Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, Cd, Hg dan Cr)
PADA ORGAN IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis
Castelnau, 1855 ) ASAL SUNGAI CILIWUNG JAKARTA
MARSHEL EIKA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITA ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, Cd, Hg dan Cr) PADA
ORGAN IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis) ASAL SUNGAI
CILIWUNG, JAKARTA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MARSHEL EIKA
1113095000031
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITA ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/1440 H
Scanned by CamScanner
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Analisis Kandungan Logam (Pb, Cd Hg dan Cr) pada
Organ Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) asal
Sungai Ciliwung Jakarta” yang di tulis oleh Marshel Eika, NIM
1113095000031 telah diuji dan dinyatakan “LULUS” dalam sidang Munaqosah
pada hari Jumat, 16 Agustus 2019. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) Program Studi Biologi, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menyetujui:
Mengetahui,
Penguji I,
Penguji II,
Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
NIP. 197505262000122001
NIP. 196904042005012005
NIP. 19650902200112001 NIP. 197505262000122001
Scanned by CamScanner
i
ABSTRAK
Marshel Eika. Analisis Kandungan Logam Berat (Pb, Cd, Hg Dan Cr) Pada
Organ Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys Pardalis Castelnau, 1855) Asal
Sungai Ciliwung Jakarta. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019.
Dibimbing oleh Dr. Fahma Wijayanti M.Si dan Dr. Dewi Elfidasari M.Si.
Sungai Ciliwung tercemar oleh bahan organik, anorganik dan logam berat akibat
limbah yang dihasilkan dari kegiatan domestik, pertanian dan industri. Armoured
catfish (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) merupakan spesies invasif
yang memiliki adaptasi tinggi sehingga dapat mendominansi di Sungai Ciliwung
Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kandungan logam berat di
organ ginjal, hati, kulit dan insang ikan sapu-sapu asal Sungai Ciliwung dan organ
target akumulasi logam. Sampel diambil menggunakan metode purposive
sampling. Ikan yang digunakan sebagai sampel diambil dari Sungai Ciliwung dan
BPPBIH (kontrol). Sampel didestruksi dengan larutan asam agar dapat dianalisis
menggunakan AAS pada panjang gelombang 283,3 - 357,9 nm. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa logam berat Pb dan Hg terdeteksi pada organ ikan sapu-sapu.
Kandungan Pb dari tinggi ke rendah terdapat pada insang (1.467±0.309 ppm),
kulit (0.3415±0.458 ppm), ginjal (0.0168±0,0080 ppm) dan hati (0.0123± 0.0037
ppm). Kandungan logam Hg dari tinggi ke rendah pada hati (0,0680±0.021 ppm),
ginjal (0,030±0.002 ppm), kulit (0,013) dan insang (0,0135±0.005 ppm).
Kandungan logam Cd terdeteksi di insang ikan dari BPPBIH (0,053 ppm).
Berdasarkan uji signifikan non parametrik Kruskal Wallis menunjukkan
kandungan logam pb ataupun Hg dari masing-masing organ tidak berbeda nyata
(P > 0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah kandungan logam yang
terdeteksi di organ ikan sapu-sapu Pb dan Hg. Organ ikan sapu-sapu yang menjadi
target akumulasi logam adalah insang.
Kata kunci: AAS; Logam Berat; Pterygoplichthys pardalis; Sungai Ciliwung;
ii
ABSTRACT
Marshel Eika. Analysis of Heavy Metals (Pb, Cd, Hg and Cr) in Fish Organ
(Pterygoplichthys pardalis Castenau, 1855) From Ciliwung River Jakarta.
Undergraduete Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and
Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019.
Advised by Dr. Fahma Wijayanti M.Si. and Dr. Dewi Elfidasari M.Si.
The Ciliwung River was polluted by organic, inorganic and heavy metals due to
waste generated by domestic, agricultural and industrial activities. Armored
catfish (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) was an invasive species with
high adaptation so that it can dominate in the Ciliwung River in Jakarta. This
study aimed to detect the content of heavy metals accumulation in the kidney,
liver, skin and gills of fish from the Ciliwung River. Samples were taken using a
purposive sampling method. The fish which as samples were taken from the
Ciliwung River and BPPBIH (control). The samples was degraded using acid
solution so that it could be analyzed using AAS at a wavelength of 283.3 - 357.9
nm. The results showed that heavy metals Pb and Hg were detected in fish organs.
Pb found in the gills (1,467 ± 0.309 ppm), skin (0.3415 ± 0.458 ppm), kidneys
(0.0168 ± 0.0080 ppm) and liver (0.0123 ± 0.0037 ppm). Hg found in the liver
(0.0680 ± 0.021 ppm), kidneys (0.030 ± 0.002 ppm), skin (0.013) and gills
(0.0135 ± 0.005 ppm). The Cd was detected in gill of fish from the BPPBIH
(0.053 ppm). Based on Kruskal Wallis's non-parametric significant test, the Pb or
Hg of each organ was not significantly different (P> 0.05). The conclusion of this
research was metal content detected in the fish’s organs consisted of Pb, Hg and
Cd. Heavy metals Pb and Cd accumulated more at gills as a target organ.
Keywords: AAS; Ciliwung river; Heavy metals; Pterygoplichthys pardalis;
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang selalu memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul “Analisis Kandungan
Logam Berat (Pb, Cd, Hg Dan Cr) Pada Organ Ikan Sapu-Sapu,
Pterygoplichthys Pardalis (Castelnau, 1855) Asal Sungai Ciliwung, Jakarta”
dalam rangka Tugas Akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatulla Jakarta.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih karena adanya dukungan dari
banyak pihak yang terkait, untuk itu penulis berterimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M. Env. Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Fahma Wijayanti M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan
waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan saran yang sangat
bermanfaat bagi penulis.
4. Dr. Dewi Elfidasari M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah mendanai
penelitian serta meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan
bimbingan dan saran yang bermanfaat bagi penulis.
5. Etyn Yunita M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan
saran yang membangun selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini.
6. Dr. Irawan Sugoro M.Si dan Dr. Wawan M.Si selaku laboran yang telah
membantu penulis dalam memberikan arahan dan bantuannya selama
melaksanakan penelitian.
iv
7. Ir. Hidayat Yoriatna Sasaerila, M. Sc., Ph.D. selaku dekan Universitas Al-
Azhar yang telah membantu dalam mengolah data hingga penulisan ini dapat
diselesaikan.
Laporan hasil ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah bekal ilmu pengetauan dan untuk penulis khususunya. Besar harapan
penulis kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun.
Laporan hasil ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah bekal ilmu pengetauan dan untuk penulis khususunya. Besar harapan
penulis kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun.
Jakarta, Agustus 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ix
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 3
1.4. Manfaat .......................................................................................................... 3
1.5. Kerangka Berpikir .......................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
2.1. Kondisi Perairan Sungai Ciliwung ................................................................. 5
2.2. Biologi Ikan Sapu-sapu .................................................................................. 6
2.3. Adaptasi ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung................................................. 9
2.4. Faktor Fisika dan Kimia ............................................................................... 11
2.5. Logam Berat ................................................................................................. 12
2.5.1. Timbal (Pb) ........................................................................................ 14
2.5.2. Kadmium (Cd) ................................................................................... 15
2.5.3. Merkuri (Hg) ...................................................................................... 15
2.5.4. Cromium (Cr) ..................................................................................... 16
2.6. Penentuan Kadar Logam .............................................................................. 17
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................... 19
3.1. Waktu dan Tempat ....................................................................................... 19
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................. 19
3.3. Cara Kerja .................................................................................................... 19
vi
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 23
4.1. Faktor Fisik Air Sungai Ciliwung ................................................................ 23
4.2. Kandungan Logam Berat di Air Sungai dan pada Organ ............................ 26
4.3. Kandungan Cd dan Cr .................................................................................. 33
4.4. Analisis Anova pada kandungan logam Pb dan Hg ..................................... 34
4.5. Kandungan Pb, Cd, Hg, dan Cr Ikan Sapu-sapu BPPBIH ........................... 35
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 37
5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 37
5.2. Saran ............................................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38
LAMPIRAN ......................................................................................................... 44
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rata-rata faktor fisika dan kimia air Sungai Ciliwung Jakarta ............... 23
Tabel 2. Kandungan logam berat di air Sungai Ciliwung dan organ .................... 26
Tabel 3. Kandungan logam berat organ ikan dari BPPBIH .................................. 34
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir .................................................................................. 4
Gambar 2. Morfologi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) ........................ 7
Gambar 3. Pembedahan ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) .................... 8
Gambar 4. Kandungan Logam Pb ......................................................................... 29
Gambar 5. Kandungan Logam Hg ........................................................................ 30
Gambar 6. Peta lokasi sampling ............................................................................ 42
Gambar 7. Sungai Ciliwung Jakarta (kalibata) ..................................................... 47
Gambar 8. Proses destruksi ................................................................................... 47
Gambar 9. Proses penyaringan dan uji sampel ke alat .......................................... 47
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Peta Lokasi Sampling ....................................................................... 41
Lampiran 2. Hasil Uji Non Parametrik Logam Hg ............................................... 42
Lampiran 3. Hasil Uji Non Parametrik Logam Pb ................................................ 43
Lampiran 4. Kegiatan dan Jenis Limbah............................................................... 44
Lampiran 5. Dokumentasi Pengambilan data penelitian………………………... 45
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sungai Ciliwung merupakan sungai yang mencakup areal mulai dari bagian
hulu di Cisarua, Kabupaten Bogor sampai ke hilir di Teluk Jakarta. Panjang aliran
Sungai Ciliwung mencapai 117 km dan luas aliran sungai mencapai 387 km2
(Hendrayanto, 2008). Sungai Ciliwung dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk
memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhan rumah tangga, pertanian,
peternakan dan industri (Hendrawan, 2008). Aktivitas tersebut menjadikan sungai
Ciliwung tercemar. Pencemaran di Sungai Ciliwung diakibatkan oleh padatnya
penduduk dan pembangunan industri skala kecil, menengah dan besar serta
kegiatan pembuangan berbagai macam limbah di sekitar Sungai Ciliwung,
terutama di wilayah Jakarta. Jumlah industri tahun 2011 di sepanjang Daerah
Aliran Sungai (DAS) Ciliwung DKI Jakarta menunjukkan bertambah hampir 50%
terhitung sejak tahun 1999 hingga tahun 2011 (BPLHD DKI Jakarta, 2011).
Sumber bahan pencemar selain dari industri yang pengelolaan limbahnya kurang
memadai atau dibuang langsung ke dalam sungai yaitu limbah pertanian dan
limbah domestik dan semakin ke hilir Sungai Ciliwung menerima beban cemaran
semakin besar. (Aksari, Perwitasari, & Butet, 2015)
Bahan-bahan pencemar yang menyebabkan Sungai Ciliwung tercemar dapat
berupa senyawa organik, anorganik, senyawa asam/basa dan zat-zat radioaktif.
Bahan pencemar di Sungai Ciliwung tidak hanya berupa detergen dari limbah
domestik namun minyak, logam berat, nitrat, fosfor, fenol, Biochemical Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan logam juga sebagai bahan
pencemar yang dilepaskan ke Sungai Ciliwung dari limbah industri. Kondisi
kualitas air Sungai Ciliwung di wilayah Jakarta pada penelitian Yudo, (2010)
menunjukkan BOD, COD, amonia, fosfat, deterjen dan bakteri Escherichia coli
akibat pencemaran limbah dosmetik.
Logam berat juga terdeteksi di Air sungai Ciliwung, kandungan logam
Timbal (Pb) di air Sungai Ciliwung Jakarta kurang dari 0,023 mg/l (ppm)
2
(Alfisyahrin, 2013). Aksari, et al (2015) mendeteksi adanya logam konsentrasi
Merkuri (Hg) 0,0002 ppm dan Halwa (2016) mendeteksi adanya logam Kadmium
(Cd) 0,0003 ppm. Logam berat dapat terakumulasi di dalam sedimen sungai
ataupun jaringan tubuh karena dapat berikatan dengan senyawa organik maupun
anorganik.
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis Castenau, 1855) merupakan jenis
ikan hias yang ditemukan di Sungai Ciliwung dan menjadi faktor penyebab
penurunan keanekaragaman jenis ikan di Sungai Ciliwung mencapai 92,5% pada
tahun 2010 (Hadiaty, 2011). Armbruster (2004) menyatakan bahwa ikan sapu-
sapu merupakan spesies invasive yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika
Selatan. Persebaran yang luas di lingkungan air tawar tropis dan subtropis
menunjukkan adanya persebaran yang luas dan adaptasi diberbagai kondisi
lingkungan (Rao & Sunchu, 2017). Ikan sapu-sapu memiliki labirin sebagai alat
pernafasan tambahan dan modifikasi pada lambung sebagai organ tambahan
sebagai adaptasi pada kondisi oksigen terlarut yang rendah (Armbruster, 1998).
Ikan sapu-sapu memiliki pertumbuhan yang relatif cepat tanpa membutuhkan
pemeliharaan yang intensif (Pinem, Pulungan & Efizon, 2016). Ikan sapu-sapu
dipelihara di kolam Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias
(BPPBIH), Depok. Balai tersebut berfungsi sebagai lembaga penghasil teknologi
hasil riset budidaya ikan hias tawar yang bernaung di bawah Kementrian Kelautan
dan Perikanan.
Ikan sapu-sapu memiliki adaptasi terhadap lingkungannya yaitu dapat hidup
di air jernih maupun air keruh tercemar serta hidup pada kondisi oksigen terlarut
yang rendah dengan kandungan bahan organik tinggi (Pinem et al., 2016).
Menurut Nugroho (2014) terdapat persebaran ikan sapu-sapu di sepanjang aliran
Sungai Bengawan Solo Kabupaten Sragen, meskipun memiliki kualitas perairan
yang tergolong buruk dengan kandungan oksigen terlarut 0-6 mg/L. Keberadaan
ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung maupun yang berada di BPPBIH mendasari
penelitian ini untuk mengidentifikasi logam berat Pb, Cd, Hg dan Cr pada organ
yang terpapar langsung oleh medium air yaitu insang dan kulit maupun organ
dalam yaitu ginjal dan hati ikan sapu-sapu yang tidak berhubungan langsung
dengan medium air, namun secara fisiologi dapat mengakumulasi logam.
3
Akumulasi logam berat terjadi akibat adanya kontak antara medium yang
mengandung logam dengan ikan. Ikan yang terdedah logam secara aktif
(fisiologis) dapat menyerap (uptake) melalui rantai makanan maupun secara difusi
pasif melalui membran organ luar ikan yaitu kulit maupun insang (Siregar, Zamri,
& Putra, 2012). Logam berat yang masuk ke perairan akan terabsorpsi oleh
biota/organisme dan dikeluarkan tubuh melalui mekanisme detoksifikasi, jika
melebihi batas ambang maka akan terakumulasi di dalam tubuh (Ebrahimi &
Taherianfard, 2011). Logam berat yang masuk ke dalam ikan selanjutnya akan
berikatan dengan ion dan terakumulasi di berbagai jaringan. Akumulasi logam di
organ insang dapat menyebabkan endema, peradangan dan peluruhan sel epitel
maupun fusi lamella sekunder, efek tersebut dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan gas dalam berdifusi dan menyebabkan mortalitas (Olsson, Kling &
Hongstrand, 1998). Keberadaan ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung menunjukkan
adanya adaptasi terhadap logam berat. Penelitian ini sebagai langkah awal untuk
mengetahui adanya adaptasi fisiologis melalui analisis keberadaan logam berat
pada organ ikan sapu-sapu.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah organ ikan sapu-sapu sapu (Pterygoplichthys pardalis Castelnau,
1855) di Sungai Ciliwung daerah Jakarta mengandung logam ?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian yaitu mengetahui logam berat pada ginjal, hati, kulit
dan insang pada ikan sapu-sapu asal Sungai Ciliwung dan BPPBIH serta organ
yang menjadi target dari akumulasi logam.
1.4. Manfaat
Memberikan pengetahuan dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai
adaptasi fisiologi ikan sapu-sapu berdasarkan keberadaan logam di organ ikan
sapu-sapu di Sungai Ciliwung Jakarta.
4
1.5. Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka berpikir analisis logam pada organ ikan di Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung
Pemanfaatan Sungai
Pencemaran logam berat pb, Cd, Hg
dan Cr di Sungai Ciliwung
Deteksi Kandungan Logam pada AAS
Pembuangan limbah
Pemukiman, industri dan perkotaan
Terakumulasi di air dan ikan
Ikan sapu-sapu
( Pterygoplichhtys pardalis
Castelnau, 1855)
Air Sungai Ciliwung
Kadar Logam
Data awal adaptasi fisiologi
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Perairan Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan badan air mengalir (perairan lotik) yang
membentuk aliran di daerah daratan dari hulu menuju ke arah hilir dan akhirnya
bermuara ke laut. Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai yang mengalir dari
bagian hulu Tugu Puncak, Kabupaten Bogor hingga Teluk Jakarta (Hendrayanto,
2008) Sungai Ciliwung mengalir melalui Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota
Depok, dan Jakarta dengan panjang aliran utama hampir 120 km dengan daerah
tangkapan airnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km2
(Suwarno, Kartodiharjo,
Pramudya & Rachman, 2011). Sungai Ciliwung secara langsung maupun tidak
langsung memiliki fungsi penting bagi kehidupan masyarakat termasuk untuk
menunjang pembangunan perekonomian masyarakat. Kepentingan dalam
meningkatkan pendapatan daerah, bagian hulu Sungai Ciliwung diizinkan
mendirikan hotel, restoran, dan vila. Sungai Ciliwung Bagian tengah/perantara
yaitu kota Depok dan sebagian kota Bogor diizinkan kaum industri untuk
membuat pabrik di aliran sungai. Sedangkan kawasan hilir adalah kawasan
Jakarta menerima dampak banjir. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang
melewati Provinsi DKI Jakarta memiliki panjang sungai 46.2 km dengan luas
sekitar 137 km2 (BPLHD DKI Jakarta, 2011).
Jumlah industri tahun 2011 di sepanjang DAS Ciliwung DKI Jakarta
menunjukkan bertambah hampir 50% jumlah industri terhitung sejak tahun 1999
hingga tahun 2011 (BPLHD DKI Jakarta, 2011). Kepadatan penduduk di sekitar
Sungai Ciliwung berbanding dengan pemanfaatan Sungai Ciliwung dalam
menunjang kehidupan. Air Sungai Ciliwung termasuk ke dalam air golongan
yang digunakan untuk keperluan pertanian dan dapat digunakan untuk usaha
perkotaan industri maupun pembangkit listrik tenaga air Selain itu, Sungai
Ciliwung dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pembuangan limbah rumah tangga
maupun industri (Hendrawan, 2005).
6
Limbah domestik dan sampah yang berada di bantaran sungai maupun badan
Sungai Ciliwung disebabkan oleh proses dekomposisi sampah yang menghasilkan
air lindi dan gas, air lindi ini dapat mengandung bahan organik maupun anorganik
yang mengandung berbagai mineral dan logam (Sudarwin, 2008). Sungai
Ciliwung berdasarkan parameter fisik, kimia dan bakteriologis rata-rata telah
melebihi baku mutu berdasarkan PerGub no. 582 tahun 1995, pencemaran yang
terjadi di Sungai Ciliwung menunjukkan dari tindakan manusia yang kurang
menjaga lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran (Dini, 2011).
Hal tersebut berkaitan dengan firman Allah SWT yang tercantum pada surat Ar-
Rum ayat 40 yaitu :
Yang artinya : “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
(Q.S. Ar-Rum ayat: 40)
Ayat tersebut memberitahukan kepada manusia bahwa setiap yang mereka
kerjakan akan menghasilkan dampak baik dan buruk tergantung apa yang mereka
kerjakan.
2.2. Biologi Ikan Sapu-sapu
Ikan sapu-sapu memiliki tubuh yang terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala
(caput), badan (truncus) dan ekor (cauda). Bagian kepala ikan sapu-sapu dimulai
dari ujung mulut sampai dengan batas tutup insang, bagian badan dimulai dari
belakang tutup insang sampai dengan anus dan bagian ekor dimulai dari belakang
anus sampai ujung sirip (Jasin, 1989). Ikan sapu-sapu memiliki bentuk tubuh
pipih (dorso-ventraI) yang memanjang dengan panjang 4 kali dari panjang kepala,
bersisik keras kecuali pada bagian sisi ventralnya Dhika, 2013). Ikan sapu-sapu
memiliki bentuk kepala picak dan lebar dengan pola garis gelap terang geometris
(Pinem et al., 2016) dan memiliki duri-duri kecil yang terasa kasar. Kepala ikan
7
sapu-sapu terdapat sepasang mata di bagian dorsal sisi atas dan memiliki mulut
yang menghadap ke bawah (subterminal) berbentuk seperti cakram bertipe
penyaring atau penghisap (Suckermouth) dengan tipe mulut inferior (Armbruster,
2004). Gigi ikan sapu-sapu sejajar dan terdapat sungut di sudut mulutnya (Pinem
et al., 2016). Mulut penghisap ikan sapu-sapu memiliki bentuk triangular, gigi
berfilamen tubular dengan susunan +16 +16 +32 pada kedua bagiannya (Rao &
Sunchu, 2017). Kulit ikan sapu-sapu mempunyai banyak lapisan dengan
kemampuan menghasilkan lendir. Lendir tersebut berfungsi melindungi ikan dari
serangan patogen serta lingkungan yang kurang menguntungkan.
Gambar 2. Morfolologi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis Castelnau,
1855); A. ikan sapu-sapu tampak dorsal; B. ikan sapu-sapu tampak
ventral.
Warna tubuh ikan sapu-sapu yaitu cokelat atau abu-abu dengan bintik-bintik
hitam (Kottelat, Whitten, Kartikasari & Wiroatmadja, 1993). Bagian tubuh ikan
sapu-sapu dilindungi oleh sisik keras dan berduri (Rao & Sunchu, 2017). Bentuk
sisik ikan sapu-sapu adalah elasmoid kecuali pada bagian abdomen nya yang
tersusun atas matriks berpori yang dikelilingi oleh dua lapisan padat eksternal
yang berbeda dengan sisik ikan lainnya. Hal ini menyebabkan struktur sisik lebih
mirip dengan struktur yang ditemukan pula beberapa reptil dan mamalia
(Ebenstein, Carlos, Omar & Fernando, 2015). Elliot (2011) menyatakan bahwa
Loricariidae memiliki tipe sisik yang termodifikasi yaitu scute, berfungsi sebagai
pelindung yang memiliki struktur tersusun atas dermal denticales. Ikan sapu-sapu
memiliki sirip dorsal yang terletak di depan sirip anal. Sirip pectoral terletak di
a b
8
belakang operculum dan sirip ventral di belakang punggung (Pinem et al., 2016).
Ikan sapu-sapu memiliki adifose fin berduri yang terletak dengan ujung pangkal
ekor yang ditutupi oleh sisik keras. Sirip punggung lebar dengan tujuh jari-jari
lemah (Hyposarcus pardalis) (Kottelat et al., 1993). Ikan sapu-sapu jantan dan
betina dibedakan melalui ukuran tubuh dan warna papilla yaitu tubuh jantan lebih
kecil daripada betina, warna papilla jantan putih dan betina merah (Pinem et
al.,2016).
Sistem pencernaan ikan sapu-sapu terdiri dari mulut, tenggorokan (pharinx),
kerongkongan (esophagus), lambung semu, usus (intestinum) dan anus (Tisasari
& Pulungan, 2015). Bentuk mulut ikan sapu-sapu berfungsi untuk menghisap
makanan yang terdapat di dasar perairan (bottom feeder), pharynx berfungsi untuk
menyaring makanan yang masuk dan usus sebagai organ pencernaan yang
berperan dalam penyerapan sari-sari makanan. Komposisi jenis pakan ikan sapu-
sapu di Sungai Ciliwung adalah Bacillariophyta sebagai makanan utama
(82,03%), Chlorophyta sebagai makanan pelengkap (12,17%), Cyanophyta
93,74%), Euglenophyta (1,19%), Dinophyta (0,68 %), Amoebozoa (0,28 %) dan
detritus (0,00 %) (Sholihah, 2019). Usus yang dimiliki ikan sapu-sapu tersusun
melingkar seperti spiral, panjang usus mencapai 6 kali lipat dari panjang tubuh
ikan sapu-sapu sehingga digolongkan menjadi ikan herbivora (Tisasari &
Pulungan, 2015). Ikan sapu-sapu memiliki alat pernafasan tambahan berupa
lipatan-lipatam epithelium pernafasan dan gonad ikan umumnya berbentuk
memanjang, longitudinal dan berjumlah sepasang, terletak di bawah gelembung
renang.
b. a.
9
Gambar 3. Morfologi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855);
A. Penampakan organ-organ ikan sapu-sapu; B. Penampakkan mulut
ikan sapu-sapu dan bagian insang.
Identifikasi ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung secara morfometri
(Elfidasari, 2016) maupun identifikasi melalui DNA barkode sekuens nukleotida
Rosnaeni, Elfidasari & Fahmi (2017) menunjukkan 100% akurat dengan
(Pterygoplichthys pardalis Castenau, 1855). Ikan sapu-sapu termasuk dalam
famili Loricariidae tetapi tidak semua anggota Loricariidae ialah sapu-sapu.
Klasifikasi ikan sapu-sapu berdasarkan Nico, (2010) yaitu, Kingdom : Animalia,
Kelas: Teleostei, Ordo: Siluriformes, Famili: Loricariidae, Genus:
Pterygoplichthys, Species: Pterygoplichthys pardalis (Castelnau, 1855). Nama
lain dari spesies ikan sapu-sapu adalah Suckermouth catfish.
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichtys pardalis) terdapat di Sungai Ciliwung. Hal
ini menunjukkan bahwa perairan Sungai Ciliwung sebagai habitat yang sesuai
dalam mendukung kehidupan ikan sapu-sapu. Berdasarkan penelitian Hossain,
Vadas, Ruiz-Carus & Galib (2018) kondisi perairan ikan sapu-sapu dicirikan
dengan perairan yang dangkal, substrat berupa lumpur, kecepatan arus yang
lambat, suhu hangat (21-29 ºC), DO 3 ppt (tercemar), pH (7±1) dan perairan
dengan kondisi eutrofik maupun hipoksik. Ikan sapu-sapu melakukan pemijahan
di dalam lubang-lubang di sepanjang lereng pinggiran sungai. Lubang tersebut
berfungsi sebagai tempat peletakkan telur (Nico, 2010). Lubang pemijahan
tersebut memiliki tipe substrat tanah yang mengandung hampir tidak ada kerikil >
2 mm, pasir kasar (0,42-2,0 mm), pasir halus (0,15 – 0,25 mm), debu dan
lempung (< 0,074 mm). Ukuran lubang pemijahan pada umumnya sesuai dengan
ukuran tubuh yaitu mencapai ukuran >40 cm dalam kurun waktu dua tahun (Nico,
Butt, Johnston, Jelks, Kail, & Walsh, 2012). Karakteristik lubang ikan sapu-sapu
memiliki ukuran lebar muka lubang sebesar 13-38 cm, kedalaman 42-122 cm,
ukuran panjang muka lubang 10-22 cm, tinggi 50-130 cm serta intensitas cahaya
pada muka lubang 0,95-4,51 Klux (Muthmainnah, 2019).
2.3. Adaptasi ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung
Ikan sapu-sapu sebagai spesies invasive dan ditemukan melimpah di Sungai
Ciliwung menunjukkan adanya adaptasi terhadap lingkungannya. Dhika (2013)
10
menyatakan bahwa ikan sapu-sapu memiliki bentuk tubuh pipih (dorso-ventraI).
Organisme yang hidup di sungai dapat bertahan dan tidak terbawa arus karena
mengalami adaptasi evolusioner yaitu bertubuh tipis dorsoventral sehingga dapat
melekat pada batu (Dini, 2011). Adaptasi lainnya ikan sapu-sapu yaitu mulut
bertipe subterminal terkenal dengan sebutan bottom feeder yang berfungsi untuk
mendapatkan makanan dari dasar perairan. Ikan sapu-sapu memiliki relung makan
yang luas. Ikan sapu-sapu dapat mengkonsumsi alga yang melekat pada bebatuan,
tumbuhan air dan dentritus. Berdasarkan tingkat trofik, penelitian Sholihah (2019)
menunjukkan ikan sapu-sapu terdapat pada tingkat trofik kelompok II (2,00 <
troph < 2,90) dan termasuk jenis ikan herbivora karena Bacillariophyta sebagai
makanan utama (82,03%). Insang ikan sapu-sapu mampu mendifusikan air yang
bertujuan dalam menjaga kadar garam dalam cairan tubuh secara simultan, ginjal
ikan sapu-sapu berkembang dengan baik sehingga menghasilkan urin yang
banyak dan encer. Ikan sapu-sapu dapat bertahan hidup pada kondisi oksigen
terlarutnya rendah (Pinem et al, 2016) hal ini dikarenakan ikan sapu-sapu
memiliki modifikasi pada lambung sebagai organ tambahan pada kondisi oksigen
terlarut yang rendah (Armbruster, 1998). Ikan sapu-sapu juga memiliki alat
pernapasan yang terbagi menjadi dua macam yaitu organ insang sebagai organ
pernapasan akuatik dan labirin sebagai organ modifikasi dari struktur insang
(Affandi dan Tang, 2002). Insang sebagai alat pernafasan yang dimiliki oleh jenis
ikan (Pisces) berperan penting dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida
(penyerapan oksigen dan pelepasan karbondioksida) di dalam air yang jernih.
Insang ikan sapu-sapu mampu mendifusikan air yang bertujuan dalam menjaga
kadar garam dalam cairan tubuh secara simultan sebagai fungsi fisiologis terhadap
lingkungan ikan sapu-sapu di air tawar dalam menjaga keseimbangan konsentrasi
ion dalam tubuh (Ebrahimi & Taherianfard, 2011). Labirin ikan sapu-sapu
terdapat pada bagian kepala tepat dibelakang insang, tersusun atas rangkaian tidak
teratur yang menampung udara pada lipatan-lipatan yang banyak, berfungsi untuk
menyimpan cadangan O2 sehingga ikan tahan pada kondisi kekurangan O2
(Affandi dan Tang, 2002). Labirin memiliki pembuluh darah kapiler yang mampu
mengambil oksigen langsung dari udara. Adaptasi perilaku ikan sapu-sapu yaitu
ikan sapu-sapu secara berkala kepermukaan perairan untuk mengambil oksigen di
11
udara. Ketika masih kecil (< 20 cm) ikan sapu-sapu aktif berenang namun ketika
sudah mencapai ukuran besar ( > 40 cm) maka akan lebih sering berada di dasar
perairan. Kelebihan biologis ikan sapu-sapu adalah mampu mengambil oksigen
dari udara (facultative air breather) dan tipe pakan detritus (Yossa & Araujo,
1998) selain itu ikan sapu-sapu dewasa secara aktif membuat lubang-lubang di
sekitar pinggiran sungai. Lubang tersebut berfungsi sebagai tempat peletakkan
telur ikan (Nico et al., 2012).
Ikan sapu-sapu dapat hidup di Sungai Ciliwung yang telah mengalami
pencemaran dengan potensi kandungan logam berat. ikan yang terdedah logam
berat secara aktif dapat menyerap (uptake) melalui rantai makanan maupun secara
difusi pasif melalui membran organ luar ikan yaitu kulit maupun insang (Siregar
et al., 2012). Apabila logam yang berada dilingkungan perairan melebihi ambang
batas dan tidak dapat didetoksifikasi maka akan terakumulasi di berbagai organ
ikan (Alfisyahrin, 2013). Akumulasi logam pada ikan yang tertinggi yaitu dalam
detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Ginjal (eksreksi) sebagai organ eksresi
utama dalam tubuh menjadikan organ ginjal menjadi organ sasaran keracunan
logam (Fadhlan, 2016). Terjadinya penimbunan logam berat pada organ tubuh
ikan berakibat lama kelamaan konsentrasinya akan bertambah besar dan
mengakibatkan kerusakan organ-organ tubuh ikan tersebut. Adanya zat toksik
akan mempengaruhi struktur histologi hati sehingga dapat mengakibatkan
patologis hati seperti pembengkakan sel, rangkaian nekrosis, degenarasi
intralobular, fibrosis, serta kirosis.
2.4. Faktor Fisika dan Kimia
Suhu merupakan ukuran panas dinginnya benda yang diukur dengan
termometer dan satuannya derajat. Suhu merupakan salah satu faktor penting yang
banyak mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan air. Naiknya suhu air
akan mengakibatkan penurunan jumlah oksigen terlarut dalam air, meningkatkan
kecepatan reaksi kimia, dan mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya
(Kristanto, 2002). Penelitian Aksari et al (2015) menunjukkan bahwa suhu Sungai
Ciliwung pada wilayah DKI Jakarta masih dalam kisaran normal berdasarkan PP
No.82 Tahun 2001 yaitu 27ºC. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses
fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam
12
mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan
peningkatan kecepatan metabolism dan respirasi pada organisme air dan
mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Pengukuran suhu dinyatakan
dengan satuan derajat Celcius (oC) atau derajat Farenheit (
oF).
Oksigen Terlarut (Dissolve Oxygen/DO) merupakan parameter penting
untuk menjamin keadaan-keadaan aerobik dalam daerah perairan yang
menampung zat-zat pencemar dalam bentuk air limbah, sampah-sampah industri,
termasuk limbah domestik. Konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan
dipengaruhi oleh suhu, ada tidaknya tumbuhan yang berfotosintesa, dapat
tidaknya tumbuhan berfontosintesa, dapat tidaknya perairan tersebut ditembus
oleh sinar matahari, adanya goncangan dalam air dan banyaknya senyawa organik
yang harus diuraikan dalam air (Soewandita & Sudiana, 2010).
Parameter pH merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas
keadaan asam atau basa sesuatu larutan. pH juga merupakan satu cara untuk
menyatakan konsentrasi ion H+. Nilai pH air dimanfaatkan untuk menentukan
indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman atau kebasaan air. Angka
indeks yang umum digunakan 0 sampai 14 dan merupakan angka logaritmik
negatif dari konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air bersifat netral jika angka
pH 7, air bersifat asam jika pH lebih kecil dari 7, sedangkan air bersifat basa jika
angka pH lebih besar dari 7 dan terjadi ketika ion-ion karbonat dominan (Asdak,
2002) Kondisi perairan alkali dan pH rendah dapat meningkatkan daya larut
logam sehingga absorpsi dan pengikatan logam oleh organ akan semakin tinggi
(Eneji, Sha’Ato & Annune, 2015).
Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemapuan badan
air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar. Kecepatan arus
digunakan untuk memperkirakan waktu suatu bahan pencemar akan mencapai
suatu lokasi tertentu (Effendi, 2003).
2.5. Logam Berat
Logam berat merupakan logam yang mempunyai massa jenis 5 g/cm atau
lebih (Fortsner dan Whitmann 1983). Logam berat sebagian besar bersifat
essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya,
antara lain dalam pembentukkan haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik,
13
tapi akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh apabila logam berat masuk ke
dalam tubuh dengan jumlah yang berlebih. Di alam, unsur ini biasanya terdapat
dalam bentuk terlarut atau tersuspensi (terikat dengan zat padat) serta terdapat
berbagai bentuk ionik (Darmono (1995). Logam digunakan untuk membuat alat
perlengkapan rumah tangga seperti: sendok, garpu, pisau dan berbagai alat rumah
tangga lainnya. Fungsi beberapa logam diantaranya yaitu: kromium (Cr) pewarna
cemerlang pada perkakas dari logam, timbal (Pb) sebagai bahan baterai pada
mobil, merkuri (Hg) sebagai bahan pelarut emas (Widowati, 2008). Tingkat
toksisitas logam berat menurut Widowati (2008) terhadap hewan air mulai dari
yang paling toksik, adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni dan Co sedangkan pada
manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn dan Zn.
Logam tidak hanya masuk ke Sungai Ciliwung secara alamiah, namun
aktivitas manusia juga mempengaruhi keberadaan logam di perairan. Eneji et al
(2015) menyatakan bahwa konsentrasi dari logam yang memasuki badan perairan
Sungai Ciliwung juga dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial perekonomian di
sekitarnya. Logam berat tersebut akan masuk terabsorpsi oleh biota. Rahayu et al
(2017) menyatakan bahwa logam berat dapat masuk ke dalam organisme perairan
bersamaan dengan air yang berdifusi dan diserap oleh insang kemudian
disebarkan keseluruh tubuh melalui darah sehingga terjadi penimbunan logam
berat di jaringan. Logam berat yang masuk ke perairan akan terabsorpsi oleh biota
dan dikeluarkan tubuh melalui mekanisme detoksifikasi, jika melebihi batas
ambang maka akan terakumulasi di dalam tubuh dan dapat mempengaruhi kerja
metabolisme organisme yang terpapar (Ebrahimi & Taherianfard, 2011).
Pengaruh zat toksik terhadap ikan menyebabkan kerusakan pada bagian insang
dan organ-organ yang berhubungan dengan insang sehingga morfologi insang
berubah. Sel-sel epitel insang ikan yang sehat hanya terdiri dari satu atau dua lapis
sel epithelium yang rata dan terletak di membrane basal. Diantara sel epithelium
terdapat sel gobet yang menghasilkan sel-sel mukus dan sel klorid yang terpenting
di dalam proses osmoregulasi Kerusakan pada insang menyebabkan terganggunya
mekanisme pernafasan karena terjadi penghambatan sistem pengangkutan
elektron dan fosforilasi oksidatif pada rantai pernafasan yang akhirnya akan
mempengaruhi metabolisme dan laju pertumbuhan ikan (Rahayu et al. 2017).
14
2.5.1. Timbal (Pb)
Timbal (Pb) sebagai logam berat yang disebut timah hitam ini memiliki ciri-
ciri morfologi berwarna abu-abu kebiruan dan mengkilat serta memiliki bilangan
oksidasi +2 (Sunarya, 2007) titik lebur rendah, mudah dibentuk dan dapat
digunakan untuk melapisi logam agar tidak mudah karatan, Pb memiliki nomor
atom 82 dan berat atom 207,20. Titik leleh Pb adalah 1740 0C dan memiliki massa
jenis 11,34 g/cm3 (Widowati, 2008). Pencemaran lingkungan perairan yang
disebabkan oleh Pb berasal dari asap kapal motor, pembuangan limbah pabrik,
baterai, cat, tekstil dan buruknya sanitasi makanan. Sumber pencemaran
transportasi yaitu pembakaran bensin pada motor, mobil, truk pesawat terbang
menghasilkan pencemaran ke udara dan partikel dari penggunaan ban
menghasilkan pancaran ke udara, tanah dan air (Munandar & Eurika, 2016).
Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai bahan
yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam membentuk
alloy dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi
ini dalam penerapan yang sangat luas, contohnya digunakan untuk kabel listrik,
kontruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan memiliki kemampuan tinggi untuk
tidak mengalami korosi (Palar, 2004). Selain itu, logam Pb dapat digunakan
sebagai zat tambahan bahan bakar dan pigmen timbal dalam cat yang merupakan
penyebab utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Darmono, 1995).
Toksisitas Pb terhadap ikan dapat menyebabkan kerusakan jaringan
organisme terutama pada organ yang peka seperti insang dan usus yang
selanjutnya akan masuk ke jaringan bagian dalam seperti hati dan ginjal tempat
logam tersebut terakumulasi (Darmono, 2001). Logam Pb pada konsentrasi yang
tinggi akan menghambat aktivitas enzim. Penghambatan aktivtitas enzim akan
terjadi melalui pembentukkan senyawa antara logam berat dengan gugus
sulfihidril (S-H) (Sahetapy, 2011). Logam Pb dalam aliran darah sebagian besar
diserap dalam bentuk ikatan dengan sel darah merah (eritrosit). Logam Pb pada
saluran pernafasan dapat menyebabkan kerusakan pada bagian insang dan organ-
organ yang berhubungan dengan insang yang akan mengakibatkan kerusakan
jaringan atau bahkan kematian jaringan sehingga mempengaruhi kerja organ
(Rahayu et al., 2017).
15
2.5.2. Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) merupakan logam berwarna putih keperakkan yang
menyerupai alumunium dengan berat atom 112,41 g/mol dengan titik cair 321OC
dan titik didih 765 O
C. Logam Cd yang masuk ke perairan berasal dari uap,debu,
limbah dari pertambangan timah dan seng, air bilasan dari electroplating, besi,
tembaga, industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap serta air
limbah dan endapan yang mengandung kadmium, seng yang digunakan untuk
melapisi logam mengandung kira-kira 0,2% Cd sebagai bahan ikutan (impurity);
semua Cd tersebut masuk ke perairan melalui proses korosi dalam kurun 4-12
tahun, pupuk fosfat dan endapan sampah (Clark, 1986). Keracunan kadmium
dapat bersifat akut maupun kronis pada organ tubuh yang menjadi sasaran
keacunan adalah ginjal dan hati.
2.5.3. Merkuri (Hg)
Logam merkuri atau air raksa mempunyai nama kimia hydragyrum yang
berarti perak cair. Logam merkuri dilambangkan dengan Hg. Merkuri merupakan
salah satu unsur logam transisi dengan golongan II B dan memiliki nomor atom
80, memiliki bobot atom 200,59 adalah satu-satunya logam yang berbentuk cair.
Merkuri di lingkungan mengalami siklus biogeokimia, yaitu siklus yang
dipengaruhi oleh sifat biologi, geologi, dan kimia yang terdapat di alam. Siklus
merkuri di lingkungan merupakan hasil dari aktivitas alami (geothermal) dan
aktivitas antropogenik (manusia). Aktivitas antropogenik yang utama adalah
berasal dari pembakaran minyak dan peleburan. Aktivitas-aktivitas tersebut
menghasilkan gas merkuri Hg yang dilepaskan ke atmosfer. Ketika di atmosfer,
gas merkuri dapat beredar sampai selama satu tahun. Unsur gas merkuri
mengalami oksidasi photokimia menjadi merkuri anorganik yang bergabung
dengan uap air dan bercampur dengan air hujan mengendap pada sedimen dan
badan air (Putranto, 2016). Logam Hg yang terdapat dalam limbah atau waste
diperairan umumnya mudah terikat dengan unsur Klor (Cl) membentuk merkuri
anorganik (HgCl) dengan mudah masuk ke plankton, alga, maupun ke organisme
lainnya lalu mengalami perombakan persenyawaan oleh organisme menjadi
merkuri organik yaitu dimetil merkuri metil merkuri (CH3)2Hg) dan ion merkuri
(CH-3Hg) dalam sedimen, Dimetil merkuri sangat mudah menguap ke udara.
16
Faktor-faktor fisika di udara seperti cahaya (pada reaksi fotolisa) dapat
menyebabkan senyawa dimetil merkuri ini terurai kembali menjadi metana CH4,
etana C2H6 dan logam Hg0. Senyawa ion metil merkuri sangat mudah larut dalam
air dan juga sangat mudah menguap ke udara. Sementara itu senyawa ion metil
merkuri yang ada dalam badan perairan akan dimakan oleh biota perairan seiring
dengan sistem rantai makanan di air dan sebagian besar mengendap dalam
sedimen (Taftazani, 2007).
Ikan dapat mengabsorpsi metil merkuri melalui makanannya atau langsung
dari air dengan melewati insang, merkuri juga dapat berikatan dengan protein di
seluruh jaringan ikan, termasuk otot dan daya ikan yang kuat disamping
kelarutannya yang tinggi terutama dalam tubuh hewan air sehingga hal tersebut
mengakibatkan merkuri terakumulasi melalui proses bioakumulasi dan
biomagnifikasi dalam jaringan tubuh hewan-hewan air. Diliyana (2008)
menyatakan bahwa Hg masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup misalnya
pada ikan melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan dan
penetrasi melalui kulit. Merkuri yang masuk dalam tubuh organisme air tidak
dapat dicerna, dan merkuri dapat larut dalam lemak. Logam yang larut dalam
lemak mampu untuk melakukan penetrasi pada membran sel, sehingga akhirnya
ion-ion logam merkuri akan menumpuk (terakumulasi) di dalam sel dan organ-
organ lain. Akumulasi tertinggi akumulasi Hg yaitu pada organ detoksikasi (hati)
dan organ ekskresi (ginjal) (Palar, 1994). Metil merkuri dalam cairan sirkulatori
akan teroksidasi menjadi Hg2+
kemudian terakumulasi dalam hati dan terjadi
metabolisme, merkuri dalam hati akan diinaktifkan menjadi zat-zat yang tidak
berbahaya yang kemudian di eksresikan oleh ginjal dan mengalami pertukaran
(Putranto, 2016).
2.5.4. Cromium (Cr)
Cromium (Cr) memiliki nomor atom 51,996 g/mol, titik leleh sebesar
1875˚C, titik didih sebesar 2658˚C. Dua cara logam Cr dapat masuk ke dalam
badan perairan, yaitu secara alamiah dan non lamiah. Logam Cr dapat masuk ke
perairan secara alamiah melalui beberapa faktor fisika, seperti proses pengikisan
(erosi) batuan mineral dari daerah tangkapan air di sekitar Sungai, sedangkan
masuknya Cr ke perairan yang terjadi secara non alamiah yaitu sebagai dampak
17
atau efek dari aktivitas yang dilakukan manusia diantaranya limbah seperti sabun
detergen maupun produk konsumer lainnya (Hidayah, Purwanto, & Soeprobowati
(2014). Taftazani (2007) menyatakan sumber-sumber Cr yang berkaitan dengan
aktivitas manusia dapat berupa limbah atau buangan industri sampai buangan
rumah tangga.
2.6. Penentuan Kadar Logam
Preparasi sampel untuk analisis ikan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
melalui teknik digesti basah dan proses pengabuan atau dry ashing. Teknik
digesti basah. Hal tersebut disebabkan karena teknik ini dapat dilakukan dengan
jumlah sampel yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pengabuan selain itu
karena teknik ini mampu memperkecil kemungkinan hilangnya senyawa akibat
penguapan karena prosesnya dilakukan pada suhu rendah. Menurut (Alvian, 2007)
Destruksi basah dilakukan dengan cara menguraikan bahan organik dalam larutan
oleh asam pengoksidasi pekat dan panas seperti H2SO4, HNO3, dan H2O2 dengan
pemanasan sampai volume larutan berkurang sekitar setengahnya. Mineral
anorganik akan tertinggal dan larut dalam larutan asam kuat. Mineral berada
dalam bentuk kation logam dan ikatan kimia dengan senyawa organik telah
terurai. Larutan selanjutnya disaring dan siap dianalisis dengan SSA. Fungsi dari
destruksi adalah untuk memutus ikatan antara senyawa organik dengan logam
yang akan dianalisis. Dalam penelitian ini digunakan destruksi basah karena pada
umumnya destruksi basah dapat dipakai untuk menentukan unsur-unsur dengan
konsentrasi yang rendah.
Pelarut yang digunakan dalam mengekstrak sampel larutan adalah
menggunakan asam. Asam Nitrat dan asam klorida merupakan pelarut yang
sangat baik dan umum digunakan dalam melarutkan unsur logam yang akan
dianalisis dengan alat AAS. Asam klorida dapat melarutkan beberapa senyawa
organik dan anorganik. Asam nitrat memiiki karakteristik yang hampir sama.
Asam Sulfat mempunyai sifat karakteristik yang sama. Analisis kandungan suatu
logam dalam sampel organik digunakan asam-asam yang bersifat sebagai
oksidator kuat seperti Asam Sulfat pekat (H2SO4), Asam Nitrat (HNO3) dan asam
perklorat. Asam-asam tersebut mampu menyerap air dan mengoksidasi senyawa
organik yang terdapat dalam sampel sehingga kandungan logam di dalamnya
18
dapat dianalisis (Darmono, 2001). Prinsip dasar Spektrofotometer serapan atom
(AAS) merupakan suatu metode analisis untuk menentukan konsentrasi suatu
unsur dalam suatu cuplikan yang didasarkan pada proses penyerapan radiasi
sumber oleh atom-atom yang berada pada tingkat energy dasar. Proses
penyerapan energy pada panjang gelombang yang spesifik dan karakteristik untuk
setiap unsur (Alvian, 2007). Kelebihan yang dimiliki oleh alat AAS yaitu spesifik,
memiliki batas deteksi yang rendah dari larutan terhadap contoh, output dapat
langsung dibaca, ekonomis, meski demikian, AAS memiliki keterbatasan yaitu
hanya dapat diterapkan pada unsur logam saja dan tiap unsur memerlukan lampu
katoda yang berbeda untuk tiap penentuannya (Watson, 2005).
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai November 2018. Penentuan
lokasi dilakukan secara purposive sampling pada Sungai Ciliwung (Lampiran 1)
dan pengambilan sampel ikan sapu-sapu control di BPPBIH, Depok. Kegiatan
preparasi organ dilakukan di Laboratorium Fisiologi Pusat Laboratorium Terpadu
(PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Badan Tenaga
Nuklir Nasional (BATAN). Analisis kandungan logam di Laboratorium Kimia
Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang akan digunakan adalah jaring jala lempar yang berukuran 2x4 m2,
coolbox, timbangan analitik [Sartorius], penggaris, corong kaca [Pyrex], kertas
saring, alat bedah, alu dan mortar, spatula, pipet tetes, pipet volumetrik 25 ml,
labu keydal, Erlenmeyer ukuran 100 ml / 125 ml [Schott Duran], hot plate, plastik
ziplock, cawan petri [Phyrex], botol polyetilen, lemari asam, alat analisis logam
berat yaitu Atomic Absorption Spectrophotometer [Shimadzu AA-7000], Oven
[Memmert], Global Positioning System (GPS), Water Quality Control (WQC),
Mercury Vaporized Unit (MVU) [Shimadzu].
Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian yaitu organ ikan sapu-sapu
berupa hati, kulit, ginjal dan insang, es batu, akuades, asam sulfat (H2SO4) 95-
98%, asam nitrat (HNO3) 65%, timah (II) klorida (SnCl2), asam perklorat (HClO4)
85%, asam klorida (HCl) 37%, kertas saring, tissue rol, label, akuades, larutan
standar induk Pb, Hg, Cd dan Cr 100 ppm.
3.3. Cara Kerja
Penentuan titik lokasi pengambilan sampel ikan sapu-sapu yaitu di Sungai
Ciliwung daerah Jakarta Selatan (Cawang dan Kalibata) dan Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BPPBIH) Depok. Budidaya ikan hias di
20
BPPBIH Depok. Penentuan lokasi di Sungai Ciliwung daerah Kalibata dan
Cawang
20
menggunakan metode purposive sampling yaitu berdasarkan keberadaan ikan
sapu-sapu dan tingkat pencemaran.
Dominansi tertinggi ikan sapu-sapu ditemukan di daerah tengah dan hilir Sungai
Ciliwung (Halwa, 2016).
Ikan sapu-sapu dari Sungai Ciliwung diambil menggunakan jala lempar
berukuran 2 x 4 m2 sedangkan ikan sapu-sapu dari kolam BPPBIH diambil
menggunakan jaring ikan. Ukuran ikan sapu-sapu yang digunakan merujuk pada
penelitian Sholihah (2019) yang membagi sebaran kelas ukuran ikan sapu-sapu
yaitu ikan kecil (18.7 – 26.4 cm), sedang (26.5 – 34.2 cm) dan besar (34.3 – 42.0
cm ). Penelitian ini menggunakan ikan ukuran sedang (26.5–34.2) cm. Jumlah
ikan sapu-sapu yang dijadikan sampel sebanyak 45 ekor. Ikan yang berhasil
dijaring kemudian dipastikan mati dan dimasukkan ke dalam wadah, diberi label
kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang berisi es batu agar sampel tetap
segar dan awet. Sampel di bawa ke Laboratorium Fisiologi PLT UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk di lakukan persiapan analisis logam.
Faktor fisik diukur pada lokasi pengambilan ikan sapu-sapu di Sungai
Ciliwung Jakarta meliputi suhu, pH, DO menggunakan Water Quality Control
(WQC) dan titik koordinat menggunakan Global Positioning System (GPS) pada
stasiun sampling yang dilakukan setelah pengambilan sampel ikan. Preservasi
sampel air sesuai SNI (1991) yang meliputi tahapan yaitu air sungai diambil
sebanyak 500 ml. Frekuensi pengambilan sampel air sungai dilakukan secara
bersamaan dengan pengambilan sampel ikan sapu-sapu sebanyak satu kali.
Sampel di dalam botol ditambahkan 10% asam nitrat (HNO3) sampai pH-nya ≤ 2,
penambahan asam nitrat diperlukan agar kandungan logam dalam air tidak
menguap (Halwa, 2016). Tahap selanjutnya sampel air sungai ditutup rapat dan
diberi label tanggal, waktu dan kode sampel, kemudian disimpan di dalam box
pendingin dan dilakukan analisis logam berat di Laboratorium Kimia Institut
Pertanian Bogor.
Ikan sapu-sapu dari Sungai Ciliwung dan BPPBIH dibedah dengan cara
meletakan ikan sapu-sapu di atas papan bedah dengan sisi kanan terletak di bagian
bawah dan abdomen menghadap ke arah operator. Pembedahan ikan sapu-sapu
menggunakan gunting bedah dilakukan dengan membuka kulit ikan sapu-sapu
21
pada bagian ventral ikan sapu-sapu dari anus mengitari bagian abdomen ke arah
operculum. Selanjutnya dikeluarkan organ hati dan ginjal dan kulit dari ikan sapu-
sapu diambil dan dibersihkan dari daging, sisik dan lapisan luar yang menempel.
Insang di ambil menggunakan pinset pada bagian operculum. Selanjutnya organ
sampel berupa ginjal, hati, kulit dan insang tersebut disimpan dalam wadah yang
bersih dan tertutup rapat kemudian dilanjutkan proses pengeringan menggunakan
oven selama 24 jam pada suhu 105 oC, selanjutnya sampel organ yang sudah
kering dihaluskan dengan alu dan mortar dan di masukkan ke dalam plastik
ziplock.
Destruksi sampel organ dilakukan sebagai langkah untuk memecah logam-
logam berbentuk senyawa organik dalam organ ikan menjadi senyawa anorganik
sehingga dapat diukur konsentrasi logam beratnya. Organ dalam ikan masing-
masing ditimbang ± 5 gram menggunakan neraca analitik dan dimasukkan ke
dalam labu keydal dan ditambahkan 25 ml HNO3 didiamkan selama 1 jam pada
suhu ruang di ruang asam. Setelah itu dipanaskan di atas hot plate dengan
temperatur rendah (60 oC) selama 4-6 jam dan di biarkan di ruang asam ± 12 jam
dalam keadaan tertutup. Tahap selanjutnya larutan ditambahkan 2 ml H2SO4 dan
dipanaskan kembali diatas hot plate hingga larutan menjadi pekat (waktu yang
dibutuhkan ± 1 jam) Selama proses pemanasan ditambahkan 2-3 tetes larutan
campuran HClO4, HNO3 (2:1) hingga terjadi perubahan warna dari coklat hingga
menjadi kuning tua diikuti perubahan warna kembali menjadi kuning muda.
Larutan sampel kemudian dipindahkan, didinginkan dan ditambahkan 10 ml
aquades dan 3 ml HCl dan akan di panaskan kembali untuk melarutkan sampel
(waktu yang dibutuhkan ± 15 menit). Dipanaskan kembali agar sampel larut (± 15
menit) kemudian masukan ke dalam labu takar 100 ml. Larutan hasil destruksi
yang terdapat endapan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring di atas
corong kaca, kemudian larutan disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat
pada suhu ruang.
Pengukuran konsentrasi Pb, Cd, Hg dan Cr dilakukan di laboratorium Kimia
Institut Pertanian Bogor (IPB) mengunakan alat Atomic Absoption Spectroscopy
(AAS) gelombang (λ) yang berbeda-beda, logam Pb menggunakan panjang
gelombang 283,3 nm, logam Hg menggunakan alat menggunakan panjang
22
gelombang 253,7 nm melalui teknik uap dingin dengan SnCl2 sebagai agen
pereduksi. Logam Cd pada menggunakan panjang gelombang 228,8 nm dan
logam Cr menggunakan panjang gelombang pada 357,9 nm berupa kadar Pb, Hg,
Cd, Cr total dalam satuan ppm.
Alat AAS dapat mendeteksi keberadaan logam pada suatu bahan sesuai
dengan hukum Lambert-Beer. Hukum ini menjelaskan bahwa semua sinar yang
telah diserap berbanding lurus dengan banyaknya kadar unsur zat pada logam
berat, sehingga akan didapatkan konsentrasi logam berat. Data logam Pb, Cd, Hg
dan Cr pada organ ginjal, hati, insang dan kulit yang di dapatkan pada pengukuran
menggunakan alat AAS Selanjutnya di sajikan dalam bentuk tabel dan diolah
dengan Analysis of Variance (ANOVA) melalui analisis nonparametrik Kruskal
Wallis.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Faktor Fisik Air Sungai Ciliwung
Hasil pengukuran parameter fisika diperoleh pada air Sungai Ciliwung Jakarta
memiliki nilai rata-rata 28 oC, pH 6,7–6,9 dan DO 4,66-5,23 mg/l, dan kecepatan
arus 0,4 – 2,1 m/s (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata faktor fisika dan kimia air Sungai Ciliwung Jakarta
Stasiun Suhu
(oC)
pH
DO
(mg/L)
Kecepatan Arus
(m/s)
I 28,5 ± 0,4 6,7 ± 0,37 4,66 ± 1,81 0,4 ± 0,28
II 28,4 ± 1,16 6,9 ± 0,1 5,23 ± 1,50 2,1 ± 1,60
Baku
mutu 6,0 - 9,0 > 4,0
Keterangan: Baku mutu air kelas III berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001
Suhu memiliki pengaruh universal dalam mengatur proses alami di perairan,
hal tersebut dapat mempengaruhi komponen biotik dan abiotik. Suhu berpengaruh
pada toksisitas logam berat pada organisme perairan sebab jika terjadi
peningkatan suhu maka proses masuknya logam ke dalam tubuh akan meningkat
dan mempercepat terjadi pembentukkan reaksi ikatan antara logam berat dengan
protein (Budiastuti et al., 2016). Pengukuran suhu pada Sungai Ciliwung daerah
Jakarta didapatkan rata-rata suhu 28 ºC (Tabel 1). Nilai tersebut tidak berbeda
jauh dengan pengukuran suhu air Sungai Ciliwung yang dilakukan Hendrawan
(2008) yaitu 27,6 ºC. Berdasarkan data hasil pengamatan oleh BPLHD DKI
Jakarta 2008-2012 rentang suhu Sungai Ciliwung yaitu 26,5 – 28,0 ºC. Nilai Suhu
yang lebih rendah didapat pada pengukuran air di BPPBIH oleh Zulfa (2014) yang
menunjukkan rentang suhu 24-27 ºC. Kedua lokasi pengambilan sampel ikan
sapu-sapu menunjukkan suhu yang sesuai dengan tempat hidup ikan sapu-sapu.
Ikan sapu-sapu hidup di air dengan rentang suhu yang lebih hangat yaitu diantara
21-29 ºC (Nico et al., 2012). Nilai pH penting diketahui sebagai parameter
24
kualitas air untuk kelangsungan hidup ikan. Sungai Ciliwung memiliki rentang
pH 6,7-6,9 (Tabel 1).
25
Nilai pH yang lebih rendah didapat pada pengukuran air di BPPBIH yaitu 6
(Zulfa, 2014). Perdana (2013) menyatakan bahwa sebagian besar ikan sapu-sapu
sangat ideal hidup di air dengan pH yang cenderung netral (pH 6,4 – 7,6). Namun
ditemukan juga bahwa sebagian ikan sapu-sapu dapat mentolerir kadar pH air
yang lebih rendah yaitu 5,5 – 7,5 (Sari et al., 2015). Faktor yang dapat
mempengaruhi nilai pH diantaranya keadaan tanah, pertumbuhan alga di dalam
air, adanya sisa makanan yang membusuk dan timbunan bahan organik, turunnya
hujan dan terjadinya pergolakan arus (Budiastuti et al., 2016). Hasil
menunjukkan bahwa air Sungai Ciliwung Jakarta maupun air di BPPBIH masih
sesuai dengan Peraturan Menteri Negera Lingkungan Hidup no. 82 tahun 2001
yaitu 6 – 9.
Hasil pengukuran DO Sungai Ciliwung Jakarta memiliki rentang 4,66 – 5,23
ppm (mg/L) (Tabel 1). Sedangkan nilai DO yang lebih tinggi yaitu 5,56 – 6,94
ppm (mg/L) didapat pada pengukuran air di BPPBIH (Zulfa, 2014). Nilai tersebut
diatas baku mutu air kelas III berdasarkan Peraturan Menteri Negera Lingkungan
Hidup no. 82 tahun 2001. Kandungan DO di Sungai Ciliwung Jakarta (Kalibata-
Cawang) dengan rentang 4,66 – 5,23 mg/L menunjukkan nilai yang tidak jauh
berbeda dengan penelitian Ibad (2015) yaitu nilai kandungan DO di Sungai
Ciliwung antara perbatasan Depok dan Jakarta (Jembatan Kelapa Dua)
menunjukkan nilai sebesar 5,46 mg/L dan semakin rendah ke arah hilir Sungai
Ciliwung (Manggarai-Ancol) yang masing-masing memiliki nilai kandungan DO
sebesar 2,34 mg/L dan 0,78 mg/L. Perbedaan nilai DO menunjukkan bahwa di
Sungai Ciliwung telah terjadi pencemaran akibat aktivitas manusia. Aktivitas
manusia seperti pertanian dan pembuangan limbah menyebabkan penurunan dan
konsentrasi DO.
Hasil penelitian Siregar et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat kandungan
minyak dan lemak di di Sungai Ciliwung Kalibata yaitu 6 mg/l, nilai tersebut
lebih tinggi daripada di Bogor yaitu 2 mg/l. Tingginya kandungan minyak dan
lemak diikuti dengan nilai DO yang rendah yaitu 0,01. Hal tersebut berkaitan
dengan mikroorganisme yang menggunakan oksigen terlarut untuk perombakan
senyawa organik (termasuk minyak dan lemak) sebagai sumber energi dan bahan
kimia yang digunakan untuk pertumbuhannya. Nilai DO yang berbeda pada kedua
26
stasiun (Tabel 1) disebabkan oleh kecepatan arus yang berbeda. Arus yang lebih
kuat dapat menyebabkan nilai DO lebih rendah, hal tersebut berkaitan dengan air
yang mengalami pengadukan dan difusi udara melalui permukaan air (Ibad,
2015). Siregar et al (2012) menyatakan bahwa kandungan oksigen diperairan
dipengaruhi oleh arus yang cukup deras. Kecepatan arus sungai sangat
berpengaruh terhadap proses purifikasi. Kecepatan arus menjadi faktor turbulensi
permukaan air sehingga memperluas area difusi oksigen dari udara ke dalam
perairan. Tingginya kadar oksigen (DO) di dalam perairan akan meningkatkan
proses oksidasi bahan-bahan pencemar secara kimiawi dan membantu organisme
akuatik untuk mendekomposisi bahan-bahan pencemar organik. Menurut
Wijayanti, (2007) Arus dari 0,1 m/dtk termasuk kecepatan arus yang sangat
lemah, sedangkan kecepatan arus sebesar 0,1-1 m/dtk tergolong kecepatan arus
yang sedang, kecepatan arus > 1 m/dtk tergolong kecepatan arus yang kuat. Hasil
pengukuran kecepatan arus di Sungai Ciliwung Jakarta (Kalibata) yaitu 0,4 m/s,
nilai tersebut tergolong kecepatan arus yang sedang dan Sungai Ciliwung Jakarta
(Cawang) 2,1 m/s menunjukkan bahwa terjadi pergerakan arus yang lebih kuat
dan tergolong kedalam sungai dengan arus sangat kuat.
4.2. Kandungan Logam Berat di Air Sungai dan pada Organ
Hasil pengukuran logam berat terlarut pada air Sungai Ciliwung Jakarta
dinyatakan pada satuan mg/L (ppm) dan hasil pengukuran logam berat pada ikan
sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis Castenau, 1855) dinyatakan dengan satuan
mg/kg (ppm).
Tabel 2. Kandungan logam berat di air Sungai Ciliwung dan pada Organ
Logam
Air
Sungai
(ppm)
Baku
Mutu
Air
Organ
(ppm)
Baku
Mutu
Organ
(ppm) Ginjal Hati Kulit Insang
Pb < 0,003 0,03
0,0168
±0,008
0,0123
± 0,0037
0,3415
± 0,458
1,467
± 0,309 0,03
Hg < 0,002 0,002
0,030
± 0,002
0,068
± 0,021
0,015
± 0,010
0,013
± 0,005 0,05
Cd < 0,001 0,01 < 0,003 < 0,003 < 0,003 < 0,003 0,05
Cr < 0,005 0,05 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 0,05
27
Keterangan: Baku mutu air = PPRI No. 82 tahun 2001. Kelas III, < = kurang dari
dan Baku mutu Organ ikan = Berdasarkan Badan Standarisasi
Nasional (SNI 7387 : 2009)
Kandungan logam secara terlarut di perairan Ciliwung daerah Jakarta
menunjukkan konsentrasi yang relatif kecil pada alat yaitu Pb memiliki kadar
kurang dari 0,009 ppm, logam Hg kurang dari 0,002 ppm, logam Cd kurang dari
0,001 ppm dan logam Cr kurang dari 0,005 ppm (Tabel 2). Hasil tersebut didapat
karena alat AAS yang digunakan mempunyai Deteksi Limit (DL) 0,005 – 2,0
mg/l. Logam Cd dan Cr di Sungai Ciliwung diduga sangat kecil konsentrasinya.
Data konsentrasi logam Pb di Sungai Ciliwung yang didapatkan dari BPLHD DKI
Jakarta tahun 2011 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi Pb relatif stabil selama
bulan Juli, September, Oktober dan Desember pada tahun 2011 di Sungai
Ciliwung pada daerah Jakarta yaitu sebesar kurang dari 0,023 mg/L (ppm).
Berdasarkan penelitian Alfisyahrin (2013) logam Pb di daerah Jakarta kurang dari
0,04 mg/L (ppm) dan kurang dari 0.005 mg/L (ppm). Sedangkan pada penelitian
Halwa (2016) logam Pb terdeteksi di Sungai Ciliwung kawasan Depok dan
Manggarai berturut-turut 0,002 dan 0,003 ppm. Logam Pb dalam perairan
ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi, kelarutan timbal yang cukup
rendah menjadikan kadar timbal dalam air relatif sedikit (Alfisyahrin, 2013).
Logam Cd pada penelitian menunjukkan kurang dari 0,001 ppm (Tabel 2).
Sedangkan Halwa (2016) mendeteksi logam Cd di Sungai Ciliwung kawasan
Depok dan Manggarai berturut-turut 0,002 ppm. Hasil tersebut masih di bawah
ambang batas yang ditetapkan oleh PPRI No. 82 Tahun 2001.
Kadar logam Pb, Hg, Cd dan Cr yang relatif kecil, Darmono (2006)
menyatakan bahwa konsentrasi logam toksik seperti Cd, Pb, Hg, dan As dalam
lingkungan perairan secara alamiah biasanya sangat kecil. Kandungan logam pada
air Sungai Ciliwung Jakarta masih di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh
PPRI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air yang berturut-turut Pb sebesar 0,03 mg/L, Cd sebesar 0,01 mg/L,
Cr sebesar 0,05 mg/L. Meskipun kadar logam dalam air Sungai Ciliwung pada
penelitian ini relatif kecil akan tetapi tidak menutupi kemungkinan ditemukannya
kandungan logam pada ikan, terutama ikan sapu-sapu. Hasil analisis logam berat
28
pada organ ikan sapu-sapu asal Sungai Ciliwung Jakarta menunjukkan bahwa
logam Pb dan Hg terdeteksi di seluruh organ sedangkan Cd dan Cr menunjukkan
hasil yang relatif rendah yaitu kurang dari 0,0003 dan 0,0005 (Tabel 2). Adanya
kandungan logam Pb dan Hg yang terdeteksi di setiap organ menunjukkan bahwa
lingkungan ikan sapu-sapu tercemar Pb dan Hg. Sungai Ciliwung dimanfaatkan
sebagai tempat pembuangan dari limbah domestik dan industri (Aksari et al.,
2015). Industri yang membuang limbahnya ke Sungai Ciliwung seperti industri
makanan, industri minuman, dan lain lain (lampiran 4). Pembuangan limbah
domestik dan limbah industri ke Sungai Ciliwung menjadi faktor terbesar adanya
pencemaran karena umumnya mengandung unsur logam berat diantaranya Pb dan
Hg. Logam berat Pb dan Hg banyak digunakan dalam kegiatan perindustrian
seperti pabrik tekstil, cat, farmasi, kimia, pestisida, deterjen percetakan (Palar,
2004). Meskipun kandungan logam di air Sungai Ciliwung rendah, namun
diasumsikan logam Pb maupun Hg terendap ke dasar sungai. Hasil penelitian
Rochyatun, Kaisupy, & Rozak (2012) menyatakan kadar logam berat Pb dan Cd
dalam sedimen di perairan muara Sungai Cisadane lebih tinggi yaitu 9,42 - 37,50
ppm meskipun di air sungai didapatkan nilai kandungan Pb dan Cd kurang dari
0,001 – 0,003 ppm. Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ibad (2015)
menunjukkan bahawa nilai kandungan logam Pb, Cd dan Hg di Air Sungai
Ciliwung Jakarta (Jembatan Kelapa Dua, Manggarai dan Ancol) menunjukkan
nilai kurang dari 0,005 ppm namun terdeteksi logam Pb di sedimen sebesar 34,33
ppm, 31,77 ppm dan 27,07 ppm. Penumpukkan zat organik ataupun anorganik
lebih mudah di sedimen daripada di kolom perairan. Hal tersebut berkaitan
dengan substrat sedimen yang mampu mengikat dan menjadikannya terakumulasi
di sedimen. Sungai Ciliwung daerah Jakarta memiliki substrat sedimen yang
berukuran 0.062-0.004 mm berupa partikel lumpur halus (Muthmainnah, 2019).
Partikel sedimen yang halus memiliki luas permukaan yang besar dengan
kerapatan ion yang lebih stabil untuk mengikat logam terutama logam Pb. Hal
tersebut di dukung oleh Sucipto, Darma & Indra (2013) yang menyatakan bahwa
logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat sedimen dan mengendap di
dasar perairan.
29
Logam pada ikan sapu-sapu dapat terdeteksi karena logam yang masuk ke
perairan akan terabsorpsi oleh biota (Ebrahimi & Taherianfard, 2011). Hal
tersebut berkaitan dengan akumulasi logam secara biologis oleh tanaman atau
hewan air yang terlibat dalam sistem jaring-jaring makanan. Hasil penelitian
Regine, Gilles, Yannick, & Alain (2006) menunjukkan adanya perbedaan nyata
antara distribusi logam merkuri dalam organ-organ ikan berdasarkan perbedaan
makanan. Menurut Samat (2016) Loricariidae merupakan kelompok ikan
pemakan alga yang menutupi dasar permukaan. Alga memiliki kemampuan dalam
mengadsorpsi logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat
melakukan pengikatan dengan ion logam berat (Wetipo, et al. 2013). Alga
Chlorella sp, Scenedesmus sp sebagai agen bioremediasi limbah logam berat
ditemukan pada perut ikan sapu-sapu melalui penelitian analisis content gut
(Sholihah, 2019).
Ikan sapu-sapu sebagai satu ikan yang dapat ditemukan di perairan Sungai
Ciliwung memiliki bagian mulut dan struktur yang memungkinkan untuk
mengikis makanan dari permukaan yang keras dan menelan sedimen lunak secara
efisien (Samat, 2016). Makanan ikan sapu-sapu yang berada didasar atau sedimen
juga diduga sebagai jalur masuk logam ke dalam tubuh ikan sapu-sapu. Logam
berat yang berada di air dan sedimen dapat diserap oleh bakteri, fitoplankton, dan
zooplankton yang kemudian dimakan oleh ikan. Hal tersebut didukung oleh
penelitian Sholihah (2019) yang mengidentifikasi makanan utama ikan sapu-sapu
dari kelompok Bacillariophyta sebanyak 59 genus, individu terbanyak berasal dari
genus Navicula sp. Navicula sp. merupakan kelompok Bacillariophyta yang
banyak ditemukan pada sedimen di sungai dan danau (Bellinger & Sigee, 2010).
Logam Pb dan Hg yang terdeteksi memiliki nilai yang berbeda-beda di
setiap organ. Adanya Perbedaan konsentrasi total logam dalam organ dipengaruhi
karakter fisiologi organ (Eneji et al, 2015). Insang pada ikan sapu-sapu Sungai
Ciliwung mengandung logam Pb sebesar 1,467 ± 0,309 ppm dan kandungan
logam Hg sebesar 0,013 ± 0,005 ppm (Tabel 2). Kandungan logam pada Pb telah
melebihi ambang batas baku mutu berdasarkan badan Standarisasi Nasional
Indonesia (SNI 7387 : 2009) yaitu bahwa ambang batas maksimal kadar logam
berat Pb sebesar 0,30 ppm untuk ikan dan hasil olahannya. Sedangkan Hg masih
30
berada di bawah batas kandungan logam yaitu 0,05 ppm. Organ insang pada ikan
sapu-sapu Sungai Ciliwung mengandung logam Pb sebesar 1,467 ± 0,309 ppm.
Nilai tersebut lebih tinggi daripada organ-organ lain (ginjal, kulit dan hati) yang
mengandung logam Pb. Kandungan logam Pb yang memiliki kandungan lebih
tinggi daripada logam Hg di insang menunjukkan bahwa logam Pb terakumulasi
di organ insang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rahayu et al (2017) yang
menyatakan bahwa logam berat Pb lebih banyak terakumulasi pada bagian insang
yang secara aktif dilalui oleh air ataupun sedimen yang berdifusi bersama logam.
Gambar 4. Kandungan logam Pb pada Organ
Paparan Pb secara eksperimen terhadap ikan kerapu dengan konsentrasi
0,69 ppm selama 30 hari menyebabkan ikan mengalami kerusakan insang akibat
bereaksinya logam berat Pb dengan lendir insang sehingga mengakibatkan
terganggunya proses pernapasan dan metabolisme yang mengakibatkan adanya
penurunan tingkat konsumsi oksigen yaitu 0,52 mg O2/gr (Sahetapy, 2011). Ikan
sapu-sapu diuntungkan dengan memiliki labirin sebagai organ pernapasan
tambahan yang membantu dalam mengambil oksigen di permukaan air. Ikan
sapu-sapu memiliki labirin sebagai alat pernafasan tambahan dan modifikasi pada
lambung sebagai organ tambahan pada kondisi oksigen terlarut yang rendah
(Armbruster, 1998). Kemampuan dalam menyimpan udara dari permukaan air
pada musim kemarau atau pada saat kandungan oksigen terlarut dalam air rendah
menjadikan ikan sapu-sapu memiliki tingkat adaptasi yang tinggi (Armbruster,
2006). Organ kulit memiliki kandungan logam Pb tertinggi kedua setelah insang
dengan nilai 0,3414 ± 0,458 ppm. Kulit dapat terakumulasi oleh logam, karena
31
kulit menjadi media masuknya logam ke dalam tubuh ikan sapu-sapu melalui
difusi ketika ikan sapu-sapu terpapar dengan lingkungan yang mengandung
logam. Selain air, lumpur dapat mengandung logam akibat logam yang sukar larut
dan mengalami proses pengenceran dan lama kelamaan akan turun ke dasar
kemudian mengendap dalam sedimen (Rochyatun et al., 2012). Keberadaan
logam pada organ kulit ikan sapu-sapu diduga karena aktivitas ikan sapu-sapu
seperti makan dan berpijah di lingkungan yang tercemar logam. Pernyataan
tersebut didukung oleh pernyataan (Priatna, Purnomo & Kuswanti, (2016) yaitu
adanya kontak langsung dengan lingkungan tercemar dapat berlangsung
pemindahan zat kimia dari lingkungan air ke dalam atau permukaan tubuh ikan.
Keberadaan Pb pada organ yang tidak terpapar langsung oleh air maupun
lumpur di Sungai Ciliwung yaitu ginjal dan hati berturut-turut 0,0123 ± 0,0037
ppm dan 0,0168 ± 0,008 ppm (Gambar 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa
logam Pb dapat terabsorpsi ke dalam organ ginjal dan hati meskipun organ
tersebut tidak terpapar langsung pada air Sungai Ciliwung maupun sedimen.
Kedua organ insang dan organ kulit ikan sapu-sapu mengandung kandungan
logam dapat menjadi jalan masuknya logam Pb yang selanjutnya akan masuk ke
jaringan bagian dalam. Darmono (2001) menyatakan bahwa hati dan ginjal
menjadi tempat logam dan organ terakumulasi. Kandungan logam Pb pada hati
lebih tinggi daripada ginjal menunjukkan bahwa logam Pb dari darah masuk
menuju ke hati. Logam akan mengalami detoksifikasi di dalam hati sesuai dengan
fungsi hati selanjutnya akan di ekskresikan melalui ginjal.
Hasil pengukuran logam berat Hg pada organ ikan sapu-sapu dari Sungai
Ciliwung terdeteksi disetiap organ menunjukkan telah terjadi akumulasi di dalam
tubuh ikan sapu-sapu (Gambar 5).
32
Gambar 5. Kandungan logam Hg pada Organ
Putranto (2016) menyatakan bahwa Hg dalam bentuk Campuran apapun yang
di lepaskan ke dalam lingkungan mengakibatkan terjadinya methylation potential
ke methyl mercury (MMHg) / (CH3Hg(I). Proses perubahan merkuri menjadi
metil merkuri oleh bakteri pereduksi sulfat disebut metilasi (methylation)
(Setiyono & Djaidah, 2012). Senyawa ion metil merkuri sangat mudah larut
dalam air dan juga sangat mudah menguap ke udara. Sementara itu senyawa ion
metil merkuri yang ada dalam badan perairan akan dimakan oleh biota perairan
seiring dengan sistem rantai makanan di air dan sebagian besar mengendap dalam
sedimen (Taftazani, 2007). Kandungan Hg secara berturut-turut dari tinggi ke
rendah adalah menunjukkan hati 0,068 ± 0,021, ginjal 0,030 ± 0,002 ppm, kulit
0,015 ± 0,010 ppm dan insang 0,013 ± 0,005 ppm (Tabel 2). Organ ikan yang
terdeteksi tersebut menunjukkan bahwa ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung
mengabsorpsi Hg. Organ insang dan kulit sebagai organ yang terpapar langsung
dengan air Sungai Ciliwung menunjukkan nilai Hg yang lebih rendah daripada
organ ginjal dan hati. Hal tersebut berkaitan dengan pernyataan soemirat (2003)
yang menyatakan bahwa kandungan logam berat pada insang bisa saja sedikit
karena insang dapat membatasi masuknya logam berat ke dalam biota dengan cara
membatasi pernafasan dan difusi oksigen (O2).
Logam Hg masuk ke dalam peredaran darah dan terakumulasi di dalam
organ hati dan ginjal. Merkuri dapat masuk ke dalam jaringan tubuh pada ikan
melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan dan penetrasi
melalui kulit. Merkuri yang masuk dalam tubuh organisme air tidak dapat dicerna,
33
dan merkuri dapat larut dalam lemak. Logam yang larut dalam lemak mampu
untuk melakukan penetrasi pada membran sel, sehingga akhirnya ion-ion logam
merkuri akan menumpuk (terakumulasi) di dalam sel dan organ-organ. Akumulasi
tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal)
(Palar, 1994). Hati merupakan salah satu kelenjar pada ikan yang memiliki bentuk
besar berwarna merah kecoklatan dan terletak pada bagian ventral rongga dada.
Penelanan MMHg pada ikan menyebabkan tingkat absorpsi yang sangat tinggi
melalui dinding usus, senyawa organik tersebut diangkut melalui darah, terutama
sel darah merah, ke semua organ dan jaringan dan distribusi hati atau otak.
Diliyana (2008) menyatakan MMHg dapat di absorpsi oleh ikan melalui
makanannya maupun langsung dari air dengan melewati insang yang selanjutnya
dapat berikatan dengan protein di seluruh jaringan ikan termasuk otot (daging).
Organ ginjal sebagai sasaran kedua akumulasi Hg sebesar 0,030 ± 0,002
ppm. Logam Hg yang terdeteksi pada organ ginjal menunjukkan bahwa
masukknya Hg pada hati akan terbagi dua jalur yaitu sebagian akan terakumulasi
pada hati sedangkan sebagian lainnya akan menuju ke empedu. Di dalam kantong
empedu, merkuri akan dirombak menjadi senyawa merkuri anorganik yang
kemudian akan dikirim darah ke ginjal. dimana sebagian akan terakumulasi pada
ginjal dan sebagian lagi diekskresikan (Palar 1994). Organ kulit dan insang
terdapat nilai logam Hg yang masing-masing sebesar 0,015 ± 0,010 ppm dan
0,013 ± 0,005 ppm ini menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan
kandungan logam Hg pada hati dan ginjal hal ini menunjukkan bahwa logam Hg
cenderung masuk ke dalam tubuh organisme, hal tersebut disebabkan oleh
kemampuan Hg dalam membentuk suatu ikatan yang kuat dengan gugus yang
terdapat pada enzim maupun dinding sel sehingga pengaruh utama yang
ditimbulkan logam Hg yang masuk ke dalam tubuh adalah menghalangi kerja
enzim dan merusak selaput dinding (membran) sel (Diliyana, 2008). Menurut
Widowati (2008) tingkat toksisitas logam berat pada hewan air mulai dari yang
paling toksik adalah Hg, Cd, Pb dan Cr.
4.3. Kandungan Cd dan Cr
Hasil analisis laboratorium logam berat Cd dan Cr pada organ ikan sapu-
sapu di Sungai Ciliwung Jakarta menunjukkan angka kurang dari 0,005. Logam
34
Cd dan Cr di lingkungan ikan sapu-sapu Ciliwung Jakarta diduga sangat kecil
konsentrasinya sehingga tidak terdeteksi melalui alat AAS yanng memiliki
Deteksi Limit (DL) 0,005-2.0 mg/L. Kandungan logam Cd dan Cr yang tidak
terdeteksi di organ ikan sapu-sapu juga tidak terdeteksi pada daging ikan sapu-
sapu di sungai Ciliwung. Penelitian Ratmini (2009) menunjukkan bahwa
kandungan Cd pada daging ikan sapu-sapu di Sungai Ciliwung kurang dari 0,003
ppm. Dhika (2013) menyatakan bahwa selama tiga bulan penelitian kandungan
Cd masih relatif sedikit pada daging ikan sapu-sapu yaitu 0,005 ppm. Clark
(1986) menyatakan bahwa logam Cd dapat masuk ke perairan melalui proses
korosi dalam kurun 4-12 tahun, pupuk fosfat dan endapan sampah sedangkan
sumber logam Cd menurut Taftazani (2007) berkaitan dengan aktivitas manusia
dapat berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah tangga.
Berdasarkan pengamatan dilapangan dan dari data sekunder menunjukkan
beberapa industri yang menggunakan Cr dalam kegiatannya seperti industri tinta
di Bogor, bahan warna (dyes), pigmen cat pada indsutri cat di Jakarta,
penyamakan kulit (tanning) dan lain-lain dapat menjadi faktor masuknya logam
Cr ke Sungai Ciliwung. Namun, Tidak terdeteksi nya logam Cd dan Cr di air
maupun di organ ikan sapu-sapu menunjukkan bahwa kandungan Cr yang
dilepaskan ke badan sungai masih dapat ditoleransi oleh sungai.
4.4. Analisis Anova pada kandungan logam Pb dan Hg
Uji statistik digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan kandungan logam terhadap beberapa organ ikan sapu-sapu. Logam Hg
yang diuji anova non paramterik kruskal wallis pada organ ginjal, hati, kulit dan
insang menunjukkan bahwa nilai symp tidak signifikan (p < 0,05) (lampiran 2).
Logam Pb yang diuji melalui anova non paramterik kruskal wallis pada organ
ginjal, hati, kulit dan insang menunjukkan bahwa tidak signifikan (p > 0,05)
(lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan tidak terdapat perbedaan dari masing-
masing logam tersebut terhadap organ ginjal, hati, kulit dan insang. Hasil yang
sama pada peneitian Aksari et al (2015) menguji signifikansi konsentrasi tiga
logam Pb, Hg dan Cd melalui uji statistik anova. Hasil penelitian signifikansi
konsentrasi logam Pb pada tiga organ ikan menunjukkan tidak signifikan (P>0,05)
dan konsentrasi logam Hg pada tiga organ ikan menunjukkan tidak signifikan
35
(P>0,05). Namun ditemukan adanya perbedaan yang signifikan kandungan logam
dengan urutan tertinggi hingga terendah adalah Pb, Hg, dan Cd (p=5,12x10-7).
4.5. Kandungan Pb, Cd, Hg, dan Cr Ikan Sapu-sapu BPPBIH
Hasil yang didapatkan dari analisis logam pada ikan asal BPPBIH yaitu organ
ginjal, hati dan kulit menunjukkan nilai Pb kurang dari 0,03 ppm, Hg kurang dari
0,005 ppm, Cd kurang dari 0,003 ppm dan Cr kurang dari 0,005 ppm. Organ
insang menunjukkan nilai nilai Pb kurang dari 0,03 ppm, Hg kurang dari 0,005
ppm, Cd 0,0535 ppm dan Cr kurang dari 0,005 (Tabel 3). Tidak terdeteksinya
logam Pb, Hg, Cd dan Cr di masing-masing organ diduga sangat kecil
konsentrasinya, bahkan diasumsikan tidak ada. Ikan sapu-sapu dari BPPBIH yang
dijadikan kontrol dalam penelitian ternyata terdeteksi logam Cd di insang yaitu
0,0535 ppm (Tabel 3). Kandungan logam Cd pada insang masih berada di batas
aman baku mutu kandungan logam di biota dan olahannya (SNI 7387 : 2009).
Keberadaan logam Cd pada organ insang menunjukkan bahwa dalam lingkungan
sekitar ikan yaitu air maupun sedimen kolam telah terkontaminasi Cd.
Tabel 3. Kandungan Logam Berat di Organ ikan sapu-sapu BPPBIH
Logam Organ ikan sapu-sapu
Baku mutu Ginjal Hati Kulit Insang
Pb < 0,03 < 0,03 < 0,03 < 0,03 0,03
Hg < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 0,05
Cd < 0,003 < 0,003 < 0,003 0,0535 0,05
Cr < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 0,05
Keterangan: Baku mutu berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (SNI 7387 :
2009)
Faktor penyebab kontaminasi peningkatan kadar Cd pada lingkungan yaitu
dari alam maupun antropogenik termasuk emisi industri, pestisida, dan
penggunaan pupuk fosfat (Jarup, 2003). Clark (1986) menyatakan bahwa logam
Cd dapat masuk ke perairan melalui proses korosi dalam kurun 4-12 tahun, pupuk
fosfat dan endapan sampah. Kolam ikan sapu-sapu yang berada Pengamatan
terhadap lokasi BPPBIH menunjukkan bahwa kolam ikan sapu-sapu terletak di
kolam besar dan menggunakan air tanah. Air tanah yang digunakan pada
pemeliharaan ikan sapu-sapu diasumsikan mengandung Cd dari terdeteksinya
logam Cd di organ insnag dari ikan sapu-sapu dari BPBBIH yaitu. Siregar et al
36
(2012) menyatakan bahwa insang ikan sapu-sapu berkaitan dengan aktivitas
pernafasan dan selalu berkaitan erat dengan perairan. Organ-organ lain yang tidak
terdeteksi oleh Cd menunjukkan bahwa tidak terjadi akumulasi Cd pada organ
lainnya. Meskipun kadar Cd dalam organ insang tersebut masih berada dibatas
aman baku mutu keberadaan logam pada ikan, namun perlu dilakukan pengkajian
lebih lanjut mengenai fenomena ini, karena tidak seharusnya wilayah budidaya
mengandung logam berat.
37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian kandungan logam pada organ ginjal, hati, kulit dan
insang pada ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) asal
Sungai Ciliwung Jakarta terdeteksi logam Pb dan Hg pada keseluruhan sampel
organ uji (ginjal, hati, kulit dan insang). Kandungan logam Pb pada ginjal sebesar
0,016 ±0,008 ppm, organ hati sebesar 0,0123 ±0,0037 ppm, organ kulit sebesar
0,3415 ±0,458 ppm dan organ insang sebesar 1,467 ± 0,309 ppm. Kandungan
logam Hg pada ginjal sebesar 0,030 ±0,002 ppm, organ hati sebesar 0,068 ±0,021
ppm, organ kulit 0,010 ±0,003 ppm dan pada organ insang 0,013 ±0,005 ppm.
Logam Cd terdeteksi pada insang ikan sapu-sapu di BPPBIH sebesar 0,05346
ppm.
5.2. Saran
1. Masyarakat di DAS Ciliwung: Ikut melestarikan dan menjaga kebersihan
Sungai Ciliwung dengan tidak membuang limbah domestik maupun industri
ke bantaran maupun di sungai.
2. Kalangan peneliti: Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai fisiologi
adaptasi dari ikan sapu-sapu dan kemampuan ikan sapu-sapu menerima
cemaran melalui penelitian eksperimental.
38
DAFTAR PUSTAKA
Aksari, Y. D., Perwitasari, D., & Butet, N. A. (2015). Kandungan logam berat
(Cd, Hg dan Pb) pada ikan sapu-sapu,Pterygoplichthys pardalis (Castelnau ,
1855) di Sungai Ciliwung [Concentration of heavy metals (Cd, Hg and Pb)
of amazon sailfin catfish, Pterygoplichthys. Jurnal Iktiologi Indonesia, 15(3),
257–266. https://doi.org/10.32491/jii.v15i3.61
Affandi, R., dan Tang. U.M. (2002). Fisiologi Hewan Air. Riau: Unri Press.
Alvian, Z. (2007). Pengaruh pH dan penambahan asam terhadap penentuan kadar
Krom dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan atom. Jurnal
Sains Kimia, 11(1), 37-41.
Alfisyahrin, N. F. (2013). Distribusi logam berat Timbal (Pb) dalam daging ikan
sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung (Thesis). Institut
Pertanian Bogor.
Armbruster, J.W. (1998). Modification of digestive tract for holding air in
Loricariidae in Scloloplacid Catfishes. Copeia, (3), 663-675.
Armbruster, J.W. (2004). Phylogenetic relationships of the suckermouth armoured
catfishes (Loricariidae) with emphasis on the Hypostominae and the
Ancistrinae. Zoological Journal of the Linnean Society, (141), 1-80.
Armbruster, J. W and Page, LM. (2006). Redescription of Pterygoplichthys
punctatus and description of a new species of Pterygoplichthys
(Siluriformes: Loricariidae). Neotropical Ichthyology, 4(4),401-409.
Asdak, C. (2002). Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Bellinger, E. G., & Sigee., D.C. (2010). Freshwater Algae Identification and Use
as Bioindicators.Willey-Blackwell. New Delhi, India.
BPLHD DKI Jakarta. (2011). Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014.
Clark, R. 1986. Marine pollution. Third edition Clarendon Press. Oxford
Darmono. (2001). Lingkungan Hidup Dan Pencemaran. Universitas Indonesia.
Jakarta
Dhika, L. R. (2013). Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dalam Daging Ikan
Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Institut Pertanian
Bogor.
39
Diliyana, Y. F. (2008). Studi Kandungan Merkuri (Hg) pada Ikan Bandeng
(Chanos chanos) di Tambak Sekitar Perairan Rejoso Kabupaten Pasuruan.
Universitas Islam Negeri. Malang.
Dini, S. (2011). Evaluasi Kualitas Air Sungai Ciliwung Di Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2000-2010. Universitasi Indonesia. Depok
Ebenstein, D., Carlos C., Omar P. T., & Fernando G. T. (2015). Characterization
of dermal Plates from Pterygoplichthys pardalis revals sandwich-like
Nanocomposite Structure. Journal of the Mechanical Behavior of Biomedical
Materials, 45(2), 175-182.
Ebrahimi, M., & Taherianfard, M. (2011). The effects of heavy metals exposure
on reproductive systems of cyprinid fish from Kor River. Iranian Journal of
Fisheries Sciences, 10(1), 13–24.
Elfidasari, D., Qoyyimah F. D., & Fahmi M. R. (2016). Morphometric and
Meristic of Common Pleco (Loricariidae) on Ciliwung River Watershed
South Jakarta Region. International Journal of Advanced Research (IJAR),
4(1), 57-62. ISSN: 2320-5407.
Elliott, D. (2011). Functional Morphology of the Integumentary System in Fish.
Elsevier. (1), 476-488.
Eneji, I. S., Sha’ato, R., Annune, P. A. (2015). Bioaccumulation of Heavy Metals
in Fish (Tilapia Zilli and Clarias Gariepinus) Organs From River Benue,
North Central Nigeria. Pakistan of Journal Analysis Environmental
Chemistry, 12(2). ISSN-1996-918.
Hadiaty, R. K. (2011). Diversity and the fish species lost at the lakes of Cisadane
river basin. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(2), 143–157.
Halwa, Aida. (2016). Bioakumulasi kandungan logam berat timbal (Pb),
Kadmium (Cd), Kromium (Cr) pada daging ikan sapu-sapu di bagian hulu
hingga hilir Sungai Ciliwung (Thesis). Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Hendrawan, D. (2008). Water quality of Ciliwung River refer to oil and grease
Parameter. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan Indonesia, 15(2), 85–
93.
Hendrayanto. (2008). Transboundary watershed management: A case study of
upstreamdownstream relationships in Ciliwung watershed. Bogor
Agricultural University, (8), 1–4.
Hidayah, A. M., Purwanto, P., & Soeprobowati, T. R. (2014). Biokonsentrasi
faktor logam berat Pb, Cd, Cr dan Cu pada ikan nila (Oreochromis niloticus
Linn.) di karamba Danau Rawa Pening. Bioma: Berkala Ilmiah Biologi,
16(1), 1-9.
Hossain, M., Vadas, R., Ruiz-Carus, R., & Galib, S. M. (2018). Amazon sailfin
40
catfish Pterygoplichthys pardalis (Loricariidae) in Bangladesh: a critical
review of its invasive threat to native and endemic aquatic species. Fishes,
3(1), 14. https://doi.org/10.3390/fishes3010014
Ibad, H. (2015). Kandungan logam berat Pb, Cd dan Hg pada air dan sedimen di
Sungai Ciliwung, Provinsi DKI Jakarta. (Thesis). Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
[KLH] Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Deputi Bidang
Pembinaan Sarana Tehnis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas
Kementrian Lingkungan Hidup. (2011). Pemantauan kualitas air daerah
aliran sungai Ciliwung 2011. Jakarta (ID): KLH
Jarup L. (2003). Hazards of heavy metal contamination. Britsh Medical Buletin.
68(1):167-182
Kottelat, M., Whitten A. J., Kartikasari S. N, & Wiroatmadja S. (1993). Ikan Air
Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition. Hal 377.
Munandar, K., & Eurika, N. (2016). Keanekaragaman Ikan yang Bernilai
Ekonomi dan Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Ikan Sapu-Sapu di
Sungai Bedadung Jember. Proceeding Biology Education Conference,
13(1), 717–722.
Muthmainnah, H. F. (2019). Komunitas dan habitat ikan sapu-sapu di Sungai
Ciliwung (Thesis). Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah. Jakarta.
Nico, L., Butt, P. L., Johnston, G. R., Jelks, H.L., Kail, M., & Walsh, S.J. (2012).
Discovery of South American suckermouth armored catfishes (Loricariidae,
Pterygoplichthys spp.) in the Santa Fe River drainage, Suwannee River
basin, USA. BioInvasions Records, 1(3), 179–200. https://doi.org/10.3391/
bir.2012.1.3.04
Nico, L. G. (2010). Nocturnal and diurnal activity of armored suckermouth catfish
(Loricariidae: Pterygoplichthys) associated with wintering Florida manatees
(Trichechus manatus latirostris). Neotropical Ichthyology, 8(4), 893–898.
https://doi.org/10.1590/s1679-62252010005000014
Nursal, I, Fauziah, Y, Ismiati. (2005). Struktur dan Komposisi Mangrove. Jurnal
Biogenesis. 2(1),1-7.
Olsson, P. E., Kling, P., & Hogstrand, C. (1998). Mechanisms of heavy metal
accumulation and toxicity in fish. In Metal metabolism in aquatic
environments. Springer, 321-350
Palar H. (2004). Pencemaran Toksikologi Logam Berat. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Pinem, F. M., Pulungan, C. P., & Efizon, D. (2016). Reproductive Biology of
Pterygoplichthys Pardalis in the Air Hitam River Payung Sekaki District,
Riau Province. Jurnal Online Mahasiswa, 3(1), 1-14.
41
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2001). Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.Priatna, D. E. (2016). Kadar
Logam Berat Timbal (Pb) pada air dan ikan Bader (Barbpnymus gonionotus)
di Sungai Brantas Wilayah Mojokerto. Lentera Bio, 5(1), 48-53
Putranto, T. T. (2011). Pencemaran logam berat Merkuri (Hg) pada air tanah.
Teknik, 32(1). 62-71. https://doi.org/10.14710/teknik.v32i1.1690
Rahayu, N. I., Rosmaidar, R., Hanafiah, M., Karmil, T. F., Helmi, T. Z., Daud, R.
(2017). Pengaruh paparan Timbal (Pb) terhadap laju pertumbuhan ikan nila
(Oreochromis nilloticus). Jimvet, 01(4), 658–665. http://dx.doi.org/10.
21157/jim%20vet..v1i4.4757
Rao, K. R., & Sunchu, V. (2017). A report on Pterygoplichthys pardalis Amazon
sailfin suckermouth Catfishes in Freshwater tanks at Telangana state, India.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 5(2), 249–254.
Ratmini, N. A. (2009). Kandungan logam berat Timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan
Kadmium (Cd) pada daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) di stasiun
Ciliwung, stasiun Srengseg, Condet dan Manggarai. Vis Vitalis , 02(1), 1–7.
Regine, M. B., Gilles, D., Yannick, D., & Alain, B. (2006). Mercury distribution
in fish organs and food regimes: Significant relationships from twelve
species collected in French Guiana (Amazonian basin). Science of the Total
Environment, 368(1), 262–270. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2005.
09.077
Rochyatun, E., Kaisupy, M. T., & Rozak, A. (2012). Distribusi Logam Berat
Dalam Air Dan Sedimen Di Perairan Muara Sungai Cisadane. Makara of
Science Series, 10(1), 35–40. https://doi.org/10.7454/mss.v10i1.151
Rosnaeni., Elfidasari, D., Fahmi, M. R. (2017). DNA Barcodes of The Pleco
(Loricariidae, Pterygoplichthys) in The Ciliwung River. International
Journal of Advanced Research (IJAR), 5(2), 33-45. http://doi.org/10.
21474/IJAR01/3113
Samat, A. (2016). Dietary analysis of an introduced fish, Pterygoplichthys
pardalis from sungai Langat, Selangor, Penin Sular Malaysia. The Malayan
Nature Journal, 68(1), 241-246.
Setiyono, A., & Djaidah, A. (2012). Konsumsi Ikan dan Hasil Pertanian terhadap
Kadar Hg Darah. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 110–116.
Sucipto, H. T., Darma B., Indra L. (2013). Studi Kandungan Logam Berat
Tembaga dan Timbal di Perairan Danau Toba. Jurnal Aquacoastmarine, 1(1)
Sholihah, A., (2019) Analsis isi perut (Content gut analysis) ikan sapu-sapu asal
42
Sungai Ciliwung Jakarta. Skripsi. UIN Jakarta.
Siregar, Y. I., Zamri, A., & Putra, H. (2012). Penyerapan Timbal ( Pb ) pada
Sistem Organ Ikan Mas (Cyprinus carpio L ). Jurnal Ilmu Lingkungan, 6(1),
43–51.
[SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. (2009). Batas maksimum cemaran logam
berat dalam pangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
[SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. (2011). Cara uji kimia – Bagian 5:
Penentuan kadar logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada produk
perikanan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 6 hlm.
Suwarno, J., Kartodihardjo, H., Pramudya, B., & Rachman, S. (2011).
Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu
Kabupaten Bogor. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 8(2), 115-131.
Soemirat, J. (2003). Toksikologi lingkungan. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Taftazani, A. (2007). Distribusi konsentrasi logam berat Hg dan Cr pada sampel
lingkungan perairan Surabaya. Proceeding PPI–PDIPTN BATAN,
Yogyakarta, Indonesia.
Taufik, K. L. (2003). Kualitas air hulu dan tengah Sungai Ciliwung kabupaten
Bogor Jawa Barat (Thesis). Program Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Tisasari, M., & Pulungan, D. E. (2015). Stomach Content Analysis of
Pterygoplichthys pardalis from The Air Hitam River, Payung Sekaki District,
Riau Province, 22(1), 9–18.
Watson, D. (2005). Pharmaceutical Analysis. Elsevier Limited. Oxford
Wetipo, Y. S., Mangimbulude, J. C., & Rondonuwu, F. S. (2013). Potensi
Chlorella SP Sebagai Agen Bioremediasi Logam Berat Di Air. In Proceeding
Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and
Learning,10(1).
Widowati, W. (2008). Efek toksikologi logam: pencegahan dan penanggulangan
pencemaran. PT Andi Offset. Yogyakarta.
Wijayanti, M. (2007). Kajian kualitas perairan di Kota Bandar Lampung
berdasarkan komunitas hewan makrobenthos. (Thesis) Universitas
Dionegoro. Semarang.
Wowor, D. (2010). Studi Biota Perairan dan Herpetofauna di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane: Kajian Hilangnya Keanekaragaman
43
Hayati, Cibinong: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Yudo, S. (2010). Kondisi Kualitas Air SungaiCiliwung di Wilayah DKI Jakarta
Ditinjau dari Parameter Organik, Amonia, Fosfat, Deterjen dan Bakteri Coli.
Jurnal Air Indonesia, 6(1), 34–42. Diakses pada http://ejurnal.bppt.go.
id/index.php/JAI/article/view/2452/2063
Yossa, M. I., Araujo, L. C. (1998). Detritivory in two Amazonian fish species.
Journal of Fish Biology. 52(6), 1141-1153.
44
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Sampling
Gambar 6 . Peta Sungai Ciliwung. Keterangan: I. Sungai Ciliwung daerah
Kalibata; II. Sungai Ciliwung Ciliwung daerah Cawang.
II
I
I
45
Lampiran 2. Hasil Uji Non Parametrik Logam Hg
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Hg 8 .031863 .0251245 .0085 .0832
ORGAN 8 2.50 1.195 1 4
Kruskal-Wallis Test
Ranks
ORGAN N Mean Rank
Hg
GINJAL 2 5.50
HATI 2 7.50
KULIT 2 2.50
INSANG 2 2.50
Total 8
Test Statisticsa,b
Hg
Chi-Square 6.000
Df 3
Asymp. Sig. .112
Monte Carlo Sig.
Sig. .066c
99% Confidence Interval Lower Bound .060
Upper Bound .072
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: ORGAN
c. Based on 10000 sampled tables with starting seed 2000000.
46
Lampiran 3. Hasil Uji Non Parametrik Logam Pb
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Pb 8 .459275 .6712709 .0096 1.6854
ORGAN 8 2.50 1.195 1 4
Kruskal-Wallis Test
Ranks
ORGAN N Mean Rank
Pb
GINJAL 2 3.50
HATI 2 2.00
KULIT 2 5.00
INSANG 2 7.50
Total 8
Test Statisticsa,b
Pb
Chi-Square 5.500
Df 3
Asymp. Sig. .139
Monte Carlo Sig.
Sig. .118c
99% Confidence Interval Lower Bound .110
Upper Bound .127
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: ORGAN
c. Based on 10000 sampled tables with starting seed 299883525.
47
Lampiran 4. Kegiatan dan Jenis Limbah yang dibuang di Sungai Ciliwung
Jakarta (Sumber: Taufik, 2003)
No. Jenis Kegiatan Limbah yang dihasilkan
1. Industri Pangan
BOD, COD, TOC, TOD, pH, suspended solid, minyak
dan lemak, logam berat, sianida, klorida, amoniak,
nitrat, fosfor
2. Industri minuman
BOD, pH, suspended solid, settleable solid, TDS,
minyak dan lemak, warna, jumlah coli, bahan beracun,
nitrat, fosfor dan fenol.
3. Industri makanan BOD, COD, TOC, pH, minyak dan lemak, logam
berat, nitrat, fosfor dan fenol.
4. Industri percetakan
BOD, COD, TOC, total solids, suspended solid, TDS,
minyak dan lemak, logam berat, amoniak, sulfit,
nitrat, fosfor, warna, jumlah coli, coli faeces, bahan
beracun, suhu, kekeruhan, klorinated benezoid.
5. Perkayuan dan
motor COD, logam berat, dan bahan beracun
6. Industri plastik
BOD, COD, total solids, settleable solid, TDS, minyak
dan lemak, seng, sianida, sulfat, amoniak, fosfor, urea
anorganik, bahan beracun, fenol.
7. Industri kulit Total padatan, penggaraman, sulfida, kromium, pH,
endapan kapur, dan BOD
8. Industri kulit Total padatan, penggaraman, sulfida, kromium, pH,
endapan kapur, dan BOD
9. Industri besi dan
logam
COD, suspended solids, minyak dan lemak, logam
berat, bahan beracun, sianida, pH, suspended solid,
kromium, besi, seng, klorida, sulfat, amoniak, dan
kekeruhan 10
10. Aneka industri
BOD, pH, suspended solid, settleable solid, TDS,
minyak dan lemak, warna, jumlah coli, bahan beracun,
suhu, kekeruhan dan amoniak
11. Pertanian/tanaman
pangan
pangan
Pestisida, bahan beracun, dan logam berat
12. Perhotelan
Deterjen, zat padat, BOD, COD, TOC, TOD, nitrogen,
fosfor, warna, jumlah coli, bahan beracun, dan
kekeruhan. BOD, COD, kekeruhan dan warna
13. Rekreasi BOD, COD, kekeruhan dan warna
14. Kesehatan Bahan beracun, logam berat, BOD, COD, TOM dan
jumlah coli
15. Perdagangan
BOD, pH, suspended solid, settleable solid, TDS,
minyak dan lemak, amoniak, urea, fosfor, warna,
jumlah coli, bahan beracun dan kekeruhan
16. Kesehatan Deterjen, zat padat, BOD, COD, TOD, TOC, nitrogen,
fosfor, kalsium, klorida, dan sulfat
17. Perdagangan Logam berat, bahan beracun dan COD
18. Perhubungan darat BOD, COD, TOM dan pH
19. Peternakan BOD, COD, TOC, pH, suspended solid, klorida,
48
nitrat, fosfor, warna, bahan beracun, suhu dan
kekeruhan.
20. Perkebunan
COD, pH, suspended solid, TDS, minyak dan lemak
kromium, kalsium, klorida, sulfat, amoniak, sodium,
nitrat,fosfor, urea anorganik, coli faeces dan suhu
49
Lampiran 5. Dokumentasi Pengambilan data penelitian
Gambar 7.Sungai Ciliwung Jakarta (Kalibata)
Gambar 8. Proses destruksi.
Gambar 9. Proses penyaringan dan Uji sampel ke alat