24
BAB I PENDAHULUAN A. Profil Perusahaan Lapindo Brantas, Inc (LBI) adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha eksplorasi dan produksi migas di Indonesia yang beroperasi melalui skema Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di blok Brantas, Jawa Timur. Lapindo Brantas Inc., pertama didirikan pada tahun 1996 setelah proses kepemilikan sahamnya diambil alih dari perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat, Huffington Corporation, yang saat itu telah menandatangani perjanjian Production Sharing Contract (PSC) dengan Blok Brantas di Jawa Timur untuk jangka waktu 30 tahun. LBI melakukan eksplorasi secara komersil di 2 wilayah kerja (WK) di darat dan 3 WK lepas pantai dan saat ini total luas WK Blok Brantas secara keseluruhan adalah 3.042km2. Sementara komposisi jumlah Penyertaan Saham (Participating Interest) perusahaan terdiri dari Lapindo Brantas Inc. (Bakrie Group) sebagai operator sebesar 50%, PT Prakarsa Brantas sebesar 32% dan Minarak Labuan Co. Ltd (MLC) sebesar 18%. Dari kepemilikan sebelumnya, walaupun perizinan usaha LBI terdaftar berdasarkan hukum negara bagian Delaware di Amerika Serikat, namun saat ini 100% sahamnya dimiliki oleh pengusaha nasional. Dari berbagai kegiatan eksplorasi yang dilakukan, LBI telah menemukan cadangan-cadangan migas yang berpotensi sangat baik, antara lain di lapangan Wunut yang terletak di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lapangan Wunut dinyatakan komersial dan mulai berproduksi pada bulan Januari 1999. Kemudian disusul oleh lapangan Carat di Kabupaten Mojokerto juga yang telah dinyatakan komersial pada tahun 2006, lalu lapangan Tanggulangin

analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

Page 1: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Profil Perusahaan

Lapindo Brantas, Inc (LBI) adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha eksplorasi dan produksi migas di Indonesia yang beroperasi melalui skema Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di blok Brantas, Jawa Timur. Lapindo Brantas Inc., pertama didirikan pada tahun 1996 setelah proses kepemilikan sahamnya diambil alih dari perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat, Huffington Corporation, yang saat itu telah menandatangani perjanjian Production Sharing Contract (PSC) dengan Blok Brantas di Jawa Timur untuk jangka waktu 30 tahun.

LBI melakukan eksplorasi secara komersil di 2 wilayah kerja (WK) di darat dan 3 WK lepas pantai dan saat ini total luas WK Blok Brantas secara keseluruhan adalah 3.042km2. Sementara komposisi jumlah Penyertaan Saham (Participating Interest) perusahaan terdiri dari Lapindo Brantas Inc. (Bakrie Group) sebagai operator sebesar 50%, PT Prakarsa Brantas sebesar 32% dan Minarak Labuan Co. Ltd (MLC) sebesar 18%. Dari kepemilikan sebelumnya, walaupun perizinan usaha LBI terdaftar berdasarkan hukum negara bagian Delaware di Amerika Serikat, namun saat ini 100% sahamnya dimiliki oleh pengusaha nasional.

Dari berbagai kegiatan eksplorasi yang dilakukan, LBI telah menemukan cadangan-cadangan migas yang berpotensi sangat baik, antara lain di lapangan Wunut yang terletak di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lapangan Wunut dinyatakan komersial dan mulai berproduksi pada bulan Januari 1999. Kemudian disusul oleh lapangan Carat di Kabupaten Mojokerto juga yang telah dinyatakan komersial pada tahun 2006, lalu lapangan Tanggulangin yang mulai dinyatakan komersial pada bulan Juni 2008. Untuk memajukan usahanya, LBI didukung oleh 77 orang karyawan tetap dan kontrak, ditambah 142 orang dari kontrak pihak ketiga.

Visi : Turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia melalui pemenuhan energi

minyak dan gas bumi. Meningkatkan nilai tambah perusahaan kepada seluruh pemangku kepentingan. Menjadi perusahaan minyak dan gas bertaraf internasional dan sebagai produsen

minyak dan gas terbesar di Jawa Timur.

Misi : Menjalankan seluruh kegiatan operasi perusahaan dengan ekonomis, dapat

dipertanggungjawabkan dan sesuai standar HSE yang tertinggi. Menahan laju penurunan produksi dari lapangan yang ada. Explore, discover & develop prospek di Area-1, 3, 4 & 5.

Page 2: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

Melakukan kembali kegiatan eksplorasi dan pengembangan di Area-2. Membangun reputasi sebagai perusahaan yang peduli lingkungan dengan

menerapkan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan secara terpadu dan berkesinambungan.

B. Kronolgis Kasus

Pada awalnya Lapindo menyatakan bahwa bencana lumpur di Jawa Timur merupakan akibat dari adanya gempa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Lapindo menyatakan gempa-gempa susulan yang terjadi di Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkan merupkan kunci penyebab terjadinya bencana lumpur panas ini. Namun setelah diadakan penelitian, ditemukan bahwa semburan lumpur tersebut bukan karena gempa, melainkan adanya kesalahan teknis pengeboran oleh Lapindo tersebut.

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan

Page 3: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami dan berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Berikut adalah kronologis luapan lumpur panas di Sidiarjo:1. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan

sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong.

2. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak keluarga yang tersebar di sejumlah tempat.

3. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik.

4. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.

5. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa

Page 4: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit .

6. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.

7. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur.

8. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong.

9. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian

Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.

11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air

Page 5: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.

12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah

Page 6: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pelanggaran HAMHak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang

sejak ia dalam kandungan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

Jenis HAM dapat dibagi sebagai berikut:1. Hak asasi pribadi / personal Right, terdiri dari:

Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan

kepercayaan yang diyakini masing-masing

2. Hak asasi politik / Political Right, terdri dari: Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik

lainnya Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right, terdiri dari: Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / PNS Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths, terdiri dari: Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll Hak kebebasan untuk memiliki susuatu Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights, terdiri dari: Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan

dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right, terdiri dari:

Page 7: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan Hak mendapatkan pengajaran Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran terhadap HAM secara umum dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:

1. Pelanggaran HAM RinganPelanggaran HAM ringan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang

dampaknya tidak terlalu luas tetapi merugikan orang lain. Pelanggaran HAM ringan mempunyai 2 motif yaitu motif rasialisme dan apartheid. Pelanggaran HAM bermotif rasialisme, merupakan bentuk perlakuan dengan memberi pembedaan hak-hak terhadap rasa atau etnis tertentu. Pelanggaran HAM bermotif diskriminasi apartheid, adalah pembedaan hak-hak terhadap etnis tertentu berdasarkan warna kulit.

Pelanggaran HAM ringan terdiri dari: Pemukulan Penganiayaan Pencemaran nama baik Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya Menghilangkan nyawa orang lain

2. Pelanggaran HAM BeratPelanggaran HAM berat adalah pelanggaran hak asasi manusia yang memiliki

dampak yang sangat luas dan dahsyat. Menurut UU No. 39 Th 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 104 ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic diserimination).

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:a. Kejahatan genosidaMenurut pasal 8 UU 26/2000, kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok;

Page 8: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok; atau

Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu kekelompok lain.

b. Kejahatan terhadap kemanusiaanMenurut pasal 9 UU 26/200 kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

Pembunuhan; Pemusnahan; Perbudakan; Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

Penyiksaan; Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

Penghilangan orang secara paksa; atau Kejahatan apartheid

B. Pelanggaran PT Lapindo BrantasSejak awal aktivitas pengeboran oleh Lapindo sudah terdapat beberapa keanehan.

Pertama, masalah letak. Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003). RT/RW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan. Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman ini juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang Jaringan Advokasi TambangPemberian ijin tersebut diduga kuat terdapat konspirasi hitam antara pemilik PT. Lapindo Brantas dengan Pemerintah Republik Indonesia. Akal sehat semua orang pasti bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan mengandung risiko dan dampak yang sangat besar. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditari kesimpulan hukum bahwa hak pengeboran PT. Lapindo Brantas adalah ilegal,sebab melanggar berbagai aturan keselamatan sosial.

Kedua adalah penyampaian informasi yang salah. informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran tetapi untuk kandang ayam. Jelas dalam kasus ini perusahaan menutup-nutupi informasi yang sebenarnya kepada masyarakat. Lapindo berniat ingin

Page 9: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

membeli daerah pemukiman mayarakat disekitar daerah pengeboran, tapi masyarakat tidak mau.

Selain pelanggaran dalam masalah perizinan pada awal pengeboran, perusahaan juga melakukan kelalain dan kesalahan teknis dalam melakukan pengeboran, yaitu:

- Lapindo melakukan pengeboran tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pada saat perencanaa Lapindo membuat prognosis pengeboran dengan mengasumsikan zona pemboran mereka adalah di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Pada kenyataanya mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.

- Lapindo tidak mematuhi kaidah operasional yang telah dibakukan para ahli pemboran sebagai Prosedur Operasi Standar. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kak,i mereka harusnya memasang casing 9-5/8 inchi tapi pada kenyataanya mereka tidak melakuakan hal tersebut.

- Prosedur mencabut atau memasukkan rangkaian pipa bor dan pahat pada saat mencabut string mengalami tambahan beban, tetapi tidak dihiraukan oleh Lapindo. Hal yang lebih parah, batasan tekanan maksimum di permukaan tidak dipatuhi oleh operator dan insinyur pengeboran Lapindo ketika menanggulangi semburan sehingga melebihi kekuatan formasi di bawah selubung 13 5/8 di 1.092 meter yang berakibat terjadinya rekahan sampai ke permukaan yang akhirnya menjadi jalan keluar lumpur dari dalam lubang bor.

Sampai setelah terjadinya bencana lumpur panas, Lapindo tidak juga mengakui telah melakukan kesalahan. Pihak perusahaan berdalih bahwa bencana ini terjadi akibat gempa di Yogyakarta 2 hari sebelumnya dan dasar ini sama sekali tidak kuat. Gempa bumi yang klaim sebagai penyebab utama luapan lumpur hanya memiliki dampak sepele. Alasannya, gempa bumi terjadi di Yogyakarta dua hari sebelum lumpur meluap, dan jauh dari lokasi luapan lumpur, yakni sekitar 250 km di sebelah barat daya titik luapan. Beberapa ahli geolog melakukan penelitian bahwa lupan lumpur karena gempa tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Para ahli, melalui berbagai penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur.

C. Analisis Pelanggaran HAM oleh LapindoFakta-fakta pelanggaran dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan

pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang tidak prosedural, prediksi geologis pemboran

Page 10: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

sumur yang terdapat banyak kekeliruan, semua itu telah menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib sekian ribu masyarakat, dengan penanggulangan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi, maka peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran HAM berat, yakni terusirnya sekelompok penduduk akibat konspirasi pengusaha migas PT. Lapindo Brantas tersebut dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Pelanggaran HAM berat oleh pasal 9 huruf (d) dan (e) Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diartikan sebagai : " salah satu 19 perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional ….".31

Penegak HAM harus memahami tafsir historis Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Tetapi pembuat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health. Seandainya penafsiran hukum HAM internasional tersebut dikaitkan dengan kasus semburan lumpur Lapindo, maka PT. Lapindo Brantas dan Pemerintah Republik Indonesia dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, apakah bisa penegakan hukum HAM berjalan tanpa intervensi politik? Itulah masalah besar praktik penegakan hukum di Indonesia selama ini. Pengingkaran dan pengabaian Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo terhadap keberadaan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjadi bukti permasalahan berat penegakan hukum HAM yang sarat akan intervensi politik.

Tragedi lumpur lapindo dimulai pada tanggal 28 mei 2006. Awalnya, lumpur lapindo itu menyembur di sebuah sawah dekat tempat pengeboran gas yang dimiliki oleh PT lapindo brantas. Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan 25.000 jiwa mengungsi dikarenakan tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur, selain itu lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Dalam tragedy tersebut sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873

Page 11: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintahan dan sarana pendidikan juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.

Masalah lain yang timbul akibat tragedi lumpur lapindo ini adalah meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam, serta ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan dan tak kurang 600 hektar lahan terendam sehingga saluran listrik dan telepon juga tidak berfungsi.

Dalam peristiwa tersebut juga terjadi beberapa peristiwa diantaranya yaitu pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa. Pelaku dalam pemindahan penduduk secara paksa tersebut bukanlah aparat Negara melainkan karena lingkungan sekitar warga yang semakin melebar kerusakannya akibat semburan lumpur lapindo. Melihat kejadian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejadian tersebut merupakan pelanggaran HAM berat kategori kejahatan kemanusiaan.

Kasus luapan lumpur lapindo ini berkaitan erat dengan pelangaran HAM berat sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bahkan Komnas HAM pada tanggal 24 Februari 2009 melalui sidang paripurna telah membentuk Tim Investigasi Kasus Luapan Lumpur Lapindo. Nurkholis sebagai Koordinator Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo.Berapa banyak korban lumpur lapindo yang harus kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan, anak-anak putus sekolah dan kehilangan masa depan mereka. Hasil investigasi Komnas HAM menunjukkan bahwa di penampungan korban luapan lumpur lapindo yakni Pasar Baru Porong, banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, ekonomi maupun seksual.

Setidaknya ada lima belas (15) hak yang terlanggar yaitu : hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak-hak pengungsi, dan hak-hak kelompok rentan. Berikut adalah rician pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh Lapindo:

1. Pelanggaran Hak untuk HidupDalam tragedi lapindo, hak setiap orang untuk hidup

tentram,aman,damai,bahagia,sejahtera lahir batin dan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik kini telah dilanggar karena sudah jelas dengan adanya semburan lumpur lapindo tersebut telah membuat hidup warga tidak tentram dan lingkungan merekapun menjadi tidak sehat.

2. Hak mengembangkan diri

Akibat semakin meluasnya semburan lumpur lapindo yang membuat warga diharuskan untuk pindah tempat tinggal, hal tersebut juga mengakibatkan tidak berfungsinya sarana pendidikan sehingga pendidikan sebagian anak korban lapindo menjadi terbengkelai dan terhenti. Karena hal itulah secara jelas hak

Page 12: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

mereka untuk mengembangkan diri dengan pendidikan yang mereka miliki telah dilanggar sehingga mereka tidak mengenyam kesempatan itu.

3. Hak atas informasiDalam tragedy lumpur lapindo ini setidaknya ada hak atas informasi yang

dilanggar. Karena informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran tetapi untuk kandang ayam. Jelas dalam kasus tersebut hak atas informasi yang diperoleh warga telah dilanggar karena pihak perusahaan tidak memberikan informasi yang sebenarnya kepada warga.

4. Hak keamananPelanggaran atas hak keamanan warga dalam tragedy lapindo ini sangat

jelas terlihat karena dengan mereka dipindah secara paksa sudah pasti dalam lingkungan mereka yang baru (pengungsian) rasa aman tersebut sangatlah minim dibanding saat mereka tinggal dirumahnya semula. Sedangkan apabila mereka kembali ke tempat tinggal semula mereka, maka rasa aman itupun juga tidak akan didapat. Karena dengan bahayanya semburan lumpur tersebut maka dapat mengancam keselamatan warga yang tetap tinggal disekitar semburan lumpur lapindo.

5. Hak memperoleh keadilanDalam kasus lapindo, telah terjadi pelanggaran hak atas keadilan pada

warga korban lapindo. Pasalnya dalam kasus tersebut warga korban lapindo yang telah mengalami kerugian banyak malah tidak mendapat jaminan sikap dari pemerintah atas hak-hak mereka. Selain itu masalah ganti rugi tanah oleh PT Lapindo Berantas juga tidak adil karena tidak berpihak pada warga, sehingga dalam kasus tersebut hak untuk memperoleh keadilan bagi warga korban lapindo serasa tidak diindahkan.

6. Hak atas perumahanLumpur lapindo yang sudah menenggelamkan banyak wilayah disidoarjo

termasuk juga tempat tinggal warga yang sebanyak 11.974 jiwa. Banyak warga yang sudah kehilanggan tempat tinggal meminta haknya yaitu berupa tempat tinggal baru kepada PT Lapindo namun masih banyak warga yang belum mendapatkan rumah yang layak, dan juga masih banyak warga yang sudah mendapatkan rumah pengganti belum mendapatkan sertifikat atas rumah mereka sehingga timbul kecemasan bila terjadi sesuatu di kemudian hari. Adanya indikasi penurunan tanah juga menjadi kekhawatiran para warga, ketakutan akan bahaya yang mengancam dan kerusakan bangunan yang terjadi.

7. Hak KesehatanBanyak korban lumpur lapindo yang mengalami sesak nafas, kesemutan ,

pusing dan nyeri persendian. Tercatat di beberapa Puskesas ada 46ribuan orang

Page 13: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

menderita ISPA, sekitar 1000an orang mengalami mual-mual dan gangguan pencernaan. Namun, pemerintah tidak memberikan bantuan khusus kepada para korban. Pemerintah hanya memberikan bantuan fasilitas umum seperti jamkesmas tapi itu juga sangat tidak efektif karena informasi yang harusnya diberikan oleh Dinas Kesehatan tentang Jamkesmas dan JKN ini sangatlah minim. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana prosedurnya dan juga terkadang rumah sakit tidak menerima bila ada warga yang menunjukkan kartu miskin untuk mendapatkan fasilitas kesehatan

8. Hak Atas PekerjaanPara warga banyak yang kehilangan mata pencarian karena adanya kasus

lapindo ini terutama yang bekerja sebagai petani. Lahan-lahan dan juga daerah persawahan yang digenangi oleh lumpur membuat lumpuhnya mata pencarian para warga. Adapun gantirugi dari pihak lapindo, itu tidak dapat menutupi kerugian yang diderita warga karena ini juga berakibat jangka panjang.

9. Hak PekerjaLumpur Lapindo membuat lumpuhnya perekonomian para warga. , lumpur

menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik. Banyak orang yang kehilangan usahanya dan juga kehilangan pekerjaan. Para pengusaha yang awalnya membuat usaha didaerah tersebut tidak bisa melakukan usaha lagi dan menyebabkan pekerja yang bekerja disana harus kehilangan mata pencarian.

10. Hak atas PendidikanPendidikan anak-anak juga menalami kesulitan, ada 33 sekolah yang rusak

dan 1774 siswa kesulitan bersekolah. Saat ini anak para korban pengungsian menempuh pendidikan disekolah yang jaraknya jauh dan hanya berbekal sepeda sebagai alat transportasi.

11. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan KeturunanSemburan lumpur lapindo mengakibatkan terbatasnya fasilitas di tempat

pengungsian. Khususnya untuk penyaluran kebutuhan biologis dan hak – hak reproduksi sehingga pengembangan keluarga ikut terhambat.

12. Hak Atas KesejahteraanHancurnya rumah, pabrik dan lahan pertanian memperburuk kondisi

perekonomian warga. Akibatnya, warga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

13. Hak Atas Jaminan SosialHak atas jaminan sosial ini berkaitan dengan hak untuk hidup,

pengembangan diri dan kesejahteraan. Akibatnya, hak atas jaminan sosial juga terlanggar.

Page 14: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

14. Hak Para PengungsiMenurut data dari komnas HAM, pemerintah gagal melindungi hak

pengungsi. Khususnya untuk kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan,penyandang cacat dan lanjut usia. Fasilitas yang kurang dan juga pada saat warga berada ditemoat pengungsian, mereka kerap menerima makanan basi, dan juga keterbatasan air bersih. Pengungsi juga mengatakan tenda pengungsian tak layak dan pelayanan kesehatan minim.

15. Hak Kelompok RentanHak kelompok rentan yang dianggap gagal dipenuhi oleh pemerintah

misalnya bagi kaum perempuan, tidak ada temoat khusus untuk menyusui. Komnas HAM juga berpendapat, pemerintah tidak menyediakan unit pelayanan trauma healing untuk anak-anak pengungsian.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Page 15: analisis kasus Lapindo Brantas, Inc

Dari uraian pembahasan yang telah kami paparkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Semburan lumpur Lapindo terjadi karena ada beberapa aspek yang belum tentu

kepastiannya yang benar sebagai akibat munculnya lumpur. Dan ini akan mengakibatkan

tidak akan cepat terselesaikannya pada kasus lumpur dan dengan siapa yang akan

menanggung jawabkannya pun tidak ada.

2. Kesejahteraan rakyat korban lumpur Lapindo Brantas masih belum terpenuhi, baik

kesejahteraan kehidupan pada umumnya seperti, basic human rights (hak asasi manusia),

hak untuk memiliki (properti rights) telah terampas ketika penduduk harus meninggalkan

rumah dan harta benda, hak untuk memiliki kebebasan (liberty) mencari nafkah telah

ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja karena lahan terendam , pabrik

tenggelam dan bangkrut terkena semburan lumpur, hak hidup (rights to live) telah

terampas dengan jatuhnya korban.

3. Pemerintah belum bisa berhasil memfungsikan hukum sebagai alat desak

pertanggungjawaban atas bencana lumpur panas Lapindo Brantas. Pemerintah pusat dan

daerah sudah bekerja untuk mengatasi masalah lumpur Lapindo ini. Pada tanggal 26

September 2011, pemerintah kembali memberi perhatian terhadap penanganan luapan

lumpur lapindo di Sidoarjo - Jawa Timur, dengan membahasnya dalam rapat kabinet.

B. Saran

1. Perlu dibuat lembaga pengawas independen, yang bertugas mengawasi pelaksanaan setiap

aktifitas bisnis yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM.

2. Pemerintah harus konsisten dalam penegakan sanksi dari setiap pelanggaran HAM yang

terjadi.

3. Aturan – aturan yang terkait dalam standar teknis pengeboran minyak dan gas, harus

diatur lebih jelas untuk melindung hak – hak masyarakat dan mencega terjadinya

pelanggaran HAM.