Upload
kadaimamak
View
36
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
analisis
Citation preview
http://anharululum.blogspot.com/2011/10/analisis-inovasi-pendidikan.html, diakses13 des
2013
ANALISIS INOVASI PENDIDIKAN
Pengertian inovasi :
a. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, inovasi adalah pemasukan atau atau pengenalan hal-hal
yang baru, penemuan baru yang yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal
sebelumnya (gagasan, metode atau alat)1[1]
b. Inovasi artinya: pembaharuan (bidang pengembangan kemasyarakatan, sains/ iptek).2[2]
c. Secara etimologi inovasi ialah suatu perubahan yang baru yang menuju kearah perbaikan, yang
lain atau berbeda dari yang ada sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan berencana
(tidak secara kebetulan saja).3[3]
d. Inovasi pendidikan ialah suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda dari hal (yang ada)
sebelumnya dan sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan
tertentu dalam pendidikan.4[4]
Dari keempat definisi tersebut dapat diverbalisasikan menjadi suatu definisi yang
komprehensif, yakni inovasi adalah penemuan baru dan kualitatif yang belum ada sebelumnya,
diperoleh melalui sebuah perencanaan yang matang guna menuju kearah perbaikan.
2. Hambatan-hambatan inovasi pendidikan:
a)Hambatan psikologis5[5]
Hambatan-hambatan ini ditemukan bila kondisi psikologis individu menjadi faktor penolakan.
Hambatan psikologis telah dan masih merupakan kerangka kunci untuk memahami apa yang
terjadi bila orang dan sistem melakukan penolakan terhadap upaya perubahan.
1[1] Pusat bahasa departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta, 2003, hlm; 435.
2[2] Partanto, A, Pius, Al Barry M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, penerbit Arkola surabaya. Hlm: 259.
3[3] Zahara Idrist ,Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, PT Gramedia Widasarana, Jakarta, 1992. Hlm: 70
4[4] Suryobroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, PT Aneka Cipta, Jakarta, 1990. Hlm: 127.
5[5] ibid
b) Hambatan praktis
Hambatan praktis adalah faktor-faktor penolakan yang lebih bersifat fisik. Untuk memberikan
contoh tentang hambatan praktis:
1) waktu, sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan memerlukan jangka waktu panjang,
karena pendidikan bercorak mendidik. Dalam perbuatan biasanya orang dapat melihat dan
memeriksa hasilnya dengan segera. Hasil pendidikan itu baru dapat dilihat pada generasi
berikutnya6[6]. Mungkin hal itu yang menjadi dasar penolakan.
2) sumber daya, tidak adanya sumber daya yang memadai guna menjalankan suatu inovasi
tertentu bisa menjadi hambatan terlaksananya inovasi tersebut. Seperti halnya KBK, di sekolah-
sekolah yang kurang maju KBK belum bisa dilaksanakan karena minim dan juga rendahnya
sumber daya baik itu berupa sumberdaya manusia maupun biaya.
3) sistem, sebagaimana dipaparkan oleh C.E. Beeby, bahwa sistem pendidikan di Indonesia ini
berantakan dan luar biasa kompleknya, hal ini bisa kita lihat dari tiga aspek dari struktur
administrasi yang vital untuk meningkatkan standar pendidikan7[7]:
a. Struktur administrasi secara keseluruhan yang terlalu luas dan fragmentasi, sehingga tidak sesuai
dengan tujuan pemerintah untuk segera memperbaiki mutu pendidikan secara nasional.
Fragmentasi administrasi pendidikan baik di tingkat nasional maupun propinsi menambah
kesulitan mengadakan perubahan.
b. Pengawasan ganda atas sekolah dasar, pengawasan sekolah dasar memberikan ilustrasi yang
jelas mengenai tidak padunya struktur administrasi. Disamping kesulitan yang timbul oleh
pemisahan SD negeri dan swasta, sekolah agama dan bukan agama, juga adanya masalah
dualisme pengawasan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan serta Departemen Dalam
Negeri.
c. Koordinasi horizontal antara Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) dengan unit-unit lain di
dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya dalam pengawasan terhadap
pembaharuan-pembaharuan dan anggaran pembangunan.
6[6] ,Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, usaha nasional: Surabaya, 2003, hlm; 30
7[7] Beeby, PENDIDIKAN DI INDONESIA penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES: Jakarta, 1987, hlm; 242, 245
c) Hambatan nilai
Hambatan nilai melibatkan kenyataan bahwa suatu inovasi mungkin selaras dengan nilai-
nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang dianut orang-orang tertentu, tetapi mungkin
bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut sejumlah orang lain. Jika inovasi berlawanan dengan
nilai-nilai sebagian peserta, maka bentrokan nilai akan terjadi dan penolakan terhadap inovasi
pun muncul. Jika kita memandang Norwegia sebagai suatu masyarakat dengan konflik
kepentingan, maka tampaknya adil dan wajar bila kita menghentikan perubahan yang berlawanan
dengan keyakinan orang-orang tertentu. Harus juga dapat diterima bahwa orang akan berusaha
mengimplementasikan perubahan yang selaras dengan perangkat nilai yang dianutnya. Untuk
melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, posisi kekuasaan/otoritas sering digunakan. Oleh
karena itu, sulit untuk menentukan apa hambatan nilai itu, dan apa hambatan yang akan muncul
di masa depan.
d) Hambatan kekuasaan
Kekuasaan itu sendiri belum tentu negatif dan tidak harus dipandang sebagai hambatan.
Kekuasaan itu perlu untuk memelihara kepentingan dan nilai-nilai. Kekuasaan juga merupakan
bagian penting dari posisi kepemimpinan. Sangat penting untuk menyadari keberadaan faktor
kekuasaan ini dalam organisasi dan sistem sosial dan dapat melihatnya serta melawannya bila
kekuasaan disalahgunakan. Masalahnya adalah bahwa seseorang yang berada pada tampuk
kekuasaan memiliki kesempatan yang besar untuk memanipulasinya demi keuntungannya sendiri
dan demi mempertahankan posisi dan tradisi struktur. Kekuasaan dapat dengan mudah
dipergunakan untuk memberi kelompok besar tertentu keuntungan yang lebih besar daripada
kelompok-kelompok lainnya. Sayangnya banyak contoh yang menunjukkan kekuasaan dan
wewenang terkonsentrasi pada sekelompok kecil orang dan digunakan dengan cara yang sangat
tercela. Tetapi bukan kekuasaan itu sendiri yang menentukan, melainkan cara menggunakannya
dan nilai-nilai yang berada di belakangnya.8[8]
Sebab-sebab terhambatnya inovasi
8[8] Suryobroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, PT Aneka Cipta, Jakarta, 1990. Hlm: 127.
Karena adanya penolakan dari pihak-pihak yang menerima pembaruan yang menganggap sebagai
hal yang merugikan. Anggapan negatif merupakan sikap pesimis terhadap suatu tindakan yang
akan dilakukan, sehingga kecil kemungkinan berhasil jika kita besikap pesimis.
Kurangnya mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait dalam suatu oraginsasi atau sekolah.
Suatu pembaharuan tidak akan berjalan normal jika tidak adanya dukungan dan partisipasi dari
semua pihak.
Minimnya dana yang digunakan pembaruan fasilitas-fasilitas lama yang menuntut segera diganti
dengan peralatan atau fasilitas baru sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa alokasi dana untuk bidang pendidikan di negara kita
sangat minim dan tidak merata. Hal itu dapat kita ketahui dari banyaknya sekolah-sekolah yang
kondisinya memprihatinkan karena tidak adanya biaya yang cukup guna pengembangan sekolah.
Kurangnya peran para ahli dalam mengemban tugas sebagai inovator yang mempunyai
profesionalisme yang tinggi. Perkembangan inovasi di dunia pendidikan masih kalah pesat
dengan inovasi-inovasi di bidang sains dan teknologi, salah satu penyababnya adalah kurangnya
greget para ahli, walaupun sebenarnya kita memiliki banyak pakar pendidikan.
3. Strategi agar inovasi dapat berjalan dengan baik.
Supaya inovasi dapat berkembang dan berjalan dengan baik bisa beracuan pada lima asumsi.
Asumsi pertama adalah bahwa proses inovasi memiliki urutan yang rasional. Ini berarti
bahwa inovasi dipandang sebagai mengikuti urutan logis dengan fase-fase yang didefinisikan
secara jelas. Jadi, urutan terjadinya hal-hal ini bukan suatu kebetulan. Menurut model ini, semua
inovasi diawali dengan penelitian dasar dan dilanjutkan dengan penelitian terapan. Penelitian
dasar bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan baru (tuntutan akan orisinalitasnya), tanpa
mempedulikan nilai hasilnya. Penelitian lanjutan dilakukan berdasarkan hasil-hasil ini, tetapi
sekarang dengan memperhatikan penerapan hasil-hasil penelitian itu. Jadi, penelitian ini
mungkin akan memberikan hasil yang dapat mengarah pada praktek-praktek baru atau
mempengaruhi praktek-praktek lama.
Asumsi kedua telah diilustrasikan secara implisit di atas, yaitu aspek perencanaan jangka
panjang. Contoh penisilin menunjukan bahwa inovasi sering kali merupakan proses yang
panjang. Aspek waktunya sering lebih panjang daripada yang direncanakan semula. Penggunaan
produk itu untuk jangka waktu lama sering menunjukkan efek samping yang tidak diprediksi.
Dalam kasus penisilin, masalah muncul berupa penolakan, imunitas dan alergi. Maka muncullah
kebutuhan untuk mengembangkan jenis antibiotik yang baru. Ini memperpanjang proses inovasi.
Sumber ekonomi tambahan juga diperlukan untuk penelitian lebih lanjut dan untuk
pengembangan produk baru. Metode penaikan modal mengakibatkan penisilin dijual dengan
harga tinggi. Keuntungannya disalurkan kembali ke penelitian. Menjual produk dengan harga
yang sangat tinggi agar memperoleh dana yang dapat dialokasikan untuk penelitian dan uji coba
merupakan praktek yang lazim.
Asumsi ketiga adalah bahwa spesialisasi pekerjaan dan koordinasi juga merupakan bagian
dari model inovasi. Ini berarti bahwa setiap langkah dalam proses inovasi harus dijalankan oleh
ahli atau kelompok ahli. Setiap orang diberi bidang pekerjaan dan tanggung jawab khusus. Para
peneliti merupakan spesialis yang terlatih dalam sikap maupun metodenya dalam bidang ini.
Profesional lainnya masuk ke dalam fase eksperimentasi dan uji coba. Fase ini sering disebut
fase implementasi, yaitu fase ketika ide-ide diubah menjadi realitas. Implementasi eksperimental
ini merupakan prasyarat penting untuk difusi (penyebarluasan) yang dilakukan dalam fase
berikutnya.
Asumsi keempat adalah pengguna pasif dan rasional. Di dalam strategi inovasi, kita
mempersepsi para pengguna produk yang baru dikembangkan atau ditingkatkan itu sebagai
pihak yang tidak berpengaruh langsung terhadap proses inovasi. Para peneliti dan ahli-ahli
lainnya memperhatikan hal ini. Dengan kata lain, para ahli tahu apa yang paling dibutuhkan oleh
konsumen.
Asumsi terakhir yang akan disebutkan adalah bahwa investasi yang besar diperlukan
sebelum difusi atau penyebarluasan dilakukan. Jelas bahwa diperlukan banyak sumber daya
profesional serta akses ke sumber ekonomi untuk penelitian, eksperimen, pengembangan dan
promosi jenis inovasi ini. Jadi, model ini telah menunjukkan sangat dapat diterapkan dalam
bidang komersial.9[9]
Pusat bahasa departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta, 2003, hlm; 435.10[2] Partanto, A, Pius, Al Barry M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, penerbit Arkola surabaya. Hlm: 259.
9
10
11[3] Zahara Idrist ,Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, PT Gramedia Widasarana, Jakarta, 1992. Hlm: 7012[4] Suryobroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, PT Aneka Cipta, Jakarta, 1990. Hlm: 127.13[5] ibid14[6] ,Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, usaha nasional: Surabaya, 2003, hlm; 3015[7] Beeby, PENDIDIKAN DI INDONESIA penilaian dan pedoman perencanaan, LP3ES: Jakarta, 1987, hlm; 242, 24516[8] Suryobroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, PT Aneka Cipta, Jakarta, 1990. Hlm: 127.
11
12
13
14
15
16