, maka hal ini menunjukkan bahwa sumpit
muncul pada saat orang mulai belajar untuk memakan makanan yang telah
dimasak. Namun, di masa dinasti Ming dan Qing, para nelayan dari propinsi
Zhejiang menolak menggunakan istilah atau sebutan zhu tersebut karena dianggap
tidak menguntungkan bagi mereka yang hidup dari dunia pelayaran. Hal ini
dikarenakan zhu (著) terdengar seperti zhu (住) yang artinya berhenti, yang biasa
mereka gunakan untuk menyarankan agar kapal-kapal tidak bergerak. Akhirnya
mereka kemudian menamai sumpit dengan 筷子 (kuai zi), karena bunyi kuai
pada筷子 sebunyi dengan kuai (筷) yang berarti cepat.
37
4.3.2 Bentuk dan Ukuran Sumpit
Panjang dan ukuran sumpit berbeda-beda tergantung pada negara asal
sumpit tersebut. Sumpit Cina biasanya lebih panjang dari sumpit Korea dan
Jepang. Sumpit Jepang lebih pendek dari sumpit Cina dikarenakan pada saat acara
makan masakan Jepang, setiap orang memiliki seperangkat hidangannya masing-
masing. Di Jepang pada saat acara makan biasanya masing-masing orang
disediakan makanan, minuman, dan peralatan makan yang diletakkan di atas meja
yang besarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang. Maka orang Jepang tidak
membutuhkan sumpit berukuran panjang untuk memudahkan mereka saling
mengambilkan makanan atau berbagi makanan pada satu meja, karena semua
hidangan telah tersedia di atas meja mereka masing-masing. Sedangkan orang
Cina saling berbagi makanan dalam satu meja besar, sehingga dibutuhkan sumpit
yang lebih panjang untuk mengambil dan mengambilkan makanan untuk orang
lain. Diameter sumpit Cina pada bagian pangkal dan bagian ujung hampir sama.
Batang sumpit dari Cina agak lebih tebal pada bagian pangkalnya dan terkadang
berbentuk segi empat agar tidak mudah tergelincir dari meja, tidak seperti pangkal
sumpit Jepang yang berbentuk agak bulat. Pada ujungnya, sumpit Cina berbentuk
bulat namun tidak seruncing sumpit Jepang agar tidak digunakan untuk menusuk
makanan.
Sumpit pada masa dinasti Han bentuknya bulat, atasnya tebal dan bagian
bawahnya lebih ramping. Sedang sumpit pada periode musim semi dan gugur
terbuat dari tembaga dan berbentuk silinder. Karena sifat tembaga mudah
bercampur dengan zat asam, maka lambat laun sumpit tembaga digantikan dengan
sumpit perak. Sumpit kuno kebanyakan berbentuk silinder, kemudian pada dinasti
38
Ming berkembang menjadi bentuk silinder hanya pada bagian bawah dan pada
bagian atas berbentuk persegi (Lan Xiang, 2005:15-16).
4.3.3 Cara Penggunaan Sumpit
Bagi kita yang terbiasa menggunakan sendok dan garpu, mungkin akan
mendapat kesulitan untuk menguasai penggunaan sumpit, namun begitu kita
berhasil dan bisa menggunakan sumpit atau memakainya, maka kita akan
merasakan bahwa menggunakan sumpit sangatlah menarik. Pertama kali belajar
menggunakan sumpit, sebaiknya menggunakan sumpit kayu atau bambu, karena
sumpit plastik lebih licin dan lebih sulit untuk dipegang.
Adapun cara dan langkah-langkah yang tepat dalam menggunakan sumpit sesuai
dengan kebiasaan orang Cina adalah sebagai berikut:
1. Batang sumpit pertama dipegang seperti memegang pensil yang dijepit di
antara ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
2. Batang sumpit kedua diletakkan di antara jari tengah dan jari manis.
3. Pastikan kedua batang sumpit dalam keadaan sejajar.
4. Posisi kedua batang sumpit bisa dianggap benar jika bisa batang sumpit
pertama bisa melakukan gerakan ke atas dan ke bawah secara berulang-
ulang, sementara batang sumpit kedua dalam keadaan diam.
Gambar 1:
Cara Mememgang Sebatang Sumpit
39
Gambar 2:
Cara Memegang Dua Batang Sumpit
4.3.4 Keunikan Sumpit
40
Sumpit memiliki nilai lebih dibandingkan alat makan lain, karena sumpit
memiliki karakteristik yang bersifat praktis, sederhana, serta mengandung ilmu
pengetahuan (Lan Xiang, 2005: 40-41).
Bentuk sumpit Cina yang kecil dan halus, dengan bagian atas lebih besar
dari bagian bawahnya yang berbentuk bundar memudahkan orang dalam
menggunakannya. Bentuk seperti ini membuat sumpit tidak mudah terlepas dari
tangan dan terguling jatuh dari meja, serta ujungnya yang bundar tidak akan
membuat bibir dan mulut luka saat menyantap makanan.
Sumpit bambu adalah alat makan yang mudah dibentuk, tidak
menghantarkan panas makanan, sehingga memberi rasa nyaman saat dipegang,
serta tidak mengubah rasa makanan, sehingga makanan tetap terjaga kelezatan dan
cita rasanya. Selain itu, sumpit yang terbuat dari kayu atau bambu murah dalam
pembuatannya.
Lain halnya dengan sumpit yang terbuat dari perak, sumpit jenis ini dapat
digunakan untuk mendeteksi makanan apakah mengandung racun atau tidak.
Logam jenis perak akan berubah warna menjadi hitam jika bersentuhan dengan
racun. Oleh sebab itu, pada zaman dahulu, sumpit perak digunakan untuk
melindungi kaisar pada saat makan dari musuh yang ingin membunuhnya dengan
memasukkan racun pada makanan. China Online. “China Culture.” Chopsticks.
2008 (http://www.chinaonline.cn.com/chinese_culture/topical/chopsticks.html).
Sumpit-sumpit yang terbuat dari logam memiliki sifat tahan lama dalam
penggunaannya. Biasanya ujung sumpit logam dibuat tidak licin, agar mencegah
makanan mudah terjatuh pada saat dijepit. Selain itu, sumpit logam berkelas yang
biasa digunakan oleh kalangan atas, biasanya diberi rantai. Hal ini membuat
sumpit yang satu tidak mudah hilang dan terlepas dari pasangannya.
41
Sumpit yang terbuat dari plastik unggul dalam pembuatannya, karena
bahan baku yang murah. Sumpit jenis ini tahan panas atau bersifat tidak
menghantarkan panas, sama seperti sumpit kayu atau bambu. Tidak hanya itu,
sumpit plastik tidak akan menyebabkan bakteri muncul pada sumpit bila kerap
digunakan. Selain itu, pemakaian sumpit plastik yang berulang tidak akan
membuat bentuk sumpit menjadi semakin buruk.
Menurut Konfusius, seorang filsuf Cina yang filosofinya sangat
berpengaruh pada kebudayaan dan kehidupan sehari-hari bangsa Cina selama
beratus-ratus tahun, sumpit mencerminkan kelembutan dan kebajikan yang
keduanya merupakan ajaran moralnya yang utama (Konfusianisme). Di lain pihak,
garpu dan sendok melambangkan kekerasan seperti senjata. Sehingga peralatan
seperti itu harus disingkirkan dari meja makan, dan inilah alasan mengapa
kebanyakan dari makanan Cina harus dipotong dan diiris kecil-kecil sebelum
dihidangkan di meja makan agar dapat langsung dengan mudah dimakan
menggunakan sumpit. Keyakinan dan kepatuhan bangsa Cina akan pandangan dan
ajaran Konfusius ini pula yang membuat mereka mempertahankan tradisi makan
menggunakan sumpit sampai saat ini. Chinese Folk Culture. Chinese Chopsticks.
2007 (http://www.chinesefolkculture.com/info_view.asp?id).
Penggunaan sumpit berhubungan dengan peningkatan kecerdasan
seseorang. Disebutkan, bahwa pada saat memakai sumpit, seseorang
menggunakan lebih dari tiga puluh tulang sendi dan lima puluh otot pada jari,
pergelangan tangan, lengan, bahu, serta ribuan syaraf. Lengan lebih dekat
terhubung dengan otak daripada anggota tubuh lainnya. Gerakan berulang saat
menggunakan sumpit dapat merangsang pikiran dan menigkatkan perkembangan
kecerdasan otak Fu Chunjiang (2003:139).
42
4.4 Etika Penggunaan Sumpit
Seperti tradisi perjamuan makan orang Cina yang memiliki banyak aturan-
aturan dan tata cara, penggunaan sumpit pada saat makan pun memiliki tata cara
dan etika tersendiri bagi orang Cina. Yang pertama adalah, sumpit harus
digunakan dengan tangan kanan, bahkan oleh orang kidal sekalipun. Karena
penggunaan sumpit dengan tangan kiri dianggap tidak sopan dan sebagai hal yang
tidak pantas.
Bila pada jamuan Cina tidak disediakan sendok saji untuk mengambil
makanan dari meja ke mangkuk kita, maka kita boleh mengambil hidangan dari
tengah dengan menggunakan sumpit yang telah kita pakai untuk menyantap
hidangan sebelumnya. Kita juga dapat mengambil makanan atau hidangan
tersebut dengan sumpit utama, bukan sumpit pribadi yang kita gunakan untuk
makan (setiap masakan diberi sebuah mangkuk dan sepasang sumpit). Namun bila
sumpit utama tidak disediakan, kita dapat mengambil makanan yang dihidangkan
di tengah-tengah meja dengan menggunakan bagian atas dari sumpit pribadi kita,
yang tidak tersentuh oleh mulut kita (Mary Packard, 2000:1).
Pada saat makan, tidak sopan bila terdengar suara berisik dari sumpit yang
beradu dengan mangkuk atau piring. Hal ini menunjukkan bahwa mangkuk sudah
kosong. Sumpit juga tidak boleh digunakan untuk memukul sisi mangkuk atau
piring, sehingga mengakibatkan suara yang berisik. Orang-orang Cina
menganggap hanya pengemis yang memukul mangkuk atau piringnya dengan
sumpit untuk mendapatkan makanan.
Orang Cina juga menganggap tidak pantas menunjuk suatu benda atau
orang lain dengan sumpit. Begitu juga halnya dengan menunjuk orang lain
43
menggunakan jari telunjuk kita disaat tangan kita yang digunakan untuk
menunjuk itu masih dalam keadaan memegang sumpit. Tindakan seperti ini
dianggap menghina, melecehkan, dan menuduh orang yang ditunjuk. Selain tidak
boleh untuk menunjuk orang, sumpit juga tidak diperkenankan untuk menjepit
orang (Ruri, 2007).
Tidak diperbolehkan menunjuk atau menusuk makanan menggunakan
sumpit tanpa mengetahui makanan mana yang kita inginkan. Sumpit juga tidak
sepatutnya digerak-gerakkan di atas meja. Juga tidak diperkenankan
menggerakkan sumpit ke atas dan di sekitar hidangan untuk menentukan makanan
mana yang akan kita ambil dan taruh kedalam mangkuk kita. Kita harus
menentukan terlebih dahulu makanan apa yang akan kita ambil, baru
menggerakkan sumpit untuk meraih makanan tersebut.
Mengambil hidangan lalu meletakkannya kembali ke tengah meja untuk
kemudian mengambil hidangan yang lain adalah tindakan yang salah. Tindakan
yang benar untuk mengambil hidangan yang telah disediakan adalah dengan
mendekatkan mangkuk kita pada makanan yang ada di meja, ambil makanan
dengan sumpit, lalu dengan cekatan pindahkan makanan ke dalam mangkuk kita
(http://hanyawanita.com/clickwok/tips/tips16.htm).
Sumpit tidak digunakan untuk memindahkan mangkuk atau cangkir kita.
Jika ingin memindahkan mangkuk, lakukan dengan tangan. Namun, mengangkat
mangkuk dengan tangan yang sedang memegang sumpit juga dianggap tidak
benar. Maka, saat menyantap nasi atau makanan lain, sumpit sebaiknya dipegang
dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memegang mangkuk berisi nasi atau
makanan lain tersebut. Kemudian mangkuk dibawa mendekati mulut
menggunakan tangan kiri.
44
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Tip Makan Menggunakan Sumpit”
Luciawati Wongso menuliskan, bahwa tidak benar menjilat sumpit setelah
mengambil makanan atau ketika akan mengambil makanan. Bila melakukan hal
ini, akan membuat orang lain berpikiran, bahwa orang yang menjilat sumpit
tersebut adalah orang yang kekurangan pendidikan di dalam keluarga. Bila ingin
memotong daging, potong daging atau makanan dengan memanfaatkan tekanan
yang berasal dari sumpit. Namun tidak diperkenankan memotong makanan
menggunakan sumpit dengan gerakan menggergaji .
Saat menyantap hidangan dari ikan, jika ikan sudah selesai disantap pada
salah satu sisinya, lebih baik untuk tidak membalikkan ikan dengan sumpit.
Menurut kepercayaan, jika ikan tersebut patah, maka hidup kita akan mengalami
banayak masalah Bahalwan, Fatma. Etika Makan Cara Cina. Arsip Blog NCC
(http://ncc.blogsome.com/2005/07/29/etika-makan-cara-cina).
Di Indonesia sendiri, khususnya di kota Medan berdasarkan pengalaman
penulis, aturan makan dalam perjamuan makan yang diadakan oleh orang
masyarakat Tionghoa atau etnik keturunan Cina, tidak seketat seperti aturan di
negara Cina. Tamu masih boleh untuk mengambil sendiri makanan yang
diinginkan walaupun saat menjangkau makanan, tangan tamu tersebut melewati
tangan orang lain atau tangan tamu lain. Demikian pula dalam hal hidangan ikan,
masih diperbolehkan untuk membalik ikan tersebut bila telah habis dimakan di
satu sisinya. Hal ini dikarenakan banyak dari masyarakat Tionghoa tersebut yang
ternyata tidak mengetahui hal-hal yang dianggap tabu di Cina tersebut.
BAB V
45
EKSISTENSI, FUNGSI, DAN MAKNA SUMPIT
5.1 Fungsi Sumpit Bagi Masyarakat Tionghoa di Medan
5.1.1 Sumpit Sebagai Alat Makan
Makanan merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi orang Cina.
Hal ini mempengaruhi cara mereka bertegur sapa. Ucapan “Ni chi fan le ma?”
(你吃饭了吗?) yang berarti “Apakah kamu sudah makan?” sering diucapkan hanya
sebagai teguran atau sapaan basa-basi (belum tentu benar-benar bertanya apakah
orang tersebut sudah makan atau belum?). Acara makan merupakan hal yang suci
bagi orang Cina, oleh sebab itu mereka selalu mempertahankan tata cara makan
mereka yang juga sangat memperhatikan alat makan yang digunakan, seperti
sumpit.
Sumpit sebagai alat makan kini semakin digemari, tidak hanya dikalangan
masyarakat Tionghoa di Kota Medan tetapi juga oleh masyarakat pribumi yang
ada di Kota Medan, terutama saat menikmati hidangan Cina. Tidak hanya saat
menikmati hidangan Cina, saat ini juga sudah banyak ditemui restoran atau rumah
makan Indonesia yang menyediakan sumpit sebagai alat untuk makan.
Sebagai orang Indonesia, mungkin kebanyakan dari kita tidak terbiasa
menggunakan sumpit untuk makan. Kita lebih terbiasa menggunakan sendok dan
garpu, bahkan tangan kosong, untuk menikmati makanan. Di Indonesia, makanan
yang sering dinikmati dengan menggunakan sumpit adalah mi. Namun di negeri
asalnya sana, bahkan nasi pun dimakan dengan menggunakan alat makan unik ini.
Orang Indonesia kebanyakan susah menggunakan sumpit sebagai alat makan nasi.
Selain karena tidak terbiasa, nasi di Indonesia berbeda dengan nasi di Jepang dan
China.
46
Berdasarkan penelitian ini, masyarakat Tionghoa di kota Medan masih
tetap mempertahankan budaya menggunakan sumpit sebagai alat untuk
menyantap hidangan terutama hidangan atau masakan Cina. Dan masih banyak
ditemui mereka yang bahkan tidak bisa makan jika tidak menggunakan sumpit.
Meskipun pada umumnya banyak dari mereka yang juga sering dan terbiasa
menggunakan sendok dan garpu pada saat makan hidangan atau masakan di
restoran maupun rumah makan lain (bukan restoran maupun rumah makan Cina).
5.1.2 Sumpit Sebagai Identitas Budaya Cina
Sumpit sering menjadi lambang yang mewakili bangsa atau budaya Cina,
atau mengungkapkan hal-hal yang berhubungan atau identik dengan Cina.
Termasuk keturunan Cina yang tersebar ataupun menetap di berbagai negara,
seperti halnya dengan masyarakat Tionghoa yang ada di Medan.
Secara umum kata “sumpit” dipakai untuk mempresentasikan bangsa Cina
atau kebudayaan bangsa Cina secara umum. Hal serupa terdapat pada buku Red
Lacquered Chopsticks. Buku ini tidak menjelaskan mengenai sumpit pada
umumnya tetapi sumpit yang dipilitur dengan warna merah. Buku ini merupakan
kumpulan dari puisi-puisi karya Betty Warrington-Kearsley. Puisi ini
menggambarkan posisi dia sebagai seorang anak yang lahir dari darah Inggris
(barat) yang diwakili oleh garpu dan Cina (timur) yang direpresentasikan dengan
sumpit.
Contoh lain yang menunjukkan sumpit sebagai representasi dari budaya
Cina adalah dengan berdirinya rumah makan bernama Chopsticks. Chopsticks
bukanlah toko yang menjual sumpit, melainkan merupakan salah satu cabang dari
sebuah rumah makan Cina pertama yang didirikan di Lebanon pada tahun 1998.
47
Cabang rumah makan ini, menghidangkan makanan Cina cepat saji atau Chinese
Food.
5.1.3 Sumpit Dalam Pendidikan Budaya dan Teknologi
Ada sebuah karya musikal bernama “Chopsticks” yang dimainkan dengan
piano dan dikenal bernada cepat dan berloncatan. Meskipun namanya demikian,
pada dasarnya karya itu tidak ada hubungannya dengan budaya Asia. Nama asli
karya tersebut adalah “The Celebrated Chop Waltz”, dan diaransemen untuk
dimainkan dengan tangan berdekatan, jari-jari kecil menekan lembut dan
menarikan nada dengan gaya memotong cepat.
Dalam sebuah artikel yang berjudul “1001 Hal Tentang Sumpit” dituliskan
bahwa sumpit pernah menjadi salah satu bagian dari teknologi. Mars Rock Corer
adalah alat yang mampu mengasah dan mengebor bebatuan bumi untuk diambil
sampelnya. Alat tersebut dibuat oleh Hong Kong Polytechnic University untuk
misi ke Mars pada tahun 2003 yang dilakukan oleh European Space Agency.
Salah satu bagian dari alat tersebut (yang didesain untuk memegang potongan
sampel batu), ternyata terinsipirasi dari sepasang sumpit. Sayang, alat tersebut
tidak pernah diluncurkan karena mesin pendaratan dalam misi tersebut hilang
dalam perjalanan menuju Mars. Namun demikian, cukup penting untuk dicatat
bahwa sumpit pernah menjadi salah satu sumber inspirasi di bidang luar angkasa
atau teknologi.
Sumpit merupakan karya ilmiah besar yang patut dibanggakan di dalam
sejarah peradaban manusia. Orang Cina di masa Chunqiu dan Zhanguo sudah
menggunakan sumpit. Dua batang yang kelihatannya simpel ini, telah dengan
pintarnya menerapkan teori keseimbangan di dalam ilmu fisika. Sumpit
48
merupakan perpanjangan jari tangan manusia. Sumpit tahan terhadap makanan
yang panas, makanan beku, sungguh merupakan suatu ciptaan yang hebat.
Sumpit juga merupakan peninggalan masa lampau yang bermanfaat untuk
kajian sejarah, arkeologi, dan ilmu pengetahuan lainnya. Kini, dengan semakin
banyaknya jenis sumpit, bertumbuh pula jaringan kolektor yang hobi
mengumpulkan sumpit. Para kolektor ini bukan saja berasal dari negara yang
merupakan negara "asal" sumpit, tetapi juga dari berbagai belahan dunia lainnya.
Di Indonesia, walaupun belum ada datanya, diperkirakan tak sedikit pula kolektor
yang senang mengumpulkan sumpit. Semoga di Indonesia makin banyak orang
menjadi kolektor sumpit. Dengan demikian nantinya akan berdiri Museum
Sumpit.
5.2 Makna Sumpit Bagi Masyarakat Tionghoa di Medan
Sumpit dianggap mencerminkan keanggunan dan belas kasih sebagai
ajaran moral utama dari Konghucu. Di dalam masyarakat Tionghoa, makan
bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan
berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman. Oleh karenanya, alat yang
dapat melukai orang tidak boleh ada di atas meja makan. Sumpit juga dianggap
sebagai lambang kesetiaan, keharmonisan, dan persatuan karena tidak mungkin
kita menggunakan sumpit hanya satu bilah saja melainkan harus dua bilah
(sepasang).
Sumpit dapat mencerminkan status sosial seseorang. Bila seseorang
menjamu tamu dengan menggunakan sumpit yang terbuat dari gading, maka
orang tersebut bisa dikategorikan sebagai orang kaya dan sebagai tuan rumah
dapat diartikan, bahwa dia menganggap orang tersebut sebagai tamu
49
kehormatannya, sehingga dia memberikan sumpit yang terbuat dari gading untuk
sebagai bentuk rasa hormat terhadap tamu tersebut. Seseorang yang memegang
sumpit dengan kelima jarinya menandakan kemakmuran orang tersebut. Bila
orang tersebut menggunakan ketiga jarinya, maka orang itu adalah orang yang
berjiwa lepas, sedang bagi orang yang menggunakan keempat jarinya untuk
memegang sumpit, maka orang itu mempunyai hidup yang baik. Disebutkan pula,
bahwa semakin tinggi seorang gadis memegang sumpit, maka semakin lama pula
ia akan menikah, dan sebaliknya Fu Chunjiang (2003:143-146).
Mereka juga memiliki tradisi untuk meletakkan sumpit di atas bejana
untuk dipersembahkan kepada para dewa. Biasanya sumpit yang dipersembahkan
untuk para dewa itu adalah sumpit yang mahal yang biasanya terbuat dari logam
atau kayu yang sangat mahal sebagai bentuk penghargaan kepada para dewa.
Selain itu, orang Cina selalu menyiapkan tempat di meja untuk menata sepasang
sumpit dan semangkuk nasi tambahan bagi anggota keluarga mereka yang telah
meninggal. Hal ini dilakukan setiap acara makan selama tiga tahun setelah
kematian orang itu untuk menunjukkan bahwa keluarga yang ditinggalkan masih
berbagi makanan dengan arwah tersebut seakan-akan dia masih hidup. Saat
mendoakan arwah di makam ataupun di meja altar, anggota keluarga yang masih
hidup pun biasanya mempersembahkan makanan dan minuman, lengkap dengan
alat makannya yang ditata dengan rapi, agar arwah tersebut selalu memiliki
makanan dan minuman di alam baka agar tidak kelaparan.
Orang Cina akan memberi hadiah sepasang sumpit pada sepasang
pengantin pada acara pernikahan, karena sumpit melambangkan kebersamaan.
Diharapkan pasangan pengantin tersebut akan senantiasa selalu bersama seperti
sepasang sumpit yang tidak terpisahkan. Dalam “mas kawin” yang diberikan
50
orang Cina terdapat pula delapan pasang sumpit. Sumpit (筷子 kuaizi) memiliki
makna (快生孩子 kuai sheng hai zi)yang berarti harapan untuk dapat cepat
melahirkan atau memiliki anak.
Peletakan sumpit di sebelah mangkuk selain dikarenakan oleh alasan
keindahan, juga karena hal ini memiliki makna (mitos) untuk mencegah
perceraian dalam waktu singkat atau cepat (快 kuai: cepat). Selain itu sumpit harus
diletakkan dalam posisi yang sama rata. Bila tidak, makan akan membawa nasib
sial bagi orang yang memakai sumpit tersebut Fu Chunjiang (2003:146).
5.2.1 Sumpit dalam Nilai Estetika
Masakan Cina menekankan pada penilaian terhadap seni keindahan,
karena itu masakan yang baik harus disertai oleh peralatan makan yang baik pula.
Jadi, tidaklah mengherankan jika sumpit menjadi alat makan utama bagi orang
Cina, karena sumpit dianggap sebagai hasil seni. Dan saat ini, semakin banyak
sumpit yang dibuat mengandung nilai seni. Sebagai contoh, pada acara makan,
sumpit kayu keras yang sederhana, indah dan megah cocok bila dipasangkan
dengan barang-barang porselen kelas atas, sementara sumpit eboni dengan meja
makan dari porselen berwarna putih akan membuat acara makan menjadi lebih
berwarna, dan sumpit porselen berwarna biru dan putih akan cocok dengan
mangkuk dan piring yang penuh warna (berwarna-warni) di atas meja makan (Lan
Xiang, 2005:27-28).
Sepasang sumpit tidak bisa dan tidak boleh diletakkan begitu saja di atas
meja. Sumpit diletakkan di atas sandaran sumpit (chopstick’s rest) yang
51
diletakkan di sebelah mangkuk dengan posisi ujung yang lebih runcing berada di
atas agar ujung yang terkena mulut tidak menyentuh benda-benda lainnya. Sumpit
pun harus diletakkan secara rata, karena susunan yang tidak sama akan membawa
nasib sial. Apabila tidak disediakan bantalan sumpit, sumpit dapat diletakkan di
sebelah kanan mangkuk bila telah selesai menyantap hidangan.
Sumpit sebagai suatu karya seni yang indah diwujudkan dengan
terdapatnya motif, warna, materi pembuatan, maupun bentuk yang beragam.
Artinya, sumpit bukan hanya merupakan seperangkat alat makan yang dapat
dibuang setelah sekali pakai , tetapi juga bisa menjadi karya seni unik yang dapat
dijadikan koleksi atau pajangan. Sebagai contoh, Song Dong seorang seniman asal
Beijing, Cina dan istrinya yang bernama Yin Xiuzhen membuat suatu pameran
(Chopsticks) pada tahun 2002 lalu dengan mengambil sumpit sebagai sarana
instalasi Song Dong dan Yin Xiuzhen (2002:26).
Sebagian orang menjadikan sumpit sebagai koleksi pribadi. Ada dua
museum di Asia yang menampilkan koleksi tersebut. Di Cina, museum sumpit
Lan Xiang di Shanghai menyimpan lebih dari 2.000 pasang sumpit, dengan
koleksi tertua berasal dari Dinasti Tang. Sedangkan Jepang memiliki museum
sumpit versi lain, Chopstick Gallery MON di Kyoto. Di tempat ini dijual berbagai
sumpit asli Kyoto dengan keunikan ukiran dan desain tradisional. Jenis sumpit
yang ditawarkan pun beragam, mulai dari yang tradisional sampai yang modern,
terbuat dari kaca sampai yang sederhana, atau bahkan satu set sumpit yang penuh
dekorasi.
Seorang seniman tua dari Jepang yang bernama Takashi Koike, mengisi
waktunya dengan mendaur ulang sumpit bekas menjadi karya seni yang bernilai.
Takashi dengan imajinasinya berhasil membuat berbagai patung fauna laut dengan
52
sumpit-sumpit bekas yang sebelumnya dia tempel dan kemudian diukir. Seninya
menginspirasi para seniman untuk ikut menggunakan media seni yang bekas pakai
sehingga ikut dalam usaha go green dan melawan global warming. Berikut adalah
gambar contoh hasil karya Takashi:
Gambar 3:
Daur Ulang Sumpit menjadi Karya Seni oleh
Takashi Koike dari Jepang
53
Gambar 4:
Daur Ulang Sumpit menjadi Karya Seni Mimesis Daun oleh
Takashi Koike dari Jepang
54
Gambar 5:
Daur Ulang Sumpit menjadi Karya Seni Mimesis Ikan oleh
Takashi Koike dari Jepang
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
55
Awalnya sumpit hanya digunakan sebagai alat untuk memasak,kemudian
beralih menjadi alat makan. Tidak hanya oleh bangsa Cina, tetapi juga di beberapa
negara lainnya pun ikut menggunakan sumpit sebagai alat makan termasuk
masyarakat Tionghoa atau etnik keturunan Cina yang ada di Medan. Dan dalam
perkembangannya, negara-negara Barat mulai mengikuti kebiasaan menggunakan
sumpit pada saat memakan masakan Cina.
Ada dua hal yang menjadi alasan mengapa hingga kini sumpit tetap
digunakan. Alasan tersebut adalah, bahwa sumpit memiliki bermacam-macam
makna yang membuatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Cina.
Kemudian yang terakhir adalah, karena sumpit memiliki keunikan-keunikan yang
membuat bangsa Cina tetap menggunakannya.
Penggunaan sumpit tidak dapat terlepas dari pengaruh Konfusius
(Konghucu) yang merupakan seorang filsuf Cina yang ajaran-ajarannya sangat
berpengaruh dalam seluruh aspek kehidupan bangsa Cina selama ratusan tahun.
Salah satu bukti kuatnya pengaruh Konfusianisme (istilah untuk ajaran Konfusius)
adalah dengan melihat bahwa bangsa Cina mengikuti saran Konfusius untuk tidak
meletakkan garpu dan pisau yang di atas meja makan sebagai alat makan. Karena
menurut Konfusius, garpu dan pisau merupakan alat untuk membunuh. Sehingga
alat-alat seperti itu tidak boleh diletakkan di atas meja makan karena
melambangkan kekerasan.
6.2 Saran
56
DAFTAR PUSTAKA
Endaswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Ihromi, T.O. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.
Fathoni, Abdurrahmat. 2005. Metodologi Penelitian dan Teknik
PenyusunanSkripsi. Garut: Rineka Cipta
Fatimah djajasudarma, Prof.Dr.Hj.T. 2006. Metode Linguistik, Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press)
Koentjaraningrat. 1986. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press)
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas
Indonesia(UI-Press)
http://junaedi2008.Blogspot.com/2009/01/teorisemiotic.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpit
www.jurnalmedan.co.id/index.php?option...
57
dewey.petra.ac.id/dgt_res_detail.php?knokat=19583
Luca. Defenisi Seni. http://www.sifoo.com/sifoov5/articles.php?do=view&id=38
Fortune City, Seni dan Keindahan, http://members.fortunecity.com/senirupa/senirupa/id2.html
Jundana, Aizza. Tentang Sumpit (Chopsticks). http://spagiari.blogspot.com/2006/01/tentang-sumpit-chopsticks.html
http://forum.vivanews.com/aneh-dan-lucu/200635-7-etika-bersantap-dengan-sumpit-di-negara-asia.html http://kaleidoscope.cultural-china.com/en/8Kaleidoscope122.html
Wegweiser, Erik. Erik’s Chopsticks Gallery. http://www.ichizencom/chopsticks/