Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS GAP KOMPETENSI PADA PT HM SAMPOERNA
Oleh:
Edward Otha Kusuma
NIM : 212011006
KERTAS KERJA
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
2
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Jalan Diponegoro 52 -60
����:(0298) 321212, 311881
Telex 322364 ukswsa ia
Salatiga 50711 - Indonesia
Fax. (0298) -3 21433
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
N a m a : Edward Otha Kusuma
N I M : 212011006
Program Studi : Manajemen
Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi,
Judul : Analisis Gap Kompetensi Pada PT HM Sampoerna
Pembimbing : Neil Semuel Rupidara, SE., M.Sc., Ph.D.
Tanggal di uji : 23 Januari 2015
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain
yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau
simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan
pada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru
tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi
sesuai peraturan yang berlaku di Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Salatiga, 23 Januari 2015,
Yang memberi pernyataan,
Edward Otha Kusuma
3
ANALISIS GAP KOMPETENSI PADA PT HM SAMPOERNA
Oleh:
Edward Otha Kusuma
NIM : 212011006
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : MANAJEMEN
Disetujui oleh:
Neil Semuel Rupidara, SE., M.Sc., Ph.D. Pembimbing
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
4
ABSTRACT
This research explain about competence gap in PT HM Sampoerna. This study
based on fact that happened at PT HM Sampoerna in addressing the gap. This
paper’s aim is to explain the process of competence gap, also the considerations and
actions by companies and workers to fit the gap. Competence gap that experienced
by PT HM Sampoerna is due to the demands to adapt the change. Efficiency and
urgency factors require the company took the decision to move people from one
position to another position . This action cause a problem of competence gaps .
Companies addressing the problem by provide training before and after the transition
office . Cultural organizations that implement continuous learning is also support
companies and workers to solve the problems of this competence gap.
Keyword: Gap Competence, Competency , Learning Culture
5
PENDAHULUAN
Kompetensi adalah prediktor kinerja. Orang akan berkinerja baik atau kurang
tergantung pada kompetensi yang dimilikinya (Linawati & Suhaji, 2012) . Karyawan
yang tidak mempunyai kompetensi yang sesuai untuk pekerjaannya akan berpengaruh
terhadap kinerja. Dari berbagai penelitian tentang kompetensi, para peneliti
memberikan kesimpulan bahwa kompetensi berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan, seperti penelitian pada karyawan PT PP London Sumatra Tbk
(Ayuningrum, 2010), pegawai dinas pendidikan di Kabupaten Sukoharjo (Sriwidodo,
2010), penelitian pegawai PT Allianz Life (Listio, 2010), pada Dinas Tenaga Kerja
Bekasi (Murbijanto, 2013) , dan pada karyawan Bank Bukopin cabang Makassar
(Arcynthia, 2013).
Di dalam kompetensi terdapat berbagai komponen yang menunjukkan tolok
ukur kualitas seorang karyawan. Hutapea & Nurianna (2008) mengungkapkan bahwa
ada empat komponen utama pembentukan kompetensi, yaitu pengetahuan yang
dimiliki seseorang, kemampuan, pengalaman, dan perilaku individu. Karena
kompetensi pada umumnya menyangkut kemampuan dasar seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan, maka tanpa adanya kompetensi seseorang akan sulit
menyelesaikan pekerjaan tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan. Oleh
karenanya, perusahaan dapat mencapai keberhasilan apabila didukung pegawai yang
berkompetensi tinggi. Dari penjelasan tersebut maka tidak heran jika setiap
perusahaan berusaha mencari karyawan yang mempunyai kompetensi yang sesuai
dengan pekerjaannya.
Namun, tidak semua posisi pekerjaan diisi oleh orang yang kompetensinya
seperti yang dibutuhkan jabatannya itu. Inilah fenomena gap kompetensi. Fenomena
ini terjadi di banyak negara, termasuk negara maju seperti Amerika. Dari berita yang
dilansir oleh www.cnbc.com (Wastler, 2013) pada tanggal 7 September 2013, survei
dari Adecco Staffing AS menunjukkan 92% dari eksekutif senior di AS mengakui ada
kesenjangan serius dalam keterampilan tenaga kerja. Di sisi lain, berdasarkan data
dari worldbank (www.worldbank.org, 2010) , employee skill survey pada tahun 2008
di Indonesia menunjukkan masih terjadi gap kompetensi pada komunikasi dan team
skill sebesar 8,2 dan 7,9. Sesuai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa
kompetensi berhubungan dengan kinerja, maka akan menjadi suatu masalah jika
6
terjadi gap kompetensi pada diri karyawan di jabatannya. Perusahaan tentu tidak mau
jika karyawannya memiliki kinerja yang buruk.
Dalam dunia kerja di Indonesia kita dapat menjumpai gap kompetensi terjadi
juga pada perusahaan besar sekalipun. Perusahaan rokok sebesar PT HM Sampoerna
pun masih mengalami gap kompetensi pada struktur jabatan. Dari 19 salesman pada
kantor cabang PT HM Sampoerna di Tengaran, Salatiga, 9 salesman adalah karyawan
yang dulunya driver PT HM Sampoerna. Adanya situasi manajerial yang harus
menyesuaikan dengan lingkungan dan strategi perusahaan mendesak atasan untuk
mengambil keputusan managerial dengan memindahkan orang dari jabatan sales
assistant (driver) ke jabatan sales. Keadaan ini menunjukkan adanya dugaan
kesenjangan kompetensi, yaitu tuntutan kompetensi yang dibutuhkan salesman malah
diisi oleh orang-orang yang dulunya adalah driver. Kompetensi yang dimiliki driver
tidak sesuai dengan yang dituntut oleh jabatan salesman. Perusahaan tentunya
menginginkan karyawan yang berkompeten dalam mengisi jabatan itu sendiri, oleh
karena itu PT HM Sampoerna harus dapat mengisi kesenjangan kompetensi tersebut.
Gap kompetensi merupakan hal yang tidak jarang terjadi di dunia kerja.
Namun, di samping gap kompetensi adalah masalah potensial bagi kinerja
perusahaan, pertimbangan apa saja yang menjadi alasan para pengambil keputusan
untuk berani mengambil keputusan yang pada akhirnya dapat menimbulkan gap
kompetensi ini merupakan masalah yang diangkat oleh penelitian ini. Di sisi lain,
bagaimana proses sebelum dan setelah munculnya gap kompetensi juga menjadi
alasan penelitian ini. Analisis terhadap gap kompetensi ini dilakukan di PT HM
Sampoerna cabang Tengaran, Salatiga.
Persoalan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah tersebut, persoalan penelitian yang
akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa terjadi gap kompetensi di PT HM Sampoerna?(termasuk
didalamnya kompetensi apa saja yang teridentifikasi mengalami gap)
2. Bagaimana tindakan perusahaan (dan pekerja) mengisi gap kompetensi
yang terjadi?
7
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami alasan dan proses PT HM
Sampoerna dalam fenomena gap kompetensi.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini untuk perusahaan adalah untuk mengetahui kesenjangan
kompetensi yang terjadi pada karyawannya dan menjadi bahan pertimbangan dalam
mengadakan pelatihan dan mengembangkan karyawannya.
Manfaat untuk penulis dan pembaca adalah untuk dapat memahami alasan dan
proses dibalik keputusan perusahaan memindahkan seseorang yang mebuka peluang
terjadinya gap kompetensi.
8
LANDASAN TEORI
Kompetensi
Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, perilaku yang
harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya (Anung,
2010). Hutapea & Nurianna (2008) mengungkapkan bahwa ada tiga komponen utama
pembentukan kompetensi, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang, kemampuan,
dan perilaku individu. Pengetahuan (knowledge) adalah informasi yang dimiliki
seseorang karyawan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan
bidang yang digelutinya. Keterampilan (skill) merupakan suatu upaya untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan perusahaan kepada seorang
karyawan dengan baik dan maksimal. Sikap (attitude) merupakan pola tingkah laku
seorang karyawan/pegawai di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sesuai dengan peraturan perusahaan. Penjelasan tentang kompetensi tersebut sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Moeheriono (2009), Marshall (2003), Robbins
(2001), Rivai (2004), Malthis (2006), dan Vathanophas (2007) yang berarti
kompetensi merupakan suatu kemampuan seseorang dengan karakteristik tertentu
yang memiliki hubungan dengan kinerja.
Banyak model kompetensi yang dibangun seperti menurut Vathanophas
(2007) dan Palan (2008), tetapi model tersebut tidak jauh berbeda dengan model
kompetensi menurut Spencer & Spencer (1993). Model yang membentuk suatu
kompetensi menurut Spencer & Spencer (1993) adalah motives, yaitu konsistensi
berpikir mengenai sesuatu yang diinginkan atau dikehendaki oleh seseorang. Traits,
yaitu karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi
tertentu. Self concept, yaitu sikap, nilai, atau imaginasi seseorang. Knowledge,
informasi seseorang dalam lingkup tertentu. Skills, yaitu kemampuan untuk
mengerjakan tugas-tugas fisik atau mental tertentu.
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa kompetensi berpengaruh positif
terhadap kinerja. Penelitian pada karyawan PT PP London Sumatra Tbk
(Ayuningrum, 2010) menunjukkan hasil koefisien korelasi antara kompetensi sumber
daya manusia dengan kinerja karyawan memiliki hubungan positif dan signifikan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa kompetensi sumber daya
manusia di PT.PP Lonsum, Tbk sudah baik sehingga dapat mempengaruhi kinerja
karyawan. Penelitian pada pegawai Dinas Pendidikan di Kabupaten Sukoharjo
9
(Sriwidodo, 2010). Hasil analisis menunjukkan empat variabel independen secara
individual mempengaruhi kinerja karyawan . Variabel kompetensi memiliki pengaruh
dominan terhadap kinerja. Penelitian pada pegawai PT Allianz Life (Listio, 2010)
menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari kompetensi terhadap
kinerja karyawan PT Allianz Life Indonesia wilayah Jawa Barat. Nilai koefisien jalur
yang bertanda positif menunjukkan kompetensi yang makin tinggi akan membuat
kinerja karyawan juga semakin tinggi, maka disimpulkan bahwa kompetensi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Allianz Life Indonesia
wilayah Jawa Barat. Dari hasil pengolahan SEM, menunujukkan kompetensi dengan
indikator pelayanan internal dan eksternal karyawan memiliki pengaruh yang tinggi
terhadap kinerja karyawan, dengan indikator keseringan dalam penyelesaian
pekerjaan. Penelitian pada karyawan Bank Bukopin cabang Makassar (Arcynthia,
2013) menunjukkan bahwa dimensi kompetensi (pengetahuan, keterampilan, perilaku
dan pengalaman kerja) berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan
pada PT. Bank Bukopin, Tbk. Cabang Makassar. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil
perbandingan antara nilai ρ value dari masing-masing variabel kompetensi dengan
kinerja karyawan sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan, keterampilan,
perilaku dan pengalaman kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kinerja karyawan, dengan demikian maka hipotesis pertama yang
diajukan terbukti kebenarannya. Penelitian pada kinerja pengelolaan keuangan daerah
pada Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie Jaya (Safwan, Nadirsyah, & Abdullah,
2014) menunjukkan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan
keuangan daerah.
Gap Kompetensi dan Urgensinya
Gap kompetensi menurut Lutek (Sikora, 2013) adalah “A lack or a deficiency
of abilities” necessary to reach the goals and tasks of the organization or to achieve
the results which the managerial staff regard to be ”attainable” with the existing
material and personnel resources; or achieving the results obtained by the leader or a
group of the best companies in a given industry. “ The difference between the
desirable (in managers’ opinion) competences and the actual ones, and between the
structure and the level of competences owned by the managerial staff and the
desirable or required competences.”
10
Ini berarti gap kompetensi merupakan kurangnya kemampuan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan organisasi. Definisi kedua menyebutkan bahwa gap organisasi
merupakan perbedaan kompetensi yang dibutuhkan dengan yang sebenarnya. “A
competency gap refers to the absence of a skill in the individual’s profile.” (Zarandi
& Fox,2012) berarti bahwa gap kompetensi merujuk pada hilangnya kemampuan
pada seseorang. “There is usually a divergence between the competences of an
enterprise and those that are necessary to accomplish its goals. It is defined as
competency gap.” (Lutek & Curie, 2011). Hal ini berarti gap kompetensi
mengindikasikan adanya perbedaan kompetensi yang diharapkan suatu perusahaan
dan orang-orang yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.
Dari landasan teori tersebut, berarti seseorang yang tidak mempunyai
kompetensi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan pada jabatannya akan menjadi
masalah bagi kinerjanya sendiri. Gap kompetensi merupakan kurangnya kemampuan
seseorang, dimana kompetensi sendiri mempunyai pengaruh yang positif terhadap
kinerja. Seseorang dituntut mempunyai kompetensi yang sesuai dengan jabatannya.
Metode Pengukuran Kompetensi
Pengukuran kompetensi dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang
tepat sesuai dengan kebutuhan. Menurut Spencer & Spencer (1993) metode
pengukuran meliputi Behavioral Event Interviews (BEI), Tests, Assessment Centers,
Biodata, dan Ratings. Menurut Kusumastuti (2004) terdapat beberapa metode dan
alat ukur yang digunakan dalam pengukuran kompetensi seperti Assessment Center,
Psikotes, Graphology/Astrology/phrenology, Wawancara Perilaku (Behavioral
Event Interview/ Competency Based Interview), Self Assessment, Panel, Penilaian
360, Kuesioner Ordinal/Likert, dan Biodata (Life History Assessment).
11
Metode Pengisian Gap Kompetensi
Pelatihan sumber daya manusia menurut pendapat Dessler (2003) “Training is
the process of teaching new employees the basic skills they need to perform their jobs.
Training refers to a planned effort to facilitate employees the learning of job-related
competencies”. Dari definisi tersebut, juga dari definisi Kaswan (2011) dan
Mangkunegara (2003) dapat dipahami bahwa training atau pelatihan merupakan
upaya yang dilakukan untuk memberikan pengajaran kepada seseorang karyawan
untuk melakukan pekerjaannya, Semua definisi tersebut berfokus pada pemberian
pelatihan untuk dapat menjadikan karyawan mempunyai kompetensi dalam
melakukan pekerjaannya
Menurut Bangun (2010) metode on the job training merupakan metode yang
paling banyak digunakan perusahaan dalam melatih tenaga kerjanya. Para karyawan
mempelajari pekerjaannya sambil mengerjakan secara langsung. Kebanyakan
perusahaan menggunakan orang dalam perusahaan yang melakukan pelatihan
terhadap sumber daya manusianya, biasanya dilakukan oleh atasan langsung.
Menggunakan metode ini lebih efektif dan efisien, karena disamping biaya pelatihan
yang lebih murah, tenaga kerja yang dilatih lebih mengenal dengan baik pelatihnya.
Adapun empat metode yang digunakan adalah rotasi pekerjaan (job rotation),
penugasan yang direncanakan, pembimbingan, pelatihan posisi. Di lain sisi, Hasibuan
(2005) memaparkan metode pengembangan training tentang classroom methods
adalah metode pertemuan dalam kelas meliputi lecture (pengajaran), conference
(rapat), programmed instruction, metode kasus, role playing, metode diskusi, dan
metode seminar.
12
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Menurut Moleong (2006) penelitian kualitatif yaitu bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus deskriptif. Studi kasus
deskriptif ini menurut Baxter (2008) “... is used to describe an intervention or
phenomenon and the real-life context” in which it occurred.”
Metode pengumpulan data dan sumber data
Metode kualitatif lazimnya meliputi pengamatan, wawancara dan penelaahan
dokumen (Moleong, 2007). Data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata keterangan
dari narasumber. Menurut Arikunto (2002), sumber data adalah subjek dari mana
data diperoleh. Sumber data tersebut bisa dari person (orang), paper (kertas), place
(tempat). Data ini diperoleh dari sumber aslinya yaitu kantor cabang PT HM
Sampoerna di Tengaran, Salatiga. Dalam hal ini, data merupakan data lisan hasil
wawancara peneliti dengan para karyawan (sales dan supervisor). Menurut Nazir
(2009) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara
dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara). Mengacu pada (Sugiyono, 2010), wawancara
dilakukan secara semistruktur, yaitu karena disamping peneliti sudah tahu garis besar
permasalahan, peneliti juga ingin lebih menggali lebih dalam informasi yang didapat
dari narasumber. Wawancara yang dilakukan dengan datang langsung ke kantor PT
HM Sampoerna di Tengaran Salatiga yang dapat ditempuh kurang lebih 15 menit dari
rumah peneliti. Wawancara dilakukan pada sore hari saat aktivitas kantor sudah mulai
selesai. Peneliti telah membuat janji terlebih dahulu kepada para mantan sales
assistant yang menjadi responden utama yang akan digali informasinya. Itu pun
peneliti harus cukup lama menunggu karena padatnya tugas para sales ini sehingga
saat peneliti datang masih ada rapat dan ada yang baru kembali dari tugasnya. Saat
menunggu sales yang akan diwawancarai, peneliti aktif mengamati keadaan di kantor
guna menambah ide untuk pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti juga berbincang-
13
bincang dengan sales yang kebetulan duduk di ruang tunggu. Wawancara dilakukan
bertahap, peneliti mengawali wawancara dengan satu orang sales dulu untuk
kemudian dapat mengembangkan pertanyaan untuk sesi wawancara tahap kedua.
Tahap ketiga wawancara sales dilakukan secara informal lewat telepon atau sms
karena sibuknya aktivitas kantor. Wawancara untuk manajer sedikit mengalami
kesulitan karena terdesak masalah kesibukan kerja yang pada akhirnya peneliti tidak
dapat menggali informasi dari manajer. Hal ini juga dikarenakan masalah jarak karena
manajer yang terlibat langsung untuk pemindahan para sales assistant ini berada di
Solo. Di sisi lain, peneliti dapat melakukan wawancara informal dengan supervisor
yang sedikit banyak tahu tentang data-data yang dibutuhkan peneliti.
Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman (1992), terdapat 3 tahap pengolahan data
kualitatif yang disebut interactive model. Tiga tahap tersebut adalah penyajian data (
display data ), reduksi data (data reduction), penarikan kesimpulan (Verification ).
Peneliti menerapkan metode tersebut pada keterangan-keterangan yang telah didapat.
Data yang didapat dari hasil wawancara telah direkam oleh peneliti. Pertama-tama
peneliti mendengarkan hasil wawancara yang telah direkam sebelumnya. Dari hasil
wawancara yang didengar tersebut, peneliti menyaringnya dengan menulis poin-poin
yang penting dari setiap jawaban narasumber. Setelah itu, dari keterangan yang telah
ditulis, peneliti melihat kembali hal-hal yang sama dari setiap jawaban narasumber.
Hal ini dilakukan untuk mendapat gambaran tentang apa yang terjadi di lapangan,
maka dapat ditarik hubungan antara fakta satu dan fakta lainnya sehingga dapat
terlihat pola yang jelas guna justifikasi. Setelah tahap tersebut, data kemudian
dianalisis untuk ditarik sebuah kesimpulan.
14
TEMUAN PENELITIAN
Perpindahan Jabatan Kerja sebagai Awal Terjadinya Gap Kompetensi
Pada Januari 2013, Pak Adi (mantan sales assistant) menyebutkan memang
telah ada wacana pengalihan kerja sales assistant (driver) menjadi sales di Solo.
Perpindahan jabatan kerja dari sales assistant (driver) ke sales pada PT HM
Sampoerna Salatiga cabang Tengaran tersebut menurut penjelasan dari Pak Albert
(Supervisor) merupakan salah satu tindakan yang dilatarbelakangi pertimbangan
tertentu. Tindakan tersebut dilakukan karena efisiensi. Manajemen level atas
menginginkan dikuranginya lini bawah sales asistant (driver) menjadi sales
sepenuhnya dengan mengalihkan pekerjaan driver ke perusahaan penyedia tenaga
kerja (outsourcing). Hal ini menjadikan semua driver yang sekarang adalah orang luar
yang bukan sales assistant. Fenomena perpindahan dari sales assistant (driver) dengan
mengangkat semua driver juga dikarenakan faktor urgensi sehubungan dengan
dibukanya kantor cabang baru di Tengaran Salatiga. Perusahaan beranggapan bahwa
pengisian job sales pada pembukaan kantor cabang baru Tengaran Salatiga pada awal
2014 dengan mencari orang dari luar (eksternal) akan memakan banyak waktu.
Adanya keputusan tersebut menimbulkan masalah gap kompetensi. Menurut
keterangan dari Pak Albert (Supervisor) 9 dari 11 sales assistant yang ditawari job
sales ini memilih untuk menerimanya. Alasan utama mereka menerima tawaran yang
juga didalamnya ada unsur perintah adalah masalah gaji. Ternyata, 4 dari 5 sales yang
telah diwawancarai yaitu Pak Budi, Pak Rudi, Pak Andre, dan Pak Galih menjelaskan
bahwa faktor utama yang mereka pertimbangkan adalah gaji yang lebih besar dari
jabatan mereka sebelumnya. Pak Budi (mantan sales assistant) contohnya, berkata,
”Gaji kan selisihnya kalau dari driver ke sales hampir separuh.” Ada yang merasa
pekerjaan sales lebih mempunyai prestise daripada pekerjaan driver yang sekedar
menyetir, seperti yang dikatakan oleh Pak Rudi , ”Kalo secara sosial dilihat itu lebih
gagah, karena seragamnya beda, mas.” Pekerjaan sales juga diterima karena adanya
alasan untuk pengembangan karir dari pekerjaannya dulu. Hal ini juga dikemukakan
oleh Pak Galih (mantan sales assistant) yang dalam tanggapannya secara cepat dia
memaparkan, ”Siapa sih yang tidak mau naik grade?” Ada juga yang menolak untuk
menerima tawaran tersebut. Pak Albert selaku Supervisor dan Pak Andre (mantan
sales assistant) pun menyebutkan bahwa orang-orang ini biasanya sudah terlalu tua
15
dan memang tidak mau untuk menerima tawaran tersebut, orang-orang yang menolak
ini kemudian mundur dari pekerjaan. Dari 5 sales yang diwawancarai menyebutkan
mereka merasa telah cukup yakin karena mereka sudah cukup memahami atau punya
pengetahuan tentang job sales itu sendiri, Pak Budi (mantan sales assistant ) misalnya,
berkata ”Nah, untuk kalau masalah itu bisa atau tidak, kita kebetulan setiap harinya
kan jalan dengan salesman, apalagi kita saling tukar ilmu.”
Perpindahan jabatan kerja tersebut berlangsung selama 2 tahap di mana
pertama-tama perusahaan hanya meminta orang-orang pilihan supervisor pada
pertengahan tahun 2013 , namun pada bulan oktober 2013, menurut Pak Adi (mantan
sales assistant) ada perubahan dari manajemen level atas dimana mereka memutuskan
untuk mengangkat semua sales asisstant (driver) yang ada karena membutuhkan
tenaga sales banyak untuk kantor cabang baru di Tengaran, Salatiga. Dari proses
tersebut lahirlah sales-sales dari sales assistant (driver) yang sekarang bekerja di PT
HM Sampoerna kantor cabang Tengaran Salatiga.
Identifikasi Gap Kompetensi Akibat Perpindahan Jabatan Kerja
Pada dasarnya, ada gap kompetensi antara uraian jabatan sales assistant
(driver) dan uraian jabatan sales itu sendiri. Berdasarkan standar kompetensi yang
didapat, Pak Albert (Supervisor) menjelaskan bahwa kompetensi yang dibutuhkan
untuk sales assistant adalah achievement orientation, integrity, dan integrity & co-
operation. Kompetensi yang dibutuhkan untuk seorang sales adalah achievement
orientation, customer service orientation, integrity, dan integrity & co-operation. Ini
berarti menunjukkan adanya kesenjangan pada jenis kompetensi customer service
orientation. Pada tingkat kesesuaian kompetensi pekerjaan dengan kompetensi yang
dimiliki oleh pekerja juga mengalami gap. Hal ini tampak dari penjelasan mantan
sales assistant yang diwawancarai. Pak Rudi (mantan sales assistant) mengatakan
kalau sales assistant (driver) dituntut untuk mempunyai pengetahuan tentang berbagai
hal yang berkenaan dengan aktivitas sales itu sendiri. Beliau sendiri menambahkan
kalau dirinya masih harus banyak belajar untuk itu. Pak Rudi (mantan sales assistant)
berkata, “Kalau kita punya program, kita harus tau program itu apa , harus display
apa, harus ngecer apa, hadiahnya apa.” Di lain sisi, pada job sales sendiri, menurut
Pak Rudi (mantan sales assistant), “Pekerjaan sales tidak hanya berjualan saja, tetapi
kita lihat di mana itu ada konsumen, di mana itu ada keramaian, di mana toko, analisa
16
pasar, mau ada program apa, di area mana kita harus tau.” Menurutnya, sales dituntut
lebih dari pekerjaan sales yang terdahulu karena selain dapat menawarkan produk
atau program-program yang telah ada, sales juga harus dapat melakukan analisis pasar
dan menentukan sendiri langkah yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan karena
belakangan ini job marketing tersebut telah dilebur menjadi job sales. Hal yang
selanjutnya menurut Pak Rudi (mantan sales assistant) adalah sales dituntut dapat
berorientasi kepada customer dan dapat melakukan edukasi kepada toko. Hal ini
menurutnya membuat beliau masih harus banyak belajar. Hal yang sama juga
disampaikan oleh Pak Galih (mantan sales assistant) kalau dirinya juga merasa
mempunyai kemampuan yang baru setelah menjadi sales.
Proses Penyesuaian Kompetensi
Adanya keputusan perpindahan job Sales Assistant (driver) menuju ke Sales
oleh pihak managemen atas memang merupakan langkah yang memerlukan
penyesuaian kompetensi. Langkah ini dilakukan tidak semata-mata karena tindakan
yang bersifat spekulatif. Dari pengalaman sales yang dulunya berasal dari sales
assistant ini, dapat dilihat sebenarnya pihak manajemen telah berupaya melakukan
penyesuaian kompetensi sebelum mengambil keputusan tersebut. Awalnya
manajemen level atas menghendaki supervisor merekomendasikan orang-orang dari
sales asisstant yang dianggap mampu dalam pekerjaan sales itu sendiri. Proses
penyesuaian kompetensi sudah dilakukan baik sebelum maupun sesudah para sales
assistant (driver) ini menjadi sales.
• Sebelum menjadi sales
Menurut Pak Albert (Supervisor), orang orang yang dikirim pada tahap
pertama (pertengahan tahun 2013) berdasarkan pertimbangan sikap kerja secara
subjektif (feeling) dan performanya dilihat dari pencapaian target mereka karena
mereka dulunya adalah orang-orang yang bersama-sama dalam satu tim sales. Maka
jika timnya berhasil, dapat dikatakan sales assistant ini juga dianggap berkinerja baik.
Pengiriman orang-orang tersebut pun telah dilakukan dan sempat menghasilkan
beberapa orang yang telah disetujui menjadi sales salah satunya adalah Pak Rudi dan
Pak Agung. Namun pada bulan Oktober 2013, menurut Pak Adi (mantan sales
17
assistant) ada perubahan dari manajemen level atas dimana mereka memutuskan
untuk mengangkat semua sales asisstant (driver) yang ada. Selanjutnya, orang-orang
tersebut mendapatkan training menjadi sales. Pak Rudi (mantan sales assistant)
menambahkan training tersebut dilakukan ke seluruh sales assistant di semua kantor
cabang sehingga dibutuhkan jadwal training yang memang harus bergantian. Sales
assistant ini mendapat jadwal in class training setiap hari kamis tiap minggunya.
Materi yang diberikan pada in class training ini adalah pengenalan job sales dan
pengantar seputar konsep bisnis bagaimana Sampoerna memandang bisnis rokok.
Sales assistant yang telah mengikuti training hanya dapat mengetahui hasil peserta
yang baik biasanya hanya 3 orang yang diumumkan, proses ini berlanjut seterusnya
sampai proses training selesai. Pak Adi (mantan sales assistant ) berkata manajemen
memutuskan untuk memberi kesempatan bagi mereka yang masih mendapat nilai
jelek dalam proses training tersebut karena kebetulan perusahaan juga sedang
membutuhkan sales banyak.
Usaha penyesuaian kompetensi juga telah dilakukan jauh sebelum adanya
pelatihan yang diberikan kepada sales assistant ini, dari 5 driver yang diwawancarai,
mereka mengatakan bahwa driver sudah terbiasa mendapat ilmu dari sales yang
bersama-sama dengan mereka dulunya. Ini juga sudah menjadi budaya dari PT HM
Sampoerna untuk selalu belajar dan membagikannya kepada pekerja yang lain. Pak
Budi (mantan sales assistant) menyebutkan, ”Kalo di Sampoerna itu istilahnya kalau
orang Jawa bilang, tukar ilmu atau tukar kawruh sudah menjadi wajib Sampoerna.”.
Semua sales yang diwawancarai juga mengatakan bahwa atasan selalu memberi saran
dan perintah jika driver hendaknya dapat bertukar peran (role) setidaknya sekali
dalam seminggu untuk menjadi sales. Hasilnya, driver yang telah bertukar peran dapat
menggunakan handheld, sebuah alat untuk melakukan pencatatan order barang. Pak
Rudi dan Pak Adi (mantan sales assistant ) mengutarakan bahwa mereka telah merasa
mempunyai kemampuan dalam hal menganalisis pasar yang memang dibutuhkan
dalam pekerjaan sales itu sendiri.
• Sesudah menjadi sales (proses dalam job baru)
Setelah mendapatkan training, sales assistant ini saatnya untuk menghadapi
job sales yang sesungguhnya. Walaupun telah menerima pelatihan baik pada in class
training dari segi materi (pengenalan konsep bisnis Sampoerna) dan praktek saat on
18
the job training (bertukar peran), awalnya driver juga mengalami beberapa kendala
saat menjadi sales. Semua driver yang diwawancarai mengakui masih adanya
kesulitan beradaptasi dalam mengoperasikan teknologi. Mereka masih bingung
menggunakan komputer. Perusahaan sebenarnya telah berupaya untuk meningkatkan
kemampuan karyawan dalam hal penguasaan teknologi. Pak Budi (mantan sales
assistant) menyebutkan bahwa semua sales di Sampoerna wajib mempunyai laptop
dan handphone yang modern. Walaupun demikian, semua driver yang diwawancarai
mengaku masih kesulitan untuk beradaptasi dengan teknologi. Pak Rudi (mantan sales
assistant ) misalnya, dia sudah sempat mencoba mengisi kekurangan tersebut dengan
berniat untuk mengikuti kursus, tetapi dia mendapat semangat dari teman sesama
sales dengan menawarkan bantuan untuk mendapat pengajaran komputer. Di lain sisi,
Pak Galih (mantan sales assistant) mengaku masih kesulitan untuk dapat
berkomunikasi dengan owner toko dan melakukan pendekatan konsumen. Pak Galih
(mantan sales assistant) yang merasa belum dapat melakukan pendekatan konsumen
dan berkomunikasi dengan baik, berinsiatif untuk mempelajari setiap kali atasannya
berbicara dengan owner toko/konsumen. ”Saya belajar dari mereka yang senior itu
bicara ke toko dan bagaimana mereka mengambil hati, mengetahui apakah owner
toko penguasa atau apa,” kata Pak Galih (mantan sales assistant). Ada juga yang
merasa susah untuk menerima materi-materi dalam bahasa inggris. Hal ini dialami
oleh Pak Adi (mantan sales assistant) ,beliau menjelaskan umumnya materi
kebanyakan dalam bentuk materi dan Pak Adi (mantan sales assistant) bertanya
langsung ke atasan saat ada bahasa yang tidak ia pahami, karena umumnya semua
materi dan istilah yang digunakan dalam bidang sales itu sendiri adalah menggunakan
bahasa inggris. Dari semua driver yang diwawancarai, mereka mengatakan peluang
untuk dapat berdiskusi dengan atasan sangat sering dilakukan untuk membantu
mereka yang mengalami kesulitan pada pekerjaannya.
19
PEMBAHASAN
Perusahaan PT HM Sampoerna melakukan perubahan organisasi guna
efisiensi. Perubahan organisasi umumnya peralihan kondisi masa kini yang mengacu
pada kondisi masa depan guna meningkatkan efektifitas dan efisiensinya (Lili , 2007).
Robbins (2003) menyebutkan bahwa organisasi menghadapi lingkungan dinamik
yang menyebabkan timbulnya keharusan untuk berubah. Perubahan yang dilakukan
adalah penggantian lini bawah sales assistant menjadi sales sepenuhnya. Menurut
Winardi (2005), pada hakekatnya tipe perubahan organisasi meliputi perubahan
struktur dan orang dimana mencakup perubahan wewenang dan rancang ulang
pekerjaan. Pemangkasan lini bawah sales assistant menjadi sales telah menimbulkan
masalah gap kompetensi. Lili (2007) menambahkan perubahan pada tingkat basis
kelompok dapat mempengaruhi desain pekerjaan.
Perusahaan PT HM Sampoerna dalam mempertahankan eksistensinya juga
melakukan succession planning. Program succession planning adalah sistem yang
kompleks yang di desain untuk menjaga kesejahteraan organisasi (Jackson &
Schuller, 1990). Kuswati (2009) menyebutkan seleksi dalam succession planning
dilakukan melalui seleksi internal saja, artinya siapa saja karyawan yang siap dengan
jabatan tertentu yang sedang dibutuhkan atau bila tidak, siapa yang akan disiapkan
enam bulan kedepan untuk jabatan tertentu dari dalam perusahaan tanpa melihat
eksternal SDM, dengan kriteria seleksi pada skills dan pengalaman saja. Adanya
keadaan yang yang mengharuskan PT HM Sampoerna untuk menyesuaikan dengan
perubahan mengakibatkan gap kompetensi. Succession planning yang dilakukan
tidak lagi melihat kompetensi yang benar-benar cocok untuk pekerjaan sales, maka
hal ini mengakibatkan gap kompetensi. Hal ini terbukti dengan kompetensi customer
orientation yang masih belum banyak dimiliki oleh para mantan sales assistant.
Motif karyawan yang mau menerima pekerjaan dikarenakan gaji juga
mengakibatkan kesesuaian kompetensi yang jauh dari harapan, mereka hanya
menerima pekerjaan berdasarkan kebutuhan gaji dan bukan karena mereka memiliki
kompetensi yang sesuai. Dari alasan-alasan yang dipaparkan para sales untuk
menerima tawaran dari perusahaan, sebenarnya hal ini merupakan alasan wajar,
mengingat menurut Abraham Maslow (1970) manusia mempunyai kebutuhan dasar
diantaranya adalah basic needs, safety needs,love needs, esteem needs, self
20
actualitation needs. Seseorang dapat mengambil keputusan dengan didasari oleh
kebutuhan dasar ini. Kebutuhan hidup dasar kebanyakan dipengaruhi oleh uang, hal
ini juga menyebabkan keputusan sales assistant untuk menerima pekerjaan sales.
Kebutuhan esteem needs atau kebutuhan untuk dihargai juga merupakan alasan yang
dipertimbangkan dalam pengambilan tawaran pekerjaan, begitu juga halnya dengan
kebutuhan aktualisasi diri/pengembangan. Karyawan yang menerima tawaran untuk
menjadi sales juga mempertimbangkan masalah status sosial. Hal ini juga sejalan
dengan yang disebutkan oleh Saydam (2000) bahwa status dan kedudukan tertentu
adalah dambaan setiap karyawan dalam bekerja di perusahaan.
Gap kompetensi adalah suatu resiko yang telah diperhitungkan oleh PT HM
Sampoerna. Tindakan untuk mengisi gap tersebut telah dilakukan sebelum dan
sesudah keputusan dibuat. Hariandja (2007) menyatakan terdapat beberapa alasan
pentingnya pelatihan dilakukan, diantaranya karena pegawai yang baru direkrut sering
kali belum memahami secara benar bagaimana melakukan pekerjaan. Pemberian
training setelah perpindahan jabatan dengan cara diskusi juga dilakukan PT HM.
Hariandja (2007) menyebutkan training penting untuk dilakukan karena perubahan
dalam lingkungan kerja dan tenaga kerja; meningkatkan daya saing perusahaan;
ataupun untuk menyesuaikan peraturan yang ada.
PT HM Sampoerna menekankan budaya saling belajar satu sama lain seperti
yang dikatakan oleh Pak Budi, ”Kalo di Sampoerna itu istilahnya kalau orang Jawa
bilang, tukar ilmu atau tukar kawruh sudah menjadi wajib Sampoerna.” Pedler
(Ortenbald, 2010) menambahkan suatu organisasi pembelajaran adalah organisasi
yang salah satunya mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu
terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka serta memperluas
budaya belajar. Gap kompetensi yang berpotensi menyebabkan adanya penurunan
kinerja mampu ditutupi PT HM Sampoerna dengan melakukan budaya organisasi
pembelajaran. Perusahaan tersebut terus mendorong para karyawannya untuk terus
membudayakan saling tukar ilmu dan belajar satu sama lain sehingga diharapkan
karyawan yang tidak memiliki kompetensi yang sesuai dapat menghasilkan kinerja
yang baik. Kebiasaan ini secara tidak langsung menciptakan kompetensi yang
diinginkan perusahaan. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Fitriati & Tobing
(2009) yang menemukan bahwa organisasi pembelajaran memiliki hubungan positif
dan signifikan terhadap peningkatan kompetensi karyawan. Hidayat (2008) juga
menemukan jika organisasi pembelajaran turut berpengaruh terhadap kompetensi
21
seseorang. Selanjutnya learning organization dapat menciptakan kompetensi inti
(Huseno, 2011). Menurut Yeo’s (Budiharjo & Purnama, 2009) pembelajaran secara
kolektif antar anggota dalam organisasi akan dapat memengaruhi kinerja perusahaan
sehingga dapat memberikan competitive advantage bagi organisasi tersebut.
Menciptakan organisasi pembelajaran (learning organization) akan membuat
karyawan, kelompok, maupun organisasi secara konstan mengembangkan
kapasitasnya untuk mencapai hasil optimal, yang lazim disebut kinerja. Marsick &
Watkins (Budiharjo & Purnama, 2009) juga menyatakan bahwa budaya organisasi
yang mendukung pembelajaran dapat mendorong peningkatan kinerja. Pada
kenyataannya orang-orang yang diangkat ini dapat lebih mudah dalam mengerjakan
pekerjaan barunya dikarenakan adanya kebiasaan di perusahaan untuk selalu belajar
dan bertukar peran. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Pak Budi (mantan sales
assistant) dimana PT HM Sampoerna sendiri membiasakan adanya budaya saling
belajar antara karyawannya sehingga hal ini dapat lebih membantu perusahaan dalam
mengatasi gap kompetensi yang terjadi. Menurut Harrison (2002) salah satu budaya
organisasi adalah budaya pendukung (support culture) yaitu budaya dimana ada
kelompok yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan
seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut, dan suatu waktu dapat terjadi
adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus. Hal ini
sejalan dengan Rivai (2003) yang mengatakan bahwa budaya organisasi dibuat untuk
meningkatkan prestasi kerja, yang berarti erat kaitannya dengan kemampuan
seseorang tersebut dalam meningkatkan kemampuan pada pekerjaannya.
22
KESIMPULAN
1. Kondisi gap kompetensi terjadi karena masalah-masalah managerial yaitu
keputusan organisasi untuk melakukan efisiensi di perusahaan dan adanya faktor
urgensi. Para pekerja yang menyadari adanya kemampuan yang kurang, menerima
tawaran yang diberikan karena adanya hal-hal yang menjadi kebutuhan dasar seperti
gaji yang lebih tinggi. Hal ini juga menjadi penyebab terjadinya gap kompetensi di PT
HM Sampoerna. Jenis kompetensi yang mengalami kesenjangan adalah kompetensi
customer orirentation, dimana sales lebih dituntut untuk dapat melakukan pendekatan
ke customer dan dapat melakukan edukasi pada pelanggan. Sedangkan pada saat
menjadi sales assistant ( driver) hanya dituntut untuk sekedar tahu.
2. Perusahaan PT HM Sampoerna cabang Tengaran Salatiga menghadapi gap
kompetensi dengan cara melakukan upaya-upaya penyesuaian kompetensi sebelum
dan sesudah perpindahan jabatan. Upaya dilakukan secara terus menerus sehingga
diharapkan karyawan dapat semakin dekat dan sesuai dengan kompetensi yang
diharapkan pada pekerjaaan itu sendiri. Tindakan yang dilakukan sebelum
perpindahan adalah training on the job training dan in class training, sedangkan
training yang diberikan setelah perpindahan lebih banyak mengarah pada on the job
training dan diskusi. Di lain sisi, penerapan budaya belajar yang dilakukan oleh PT
HM Sampoerna sebelum dan sesudah perpindahan jabatan sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan proses penyesuaian kompetensi tersebut.
23
IMPLIKASI TEORI
Perencanaan sumber daya manusia pada suatu organisasi seringkali
menimbulkan masalah gap kompetensi. Perusahaan seringkali dihadapkan pada
pilihan yang sulit dalam mengatur sumber daya manusianya. Keadaan ini disebabkan
oleh perusahaan sebagai organisasi tidak dapat menghindar dengan lingkungan yang
dinamis. Perusahaan harus dapat menyesuaikan dan mampu beradaptasi dengan
segala perubahan yang terjadi. Perencanaan sumber daya manusia yang telah
diprogram sedemikian rupa dapat berubah dikarenakan adanya perubahan lingkungan,
yang dipengaruhi baik faktor internal maupun eksternal perusahaan. Perusahaan harus
dapat mengambil keputusan yang bersifat praktis kaitannya dalam merespon
perubahan yang terjadi. Keputusan yang diambil perusahaan dalam bidang sumber
daya manusia bisa saja menyebabkan masalah gap kompetensi. Gap kompetensi
merupakan masalah potensial yang berkaitan dengan kinerja karyawan. Hal ini boleh
saja terjadi, asal perusahaan harus dapat melakukan penyesuaian kompetensi yang
terjadi akibat gap yang timbul tersebut. Perusahaan dapat secara dini melakukan
upaya penyesuaian kompetensi dengan melakukan training sebelum timbulnya gap
kompetensi. Perusahaan sebaiknya juga melakukan training setelah gap tersebut ada,
kedua cara ini dapat lebih efektif jika perusahaan terus menerus membangun budaya
belajar dalam organisasinya sehingga karyawan yang mengalami masalah gap
kompetensi dapat lebih mudah dalam beradaptasi mengisi kekosongan kompetensi
yang terjadi.
24
DAFTAR PUSTAKA
Anung, P. (2010). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Dosen Negeri
Dipekerjakan Pada Kopetis Wilayah V Yogyakarta. JBTI Volume 1 nomor 1 .
Anonym. (2010). Retrieved from www.worldbank.org.
Arcynthia, L. (2013). Analisis Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT.
Bank Bukopin, Tbk Cabang Makassar. Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Hasanuddin Makassar .
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta.
Ayuningrum, W. (2010). Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja
Karyawan Di PT PP London Sumatera Tbk, Medan. Departemen Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sumatera Utara Medan .
Bangun, W. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Erlangga.
Baxter, P. A. (2008). Qualitative Case Study Methodology. Study Design.
Budiharjo, A. & Purnama, M. (2009). Peran Budaya Pembelajaran dan Knowledge
Management. Jurnal Manajemen Bisnis. Integritas
Dessler, G. (2003). Human Resource Management Tenth Edition. New Jersey: Prentice Hall
Hariandja, M. T. E. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia : Pengadaan, Pengembangan,
Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai. Jakarta : Grasindo.
Hasibuan, Malayu S.P. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Jakarta :
Bumi Aksara
Harisson, R. (2002). Understanding your Organization’s Character. Harvard Business
Review. May-June: 119-128
Hidayat, D. S. (2008). Strategi Membangun Kompetensi Organisasi Dalam Rangka
Meningkatkan Kinerja Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Jawa Tengah. Program Studi
Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Huseno, T. (2011). Learning Organization Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia Dalam Era Globalisasi. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Fakultas
Ekonomi Universitas Tamansiswa Padang
Hutapea, P., & Nurianna, T. (2008). Kompetensi Plus. Jakarta: PT Gramedia.
Jackson, S.,E & Schuller, R.,S. (1990). Human Resource Planning: Challenges for
Industrial/Organizational Psichologist. American Psichologist
25
Kaswan. (2011). Pelatihan dan Pengembangan untuk Meningkatkan Kinerja SDM.
Bandung: Alfabeta.
Kusumastuti, D. (2004). Implementasi SDM Berbasis Kompetensi-Pengukuran Kebutuhan
Kompetensi Jabatan. Lembaga Manajemen Pemerintahan Daerah.Bandung.
Kuswati, R. (2009). Succession Management: Upaya Human Resource Planning Menuju
Success Corporate. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Lili, K. F. (2007). Perubahan dan Pengembangan Organisasi. Equilibrium3 No. 5.
Linawati, & Suhaji (2012). Pengaruh Motivasi, Kompetensi, Kepemimpinan dan Lingkungan
Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada PT Herculon Carpet Semarang).
Jurnal Akuntansi Perilaku No 4 Volume 2 .
Listio, R. (2010). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Kerja Terhadap Karyawan PT Allianz
Life Indonesia Wilayah Jawa Barat.Program Pasca Sarjana Bandung .
Lutek, A. S. & Curie, M. (2011). Organizational Competency Gap And Methods Of Its
Reduction. Skłodowska University. Poland
Malthis, R. L. (2006). Human Resource Management. Jakarta: Salemba Empat.
Mangkunegara, A. P. (2003). Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Bandung. Penerbit Refika Aditama.
Marshall, P. (2003). Mengapa Beberapa Orang Lebih Sukses Dari Yang Lainnya?. PT
Bhuana Ilmu Populer.
Maslow, A. B. (1970). Motivation and Personality. New York: Harper & Row Publisher
Miles, B. d. (1992). Analisa Data Kualitatif. Jakarta: UI Press Jakarta.
Moeheriono. (2009). Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Ghalia Indonesia.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi Cetakan keduapuluh
dua. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Murbijanto, R. E. (2013). Analisis Pengaruh Kompetensi Kerja Dan Lingkungan Kerja Fisik
Terhadap Kinerja Pegawai. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro
Semarang .
Nazir, M. (2009). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia.
Ortenbald, A. (2010). Organisasi Pembelajaran dan Pembelajaran Organisasi. Sekolah Pasca
Sarjana ITB Bogor.
Palan, R. (2008). Competency Management. Cetakan kedua. Jakarta Pusat: PPM.
Prihadi, S. 2004. Kinerja, Aspek Pengukuran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Riduwan. (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.
26
Rivai, Vl.(2003). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rivai, V. (2004). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi Kedua. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Robbins, S. (2001). Perilaku Organisasi Jilid I. Jakarta: Prenhallindo.
Robbins, S. (2003). Organizational Behavior. Pretince Hall
Safwan, N, & Abdullah, S. (2014). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi terhadap kinerja
pengelolaan keuangan daerah pada pemerintah daerah Kabupaten Pidie Jaya. Jurnal
Akutansi Pascasarjana Univerritas Syiah Kuala .
Saydam, G. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource) Suatu Pendekatan
Mikro. Jakarta: Djanbatan.
Sikora, U. S. (2013). Reducing Competence Gap And The Interprise’s Effectivenes. Maria
Curie-Sklodowska University, Poland
Spencer, L. M. & Signe M. Spencer. 1993. Competence Work: Model for Superior
Performance. John Wiley and Sons, Inc.
Sriwidodo, U. (2010). Pengaruh Kompetensi, Motivasi, Komunikasi Dan Kesejahteraan
Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pendidkan. Fakultas Ekonomi Universitas Slamet
Riyadi Surakarta .
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sumarno. (2008). Analisis Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan PT. Malang
Intermedia Pers2008. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang .
Tobing, S. Y. L. & Fitriati, R. (2009). Pengaruh Organisasi Pembelajar terhadap Kompetensi
Pegawai Bank. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Bisnis & Birokrasi.
Vathanophas, V. d. (2007). Competency Requirements for Effective Job Performance in The
Thai Public Sector. Contemporary Management Research, Bangkok Vol.3 , No.1 , 45-
70
Wastler, A. (2013, 9 7). Retrieved from http://www.cnbc.com/id/101012437.
Wijono, S. (2010). Psikologi Industri & Organisasi : Dalam Suatu Bidang Gerak Psikologi
Sumber Daya Manusia edisi revisi. Jakarta: Kencana
Winardi. (2005). Manajemen Perubahan. Jakarta: Kencana
Zarandi, M. F. & Fox, M. S. (2012). Reasoning about Skills and Competencies. University of
Toronto, Toronto, Canada.