26
HUKUM HAK ASASI MANUSIA PELANGGARAN HAM BERAT ATAS KORBAN KASUS LUMPUR LAPINDO Kelompok : Winda Ayu Larasati 110111090052 Angga Sez Muttaqin 110111090040 Karina Purnamasari 110111090018 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN

Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HAM

Citation preview

Page 1: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

PELANGGARAN HAM BERAT ATAS KORBAN KASUS LUMPUR LAPINDO

Kelompok :

Winda Ayu Larasati 110111090052

Angga Sez Muttaqin 110111090040

Karina Purnamasari 110111090018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2013

Page 2: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

I. Pendahuluan

Latar Belakang

Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang

dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak

kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan

instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Selanjutnya dalam

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Poin 1 ialah,

“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Masa Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia”.

Konsep HAM ini dibidani oleh sebuah komisi PBB yang dipimpin oleh Elenor

Roosevelt dan secara resmi disebut “ Universal Decralation of Human Rights”.

Universal Decralation of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang

mempunyai:

1. Hak untuk hidup

2.  Kemerdekaan dan keamanan

3.  Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum

4.  Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana

5.  Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara

6. Hak untuk mendapat hak milik atas benda

Page 3: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

7.  Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan

8.  Hak untuk bebas memeluk agama

9.  Hak untuk mendapat pekerjaan

10.  Hak untuk berdagang

11. Hak untuk kesejahteraan

12.  Hak untuk mendapatkan pendidikan

13.  Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat

14.  Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan

keilmuan.

Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas

terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih

diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Masalah

HAM dapat juga disebut sebagai Pelanggaran HAM dalam UU No. 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Poin 6 adalah, “Setiap perbuatan

sesorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun

tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum menggurangi,

menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok

orang yang dijamin oleh UU ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak

akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku”.

Pada tahun 2006 lalu terjadi pelanggaran HAM ringan yang dilakukan oleh

Lapindo Brantas Inc, yang dikenal sebagai Kasus Lumpur Lapindo. Semburan

lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei 2006 sekitar pukul 05.00.

Page 4: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten

Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh

Lapindo Brantas Inc. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit

lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar. Lumpur mulai

menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa

Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa

ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke

rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat. Sampai November

2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang

lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo,

Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan,

Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan

Kalitengah.

Sebagaimana dijelaskan diatas, maka kami tertarik untuk menelitinya dengan

judul makalah : “PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP KORBAN KASUS

LUMPUR LAPINDO”.

Page 5: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

II. Pembahasan

Kasus Posisi

Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi

suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan,

pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume

lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50.000 meter kubik perhari (setara

dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar).

Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur

panas tersebut :

Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik

gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung

pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur adalah gempa

Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen. Namun, hal itu dibantah oleh

para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar

Opak tidak berhubungan dengan Surabaya. Akhirnya, kesalahan prosedural

yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan

cairan beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo

disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain

awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150

kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan

casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari

kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-

Page 6: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang

menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Jika

hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti

pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.

Kedua, aspek ekonomis. Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo

diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing.

Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak

pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo.

Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi

masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur:

genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi

lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal

pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik

yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari

1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan

wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan

listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat

pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan

yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Page 7: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat

(Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002

mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan

kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis),

jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir

lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak

menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah,

terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian,

dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka.

Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi

penyuapan oleh Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan

menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis

kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well)

mengalami kegagalan.

Analisis Kasus

Kasus Lumpur Lapindo Brantas terjadi pelanggaran HAM sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-

undang nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sesuai dengan Undang-

undang nomor 39 Tahun 1999, dalam kasus Lumpur Lapindo Brantas terjadi

pelanggaran HAM yaitu:

Page 8: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

1. Hak untuk hidup.

Masyarakat tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya karena mereka

kehilangan mata pencahariannya, tidak bisa hidup tentram, damai,

bahagia dan sejahtera serta luapan lumpur berakibat pada gangguan

kesehatan pada mereka karena lumpur mengandung logam berat yang

membahayakan kesehatan.

2. Hak memperoleh keadilan.

Pemerintah seperti tidak menindak tegas kepada PT Lapindo Brantas

untuk segera menyelesaikan ganti rugi/bertanggung jawab kepada

masyarakat atas kasus tersebut, sehingga pemerintah seperti tidak peduli

dan masyarakat tidak memperoleh keadilan.

3. Hak rasa aman.

Selain luapan lumpur yang membuat masyarakat tidak aman, terjadi

masalah lain dari kasus tersebut misalnya perpecahan warga yang

menyangkut ganti rugi sehingga membuat masyarakat tidak aman.

4. Hak atas kesejahteraan.

Kehidupan masyarakat di sekitar luapan lumpur lapindo menjadi tidak

sejahtera karena selain mereka kehilangan harta benda juga kehilangan

mata pencaharian dan sampai saat ini ganti rugi yang diberikan kepada

masyarakat juga belum dilunasi.

Menurut UU 26/2000 menjelaskan bahwa  ada dua macam pelanggaran HAM

berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam

Page 9: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

kasus Lumpur Lapindo, terjadi “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Kasus

Lumpur Lapindo sesuai dengan Pasal 9 UU 26/2000 yang menyebutkan,

‘Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan

sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya

bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,

serta point d. yaitu pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa dan e.

perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

internasional

Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM

berat yang dirumuskan dalam pasal pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000

tersebut adalah:

Salah satu perbuatan;

Salah satu perbuatan (bersifat alternatif) yang disebutkan dalam pasal 9 UU No.

26/2000. Dalam perkara lumpur Lapindo ini dapat ditentukan bentuk perbuatan

menurut pasal 9 huruf d dan huruf e yang akan diuraikan dalam analisis

selanjutnya ini.

Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau

sistematik;

Pengertian kata “serangan” ini tidak harus ditafsirkan sebagai perbuatan yang

bentuknya seperti segerombolan tentara yang menggunakan kekuatan militer

Page 10: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

untuk secara ofensif membunuh atau mengusir kelompok penduduk, tapi dapat

dalam bentuk “serangan” dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan atau

kemampuan teknis, konspirasi kekuasaan. Di jaman yang semakin moderen,

bentuk serangan bisa bermacam-macam cara dengan metode yang moderen

pula. Misalnya serangan dengan menggunakan senjata kimia, kuman atau virus

penyakit, meracuni tempat atau media hidup penduduk. Dalam kasus lumpur

Lapindo, bentuk “serangan” tersebut terletak pada melubernya semburan lumpur

Lapindo yang dapat atau patut diduga sebelumnya bahwa semburan lumpur

tersebut akan bisa terjadi. Cara-cara yang tidak memenuhi kaidah teknis yang

baik dalam penanggulangan lumpur yang mengakibatkan tanggul lumpur jebol

berkali-kali juga merupakan cara lain dari serangan tersebut. Pada intinya, dalam

kasus lumpur Lapindo, perbuatan “serangan” ini baru dapat dilihat ketika

semburan lumpur Lapindo itu terjadi akibat kesengajaan pelanggaran kaidah-

kaidah hukum dan keteknikan yang baik – karena konspirasi – sehingga dengan

terpaksa para penduduk korban lumpur Lapindo harus pergi untuk mengungsi

atau berpindah dari tempat tinggal mereka yang sah.

Sedangkan sifatnya yang meluas dapat dilihat dari jumlah korban yang mencapai

ribuan penduduk sipil yang berasal dari beberapa desa yang tergenang lumpur

Lapindo. Sistematisasi serangan tersebut tampak pada fakta konspirasi antara

para petinggi Lapindo (pengambil keputusan strategis) dengan aparatur negara

yang berwenang mengeluarkan perijinan.

Page 11: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung

terhadap penduduk sipil;

Dalam kasus lumpur Lapindo, serangan tersebut sudah jelas ditujukan langsung

terhadap penduduk sipil yang berada di sekitar wilayah Sumur BJP-1 Porong

Sidoarjo tersebut. Masyarakat korban lumpur Lapindo merupakan penduduk

sipil.

Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

Pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa dalam kasus lumpur

Lapindo dengan cara sengaja membiarkan semburan lumpur menggenangi

tempat tinggal penduduk, melakukan upaya penyelesaian semburan lumpur

secara tidak serius dengan lebih memilih pertimbangan ekonomi (efesiensi)

dibandingkan dengan orientasi penyelamatan penduduk di sekitar Sumur BJP-1

tersebut. Hal itu juga terjadi dalam contoh penggunaan metode relief well yang

ditunda-tunda dan tidak dilanjutkan, penggunaan metode insersi bola beton yang

direncanakan 400 bola tapi hanya dilakukan dengan 250 bola, dan lain-lain yang

menunjukkan bahwa akibat dari ketidakseriusan dalam penghentian semburan

lumpur tersebut akan mengakibatkan luberan lumpur terus bertambah sehingga

memaksa penduduk untuk berpindah tempat (mengungsi) dan terusir.

Atau: Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan

kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

Page 12: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Bentuk perampasan kemerdekaan dalam kasus lumpur Lapindo bermula dari

pembiaran nasib ribuan penduduk korban lumpur Lapindo yang diserahkan

kepada Lapindo di mana negara (pemerintah) tidak memberikan tindakan

perlindungan yang maksimum kepada para korban. Kondisi penderitaan luar

biasa (great suffering) para korban dimanfaatkan pihak Lapindo dengan

penyodoran kontrak baku transaksi jual-beli yang disusun pihak Lapindo yang

memuat klausul untuk tidak menuntut atau menggugat Lapindo, memuat

pernyataan pengakuan bahwa semburan lumpur tersebut akibat bencana alam,

dan lain-lain yang tidak memberikan pilihan secara wajar bagi masyarakat

korban untuk mengemukakan hak-hak mereka selaku korban. Hal itu tampak

dengan adanya Paguyuban korban lumpur Lapindo yang bernama PAGAR

REKONTRAK yang menolak menandatangani kontrak atau perjanjian baku jual-

beli tanah mereka yang telah terendam lumpur yang tidak diberikan opsi apapun

untuk mengemukakan hak-hak mereka yang bahkan beberapa kali diminta dan

diintimidasi dengan ancaman akan dipaksa untuk meninggalkan tempat

pengungsian di Pasar Porong Baru. Hal itu membuktikan bahwa korban lumpur

Lapindo tidak diberikan kebebesan atau dirampas kemerdekaan mereka untuk

memperoleh ganti kerugian atau keadilan, diperdaya dengan memanfaatkan

kondisi lemah mereka. Di sini terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van

omstandigheden).

Page 13: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Dalam Preamble (Pembukaan) International Covenant on Civil and Political

Rights ditentukan bahwa setiap negara yang yang dimaksudkan kovenan

tersebut :

“Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of Human

Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political freedom

and freedom from fear and want can only be achieved if conditions are

created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as well

as his economic, social and cultural rights.

”Considering the obligation of States under the Charter of the United

Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights

and freedoms.”

Dalam kasus lumpur Lapindo justru dilakukan pelanggaran hak-hak ekonomi,

sosial, politik, hak kebebasan berupaya memperoleh keadilan, serta diciptakan

ketakutan dengan ancaman pengusiran dari tempat pengungsian sehingga

masyarakat korban tidak mungkin dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya mereka.

Pemerintah yang seharusnya berkewajiban untuk mendorong penghormatan,

menegakkan serta memenuhi HAM, tetapi dalam kasus lumpur Lapindo justru

sebaliknya memberikan impunitas kepada Lapindo dan memberikan alat

legalitas pelanggaran HAM berupa Perpres No. 14/2007.

Page 14: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

Dalam menerapkan ketentuan pasal 9 UU No. 26/2000 – berkaitan dengan

kasus lumpur Lapindo tersebut - haruslah melihat pada tujuan keadilan

substansialnya dimana yang sangat dan lebih penting untuk dilihat adalah

luasnya penderitaan dan banyaknya korban akibat konspirasi pelanggaran

kaidah-kaidah hukum keselamatan rakyat serta kaidah-kaidah keteknikan yang

baik pada praktik usaha pertambangan yang sengaja dilakukan di wilayah padat

penduduk. Kejahatan kemanusiaan dalam kasus itu tampak pada kuatnya

pertimbangan ekonomi korporasi yang mengabaikan hak-hak keselamatan

manusia (penduduk). Tafsir demikian itu mutlak dilakukan untuk melindungi hak-

hak para korban dan guna mencegah agar peristiwa semacam itu tidak akan

terulang di masa depan. Jika kasus sebesar itu dengan ekskalasi korban yang

sedemikian luas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan,

justru itu tidak masuk akal.

Tanggung Jawab Negara Terhadap Kasus Lumpur Lapindo

Dalam tataran hukum nasional, konsep mengenai tanggung jawab negara

terhadap pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM diwujudkan dalam

bentuk pengaturan didalam konstitusi negara/dasar hukum negara, yaitu dalam

UUD 1945 amandemen ke II, tepatnya pada Pasal 28 A sampai dengan 28 J

dan beberapa pasal lain yang terkait dengan perlindungan dan Pemenuhan HAM

yaitu pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Pengaturan beberapa

hak dalam konstitusi/UUD 1945 amandemen ke II telah menyiratkan bahwa

Page 15: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

negara memiliki kewajiban moral/state obilgation untuk memberikan jaminan bagi

pengakuan dan penegakaan HAM setiap warga Negara Indonesia.

Sementara itu di dalam sistim perundang-undangan Indonesia pada hakiktanya

telah dikenal konsep tanggung jawab negara dan pengakuan negara terhadap

HAM. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang

HAM tepatnya dalam Pasal 2 yang menyatakan :

“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi

manusia dan kebebasan dasar manusia yang secara kodrati melekat

pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati

dan ditegakkan demi penigkatan martabat manusia, kesejahteraan,

kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan”

Bunyi ketentuan pasal tersebut, memberikan ruang penafsiran yang tegas.

Bahwa setiap pemenuhan dan penegakkan HAM warga Negara merupakan

kewajiban Negara sebagai organisasi kekuasaan melalui perangkatnya.

Perangkatnya disini bermakna setiap penyelenggara negara baik eksekutif,

yudikatif maupun legislatif sebagai kesatuan negara.

Dalam kasus lumpur lapindo, jika pemerintah tidak ikut memikul tanggung jawab

untuk mengatasi masalah yang diderita oleh rakyat Sidoarjo yang berada di luar

wilayah PAT yang sebelumnya tidak ditetapkan menjadi tanggung jawab PT.

Lapindo Brantas Inc, maka rakyat Sidoarjo yang berada di luar PAT akan

mengalami penderitaan tanpa kepastian hukum. menurut MK Pasal 18 UU

Page 16: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

4/2012 dan Pasal 19 UU 22/2011 yang pada pokoknya mengatur mengenai dana

APBN untuk pos anggaran BPLS, di  antaranya digunakan untuk pembelian

tanah dan bangunan di luar PAT dan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan

semburan lumpur, telah bersesuaian pula dengan UU 24/2007 tentang

Penanggulangan Bencana. “Dengan demikian tidak bertentangan dengan Pasal

23 ayat (1) UUD1945,”  Hal demikian dikuatkan juga dengan UU 32/2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini, asas tanggung

jawab negara mengandung makna bahwa negara menjamin pemanfaatan

sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi

mendatang. “Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat, serta mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber

daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup,” 

 

Meskipun peristiwa Lumpur Lapindo diakibatkan oleh bencana alam atau bukan

bencana alam, terdapat tanggung jawab perusahaan yaitu PT. Lapindo Brantas

Inc. yang mengakibatkan rusaknya lingkungan, yaitu membayar ganti kerugian

dengan melakukan pembelian atas tanah dan bangunan milik rakyat yang rusak

akibat lumpur Lapindo pada PAT dan tanggung jawab negara di luar PAT.

“Tanggung jawab negara tersebut adalah bagian dari pelaksanaan fungsi Negara

yang harus memberikan perlindungan dan jaminan kepada rakyat atas

Page 17: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan oleh

konstitusi,” 

Page 18: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

III. Penutup

Kesimpulan:

Kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk

sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya dasar

itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas yang

diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan keselamatan

sosial. Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu

niatan, tetapi jika semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat

dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di

sekitarnya, maka unsur ‘kesengajaan’ itu dapat dilekatkan pada perkara

semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK juga menemukan banyaknya

pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, yang

mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi, kasus semburan lumpur

Lapindo itu bukan ‘kelalaian’ tapi sengaja menabrak rambu-rambu keselamatan

sosial.

PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam berbagai segi,

misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana

ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat

menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus

sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sehingga Kasus Lumpur

Lapindo terjadi pelanggaran HAM yang sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan sesuai Undang-undang nomor

26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka kasus tersebut juga dapat

Page 19: Pelanggaran HAM Lumpur Lapindo

digolongkan dalam kasus pelanggaran HAM berat karena terjadi kejahatan

terhadap kemanusiaan.

Saran:

PT Lapindo Brantas Inc tetap harus menyelesaikan pertanggung jawaban atas

ganti rugi dan atas hukum dari kasus tersebut. Selain PT. Lapindo, juga

Pemerintah Daerah (Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera

mencari solusi atau jalan keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak

pencemaran luapan Lumpur lapindo, yaitu keterkaitan pemerintah daerah

maupun pemerintah pusat, didalam hal pemberian izin. Pemerintah harus

mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, membebankan

tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas, PT Lapindo

Brantas Inc harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan

pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas yang sampai

sekarang belum dapat diatasi, aparat penegak hukum konsisten dalam

mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas

Inc, Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas, bertanggungjawab

untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas tanpa membebani

anggaran belanja negara maupun daerah, mengkaji ulang seluruh perundang-

undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral

dan menempatkan aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta

keselamatan dan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama serta

meninjau kembali kelayakan proyek-proyek tersebut.