Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KONTRAK PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM
PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Fathur Rahman Al-Aziz
11140460000067
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
ABSTRAK
Fathur Rahman Al-Aziz. NIM 11140460000067. ANALISIS KONTRAK
PEMBIAYAAN DI BPRS AL-SALAAM PERSPEKTIF HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440
H/2019 M. Ix + 68 halaman 66 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis kontrak-kontrak pembiayaan yang
digunakan oleh BPRS Al-Salaam perspektif hukum perlindungan konsumen.
Peraturan utama yang digunakan yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini untuk membatasi kewenangan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam menentukan setiap ketentuan dalam
kontrak perjanjian dengan nasabah. Pembatasan tersebut dilakukan oleh OJK melalui
peraturan yang dikeluarkan untuk memberikan perlindungan kepada nasabah sebagai
konsumen agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh LKS sebagai pihak yang
membuat perjanjian baku dengan nasabah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan metode
library research untuk melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, fatwa DSN, buku-buku, dan jurnal-jurnal penelitian yang berkaitan dengan
judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa klausula dalam kontrak-
kontrak pembiayaan yang disediakan oleh BPRS Al-Salaam kepada nasabah, masih
terdapat ketidaksesuaian dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan secara umum,
maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang secara khusus lebih mengatur
mengenai permasalahan yang ada dalam klausula kontrak pembiayaan tersebut.
Kata Kunci : Kontrak, Perjanjian Baku, Perlindungan Konsumen.
Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum., SH., M.A., MDC.
Daftar Pustaka : 1993 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillahirabil’alamiin, Segala puji dan syukur kehadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat iman dan Islam serta
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umatnya sehingga dapat
terselesaikannya skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan
di dalamnya. Namun, penulis berharap semoga dengan adanya skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua orang yang membaca dan khususnya bagi penulis. Tidak lupa
juga ucapan terimakasih untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan tanpa
pamrih baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, dengan
penuh rasa hormat, ucapan terimakasih ingin penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S,Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Ketua Program Studi
dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Muhammad Maksum., SH., M.A., MDC selaku dosen pembimbing skripsi.
Terimakasih telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis,
keikhlasan hati, kesabaran dan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, atas
kritik maupun saran sehingga dapat memotivasi penulis.
5. Bapak Rifai selaku pihak BPRS Al-Salaam yang menjabat sebagai legal officer
yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan informasi-informasi
mengenai BPRS Al-Salaam demi mendukung penyelesaian skripsi ini.
vii
6. Ibu Fatasyah, selaku pihak BPRS Al-Salaam yang menjabat sebagai SDM yang
telah bersedia meluangkan waktunya dan menerima penulis untuk melakukan
penelitian di BPRS Al-Salaam ini.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, arahan dan masukannya, serta bersedia memberikan segala data-
data yang penulis perlukan, sehingga penulisan ini terselesaikan.
8. Seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Terimakasih banyak karena dengan
kesediaannya penulis dapat mengambil berbagai macam referensi dari buku,
jurnal, maupun informasi lainnya.
9. Untuk keluarga, Ayah, Ibu, Kakak, dan adik yang penulis sangat sayangi dan
cintai, terimakasih selalu sabar dan selalu mensupport penulis dari dulu hingga
sekarang sampai nanti. Terimakasih telah sabar mengahadapi penulis dan
berusaha jerih payah untuk menyekolahkan penulis sampai ke jenjang perguruan
tinggi ini. Serta do’a yang selalu diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada teman-teman Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang sudah sama-sama
berjuang selama selama proses perkuliahan. Khususnya HES kelas B, yang sudah
mewarnai hari-hari penulis diperkuliahan.
11. Terimakasih banyak untuk Wekaweka yaitu Yessi, Laila, Ammar, Cahya, Huri,
Inggil, Ghaffar, Jeki sahabat dari awal masuk kuliah sampai sekarang yang telah
menemani penulis berjuang, menemani saat susah maupun senang, berbagi canda
dan tawa disela tugas kuliah, serta berdiskusi berbagai hal yang menarik di sekitar
kita. Semoga kita bisa sukses bareng-bareng, dan mencapai impian yang
diinginkan.
12. Teman-teman KOPASUS (Komando Pasukan Kosan Uus), yaitu Daus, Kholid,
Alung, Reno, Junet dan Junot yang telah sama-sama beristirahat dibawah atap
yang sama dari teriknya masa kuliah, berdiskusi tentang topik-topik yang
viii
berkembang di Indonesia, serta berdiskusi tentang masalah penelitian masing-
masing dan memberi masukan kepada penulis demi penyelesaian skripsi ini.
13. Kepada Rizky Amelia yang telah menemani hari-hari penulis, memberikan
semangat dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan hingga skripsi ini
dapat diselesaikan.
14. Kepada Aris dan Eky, sahabat terbaik penulis sejak masa sekolah hingga saat ini,
yang selalu berbagi canda tawa dengan penulis di sela-sela jadwal perkuliahan
maupun di sela-sela penulisan skripsi hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
15. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 158 HUGOS, terimakasih telah
mewarnai hari-hari penulis selama menjalani masa KKN maupun setelah KKN,
merupakan suatu pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.
16. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan pikiran maupun tenaga sehingga skripsi ini dapat selesai dengan
baik.
Semoga do’a, motivasi dan bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak
tersebut mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, 13 Mei 2019
Penulis,
Fathur Rahman Al-Aziz
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah .......................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
E. Metode Penelitian ................................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................... 12
A. Kajian Teoretis ....................................................................................... 12
1. Hukum Kontrak ................................................................................ 12
2. Hukum Pembiayaan ......................................................................... 25
3. Perlindungan Konsumen .................................................................. 27
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 34
BAB III TENTANG BPRS AL-SALAAM ...................................................... 38
A. Sejarah BPRS Al-Salaam ....................................................................... 38
B. Visi dan Misi .......................................................................................... 39
C. Fungsi dan Tujuan .................................................................................. 40
D. Dewan Pengawas Syariah ....................................................................... 40
E. Produk-produk di BPRS Al-Salaam ........................................................ 42
x
BAB IV ANALISA DAN TEMUAN ................................................................ 46
A. Perubahan Harga Sewa ........................................................................... 46
B. Berakhirnya Masa Sewa ......................................................................... 48
C. Rincian Biaya Administrasi .................................................................... 49
D. Jaminan .................................................................................................. 50
E. Penyelesaian Perselisihan ....................................................................... 54
F. Kewajiban Memuat Pernyataan dalam SEOJK Perjanjian Baku .............. 62
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 64
A. Simpulan ................................................................................................ 64
B. Rekomendasi .......................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 72
Lampiran 1: Surat Keterangan Penelitian di BPRS Al-Salaam ............................ 72
Lampiran 2: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah ................................... 73
Lampiran 3: Kontrak Perjanjian Musyarakah ..................................................... 77
Lampiran 4: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah ........... 90
Lampiran 5: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah ............ 103
Lampiran 6: Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa ................................................ 111
Lampiran 7: POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan .................................................................... 116
Lampiran 8: SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku .......... 135
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kontrak atau perjanjian pada dasarnya dibuat berlandaskan pada asas
kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan seimbang
dan kedua pihak berusaha mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi. Dalam
perkembangannya, banyak perjanjian dalam transaksi bisnis bukan terjadi melalui
negosiasi yang seimbang di antara para pihak.1 Kontrak adalah peristiwa di mana
dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu perbuatan tertentu, yang umumnya dibuat secara tertulis.2 Urgensi
pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran
kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para
pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan
saling menguntungkan. Bukan sebaliknya, merugikan salah satu pihak atau
bahkan pada akhirnya justru merugikan para pihak yang berkontrak.3
Keberadaan kontrak dalam dunia bisnis menjadi suatu keniscayaan sebagai
wujud efisiensi dalam praktik ekonomi dan bisnis yang telah diterima
kehadirannya oleh masyarakat, termasuk kontrak syariah. Kontrak yang
digunakan dalam praktik ekonomi dan bisnis, khususnya oleh Lembaga Keuangan
umumnya dikenal sebagai kontrak baku. Kontrak baku mengandung arti sebagai
kontrak yang dibuat secara baku, dimana salah satu pihak telah menyiapkan
syarat-syarat baku pada formulir kontrak yang sudah ada kemudian ditawarkan
kepada pihak lain untuk disetujui dengan kesempatan bernegosiasi yang minim.4
1 Abdurrahman Hakim, “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”, Jurnal
Misykat, Vol. 3, No. 01, (Juni, 2018), h. 64.
2 Azharuddin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 42.
3 Agus yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 6.
4 Abdurrahman Hakim, “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”, h. 86.
2
Pada kontrak baku, banyak literature dari para ahli yang menyatakan bahwa
beberapa asas kontrak yang terdapat dalam KUH Perdata tidak maksimal
diterapkan dan bahkan hampir dikesampingkan, terutama Asas Kebebasan
Berkontrak. Secara substansi, asas ini lahir untuk memberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak yang melakukan perjanjian untuk dapat terlibat dalam
menentukan setiap klausula-klausula yang diperjanjikan. Sedangkan dalam
kontrak baku, klausula yang digunakan sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh
Lembaga Keuangan tanpa ada campur tangan dari konsumen. Dalam hal ini
berlaku prinsip take it or leave it, dimana apabila konsumen tidak setuju dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kontrak tersebut, maka konsumen tidak
berkesempatan untuk mengubah ketentuan tersebut. Konsumen justru akan
disarankan untuk mencari alternatif lembaga lain yang memiliki ketentuan sesuai
dengan keinginan konsumen.
Dalam hal inilah Otoritas Jasa Keuangan hadir melalui peraturan yang
dibuatnya untuk membatasi Lembaga Keuangan dalam menentukan klausula-
klausula yang digunakan dalam kontrak agar tidak sepenuhnya merugikan
konsumen maupun Lembaga Keuangan itu sendiri. Menurut hemat penulis, Asas
Kebebasan Berkontrak ini telah terpenuhi dengan hadirnya Otoritas Jasa
Keuangan yang mewakili konsumen dalam menentukan klausula dalam
perjanjian/kontrak baku sehingga konsumen tidak lagi berada dalam pihak yang
lemah dalam suatu perjanjian.
Sama halnya dengan lembaga keuangan konvensional, dalam memberikan
fasilitas pembiayaan, lembaga keuangan syariah menggunakan kontrak baku
untuk mengikat hak dan kewajiban bank dengan nasabah. Terdapat hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam pembuatan kontrak syariah antara lain: (1) Hal yang
diperjanjikan dan objek transaksi harus halal menurut syariat; (2) Tidak terdapat
ketidakjelasan (gharar) dalam rumusan akad maupun prestasi yang diperjanjikan;
(3) Para pihaknya tidak menzalimi dan tidak dizalimi; (4) transaksi harus adil; (5)
Transaksi tidak mengandung perjudian (maisyir); (6) terdapat prinsip kehati-
3
hatian; (7) Tidak membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam
ataupun barang najis (najsy); dan (8) Tidak mengandung riba.5 Keabsahan
kontrak baku syariah ditentukan melalui apakah klausula-klausula baku yang
tertera dalam kontrak tersebut bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak.6
Dalam situs resminya, BPRS Al-Salaam menggunakan frasa “kredit” dalam
menawarkan salah satu produknya yakni pembiayaan kendaraan bermotor, baik
motor maupun mobil. Padahal penggunaan frasa “kredit” dalam transaksi
perbankan di Indonesia sudah sangat kental dengan kegiatan konvensional yang
berbasis bunga/riba.
Meskipun definisi kredit secara bahasa berarti kepercayaan, tidak ada unsur
bunga, kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian
kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara
mengangsur atau pinjaman hingga batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank
atau badan lain,7 tetapi dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, telah mendefinisikan kredit sebagai fasilitas pinjam-
meminjam yang disertai dengan pemberian bunga.8
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sendiri
sudah tidak lagi mendefinisikan kata kredit. Terkait transaksi jual beli dalam
bentuk piutang, istilah yang digunakan adalah pembiayaan.9 Undang-undang ini
sendiri telah mendefinisikan akronim dari BPRS sebagai Bank Pembiayaan
5 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 206-207. 6 Abdurrahman Hakim, “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”, h. 86.
7 Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 57.
8 Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
9 Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, pembiayaan adalah penyediaan
dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara Bank Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan dana
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
4
Rakyat Syariah,10 berbeda dengan pendahulunya yang bergerak di bidang
konvensional yaitu BPR (Bank Perkreditan Rakyat).11
Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi penulis terhadap ketetapan
kontrak yang digunakan dalam produk pembiayaan kendaraan bermotor di BPRS
Al-Salaam khususnya, dan pada ketetapan kontrak yang digunakan dalam produk-
produk pembiayaan lainnya. Namun setelah penulis melakukan observasi
langsung ke kantor pusat BPRS Al-Salaam untuk melihat kontrak yang
digunakan, penulis tidak menemukan klausul-klausul yang bertentangan dengan
prinsip syariah (Fatwa DSN-MUI), melainkan yang penulis temukan ada
beberapa ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang
belum sesuai dalam kontrak tersebut.
Dalam penelitian ini penulis telah mendapatkan lima (5) jenis kontrak
perjanjian yang terdapat dalam BPRS Al-Salaam. Diantara lima (5) kontrak
tersebut antara lain: Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah; Kontrak
Perjanjian Musyarakah; Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah
Mutanaqishah; Kontrak Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah; dan
Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa.
Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk menganalisis kontrak-kontrak
tersebut dengan melihat kesesuaiannya pada Peraturan Perundangan-undangan
pada umumnya, serta khususnya pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan yang diperjelas
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang
Perjanjian Baku.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dengan ini penulis mengambil judul
penelitian yaitu “Analisis Kontrak Pembiayaan di BPRS Al-Salaam
Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”.
10 Lihat Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
11 Lihat Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
5
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka identifikasi masalah dari penelitian
ini antara lain:
a. Bagaimana prosedur pembiayaan di Lembaga Keuangan Syariah?
b. Bagaimana struktur dan anatomi kontrak perjanjian di Lembaga Keuangan
Syariah?
c. Apakah kontrak perjanjian yang dibuat oleh Lembaga Keuangan Syariah
telah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI?
d. Apakah kontrak perjanjian yang dibuat oleh Lembaga Keuangan Syariah
telah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan?
2. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak rancu dan meluas, maka
terdapat batasan masalah yang tujuannya agar penelitian ini jelas dan terfokus
terhadap satu pokok masalah. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini
yakni hanya melihat klausula-klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS
Al-Salaam yang masih belum sesuai dengan beberapa Peraturan Perundang-
undangan, khususnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian berdasarkan latar
belakang masalah maka rumusan masalah yang penulis buat adalah “Sejauh
mana kesesuaian klausula kontrak pembiayaan yang digunakan oleh
BPRS Al-Salaam dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan?”.
C. Tujuan Penelitian
Dalam sebuah penelitian, tujuan merupakan hal yang sangat penting untuk
mengetahui tentang kegunaannya. Dari rumusan di atas, penelitian ini memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui struktur dan anatomi kontrak di BPRS Al-Salaam.
6
2. Menganalisis kesesuaian klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-
Salaam dengan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
3. Mengevaluasi ketentuan klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-
Salaam.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dalam dua
aspek, yaitu teoritis dan praktis:
1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh
kalangan akademisi dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya di
bidang Hukum Ekonomi Syariah.
b. Menambah wawasan keilmuan yang berguna bagi pengembangan ilmu
hukum dan hukum Islam khususnya dalam proses penyusunan kontrak
agar sesuai dengan syariat Islam maupun peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
c. Sebagai acuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang serta
dapat dikembangkan lebih lanjut demi mendapatkan hasil yang sesuai
dengan perkembangan zaman.
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Lembaga Keuangan
Syariah khususnya BPRS Al-Salaam dalam menyusun kontrak perjanjian
terhadap nasabah.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang akan
melakukan pembiayaan di BPRS Al-Salaam.
c. Untuk mengembangkan pemikiran sekaligus mengetahui kemampuan
peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. Dan tentunya penelitian
ini bermanfaat guna memperoleh gelar S1 Hukum Ekonomi Syariah.
7
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi.12 Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
hukum normatif atau kepustakaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian dengan
pendekatan secara yuridis normatif.13 Maksudnya pembahasan permasalahan
yang ada kemudian dihubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku
dan dikaji dengan beberapa literatur yang ada.
2. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa metode pendekatan yang
dapat digunakan dalam penelitian. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba
untuk dicari jawabannya.14 Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Hasil dari telaah merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi.15
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 35.
13 Penelitian hukum normatif mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2)
penelitian terhadap sistematika hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan
horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 13.
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93
15 ibid.
8
3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif, yaitu
menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi
kepustakaan yang berkaitan dengan judul penelitian hukum yang secara jelas
dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang hendak
diteliti.
4. Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti langsung
dari sumbernya.16 Data pimer yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini yakni kontrak-kontrak perjanjian yang sedang digunakan
dan di dapat langsung dari BPRS Al-Salaam.
b. Data Sekunder
Data sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3, yakni: 1) Bahan hukum primer;
2) Bahan hukum sekunder; dan 3) Bahan hukum tersier.17 Bahan hukum
yang penulis gunakan antara lain:
1) Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang mempunyai
otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan
suatu Badan atau Lembaga Negara, Peraturan Daerah, dan Putusan
Hakim.18 Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian
ini antara lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Fatwa Dewan
Syariah Nasional.
16 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993), h. 69.
17 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 66.
18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 47.
9
2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum
yang memberikan penjelasan kepada bahan hukum primer.19 Publikasi
tersebut antara lain buku-buku teks yang membicarakan suatu
permasalahan hukum, skripsi, tesis, disertasi, jurnal-jurnal, kamus-
kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan hakim.
5. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang pertama digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan cara library research (study kepustakaan) yaitu
mengumpulkan data-data dari peraturan perundang-undangan, buku, artikel,
dan media-media online. Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan
penulis mengklasifikasi permasalahan untuk dikaji secara komprehensif.
6. Teknik Analisis Data
Pada bagian ini dijelaskan tentang langkah yang harus ditempuh serta
teknik analisis data yang digunakan.20 Analisis data adalah proses untuk
mencari dan menyusun secara sistematis terhadap data yang sudah
diperoleh.21 Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis untuk menarik
kesimpulan dengan metode analisis kualitatif. Data tersebut digunakan
sebagai rujukan dalam rangka memahami atau memperoleh pengertian yang
mendalam dan menyeluruh untuk pemecahan masalah dengan menarik
kesimpulan secara deduktif-induktif. Pendekatan kualitatif merupakan tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan
merupakan perilaku yang nyata. Yang diteliti dan dipelajari adalah objek
penelitian yang utuh dengan penggunaan teori terbatas dan lebih fokus
terhadap kasus tertentu. Analisis ini merupakan upaya untuk menata,
menyusun, dan memberi makna pada data yang telah dikumpulkan sehingga
19 ibid. h. 54.
20 Dalman, Menulis Karya Ilmiah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), h. 209.
21 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009),
h. 244.
10
dapat memberi jawaban pada pertanyaan penelitian yang diajukan, tentunya
dapat mencapai tujuan yang diharapkan.22
7. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu
sistem pembahasan dalam suatu kerangka ilmiah. Dalam kaitannya dengan
penulisan nantinya secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) bab, yang disusun
secara sistematis sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, data penelitian,
metode pengumpulan bahan hukum, dan metode pengolahan bahan hukum, serta
sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori
Dalam bab secara mendalam akan dijelaskan tentang pengertian daripada
kontrak yang berlaku dan diterapkan di Indonesia, baik secara umum maupun dari
sisi syariah, kemudian asas-asas dari hukum kontrak tersebut, serta penjelasan
mengenai kontrak ataupun perjanjian baku. Kemudian akan dijelaskan pula
tentang Hukum Pembiayaan di Indonesia dan Hukum Perlindungan Konsumen,
baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-
Undang Otoritas Jasa Keuangan.
22 Boy S. Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 2008), h.
38.
11
Lebih lanjut dalam bab ini akad dikemukakan mengenai Tinjauan Kajian
Terdahulu dari para peneliti sebelumnya yang relevan dengan penelitian penulis.
BAB III Profil Lembaga
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai profil dari BPRS Al-Salaam, seperti
sejarah, visi & misi, fungsi, tujuan, Dewan Pengawas Syariah, serta produk-
produk yang ditawarkan oleh BPRS Al-Salaam kepada Nasabah.
BAB IV Analisis dan Hasil Penelitian
Dalam bab ini berisi tentang hasil dan pembahasan yang tersusun atas hasil-
hasil penelitian yang merupakan kumpulan bahan hukum yang diperoleh dari
berbagai literatur dan pembahasan yang merupakan hasil analisis penulis terhadap
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Hasil penelitian dan
pembahasan ini meliputi penelitian tentang klausul-klausul yang dimuat dalam
kontrak pembiayaan yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan ditinjau
terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan yang diperjelas dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku
maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
permasalahan yang terjadi.
BAB V Penutup
Dalam bab ini terdiri dari simpulan (jawaban singkat atas rumusan masalah
yang ditetapkan) dan rekomendasi dari penulis.
Bagian akhir, berisi tentang daftar pustaka, dan lampiran-lampiran yang
terkait dengan penelitian ini.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoretis
1. Hukum Kontrak
Hukum kontrak dapat juga disebut hukum perjanjian dan di Indonesia
ketentuan-ketentuannya diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang Hukum
Perikatan.1 Hukum kontrak tidak terlepas dari faham individualisme, seperti
yang dijumpai dalam Burgerlijke Weatbook (lama) tahun 1838, Burgerlijke
Weatbook (baru) tahun 1992, maupun di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, sebagai ciri-ciri khas hukum perjanjian atau kontrak, yaitu dalam hal
kebebasan, kesetaraan, dan keterikatan kontraktual.2
Kontrak merupakan bagian penting dari Hukum Perdata yang
mengalami pekembangan dalam rangka memberikan kepastian pada bidang
ekonomi dan stabilitas nasional. Esensi kontrak adalah (sekumpulan) janji
yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.3
Istilah kontrak sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract.
Menurut Black’s Law Dictionary, kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian
antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau
tidak berbuat sesautu hal yang khusus (contract is an agreement between two
or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar
things).4 Pengertian lain mendefinisikan istilah kontrak sebagai suatu
perjanjian tertulis yang sengaja dibuat, sehingga dapat digunakan sebagai alat
1 Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN Pengaruh Sistem Hukum Common Law
dan Civil Law, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 45.
2 Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h. 51.
3 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2006), h. 17.
4 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 11-12.
13
bukti bagi para pihak yang berkepentingan.5 Ada tiga unsur dari kontrak,
yaitu:6
a. Adanya kesepakatan tentang fakta antara kedua belah pihak (the fact
between the parties)
b. Persetujuan tersebut dibuat secara tertulis (the agreement is written)
c. Adanya orang-orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat
kesepakatan dan persetujuan tertulis.
Sedangkan Ahmad Miru dalam bukunya, menjelaskan lebih detail
tentang unsur-unsur yang ada di dalam suatu kontrak, antara lain:7
a. Unsur Esensiali, merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak
karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak
ada kontrak. Contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan
mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan tersebut, maka
kontrak dapat batal demi hukum sebab tidak ada hal tertentu yang
diperjanjikan.
b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-
undang sehingga apabila tidak diatur dalam kontrak, maka undang-undang
yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur ini merupakan unsur yang
selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak
tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku
ketentuan dalam KUHPerdata bahwa penjual yang harus menanggung
cacat tersembunyi.
c. Unsur Aksidentalia, merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para
pihak jika para pihak memperjanjikannya. Contoh, dalam kontrak jual beli
dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai
5 Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.7.
6 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, h. 12.
7 Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 31-32.
14
membayar kewajibannya, maka akan dikenakan denda keterlambatan
setiap bulannya, dan apabila debitur lalai membayar kewajibannya selama
tiga bulan berturut-turut, objek jual beli dapat ditarik kembali oleh
kreditur tanpa melalui proses pengadilan. Demikian pula klausul-klausul
lainnya yang kerap ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan
merupakan unsur esensial dalam kontrak tersebut.
Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan
kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut
pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para
pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk
kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan
(kepentingan) melalui proses tawar-menawar. Pada umumnya kontrak bisnis
berawal dari perbedaan kepentingan yang coba dipertemukan melalui kontrak.
Melalui kontrak perbedaan tersebut diakomodasi dan selanjutnya dibingkai
dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam kontrak bisnis
pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan akan tercapai apabila
perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodasi melalui mekanisme
hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.8
a. Kontrak Bisnis Syariah
Kontrak bisnis syariah didasarkan pada teori-teori akad yang ada
dalam Fiqh Muamalat. Dalam kajian Fiqh Muamalat, masalah akad
menempati posisi sentral karena ia merupakan cara paling penting yang
digunakan untuk memperoleh suatu maksud atau penting yang digunakan
untuk memperoleh suatu maksud atau manfaat sesuatu secara sah. Tidak
jarang karena kesalahan dalam memilih akad atau kurang terpenuhinya
8 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian…, h. 1-2.
15
syarat dan rukun akad, transaksi yang dilakukan seseorang bisa dinilai
tidak sah (batal).9
Dalam al-Qur’an, kata “akad” sendiri terdapat dalam QS. Al-Maidah
ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
... فو ذين آمنو يها ال أ يا د ا بال عقو ا أو
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (QS. Al-
Maidah: 1).
Secara bahasa, akad berarti ikatan antara dua hal, baik ikatan secara
nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi.10
Secara terminologi, akad memiliki makna khusus. Dalam konsep fikih
muamalah, kontrak lebih dikenal dengan sebutan akad, yang menurut
fuqaha’ (ahli hukum Islam) berarti perikatan antara ijab dan qabul dengan
cara-cara yang disyariatkan dan mempunyai dampak terhadap apa yang
diakadkan tersebut.11 Sedangkan Dewan Syariah Nasional mendefinisikan
akad sebagai transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan
kewajiban.12 Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, mendefinisikan kata akad sebagai suatu
kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak sesuai dengan prinsip syariah.13
Kontrak dalam hukum Islam tidak begitu berbeda dengan hukum
kontrak yang berlaku dalam hukum perdata umum yang didasarkan pada
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan istilah yang berbagai
9 Azharuddin Lathif & Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis…, h. 64.
10 A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 129. 11 FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan
Bisnis Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 171.
12 Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility.
13 Lihat Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
16
macam. Para pakar hukum perdata menggunakan istilah kontrak atau akad
dengan istilah yang berbeda. Sebagian menyebut dengan istilah perikatan,
sebagian lagi menggunakan kata perjanjian, perkongsian, transaksi dan
kontrak. Perbedaan yang terjadi dalam perikatan (kontrak) antara hukum
Islam dan hukum perdata umum adalah pada tahap perjanjiannya. Pada
hukum perikatan (kontrak) Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji
pihak kedua (merupakan dua tahap), kemudian lahir perikatan (kontrak).
Adapun menurut hukum perdata (KUH Perdata), perjanjian antara pihak
pertama dan pihak kedua ialah satu tahap yang kemudian menimbulkan
perikatan di antara mereka. Dalam hukum perikatan (kontrak) Islam, titik
tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya ijab kabul
dalam setiap transaksi yang dilaksanakannya, kalau ini sudah terjadi maka
terjadilah perikatan atau kontrak.14
Empat prinsip umum hukum kontrak Islam yang menjadi pijakan
penting ketika hukum tersebut diterapkan pada keuangan modern:15
1) Sifat tak mengikat dari sebagian besar kontrak dasar.
2) Skema ganda untuk menentukan risiko kerugian.
3) Larangan jual beli hutang dengan hutang.
4) Sifat perjanjian yang tidak mengikat.
Prinsip di atas tidak ada yang secara tegas bersumber dari wahyu
seperti halnya konsep riba dan gharar. Kekuatannya justru muncul dari
kenyataan bahwa prinsip tersebut ditegakkan secara terus menerus pada
beragam aturan dari banyak kontrak. Dengan kata lain, prinsip tersebut
tidak ditetapkan secara harfiah dari sumber syariah namun melalui induksi
dari sebagian besar pedoman fiqih. Dari keempat prinsip tersebut, dua
prinsip pertama sebagian besar diakomodasi dalam praktek keuangan
14 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 73-74.
15 Frank E. Vogel & Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return,
diterjemahkan oleh M. Sobirin Asnawi, dkk. (Bandung: Nusamedia, 2007), h. 136.
17
Islam dan jika dipraktekkan terus menerus akan memiliki pengaruh
penting. Kedua prinsip yang terakhir sangat kontroversial, dan sangat
mempengaruhi masa depan perbankan dan keuangan Islam.16
Ayat lain yang terkait dengan kontrak bisnis syariah terdapat dalam
QS. Al-Baqarah ayat 282 serta kaidah fiqih sebagai berikut:
ا ى ف م س م ل ج أ ى ل إ ن ي د ب م ت ن ا ي د ا ت ذ ا إ و ن آم ن ي ذ ا ال ه ي أ ا ي
... ل د ع ا ل ب ب ات ك م ك ني ب ب ت ك ي ل و ه و ب ت ك
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an dan berbicara
soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Ayat ini
menjelaskann cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat
terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman serta kedua belah pihak tidak
merugi.17
Relevansi ayat ini dengan kontrak bisnis syariah yakni ayat ini
memerintahkan manusia apabila melakukan kegiatan muamalah secara
tidak tunai dalam jangka wantu tertentu, maka hendaklah dituliskan dalam
suatu dokumen perjanjian agar tidak lupa akan kewajibannya dalam
bermuamalah tersebut. Isi dari dokumen perjanjian tersebut tentunya
memuat tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak yang bermuamalah.
Kemudian seorang penulis (Legal Drafter) dokumen perjanjian tersebut
hendaknya menuliskan dengan benar agar tidak ada kerugian bagi kedua
belah pihak.
16 ibid.
17 Diakses dari www.hajij.com/id/the-noble-quran/item/574-tafsir-al-quran-surah-al-baqarah-
ayat-282-286- pada 22 Juli 2019.
18
ل ضر ر ول ضرار
“Tidak boleh ada bahaya/mudharat dan yang membahayakan”.
Kaitan kaidah fiqih ini dengan kontrak bisnis syariah yaitu dalam
suatu perjanjian tidak boleh memuat suatu hal yang berbahaya dan yang
membahayakan. Misalnya objek perjanjian tidak boleh berupa suatu
barang yang dilarang/diharamkan oleh syariah. Kemudian dalam dokumen
perjanjian yang dibuat, tidak boleh ada ketentuan yang dapat merugikan
salah satu pihak sedang pihak lain mendapat keuntungan didalamnya,
karena yang demikian itu merupakan suatu bentuk perbuatan yang dzalim.
Selain itu dalam hukum Islam juga dikenal Maqashid Syariah.
Maqashid Syariah menurut Thahir ibn ‘Asyur dan Wahbat Mushthafa al-
Zuhailiy adalah makna (ma’aniy), tujuan (ahdaf), dan hikmah-hikmah
(hikam) yang menjadi perhatian Syari’ (Legislator: Allah SWT ketika
menetapkan hukum-hukum. Kemudian Imam al Syathibiy menyatakan
bahwa syari’at dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan
kemaslahatan makhluk. Kemaslahatan makhluk dapat tercapai apabila
lima hal primer dalam hidupnya telah terjamin.18 Lima hal tersebut antara
lain:19
1) Perlindungan terhadap agama (Hifdz Ad-Diin).
2) Perlindungan terhadap jiwa (Hifdz An-Nafs).
3) Perlindungan terhadap akal (Hifdz Al-‘Aql).
4) Perlindungan terhadap kehormatan (Hifdz Al-‘Ardh).
5) Perlindungan terhadap harta benda (Hifdz Al-Maal).
18 Firdaus Agung, “Maqashid Al-Syari’ah Imam Al-Syathibiy dan Relevansinya Dengan
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia”, (Skripsi Fakultas Syari’ah, Universitas Negeri Malang, 2008),
h. 17. 19 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmawati (Kuwais).
(Jakarta: Amzah, 2009), h. xiii.
19
Hal terpeting dalam Maqashid Syariah terkait dengan kontrak bisnis
syariah adalah perlindungan terhadap harta benda (Hifdz Al-Maal). Harta
merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana manusia
tidak akan bisa terpisah darinya.
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya
dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri
sebagai penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi
ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara
yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus
dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.20
b. Asas-asas Hukum dalam Kontrak
Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum
kontrak. Asas-asas yang ada dalam hukum kontrak antara lain:
1) Hukum Kontrak Bersifat Mengatur
Kontrak sebagai hukum mengatur, merupakan peraturan-
peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum. Dalam hal ini para
pihak dalam suatu kontrak.21
2) Asas Kebebasan Berkontrak
Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa
saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa
yang tidak ingin dicantumkan di dalam naskah perjanjian, teatpi bukan
berarti tanpa batas. Dalam KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak
ini diatur dalam Pasal 1338.22
3) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas
kepastian hukum ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas
20 ibid, h. 167.
21 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), h. 13.
22 Syahmin AK, Hukum Kontrak International, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.
4.
20
pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. hakim atau pihak
ketiga tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak.23
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang”.
4) Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umunya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.24 Konsensus atau kesepakatan tersebut tidak perlu ditaati
apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan, ataupun
terdapat kekeliruan akan objek kontrak.25
5) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dapat disimpulak dari Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Asas ini mengandung arti bahwa para pihak harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.26
23 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), Cet. ke-9, h. 10.
24 ibid.
25 Syahmin AK, Hukum Kontrak International, h. 5.
26 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, h. 10-11.
21
6) Asas Obligatoir
Maksud dari asas ini yaitu jika suatu kontrak sudah dibuat,
maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas
timbulnya hak dan kewajiban semata-mata.27
7) Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua
belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan
dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun
debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu
dengan itikad baik.28
Dari sejumlah prinsip hukum tersebut terdapat tiga prinsip atau asas
utama yang mendapat perhatian lebih. Prinsip-prinsip atau asas-asas
utama tersebut dianggap sebagai soko guru hukum kontrak, memberikan
sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berfikir yang menjadi
dasar hukum kontrak. Satu dan lain karena sifat fundamental hal-hal
tersebut, maka prinsip-prinsip utama itu dikatakan pula sebagai prinsip-
prinsip dasar.29
Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum
kontrak adalah; prinsip atau asas “konsensualitas” di mana persetujuan-
persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para
pihak. Pada umumnya persetujuan-persetujuan tersebut dapat dibuat
secara “bebas bentuk” dan tidak dibuat secara formal melainkan
konsensual.30
Prinsip atau asas “kekuatan mengikat persetujuan” menegaskan bahwa
para pihak harus memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu
27 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, h. 13.
28 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, h. 13-14
29 Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis…, h. 51.
30 ibid, h. 52.
22
sama lain dalam persetujuan yang mereka adakan. Kemudian yang
terakhir adalah prinsip atau asas “kebebasan berkontrak” di mana para
pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan
bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk
membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya. Selain itu para
pihak dapat menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu
persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang bersifat
memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan.31
Adapun konsensualitas menyangkut terjadinya sebuah persetujuan.
Prinsip kekuatan mengikat menyangkut akibat persetujuan, sedangkan
prinsip kebebasan berkontrak terutama berurusan dengan isi persetujuan.
Kendatipun di antara ketiga prinsip yang disebut di atas dapat dan harus
dibedakan dengan tegas satu dengan yang lain, maka untuk memperoleh
pengertian yang benar mengenai prinsip-prinsip tersebut, harus dibahas
secara bersama-sama karena ketiganya berhubungan erat satu sama lain.32
c. Perjanjian Baku
Semakin berkembangnya aspek-aspek perekonomian saat ini, para
pihak mencari format perjanjian yang lebih praktis. Salah satu pihak
menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format
perjanjian yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan
kepada pihak lainnya untuk disetujui (ditandatangani). Inilah yang
dimaksud dengan perjanjian baku.33
Perjanjian baku adalah suatu persetujuan yang dibuat para pihak
mengenai sesuatu hal yang sisinya telah ditentukan secara baku (standar).
31 ibid.
32 ibid.
33 Agus Satory, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor
Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 2, Nomor 2, 2015, h. 274.
23
Perjanjian tersebut dituangkan secara tertulis serta menjadi tolak ukur atau
patokan ataupun pedoman bagi konsumen yang mengadakan hubungan
hukum dengan pengusaha. Perjanjian baku tersebut meliputi model,
rumusan, dan ukuran.34
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang,
pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang bebas untuk
menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian,
pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan
tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku,
sehingga perjanjian yang seharusnya dirancang oleh para pihak yang
terlibat dalam perjanjian tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena
format dan isi kontrak dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih
kuat.35 Ciri dari perjanjian baku itu sendiri antara lain:36
1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya
kuat;
2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan
isi perjanjian;
3) Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian
tersebut;
4) Bentuknya tertulis;
5) Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Pemakaian kontrak baku dewasa ini menunjukkan perkembangan yang
cukup memberatkan kepentingan masyarakat. Misalnya di lingkungan
pengusaha real estate dikembangkan sistem pembelian satuan rumah
susun secara inden dalam bentuk perjanjian baku. Menurut Mariam Darus
Badrulzaman dalam bukunya yang berjudul Aneka Hukum Bisnis,
34 ibid.
35 Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, h. 39-40.
36 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 146.
24
Perjanjian inden adalah cacat dan tidak sah, karena informasi terhadap
masyarakat tidak ada dan karena masyarakat sangat memerlukan, maka
tawaran dari pengusaha ini diserbu masyarakat.37
Dalam praktiknya, sering kali masyarakat yang membutuhkan
pembiayaan hanya menandatangani perjanjian tanpa dibacakan isinya.
Akan tetapi, isi perjanjian baru dipersoalkan pada saat masyarakat tidak
mampu melaksanakan prestasinya. Dengan demikian, utang yang harus
dibayar oleh masyarakat menjadi bertambah dikarenakan adanya denda
keterlambatan. Lembaga Keuangan sendiri berpedapat bahwa penerapan
denda keterlambatan itu sudah diatur dan ditentukan secara jelas dan rinci
di dalam kontrak, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk
menolak pemenuhan besaran utang beserta denda keterlambatan
tersebut.38 Mengingat masih awamnya masyarakat terhadap aspek hukum
dari perjanjian itu dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mengawasi, maka sebagai wakil dari kepentingan umum, pemerintah
wajib mengawasi perjanjian baku tersebut.39
Implementasi dari perjanjian baku yang biasa digunakan banyak
diterapkan dalam dunia bisnis dan perdagangan. Pada sektor jasa
keuangan, perjanjian baku dimaksudkan untuk mempermudah operasional
bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis. Adapun yang merupakan
contoh-contoh dari perjanjian baku yang sering dilakukan dalam praktik
adalah sebagai berikut:40 (cari buku)
1) Polis Asuransi;
2) Kontrak di bidang perbankan;
3) Kontrak sewa guna usaha;
4) Kontrak jual-beli rumah atau apartemen dari perusahaan real estate;
37 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 35.
38 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, h. 147.
39 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, h. 35.
40 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Buku Kedua), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 77.
25
5) Kontrak sewa menyewa gedung perkantoran;
6) Kontrak pembuatan credit card;
7) Kontrak pengiriman barang (darat, laut, dan udara).
2. Hukum Pembiayaan
Pembiayaan adalah perbuatan untuk membiayai baik perorangan
maupun bentuk perusahaan.41 Pembiayaan merupakan suatu kegiatan
perjanjian yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen
untuk pembelian barang atau jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh
konsumen, serta pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh
konsumen.42 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, mendefinisikan pembiayaan sebagai suatu bentuk
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:43
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah;
b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa beli dalam
bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna;
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; dan
e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi
multijasa.
Penyediaan dana yang dimaksud dilakukan berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
Ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.44
41 Ahmad Muliadi, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Akademia Pratama, 2013), h. 3
42 ibid. h. 109-110.
43 Lihat Pasal 1 Angka 25 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
44 Lihat Pasal 1 Angka 25 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
26
Lembaga keuangan Indonesia merupakan suatu sistem, maka sudah
barang tentu ada kaitan antara subsistem yang satu dengan subsistem yang
lainnya. Lembaga pembiayaan sebagai suatu subsistem dari lembaga
keuangan bersama-sama dengan lembaga perbankan mempunyai kaitan satu
sama lain. Hal ini disebabkan oleh kedua lembaga tersebut sama-sama
bergerak di bidang keuangan yang berada di bawah satu sistem lembaga
keuangan. Meskipun antara lembaga pembiayaan dan lembaga perbankan
sama-sama sebagai lembaga keuangan dan ada kaitan satu dengan lainnya,
namun ada beberapa hal yang membedakan antara keduanya, antara lain
sebagai berikut:45
a. Dilihat dari kegiatannya, lembaga pembiayaan difokuskan pada salah satu
kegiatan keuangan saja. Misalnya perusahaan modal ventura menyalurkan
dana dalam bentuk modal penyertaan pada perusahaan pasangan usaha,
perusahaan sewa guna usaha menyalurkan dana dalam bentuk barang
modal kepada perusahaan penyewa, pegadaian menyalurkan dananya
dalam bentuk pinjaman jangka pendek dengan jaminan benda bergerak.
Adapun lembaga perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling
lengkap kegiatannya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk
pinjaman, serta melaksanakan kegiatan di bidang jasa keuangan lainnya.
b. Dilihat dari cara menghimpun dana, lembaga pembiayaan tidak dapat
secara langsung menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro,
tabungan, deposito berjangka. Adapun lembaga perbankan dapat secara
langsung menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan,
dan deposito berjangka.
c. Dilihat dari aspek jaminan, lembaga pembiayaan dalam melakukan
pembiayaan tidak menekankan aspek jaminan (non collateral basis)
45 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 14-15.
27
karena unit yang dibiayai merupakan objek pembiayaan. Adapun lembaga
perbankan dalam pemberian kredit lebih berorientasi kepada jaminan
(collateral basis).
d. Dilihat dari kemampuan menciptakan uang giral, lembaga pembiayaan
tidak dapat menciptakan uang giral. Adapun lembaga perbankan, yaitu
Bank Umum dapat menciptakan uang giral yang dapat mempengaruhi
jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dari simpanan masyarakat
berupa giro, di samping dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran
dalam suatu transaksi dengan menggunakan cek atau bilyet giro, bagi
Bank Umum giro juga dapat dipergunakan untuk menciptakan uang giral.
3. Perlindungan Konsumen
Hukum konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu dengan
lainnya berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan
hidup. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum
konsumen yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah kaidah yang
bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan
konsumen.46
Hukum perlindungan konsumen menyangkut aturan-aturan guna
mensejahterakan masyarakat, bahkan bukan hanya masyarakat selaku
konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga
mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing
memiliki hak dan kewajibannya tersendiri.47 Hukum perlindungan konsumen
selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang
hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa
46 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 57.
47 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 1.
28
terdapat pihak yang berpredikat sebagai “konsumen”. Oleh karena itu, ruang
lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam satu jenis undang-undang saja, seperti Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.48
Pemerintah berperan mengatur, mengawasi, dan mengontrol sehingga
tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain agar
tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.49
Ketidaksetaraan yang kerap terjadi antara kedudukan konsumen dengan
pelaku usaha mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kaidah-kaidah hukum
yang dapat menjamin dan melindungi kepentingan konsumen.50
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen merupakan payung dari semua peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan perlindungan konsumen. Penjelasan umum Undang-
Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Undang-Undang
Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari
hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada
terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada
beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan
konsumen.51
Oleh karena itu, dalam penjelasan umum disebutkan setidaknya 20
(dua puluh) undang-undang lain yang substansinya melindungi kepentingan
konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengakui akan
adanya undang-undang lain yang muncul kemudian sebagai bagian dari
hukum perlindungan konsumen. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
merupakan salah satu contoh undang-undang yang lahir 12 tahun setelah
48 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen…, h. 57-58.
49 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.
50 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa…, h. 58.
51 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
29
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya akan memperkuat
sistem hukum perlindungan konsumen, khususnya terkait konsumen di sektor
jasa keuangan.52
a. Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk
kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan . Sedangkan pelaku usaha merupakan orang
atau badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.53
Pengaturan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya memberikan
perlindungan secara luas, yakni perlindungan hukum terhadap konsumen
barang dan/atau jasa.54
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya
pemberdayaan ini menjadi penting karena tidak mudah mengharapkan
kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya pelaku usaha berusaha untuk
52 Inosentius Samsul, “Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Pasca Pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Negara Hukum, Vol. 4 No. 2 November 2013, h. 150.
53 Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 74.
54 Agus Suwandono, “Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
Terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Dikaitkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen”, Jurnal Perspektif, Vol. XXI No. 1 Januari 2016, h. 4.
30
mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen,
baik secara lansung maupun tidak langsung.55
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan
konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat demi mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui
penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.56
Pengaturan melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi konsumen jasa keuangan
adalah ketentuan mengenai tata cara pencantuman klausula baku. Pasal 18
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai klausula
baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu.57
b. Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011,
pengaturan dan pegawasan sektor perbankan yang semula berada pada
Bank Indonesia sebagai bank sentral di negara kita dialihkan pada Otoritas
Jasa Keuangan.58 Peralihan fungsi pengawasan ini merupakan bagian dari
politik hukum negara yakni melalui Pemerintah untuk menjawab
permasalahan yang dihadapi sebelumnya, mengingat Indonesia telah
beberapa kali dihadapkan pada masalah ekonomi yang berat, seperti
55 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
56 Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
57 David Y Wonok, “Perlindungan hukum atas Hak-Hak Nasabah Sebagai Konsumen
Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko yang Timbul dalam Penyimpangan Dana”, Jurnal Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Vol. 1 No. 2 April-Juni 2013, h. 60.
58 Wisnu Indaryanto, “Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3 Oktober 2012, h. 333.
31
terjadinya krisis moneter yang dengan mudah memacu krisis perbankan
seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998.59
Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.60 Adapun sektor jasa keuangan
yang dimaksud antara lain di sektor Perbankan, Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan lainnya.61 Sistem pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan adalah sistem pengawasan terintegrasi, artinya seluruh
kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan
tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Sistem pengawasan jasa keuangan secara terintegrasi dimulai di
Skandinavia pada pertengahan tahun 1980-an. Inggris dan Jepang
menerapkan sistem pengawasan terintegrasi pada tahun 1998 dengan
mendirikan United Kingdom Financial Services Authority dan Japan
Financial Services Agency.62
Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang
untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, antara
lain:63
1) Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi:
a) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
59 Sandi F. S. Rasjad, “Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Perbankan”, Jurnal Lex et Societis, Vol. III No. 3 April 2015, h. 108.
60 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
61 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
62 Zulkarnain Sitompul, “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 9 No. 3 Oktober 2012, h. 344.
63 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
32
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank.
b) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
2) Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
a) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio
pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank.
b) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank.
c) Sistem informasi debitur.
d) Pengujian kredit (credit testing).
e) Standar akuntansi bank.
3) Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
meliputi:
a) Manajemen risiko.
b) Tata kelola bank.
c) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang.
d) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan
4) Pemeriksaan bank.
Kemudian terkait perlindungan konsumen dan masyarakat, Otoritas
Jasa Keuangan berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian
konsumen dan masyarakat, yang meliputi:64
1) Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas
karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.
2) Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya
apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat.
64 Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
33
3) Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen
dan masyarakat diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK).65 POJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan
Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.66
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 mengatur tentang perlindungan
konsumen sektor jasa keuangan. Salah satu bentuk perlindungan
konsumen yang menjadi fokus Otoritas Jasa Keuangan dalam peraturan
ini adalah terkait perjanjian antara lembaga keuangan dengan konsumen,
dimana pelaku usaha jasa keuangan wajib memenuhi keseimbangan,
keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen.67
Dalam hal pelaku usaha jasa keuangan menggunakan perjanjian baku,
perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.68 Ketentuan lebih lanjut terkait perjanjian baku
sendiri diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tema yang berkaitan dengan penelitian ini sebelumnya sudah pernah
dilakukan oleh beberapa penulis. Namun terdapat perbedaan dan persamaan pada
setiap penelitian, termasuk juga perbedaan dan persamaan dalam penelitian ini.
Pertama terdapat tesis dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang
ditulis oleh Wahyuni Tri Wardani pada tahun 2016 yang berjudul “Tinjauan
65 Pasal 31 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
66 Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
67 Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
68 Pasal 22 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
34
Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 dalam
Perjanjian Kredit Perbankan (Studi Kasus pada PT BPR Lumbungartha
Muntilanindo)”.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan Pasal 54 Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan dalam perjanjian kredit di PT BPR Lumbungartha Muntilanindo
serta bentuk perlindungan konsumen yang dirugikan oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (PUJK) setelah berlakunya peraturan tersebut.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa pada prakteknya perjanjian belum sesuai
dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen karena perjanjian ini cenderung
memberatkan dan merugikan konsumen yaitu menekankan pada perlindungan
terhadap hak bank dan belum menunjukan perlindungan terhadap hak debitur
sebagai konsumen. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, debitur dapat mengadukan
permasalahannya kepada bank yang bersangkutan meskipun kenyataannya
konsumen kesulitan untuk mendapatkan penyelesaian karena memerlukan waktu
untuk menanggapinya. Penerapan Pasal 54 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 juga
telah dilakukan oleh PT BPR Lumbungartha Muntilanindo dengan cara merevisi
klausula-klausula perjanjian yang sebelumnya tidak sesuai dengan ketentuan
POJK.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena
penelitian yang Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-
klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan melihat
kesesuaiannya secara khusus pada POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor
13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku secara keseluruhan. Sedangkan
penelitian diatas hanya fokus kepada penerapan Pasal 54 POJK Perlindungan
Konsumen, dimana peraturan tersebut mewajibkan PUJK untuk menyesuaikan
perjanjian baku yang sudah dibuat sebelum berlakunya POJK untuk disesuaikan
35
dengan POJK paling lambat pada saat berlakunya POJK yaitu tanggal 6 Agustus
2014. Objek analisis secara kelembagaan pun berbeda, penelitian diatas
melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Konvensional sedangkan Penulis
melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Syariah.
Kemudian Tesis dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang ditulis
oleh Yunita Candra Devi pada tahun 2017 dengan judul “Implementasi Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian
Baku dalam Perjanjian Kredit di Perbankan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman”.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pemenuhan asas keseimbangan dan
kewajaran di dalam pembuatan perjanjian baku yang tertuang dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.
Selain itu, penelitian ini juga menganalisa pengawasan OJK dalam penerapan
surat edaran tersebut. Hasilnya, ketentuan dalam klausul perjanjian kredit di
Perbankan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman belum mencerminkan asas
keseimbangan dan kewajaran, sehingga perjanjian kredit yang telah disesuaikan
belum sepenuhnya memenuhi prinsip keseimbangan dan kewajaran terutama
terkait pencantuman kuasa mutlak dan penetapan harga/suku bunga kredit yang
terlalu tinggi. Pengawasan OJK sendiri hanya difokuskan pada risiko tertentu
yang salah satunya mencakup pemeriksaan atas perjanjian kredit bank namun
belum secara khusus meneliti terkait penerapan asas kesimbangan dan kewajaran,
sehingga masih ada lembaga perbankan yang klausula perjanjian bakunya belum
memenuhi asas keseimbangan dan kewajaran yang berpotensi merugikan
konsumen.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena
penelitian yang Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-
klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan melihat
kesesuaiannya secara khusus pada POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor
36
13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku secara keseluruhan. Sedangkan
penelitian di atas terfokus pada penerapan asas keseimbangan dan kewajaran
berdasarkan SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku dan
menganalisa bentuk pengawasan dari OJK terhadap penerapan surat edaran
tersebut. Objek analisis secara kelembagaan pun berbeda, penelitian diatas
melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Konvensional sedangkan Penulis
melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan Syariah.
Selanjutnya ada skripsi dari Fakultas Hukum Universitas Mataram yang
ditulis oleh Nur Anita Mahratun pada tahun 2018 dengan judul “Tinjauan Yuridis
tentang Pencantuman Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi
Kasus Bank Mandiri Kota Mataram)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dan menganalisis
perlindungan hukum yang tepat bagi debitur terhadap pencantuman klausula
eksonerasi dalam perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram. Hasil
penelitian menyatakan bahwa perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram
masih menerapkan klausula eksonerasi dalam kontrak perjanjian yang dilarang
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan. Akibat hukum dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian
kredit tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya
syarat sah perjanjian mengenai causa yang halal (syarat objektif), sebab telah
bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 22
ayat (1) dan (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
Sedangkan perlindungan hukum bagi debitur terhadap pencantuman klausula
eksonerasi tersebut meliputi perlindungan preventif dan represif. Perlindungan
preventif ini lazimnya melalui peraturan perundang-undangan yang memuat
mekanisme yang menuntun pihak kreditur maupun debitur agar pada saat
37
pelaksanaan perjanjian tidak menimbulkan permasalahan. Sedangkan
perlindungan represif adalah perlindungan yang diberikan terhadap debitur
setelah terjadinya permasalahan dan bersifat menanggulangi, seperti mekanisme
pengaduan konsumen maupun penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
maupun non-litigasi.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena
penelitian yang akan Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-
klausula kontrak yang digunakan oleh BPRS Al-Salaam dengan melihat
kesesuaiannya secara khusus pada POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor
13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Sedangkan penelitian diatas hanya
mencari klausula eksonerasi yang terdapat dalam kontrak perjanjian kredit di
Bank Mandiri Kota Mataram dan masih menganalisis dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara umum, yakni Undang-Undang
Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan hanya sedikit
menggunakan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan sebagai bahan analisis. Objek analisis secara kelembagaan
pun berbeda, penelitian diatas melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan
Konvensional sedangkan Penulis melakukan studi kasus pada Lembaga Keuangan
Syariah.
38
BAB III
TENTANG BPRS AL-SALAAM
A. Sejarah BPRS Al-Salaam
PT BPR Amal Salman yang lebih dikenal dengan nama BPR Al Salaam,
didirikan pada tanggal 9 Oktober 1991. Pendiriannya diprakarsai oleh para alumni
Institut Teknologi Bandung (ITB) yang aktif di Masjid Salman. Kebersamaan
selama menimba ilmu di perguruan tinggi telah mendorong para alumni ini untuk
melanjutkan kegiatan amalnya seperti yang telah dilakukan dahulu di Salman ITB
dengan membentuk lembaga yang bergerak di bidang sosial dengan nama
Yayasan Amal Salman. Salah satu bentuk kegiatan yang ditujukan untuk
membantu perekonomian masyarakat adalah dengan mendirikan sebuah lembaga
keuangan berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan nama BPR Al
Salaam.
Pendirian BPR Al Salaam juga dimaksudkan untuk turut serta dalam
pelayanan lembaga keuangan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah,
dengan corak khusus yaitu pelayanan perbankan dengan nafas keislaman.
Berbeda dari badan usaha swasta pada umumnya BPR Al Salaam merupakan
usaha yang berlandaskan kebersamaan (Solidarity Corporate) yang tetap
menjunjung tinggi profesionalisme. BPR Al Salaam hadir untuk memberikan
pelayanan “retail banking” bagi kemajuan bersama sesuai dengan motto “Maju
Dalam Kebersamaan”.
Kegiatan operasional BPR ini dimulai pada tanggal 29 Februari 1992
berdasarkan Akte No. 30 dari Abdul Latief, Notaris di Jakarta, diubah dengan
akte No.14 tanggal 5 Desember 1991 dari Abdul Latief, Notaris di Jakarta, yang
telah disetujui oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No.C2-
7937.HT.01.01.TH.91 tanggal 19 Desember 1991 dan didaftarkan pada Kantor
Pengadilan Negeri di Bogor dibawah No. WB.DH.1.PR.01.10.92 serta
39
diumumkan dalam tambahan No.657 dari Berita Negara RI No.13 tanggal 14
Pebruari 1992 dan tambahan No. 5045 dari Berita Negara RI No.70 tanggal 1
September 2000.
Jumlah modal yang disetor pada awal berdiri tahun 1991, sebesar Rp. 69,8
juta dengan jumlah pemegang saham sebanyak 40 orang.
Pada tahun 2003, modal yang disetor telah mencapai Rp. 1,28 milyar dengan
jumlah pemegang saham sebanyak 103 orang. Selanjutnya untuk mendukung
pengembangan telah disetujui peningkatan modal dasar perseroan dalam RUPS
tahun 2003 dari Rp. 1 milyar menjadi Rp. 5 milyar. Peningkatan tersebut juga
telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI melalui SK Nomor : C-
04029 HT.01.04.TH.2004.
Sesuai aspirasi dan idealisme para pemegang saham yang sejak awal
pendirian ingin menjadikan BPR Al Salaam sebagai lembaga keuangan bagi
masyarakat dengan pelayanan perbankan yang berazaskan keislaman, maka sejak
tanggal 3 Juli 2006 BPRS Al Salaam berubah dari BPR konvensional menjadi
BPR Syariah dan hingga tahun 2017, Modal Berjalan BPRS Al-Salaam
dilaporkan sebesar Rp. 40.000.000.000,- dengan 155 pemegang saham.1
B. Visi dan Misi
Visi yang diemban oleh BPRS Al-Salaam adalah “Menjadi Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah Terbaik di Indonesia”. Sedangkan misi dari BPRS Al-Salaam
yaitu untuk “Menjadi lembaga keuangan mikro syariah yang menghasilkan
produk jasa perbankan terbaik bagi nasabah dan menciptakan kondisi yang
kondusif bagi pemerataan pembangunan perekonomian sektoral dengan orientasi
1 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/sejarah-2/ pada
tanggal 20 November 2018.
40
pengembangan usaha kecil dan menengah menuju kesejahteraan bagi stake
holder”.2
C. Fungsi dan Tujuan
1. Fungsi
Sebagaimana perbankan pada umunya, fungsi daripada dibentuknya
BPRS Al-Salaam sendiri tidaklah jauh berbeda. Sebagai sebuah lembaga yang
melakukan penjualan jasa berbasis syariah, BPRS Al-Salaam berfungsi untuk
mengelola uang dari para nasabah maupun stake holder yang ada. Dana
tersebut dikelola dan dikembangkan dalam bentuk pembiyaan kepada para
nasabah dengan sasaran utamanya yakni masyarakat menengah ke bawah.
2. Tujuan
a. Dengan profesionalisme tinggi berusaha memberikan pelayanan kepada
nasabah melalui penyediaan jasa keuangan yang optimal dalam hal
kualitas, kenyamanan, keamanan, dan keuntungan dalam hal berinvestasi.
b. Memberikan tingkat kesejahteraan yang baik bagi seluruh karyawan.
c. Memberikan hasil yang terbaik bagi stake holder.3
D. Dewan Pengawas Syariah
Sebagai Lembaga Keuangan Syariah, PT BPRS Al-Salaam tentunya
menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman utama dalam setiap kegiatan
transaksinya. selain itu, sebagai lembaga keuangan syariah yang beroperasional di
Indonesia, PT BPRS Al-Salaam juga menjadikan Fatwa DSN-MUI sebagai
pedoman dalam setiap kegiatan operasionalnya. Untuk menjamin kepatuhan
2 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/visi-misi-nilai/
pada tanggal 20 November 2018.
3 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/visi-misi-nilai/
pada tanggal 20 November 2018.
41
syariah dari PT BPRS Al-Salaam dalam setiap transaksinya, PT BPRS Al-Salaam
diawasi oleh 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah (DPS), antara lain:4
a. Mohammad Yahya
Dewan Pengawas Syariah PT. BPRS Al Salaam Amal Salman sejak tahun
2006 hingga sekarang. Selama 4 tahun beliau menjabat sebagai Dewan
Komisaris di tempat yang sama. Sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai
Managing Director of Petroindo Gunapersada Engineering, Project Director of
Environmental Impact of Radiant Utama Group, dan Production Assistant
BAT.
b. Dr. H. Muhammad Choirin Lc., MA.
Menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah PT BPRS Al-Salaam Amal
Salman sejak Mei 2018. Beliau meraih gelar S3 Doctor of Philosophy (Ph.D)
dalam bidang Ushuluddin di University of Malaya, Kuala Lumpur – Malaysia
pada tahun 2015. Menyandang Licence in Islamic Studies and Arabic (Lc.)
dari The International Islamic Call College, Tripoli – Libya sejak tahun 2008.
Saat ini beliau juga aktif sebagai Peneliti Senior, Pusat Kajian Strategis
(Puskas) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Guru Pengajar di Pondok
Pesantren Modern Islam AlHasan Bekasi, serta dosen Pengajar di Universitas
Islam Syafi’iyah (UIA) Jakarta, Universitas Islam Negeri (UIN), Sultan
Maulana Hasanuddin Serang dan Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul
Hikmah Bekasi.
Keterlibatan anggota DPS ini terkait dalam pembuatan akad sebagai
pengesah, setelah akad dibuat oleh admin legal drafting di kantor pusat. Apabila
ada akad baru, maka prosesnya pun sama di konfirmasi terlebih dahulu ke DPS
yang terdapat di BPRS Al-Salaam.
4 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/profile/tentang-al-salaam/tim-manajemen-
2/ pada tanggal 20 November 2018.
42
E. Produk-produk di BPRS Al-Salaam
1. Produk Tabungan
Produk-produk tabungan yang ditawarkan oleh BPRS Al-Salaam
kepada masyarakat antara lain:5
a. iB Amanah Tabungan Syariah, merupakan produk tabungan dengan
menggunakan akad Mudharabah. BPRS Al-Salaam mengklaim memiliki
nisbah bagi hasil yang lebih tinggi dibandingkan tabungan di bank lain,
dengan perbandingan nisbah sebesar 25:75 (nasabah : bank) atau setara
dengan 5,02% p.a. (equivalen rate Desember 2018). Untuk dapat
menabung disini, masyarakat hanya perlu memberikan setoran awal
minimal sebesar Rp. 100.000,- dengan setoran selanjutnya minimal
sebesar Rp. 50.000,- dan tidak dikenakan biaya administrasi bulanan.
b. Tabungan iB Amanah BerQurban, merupakan bentuk tabungan dengan
akan Mudharabah kepada nasabah dalam upaya menjalankan ibadah
qurban dengan penyediaan dan penyaluran hewan qurban yang dilakukan
sesuai ketentuan syariah. BPRS Al-Salaam menyediakan pilihan opsi
pembelian atau penyaluran hewan qurban melalui pihak-pihak yang
kredibel dan terpercaya, antara lain PKPU dan Kerajaan Domba. Untuk
dapat menggunakan produk ini, masyarakat hanya perlu melakukan
pembukaan rekening sebesar Rp. 100.000,- dan dibebaskan dari biaya
admin dengan pilihan hewan qurban sebagai berikut:
1) Pembelian dan Penyaluran Hewan Qurban (PKPU)
a) Kambing senilai Rp. 2.000.000,- (berat 23-25 kg)
b) Sapi senilai Rp. 14.000.000,- (berat 210-250 kg)
2) Pembelian dan Penyaluran Hewan Qurban (Kerajaan Domba)
a) Domba/Kambing senilai Rp. 2.300.000,- (berat 20-23 kg)
b) Sapi senilai Rp. 14.500.000,- (berat 200-220 kg)
5 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id di bagian menu Produk-Tabungan pada tanggal
15 Januari 2019.
43
Dengan tingkat bagi hasil yang kompetitif, BPRS Al-Salaam berharap
nasabah tidak hanya mendapatkan keberkahan qurban, tapi juga
keberkahan menabung secara syariah di BPRS Al-Salaam.
c. Tabungan Berencana Tabernas Platinum, merupakan produk tabungan
Mudharabah berjangka bagi masyarakat yang memiliki rencana tertentu,
seperti ibadah umroh/haji, pernikahan, pendidikan, travelling, dan rencana
lainnya. Untuk dapat menggunakan produk ini, masyarakat hanya perlu
melakukan setoran awal minimal sebesar Rp. 200.000,- dan setoran
selanjutnya minimal sebesar Rp. 200.000,- dengan perbandingan nisbah
sejumlah 35:65 (nasabah : bank) atau setara dengan 7,04% p.a. (equivalen
rate Desember 2018) dan tidak akan dikenakan biaya administrasi
bulanan. Setelah jangka waktu 1 tahun, nasabah dapat melakukan
penarikan sebelum jangka waktu berakhir tanpa dikenakan biaya penalti
dan juga dapat melakukan penutupan rekening tanpa dikenakan biaya.
2. Produk Pembiayaan
Produk-produk pembiayaan yang ditawarkan oleh BPRS Al-Salaam
kepada masyarakat antara lain:6
a. Pembiayaan Syariah Kepemilikan Sepeda Motor (PSKSM), merupakan
produk penyaluran dana untuk kepemilikan sepeda motor dengan
menggunakan akad Murabahah.
b. Pembiayaan Syariah Kepemilikan Kendaraan Bermotor (PSKKB),
merupakan produk penyaluran dana untuk kepemilikan mobil, baik mobil
baru maupun mobil bekas dengan menggunakan akad Murabahah.
c. Pembiayaan Al Salaam Syariah (PAS), merupakan produk penyaluran
dana untuk kebutuhan multiguna dengan plafond pembiayaan yang
6 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id di bagian menu Produk-Pembiayaan pada
tanggal 15 Januari 2019.
44
diberikan mulai dari Rp 15 juta dengan menggunakan akad Mudharabah
atau Murabahah.
d. Pembiayaan Syariah Modal Usaha (PSMU), merupakan produk
penyaluran dana untuk kebutuhan modal kerja atau investasi usaha dengan
plafond maksimal Rp 1,5 milyar.
e. Pembiayaan Sahabat Al Salaam iB (PSA iB), merupakan produk
penyaluran dana untuk kebutuhan multiguna dengan plafond yang
diberikan minimal Rp 3 juta dan maksimal Rp 10 juta.
f. Pembiayaan Syariah KPR iB, merupakan produk penyaluran dana untuk
kepemilikan rumah tinggal dan ruko.
g. Pembiayaan Kelompok Tanggung Renteng (KTR), merupakan produk
penyaluran dana berkelompok yang diberikan kepada ibu-ibu yang ingin
mengembangkan usaha mikronya dengan plafond yang diberikan mulai
dari Rp 1 juta dan maksimal Rp 5 juta.
h. Pembiayaan Al Salaam Syariah (PAS) Umroh, merupakan produk Al-
Salaam yang bertujuan untuk membantu mewujudkan rencana ibadah
umroh ke Baitullah dengan memberikan dana talangan perjalanan umroh
yang menggunakan prinsip-prinsip sesuai syariah dengan menggunakan
akad Ijarah Multijasa.
3. Deposito Syariah Rakyat
Deposito Syariah Rakyat merupakan produk investasi yang
menguntungkan, aman dan berkah dari BPRS Al-Salaam. Masyarakat yang
ingin menginvestasikan dananya dengan produk ini, diharuskan melakukan
penempatan deposito minimum sebesar Rp. 2.500.000,- dengan nisbah bagi
hasil sebesar 35:65 (nasabah : bank) atau setara dengan 7,04% p.a. (equivalen
rate Desember 2018) dan nilai bagi hasil tersebut dapat ditransfer ke rekening
nasabah di bank lain.
45
Selama investasi berjalan, nasabah tidak akan dikenakan biaya
administrasi. Kemudian jika nasabah akan melakukan pencairan dana deposito
sebelum jatuh tempo, nasabah tidak akan dikenakan biaya penalti atas
pencairan deposito tersebut.7
4. Refinancing Syariah Al-Salaam
Produk ini merupakan pembiayaan ulang yang diberikan kepada
nasabah BPRS Al-Salaam dengan plafond pembiayaan sebesar Rp.
2.000.000,- s/d Rp. 15.000.000,- dengan menggunakan akad Musyarakah
Mutanaqishah, Murabahah, ataupun Ijarah Multijasa.
Kriteria nasabah yang dimaksud untuk produk ini ialah nasabah
perorangan BPRS Al-Salaam yang pernah menggunakan produk angsuran
motor syariah Al-Salaam baik yang sudah lunas maupun yang masih berjalan
dengan maksimal jangka waktu angsuran hingga 24 bulan (dengan
mempertimbangkan usia maksimal motor).8
7 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/produk-harga/deposito/deposito-syariah-
rakyat-2/ pada tanggal 15 Januari 2019.
8 Data diakses dari https://bprsalsalaam.co.id/main/produk-harga/pembiayaan/pembiayaan-
umum/refinancing-syariah-al-salaam/ pada tanggal 15 Januari 2019.
46
BAB IV
ANALISA DAN TEMUAN
Berdasarkan teori serta permasalahan yang ditemukan, maka dengan ini
penulis berusaha mengkaji dan menganalisa setiap permasalahan yang ada di dalam
kontrak dengan melihat kesesuaiannya terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
(selanjutnya disebut POJK Perlindungan Konsumen) dan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku (selanjutnya disebut
SEOJK Perjanjian Baku).
Untuk lebih memperkuat hasil analisa, penulis juga merujuk kepada peraturan
perundang-undangan lainnya yang secara khusus mengatur mengenai permasalahan
yang ditemukan agar hasil analisa dapat lebih akurat dalam menjawab setiap
permasalahan yang ada.
Berdasarkan Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah; Kontrak Perjanjian
Musyarakah; Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah; Kontrak
Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Musytarakah; dan Kontrak Perjanjian Ijarah
Multijasa dari BPRS Al-Salaam, penulis telah mengelompokkan setiap permasalahan
yang ada dalam kontrak dan menganalisa sebaik mungkin dengan hasil sebagai
berikut:
A. Perubahan Harga Sewa
1. Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah
Dalam Pasal 4 ayat 2 tentang Jangka Waktu dan Harga Sewa dalam
kontrak perjanjian ini, BPRS Al-Salaam menentukan bahwa bank memiliki
“hak penuh” untuk menentukan kenaikan harga sewa secara berkala.1
1 Pasal 4 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah: “Harga sewa disepakati
sebesar Rp. ……………,- (……) /Bulan dengan ketentuan Bank memiliki hak penuh untuk menentukan
kenaikan Harga Sewa secara berkala yang besarnya disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang
berkembang.”
47
Ketentuan yang mengatur mengenai perubahan manfaat, biaya, risiko,
syarat, dan segala ketentuan yang tercantum dalam dokumen perjanjian
terdapat dalam Pasal 12 POJK Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 12
POJK Perlindungan Konsumen mengatur bahwa setiap perubahan manfaat,
biaya, risiko, syarat dan ketentuan lainnya dalam perjanjian wajib
diinformasikan terlebih dahulu kepada nasabah dengan jangka waktu paling
lambat 30 hari kerja sebelum berlakunya perubahan tersebut.
Penggunaan kata “hak penuh” dalam pasal tersebut jika
diinterpretasikan dapat berarti wewenang yang tidak terbatas, dalam hal ini
terkait dengan penentuan kenaikan harga sewa. Padahal dalam setiap
perubahan harga sewa, meskipun POJK Perlindungan Konsumen tidak
mengatur mengenai kewenangan nasabah, namun bank perlu memberikan
informasi terlebih dahulu kepada nasabah sesuai dengan Pasal 12 POJK
Perlindungan Konsumen. Bahkan dalam Pasal 12 POJK Perlindungan
Konsumen memberikan hak kepada nasabah untuk tidak menyetujui
perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, ataupun ketentuan lainnya dalam
perjanjian tanpa dikenakan ganti rugi apapun oleh pihak bank.
Selain itu, ketentuan dalam fatwa DSN tentang Musyarakah
Mutanaqisah yang memungkinkan aset menjadi objek Ijarah dimana nasabah
dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati,2 maka
berlaku pula fatwa DSN tentang review ujrah yang menentukan bahwa
besaran ujrah boleh ditinjau ulang untuk periode berikutnya, namun harus
dengan cara yang diketahui dengan jelas (formula tertentu oleh kedua belah
pihak.3
Sehingga penggunaan kata “hak penuh” perlu dievaluasi lagi oleh
pihak Legal Drafter BPRS Al-Salaam agar tidak terkesan over power dan
2 Lihat bagian Keempat mengenai Ketentuan Khusus nomor 2 dalam Fatwa DSN Nomor
73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah.
3 Lihat bagian Kedua mengenai Ketentuan Hukum nomor 2 huruf b dalam Fatwa DSN Nomor
56/DSN-MUI/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah.
48
merugikan hak nasabah atau setidaknya cukup diganti dengan kata
“wewenang” saja.
B. Berakhirnya Masa Sewa
1. Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah
Pasal 4 ayat 3 tentang Jangka Waktu dan Harga Sewa dalam perjanjian
ini melarang nasabah untuk mengakhiri sewa sebelum berakhirnya jangka
waktu sewa.4
Sedangkan dalam Pasal 12 ayat 3 POJK Perlindungan Konsumen
menyatakan apabila konsumen tidak menyetujui terhadap perubahan
persyaratan produk maka konsumen berhak memutuskan hubungan
kontraktual tersebut tanpa dikenakan ganti rugi apapun.5 Sehingga Pasal 4
ayat 3 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah harus
dihapuskan/ditiadakan karena telah bertentangan dengan POJK Perlindungan
Konsumen.
Selain itu pasal 4 ayat 3 ini juga kontradiktif dengan Pasal 16 ayat 1
Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah6 itu sendiri yang isinya telah
sesuai dengan ketentuan POJK Perlindungan Konsumen. Hal ini tentunya
berpotensi membingungkan nasabah yang terikat dengan kontrak tersebut.
Terlebih lagi pasal 4 ayat 3 posisinya berada di awal kontrak, sehingga apabila
nasabah tidak teliti membaca kontrak serta peraturan terkait, maka hal ini
dapat membahayakan dan merugikan pihak nasabah yang akan berfikir bahwa
dirinya tidak dapat mengakhiri sewa sebelum jangka waktu berakhir.
Maka dari itu, menurut penulis ketentuan dalam Pasal 4 ayat 3 ini
harus dihapuskan atau setidaknya diganti dengan ketentuan bahwa nasabah
4 Pasal 4 ayat 3 Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah: “Nasabah tidak dapat
mengakhiri sewa sebelum berakhirnya jangka waktu sewa”.
5 Lihat Pasal 12 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
6 Pasal 16 ayat 1 Kontrak Perjanjian Musyarakah Mutanaqishah: “Masa sewa akan berakhir
apabila tidak terjadi kesepakatan atas peninjauan kembali Harga Sewa”.
49
dapat mengakhiri masa sewa sebelum berakhirnya jangka waktu sewa dengan
syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 perjanjian ini. Mengingat dalam
Pasal 16 ini berisi segala macam ketentuan mengenai syarat maupun kondisi
yang harus dipenuhi oleh nasabah apabila ingin mengakhiri masa sewa.
C. Rincian Biaya Administrasi
1. Kontrak Ijarah Multijasa
Ketentuan dalam Pasal 3 ayat 1 Kontrak Ijarah Multijasa tentang
Biaya Administrasi mewajibkan nasabah untuk membayar segala macam
biaya tanpa ada rincian detail terhadap besaran nilai pada setiap biaya yang
harus dikeluarkan.7
Pasal 11 ayat 2 huruf a POJK Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa syarat dan ketentuan dalam suatu produk sekurang-kurangnya harus
memuat tentang rincian biaya, manfaat, dan risiko.8 Sehingga seluruh jenis
biaya yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 kontrak Ijarah Multijasa perlu di
rinci oleh pihak Legal Drafter BPRS Al-Salaam agar nasabah dapat
mengetahui besaran biaya yang harus dikeluarkan dari setiap jenis biaya yang
dibebankan kepadanya.
Bahkan tidak hanya mencantumkan biaya secara rinci di dalam
kontrak, tetapi sebelum ditandatangani dokumen kontrak tersebut oleh
nasabah, BPRS Al-Salaam juga berkewajiban untuk memberikan informasi
secara langsung mengenai biaya yang harus ditanggung oleh konsumen
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 1 POJK Perlindungan Konsumen.9
7 Pasal 3 ayat 1 Kontrak Ijarah Multijasa tentang Biaya Administrasi: “Nasabah diwajibkan
membayar seluruh biaya administrasi, pembukaan tabungan, asuransi, dan notaris sebesar Rp .....
sebelum atau pada saat Perjanjian ditandatangani”.
8 Lihat Pasal 11 ayat 2 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
9 Lihat Pasal 10 ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
50
Selain itu pihak BPRS Al-Salaam juga berkewajiban untuk
menyediakan ringkasan informasi produk secara tertulis (seperti brosur) yang
isinya memuat tentang manfaat, risiko, biaya produk, syarat dan ketentuan
lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 POJK Perlindungan Konsumen.10
D. Jaminan
1. Kontrak Perjanjian Musyarakah, Mudharabah Musytarakah, dan Ijarah
Multijasa
Pasal 11 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah, Pasal Pasal 8 ayat 2
Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 4 ayat 2 Kontrak
Perjanjian Ijarah Multijasa berisi substansi dan kalimat yang sama mengenai
jaminan yang menyatakan bahwa harta kekayaan/hak milik nasabah dengan
sendirinya menjadi jaminan atas penyelesaian hutang, dan bank diberi kuasa
untuk menjualnya.11
Pasal 21 POJK Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pelaku
Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan
kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen,12 yang selanjutnya
diperjelas dalam SEOJK Perjanjian Baku yang menyatakan bahwa klausula
dalam Perjanjian Baku dilarang memuat klausula eksonerasi/eksemsi yang
isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK (Pelaku Usaha
Jasa Keuangan), atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban
Konsumen.13
10 Lihat Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
11 Isi dari pasal-pasal mengenai jaminan tersebut yaitu: “Bahwa harta kekayaan/hak milik
NASABAH dengan sendirinya menjadi jaminan pula atas penyelesaian hutangnya. BANK diberi kuasa
untuk menjualnya apabila Barang Jaminan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 belum dan atau tidak
menutupi seluruh kewajiban NASABAH”.
12 Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
13 Lihat Bagian II Angka 3 huruf a mengenai Klausula dalam Perjanjian Baku dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.
51
Sedangkan isi dari pasal-pasal mengenai jaminan dalam perjanjian
diatas telah menambah hak PUJK, dalam hal ini BPRS Al-Salaam, untuk
dengan sendirinya turut menguasai/memiliki harta kekayaan nasabah yang
bukan merupakan jaminan atas hubungan kontraktual yang terjadi serta
menjualnya apabila barang yang sudah dijaminkan sebelumnya belum
menutupi utang nasabah.
Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, dalam Pasal 34 ayat 2 menentukan bahwa apabila hasil
eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung
jawab atas utang yang belum terbayar.14 Artinya, jika barang yang sudah
dijaminkan sebelumnya oleh nasabah namun belum mampu menutupi
kewajiban utang nasabah, maka sisa utang tersebut akan menjadi tanggung
jawab nasabah yang harus dipenuhi dengan cara pelunasan, bukan dengan
secara tiba-tiba bank mengambil harta kekayaan/hak milik nasabah diluar
barang jaminan untuk selanjutnya dijual oleh bank demi menutupi seluruh
kewajiban utang nasabah.
Meskipun Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan segala barang-barang
bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu,
tetapi maksud dalam pasal ini adalah barang jaminan umum, bukan barang
jaminan khusus. Jaminan umum ini timbul dari undang-undang. Tanpa adanya
perjanjian yang diadakan oleh para pihak lebih dulu, para kreditur semuanya
secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-
undang itu (Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata).15
Jaminan seperti itu diberikan kepada setiap kreditur terhadap seluruh
harta debitur dan karenanya disebut jaminan umum. Setiap kreditur
14 Lihat Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
15 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), cet. ke-2, h. 45.
52
menikmati hak jaminan umum seperti itu. Namun, hal itu tidak berarti bahwa
kreditur dapat menjual seluruh kekayaan debitur lalu mengambil suatu bagian
sebanding tertentu dari hasil penjualan tiap-tiap benda yang membentuk
kekayaan tersebut. Penjualan seluruh harta kekayaan debitur hanya terjadi
dalam hal ada kepailitan dan dalam penerimaan warisan dengan hak utama
untuk mengadakan pencatatan (penerimaan warisan secara beneficiair).16
Sedangkan dalam kontrak ini, sudah digunakan jaminan khusus berupa
kebendaan yang selanjutnya dapat dilakukan parate eksekusi, yakni bank
dapat mengeksekusi langsung barang yang sudah dijaminkan tanpa perlu
melalui proses pengadilan.
Namun terkait pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tanpa
pertolongan hakim (parate eksekusi) tanpa fiat eksekusi seperti dimaksud oleh
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
mengatakan apabila debitur cedera janji maka pemegang hak tanggungan
berhak menjual objek hak tanggungan tetapi secara teoritis pasal tersebut
terkendala dengan Pasal 26 undang-undang itu sendiri, maka untuk saat ini
pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dilaksanakan sebagaimana dimaksud
Pasal 224 HIR yaitu harus dilaksanakan atas perintah ketua pengadilan.17
Berdasarkan yurisprudensi MA Nomor 3021K/Pdt/1984 tanggal 30
Juni 1984, maka pelaksanaan parate eksekusi batal demi hukum karena
eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b KUHPerdata
jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e tetap memerlukan fiat eksekusi pengadilan.18
Mencermati isi kontrak lebih lanjut, pada ayat selanjutnya dari
masing-masing pasal dalam kontrak diatas, dapat dikatakan telah sesuai
16 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2007), cet. ke-5, h. 5.
17 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik, (Depok:
Kencana, 2017), h. 202
18 ibid.
53
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Isi ayat selanjutnya dari
masing-masing pasal diatas menyatakan:
“BANK berhak menyita dan menjual Barang Jaminan secara umum maupun
dibawah tangan untuk sejumlah harga dan menurut syarat-syarat serta
perjanjian yang disetujui oleh NASABAH kemudian diperhitungkan dengan
seluruh kewajibannya dan apabila hasil penjualan tersebut melebihi jumlah
seluruh kewajiban maka BANK akan mengembalikan kelebihannya kepada
NASABAH, sebaliknya apabila terdapat kekurangan maka kekurangan
tersebut harus dipenuhi oleh NASABAH.”
Isi pasal diatas inilah yang layak dicantumkan dalam kontrak
perjanjian, karena sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana ketika terjadi eksekusi jaminan dan
nilai penjualan melebihi nilai penjaminan, maka bank akan mengembalikan
kelebihan tersebut kepada nasabah. Begitupun sebaliknya, apabila hasil
eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, nasabah tetap bertanggung
jawab atas utang yang belum terbayar.19 Selain itu isi pasal diatas juga tidak
mengandung klausula eksonerasi yang menyatakan penambahan hak kepada
bank untuk memiliki harta kekayaan/hak milik nasabah di luar barang
jaminan, yang secara tegas dilarang dalam SEOJK Perjanjian Baku.
Jika mencermati lebih lanjut, bagian akhir dari ayat diatas menyatakan
“apabila terdapat kekurangan maka kekurangan tersebut harus dipenuhi oleh
NASABAH” yang mana menurut penulis ketentuan ini kontradiktif dengan
ketentuan dalam Pasal 11 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah, kemudian
Pasal 8 ayat 2 Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 4 ayat
2 Kontrak Perjanjian Ijarah Multijasa yang menyatakan bahwa bank akan
menjual harta kekayaan/hak milik nasabah di luar barang jaminan apabila
19 Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
54
penjualan dari barang yang sudah dijaminankan sebelumnya belum dan atau
tidak menutupi seluruh kewajiban nasabah.
Isi kontrak yang kontradiktif ini tentunya dapat membingungkan
nasabah sebagai konsumen. Maka dari itu, menurut penulis ketentuan dalam
Pasal 11 ayat 2 Kontrak Perjanjian Musyarakah, kemudian Pasal 8 ayat 2
Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 4 ayat 2 Kontrak
Perjanjian Ijarah Multijasa perlu dihilangkan dari dalam kontrak tersebut oleh
legal drafter BPRS Al-Salaam karena dapat merugikan konsumen dan secara
jelas telah bertentangan dengan ketentuan dalam SEOJK Perjanjian Baku
maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
E. Penyelesaian Perselisihan
1. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah
Pasal 26 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah
tentang Penyelesaian Perselisihan hanya menentukan mekanisme
penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mufakat.20
Padahal dalam pasal 39 ayat 1 POJK Perlindungan Konsumen
menyatakan apabila tidak terjadi kesepakatan penyelesaian melalui sistem
pengaduan konsumen, maka konsumen dapat melakukan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Artinya ketika tidak
tercapai kesepakatan penyelesaian melalui jalur pengaduan (musyawarah),
maka nasabah dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
melalui pengadilan.21
Sedangkan dalam kontrak Pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah,
pasal penyelesaian perselisihan hanya dicantumkan sebatas diselesaikan
20 Pasal 26 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah: “Apabila di kemudian
hari terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum di dalam Akad ini atau
terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan Akad ini, para pihak sepakat untuk
menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat”.
21 Lihat Pasal 39 ayat 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
55
secara musyawarah, ini jelas bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Kemudian dalam Fatwa DSN Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqishah juga turut mengatur mengenai penyelesaian
perselisihan di antara para pihak. Ketentuan dalam fatwa tersebut mengatakan
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip
syariah.22 Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam fatwa
tersebut tentunya termasuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dimana sebelumnya telah
disebutkan terkait ketentuan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh
konsumen.
Peraturan perundang-undangan lainnya tergantung daripada
mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh oleh para pihak. Jika
penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur di luar pengadilan, maka akan
berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa serta peraturan lain dibawah undang-undang
yang mengatur tentang tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase (non-litigasi). Sedangkan jika penyelesaian sengketa
dilakukan melalui jalur pengadilan, maka akan berlaku Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta peraturan perundang-
undangan lain yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang
mekanisme beracara di pengadilan.
Sehingga ketentuan Pasal 26 dalam kontrak perjanjian Musyarakah
Mutanaqishah perlu dibuatkan poin-poin tambahan selepas mekanisme
musyawarah tidak mencapai kata kesepakatan di antara kedua belah pihak.
22 Lihat bagian kelima mengenai penutup dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah.
56
Ketentuan tambahan yang dimaksud antara lain, apakah penyelesaian
sengketa akan dilakukan melalui Basyarnas seperti halnya dalam kontrak
perjanjian Murabahah, atau akan dilakukan melalui Pengadilan Agama
sebagaimana telah ditentukan dalam kontrak perjanjian Musyarakah,
Mudharabah Musytarakah, dan Ijarah Multijasa.
2. Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah
Pasal 10 ayat 5 kontrak Murabahah ini menyatakan penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui lembaga di luar pengadilan, yaitu Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).23 Hanya saja dalam pelaksanaan
eksekusi terhadap putusan Basyarnas tersebut, legal drafter dari BPRS Al-
Salaam keliru dalam mencantumkan dasar hukum pelaksanaan eksekusi.
Dalam kontrak tertulis dasar hukumnya adalah Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 1 tahun 2008, yang mana Surat Edaran tersebut terkait tentang
Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Seharusnya yang
dicantumkan adalah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 tahun 2008
tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah, itupun sudah tidak
berlaku sejak keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
Kemudian Pasal 10 ayat 3 menyatakan bahwa putusan yang ditetapkan
oleh Basyarnas merupakan keputusan pada tingkat pertama dan terakhir.24
Sedangkan apabila kita melihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada Pasal 70
mengatur bahwasanya para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
23 Pasal 10 ayat 5 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah: “Mengenai pelaksanaan
(eksekusi) putusan BASYARNAS, sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No. I tahun
2008, Para Pihak sepakat bahwa Para Pihak dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan
BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Agama diwilayah hukum Republik Indonesia”.
24 Pasal 10 ayat 3 Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah: “Para Pihak sepakat, dan
dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa putusan yang ditetapkan oleh
BASYARNAS tersebut sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir”.
57
apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2) Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan tersebut harus diajukan dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada Panitera Pengadilan Agama.25
Apabila permohonan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan Agama
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian dari
putusan arbitrase. Putusan pembatalan ditetapkan dalam waktu paling lama 30
hari sejak permohonan pembatalan dilakukan, dan terhadap putusan tersebut
dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir.26
Merujuk kepada Pasal 21 POJK tentang Perlindungan Konsumen,
ditentukan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi
keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan
Konsumen.27 Maka isi dari Pasal 10 ayat 3 dalam Perjanjian Murabahah ini
25 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa masih secara umum menentukan Pengadilan Negeri sebagai lembaga peradilan
yang berhak melakukan pembatalan putusan arbitrase. Sementara sejak diundangkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan
dalam ruang lingkup Pengadilan Agama. Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
X/2012 telah secara tegas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi
kewenangan absolut dari Pengadilan Agama, termasuk kepada eksekusi putusan Basyarnas.
26 Lihat Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. 27 Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
58
telah menciderai prinsip keadilan yang harus ada dalam suatu perjanjian
dengan konsumen.
Dengan adanya pasal tersebut yang menyatakan bahwa putusan
Basyarnas harus diakui sebagai putusan pertama dan terakhir, maka bank telah
melakukan pembatasan hak hukum nasabah dalam upaya mencari keadilan di
mata hukum apabila terjadi sengketa nantinya. Bahkan dengan adanya pasal
ini, bank juga akan turut dirugikan mengingat ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3
Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah telah mengikat kedua belah pihak
yang menandatangani perjanjian. Sehingga apapun isi putusan Basyarnas
nantinya, tidak dapat dilakukan pembatalan apabila terdapat kerugian28 untuk
salah satu pihak.
Sehingga menurut penulis, ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 Kontrak
Perjanjian Pembiayaan Murabahah perlu dihilangkan karena akan membuat
nasabah sebagai konsumen berfikir bahwa tidak ada upaya hukum lain yang
dapat ditempuh oleh mereka. Hal ini tentunya akan cukup merugikan dari sisi
konsumen yang pada umumnya merupakan masyarakat menengah kebawah
dan masi awam terhadap hukum. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 tersebut
juga sebenarnya sudah dijamin dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian, tanpa perlu
dicantumkan dalam kontrak perjanjian, dapat dikatakan bahwa pada
prinsipnya putusan arbitrase adalah putusan tingkat pertama dan terakhir (final
and binding).29
28 Kerugian yang dimaksud hanya terbatas pada apa yang tercantum dalam Pasal 70 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
29 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 64.
59
3. Kontrak Perjanjian Musyarakah, Mudharabah Musytarakah, dan Ijarah
Multijasa
Pasal 19 ayat 3 Kontrak Perjanjian Musyarakah, Pasal 15 ayat 3
Kontrak Perjanjian Mudharabah Musytarakah, dan Pasal 8 ayat 3 Kontrak
Perjanjian Ijarah Multijasa sama-sama menyatakan bahwa penyelesaian
perselisihan yang dilakukan di Pengadilan Agama akan diakui oleh kedua
belah pihak sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.30 Hal ini tentu
saja menghilangkan hak hukum nasabah untuk melakukan upaya hukum31
lainnya apabila keputusan Pengadilan Agama tersebut dirasa kurang adil.
Upaya hukum yang dimaksud antara lain upaya Banding, Kasasi, hingga
upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Ketentuan dalam
kontrak ini juga dapat menjadi boomerang kepada BPRS Al-Salaam sendiri
sebagai pihak yang membuat perjanjian apabila dalam penyelesaian
perselisihan, pihak nasabah yang dimenangkan oleh pengadilan.
Dasar hukum pelaksanaan upaya hukum Banding sendiri terdapat
dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang mengatur bahwa Putusan pengadilan tingkat pertama dapat
dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.32 Banding sendiri merupakan suatu bentuk permohonan
pemeriksaan kembali terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
(Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atas putusan tersebut, ke
pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) yang mewilayahi
30 Isi dari masing-masing pasal tersebut yaitu: “Para Pihak sepakat, dan dengan ini
mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama
tersebut sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir”. 31 Upaya Hukum ialah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas atas adanya putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, karena hakim itu juga seorang manusia yang bisa secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan salah mengambil keputusan atau memihak kepada salah satu pihak. Menurut Yahya Harahap, upaya hukum merupakan upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah…, h. 181. 32 Lihat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
60
pengadilan tingkat pertama yang memutus tersebut, dalam tenggang waktu
tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.33
Kemudian dasar hukum upaya hukum Kasasi terdapat dalam Pasal 23
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
mengatur bahwa putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan.34
Kasasi sendiri berarti memecahkan atau membatalkan sehingga suatu
permohonan terhadap putusan pengadilan di bawahnya diterima oleh
Mahkamah Agung, hal itu berarti putusan tersebut dapat dibatalkan oleh
Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan
hukumnya.35
Dalam hal kasasi ini, Mahkamah Agung hanya memeriksa dan
memutuskan ada atau tidaknya pelampauan batas wewenang (transgression),
salah menerapkan hukum atau peraturan yang berlaku (misjuge), atau karena
adanya kelalaian dalam cara mengadili menurut syarat-syarat yang ditentukan
peraturan perundang-undangan (negligent). Tingkat kasasi tidak berwenang
memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki peradilan
tingkat pertama dan tingkat banding.36
Selanjutnya dasar hukum upaya hukum Peninjauan Kembali terdapat
dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat
hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.37 Terhadap
putusan Peninjauan Kembali inilah yang merupakan putusan pada tingkat
33 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah…, h. 183.
34 Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
35 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah…, h. 183.
36 ibid. 37 Lihat Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
61
terakhir sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Agung.38 Berdasarkan pasal tersebut, putusan Peninjauan Kembali
bersifat tingkat pertama dan terakhir. Tidak ada upaya hukum luar biasa lain
yang terbuka untuk mengoreksinya lagi. Tertutup semua upaya hukum, demi
tegaknya kepastian hukum (legal certainty).39 Dengan demikian pada
ketentuan pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung melekat
prinsip, salah dan keliru atau tidak putusan Peninjauan Kembali, harus
dianggap putusan yang benar dan adil sehingga tidak bisa lagi dikoreksi oleh
lembaga mana pun.40
Merujuk kepada Pasal 21 POJK tentang Perlindungan Konsumen,
ditentukan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi
keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan
konsumen.41 Maka isi dari pasal-pasal dalam perjanjian diatas ini telah
menciderai prinsip keadilan yang harus ada dalam suatu perjanjian dengan
konsumen. Dalam Encyclopedia of American Judicial System II dikatakan,
bagi setiap orang yang kalah pada peradilan bawahan harus diberi hak
mengajukan banding/kasasi kepada pengadilan yang lebih tinggi (for every
loser in trial court should have a right to appeal to higher court).42
Dengan adanya pasal tersebut yang menyatakan bahwa putusan
Pengadilan Agama harus diakui sebagai putusan pertama dan terakhir, maka
bank telah melakukan pembatasan hak hukum nasabah dalam upaya mencari
keadilan di mata hukum apabila terjadi sengketa nantinya. Bahkan dengan
38 Pasal 70 ayat (2) menyatakan “Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir”.
39 Sekiranya terhadap putusan Peninjauan Kembali ada dan terbuka lagi upaya hukum, proses
pemeriksaan dan penyelesaian suatu perkara, akan berlanjut berkepanjangan tanpa akhir (endless). M.
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara
Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 449.
40 ibid.
41 Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
42 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung…, h. 234.
62
adanya pasal ini, bank juga akan turut dirugikan mengingat ketentuan dalam
pasal-pasal tersebut telah mengikat kedua belah pihak yang menandatangani
perjanjian. Sehingga apapun isi putusan Pengadilan Agama nantinya, tidak
dapat dilakukan upaya hukum lainnya (Banding, Kasasi, hingga Peninjauan
Kembali) apabila terdapat kerugian untuk salah satu pihak, mengingat adanya
asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak.
F. Kewajiban Memuat Pernyataan dalam SEOJK Perjanjian Baku
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014
tentang Perjanjian Baku, pada bagian III angka 4 menyatakan:
“Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut:
PERJANJIAN INI TELAH DISESUAIKAN DENGAN KETENTUAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERMASUK KETENTUAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN.”
Sedangkan dalam Kontrak Perjanjian Pembiayaan Murabahah dan
Mudharabah Musytarakah pernyataan tersebut belum tercantum di dalam kontrak.
Sementara dalam Kontrak Perjanjian Musyarakah, Musyarakah Mutanaqishah,
dan Ijarah Multijasa telah mencantumkan ketentuan tersebut di bagian akhir
kontrak. Dalam hal ini perlu ada kejelian lebih dari pihak legal drafter BPRS Al-
Salaam agar dapat menyamakan setiap ketentuan umum yang dapat dimasukan di
setiap kontrak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini tidak hanya untuk dicantumkan di dalam kontrak, melainkan
kontrak tersebut juga sudah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
termasuk peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Namun berdasarkan analisa pada
subbab-subbab sebelumnya, kontrak perjanjian yang sudah mencantumkan
ketentuan ini ternyata masih ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan
63
ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian lebih dari pihak legal drafter BPRS
Al-Salaam untuk tidak hanya sekedar mencantumkan ketentuan ini, tetapi juga
harus menyesuakan setiap klausula yang ada di dalam kontrak dengan peraturan
perundang-undangan termasuk peraturan Otoritas Jasa Keuangan agar tidak
merugikan nasabah sebagai konsumen.
64
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan terhadap permasalahan yang
penulis temukan di dalam kontrak-kontrak pembiayaan yang ditawarkan oleh
BPRS Al-Salaam kepada nasabah, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam
kontrak-kontrak pembiayaan tersebut masih ditemukan beberapa klausula yang
dapat merugikan nasabah sebagai konsumen. Seperti klausula mengenai
perubahan harga sewa, berakhirnya masa sewa, biaya admnistrasi, jaminan, dan
penyelesaian perselisihan.
Permasalahan dalam klausula-klausula tersebut dinilai dapat merugikan
konsumen karena belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang sudah diatur oleh
Otoritas Jasa Keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan maupun
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang
Perjanjian Baku. Selain itu, ada pula kewajiban untuk memuat pernyataan sesuai
SEOJK Perjanjian Baku yang belum dicantumkan dalam beberapa kontrak
perjanjian, sedangkan di kontrak lainnya sudah tercantum.
Kemudian ketika ditarik lebih lanjut, permasalahan dalam klausula mengenai
jaminan dan penyelesaian perselisihan juga belum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai permasalahan
tersebut. Diantara peraturan perundang-undangan tersebut antara lain Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Fatwa DSN
Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah.
65
B. Rekomendasi
Setelah penulis melakukan analisa terhadap kontrak-kontrak pembiayaan di
BPRS Al-Salaam, maka saran yang dapat penulis sampaikan kepada pihak BPRS
Al-Salaam maupun nasabah antara lain:
1. Kepada BPRS Al-Salaam, agar dapat selalu melakukan evaluasi terhadap
setiap ketentuan yang dimuat dalam kontrak sehingga dapat menyesuaikan
dengan peraturan yang berlaku demi meminimalisir kerugian yang akan
diterima oleh nasabah sebagai konsumen maupun kerugian yang akan
diterima oleh BPRS Al-Salaam sendiri.
2. Kepada legal drafter BPRS Al-Salaam, diharapkan dapat lebih teliti lagi
dalam memuat setiap ketentuan di dalam kontrak perjanjian agar tidak
terdapat perbedaan ketentuan umum yang dicantumkan dalam setiap kontrak.
3. Kepada nasabah yang akan mengajukan pembiayaan di BPRS Al-Salaam
harus dapat lebih teliti dan memahami setiap ketentuan yang ada di dalam
kontrak perjanjian. Selain itu nasabah juga diharapkan dapat memahami setiap
peraturan terkait kontrak untuk menghindari adanya kerugian apabila terjadi
sengketa di kemudian hari.
66
DAFTAR PUSTAKA
Ais, Chatamarrasjid. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2014.
AK, Syahmin. Hukum Kontrak International. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.
Dalman. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
FORDEBI & ADESy. Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi
dan Bisnis Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Buku Kedua). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Harahap, M. Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Hartini, Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana,
2009.
67
Hernoko, Agus yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Kencana, 2010.
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata.
Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006.
Hutagalung, Sophar Maru. Kontrak Bisnis di ASEAN Pengaruh Sistem Hukum
Common Law dan Civil Law. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Ibrahim, Johannes & Lindawaty Sewu. Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia
Modern. Bandung: PT Refika Aditama, 2004.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Penerjemah Khikmawati
(Kuwais). Jakarta: Amzah, 2009.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Latif, Azharuddin Latif dan Nahrowi. Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum
Positif dan Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, 2012.
Mardani. Hukum Perikatan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.
Miru, Ahmad. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007.
68
Muliadi, Ahmad. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Akademia Pratama, 2013.
Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana, 2008.
Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Sabarguna, Boy S. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Jakarta: UI Press, 2008.
Satrio, J. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 2006.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta,
2001.
Suadi, Amran. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik. Depok:
Kencana, 2017.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2009.
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Suratman dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2015.
Syahmin. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2006.
Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes. Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and
Return. Penerjemah M. Sobirin Asnawi, dkk. Bandung: Nusamedia,
2007.
69
Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
Z, A. Wangsawidjaja. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Gramedia, 2012.
Skripsi dan Jurnal Ilmiah
Agung, Firdaus. “Maqashid Al-Syari’ah Imam Al-Syathibiy dan Relevansinya
Dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.” Skripsi Fakultas Syari’ah,
Universitas Negeri Malang, 2008.
Hakim, Abdurrahman. “Format Akad Kontraktual Lembaga Keuangan Syariah”.
Jurnal Misykat. Vol. 3, No. 01, Juni, 2018.
Indaryanto, Wisnu. “Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal
Legislasi Indonesia. Vol. 9, No. 3, Oktober, 2012.
Rasjad, Sandi F. S. “Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Perbankan”. Jurnal Lex et Societis. Vol. III, No. 3, April, 2015.
Samsul, Inosentius. “Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Pasca Pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”. Jurnal Negara Hukum. Vol. 4, No. 2,
November, 2013.
Satory, Agus. “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis
Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia”.
Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 2, No. 2, 2015.
Sitompul, Zulkarnain. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal
Legislasi Indonesia. Vol. 9, No. 3, Oktober, 2012.
70
Suwandono, Agus. “Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Dikaitkan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Perspektif. Vol. XXI, No.
1, Januari, 2016.
Wonok, David Y. “Perlindungan hukum atas Hak-Hak Nasabah Sebagai Konsumen
Pengguna Jasa Bank Terhadap Risiko yang Timbul dalam Penyimpangan
Dana”. Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi. Vol. 1, No. 2, April-Juni,
2013.
Lain-Lain
www.bprsalsalaam.co.id
www.hajij.com
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility.
Fatwa DSN Nomor 56/DSN-MUI/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujrah pada
Lembaga Keuangan Syariah.
Fatwa DSN Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
71
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian
Baku.