Upload
duongcong
View
240
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH KARYA
ACHMAD CHODJIM; APLIKASI METODOLOGI
KAJIAN TAFSIR ISLAH GUSMIAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh:
Irwan NIM: 102034024814
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH KARYA
ACHMAD CHODJIM; APLIKASI METODOLOGI
KAJIAN TAFSIR ISLAH GUSMIAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh:
Irwan NIM: 102034024814
Di bawah Bimbingan
Dr. M. Suryadinata, M.A. NIP: 19600908 198903 1 005
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
ii
A B S T R A K
Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian
Upaya menafsirkan al-Quran adalah tugas setiap generasi. Oleh sebab itu,
perlu disadari bahwa hasil interpretasi dari tiap-tiap generasi tidak pernah sampai pada level absolut tapi hanya pada derajat relatif. Karena, bagaimanapun penerimaan manusia terhadap wahyu verbal-tertulis, berbeda dari waktu-waktu bergantung pada tingkat nalar masing-masing penafsir dan faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya.
Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Quran terus berkembangan hingga saat ini. Tentu ini fenomena yang sangat membanggakan mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tidak hanya banyak dari sisi kuantitas, karya tafsir al-Quran di Indonesia telah memperlihatkan keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan.
Sayangnya, jumlah karya tafsir yang banyak itu tidak dibarengi dengan maraknya penelitian ilmiah, khususnya, oleh mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Jakarta. Data yang penulis dapat, hanya ada sekitar 16 judul skripsi yang membahas metodologi sebuah karya tafsir. Dan hanya setengahnya yang membahas metodologi tafsir dari karya tafsir yang ditulis oleh penafsir dalam negeri.
Untuk memberikan semangat positif kepada mahasiswa Tafsir-Hadis yang lain, maka penulis melakukan penelitian ilmiah terhadap tafsir Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surat Pembuka karya Achmad Chodjim. Yang penulis bidik dari Alfatihah, tentu saja aspek metodologi tafsirnya.
Sosok Achmad Chodjim memang masih asing bagi komunitas mahasiswa Tafsir-Hadis. Pendidikan formalnya bukan dari IAIN atau lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Profesinya juga tidak bersentuhan langsung dengan teori-teori penafsiran al-Quran atau sebagai dosen studi agama. Ia sekarang adalah mantan karyawan di perusahaan asing dan seorang motivator. Kalaupun ada kegiataan yang berkaitan dengan isu-isu keagamaan, ia dikenal sebagai orang yang getol memasarkan pemikiran Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
Layaknya HB. Jassin dan Dawam Rahardjo, Chodjim juga mendapat gugatan ketika meluncurkan karyanya tersebut. Bagi Salman Harun, karyanya itu bukan karya tafsir, dan itu artinya dia bukan penafsir. Meski demikian, menurut Chodjim, Allah tidak pernah memberikan hak istimewa kepada siapapun untuk menafsirkan al-Quran. “Kitab Suci itu terbuka bagi siapa saja yang ingin memahaminya”, tegasnya.
Dalam meneliti metodologi tafsir Alfatihah, penulis mengikuti rumusan yang dibuat oleh Islah Gusmian, sarjana Tafsir-Hadis UIN Jogjakarta. Dengan rumusan Gusmian, metodologi kajian tafsir dilihat dari dua sisi, yakni sisi teknis penulisan dan sisi hermeneutiknya.
iii
LEMBAR PENGESAHAN
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim;
Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" diajukan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Juni
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 17 Juli 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Pembimbing Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S. Th. I NIP: 19600908 198903 1 005
Anggota,
Dr. Yusuf Rahman, MA Drs. Zainal Arifin Zamzami, MA NIP: 19670213 199203 1 002
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
Ç tidak dilambangkan Ø Th
È B Ù Zh
Ê T Ú '
Ë S Û Gh
Ì J Ý F
Í H Þ Q
Î Kh ß K
Ï D á L
Ð Dz ã M
Ñ R ä N
Ò Z æ W
Ó S å H
Ô Sy Á `
Õ Sh í Y
Ö Dh ÜÉ Ah 2. Syiddah Ditulis Rangkap
ãÝÓøÑæä ditulis mufassirûn
ÑÈø ditulis rabb
3. Vokal Panjang
Tanda Baca Keterangan Ditulis
ÜÇó Fathah + alif Â
v
Üöí Kasroh + ya mati Î
Üõæ Dhammah + waw Û 4. Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan
Apostrof
ÃÃäÊã ditulis a`antum
ÃÚÏøÊ ditulis u'iddat 5. Kata Sandang
Bila diikuti huruf "Qamariyyah" ditulis al-
ÇáÚÈÏ ditulis al-'abd
Bila diikuti huruf "Syamsyiyyah" ditulis dengan menghilangkan huruf L
dan menggandakan huruf "Syamsyiyyah" yang mengikutinya
ÇáÑøÓæá ditulis ar-rasûl
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT. Tuhan yang selalu
mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya. Dialah ’Tangan
Gaib’ yang selalu ‘menyapa’ dan terus ‘menyemangati’ penulis kala kelelahan
mental dan finansial dalam perampungan tugas akhir skripsi ini. Atas pertolongan-
Nya pula, penulis berhasil meraih gelar sarjana strata satu di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salawat serta salam seiring kerinduan, senantiasa tercurah-limpah kepada
baginda Nabi Muhammad saw. Beliaulah mata air kehidupan dan teladan
sempurna hingga akhir zaman. Motivasi-motivasinya yang selalu menganjurkan
pengikutnya untuk selalu menuntut ilmu, bagaimanapun telah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam kehidupan penulis.
Penulis menyadari betul, bahwa skripsi yang berjudul "Analisis
Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim: Aplikasi Metodologi
Kajian Tafsir Islah Gusmian" ini tidak akan rampung dengan daya yang penulis
miliki sendiri. Banyak sosok, kolega, orang-orang spesial baik langsung maupun
tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan segala kerendahan
hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Dr. Bustamin, M.S.i.,
selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.
Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A., selaku pembimbing yang telah
memberikan kontribusi bermakna dalam menyelesaikan skirpsi ini. Bersama
beliau, segala proses, perubahan, dan pencapaian adalah pelajaran yang sangat
vii
berharga.
Seluruh dosen, staff, dan pegawai Fakultas Ushuluddin. Kebaikan dan
kemurahhatian mereka secara sadar telah mendorong penulis untuk tidak surut
sebelum menang serta menantang untuk giat membaca dan tidak pernah puas
berwacana.
Bapak Achmad Chodjim untuk wawancara dan diskusinya. Ambisi beliau
untuk terus menggali makna yang terdapat dalam al-Quran patut penulis apresiasi.
Tugas mulia itu sebenarnya secara formal bukanlah tanggung jawabnya,
melainkan tanggung jawab masyarakat Tafsir Hadis, termasuk penulis. Juga untuk
Islah Gusmian yang telah menunjukkan kepada penulis dan peminat kajian tafsir
sebuah buku tentang metodologi kajian tafsir yang inovatif.
Orangtua, Amrizal dan Nurhasni, yang selalu mengingatkan penulis untuk
mengakhiri masa kuliah dengan husn al-khatimah. Salut untuk keduanya karena
selalu menyampaikan hal itu dengan bahasa pertemanan, layaknya dari seseorang
kepada temannya. Kehangatan inilah yang membuat penulis dengan santai
merampungkan karya ini tanpa ada tekanan moril tapi menyiratkan tanggung
jawab penuh. Semoga karya ini menjadi bukti buat keduanya bahwa penulis selalu
mendengar apa yang keduanya nasihatkan.
Abang-abang dan adik perempuan penulis: Joni Amrizal, Andi Amrizal,
Ifan Amrizal, Aan Amrizal, serta Karisma Yuanita. Meski dunia ini kadang begitu
membosankan bersama kalian tapi ikatan darah yang mengalir dalam diri kita
abadi. Tidak sopan bila penulis melupankan kakak ipar: Ka’ Anim, Ka’ Nela, dan
Ka’ Dona serta dua keponakan penulis: Nazwa dan Zakwan.
Teman-teman yang sampai saat ini masih mewarnai kehidupan pribadi dan
viii
intelektual penulis: Sahal Mubarok, Agus Rusli, Bagus Irawan, Abdul Majid, Tri
Iswahyudi, Hasiolan, Sahro, Syamsul Munir, dan lain-lain. Tanpa Arrisalah
mungkin kita tidak akan bertemu. Doakan agar presiden kalian ini bisa mendengar
aspirasi kalian.
Keluarga Madina: Pak Haidar Bagir, Mas Putut Widjanarko, Mas Farid
Gaban, Bang Ade Armando, Kang Hikmat Darmawan, Warsa Tarsono, Achmad
Rifki, M. Husnil, dan Rika Febriani. Bersama kalian, penulis bisa
menggambarkan dunia dalam aksara dan kata.
Teman-teman kelas TH-A/2002: Rifki, Asok, Yos, Umam, Away, Gonggo,
Husni, Iqbal, dan Tita atas buku-buku dan disket mininya. Teman-teman HMI
cabang Ciputat: Idris Madura, Opan, Asyari, Elban, Dodi, Azwar, Isnur, Su’udi,
Fikri, dan lain-lain.
Zya Fatimah Baraqbah, Gusti Sari Nadia Ulfah, M. Ja’far, Nanang
Sunandar, Tata Septayuda, dan Syofwatillah Mohzaib.
Sebelum mengakhiri, penulis ingin mengutip pantun kuno Minangkabau.
Kayu gadang di tangah padang. Bakeh bataduah hari hujan. Bakeh
balinduang hari paneh. Ureknyo buliah bakeh baselo. Batangnyo buliah bakeh
basanda.
Pohon besar di tengah padang. Untuk berteduh dari hujan. Untuk
berlindung hari panas. Akarnya boleh untuk bersila. Batangnya boleh untuk
bersandar.
Jakarta, 10 Mei 2010
Irwan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. .iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... . v
KATA PENGANTAR ..........................................................................................vii
DAFTAR ISI......................................................................................................... .x
DAFTAR TABEL.................................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................12
C. Metodologi Penelitian ....................................................................13
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian....................................................16
E. Sistematika Penulisan .....................................................................16
BAB II METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN
A. Pengertian Metodologi Tafsir........................................................17
B. Sejarah Perkembangan Tafsir........................................................21
C. Pemetaan Metodologi Tafsir .........................................................24
BAB III MENGENAL ACHMAD CHODJIM DAN
x
MENDALAMI ALFATIHAH
A. Achmad Chodjim: .........................................................................37
1.Biografi ......................................................................................37
2. Karya-karya Intelektual.............................................................38
B. Alfatihah ........................................................................................39
1. Konteks Sosial...........................................................................39
2. Masa Penulisan dan Penerbitan.................................................40
3. Modal Penafsiran ......................................................................41
BAB IV ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH
A. Aspek Teknis ............................................................................45
B. Aspek Hermeneutis...................................................................58
C. Catatan Kritis ...........................................................................81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................84
B. Saran................................................................................... … 86
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 88
xi
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakter Tafsir Menurut M. Yunan Yusuf .............................................32
Tabel 2 Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan...............................................33
Tabel 3 Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian ................................................34
Tabel 4 Sistematika Penyajian Alfatihah ..............................................................47
Tabel 5 Bentuk Penyajian Alfatihah .....................................................................49
Tabel 6 Gaya Penulisan Alfatihah.........................................................................51
Tabel 7 Bentuk Penulisan Alfatihah......................................................................52
Tabel 8 Sifat Mufasir Alfatihah ............................................................................53
Tabel 9 Asal-usul Keilmuan Mufasir Alfatihah ....................................................54
Tabel 10 Asal-usul Alfatihah ................................................................................55
Tabel 11 Sumber-sumber Rujukan Alfatihah........................................................57
Tabel 12 Metode Alfatihah ...................................................................................73
Tabel 13 Nuansa Alfatihah....................................................................................78
Tabel 14 Pendekatan Alfatihah .............................................................................81
Tabel 16 Metodologi Tafsir Alfatihah ..................................................................85
DAFTAR LAMPIRAN
Transkrip Wawancara ........................................................................................... I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi kalangan Muslim, al-Quran adalah Kitab Suci sekaligus petunjuk
(huda). Oleh sebab itu kajian-kajian yang dilakukan kalangan Muslim mengenai
al-Quran sebagian besar merupakan kajian dalam rangka mengungkap makna teks
al-Quran (baca: tafsir).1
Dengan kerangka al-Quran adalah petunjuk, para sarjana Muslim lalu
merumuskan kesepakatan bersama tentang al-Quran: bahwa al-Quran shảlih li kuli
zamản wa makản (al-Quran relevan di setiap zaman dan tempat). Artinya, al-
Quran dapat dipahami dengan baik jika penafsir kitab suci mampu
mendialogkannya secara kritis, dinamis, dan proporsional. Diktum ini setidaknya
memberi ruang bagi berbagai pemahaman al-Quran yang akan selalu berkembang
seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia.2
Atas dasar proporsisi di atas, maka wajar Nasr Hamid Abu Zayd menyebut
peradaban Islam sebagai peradaban teks. Mengingat peradaban Islam berporos
pada ‘Narasi Besar’ bernama al-Quran.3 Dari ’Narasi’ ini lahir ribuan karya
intelektual yang ditulis para sarjana Muslim, baik klasik maupun mutakhir,
sebagai bentuk persembahan pemikiran dan solusi pada konteksnya serta sebagai
1 Ihsan Ali-Fauzi, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis atas Karya-
karya dalam Bahasa Arab” (Jurnal UQ, II. 1990), h. 12. 2 Very Verdiansyah, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan
(Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004), h. 3.
3 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 1.
1
rekapitulasi nilai-nilai agama dan untuk menegaskan kembali pemahaman Islam
standar bagi para pengikutnya.4
Semula usaha menafsirkan al-Quran diserahkan sepenuhnya kepada Nabi
sebagai penafsir tunggal. Tapi setelah kematian beliau, proses penafsiran al-Quran
jatuh ke tangan para sahabat. Setidaknya ada 10 sahabat yang mendapat anugerah
berat itu. Seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan,
Ali ibn Abu Talib, Abdullah ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zait ibn
Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibn Zubair.5
Bila ditelisik dari sisi sejarah, keberhasilan Islam sebagai pandangan hidup
(world view) masyarakat Arab pada abad VII M yang melampaui agama-agama
pendahulunya, Yahudi dan Kristen serta kepercayaan lokal kaum pagan (pribumi)
tak bisa dipisahkan dari peran tafsir kontekstual-liberatif Nabi.6 Mengingat betapa
pentingnya posisi tafsir al-Quran dalam menentukan wajah Islam sebagai penebar
kasih bagi semesta, maka proses dan tradisi ini harus dipertahankan untuk selalu
terus-menerus, berkembang, dan kaji-ulang sampai semua metode keilmuan yang
dibangun manusia betul-betul bisa menjaring seluruh makna yang terkandung
dalam al-Quran. Sebab secara inheren, al-Quran selalu menebarkan sayap
maknanya pada setiap pembaca dan kondisi.7
4 Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” Jurnal Studia
Islamika 2, No.2 (1995), h. 180. Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).
5 Ahli tafsir di kalangan sahabat sebenarnya banyak jumlahnya tapi yang paling terkenal 10 sahabat di atas. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 411.
6 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 298. 7 Lihat M. Quraisy Shihab, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001), h. 94. Schoun, seperti yang dikutip A’la, menambahkan bahwa keunikan al-Quran karena bahasa al-Quran tidak disusun dalam bentuk pernyataan doktrinal melainkan dalam bentuk narasi historis dan eskatologis. Abd A’la, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000), h. 122.
2
Karena upaya pengakraban terhadap al-Quran dengan berbagai metode
dan pendekatannya adalah tugas setiap generasi, harus diingat bahwa hasil
interpretasi tidak pernah sampai pada level absolut dan benar secara mutlak.
Sebaliknya hasil pemahaman tersebut hanya sampai pada derajat relatif.
Bagaimanapun resepsi manusia terhadap wahyu verbal tertulis berbeda dari waktu
ke waktu, sesuai dengan tingkat nalar dan faktor-faktor ekstrenal yang turut
mempengaruhinya.8
Dalam konteks Indonesia, sarjana Muslim Indonesia cukup produktif
dalam mereproduksi makna al-Quran dan membukukannya dalam sebuah karya.9
Tapi sejauh ini penulis belum menemukan tulisan yang merekapitulasi berapa
persisnya jumlah karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia.10
Sejarah mencatat ada sebuah penggalan karya tafsir surat al-Kahfi (18)
dalam bahasa Melayu. Manuskrip itu tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa
ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Bahasanya sangat fasih dan idiomatis.
Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Quran yang telah terbangun dengan
baik, dan yang–tidak kalah dari terjemahan Hamzah Fansuri—telah mencapai
standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat
dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan Tafsir al-Khazin (w. 1340)
8 Pengantar Nur Kholis Setiawan,dalam Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu
Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. xiv. 9 Aktivitas penafsiran al-Quran di Indonesia, setidaknya, bisa dibagi menjadi tiga periode.
Periode pertama atau yang disebut periode klasik dimulai dari abad 17 sampai 19 M. Periode kedua dimulai dari awal abad 20 sampai dekade 80-an. Terakhir periode kontemporer yang dimulai dari dekade 80-an sampai sekarang. Bidik Lisma Dyawati Fuaida, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).
10 Dalam sebuah makalah yang penulis temukan di internet, dikatakan bahwa Nasruddin Baidan mencatat ada sekitar 1000 karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Tapi penulis tidak menemukan informasi ini langsung dalam buku-buku yang ditulis Nasruddin Baidan.
3
atas surat al-Kahfi. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surat itu
dam mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri.11
Sejarah juga mencatat nama Abd al-Rauf al-Singkel (1024-1105 H/1615-
1693 M) sebagai sarjana Nusantara yang menyusun karya tafsir lengkap 30 juz
dan diberi judul Tarjuman al-Mustafid. Karya ini ditulis kala dirinya diangkat
sebagai mufti pada masa pemerintahan seorang sultanah dari kesultanan Aceh
bernama Kamalat al-Din (berkuasa 1098-1109 H/1688-1699 M). Karya ini lahir
sebagai tanggapan terhadap gerakan sufisme wujudiyyah yang dipimpin Hamzah
Fansuri (w.1607) dan muridnya Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) vis-a-vis
gerakan ortodoksi yang dipimpin Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji al-
Humaidi al-‘Aidarusi atau yang biasa dikenal dengan al-Raniri (w.1658).12
Pada masa itu tidak ada karya tafsir yang populer dari sarjana Muslim
Nusantara kecuali karya an-Nawawi al-Bantani (1813-1897). al-Bantani adalah
salah seorang ulama yang menonjol pada abad ke-19 dan telah menghasilkan lebih
dari 100 karya dalam pelbagai bidang ilmu keislaman. Seperti tafsir, fikih,
ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, sejarah Nabi, tata bahasa Arab, hadis, dan
akhlak. Pada 1886, ia menyelesaikan karya monumentalnya mengenai tafsir
dengan judul Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir dalam bahasa Arab setebal
985 halaman yang terdiri dari dua jilid. Mazhab tafsir yang dirujuknya bercorak
11 Anthony H. Johns, “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian
Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 464. Untuk melihat puisi dan prosa Hamzah Fansuri bidik Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000); Syed M. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970); Didin Syafruddin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV), h. 53-57.
12 Oman Fathurahman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,” Kompas, 01 Januari 2000, h. 12; Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), h. 110-133.
4
Suni sekalipun di beberapa bagian merujuk pada karya tafsir dari kalangan
Muktazilah, terutama karya az-Zamakhsyari.13
Belakangan muncul nama Howard M. Federspiel. Indonesianis yang
semula pemerhati dinamika politik Indonesia tapi kemudian tertarik mengamati
literatur-literatur terkait studi al-Quran. Ia mencatat beberapa literatur tentang
ulum al-Quran (55 buah), terjemahan al-Quran (69), kutipan al-Quran (29-30),
peranan al-Quran (27), bagaimana cara membaca al-Quran (91-92), dan indeks
al-Quran (74).14
Beberapa karya tafsir yang dicatat Federspiel antara lain: [1] Hamka,
Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) 12 jilid. [2] H. Oemar Bakry,
Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983). [3] Zainuddin Hamidy dan Fachruddin
Hs., Tafsir al-Quran (Jakarta: Widjaya, 1959). [4] Ahmad Hassan, Al-Furqan:
Tafsir Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). [5] A. Halim Hasan,
Zainal Arifin Abas, dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Quranul Karim (Kuala
Lumpur: Pustaka Antara, 1969) 2 jilid. Pada 1955 diterbitkan lagi di Medan. [6]
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) 2 jilid.
[7] Bactiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin
(Bandung: F.A. Sumatera, 1978). [8] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Quran,15 Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1975)
13 Didin Syafruddin, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei
Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV, h. 54. 14 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 100-248. Lihat juga Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” h. 180.
15 Dua karya (nomor 8 dan 9) yang ditulis bersama-sama itu didanai oleh pemerintah dan menarik sekelompok ulama, yang dikenal akrab oleh para pejabat Departemen Agama. Sebagian besar dari mereka memiliki hubungan dengan IAIN-IAIN. Mereka adalah Bustami A. Gani (ketua), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (wakil ketua), Kamal Muhtar (seketaris), Ghazali Thaib, Syukri Ghazali, A. Mukti Ali, M. Toha Yahya Umar, Amin Nashir, Timur Jailani, Ibrahim Husien,
5
11 jilid. [9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahannya (Jakarta, 1971). Sebelumnya pernah dicetak pada 1967. [10]
H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1973).
Selain menginventarisasi, Federspiel juga mengelaborasi masing-masing
karya tafsir dan menjelaskan perbedaan karya-karya tafsir generasi tertentu
dengan karya tafsir pada generasi setelahnya. Misalnya, karya tafsir nomor 2, 3, 4,
7, dan 10 adalah karya tafsir generasi kedua. Genarasi ini dimulai pada era 1960-
1970. Generasi ini merupakan penyempurnaan atas upaya generasi pertama
(1900-an sampai 1960-an). Generasi pertama oleh Federspiel ditandai dengan
adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah. Karya tafsir pada
generasi kedua biasanya memiliki beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata
per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana.16 Sedangkan karya
generasi ketiga diwakili oleh karya nomor 1, 5, dan 6. Karya pada generasi ketiga
bertujuan untuk memahami kandungan al-Quran secara komprehensif. Oleh
karena itu berisi materi tentang teks dan metodologi dalam menganalisa tafsir.17
M. Yunan Yusuf dalam artikelnya mencatat beberapa karya tafsir yang
beredar pada abad 20. Karya-karya tafsir yang disebutkannya sebagian besar telah
disebutkan oleh Federspiel. Seperti Tafsir Qur’an Karim-nya Mahmud Yunus, Al-
Furqon Tafsir Qur’an-nya A. Hassan, dan lain-lain. Dalam artikelnya tersebut,
A. Musaddad, Mukhyar Yahya, A. Soenaryo, Ali Maksum, Musyairi Majdi, Sanusi Latif, dan Abdur Rahim. Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 106.
16 Kategorisasi Federspiel memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun dari segi tahun pemilahannya itu tampak kacau. Ia memasukan tiga karya tafsir yang menurutnya representatif untuk mewakili generasi kedua. Padahal karya itu telah muncul pada pertengahan dan akhir tahun 1950-an, yang dalam kotegorisasinya masuk dalam generasi pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju: Bandung, 2003), h. 65.
17 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 129 dan 137. Untuk melihat literature-literatur yang diteliti Federspiel selain karya-karya di atas, bidik halaman 162-164, 224 dan 260.
6
Yusuf membedakan masing-masing karya tafsir dari sisi metode penafsiran,
tehnik penafsiran, dan aliran penafsirannya. Di akhir artikel Yusuf menyimpulkan
bahwa sebagian besar karya tafsir yang ia teliti ternyata masih beraliran
tradisional.18
Islah Gusmian, untuk penelitian tesisnya, mengumpulkan dan mencatat 24
karya tafsir dalam periode 1990-an. Karya-karya itu di antaranya: [1] Konsep
Kufur dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu, [2] Konsep Perbuatan
Manusia Menurut al-Quran, Suatu Kajian Tafsir Tematis (Jakarta: Bulan Bintang,
1992) karya Jalaluddin Rakhmat, [3] Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-
Quran (Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Musa Asy’ari, dan lain-lain.19 Dalam
penelitiannya tersebut, Gusmian melihat ada keragaman dari sisi teknis penulisan
tafsir dan metodologi yang digunakan. Menurutnya, itu merupakan fenomena
yang memperlihatkan adanya tren baru dalam sejarah penulisan tafsir pada
dasawarsa 1990-an.
M. Affifuddin, untuk penelitian skrisinya, mencata sekitar 26 kitab tafsir
yang berkonsentrasi hanya pada surat al-Fatihah. Misalnya, [1] Kandungan Surat
al-Fatihah: Tinjauan dari Sudut Kebudayaan, Agama, Politik, dan Sastra karya
Bahrum Rangkuti, [2] Rahasia Ummul al-Quran atau Tafsir Surat al-Fatihah
karya A. Bahri, [3] Samudera al-Fatihah, Mahkota Tuntunan Ilahi: Pesona al-
Fatihah karya M. Quraish Shihab, [4] Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah karya
18 Selengkapnya bidik M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad
Keduapuluh.” Jurnal Ulumul Quran 3, No. 4 (1992), h. 50. 19 Selengkapnya bidik Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 69.
7
Jalaluddin Rakhmat; [5] dan Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surah
Pembuka karya Ahmad Chodjim.20
Karya-karya tafsir yang dicatat Howard. M. Federspiel, Yunan Yusuf,
Islah Gusmian, dan M. Affifuddin jangan lantas dikumulasikan dan segitulah
jumlahnya. Sebab, ada beberapa karya tafsir yang dicatat oleh lebih dari satu
orang. Seperti Tafsir Sufi Surat al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat, yang tidak
hanya dicatat oleh Islah Gusmian tapi juga dicatat oleh M. Affifuddin.
Dari sekian banyak karya tafsir yang diproduksi sarjana Muslim Indonesia,
sayangnya masih sedikit yang dijadikan objek kajian penelitian ilmiah dalam
bentuk skripsi oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta, khususnya pembahasan
tentang analisis metodologi karya tafsir. Data yang penulis peroleh dari katalog
digital skripsi di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Jakarta, ada
sekitar 231 judul skripsi21 yang membahas tentang tafsir.22 Dari 231 judul skripsi,
penulis mencatat hanya ada 16 judul skripsi yang membahas tentang metodologi
karya tafsir. Delapan judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya dalam
negeri23 dan 8 judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya non-
Indonesia.24
20 M. Affifuddin, “Apresiasi Spiritual Q.S al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya
Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 40. Bidik juga Izza Rohman Nahrowi, “Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).
21 Penulis meragukan jumlah tersebut. Sebab ada beberapa judul skripsi yang tertulis lebih dari satu kali. Di samping itu, jumlah tersebut tidak melulu berasal dari skripsi mahasiswa Tafsir hadis.
22 Tema tafsir yang dibahas oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta secara umum adalah: konsep tertentu yang ‘dicomot’ dari sebuah karya tafsir, komparasi suatu konsep tertentu dari dua karya tafsir yang berbeda, melihat suatu fenomena tertentu dengan merujuk kepada sebuah karya tafsir, elaborasi metodologi penafsiran seorang tokoh, dan studi tokoh dengan karya tafsirnya.
23 [1] Tita Rodhiyatan Mardhiyyah ”Metodologi Tafsir Yayasan Al-Mu’min; Telaah Metode Mawdhû’î dan Corak Isyârî dalam Buku ’Kabar Gemberi dan Peringatan tentang Penyembahan Kita kepada Allah SWT,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
8
Untuk menyemarakan studi analisis metodologi karya tafsir, penulis ingin
berpartisipasi dalam pembahasan tersebut terutama karya tafsir yang ditulis
sarjana Muslim Indonesia. Karya tafsir yang akan penulis telaah dalam penelitian
ini adalah tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim.25
Karya tafsir yang diterbitkan Serambi pada Maret 2008 itu adalah karya
national bestseller dengan tebal 357 halaman.26 Dalam pembukaan karya
tafsirnya, Chodjim menulis27:
”Surah ini dibaca untuk membuka mata batin kita. Dengan memahami dan
menghayati surah ini diharapkan akan terbuka mata hati agar kita menyadari
kandungan Kitab Allah, baik Kitab-kitab-Nya yang tertulis maupun yang tidak Islam Negeri Jakarta, 2008). [2] Rifka Rahma Wardani ”Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial Antar-umat Beragama karya Majlis Tarjih P.P. Muhammadiyah: Sebuah Telaah Analitis tentang Metodologi Penafsiran al-Quran”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [3] Abd. Gofur ”Metode dan Corak Tafsir al-Hijri: Kajian Analitis Karya Didin Hafiduddin”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [4] Hernizal Saidi Harahap ”Studi Kritis Metodologi Tafsir Rahmat”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [5] Mahnawil ”Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan: Analisa Kritis”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ahmad Zaeni ”Mengenal Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel: Analisis terhadap Sumber, Metode, dan Corak Tafsir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008). [7] Cucu Surahman ”Pola Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (Pola Penafsiran Surah al-Baqarah)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [8] Rena Yuniar, Analisa Metodologi Tafsir Pasé: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz 'Amma: Paradigma Baru (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin & Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
24 [1] Liza Khadijah “Metode dan Corak Penafsiran al-Quran dalam Tafsir Ad-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma'tsur karya Jalaluddin Suyuti”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [2] Syahrullah Iskandar “Manhaj Fakhruddin Arozi fi Tafsir al-Fatihah: Dirasat Tahliliyah li Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [3] Achmad Rizal “Pemikiran Ibn Taimiyah dalam Tafsir: Telaah Kritis terhadap Metode Tafsir al-Kabir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005). [4] Yusuf Iskandar “Tafsir Ayat al-Ahkam: Studi Atas Metode Tafsir Ayat al-Ahkam karya al-Shabuni”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [5] Lalu M. Iqbal “Metodologi Penafsiran al-Quran Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsir al-Sya’rawi”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ihat Malihatun ”Metode Penafsiran Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [8] M. Rizal “Metode Penafsiran Abdurrahman al-Sa’di dalam Kitab Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005).
25 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru] (Jakarta: Serambi, 2008).
26 Buku ini pertama kali cetak pada Februari 2002. Saat itu, buku ini berjudul Jalan Pencerahan; Menyelami Kandungan Samudra al-Fatihah.
27 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 6.
9
tertulis, yaitu kitab yang terbentang di semesta alam, termasuk kitab yang ada
dalam diri kita”.
Sebagai gambaran umum Alfatihah, Chodjim menafsirkan ayat per ayat
secara berurutan.28 Mulai dari Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha
Pemurah, Raja Hari al-Din, Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus,
Kenikmatan Surgawi, Orang yang Dimurkai, dan terakhir Amin. Masing-masing
ayat tadi terpisah penafsirannya bab per bab.
Di kata pengantar karya ini Chodjim dengan bahasa diplomatis menulis
bahwa karyanya itu bukan karya tafsir. Menurutnya, secara kapasitas dia tidak
memiliki otoritas untuk menyatakan dirinya sebagai ahli tafsir.29 Tengok saja latar
belakang pendidikan formalnya. Pada 1987 ia meraih gelar sarjana pertanian
(agronomi) dari Institut Pertanian Bogor. Lalu pada 1996, ia meraih gelar magister
Manajemen di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya, Jakarta.
Di Indonesia bila aktivitas penafsiran al-Quran dilakukan oleh seseorang
yang secara keilmuan dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan
penafsiran selalu dipersoalkan. Sebut saja usaha yang dilakukan HB. Jassin
dengan karyanya Bacaan Mulia30 dan Dawan Rahardjo dengan Ensiklopedi A-
Qur’an di jurnal Ulumul Qur’an.31 Begitupun yang dialami Achmad Chodjim.
Dalam sebuah forum diskusi di IAIN Jakarta pada 2000, Salman Harun, mantan
Dekan fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN, Jakarta, dengan tegas berkata
28 Lihat daftar isi buku Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 7. 29 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11. 30 Untuk mengetahui sosok HB. Jasin bidik ‘suplemen’, Ulumul Quran 5, vol. IV (1993),
h. 62. Lalu untuk melihat ‘dosa kedua’ Jassin setelah Bacaan Mulia bidik D. Sirojuddin AR, “Al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul Quran 5, vol. IV (1993), h. 60.
31 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002), h. xx. Bidik juga Nasaruddin Umar, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang Ensiklopedi Al-Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 487.
10
kepada Achmad Chodjim: ”Tafsir itu bukan wilayah Anda, sebaiknya Anda tidak
masuk ke ranah tersebut”.32
Meski begitu, menurutnya, tidak seorangpun berhak mengklaim dirinya
punya hak istimewa dalam menafsirkan al-Quran. Al-Quran akan membuka
dirinya bagi siapapun yang ingin membaca dan memahami kandungan dalam
dirinya.33
Singkat kata, ada beberapa alasan yang mendorong penulis memilih tema
penelitian ini. Pertama, sarjana Muslim Indonesia tidak kalah produktifnya dalam
menghasilkan karya tafsir. Terbukti telah hadir beragam karya tafsir dari generasi
awal hingga saat ini.34 Tapi ada kesenjangan antara banyaknya produk tafsir yang
ditulis para sarjana Muslim Indonesia dengan sedikitnya penelitian ilmiah
terhadap produk tafsir tersebut, khususnya penelitian yang dilakukan para
mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kedua, penulis Alfatihah adalah bukan orang dari lingkungan pelajar ilmu
agama dan lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Tentu akan sangat menarik untuk
meneliti karya yang ditulis ’orang-luar’ dari sisi metode tafsir yang digunakan dan
sumber-sumber yang dirujuknya. Poin ini sekaligus menentukan apakah nantinya
penulis akan sepakat dengan Salman Harun yang menyangsikan bahwa karya
yang ditulis Achmad Chodjim itu adalah tafsir atau sebaliknya.
Ketiga, kebetulan Islah Gusmian, selain mencatat beberapa karya tafsir
seperti yang disebut di atas, juga membuat rumusan metodologi kajian atas karya
32 Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim, Senin 15 Februari 2010 di kediamannya,
Pamulang. 33 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11. 34 Untuk melihat kecenderungan umum kajian tafsir di Indonesia, bidik Kusmana,
“Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari Kemungkinan Penggunaan Analisa Metodologi ‘Barat’.” Jurnal refleksi 4, No. 3 (2002), h. 63.
11
tafsir. Rumusan ini akan sangat mubazir kalau tidak dimanfaatkan untuk
meneropong karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim, khususnya dari
Indonesia.
Akhirnya untuk mengisi kelangkaan tersebut, penulis memberanikan diri
melakukan penelitian tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim terutama dari
sisi metodologinya. Dengan mengucap bismillah sambil berharap kepada-Nya
agar selalu diberi kemudahan, penulis berniat mengajukan penelitian dalam
bingkai skripsi dengan judul: ”Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah karya
Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa fokus penelitian ini
adalah pada metodologinya, yakni bagaimana melihat tafsir Alfatihah karya
Achmad Chodjim dari sisi metodologinya. Untuk menopang fokus penelitian
tersebut, penulis menggunakan rumusan metodologi kajian atas beberapa karya
tafsir yang dibuat Islah Gusmian.
Ada pertimbangan tersendiri mengapa penulis memilih rumusan Islah
Gusmian. Pertama, sependek pengetahuan penulis, rumusan Islah Gusmian
adalah rumusan mutakhir yang dibuat untuk menganalisa metodologi sebuh karya
tafsir, khususnya tafsir dalam negeri.35
Kedua, Rumusan yang disusun Islah Gusmian lebih detail dibanding
rumusan yang lain. Rumusan Farmawi, misalnya, (tahlîlî, ijmâlî, muqarân, dan
maudû’î)—yang sering dikutip mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta baik dalam
35 Bidik bab III halaman 31 untuk melihat perkembangan perumusan metodologi kajian
karya tafsir oleh para perumus dari dalam negeri.
12
makalah maupun skripsi—tidak menjelaskan secara rinci hal-hal menarik yang
terdapat dalam sebuah karya tafsir. Seperti bentuk penulisan tafsir, gaya bahasa
yang digunakan, atau asal-usul tafsir.
Ketiga, Rumusan Farmawi harus diakui memang lebih maju dari rumusan
ulama abad ke-9 sampai abad 13 H yang membagi metodologi tafsir dalam tiga
kelompok al-Tafsir bi al-Ma’tsûr, al-Tafsir bi al-Ra’yî, dan al-Tafsir bi al-Isyârî.
Tapi rumusan yang dibuat Farmawi tidak memberikan pemetaan yang tegas antara
wilayah metode dan pendekatan tafsir serta teknis penulisan tafsir.36
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
metodologi tafsir Alfatihah Achmad Chodjim bila dilihat berdasarkan rumusan
metodologi kajian tafsir Islah Gusmian?
C. Metodologi Penelitian
1. Metode pengumpulan data
Dalam mengkaji metodologi tafsir Alfatihah, penulis menggunakan
metode pengumpulan data yaitu library research (penelitian kepustakaan) dan
field research (penelitian lapangan). Penelitian pertama digunakan untuk
melakukan studi terhadap buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini,
baik itu sumber-sumber primer atau skunder. Sedangkan penelitian kedua
digunakan untuk mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan studi ini.
a. Penelitian Kepustakaan
36 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 115.
13
Rujukan utama pembahasan ini ialah Alfatihah; Membuka Mata Batin
dengan Surah Pembuka (Jakarta, Serambi, 2008), [edisi baru] karya Achmad
Chodjim dan Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Bandung: Teraju, 2003) karya Islah Gusmian.
Data sekunder dieksplorasi kala data-data mengenai persoalan tertentu
tidak tersedia dalam sumber-sumber primer. Sumber sekunder adalah buku-buku,
artikel jurnal dan koran, baik yang tercetak maupun yang elektronik yang tidak
secara langsung membahas tentang studi ini namun masih berkaitan.
b. Penelitian Lapangan
Untuk lebih mendalami lagi penelitian ini, penulis akan mewawancarai
penulis Alfatihah. Wawancara akan berguna untuk mengungkap hal-hal yang
tidak disebutkan secara eksplisit tapi masih relevan untuk penelitian ini.
2. Metode Pembahasan
Untuk mengkaji metodologi tafsir Alfatihah dalam penelitian ini, penulis
mengikuti rumusan yang disusun Islah Gusmian.37 Dalam hal ini, ada dua variabel
penting yang perlu didedah. Pertama, variabel teknis penulisan tafsir. Variabel
teknis ini menyangkut sistematika dan bentuk tekstual literatut tafsit ditulis dan
disajikan, gaya bahasa yang digunakan, sifat penafsir, serta buku-buku rujukan
yang digunakan.
Kedua, menyangkut aspek ’dalam’, yaitu konstruksi hermeneutik karya
tafsir. Aspek hermeneutik ini tidak hanya terbatas pada variabel linguistik dan
riwâyah, tapi juga mempertimbangkan unsur triadik: teks, penafsir, dan audiens
sebagai sasaran teks. Dalam aspek hermeneutik ini, arah kajian bergerak pada tiga
37 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 119-121.
14
wilayah. (1) metode penafsiran, yakni tata kerja analisa yang digunakan dalam
penafsiran yang terdiri dari: metode riwayat, metode pemikiran, dan metode
interteks. (2) nuansa penafsiran, yaitu analisa yang menjadi nuansa atau
mainstrem yang terdapat dalam karya tafsir. Misalnya nuansa fikih, sufi, dan lain
sebagainya. (3) pendekatan tafsir, yaitu arah gerak yang dipakai dalam penafsiran.
Dalam bagian ini terdiri dari: (a) pendekatan tekstual bergerak dari proses
penafsiran cenderung berpusat pada teks. Sifatnya ke bawah: dari refleksi (teks)
ke praksis (konteks). (b) pendekatan kontekstual, yaitu arah gerak penafsiran yang
lebih berpusat pada konteks sosio-historis di mana penafsir hidup dan berada,
sifatnya cenderung ke atas: dari praksis (konteks) ke refleksi (teks).
3. Metode Penulisan
Untuk penulisan skripsi ini, penulis memakai buku “Pedoman Penulisan
Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” (Jakarta : CeQDA [Center for
Quality Development and Assurance] Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007), Cet. II.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama penelitian ini ialah ingin melihat metode yang digunakan
Achmad Chodjim dalam tafsir Alfatihah. Penulis juga ingin mengekspolari dan
mengelaborasi ragam metodologi karya tafsir. Tujuan yang tak kalah penting ialah
memenuhi syarat lulus jenjang S1 jurusan Tafsir-Hadis, fakultas Ushuluddin, UIN
Jakarta.
Manfaat dari penulisan skripsi ini di antaranya: Dari sisi akademis, ingin
menambah khazanah intelektual mahasiswa dan masyarakat dalam kajian al-
15
16
Quran, khususnya metodologi Alfatihah karya Achmad Chodjim. Dari sisi
praktis, ingin memberi masukan dan motivasi kepada mahasiswa Tafsir-Hadis
UIN Jakarta agar mau menggalakan kajian terhadap karya tafsir yang ditulis
sarjana Muslim Indonesia sendiri.
E. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 bab. BAB I adalah pendahuluan
yang berisi latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, metodologi
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada BAB II, penulis akan menjelaskan pengertian metodologi tafsir. Lalu
menjelajahi sejarah tafsir dan memetakan ragam metodologi tafsir dalam karya-
karya tafsir dengan mengutip beberapa pengamat karya tafsir.
Pada BAB III, penulis berusaha menampilkan sosok Achmad Chodjim
lebih dekat, baik dari sisi riwayat hidup dan karya-karya intelektual yang pernah
ditulisnya. Selain itu, penulis juga memaparkan konteks sosial Alfatihah, masa
penulisan dan penerbitannya, serta modal penafsiran yang dipunyai Achmad
Chodjim.
Pada BAB IV, penulis akan fokus menyoroti metodologi tafsir Alfatihah.
Untuk itu penulis menggunakan rumusan Islah Gusmian, yaitu membidik
Alfatihah dari aspek luar (teknis penulisan) dan aspek dalamnya (hermeneutis).
Lalu beberapa catatan kritis terhadap Alfatihah.
BAB V adalah bab terakhir dan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN
A. Pengertian Metodologi Tafsir
Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan metodologi tafsir, perlu
kiranya dikemukakan terlebih dahulu pengertian semantik dari istilah yang
digunakan: metodologi dan tafsir.
Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary,1 metodologi
adalah (1) a set or system of methods, principles, and rules in a given discipline.
(2) a branch of pedagogics dealing with analysis of subject to be taught and of the
method of teaching them.
Menurut The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language2
metodologi adalah (1) a branch of philosophy dealing with the sciense of method
or procedure. (2) a system of method and rules applied in a sciense.
Lorens Bagus3 menulis bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani
methodos, yang diambil dari bahasa Latin: methodus yang terambil dari kata meta
(setelah, mengikuti) dan hodos (jalan). Sedangkan logos berarti kata, ujaran, rasio,
dan ilmu. Ada lima pengertian dari metodologi yang ditulis Lorens Bagus: (1)
Studi mengenai metode-metode [prosedur, prinsip] yang digunakan dalam dispilin
1 Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h.
776. Sedangkan metode adalah procedure, technique, or planned of way doing something; order or system in doing anything; dan orderly or systematic arrangement, sequence, or the like.
2 The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT: Lexicon Publications, INC., 2004), h. 628. Sedangkan metode adalah a way of doing something; a procedure for doing something; orderliness in doing, planning, etc.
3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedi, 1996), h. 648-649. Sedangkan metode, Bagus mengartikannya sebagai jalan atau cara totalitas yang ingin dicapai atau dibangun; cara yang didefinisikan secara jelas dan sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 644.
17
tertentu. Atau studi tentang metode [prosedur, prinsip] yang digunakan untuk
menata ilmu yang teratur tersebut. (2) Prinsip-prinsip dari sistem teratur itu
sendiri. (3) Cabang logika yang merumuskan dan/atau menganalisa prinsip-
prinsip yang diperlukan dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan logis dan
membentuk konsep-konsep. (4) Prosedur-prosedur yang digunakan dalam suatu
disiplin yang memungkinkan diperoleh pengetahuan. (5) kumpulan cara penelitian
yang digunakan dalam ilmu tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan metodologi sebagai ilmu
tentang metode atau uraian tentang metode. Sedangkan metode adalah cara yang
teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan lain sebagainya) atau cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.4
Dalam bahasa Arab5, metodologi diterjemahkan dengan manhaj atau minhâj yang
berarti jalan yang terang.6
Adapun kata tafsir atau al-tafsîr adalah bentuk masdar (kata benda
abstrak) dari kata fassara-yufassiru-tafsîran. Kata ini, dalam ilmu sorf berwazan
(timbangan) kata taf’il. Kata ini sudah dipakai sejak abad kelima H/kesebelas M.7
4 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 652-653. 5 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007), h. 39. 6 Seperti yang tertulis dalam surat al-Maidah (5) ayat 48:
☯
“….Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang….”. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 116.
7 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 94. Istilah paling awal untuk menunjukan usaha interpretasi tampaknya adalah ma’âni (harfiahnya, ‘pemaknaan’). Istilah ini sendiri signifikan dengan asumsi pluralisnya yang implisit. Istilah ini, juga tafsir, dipakai pula untuk penerjemahan Arab dan Yunani atas karya-karya Aristoles, termasuk penjelasan lirik-lirik puisi pra-Islam. Goldfield, seperti yang dikutip Farid Esack, memperlihatkan bagaimana tata nama
18
Secara etimologis, tafsir8 berarti memperlihatkan makna yang masuk akal
dan membuka (izhâr al-ma’na al-ma’qûl wa al-kasyf) atau menerangkan dan
menjelaskan (al-idah wa al-tabyin).9 Keterangan dan penjelasan itu pada lazimnya
dibutuhkan bilamana ada ungkapan atau penyataan yang dirasa belum atau tidak
jelas.10
Menurut al-Zarkasyi, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah yang berarti
sedikit air seni dari seorang pasien yang digunakan dokter untuk menganalisa
penyakitnya. Kalau tafsîrat adalah metode kedokteran yang dapat mengungkap
suatu penyakit dari diri seorang pasien, maka tafsîr dapat mengeluarkan makna
yang tersimpan dalam kandungan lafal-lafal atau ayat-ayat al-Quran. Dengan
demikian, tafsir adalah ilmu untuk mengetahui pemahaman Kitabullah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-makna dan
mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmah yang terkandung di
dalamnya.11
Dari tinjauan makna secara bahasa di atas, setiap ulama memunyai
rumusan tersendiri dalam mengartikan kata tafsir secara istilah. Al-Jurjani
menyatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran, baik dari
konsep-konsep dalam interpreatsi ini menunjukan keakraban yang lebih besar daripada beberapa dekade sebelum wafatnya Nabi pada 632. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, h. 115.
8 Dalam al-Quran, kata tafsir disebutkan hanya sekali. Yaitu pada surat al-Furqon (25) ayat 33.
تفسيرا وأحسن بالحق جأنك إال بمثل يأتونك وال“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 363.
9 Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-Risâlah, 1405 H/1985 M), h. 323.
10 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 85.
11 Al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid II, h. 3.
19
segi segala persoalan, kisahnya maupun dari segi asbab al-Nuzul-nya dengan lafal
(penjelasan) yang dapat menunjuk makna secara terang.12 Menurut Abd al-
’Azhim al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Quran dari segi
pengertian-pengertiannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan kesanggupan
manusia biasa.13
Menurut as-Suyuthi, tafsir adalah ilmu mengenai turunnya ayat-ayat dan
hal ihwalnya, cerita-cerita–sebab turunnya, tertib Makiyah–Madaniyah-nya,
muhkâm–mutasyâbihât-nya, nâsikh–mansûkh-nya, khusus–umumnya, muthlaq-
muqayyad-nya, mujmal-mufashshal-nya, halal–haramnya, janji-ancamannya,
perintah-larangannya, dan mengenai ungkapan-ungkapan dan perumpamaan-
perumpamaannya.14
Berdasarkan pengertian tafsir yang dibuat ulama di atas, dapat diartikan
sebuah kesimpulan bahwa tafsir sebagai suatu hasil pemahaman manusia terhadap
al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu
yang dipilih oleh seorang mufasir. Tujuannya untuk memperjelas suatu makna
teks ayat-ayat al-Quran. Bila seorang mufasir menggunakan metode dan
pendekatan filsafat, maka tafsir yang dihasilkan bercorak filosofis. Bila seorang
mufasir menggunakan metode atau pendekatan fikih, maka tafsirannya kental
dengan nuansa fikih. Begitu seterusnya.15
12 Al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl, 1965),
h. 65. 13 Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-
Halabi, t.th.), jilid II, h. 3. 14 Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî asy-Syâfi'î, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr,
1399 H/1979 M), Jilid II, h. 174. 15 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 2.
20
Dus, metodologi tafsir16 adalah ilmu atau uraian tentang cara kerja
sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan menafsir. Atau kajian di
sekitar metode-metode tafsir yang berkembang.17 Atau pengetahuan mengenai
cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas, dan merefleksikan kandungan
al-Qur`an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga
menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif.18
Nashruddin Baidan mengartikan metodologi tafsir sebagai pembahasan
ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Quran. Dia juga membedakan antara
metode tafsir: cara-cara menafsirkan al-Quran dan metodologi tafsir. Sebagai
contoh, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqârin (perbandingan)
disebut analisis metodologis. Sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan
cara menerapkan metode itu terhadap ayat-ayat disebut pembahasan metodik.19
B. Sejarah Perkembangan Tafsir
Tafsir merupakan praktek alamiah, yakni praktek yang telah berjalan sejak
Nabi menerangkan dan mengajarkan makna teks Kitab Suci yang diterimanya
kepada para pengikutnya. Inilah yang disebut tafsỉr al-Nabiy (penafsiran Nabi).
Pada masa ini karya-karya tafsir yang tertulis belum hadir. Penafsiran Nabi sendiri
16 Dalam studi teks al-Quran, selain mengenal kata tafsir kalangan sarjana Muslim juga
mengenal kata ta’wil. Oleh para sarjana al-Quran, ta’wil diberi bobot lebih dari kata tafsir. Artinya, kalau tafsir hanya menjelaskan bagian luar dari al-Quran, maka ta’wil merujuk pada penjelasan makna-dalam dan tersembunyi dari al-Quran. Untuk melihat perbedaan di antara keduanya secara panjang lebar rujuk Nasr Hamid Abu-Zayd, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 116; al-Qaththân, Mabâhist, h. 324.
17 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik, h. 41. 18 Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.),
Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 38. 19 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), h. 3.
21
hanya dapat ditelusuri lewat karya-karya tentang hadis yang dikumpulkan para
pengumpul hadis atas dasar riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka.20
Setelah Beliau wafat, para sahabat baru mulai menafsirkan al-Quran dan
mengajarkan pemahaman mereka atas al-Quran kepada Muslim yang lain. Sumber
utama penafsiran sahabat adalah pernyataan al-Quran yang memunyai relevansi
yang sama dengan pernyataan al-Quran lain yang sedang dibahas dan ditafsirkan
(tafsỉr al-Quran bi al-Quran). Sumber kedua adalah bacaan (qira’ah) al-Quran.
Misalnya, bacaan ibn Mas’ud yang berbunyi ”atau hingga kamu memunyai rumah
dari emas (dzahab)” memperjelas maksud dari bacaan yang resmi yang berbunyi
”sebuah rumah dari zukhruf.” Dan sumber yang terakhir adalah hadis.21 Dari
pernyataan al-Quran tersebut (lihat catatan kaki sebelumnya) jelas bahwa
menjelaskan dan menafsirkan al-Quran merupakan satu di antara sekian tugas
kenabian Muhammad. Tidak heran jika pada periode ini, karya tafsir masih
bercampur baur dengan karya-karya tentang hadis dan sirah.22
Dengan berlalunya waktu dan banyak mufasir dari kalangan sahabat yang
meninggal, sementara ayat-ayat al-Quran belum tuntas dijelaskan, maka para
pengikut sahabat mulai melanjutkan bidang ini. Ada tiga aliran tafsir yang utama
yang dikembangkan oleh para tabi’in. (1) Aliran Mekkah dengan ibn ’Abbas
sebagai pakarnya. Murid-murid dari aliran ini: Sa’id al-Jubayr [w. Sekitar 712
20 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13. 21 Dalam al-Quran 16: 44 dikatakan:
⌧ “…. Dan telah Kami turunkan adz-dzikr (al-Quran) kepadamu agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang teah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 272.
22 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13.
22
atau 713 M], Mujahid ibn Jabr al-Makki [w. 722], ’Ikrimah [w. 723], Thawus ibn
Kaysan al-Yamani [w. 722], dan ’Atha ibn Abi Rabbah [w.732].
(2) Aliran Irak mendaku ibn Mas’ud sebagai imamnya. Murid-muridnya
antara lain: ’Alqama ibn Qays [w. 720], al-Aswad ibn Yazid [w. 694], Masruq ibn
al-Ajda’ [w. 682], Mara al-Hamadani [w. 695], ’Amir al-Sya’bi [w. 723], al-
Hasan al-Bisri [w. 738], Qatada al-Sadusi [w. 735], dan Ibrahim al-Nakha’i [w.
713]. (3) Aliran Madinah yang juga sebagai pusat kekhalifan Islam. Yang paling
terkemuka di sini adalah Ubayy ibn Ka’b. Murid-muridnya antara lain: Abu al-
’Aliya [w. 708], Muhammad ibn Ka’b al-Qarzi [w. 735], Zayd ibn Aslam [w.
747], ’Abd al-Rahman ibn Zayd, dan Malik ibn Anas.23
Abdul Mustaqim mencatat ada dua faktor yang menyebabkan tafsir al-
Quran sebagai sebuah keniscayaan. Pertama, faktor internal yang terbagi menjadi
tiga variabel. (1) Kondisi objektif teks al-Quran itu sendiri yang memungkinkan
untuk dibaca secara beragam. (2) Kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Quran
yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. (3) Adanya
ambiguitas makna dalam al-Quran dengan adanya kata-kata musytarak [bermakna
ganda] seperti kata al-qur’u [dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid].24
Kedua, faktor eksternal berupa kondisi sosial yang melingkupi sang
penafsir. Bisa juga perspektif dan keahlian atau keilmuan yang ditekui sang
penafsir. Lalu adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban-peradaban di
luar Islam. Yang paling signifikan, menurut Abdul Mustaqim adalah yang
berkaitan dengan faktor politik dan teologis.25
23 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 14. 24 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 8-12. 25 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 12-13.
23
C. Pemetaan Metodologi Tafsir
Dalam kata pengantar buku Islah Gusmian, Amin Abdullah mengutip
pendapat Alford T. Welc yang membagi studi al-Quran pada tiga bidang. (1)
exegesis atau studi teks al-Quran itu sendiri, (2) sejarah interpretasinya, dan (3)
peran al-Quran dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam. Menurut Amin
Abdullah, studi pada permasalahan yang kedua dan ketiga tampaknya masih
begitu langka dalam tradisi keilmuan yang berkembang di kalangan Muslim
termasuk di Indonesia.26
Sedari awal penafsiran al-Quran hadir, metode-metode tertentu sudah
digunakan untuk mengungkap makna teks al-Quran. Hanya saja para sarjana
Muslim masa itu belum memelajari, memilah, dan memetakan metode tersebut.
Kesadaran untuk memelajari, memilah, dan memetakan baru dilakukan
belakangan setelah ilmu pengetahuan Islam berkembang. Itu artinya, studi tentang
metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam.
Metodologi tafsir baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir
berkembang pesat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir
tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.27
Namun, menurut keterangan Abdul Mustaqim, kajian mengenai sejarah
tafsir di kalangan sarjana Muslim sesungguhnya sudah lama. Tepatnya sejak as-
Suyuti menulis karya Thabaqảt al-Mufassirỉn. Sayangnya tradisi ini tidak
berlangsung lama dan bahkan menurun. Sejak saat itulah kajian di bidang ini
diambil alih oleh sarjana Barat. Salah satu karya terbesar Barat yang bersentuhan
26 Pengantar Amin Abdullah dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 21. 27 Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.),
Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37.
24
dengan khazanah tafsir ialah Die Rictungen der Islamichen Koranasulegung atau
Madzảhibut Tafsỉr al-Islảmiyyah karya Ignaz Goldziher.28
Para sarjana, baik sarjana Muslim maupun Islamolog, berbeda-beda dalam
memetakan metode dan corak penafsiran yang berkembang. Pemetaan yang akan
penulis paparkan nanti bukanlah paparan secara kronologis, yakni dimulai dari
yang pertama kali melakukannya dan kemudian disusul oleh sarjana berikutnya
yang melakukan hal yang sama.
John Wansbrough membagi karya-karya tafsir klasik (abad 2 H) ke dalam
lima jenis. (1) Tafsir haggadic.29 Contohnya tafsir karya Muqatil ibn Sulayman
[w. 767] yang belakangan diberi judul Tafsỉr al-Qurản. Tentang Q.S 2: 18930,
misalnya Muqatil dalam tafsirnya mencoba memberi keterangan sedetail mungkin
tentang siapa yang bertanya, mengapa ia atau mereka bertanya, apa yang ia atau
mereka tanyakan, dan seterusnya.
(2) Tafsir halakich.31 Contohnya Tafsỉr Khams Mi’ah min al-Qurản karya
ibn Sulayman. Tafsir ini berisi materi-materi tentang ayat legal al-Quran. Contoh
yang lain Ahkam al-Quran karya Abu Bakr al-Jashshash [w. 981] dan al-Jami li
Ahkam al-Quran karya Abu ’Abd Allah al-Qurthubi [w. 1272]. (3) Tafsir
masoretic.32 Aktivitas dalam tafsir jenis ini terpusat pada penjelasan tentang
28 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 19. 29 Hagaddic berasal dari kata haggadah. Dalam kamus Random House Webster’s College
Dictionary, haggadic adalah a book containing the story of exodus, used at the seder service on passover. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 552. Bidik juga Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 15.
30 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, h. 29.
31 halakihic berasal dari kata halakhah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, halakhic adalah the body of Jewish law, comprising the oral law as transcribed in the Talmud and subsequet legal codes and rabbanical decisions. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 553.
32 Masoretic berasal dari kata masorah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, masoretic adalah a body of scribal note form textual guide to hebrew Old Testement,
25
aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat-ayat al-Quran. Contohnya Ma’ảni
al-Qurản karya al-Farra’ [w. 882], atau Fadâil al-Qurản karya Abu ‘Ubayd [w.
838]. Contoh lainnya adalah Kitab al-Wujûh wa al-Nazâir karya ibn Sulayman
yang lain dan Musyâbihat al-Qurản karya Kisa’I [w. 804].
(4) Tafsir retorik. Di sini perhatian dipusatkan pada nilai sastra al-Quran.
Contohnya, Majâs al-Qurản karya Abu ‘Ubaydah [w. 824] dan Ta’wîl Musykîl
al-Qurản karya ibn Qutaybah [w. 889]. (5) Tafsir alegoris, yakni tafsir yang
mengungkap makna simbolik al-Quran atas dukungan terdapatnya perbedaan
antara makna zahir dan makna batin al-Quran. Contohnya, tafsir sufistik karya
Sahl al-Tustari [w. 896].33
Daud Rahbar, seperti yang dikutip Ilham B. Saenong, mencatat sedikitnya
ada empat belas macam metode dan pendekatan yang diterapkan untuk
memahami ayat-ayat al-Quran sampai lima dasawarsa yang lalu. (1) Penafsiran
yang didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan turunnya
suatu ayat. (2) Penafsiran yang bertujuan mempertanyakan otentisitas ayat-ayat
tertentu dan mempermasalahkan penambahan dan keragaman teks. (3) Penafsiran
melalui frase dari ayat tertentu secara parsial dan lepas kontek. (4) Penafsiran atas
ayat atau frase yang disesuaikan dengan pandangan seseorang tentang semangat
umum al-Quran. (5) Penafsiran yang menganggap bahasa dari ayat tertentu
berbahasa alegoris. (6) Penafsiran esoterik dengan memercayai keseluruhan teks
al-Quran bercorak metaforis.
compiled form the 7 th to 10th centuries AD . Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 552.
33 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion (London: Oxford University, 1977), h. 119.
26
(7) Penafsiran atas dasar pemiliahan antara ayat-ayat yang pasti maknanya
(muhkam) dan yang ambigu (mutasyâbih). (8) Penjelasan dengan menghubungkan
struktur gramatikal dengan makna yang dimaksud. (9) Penjelasan dengan
mempersoalkan segi etimologis. (10) Uraian dengan mengemukakan persoalan
nâsikh-mansûkh. (11) Penjelasan melalui hubungan semantis dan keterputusan
antara satu ayat dengan yang lain yang berdampingan (taqâthu’-tanâsub). (12)
Mempersoalkan gaya bahasa al-Quran. (13) Memilih-milih ayat-ayat tertentu
secara arbitrer dalam penafsiran. (14) Dan penafsiran yang menggunakan frase-
frase teks sebagai titik tolak pemikiran bebas.34
Muhammad Husein al-Dzahabi, seperti yang dikutip Very Verdiansyah,
membagi kategori tafsir berdasarkan kronologi waktunya. (1) Tafsir pada masa
Nabi dan sahabat. Ciri umum tafsir model ini: tidak menafsirkan seluruh al-
Quran; tidak banyak perbedaan pendapat dalam penafsiran; penafsirannya bersifat
ijmali; cenderung hanya menafsirkan dari aspek bahasa; jarang melakukan istinbat
hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan; tidak bersifat sektarian;
belum terkodifikasi secara utuh; banyak menggunakan riwayat yang disampaikan
secara lisan; cenderung bersifat mitis, penafsiran cenderung diterima begitu saja
tanpa kritik.
(2) Tafsir masa tabi’in. Ciri umumnya: tafsir pada masa tabi’in belum
dikodifikasikan secara tersendiri; tradisi tafsir masih bersifat hapalan dan
periwayatan; tafsir sudah dimasuki riwayat-riwayat Israiliyyat; sudah muncul
benih-benih perbedaan mazhab dalam penafsirannya; sudah banyak perbedaan
pendapat antara penafsiran para tabi’in dan para sahabat. (3) Tafsir pada masa
34 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut
Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 49.
27
kodifikasi. Tafsir model ini diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani
Umayyah, awal pemerintahan Abbasiyah. Pada masa ini tafsir sudah dibukukan
dan berkembang pula tafsir dengan berbagai corak dan mazhabnya.35
Amina Wadud Muhsin membagi tafsir al-Quran dari perspektif gerakan
feminisme dalam beberapa kelompok. (1) Tafsir tradisional, tafsir yang
menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan
penafsirnya, seperti hukum, nahwu dan lain-lain. (2) Tafsir reaktif, tafsir yang
berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami
perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. (3) Tafsir holistik, tafsir yang
menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai
persoalan sosial, moral ekonomi, politik, isu perempuan yang muncul di era
modern.36
Al-Farmawi membagi empat bentuk tafsir berdasarkan metode yang
digunakan. (1) al-Tafsir al-Tahlîlî. Tafsir metode tahlîlî adalah tafsir yang
menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam al-
Quran Mushaf ’Ustmani. Ketika menggunakan metode ini, seorang mufasir
biasanya melakukan langkah-langkah sebagai berikut. (a) Menerangkan hubungan
[munâsabah] baik antara satu ayat dengan ayat yang lain atau satu surat dengan
surat yang lain. (b) Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat. (c) Menganalisa
kosakata dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. (d) Memaparkan kandungan
ayat secara umum dan maksudnya. (e) Menerangkan unsur-unsur fashâhah,
35 Very Verdiansyah, Islam Emansipasoris: Menafsir Agama, h. 57. 36 Amina Wadud Muhsin, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed),
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 186-188.
28
bayân, dan i’jâz-nya bila dianggap perlu. (f) Menjelaskan hukum yang dapat
ditarik dari ayat yang dibahas. (g) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang
terkandung dalam ayat bersangkutan.37
Metode ini bisa dipecah lagi menjadi beberapa metode. Seperti al-Tafsỉr bi
al-Ma’tsûr, al-Tafsỉr bi al-Ra’yî, al-Tafsỉr al-Fiqhi, al-Tafsỉr al-Shûfî, al-Tafsỉr
al-Falsafi, al-Tafsỉr al-’Ilmi, al-Tafsỉr al-Adâbi al-Ijtimâ’i.
(2) al-Tafsîr al-Ijmâli. Metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini mufasir
menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran secara garis besar. Sistematikanya
mengikuti urutan surat dalam al-Quran, sehingga makna-maknanya dapat saling
berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufasir menggunakan
ungkapan yang diambil dari al-Quran sendiri dengan menambahkan kata-kata atau
kalimat-kalimat penghubung. (3) al-Tafsîr al-Muqârin. Metode tafsir yang
menggunakan cara perbandingan. Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat
dikelompokkan menjadi: (a) Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat yang lain.
(b) Perbandingan ayat al-Quran dengan hadis. (c) Perbandingan penafsiran satu
mufasir dengan mufasir yang lain.
(4) al-Tafsîr al-Mawdhû’i. Metode ini memunyai dua bentuk. (a) Tafsir
yang membahas satu surat al-Quran secara menyeluruh, memperkenalkan, dan
menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan
menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau antara satu satu pokok
masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini suart tersebut tampak
dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti, dan sempurna. (b)
37 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 23-29.
29
Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Quran yang memiliki
kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil
kesimpulan, di bawah satu bahasa tema tertentu.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam menyusun satu karya
tafsir berdasarkan metode ini. (a) Menentukkan topik bahasan setelah menemukan
batas-batasnya dan mengetahui jangkauannya dalam ayat-ayat al-Quran. (b)
Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. (c)
Merangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya. (d) Kajian tafsir ini
merupakan kajian yang memerlukan kitab-kitab tafsir tahlîlî. (e) Menyusun
pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna. (f) Melengkapi pembahasan
dengan hadis yang menyangkut masalah yang dibahas. (g) Memelajari semua ayat
yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. (h)
Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap
pasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam
pembahasan yang terdapat pada bab.
Metodologi yang dirumuskan Farmawi banyak dianut oleh sarjana Muslim
Indonesia dalam memetakan sebuah karya tafsir. Seperti Quraish Shihab,
Komaruddin Hidayat, Harifuddin Cawidu, dan Tim Penulisan38 buku Sejarah dan
Ulum al-Qur’an yang dieditori Azyumardi Azra.39 Sebenarnya ada dua nama
tokoh yang mencoba merumuskan metodologi tafsir baru, yaitu Yunan Yusuf dan
Nashruddin Baidan.
Yunan Yusuf, seperti yang dikutip Islah Gusmian, melihat literatur tafsir
dengan ranah yang ia sebut ’karakter tafsir’, yakni sifat khas yang ada dalam
38 M. Quraish Shihab (ketua), Ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, dan Nasaruddin Umar.
39 M. Quraish Shihab et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
30
literatur tafsir. Dalam konteks ini, ia memetakan dari tiga arah: (1) metode
[misalnya: metode antar-ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan kisah israiliyyat, (2)
tehnik penyajian [misalnya: tehnik runut dan topikal], dan (3) pendekatan
[misalnya: fiqhi, falsafi, shufi, dan lain-lain].
Tabel I
Karakter Tafsir Pemetaan M. Yunan Yusuf
Metode Tafsir Tehnik Penyajian
Tafsir
Pendekatan tafsir
Antar-ayat Runut Fiqhi
Ayat dengan hadis Falsafi
Ayat dengan kisah
Israiliyyat
Topikal
Shufi, dan lain-lain
Adapun Nasruddin Baidan, membagi metodologi tafsirnya dalam dua
bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-
Quran [sejarah al-Quran, asbảb al-nuzủl, qirả’at, nasỉkh-mansủkh, munasabah,
dan lain-lain], dan (2) kepribadian mufasir [akidah yang benar, ikhlas, netral,
sadar, dan lain-lain]. Kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat
langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pembentuk: (1)
metode penafsiran [global, analitis, komparatif, dan tematik], (2) corak penafsiran
[shủfỉ, fiqhi, falsafi, dan lain-lain], dan (3) bentuk penafsiran [ma’tsủr dan ra’yu].
31
Dalam konteks kategorisasi yang dibangun Yunan, komponen internal versi
Baidan menemukan relasinya, meskipun tidak sama.40
Tabel II
Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan
Komponen Ekstrenal Komponen Internal
Jati Diri al-
Quran
Kepribadian
Mufasir
Bentuk Tafsir Metode Tafsir Corak Tafsir
Sejarah al-
Quran
Akidah yang
benar
Ma’tsủr Global Tasawuf
Qirả’at Ikhlas Analitis Fiqhi
Nasỉkh Netral Komparatif Falsafi
Mansủkh Sadar Kombinasi
Munasabah Sosial
Mukjizat al-
Quran
Dan lain-lain
Ilmu Muahibah
Ra’yu
Tematik
Kemasyarakatan
dan lain-lain
Oleh Islah Gusmian beberapa pemetaan yang disusun para pemerhati
kajian tafsir sebagian merupakan perkembangan baru. Namun menurutnya secara
paradigmatik belum mampu memberikan pendasaran tentang suatu metode kajian
atas tafsir. Itu sebabnya, menurutnya, perlu rumusan baru yang mampu menelisik
unsur-unsur fundamental dari karya tafsir.41
40 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
5. 41 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 119.
32
Ada dua variabel yang penting ketika kita ingin memetakan sebuah karya
tafsir menurut Islah Gusmian. (1) Aspek teknis. Aspek ini terdiri dari sistematika
penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa yang dipakai dalam
penulisan tafsir, sifat mufasir, sumber-sumber yang dijadikan rujukan dalam
penulisan tafsir, dan keilmuan mufasir. (2) Aspek ’dalam’ atau hermeneutik.
Aspek ini terdiri dari metode penafsiran, nuansa penafsiran, dan pendekatan tafsir.
Untuk lebih jelas, amati tabel di bawah ini.
Tabel III
Peta Metodologi Kajian atas Tafsir al-Quran Konstruksi Islah Gusmian
ASPEK TEKNIS PENULISAN TAFSIR
AL-QURAN
ASPEK HERMENUTIK TAFSIR
AL-QURAN
Sistematika Penyajian Tafsir Metode Tafsir
1. Berdasarkan urutan
mushaf
1. Runtut
2. Berdasarkan urutan
turunnya wahyu
1. Metode Riwayat: Penafsiran Nabi
Muhammad Sebagai Sumber Acuan
1. Tematik modern:
a. Tematik plural
Analisis sosio-
Kultural
b. Tematik singular Analisis Semiotik
2. Tematik klasik: Metode Semantik
a. Ayat-ayat dan surat-
surat tertentu
Metode Sains-
Ilmiah
2. Tematik
b. Surat tertentu
c. Juz tertentu
2. Metode
Pemikiran:
Intelektualitas
Sebagai Dasar Tafsir
Dan seterusnya
Bentuk Penyajian Tafsir 3. Metode Interteks
33
34
1. Bentuk Penyajian Global Nuansa Tafsir
2. Bentuk Penyajian Rinci 1. Nuansa Kebahasaan
Gaya Bahasa Penulisan Tafsir 2. Nuansa Sosial Kemasyarakatan
1. Gaya Bahasa Kolom 3. Nuansa Teologis
2. Gaya Bahasa Reportase 4. Nuansa Sufistik
3. Gaya Bahasa Ilmiah 5. Nuansa Psikologis, dan lain-lain
4. Gaya Bahasa Populer, dan lain-lain Pendekatan Tafsir
Bentuk Penulisan Tafsir 1. Pendekatan Tekstual
1. Ilmiah
2. Non Ilmiah
Sifat Mufasir
1. Individual
2. Kolektif/Tim
Keilmuan Mufasir
1. Disiplin ilmu tafsir al-Quran
2. Disiplin non-ilmu tafsir al-Quran
Asal-usul Literatur Tafsir
1. Akademik
2. Non-Akademik
Sumber-sumber Rujukan
1. Buku-buku tafsir klasik dan/ modern
2. Buku non-tafsir
2. Pendekatan Kontekstual
BAB III
MENGENAL ACHMAD CHODJIM DAN MENYELAMI
ALFATIHAH
Pengantar
Farid Esack, seperti yang dikutip A. Sihabulmilah1, membagi pembaca
teks al-Quran, yang kemudian dia sebut pencinta, menjadi tiga kelompok: (1)
Pencinta tak kritis (the uncritical lover). (2) Pencinta ilmiah (the scholarly lover).
(3) Pencinta kritis (the critical lover).
Pertama, pencinta tak kritis (the uncritical lover). Orang yang menduduki
level ini biasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Kecantikan seorang
kekasih telah “membutakan” mata hatinya, seakan tak ada perempuan lain yang
lebih cantik daripada kekasihnya. Pencinta menilai, sekujur tubuh dan apa saja
yang melekat pada tubuh sang kekasih itu indah, mempesona, dan sempurna.
Dalam konteks pembaca al-Quran, pencinta tak kritis selalu memuja-muja
al-Quran. al-Quran adalah segala-segalanya. Ia memperlakukukannya seperti
permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya. Bagi dia, al-Quran adalah
jawaban dari segala persoalan, tapi tidak tahu bagaimana proses memperoleh atau
membuat jawaban-jawaban tersebut. Ia hanya mengkonsumsi atau mendaur-ulang
jawaban-jawaban mengenai al-Quran dari orang lain. Posisi pencinta ini ditempati
oleh kaum muslim kebanyakan; mereka memperlakukan al-Quran hanya sebatas
bahan bacaan yang dilafalkan di ujung lidah.
1 A. Sihabulmilah, “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19 Ferbuari
2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/. Lihat juga Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur’an dalam Wacana & Prilaku, terjemahan Norma Arbi’a Juli Setiawan (Depok: Inisiasi Press, 2006), h. vii-xii. Sayangnya dalam buku ini terjemahannya buruk sekali.
35
Kedua, pencinta ilmiah (the scholarly lover). Pencinta tipe ini mengagumi
segala keindahan yang dimiliki sang kekasih. Hal yang membedakan dia dengan
pencinta pertama adalah keberanian dan kecerdasannya untuk memaknai seluruh
keindahan yang melekat pada tubuh sang kekasih. Rasa tergila-gila pada pujaan
hati tidak membuat dia mabuk kepayang, apalagi sampai lupa daratan.
Pencinta ilmiah selalu merenungkan dan mempertanyakan, semisal,
mengapa ayat-ayat al-Quran begitu indah dan mempesona dan apa makna di balik
keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian ia jawab dengan segenap ilmu
pengetahuan al-Quran yang ia miliki dan kemudian dituangkan dalam bentuk
karya tafsir. Dengan ungkapan lain, di samping ia selau merindukan kehadiran al-
Quran, ia juga membaca, memahami, dan menafsirkan ayat-ayatnya.
Para pencinta yang masuk dalam kategori ini adalah Abul ‘Ala al-
Maududi, Husain Tabatabai, Muhammad Asad, Bint al-Shatti, Muhamad Husayn
al-Dhahabi, Jalal al-Din al-Suyuti, Badr al-Din Zarkashi, dan lain-lainnya.
Pencinta-pencinta ini telah menghasilkan karya tafsir yang sungguh menakjubkan
dan patut dihargai jerih payahnya.
Ketiga, pencinta kritis (the critical lover). Ia terpikat pada sang kekasih,
tapi tidak menjadikan ia gelap mata. Meskipun ia gemar membaca, memahami,
dan menafsirkan beberapa organ tubuhnya, ia juga bersikap kritis terhadap segala
sesuatu yang menempel pada tubuh sang kekasih. Ia pun tak segan-segan
mempertanyakan sifat dan asal-usulnya, bahasanya, warna “rambutnya”, faktor
apa yang melingkupi keindahannya, sesuatu yang janggal dalam dirinya, dan lain-
lain. Untuk mengetahui itu semua, para pencinta pada level ini rela “menikahi”
sang kekasih (baca: al-Quran) dan memanfaatkan berbagai macam ilmu sosial
36
mutakhir, semisal linguistik, sosiologi, antropologi, hermeneutika, dan filsafat
sebagai pisau analisisnya.
Dengan metode seperti itu, para pencinta ini bisa berdialog dengan al-
Quran dan mampu menyingkap segala misteri yang melingkupinya. Hasil dialog
itu kemudian dibakukan dalam bentuk karya tulis studi pemikiran Islam
kontemporer yang benar-benar baru dan menyegarkan serta bisa menjawab
persoalan zaman. Para intelektual Muslim yang masuk dalam tipe ini adalah
Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan lain-lain.
A. Achmad Chodjim
1. Biografi
Achmad Chodjim lahir di Surabaya pada 7 Februari 1953. Ia dibesarkan
dalam tradisi masyarakat agraris, tradisional-islami. Dalam memelajari ilmu-ilmu
pengetahuan agama, ia diasuh oleh paman dan sepupu dari pihak ibu. Ketika SMP
dan SMA, ia pernah nyantri di pondok pesantren Darul Ulum, Jombang, dan
pondok modern Darussalam, Gontor. Hal ini yang menyulut semangatnya untuk
menggeluti ilmu-ilmu agama. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Sekolah
Pertanian Menengah Atas di Malang pada 1974.2
Ketika di Malang, Chodjim menyempatkan waktu untuk belajar ilmu-ilmu
agama kepada tokoh agama yang ada di sana saat itu. Kepada K.H. Achmad
Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang, ia belajar tafsir
seminggu sekali. Sedangkan untuk hadis, ia belajar kepada Muhammad Bejo,
mubalig nasional Muhammadiyah.
2 M. Affifuddin, “Apresiasi Spiritual Q.S al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 46.
37
Dari belajar kedua tokoh agama tersebut, ia mendapat pemahaman lebih
tentang agama khususnya tentang tafsir dan hadis. Kedua guru tersebut juga
memperkenalkan kepada Chodjim dan teman-teman pengajiannya macam-macam
kitab klasik Islam, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk dipelajari. Itu mendorongnya untuk
mendalami bahasa Arab sebagai ilmu alat dalam memelajari kitab klasik Islam
tapi bukan bahasa Arab sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, ia juga belajar
nahwu, sorf, mantiq, dan sastra.3
Pada 1987 ia meraih gelar sarjana pertanian (agronomi) dari Institut
Pertanian Bogor. Pada 1996, ia meraih gelar magister Manajemen di Sekolah
Tinggi Parsetya Mulya, Jakarta. Saat ini dia bekerja di salah satu perusahaan asing
di Jakarta. Selain itu, dia juga memberikan bimbingan kepada kelompok-
kelompok pengajian rohani karyawan di tempatnya bekerja dan juga di berbagai
majlis taklim.
2. Karya-karya Intelektual
Ada beberapa karya intelektual Achmad Chodjim selain Alfatihah yang
pernah diterbitkan. Antara lain: [1]. Islam Esoteris: Kemulian dan Keindahannya
(Jakarta: Gramedia, 2000). Buku ini ditulis bersama Anand Krishna. [2]. Syekh
Siti Jenar: Makna Kematian (Jakarta: Serambi, 2002). [3]. Annas: Segarkan Jiwa
dengan Surah Manusia (Jakarta: Serambi, 2005). [4]. Al-Alaq: Sembuh Penyakit
Batin dengan Surah Subuh (Jakarta: Serambi, 2002).
[5]. Al-Ikhlash: Bersihkan Iman dengan Surah Kemurniaan (Jakarta:
Serambi, 2005). [6]. Membangun Surga: Bagaimana Hidup Damai di Bumi Agar
3 Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, 15 Februari 2010.
38
Damai Pula di Akhirat (Jakarta: Serambi, 2004). [7]. Rahasia Sepuluh Malam
(Jakarta: Serambi, 2007). [8]. Meaningful Life (Jakarta: Hikmah, 2005). [9].
Menerapkan Keajaiban Surah Yasin dalam Kehidupan Sehari-hari [1] (Jakarta:
Serambi, 2008).
B. Alfatihah
1. Konteks Sosial
Al-Fatihah adalah satu-satunya surat dalam al-Quran yang paling sering
dibaca dan dihapal umat Islam.4 Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak
17 kali dalam sehari. Al-Fatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti
dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Fenomena inilah yang mendorong
Chodjim untuk menulis tafsir Alfatihah agar mereka yang sering membaca al-
Fatihah tahu makna al-Fatihah.5
Chodjim menyadari bahwa memang sudah banyak yang menafsirkan al-
Fatihah. Tapi menurutnya al-Fatihah sering ditafsirkan secara ortodoks,
penafsirannya tidak terkait dengan realitas kekinian padahal al-Fatihah sering
dibaca. Oleh sebab itu, al-Fatihah menurutnya mesti diberi penafsiran yang
mengena dalam alam pikiran umat.
Menurut Chodjim bila ditelisik lebih dalam, ketika seorang Muslim
membaca al-Fatihah selalu terselip di dalam pikirannya sebuah harapan. Ada yang
berharap kesembuhan dan ada yang berharap keterbukan hati serta pikiran. Meski
kadang-kadang tidak termanifestasikan namun harapan itu selalu ada. Sayangnya,
hampir setiap Muslim yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak
4 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin dengan surah Pembuka (Jakarta: Serambi, 2008), h. 19.
5 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
39
mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz
yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas
cakupannya. Singkat kata, Chodjim ingin menafsirkan al-Fatihah secara sederhana
tapi poin-poinnya memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar.6
2. Masa Penulisan dan Penerbitan
Alfatihah diterbitkan pada Maret 2002 oleh Serambi. Tapi Alfatihah sudah
ditulis Chodjim pada 1999 akhir dan selesai pada 2000 awal. Saat penulisan karya
itu, Chodjim adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis.
Makanya tidak gampang baginya untuk meyakinkan penerbit untuk menerbitkan
karya tulisnya itu. Ditambah Chodjim tidak memiliki reputasi sebagai penafsir
dari lingkungan IAIN seperti Quraish Shihab. Faktor-faktor itulah yang jadi bahan
pertimbangan penerbit dan tentunya menyebabkan proses penerbitan karyanya
agak lama. Malah sebelumnya, menurut cerita Chodjim, ada kekhawatiran di
penerbit kalau tulisannya itu tidak bernilai komersial.7
Sebelum diterbitkan, Alfatihah sempat tertahan selama tiga bulan di
Serambi. Kebetulan saat itu ada pergantian staff redaksi. Mulanya judul karya
Chodjim tersebut adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti
seperti sekarang. Setelah berganti judul, penerbit kewalahan memenuhi
permintaan pasar dan terus mencetak ulang.
Sebenarnya pada 2000, Gramedia adalah penerbit karya Chodjim itu.
Kepindahan hak penerbitan ke Serambi karena pada Juli 2000 Gramedia
didemonstrasi FPI (Front Pembela Islam). Menurut FPI, Gramedia bukan bagian
dari Islam dan oleh karena itu Gramedia dilarang menerbitkan buku-buku
6 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 7 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
40
keislaman. Selain itu, buku-buku keislaman yang diterbitkan Gramedia tentulah
buku-buku keislaman yang mendukung misi Gramedia dan mendukung pemikiran
Islam liberal dan sejenisnya.8
Tidak berapa lama setelah kejadian itu, Gramedia menghubungi Chodjim
untuk mengatakan bahwa Gramedia tidak mungkin lagi menerbitkan buku-buku
keislaman termasuk Alfatihah. Kecuali buku-buku keislaman dari kumpulan
artikel atau opini yang pernah dimuat di Kompas. Seperti bukunya Komaruddin
Hidayat yang pernah diterbitkan Gramedia.
Gramedia memberi saran kepada Chodjim untuk menerbitkan bukunya itu
melalui penerbit yang jelas-jelas punya kalangan Muslim. Mendengar keputusan
Gramedia itu, Chodjim terpaksa mendaftar beberapa nama penerbit buku-buku
keislaman yang akan dijajakinya untuk mau bekerjasama dalam menerbitkan
Alfatihah. Akhirnya Chodjim memilih Serambi dengan pertimbangan buku-buku
yang pernah diterbitkan Serambi.9
3. Modal Penafsiran
Seperti pengakuannya sendiri, pendidikan formal Chodjim memang bukan
di jalur pendidikan agama. Tapi waktu SMU, dia pernah belajar kepada guru tafsir
dan hadis yang ada di Malang pada saat itu selama seminggu sekali. Guru-guru
tersebut menurutnya bukanlah guru-guru yang masih level kampung, melainkan
sudah pada level nasional. Dia belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua
rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Untuk hadis, dia belajar
kepada Muhammad Bejo, mubalig nasional Muhammadiyah.10
8 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 9 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 10 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
41
Ketika K.H. Achmad Chair mengajarkan tafsir, dia dan teman-teman
sepengajiannya diperintahkan untuk membuka al-Quran masing-masing. Lalu
K.H. Achmad Chair menerjemahkan dan menjelaskan ayat yang sedang dibahas.
Kala menjelaskan, biasanya K.H. Achmad Chair merujuk kepada kitab tafsir
tertentu. Misalnya, “Kata ini akan bermakna ini kalau kita mengikuti as-Suyuti”.
Dari belajar dengan K.H. Achmad Chair, Chodjim mendapat pemahaman
lebih dibanding sekedar membaca terjemahan al-Quran saja. Guru-guru tersebut
juga menginformasikan kepadanya beberapa kitab tafsir- baik yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab- untuk
dipelajari. Ini yang mendorongnya di kemudian hari untuk mendalami bahasa
Arab sebagai landasan penafsiran dan bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa
Arab, dia belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra.
Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa
ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih
menitikberatkan di satu tempat. Artinya, menurut Chodjim, banyak pilihan-pilihan
yang disediakan ketika seorang penafsir ingin menafsirkan al-Quran. Maka dia
lebih memilih agar terjemahan al-Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer
yang bisa dipahami oleh pembaca zaman sekarang.11
As-Suyuti, seperti yang dikutip Islah Gusmian, mendaftar beberapa
keilmuan yang mesti dikuasai seorang yang akan melakukan aktivitas penafsiran.
Dengan menguasai beberapa keilmuan tersebut diharapkan penafsiran yang
dilakukan lebih akurat.12 (1) Ilmu bahasa. (2) Ilmu nahwu. (3) Ilmu tashrîf. (4)
Ilmu isytiqâq. (5) Ilmu ma’âni. (6) Ilmu badî’. (7) Ilmu qirâ’at. (8) Ilmu ushûl al-
11 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 12 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Bandung: Teraju, 2003), h. 282.
42
dîn. (9) Ilmu ushûl al-fîqh. (10) Ilmu asbâb al-nuzûl. (11) Ilmu naskh mansûkh.
(12) Ilmu fiqh. (13) Ilmu hadîst. (14) Ilmu al-muhabah [ilmu yang diberikan
Allah kepada mereka yang mengamalkan apa yang diketahui].
M. Abduh, seperti yang dikutip Rif’at Syauqi Nawawi, menetepkan
beberapa syarat bagi seorang mufasir.13 (1) Memahami hakikat lapal-lapal tunggal
yang dipergunakan al-Quran dengan memperhatikan bagaimana ahli bahasa lapal-
lapal itu tanpa harus terpaku pada satu pendapat tertentu. (2) Menguasai ’ilm al-
asâlib, yaitu ilmu yang mengkaji tentang gaya bahasa Arab. (3) Mengetahui
sosiologi (hal-ihwal manusia). (4) mengetahui secara cermat bagaimana al-Quran
memberikan petunjuk kepada manusia; dan mengenal dengan baik sejarah
perikehidupan Nabi dan para sahabat.
Atau Fazlur Rahman yang masyhur dengan pendekatan sejarah dalam
menafsirkan al-Quran, seperti yang dikutip Taufik Adnan Amal, juga menetapkan
beberapa modal untuk seorang penafsir.14 (1) Memahami kondisi aktual
masyarakat Arab pra-Islam dan masa Nabi dalam rangka menafsirkan pernyataan-
pernyataan legal dan sosio-ekonomi al-Quran. (2) Menekankan ’ideal moral’ al-
Quran ketimbang ketentuan legal spesifiknya.
Lalu apa modal Achmad Chodjim? Dari hasil wawancara penulis
dengannya tergambar beberapa modal yang dimilikinya untuk menafsirkan al-
Quran. Sebagai landasan standar, Chodjim mengumpulkan dan membaca
beberapa karya yang membahas Ulûm al-Qurản dari berbagai penulis. Setelah itu
13 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 10-109. 14 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989), h. 189-190.
43
44
dia juga memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama
Islam. Tidak lupa membaca sirah Nabi dan para sahabat.15
Menurut Chodjim, dengan memelajari ilmu-ilmu tadi dan sudah
mengidentifikasi karya-karya tafsir yang sudah dibaca sebelumnya, seorang
mufasir sudah tahu tafsir yang akan dirumuskannya seperti apa dan tahu akan ke
mana lingkup tafsirnya sebelum menuliskannya. Setelah itu seorang bisa
menambahkan keilmuan non-agama mutakhir. Seperti fisika, kimia, geologi,
sosiologi, dan lain-lain.
Dalam wawancara lain, Chodjim menyebut beberapa syarat atau modal
yang diperlukan seorang mufasir. (1) Bahasa Arab. Untuk menafsirkan al-Quran
kita harus paham bahasa Arab, termasuk sastranya meskipun secara pasif. (2)
Seorang mufasir juga harus punya modal sejarah (sîrah) Nabi. Sebab seperti yang
kita tahu bahwa ayat-ayat al-Quran itu diturunkan tidak lepas dari ruang dan
waktu. (3) Seorang mufasir juga harus memiliki kamus bahasa Arab. Tentu saja
makin banyak kamus bahasa Arab yang dimiliki akan sangat membantu calon
penafsir dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Karena kenyataannya banyak ayat-
ayat al-Quran yang satu kata digunakan oleh satu suku, misalnya suku Quraisy,
tapi tidak digunakan suku lain. Padahal dalam al-Quran dinyatakan bahwa al-
Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Tentu pengertian yang jelas
harus diselidiki dan ditinjau lebih jauh. Kalau sesuatu dikatakan jelas berarti
seseorang pasti akan menemukan rujukannya tidak mungkin tidak.16
15 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 16 Wawancara Achmad Chodjim dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Diakses pada 19
Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/kita-selalu-butuh-tafsir-yang-sesuai-zaman/.
BAB IV
ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH
Pengantar
Ada dua aspek yang dibidik ketika ingin menganalisis sebuah karya tafsir
dengan menggunakan rumusan Islah Gusmian.1 (1) Aspek teknis. Aspek ini
terdiri dari sistematika penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa yang
dipakai dalam penulisan tafsir, sifat mufasir, sumber-sumber yang dijadikan
rujukan dalam penulisan tafsir, dan keilmuan mufasir. (2) Aspek ’dalam’ atau
hermeneutik. Aspek ini terdiri dari metode penafsiran, nuansa penafsiran, dan
pendekatan tafsir.
Dalam pembahasan nanti, penulis akan menguraikan terlebih dahulu apa
yang sudah dirumuskan oleh Islah Gusmian, seperti definisi dan penjabaran dari
variabel teknis dan hermenenutis beserta sub-sub bagiannya. Setelah itu, penulis
akan menentukan di mana posisi Alfatihah berdasarkan formulasi Islah Gusmian
tersebut, baik aspek teknis dan hermeneutisnya.
A. Aspek Teknis Penulisan
Pengertian aspek teknis penulisan tafsir adalah suatu kerangka teknis yang
digunakan penulis tafsir dalam menampilkan sebuah karya tafsir. Jadi, aspek ini
terkait lebih pada penulisan karya tafsir yang bersifat teknis, bukan pada proses
penafsiran yang bersifat metodologis.
1 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Bandung: Teraju, 2003), h. 119-121.
45
1. Sistematika Penyajian Tafsir
Sistematika penyajian tafsir adalah rangkaian yang dipakai dalam
penyajian tafsir. Dalam sub-bab ini, Islah Gusmian membagi menjadi dua
kelompok. Sistematika penyajian runut dan sistem penyajian tematik. (a)
Sistematika runut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang
rangkaian penyajiannya mengacu pada: (1) Urutan surat yang ada dalam model
mushaf Ustmani standar (2) mengacu pada urutan turunnya wahyu.2
(b) Sistematika penyajian tematik adalah suatu bentuk rangkain penulisan
karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu atau pada ayat,
surat, dan juz tertentu. Tema atau ayat, surat dan juz tertentu, ditentukan sendiri
oleh penulis tafsir. Dari tema-tema ini, mufasir menggali visi al-Quran tentang
tema yang ditentukan itu.
Kesimpulan: Berdasarkan rumusan yang dibuat Gusmian di atas, penulis
melihat bahwa tafsir Alfatihah lebih condong kepada tematik klasik, yakni
menafsirkan surat tertentu (bisa juga juz atau ayat tertentu) yang dalam hal ini
surat al-Fatihah. Disebut tematik klasik karena model penyajian tematik seperti ini
umum dipakai dalam karya tafsir klasik.3
Dalam Alfatihah, setiap ayat ditafsirkan satu per satu secara berurutan.
Masing-masing ayat menjadi tema tersendiri di dalam sebuah bab. Seperti
Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha Pemurah, Raja Hari al-Din,
Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus, Kenikmatan Surgawi, Orang yang
Dimurkai, dan terakhir Amin. Tiap-tiap bab tadi memiliki sub-bab sendiri-sendiri.4
2 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 122-128. 3 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 129. 4 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru]
(Jakarta: Serambi, 2008) h. 6.
46
Tabel IV
Sistematika Penyajian Alfatihah
Sistematika Penyajian Tafsir
Tafsir Alfatihah Tematik Klasik
2. Bentuk Penyajian Tafsir
Bentuk penyajian tafsir adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir
yang ditempuh mufasir dalam menafsirkan al-Quran. Dalam bentuk penyajian ini,
ada dua bagian: (a) bentuk penyajian global dan (b) bentuk penyajian rinci yang
masing-masingnya memunyai ciri-ciri tersendiri.
(a) Bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian
karya tafsir yang penjelasannya dilakukan cukup singkat dan global. Biasanya
bentuk ini lebih menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Quran
yang dikaji. Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model analisa
tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemahan, sesekali
asbảb al-nuzủl, dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang
dikaji.
(b) Bentuk penyajian rinci menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran
secara detail, mendalam, dan komprehensif. Terma-terma kunci di setiap ayat
dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks
ayat. Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang
sebelumnya ditelisik aspek asbảb al-nuzủl dengan kerangka analisis yang
beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis, dan yang lain.5
5 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 148-152.
47
Kesimpulan: Dalam menafsirkan ayat per ayat, Chodjim tidak
mencantumkan ayat dalam teks Arab tapi dalam tulisan Latin lalu terjemahannya.
Seperti yang ia tulis, ”Alhamdu li Allahi rabbi al-Alamin’, begitulah bunyi ayat
kedua dari surat al-Fatihah seperti yang dicetak dalam Alquran yang ada di
Indonesia”.6 Namun pada beberapa ayat yang lain, Chodjim langsung memulai
penafsirannya tanpa menulis terlebih dulu ayat yang akan dibahas.7
Sebagai bacaan populer, Alfatihah cukup bermanfaat bagi orang ingin
cepat memahami surat al-Fatihah tapi harus dijejali dengan pelbagai analisis yang
rumit. Tidak seperti Tafsir al-Mishbảh karya Quraish Shihab yang panjang lebar
dalam menganalisa penggalan ayat dari sisi kebahasaan, dalam tafsir Alfatihah
proses ini dirampingkan. Sebagai contoh, ketika menafsirkan ayat basmalah,
sebagai permulaan Chodjim mengartikan secara literal ayat tersebut. Setelah itu,
ia langsung menjelaskan pentingnya mengucapkan lapal bismillah dalam segala
aktivitas. Menurutnya, bismillảh adalah cara Tuhan untuk mengingatkan manusia
bahwa apa yang dikerjakannya menjadi mungkin karena kekuatan yang ada pada
dirinya adalah anugerah Tuhan. Tidak ada analisis kebahasaan di sini padahal ia
merujuk Shihab dalam menafsirkan ayat itu.8
Bandingkan dengan Shihab ketika menafsirkan ayat yang sama. Dalam
permulaan penafsiran ia mengelaborasi makna huruf ba yang dibaca bi pada
bismillảh. Huruf tersebut, menurutnya, yang diterjemahkan dengan mengandung
satu kata atau kalimat yang tidak terucapkan tapi harus terlintas di dalam benak
ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata ’memulai’, sehingga Bismillảh berarti
6 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64. 7 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 90 dan 213. 8 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 26.
48
”Saya atau Kami memulai apa yang kami kerjakan ini –dalam konteks surah ini
adalah membaca al-Quran—dengan nama Allah.9
Tabel V
Bentuk Penyajian Alfatihah
Bentuk Penyajian Tafsir
Tafsir Alfatihah Bentuk Penyajian Global
3. Gaya Bahasa Penulisan Tafsir
Analisis bentuk gaya bahasa penulisan diorientasikan untuk melihat
bentuk-bentuk bahasa yang dipakai dalam karya tafsir. Kategorisasi yang dipakai
dalam konteks ini mirip yang ada dalam dunia jurnalistik. Setidaknya ada empat
gaya bahasa penulisan yang dapat dibedakan dari literatur tafsir yang ada. Yakni
gaya bahasa kolom, reportase, ilmiah, dan populer.
Gaya bahasa kolom adalah gaya penulisan tafsir dengan memakai kalimat
yang pendek, lugas, dan tegas. Dalam bentuk ini, biasanya diksi-diksi yang
dipakai dipilih melalui proses serius dan akurat. Diksi-diksi yang dipilih itu
menyimpan kekuatan yang mampu menghentakkan imajinasi dan batin pembaca.
Gaya bahasa penulisan reportase ditandai dengan menggunakan kalimat
yang sederhana, elegan, komunikatif, dan lebih menekankan pada hal yang
bersifat pelaporan dan bersifat human interest. Gaya bahasa macam ini, seperti
reportase yang sering digunakan dalam majalah atau koran yang menyajikan
laporan dari pelbagai peristiwa penting. Biasanya model ini memikat emosi
pembaca sekaligus mengajaknya masuk dalam tema yang ditulis.
9 M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbảh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 11.
49
Gaya bahasa ilmiah ialah suatu gaya bahasa penulisan yang dalam proses
komunikasinya terasa formal dan kering. Biasanya dalam model ini kalimatnya
cenderung menunjuk pada sistem komunikasi oral dihindari, seperti pemakaian
kata Anda, kita, saya, dan seterusnya. Karena karakternya yang semacam itu,
maka gaya bahasa ilmiah ini cenderung melibatkan otak ketimbang emosi
pembaca. Dengan demikian pembaca kurang dilibatkan dalam wacana peristiwa
yang dipaparkan.
Gaya bahasa populer adalah model gaya bahasa penulisan karya tafsir
yang menempatkan bahasa sebagai medium komunikasi dengan karakter
kebersahajaan. Kata maupun kalimat yang digunakan, dipilih yang sederhana dan
mudah. Bedanya dengan gaya reportase, gaya bahasa populer ini kurang kuat
dalam proses pelibatan pembaca.10
Kesimpulan: Sebagai bacaan populer tentu saja Alfatihah menggunakan
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua lapisan sosial calon
pembacanya. Apalagi karya ini tidak hanya ditujukan bagi kalangan Muslim saja
tapi juga untuk kalangan agama lain, seperti Kristen, Khatolik, Hindu, Budha atau
kepercayaan apapun yang diyakini.11
Selain menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami,
Chodjim dalam menuliskan tafsirnya juga menggunakan kata-kata lho, nah, dan
aha yang lazim digunakan dalam pembicaraan face to face. Sepertinya yang
terbayang dalam benak Chodjim ketika menulis Alfatihah dia tidak sedang
menulis melainkan berbicara langsung dengan pembacanya. Di beberapa
10 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 165-170. 11 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 13.
50
kesempatan, Chodjim menjelaskan kaitan ayat dengan cara bercerita dan
percakapan antara satu tokoh dengan sahabatnya.12
Tabel VI
Gaya Penulisan Alfatihah
Gaya Penulisan Tafsir
Tafsir Alfatihah Gaya Bahasa Populer
4. Bentuk Penulisan Tafsir
Bentuk penulisan tafsir adalah mekanisme penulisan yang menyangkut
aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah literatur tafsir. Aturan yang
dimaksud adalah tata cara mengutip sumber, penulisan catatan kaki, penyebutan
buku-buku yang dijadikan rujukan, serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi
keredeksionalan. Dalam kaitan ini, ada dua hal pokok yang dianalisis: (a) bentuk
penulisan ilmiah dan (b) bentuk penulisan non-ilmiah.
(a) Bentuk penulisan ilmiah adalah suatu penulisan tafsir yang sangat ketat
dalam memperlakukan mekanisme penyusunan redaksionalnya. Dalam bentuk ini,
kalimat maupun pengertian yang didapat dari beberapa literatur lain diberi catatan
kaki ataupun catatan perut untuk menunjukkan pada pembaca sumber asli
pengertian yang dirujuk tersebut. Judul, buku, tempat, tahun, penerbit, serta
nomor halaman buku menjadi penting untuk dituturkan dalam bentuk penulisan
ilmiah ini.
(b) Bentuk penulisan non-ilmiah adalah bentuk penulisan tafsir yang tidak
menggunakan kaidah penulisan ilmiah yang mensyaratkan adanya: footnote,
12 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 214 dan 90.
51
endnote, maupun catatan perut, dalam memberikan penjelasan atas literatur yang
dirujuk. Meskipun tidak menggunakan bentuk penulisan ilmiah, bukan berarti
sebuah karya tafsir lalu diklaim, dari segi isi, tidak ilmiah. Kategori ilmiah dalam
pengertian ini tidak ada kaitannya dengan isi.13
Kesimpulan: Meski dalam Alfatihah ada catatan kaki, tapi tidak seketat
karya ilmiah. Seperti saat mengutip sebuah hadis, Chodjim dalam catatan kakinya
hanya menyebut hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi tertentu tanpa menyebut
nama kitab perawi tersebut, jilid berapa, nama penerbit, tahun penerbitan, dan
halamannya.14
Begitu juga ketika dia merujuk kepada suatu karya tafsir. Dia hanya
menulis ”Thabataba’i dalam Mengungkap Rahasia Alquran menyebutkan bahwa
kata menyentuh bisa diartikan memahami”.15 Dalam footnote tersebut, jelas ia
tidak mencantumkan di halaman berapa kalimat itu berada.
Tabel VII
Bentuk Penulisan Alfatihah
Bentuk Penulisan Tafsir
Tafsir Alfatihah Bentuk Penulisan Non-Ilmiah
5. Sifat Mufasir
Dalam penyusunan sebuah karya tasfir, seseorang bisa melakukannya
secara individual, kolektif-dua orang atau lebih- atau bahkan dengan membentuk
tim atau panitia khusus secara resmi. Dalam konteks sifat mufasir ini, terbagi
menjadi dua bagian: (a) Individual, dan (b) Kolektif atau tim.
13 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172-174. 14 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 62 dan 63. 15 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 227.
52
(a) Istilah mufasir individual digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu
karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. (b) Pengertian mufasir kolektif untuk
menunjukkan bahwa karya tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif
ini terbagi menjadi dua bagian: (1) kolektif resmi dan (2) kolektif tidak resmi. (1)
Kolektif yang resmi adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga
tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus dalam rangka menulis tafsir. (2)
Kolektif yang tidak resmi adalah bentuk kolektif yang tidak bersifat formal dan
dalam kolektivitas itu hanya terdiri dua orang penyusun.16
Kesimpulan: Alfatihah ditulis Achmad Chodjim sendiri.17 Tidak ada
pihak-pihak lain yang membantunya dalam hal penulisan.
Tabel VIII
Sifat Mufasir Alfatihah
Sifat Mufasir
Tafsir Alfatihah Individual
6. Asal-usul dan Keilmuan Mufasir
Asal-usul dan keilmuan mufasir adalah latar belakang seorang mufasir
dalam pendidikan formalnya. Setelah itu, dibedakan apakah ia berangkat dari
disiplin ilmu tafsir al-Quran atau disiplin ilmu non-tafsir al-Quran.18
Kesimpulan: Seperti yang diakuinya sendiri, secara formal studi yang
yang ditempuh Achmad Chodjim bukanlah dari disiplin tafsir al-Quran.
Pendidikan strata 1 ditempuh di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan
Agronomi dan lulus pada 1987. Lalu ia melanjutkan pendidikan strata 2 ditempuh
16 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 1176-177. 17 Untuk lebih lengkapnya lihat sub-bab III, Masa Penulisan Dan Penerbitan. 18 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 179.
53
di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya, Jakarta, dengan konsentrasi studi manajemen
dan lulus pada 1996.
Meski demikian, sebelumnya Achmad Chodjim pernah nyantri di pondok
pesantren Darul Ulum, Jombang, dan pondok modern Darussalam, Gontor. Saat di
Malang, ia pernah mengaji tafsir dan hadis pada dua guru yang mumpuni dalam
bidangnya masing-masing. Dari keduanya, Chodjim mendapatkan pengetahuan
yang lebih luas dan mendalam tentang al-Quran dan hadis.19
Tabel IX
Asal-usul Keilmuan Mufasir Alfatihah
Asal-usul dan Keilmuan Mufasir
Tafsir Alfatihah Disiplin ilmu Non-Tafsir al-Quran
7. Asal-usul Literatur Tafsir
Asal-usul literatur tafsir di sini ingin menelusuri apakah literatur tafsir itu
ditulis untuk kepentingan akademis di perguruan tinggi,-seperti skripsi, tesis, dan
disertasi- atau hanya sebagai bentuk apresiasi umat Islam atas kitab sucinya.
Asal-usul literatur tafsir al-Quran yang pada mula ditulis untuk
kepentingan akademik adalah untuk memperoleh gelar akademik. Karya tafsir
yang mulanya lahir dari tugas akademik secara umum cukup komprehensif: dari
segi isi, model penulisan, dan bahasa yang digunakan. Ini terjadi karena dalam
dunia akademik, beberapa persyaratan, baik dari segi bentuk penulisan, bahasa,
serta analisa yang digunakan, menjadi persyaratan utama yang harus dipenuhi
seorang penulis. Itu sebabnya, literatur tafsir di Indonesia yang berasal dari tugas
19 Untuk lebih lengkapnya lihat bab III, khususnya sub-bab masa penulisan dan
penerbitan.
54
akademik memunyai beberapa kelebihan, setidaknya dari segi bentuk penulisan
dan analisis yang digunakan.
Bentuk kedua asal-usul buku tafsir adalah yang ditulis berasal dari
kepentingan akademik. Meskipun bukan dalam konteks kepentingan akademik,
buku tafsir yang termasuk dalam kategori ini bukan berarti tidak ilmiah, baik dari
segi bentuk penulisan, bahasa, maupun analisis yang digunakan. Sebab literatur
tafsir dalam bagian ini, secara substansial juga merupakan karya ilmiah.20
Kesimpulan: Alfatihah bukanlah karya akademis. Alfatihah ditulis
Chodjim sebagai bentuk apresiasinya terhadap surat al-Fatihah dan sebagai
upayanya untuk menyelami makna dan kandungannya. Menurutnya, al-Fatihah
adalah surat yang paling sering dibaca kalangan Muslim. Bagi yang aktif salat, al-
Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Belum lagi pada acara-acara atau
ritus-ritus tertentu seperti tahlilan.
Selain dalam rangka mengapresiasi al-Fatihah, Chodjim juga ingin
menawarkan sebuah tafsir al-Fatihah kepada khalayak yang sesuai dengan konteks
kekinian tapi diulas dengan bahasa yang sederhana. Cocok untuk mereka yang
tidak paham bahasa Arab tapi ingin mengetahui maknanya.21
Tabel X
Asal-usul Alfatihah
Asal-usul Literatur Tafsir
Tafsir Alfatihah Non-Akademik
20 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 182-184. 21 Untuk lebih lengkapnya lihat bab III, khususnya sub-bab masa penulisan dan
penerbitan.
55
8. Sumber-sumber Rujukan
Sumber-sumber rujukan adalah buku atau tafsir yang dijadikan referensi
oleh seorang mufasir dalam penulisan tafsirnya. Referensinya bisa dari bahasa
tertentu atau terjemahan, generasi tertentu, dan aliran tafsir tertentu. Untuk
menguatkan tafsirnya, seorang mufasir bisa juga merujuk ke buku-buku di luar
tafsir.22
Kesimpulan: Ada sekitar 19 buku yang dijadikan referensi dalam
penulisan Alfatihah oleh Chodjim.23 Di antaranya: [1] Alquran Alkarim. [2] Studi
Ilmu-ilmu Quran, terjemahan Muzakir AS (Bogor dan Jakarta, 2000) karya
Manna Khalil Al-Qatthan. [3] Islamologi (Dinul Islam), terjemahan R, Kaelan dan
H.M. Bachrun (Jakarta, 1996) karya Maulana Muhammad Ali. [4] Qur’an Suci:
Teks Arab, Terjemahan dan Tafsir Bahasa Indonesia, terjemahan H.M. Bachrun
(Jakarta, 1996) karya Maulana Muhammad Ali. [5] Fatwa Alquran tentang Alam
Semesta, terjemahan Mahnun Husein (Jakarta, 2000) karya Aneesuddin.
[6] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, terjemahan Syihabuddin (Jakarta, 1999)
karya Muhammad Nasib Ar-Rifai. [7] Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta,
1994) karya J.S. Badudu dan Zain S.M. [8] Hans Wehr: A Dictinary of Modern
Written Arabic (3rd ed. New York, 1976) karya J. Milton Cowan. [9] Alquran dan
Terjemahannya (Ed. Revisi, Semarang 1989) karya Departemen Agama RI. [10]
Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terjemahan A.
Supratinya (Yogyakarta, 1987) karya Frank. G. Globe.
[11] Mutiara Surat Al-Fatihah (Ciputat, 2000) karya Salman Harun. [12]
Surat al-fatihah, terjemahan Muhammad Ja’far (Surabaya, 1983) karya Syekh
22 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 187-188. 23 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 353-355.
56
Thanthawi Jauhary. [13] Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengungkap Hikmah
Alquran, terjemahan M.S. Nasrullah (Jakarta, 1992) karya Murthada Muthahari.
[14] Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah Saw, terjemahan Bahrun Abu Bakar
(Bandung, 1996) karya Syekh Manshur Ali Nashif. [15] Sebuah Ijtihad (Jakarta,
1984) karya H.E. Semedi.
[16] Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung, 1997) karya M. Quraish Shihab.
[17] The Holy Qur’an: English Translation of the Meaning and Commentary
(Madinah, 1410 H) karya The Presidency of Islamic Researches. [18]
Mengungkap Rahasia Alquran, terjemahan A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas
(Bandung, 1997) karya M. H. Thabathaba’i. [19] Alquran Terjemahan Indonesia
(Jakarta, 1994) karya Tim Disbintalad.
Tabel XI
Sumber-sumber Rujukan Alfatihah
Sumber-sumber Rujukan
1. Buku Tafsir Buku nomor 1, 2, 3, 4, 5,
6, 9, 11, 12, 13, 16, 17,
18, 19.
Tafsir Alfatihah
2. Buku non-Tafsir Buku nomor 7, 8, 10, 14,
15.
57
B. Aspek Hermeneutik
Dalam sejarah hermeneutik tafsir al-Quran, setidaknya terbagi menjadi
dua: (1) hermeneutika al-Quran tradisional dan (2) hermenenutika al-Quran
kontemporer. Dalam hermeneutika al-Quran tradisional, perangkat metodologi
yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan
sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun unsur triadik ini
telah hidup di dalamnya waktu itu. Sedangkan hermeneutika al-Quran
kontemporer telah melakukan perumusan sistematis unsur triadik tersebut. Di
dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir di
satu sisi dan audiens di sisi lain, secara metodologis merupakan bagian yang
mandiri.24 Dalam konteks penggalian dimensi-dalam karya ini, yang bersifat
paradigmatik, di sini diacukan pada tiga variabel pokok: (1) metode penafsiran,
(2) nuansa penafsiran, dan (3) pendekatan tafsir. Dari tiga variabel ini, analisis
Alfatihah dilakukan.
1. Metode Tafsir
Metode tafsir adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran al-Quran. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua
aspek penting. Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya.
Kedua, aspek konteks di dalam teks yang merepresentasikan ruang-ruang sosial-
budaya yang beragam di mana teks itu muncul. Selain dua aspek ini, seperti yang
terjadi dalam hermeneutika al-Quran tradisional, riwayah juga merupakan satu
variabel yang digunakan untuk menjelaskan makna teks.25
24 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196. 25 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196.
58
Dalam kecenderungan umum penafsiran al-Quran, ada dua arah penting
dalam melihat kerangka metodologi yang dipakai, yaitu tafsir riwayat dan tafsir
pemikiran. Selanjutnya akan penulis rinci kedua metode tafsir tersebut.
a. Metode Tafsir Riwayat: Pemahaman Nabi Muhammad Sebagai
Acuan Tunggal
Dalam tradisi studi al-Quran klasik, riwayat merupakan sumber penting
dalam pemahaman teks al-Quran. Sebab, Nabi diyakini sebagai penafsir pertama
terhadap al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah ’metode tafsir riwayat’.
Pengertian metode riwayat dalam sejarah hermeneutik al-Quran klasik,
merupakan proses penafsiran al-Quran yang menggunakan data riwayat dari Nabi
dan atau sahabat sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Quran.
Model tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan Nabi dan
atau para sahabat. Ini ditemukan dalam beberapa literatur tafsir klasik, misalnya
Tafsỉr al-Thabảri karya al-Thabari, Tafsỉr al-Qurản al-Azhỉm karya ibn Katsir dan
yang lain.26
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir
riwayat. Al-Zarqani, seperti yang dikutip Gusmian, membatasinya dengan
mendefiniskan sebagai tafsir yang diberikan ayat al-Quran, sunah Nabi, dan para
sahabat. Dalam batasan ini ia jelas tidak memasukan tafsir yang dilakukan para
tabi’in. al-Zhahabi, seperti yang dikutip Gusmian, memasukan tafsir tabi’in dalam
kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung
dari nabi Muhammad. Tapi nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim
sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka,
26 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 197.
59
seperti Tafsỉr al-Thabảri. Al-Shabuni, seperti yang dikutip Gusmian, memberikan
pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya, tafsir riwayat adalah model
tafsir yang bersumber dari al-Quran, sunah, dan perkataan sahabat. Definisi al-
Shabuni ini tampaknya lebih terfokus pada material tafsir bukan pada metodenya.
Berbeda dengan al-Shabuni, ulama Syiah, seperti yang dikutip Gusmian,
berpendapat bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para
Imam ahl al-bayt. Hal-hal yang dikutip dari para sahabat dan tabi’in menurut
mereka tidak dianggap sebagai hujjah.
Dari segi material, menafsirkan al-Quran memang bisa dilakukan dengan
menafsirkan antar-ayat, ayat dengan hadis Nabi, dan atau perkataan sahabat.
Namun secara metodologis, bila kita menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat yang
lain dan atau dengan hadis tapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari
penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu itu semua sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat atau
hadis Nabi dalam menafsirkan al-Quran, tentu ini secara metodologis tidak
sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.27
Lepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu
tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode tafsir riwayat bisa didefinisikan
sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran
Nabi yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan/atau dalam bentuk asbảb al-
nuzủl sebagai satu-satunya sumber data otoritatif’. Sebagai salah satu metode,
model riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya
27 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198.
60
bergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Juga harus diketahui bahwa tidak
setiap ayat mempunyai asbảb al-nuzủl.
b. Metode Tafsir Pemikiran: Intelektualitas Sebagai Dasar Tafsir
Al-Qaththan, seperti yang dikutip Gusmian, mencatat bahwa sejak
berakhirnya masa salaf, sekitar abad ke-3 H, peradaban Islam semakin
berkembang dengan dibarengi lahirnya pelbagai mazhab di kalangan umat Islam.
Masing-masing mazhab berusaha meyakinkan pengikutnya dengan memberikan
penjelasan dari ayat-ayat al-Quran. Teks al-Quran, kemudian ditafsirkan dalam
kerangka corak kepentingan dan ideologinya tersebut. Dalam konteks ini, sejarah
tafsir mencatat adanya perkembangan pelbagai corak tafsir. Misalnya muncul
Tafsỉr al-Rảzi dengan corak filsafatnya yang ditulis Fakhr al-Razi, al-Kasysyảf
dengan corak teologi Muktazilahnya yang ditulis al-Zamakhsyari, Tafsỉr al-
Manảr dengan corak sosiologisnya yang ditulis Muhammad Rasyid Ridla dan
seterusnya.28
Namun, dalam konteks pengertian metode tafsir pemikiran yang dimaksud
bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qhathan di atas. Metode tafsir pemikiran
didefinisikan sebagai suatu penafsiran al-Quran yang didasarkan pada kesadaran
bahwa al-Quran, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah
budaya dan sejarah—di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari
budaya manusia. Dalam metode tafsir pemikiran, penafsir berusaha menjelaskan
pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi
dengan langkah epistemologis yang mempunyai dasar-pijak pada teks dengan
konteks-konteksnya.
28 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202.
61
Proses yang bersifat ijtihadi ini, bisa berupa penafsiran teks al-Quran
dalam konteks internalnya dan atau meletakan teks al-Quran dalam konteks sosio-
kulturalnya. Untuk kepentingan ini diperlukan suatu kajian atas medan bahasa
dalam konteks semiotik dan semantiknya yang membawa ide-ide dalam
historisitas masyarakatnya sebagai audiens. Teks al-Quran dengan wacana yang
dikembangkan di dalamnya, juga dikaji sebagai bagian penting dalam proses
perumusan dan penarikan kesimpulan dari gagasan-gagasan yang disampaikan al-
Quran. Teks al-Quran dengan historisitasnya mengharuskan adanya analisis
terhadap bangunan budaya yang ada pada saat teks itu muncul.
Artinya, yang dibangun dalam metode tafsir pemikiran ini adalah aspek
teoritis penafsiran, bahwa memahami teks al-Quran, sejatinya tidak lepas dari
kesadaran pengetahuan ilmiah untuk meletakkannya pada strukturnya sebagai
bahasa yang mempunyai struktur historis dengan wacana-wacana yang dipakai
dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya. Sebab teks al-Quran, dalam
konteks bahasa, merupakan bentuk representasi dan kerterwakilan budaya
masyarakat saat teks diproduksi. Proses pergeseran makna dari satu terma dalam
bahasa (Arab) juga harus dipahami dalam konteks budaya masyarakat ketika
terma itu dipakai. Dengan demikian, untuk memahami al-Quran harus juga
memahami persoalan budaya, wilayah geografi, dan psikologi masyarakat di mana
al-Quran diturunkan dan berdialog dengannya.29
Dengan kerangka teori yang demikian, bukan hanya bahasa dengan
strukturnya yang menentukan sebuah pemahaman atas gagasan yang ada dalam
teks al-Quran. Struktur wacana dan budaya yang melingkupi kemunculan teks
29 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202.
62
juga menjadi medan analisis yang sangat penting. Dari sini, kita akan mampu
mengungkap hal-hal implisit dan yang tak terkatakan (maskủt ’anhu) dari teks al-
Quran. Dari situ pula gagasan yang disampaikan al-Quran dapat ditemukan secara
utuh. Jadi, pokok dasar dari metode ini terletak pada bangunan epistemologi tafsir
yang didasarkan bukan semata-mata pada riwayat tapi pada proses intelektualisasi
yang secara epistemologis bisa dipertanggungjawabkan.
Pada metode tafsir pemikiran ini, ada dua variabel pokok yang akan
dijadikan titik tolak. Pertama, variabel sosio-kultural di mana teks al-Quran
muncul dan diarahkan pertama kali. Dalam bagian ini meliputi persoalan
geografis, psikologis, budaya, dan tradisi masyarakat yang menjadi audiens
pertama teks al-Quran. Kedua, adalah struktur linguistik teks. Bagian ini, meliputi
analisis semantik dan semiotik lalu dipaparkan juga metode tafsir ilmiah, sebuah
penafsiran yang didasarkan pada data-data yang secara material diperoleh dari
penemuan sains-ilmiah yang fungsinya untuk mengukuhkan bangunan logika
ilmiah yang dinarasikan al-Quran.
I. Analisis Sosio-Kultural: Melihat al-Quran dari Medan Sosial dan
Budaya
Mesti dipahami bahwa teks al-Quran lahir dan diturunkan Tuhan bukan
dalam ruang hampa tapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Itu
sebabnya, Fazlur Rahman, seperti yang dikutip Gusmian, menyebutnya sebagai
’respon Ilahi’ melalui pikiran Nabi terhadap situasi sosio-moral dan historis
masyarakat Arab abad ke-7 M.30 Dalam pengertian ini, budaya dan sejarah
30 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 204.
63
masyarakat Arab sebagai audiens al-Quran menjadi suatu wilayah yang harus
dikaji untuk menemukan gagasan-gagasan pokok al-Quran.
Analisis yang dilakukan itu, tentu tidak hanya bergantung pada asbảb al-
nuzủl. Sebab, asbảb al-nuzủl sendiri tidak sepenuhnya mampu menggambarkan
secara sempurna bangunan sosio-historis masyarakat (Arab) sebagai audiens di
samping memang tidak semua ayat mempunyai asbảb al-nuzủl. Langkah yang
demikian menjadi penting karena dengan pelbagai unsur tersebut teks al-Quran
terbentuk dan dalam konteks itu pula mestinya konsepsi-konsepsi yang
dibangunnya harus dipahami.
Seperti yang terlihat pada rumusan Abu Zayd, yang dikutip Gusmian,
tentang level-level teks al-Quran, konteks sosio-kultural ini—yang terdiri dari
aturan sosial dan kultural dengan semua konvensi, adat istiadat, dan tradisi yang
terekspresikan dalam bahasa teks—merupakan otoritas epistemologis
(marja’iyyah ma’rifiyyah). Sebab, bahasa pada hakekatnya mengandung aturan-
aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai
sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaan sendiri,
konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan kulturalnya sendiri pula.
Analisis sosio-kultural terhadap teks Kitab Suci menjadi penting dalam
rangka memberikan pemahaman yang lebih sesuai. Konsepsi yang dibangun
dalam teks al-Quran dengan demikian menjadi bangunan yang sangat historis dan
kultural sifatnya. Usaha untuk menemukan konsepsi-konsepsi itu, mesti diletakan
dalam medan kesejarahannya. Ada banyak hal yang mesti dilibatkan dalam
analisis sosio-historis ini: masalah wilayah geografis di mana suatu masyarakat
yang menjadi audiens pertama al-Quran itu berada, psikologi dan tradisi yang
64
berkembang di dalamnya. Dalam hermeneutik al-Quran kontemporer, keterkaitan
antara struktur triadik: teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, kemudian menjadi
wilayah penting yang harus dipertimbangkan. Yang terakhir ini, bisa menemukan
signifikansinya bila variabel kultural dan sejarah dalam makna yang luas,
dianalisis secara komprehensif.
II. Analisis Semiotik: Lewat Bahasa Menangkap Makna
Menurut Abu Zayd, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa mengandung
aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks
sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaan
sendiri, konsepsi-konsepsi mental, dan kepercayaan kultural. Konteks percakapan
(siyâq al-takhâtub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah
lughawiyyah) berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan partner bicara
yang didefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir pada sisi
lain.31
Dalam konteks ini, makna-makna dari suatu bahasa yang telah
terkontekstualisasi mengarahkan kita tentang perlunya menganalisis makna dari
kata. Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signifier) yang terkait
dengan yang ditandai (signified). Bagi Ferdinand de Saussure, seorang ahli
linguistik, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa sebagai sistem tanda (sign) hanya
dapat dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bila
mengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian
tertentu.32
31 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 211. 32 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212.
65
Oleh karena itu, bahasa bagi Saussure, seperti yang dikutip Gusmian,
bukanlah sekedar nomenklatur. Tinanda-tinandanya bukanlah konsep yang sudah
ada lebih dulu, tapi konsep-konsep yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan
kondisi yang lain. Tinanda dengan demikian tidaklah mandiri dan otonom yang
masing-masing memiliki esensi atau inti yang menentukannya. Ketinandaan dan
kepenandaan ditentukan oleh ’hubungan-hubungannya’. Dalam hubungan-
hubungan ini, Saussure lalu membaginya menjadi dua. Pertama, hubungan
associattive, atau yang biasa dikenal dengan istilah paradigmatik, dan kedua,
hubungan syntagmatic. Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian bunyi
maupun sebagai konsep.
Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya
dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam
sebuah kalimat, atau juga antar-dua kata, di mana kata pertama muncul sebagai
subjek bagi kata yang kedua. Selanjutnya saat menuturkan sesuatu, kita pada
dasarnya juga memilih suatu kata dari perbendaharaan kata yang kita ketahui dan
kita simpan dalam ingatan. Sebagian kata yang tidak kita pilih dalam ingatan itu
memiliki hubungan asosiatif dengan kata yang kita ucapkan. Hubungan inilah
yang disebut sebagai rangkaian paradigmatik.
Teks al-Quran dalam konteks linguistik juga merupakan sistem tanda yang
merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur kalimat yang ada di
dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks hubungan sintagmatik dan
asosiatif tadi. Sebab, dengan cara demikian, makna dari sebuah kata akan
ditemukan yang sesuai dengan konteks kalimat. Sehingga kata yang sama, dalam
hubungan sitagmatik yang berbeda, bisa jadi akan mengungkap makna yang
66
berbeda dan makna yang berbeda mengantarkan suatu gagasan yang berbeda.
Bahkan bila kita mengacu pada pendapat Jakobson yang menganggap bahwa
’kata’ tidak lagi dianggap satuan linguistik yang paling elementer tapi unsur yang
paling dasar adalah bunyi (fonem), maka kita juga akan menemukan analisis
mendasar dari kata sebagai penanda yang memberikan makna berbeda.33
III. Metode Semantik: Menangkap Pandangan Dunia al-Quran
Gagasan tentang analisis semantik dalam konteks al-Quran mulanya
dipopulerkan Toshihiko Izutsu. Dalam pengertian etimologisnya, semantik adalah
ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pergertian yang lebih luas
dari kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna
merupakan objek semantik. ’Makna’ dalam pengertian dewasa ini dilengkapi
persoalan-persoalan penting para pemikir yang bekerja dalam pelbagai bidang
kajian, khususnya linguistik itu sendiri, sosiologi, antropologi, psikologi, dan
seterusnya.34
Bagi Izutsu, seperti yang dikutip Gusmian, kajian semantik merupakan
kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan pandangan yang
akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan
dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Tidak hanya sebagai alat bicara
dan berpikir tapi lebih penting lagi adalah pengonsepsian dan penafsiran dunia
yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini, bagi Izutsu merupakan
kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang
atau pada periode sejarahnya yang signifikan dengan menggunakan alat analisis
33 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212. 34 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein,
Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), h. 2
67
metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri
dan telah mengkristal ke dalam kata kunci bahasa itu.35
Analisis semantik tidak saja berkaitan dengan elemen-elemen suatu
kalimat, atau korelasi antar-kalimat, atau berkaitan dengan perluasan figuratif
dalam arti bentuk gramatikal dan style, seperti yang terjadi dalam analisis
semiotik tapi menyangkut weltanschauung al-Quran, yaitu gagasan dan
pandangan dunia al-Quran yang bisa diperoleh dengan membongkar signifikansi
yang implisit atau yang Abu Zayd sebut sebagai maskût ’anhu di dalam struktur
wacana. Dan analisis teks melalui tanda linguistik haruslah mengungkap yang tak
terkatakan tadi.36
Analisis semantik semacam ini juga merepresentasikan kepentingan dalam
merangkum gagasan al-Quran yang terpecah-pecah. Artinya, konteks internal al-
Quran, juga berkaitan dengan ’ketakintegralan’ struktur teks al-Quran dan
pluralitas wacananya. Ketakintegralan ini terjadi karena adanya perbedaan antara
urutan teks (tartỉb al-ajzả) dan urutan pewahyuan (tartỉb al-nuzủl), di samping
memang teks al-Quran pada hakikatnya bersifat plural dan tidak mungkin
memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifiknya. Level
spesifik ini berkaitan dengan konteks pewahyuan yang didasarkan pada fakta-
fakta yang masing-masing bagian mempunyai konteks dan bahasanya sendiri
karena audiensnya berbeda-beda.
IV. Metode Sains Ilmiah: Relevansi al-Quran dengan Perkembangan
Teknologi Sains Ilmiah
35 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220. 36 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220.
68
Metode tafsir ilmiah adalah pemahaman atas teks al-Quran dengan
menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Dalam tradisi
tafsir, model ini bukanlah hal baru. Thantawi Jawhari, dalam al-Jawảhir-nya,
misalnya, adalah penafsir yang dikenal kuat dalam menggunakan metode tafsir
ilmiah ini. Dalam tafsirnya itu, ia menggunakan pelbagai data ilmiah sebagai
variabel dalam menjelaskan ayat al-Quran.37
Usaha menjelaskan ayat al-Quran dengan metode ilmiah ini bisa dipahami,
mengingat dalam al-Quran sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Yang menjadi
persoalan adalah manakah yang lebih dulu: pemahaman ilmiah baru dicarikan
justifikasi pada al-Quran ataukah pemahaman al-Quran yang kemudian
mendorong riset keilmuan? Tampaknya yang pertama yang banyak terjadi selama
ini. Dalam konteks ini muncul problem krusial: bagiamana bila teori ilmiah yang
dijadikan penjelas, tadinya diyakini final berkesesuaian dengan al-Quran ternyata
mengalami anomali dan tidak valid, sebab penemuan ilmiah tidak saja terus
berkembang tapi juga berubah.
C. Metode Interteks
Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap teks
secara niscaya merupakan sebuah interteks. Proses interteks bisa tampil dalam dua
bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam tersebut diposisikan sebagai
anutan dalam proses tafsir, sehingga fungsinya sebagai penguat. Kedua, teks-teks
di dalam teks tersebut diposisikan sebagai teks pembanding atau bahkan sebagai
objek kritik untuk memberikan suatu pembicaraan baru yang menurutnya lebih
37 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 226.
69
sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa dipertanggung-
jawabkan.38
Kesimpulan: Chodjim jelas tidak menggunakan metode yang
memanfaatkan data riwayat sebagai variabel utamanya, apalagi satu-satunya
dalam menafsirkan al-Fatihah. Data riwayat digunakannya di bab I, Penduhuluan,
ketika ia menjelaskan di mana surat ini diturunkan, nama-nama lain al-Fatihah—
seperti Umm al-Kitảb, Umm al-Qurản, dan Surah al-Syifả--, serta pentingnya al-
Fatihah dalam salat.39 Di bab III, Segala Puji Kepunyaan Allah, ia mengutip data
riwayat tentang musyarawah yang dilakukan Nabi dan para sahabat terkait isu
tawanan pasca perang Badr, riwayat yang terakhir tidak ada kaitan langsung
dengan surat al-Fatihah.40 Selebihnya, Chodjim mengutip hadis-hadis dari
Bukhari dan Muslim.
Lalu apakah Alfatihah dari sisi metodenya termasuk kategori metode
pemikiran? Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dalam metode
pemikiran ada beberapa sub, yakni analisis sosio-kultural, analisis semiotik,
metode semantik, metode sains-ilmiah, dan lain-lain. Mari telusuri satu per satu.
Dalam analisis sosio-kultural, konsepsi yang terbangun dalam teks al-Quran
menjadi bangunan yang sangat historis dan kultural sifatnya. Dengan kerangka
itu, maka Alfatihah tidak masuk dalam sub-kategori ini. Mengapa? Sebab dalam
analisisnya Chodjim tidak menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Arab
ketika menerima surat al-Fatihah dari sisi psikologi dan tradisi yang berkembang
di dalamnya ketika itu. Dalam konteks ini, asbảb al-nuzủl tentu tidak berbicara
banyak tentang hal-hal tadi. Bahkan dalam kasus asbảb al-nuzủl al-Fatihah, ada
38 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228. 39 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 20-23. 40 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64-65.
70
ketidakpastian di mana dan kapan persisnya al-Fatihah diturunkan. Untuk
mengatasi permasalahan ini, Dawan Rahardjo, misalnya, merekomendasikan
buku-buku sejarah seperti Kitảb Sirảh Rasủl Allah karya ibn Hisyam dan
Muhammad at Mecca dan Muhammad at Madina karya Montgomery Watt.41
Analisis semiotik yang menitikberatkan pada bahasa untuk menangkap
makna dan metode sains-ilmiah tampaknya juga tidak dominan dalam tafsir
Alfatihah. Yang paling memungkinkan menurut penulis adalah metode semantik.
Meski demikian, sebenarnya metode semantik tidak akan bisa berdiri utuh tanpa
ditopang dengan analisis-analisis lainnya, seperti linguistik, sosiologis, psikologis,
dan lain-lain. Dengan kerangka di atas, mari perhatikan bagaimana Chodjim
menafsirkan terma shirâth al-mustaqîm.
Ia mencatat terma shirâth terulang dalam al-Quran sebanyak 44 kali. Dari
44 kali, hanya 32 kali yang terulang dalam al-Quran dengan lengkap. Kemudian,
Chodjim menyajikan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat terma tadi. (1)
Allah memberi petunjuk Musa dan Harun untuk menyelamatkan Bani Israil
seperti yang tertulis pada Q.S. 37:118, ”Dan Kami tunjuki keduanya jalan yang
lurus”. (2) Petunjuk Tuhan mengantarkan manusia kepada jalan yang lurus. Hal
ini diungkapkan pada Q.S. 2:213. 42
(3) Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, bukan mengikuti
dorongan hawa nafsu, berarti ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Perhatikan firman-Nya Q.S. Perhatikan firman-Nya Q.S. 3:101 dan 19:36. (4) al-
Quran adalah kitab yang memberi petunjuk manusia ke jalan yang lurus, yang
mengeluarkan orang-orang dari kegelapan kepada cahaya yang terang, sehingga
41 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002), h. 650.
42 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 226.
71
sampai kepada kesalamatan hidup. Lihat Q.S. 5:16 dan 42:52. (5) Kehendak
Tuhan itu selalu berada di atas jalan yang lurus. Itu artinya, Allah tidak pernah
merugikan hamba-Nya sedikitpun. Orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya akan
dibiar sesat dalam hidupnya. Sebaliknya, mereka yang berusaha memamahi ayat-
ayat-Nya akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Artinya, kehendak
Tuhan bergantung pada pilihan manusia. Perhatikan Q.S. 6:39, 10:25, dan 24:46.
(6) Jalan lurus berarti agama yang benar, seperti yang dipraktekan nabi
Ibrahim. Dengan kebijakan yang dimilikinya, Ibrahim mampu mencari Tuhan
melalui pemahaman alam yang pada ujungnya bahwa Tuhanlah yang berada di
balik alam ini. Jalan hidup yang dilaluinya disebut jalan lurus, doktrin (millah)
yang lurus atau agama yang lurus. (7) Para rasul, para utusan Tuhan adalah
mereka yang berada di jalan yang lurus, seperti yang diungkapkan pada Q.S. 36:4.
(8) Tuhan adalah Dia yang senantiasa ada di jalan yang lurus, seperti yang
dinyatakan-Nya sendiri Q.S. 11:56.
Analisis semantik mengandaikan adanya keharusan kajian kebahasaan
secara umum, baik dalam konteks bagaimana sebuah kata dipakai menjadi terma
kuci dalam al-Quran atau proses perkembangan dan perluasan medan semantiknya
yang menjadi bangunan dasar dalam perumusan pandangan dunia al-Quran.
Dalam Alfatihah, ayat-ayat yang terkait dengan shirâth al-mustaqîm tidak
diperlihatkan perkembangan dan perluasan medan semantiknya. Walhasil,
paparan ayat-ayat tadi kurang menjadi menjadi bangunan utuh yang memberikan
pengertian tertentu dari pandangan dunia al-Quran. Sebagai bukti, Chodjim
akhirnya berkesimpulan bahwa jalan lurus adalah jalan keselamatan bersama.
Jalan lurus adalah jalan yang penuh keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.
72
Metode konflik yang diterapkan dalam kepemimpinan adalah bertentangan
dengan jalan lurus. Artinya, manusia tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya. 43
Layaknya karya tafsir lainnya, Alfatihah juga mengutip beberapa karya
tafsir yang representatif sebagai sumber rujukan.44 Ini dalam rumusan Gusmian
disebut dengan interteks. Kebanyakan karya-karya tafsir yang dirujuk Chodjim
untuk menguatkan pendapatnya dan bukan untuk dijadikan objek kritik sehingga
memberikan pembacaan baru. Sebagai contoh, tulisan Chodjim yang dirujuk dari
Shihab: ”Menguncapkan basmalah berarti kita menyatakan ’saya berbuat dengan
nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’. Atau, saya bertindak
atau bekerja dengan nama Tuhan Yang Rahman dan Rahim”.45
Tabel XII
Metode Alfatihah
Metode Tafsir
Tafsir Alfatihah Metode Interteks
2. Nuansa Tafsir
Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut
pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya, nuansa kebahasaan, teologi, sosial-
kemasyarakatan, psikologis, dan seterusnya. Uraian berikut akan memandu
penulis untuk meletakan posisi tafsir Afatihah. Proses analisis dengan pemetaan
nuansa tafsir ini lebih didasarkan pada variabel dominan di dalam karya tafsir.
43 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 232. 44 Untuk melihat karya-karya tafsir yang dijadikan rujukan oleh Chodjim bidik halaman
64 di bab ini. 45 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 25.
73
a. Nuansa Kebahasaan
Ketika teks al-Quran diwahyukan dan dibaca Nabi, ia sesungguhnya telah
tertransformasi dari sebuah tek ilahi (nash ilâhi) menjadi sebuah konsep (mafhûm)
atau teks manusia (nash insâni). Sebab, secara langsung berubah dari wahyu
(tanzîl) menjadi interpretasi (ta’wîl). Dari sini makna-makna yang dikonsepsikan
harus dilihat dari konteks bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab. Dalam
konteks ini, analisis bahasa menjadi signifikan.
Dalam hermeneutik al-Quran kontemporer langkah semacam ini adalah
bagian pokok dari kerja interpretasi. Dalam satu kasus, bisa jadi satu karya tafsir
memilih langkah analisis kebahasaan ini sebagai variabel utama. Dalam konteks
inilah nuansa kebahasaan itu dimaksud, yakni proses interpretasi dalam karya
tafsir yang dominan digunakan adalah analisis kebahasaan.
b. Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
Muhammad Abduh, seperti yang dikutip Gusmian, pernah mengatakan
bahwa pada hari akhir nanti Allah akan menanyai manusia mengenai pendapat
para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami al-Quran. Tapi Ia akan
menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing
dan mengatur manusia. Terhadap pernyataan Abduh ini, J.J.G. Jansen
menyimpulkan bahwa dengan maknanya yang praktis bukan hanya untuk ulama
profesional. Abduh menginginkan pembacanya, masyarakat awam maupun ulama,
menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional tidak akan
memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi
sehari-hari. Ia ingin meyakinkan pada para ulama bahwa mereka seharusnya
74
membiarkan al-Quran berbicara atas namanya sendiri bukan malah diperumit
dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.46
Nuansa sosial kemasyarakatan adalah tafsir yang menitikberatkan
penjelasan ayat al-Quran dari: (1) segi ketelitian redaksinya, (2) kemudian
menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama
memaparkan tujuan-tujuan al-Quran, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama
yang diuraikan al-Quran, dan (3) penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah
yang berlaku dalam masyarakat.
Seperti yang dilakukan Abduh, yang dikutip Gusmian, nuansa tafsir sosial
kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah
menjadikan al-Quran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara
individu ataupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Quran sebagai petunjuk
dalam kehidupan manusia terlantar.
c. Nuansa Teologi
Nuansa teologis yang dimaksud di sini berbeda pengertiannya dengan apa
yang terjadi sebagaimana dalam sejarah teologi klasik yang meletakan pelbagai
paham teologi menjadi variabel dalam menafsirkan al-Quran. Dalam konteks ini,
konsep teologi yang secara harfiah berarti studi tentang Tuhan dimaksudkan
sebagai nuansa atau corak yang menempatkan sitem keyakinan ketuhanan dalam
Islam sebagai variabel tema penting dalam bangunan tafsir. Pengertian teologi di
sini jauh lebih sekedar keyakinan ketuhanan tapi lebih dipandang sebagai suatu
disiplin kajian yang membicarakan tentang persoalan hubungan manusia dengan
Tuhannya.
46 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran Modern, penerjemah Hairussalim dan Syarif
Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 28.
75
Ranah nuansa teologis ini mengungkap pandangan al-Quran secara
komprehensif tentang keyakinan dan sistem teologi. Namun dalam proses yang
dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap kelompok tertentu, yang
sudah terbangun mapan dalam sejarah, tapi lebih pada upaya menggali secara
serius bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal teologis itu dengan melacak
terma-terma pokok, serta konteks-konteks dari penggunaa terma itu dalam al-
Quran.
d. Nuansa Sufistik
Dalam tradisi ilmu tafsir al-Quran klasik, tafsir yang bernuansa sufistik
sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-
ayat al-Quran dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang
tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Tafsir yang menggunakan corak
pembacaan jenis ini ada dua macam: (1) yang didasarkan pada tasawuf nazhâri
(teoritis) yang cenderung menafsirkan al-Quran berdasarkan teori atau paham
tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang
dari pengertian bahasa, (2) didasarkan pada tasawuf amâli (praktis), yaitu
menakwilkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak
oleh sufi dalam suluknya.
Jenis tafsir sufi yang kedua ini oleh para ahli tafsir disebut tafsỉr isyảrỉ.
Menurut para ahli, jenis tafsir ini dapat diterima dengan syarat: (1) tidak
bertentangan dengan lahir ayat, (2) mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama
yang sekaligus berfungsi sebagai penguatnya, (3) tidak bertentangan dengan
ajaran agama dan akal, (4) tidak menganggap bahwa penafsiran model ini yang
paling benar sesuai yang dikehendaki Tuhan.
76
Tokoh dalam corak tafsir ini menurut ’Ali al-Awsi, seperti yang dikutip
Gusmian, adalah Muhyiddin Ibn ’Arabi (w. 638 H). Hal ini bisa dilihat ketika Ibn
’Arabi menafsirkan firman Allah Q.S. al-Rahman [55]:19, ”Dia membiarkan dua
lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”. Ibn ’Arabi mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan dua lautan oleh ayat tersebut lautan subtasnsi raga
yang asin dan pahit serta lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar, yang
keduanya saling bertemu di dalam wujud manusia.47
Tafsir sufi ini sebetulnya sangat terkait dengan ta’wỉl. Seperti
dikonsepsikan Abu Zayd, ta’wîl berkaitan dengan proses penguakan dan
penemuan yang tdak dicapai melalui jalan tafsîr. Sebab, ta’wîl melakukan
penjelasan makna-dalam dan yang tersembunyi dari al-Quran, sedangkan tafsîr
menjelaskan ’yang luar’ dari al-Quran.
e. Nuansa Psikologis
Al-Quran memang bicara banyak hal meskipun bukan semua hal. Masalah
psikologi manusia juga tidak luput dari pembahasan al-Quran. Dalam konteks ini,
pengertian nuansa psikologis yang dimaksud adalah suatu nuansa tafsir yang
analisisnya menekankan pada dimensi psikologis manusia.
Kesimpulan: Dari beberapa macam nuansa yang dicirikan oleh Gusmian,
penulis menilai bahwa Alfatihah lebih dekat dengan nuansa sosial-
kemasyarakatan. Ini bisa dilihat dari motivasi awal sang pengarang.48
Karena Alfatihah lebih dekat dengan nuansa sosial-kemasyarakatan, maka
tafsir ini penuh dengan himbauan-himbauan moral yang terdapat dalam surat al-
Fatihah. Sebagai contoh, saat memulai menafsirkan ayat ihdinả al-shirâth al-
47 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 245. 48 Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, 15 Februari 2010.
77
mustaqîm, Chodjim menulis: ”Bila kita mohon diberi petunjuk, maka pikiran kita
harus dalam suasana yang jernih. Pikiran yang kusut, hati yang gundah, sulit
menerima petunjuk.” Masih dalam ayat tersebut Chodjim menulis: ”Pada ayat ke-
5, pernyataan beribadah dan minta pertolongan ternyata tidak bersifat singular
(tunggal). Tetapi berbentuk plural (jamak). Kita tidak menyatakan, ’Hanya
kepada Engkau aku beribadah dan hanya kepada Engaku aku meminta
pertolongan’. Juga kita mengatakan, ’Tunjukilah kami jalan yang lurus’ dan
bukan ’Tunjukilah aku jalan yang lurus’. Apa artinya ini? Ini artinya manusia
hidup di dunia tidak bisa sendirian. Manusia adalah zoon politikon, mahluk
bermasyarakat”.49
Tabel XIII
Nuansa Alfatihah
Nuansa Tafsir
Tafsir Alfatihah Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
3. Pendekatan Tafsir
Pengertian pendekatan tafsir dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan
dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja
melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda.50 Ada dua pendekatan: (1)
berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan tekstual
dan (2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang kemudian disebut
pendekatan kontekstual.
a. Pendekatan Tekstual: Teks al-Quran sebagai Pusat
49 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 213 dan 223. 50 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 248.
78
Dalam pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks
dalam dirinya. Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagai posisi suatu wacana
dalam konteks internalnya atau intra-teks. Pandangan yang lebih maju dalam
konteks ini adalah bahwa dalam memahami suatu wacana/teks, seseorang harus
melacak konteks penggunaan pada masa teks itu muncul. Ahsin Muhammad
misalnya, sebagaimana yang dikutip Gusmian, menegaskan bahwa
kontekstualisasi pemahaman al-Quran merupakan upaya penafsir dalam
memahami bukan melalui harfiah teks tapi dari konteks (siyảq) dalam melihat
faktor-faktor lain, seperti situasi dan kondisi ayat al-Quran itu diturunkan. Dengan
demikian, penafsir harus mempunyai cakrawala pemikiran yang luas, seperti
mengetahui sejarah hukum Islam secara detail, mengetahui situasi dan kondisi
pada waktu hukum itu ditetapkan, mengetahui ’illah dari suatu hukum, dan
seterusnya.
Jadi, pengertian kontekstualitas dalam pendekatan tekstual cenderung
bersifat kearaban karena teks al-Quran turun pada masyarakat Arab. Ini artinya,
masyarakat Arab sebagai audiesnya. Dengan demikian, suatu tafsir yang
menggunakan pendekatan tekstual ini biasanya analisisnya cenderung bergerak
dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Itupun, praksis yang menjadi muaranya
adalah lebih bersifat kearaban tadi sehingga pengalaman lokal (sejarah dan
budaya) di mana penafsir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang
signifkan atau bahkan sama sekali tidak punya peran.
b. Pendekatan Kontekstual: Realitas Kehidupan sebagai Medan
Keberangkatan Penafsiran
79
Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berorientasi pada konteks
pembaca (penafsir) teks al-Quran. Model pendekatan ini disebut pendekatan
kontekstual. Dalam pendekatan ini, kontekstualitas dalam pendekatan tekstual,
yaitu latar belakang sosial historis teks muncul dan diproduksi menjadi variabel
penting. Namun semuanya itu, dan ini yang penting, harus ditarik ke dalam
konteks pembaca (penafsir) itu hidup dan berada dengan pengalaman budaya,
sejarah, dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat gerakannya adalah dari bawah
ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks).
Dalam tradisi hermeneutik al-Quran kontemporer, Farid Esack, seperti
yang dikutip Gusmian, adalah salah satu contoh yang baik dalam pendekatan ini.
Hermeneutik al-Quran, oleh Esack ditempatkan dalam ruang sosial di mana dia
berada sehingga sifatnya bukan lagi kearaban yang bersifat umum. Ia adalah di
antara Muslim Afrika yang merumuskan hermeneutik al-Quran yang berporos
pada pembebasan dan persamaan dengan mempertimbangkan aspek kontekstual
(sosial sejarah) di mana ia hidup dan berada. Bagi Esack, tidak ada tafsir dan
takwil yang ’bebas nilai’. Penafsiran mengenai al-Quran, bagaimanapun, adalah
eisegsis—memasukan wacana asing ke dalam al-Quran (reading into)—sebelum
exegesis—mengeluarkan wacana dari al-Quran (reading out).51
Kesimpulan: Chodjim dalam menafsirkan Alfatihah lebih berorientasi
pada teks dalam dirinya. Makanya suatu teks dilihat sebagai posisi wacana dalam
konteks internalnya atau intra teks. Hal-hal di luar teks seperti konteks sosial yang
meliputi dirinya tidak menjadi perhatiannya atau tidak mempengaruhinya dalam
proses menafsirkan al-Fatihah.
51 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 250.
80
Kalaupun ada komentarnya tentang kondisi sosial politik dalam
penafsirannya pada satu ayat dalam surat al-Fatihah hanyalah komentar umum
dan tidak untuk kasus yang spesifik. Seperti ”Banyak orang dengan dalih
membela Allah, melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Banyak orang
yang ingin memberantas kemaksiatan tanpa memperdulikan tata tertib dan etika
dalam masyarakat. Banyak orang yang ingin memberantas kemungkaran dengan
main hakim sendiri. Manusia harus memuliakan Tuhan dengan budi luhur atau
ahlak karimah.”52
Atau komentarnya tentang kehidupan politik yang kotor saat ini di mana
banyak para politisi yang mengedepankan perebutuan kekuasaan. Menurutnya,
para politisi itu secara tidak sadar telah terjebak dalam permainan yang penuh
dosa dan pelanggaran.53
Tabel XIV
Pendekatan Alfatihah
Pendekatan Tafsir
Tafsir Alfatihah Pendekatan Tekstual
C. Catatan Kritis
Sebelum memasuki bab kesimpulan dan saran, ada beberapa kritik yang
patut penulis sampaikan di sini terhadap Alfatihah. Pertama, Achmad Chodjim
cukup ‘pelit’ untuk menyebut sumber-sumber yang dirujuknya dalam footnote.
Agak sulit bagi penulis untuk melihat sejauh mana pengaruh rujukan-rujukan tadi
dalam Alfatihah. Dari 160 footnote, kebanyakan Chodjim merujuk kepada teks al-
52 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 173. 53 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 176.
81
Quran, kitab hadis tertentu, buku keilmuan tertentu, kamus bahasa asing, dan
sebuah majalah.
Penulis mencatat ada 12 footnote yang merujuk langsung pada penafsir
lain. Seperti M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Karim sebanyak 4 kali. Maulana
Muhammad Ali, Quran Suci sebanyak 4 kali. Tafsir ibn Katsir 1 kali. Mir
Aneesudin, Fatwa al-Quran tentang Alam Semesta 1 kali. Terakhir, Thabathaba’i,
Mengungkap Rahasia Alquran54 1 kali.
Saat penulis tanya, dalam sebuah wawancara, mana di antara karya-karya
tafsir tadi yang menjadi sumber dominan dalam proses penafsiran, Chodjim
menjawab tidak ada. Baginya seorang penulis/penafsir tidak harus terpaku pada
satu sumber, malah kalau bisa seorang penulis/penafsir harus merujuk ke
sebanyak mungkin sumber. Pertanyaannya, apakah salah jika ada salah satu
sumber yang dominan sebagai rujukan dalam menafsir? Yang salah menurut
penulis adalah jika seorang penulis/penafsir merujuk ke sebuah sumber tanpa
mempertimbangkan apakah hasil penafsiran dalam sebuah sumber tadi masih
relevan dengan zamannya atau tidak.
Kedua, dilihat dari sejarah penulisannya, Alfatihah ditulis Chodjim pada
akhir 1999 sampai awal 2000. Lalu pada 2000 juga, Alfatihah diterbitkan pertama
kali oleh Gramedia dan beralih ke Serambi pada Maret 2003.
Kalau kita coba mengingat kembali, fase 1999-2000 adalah fase yang
sangat rawan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada 1997 akhir, ekonomi
Indonesia bangkrut. Lalu timbul kepanikan massal—harga-harga yang terus naik,
pengangguran meluas, nilai tukar Rupiah atas Dollar AS yang terus melemah, dan
54 Dalam footnote nomor 133 yang tercantum dalam kitab itu tidak dituliskan nama buku yang dimaksud. Buku Menungkap Rahasia Alquran, penulis ambil dari daftar sumber rujukan yang tertulis. Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 277 dan 355.
82
83
kerusuhan di kota-kota besar serta kekerasan yang dialami etnis Tionghoa—yang
berujung pada penjatuhan Soeharto di pertengahan 1998.
Pada 1999 kekerasan dan konflik terus berlanjut di Indonesia. Di lokasi-
lokasi tertentu terjadi peristiwa yang mengerikan: Muslim membunuh orang
Kristen dan sebaliknya. Desas-desus kekerasan dan konflik tadi membangkitkan
tindakan pembalasan oleh warga sesama agama di lokasi yang lain, seperti yang
terjadi di Maluku.55
Kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia secara umum pada periode
penulisan Alfatihah, 1999-2000, tidak masuk dalam fokus penafsiran Chodjim.
Pertanyaannya, bukankah seorang penulis/penafsir memiliki tanggung jawab
moral untuk mengubah kenyataan-kenyataan yang dianggapnya tidak ideal pada
zamannya?
Terkait dengan surat al-Fatihah, Chodjim mestinya bisa memberikan
penafsiran terhadap ayat al-Rahmản al-Rahỉm yang sesuai dengan kenyataan pahit
pada fase itu. Bukankah kekerasan terjadi ketika cinta kasih sudah lenyap dalam
diri kita? Berangkat dari proposisi ini, pengertian al-Rahmản al-Rahỉm seharusnya
bisa dielaborasi untuk memininalisir potensi dan endemi kekerasan pada saat itu.
Sebagai bacaan populer, Alfatihah selayaknya bisa turut membantu menyemai
kembali cinta kasih yang mulai layu.
55 Donald K. Emmerson, Pemilu dan Kekerasan: Tantangan Tahun 1999-2000 dalam
Donald K. Emmerson (ed) Indonesia Beyond Soeharto, terjemahan Perikles Kattopo dan Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia dan The Asian Foundation Indonesia, 2001), h. 65.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan terkait analisis metodologi tafsir
Alfatihah karya Achmad Chodjim dengan menggunakan rumusan Islah Gusmian,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, dari sisi teknis penulisan, Alfatihah masuk dalam kategori
tematik klasik untuk sistematika penulisannya. Sedangkan dalam bentuk
penyajiaan, Alfatihah masuk dalam kategori global. Gaya bahasa populer adalah
gaya bahasa yang digunakan dalam penulisan Alfatihah. Karena asal-usul
Alfatihah bukan berasal dari ruang akademik, maka bentuk penulisannya yang
digunakan adalah bentuk penulisan non-ilmiah. Achmad Chodjim adalah satu-
satunya penulis Alfatihah dan latar belakangan pendidikannya bukan berangkat
dari disiplin ilmu tafsir al-Quran. Untuk sumber rujukan, Alfatihah mengambil
dari karya tafsir modern dan buku-buku non-tafsir.
Dari sisi hermeneutis, Alfatihah menggunakan metode interteks. Nuansa
sosial-kemasyarakatan adalah ruang dominan yang dijadikan sudut pandang
dalam menafsirkan al-Fatihah. Lalu, pendekatan yang digunakan Alfatihah adalah
pendekatan tekstual.
Kedua, pada dekade 1990-an, kajian al-Quran tidak lagi menjadi ‘ruang
privat’ sarjana-sarjana Muslim yang berasal dari lingkungan perguruan tinggi
agama dan lebih spesifik lagi yang berkonsentrasi di ilmu tafsir al-Quran. Sebut
84
saja nama Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, atau yang lebih
awal H.B. Jassin. Tapi itu sebenarnya bukan fenomena khas Indonesia. Sayyid
Qutb yang konsentrasi studinya bukan studi ilmu al-Quran, melainkan studi sastra,
telah menulis tafsir Fî Dzilâl al-Qurân yang sampai sekarang tetap dijadikan
pegangan bagi sebagian kelompok Islam di Indonesia. Begitupun Abu al-A’la al-
Maududi. Dia semula tidak tertarik untuk mempelajari studi agama. Dia lebih
tertarik dengan dunia politik dan jurnalistik. Baru setelah dia merasa ingin
kembali di bawah panduan agama, ia lantas menulis Tafhîm al-Qurân.
Sejauh yang penulis ketahui, dalam sejarah ulûm al-Qurân tidak ada lagi
entitas selain tafsir dan takwil sebagai usaha untuk menggali makna yang terdapat
dalam al-Quran. Oleh sebab itu, sampai sekarang penulis tidak pernah mendengar,
misalnya, kata tafhîm di awal karya yang ingin mendalami al-Quran. Kalaupun
Alfatihah dinilai bukan seperti karya-karya tafsir lain yang mendalam dan penuh
dengan pelbagai analisis, biarkan itu menjadi proses intelektual dari pergumulan
Achmad Chodjim dengan al-Quran. Lagi pula, pembaca bisa menjadi wasit bagi
dirinya sendiri untuk menentukan mana karya yang bermanfaat dan mana yang
tidak.
Tabel XVI
Metodologi Tafsir Alfatihah
ASPEK TEKNIS PENULISAN ASPEK HERMENEUTIK
Sistematika Penyajian Tafsir Metode tafsir
Tematik Klasik Metode Interteks
Bentuk Penyajian Tafsir Nuansa Tafsir
85
Bentuk Penyajian Global Nuansa Sosial Kemasyarakatan
Gaya Bahasa Penulisan Tafsir Pendekatan Tafsir
Gaya Bahasa Populer
Bentuk Penulisan Tafsir
Non-Ilmiah
Sifat Mufasir
Individual
Keilmuan Mufasir
Disiplin non-Ilmu Tafsir al-Quran
Asal Usul Literatur Tafsir
Non-Akademik
Sumber-sumber Rujukan
Buku-buku Tafsir Klasik dan Modern
serta Buku-buku Non-Tafsir
Tekstual
B. Saran
Dengan segala keterbatasan dan kendala dalam penelitian ini, maka
kiranya di sini ada beberapa hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bagi
pihak-pihak lain yang berkaitan. Berikut beberapa pertimbangan tersebut:
Pertama, maraknya karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim
Indonesia seharusnya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkepentingan
untuk lebih mengembangkan lagi studi al-Quran di dalam negeri. Tentu akan
sangat disayangkan jika mahasiswa dari studi Tafsir-Hadis tidak ikut
86
berpartisipasi dalam proses intelektual ini, khususnya, untuk melakukan penelitian
ilmiah terhadap karya tafsir dari sisi metodologi. Penelitian dari sisi metodologi
sebuah karya tafsir setidaknya bisa menjadi pintu masuk pertama untuk melihat
adakah perkembangan terbaru dalam studi al-Quran.
Kedua, Allah memang tidak pernah menyerahkan ‘tulisan-Nya’ itu bagi
satu kelompok masyarakat saja. Al-Quran sengaja ‘diterbitkan’ agar bisa dibaca
dan dipelajari semua orang. Tapi tentu saja perlu keahlian tersendiri untuk
mempelajarinya. Artinya, tidak bisa sembarang orang bisa menjadi ‘juru bicara’
al-Quran. Harus ada mekanisme ‘fit and proper test’ terlebih dahulu dengan cara
melihat rekam jejak intelektual sang penafsir.
Ketiga, satu Islah Gusmian memang sudah membantu. Tapi kalau bisa ada
seribu Islah Gusmian tentu sangat membantu memetakan karya-karya tafsir dalam
negeri dari sisi metodologi yang digunakannya. Apalagi untuk para peneliti
pemula yang ingin mencoba hal yang sama.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, kata pengantar dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia
(Jakarta: Teraju, 2003).
Abu-Zayd, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran,
penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003).
____________________, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin
(Yogyakarta: LkiS, 2003).
Affifuddin, M., “Apresiasi Spiritual Q.S. al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya
Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1,
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2004).
Ali-Fauzi, Ihsan, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibliografis atas
Karya-karya dalam Bahasa Arab.” Ulumul Quran 2, No. 2 (1990).
Qaththân, al, Mannâ' Khalîl, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-
Risâlah, 1405 H/1985 M).
Attas, al, Syed M. Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur:
University of Malaya Press, 1970).
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989).
Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara (Bandung: Mizan,
2002).
88
A’la, Abd, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam
Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII,
2000).
Bahri, Samsul, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim
(ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005).
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996).
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000).
______________, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005).
Chodjim, Ahmad, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi
baru] (Jakarta: Serambi, 2008).
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2008).
Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an dalam Wacana & Prilaku, terjemahan
Norma Arbi’a Juli Setiawan (Depok: Inisiasi Press, 2006).
Esack, Farid, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas,
terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000).
Emmerson, Donald K., Pemilu dan Kekerasan: Tantangan Tahun 1999-2000
dalam Donald K. Emmerson (ed) Indonesia Beyond Soeharto,
penerjemah Perikles Kattopo dan Ketut Arya Mahardika (Jakarta:
Gramedia dan The Asian Foundation Indonesia, 2001).
89
Fathurahman, Oman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,”
Kompas, 01 Januari 2000.
Farmawi, al, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002).
Federspiel, Howard M., Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan,
1996).
Fuaida, Lisma Dyawati, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode
dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Teraju: Bandung, 2003).
Hadi WM, Abdul, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya
Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000).
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein,
Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 2003).
Johns, Anthony H., “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah
Penelitian Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an 1, No. 3, (2006).
Jurjani, al, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl,
1965).
90
Kusmana, “Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari
Kemungkinan Penggunaan Analisa Metodologi ‘Barat.” Jurnal refleksi 4,
No. 3, (2002).
Muhsin, Amina Wadud, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed),
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global (Jakarta: Paramadina, 2003).
Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).
Nahrowi, Izza Rohman, “Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1,
fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2002).
Nasution, Harun, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998).
Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002).
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an,
2002).
Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999).
Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran
Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002).
Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
91
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan
Sulthan Taha Press, 2007).
Setiawan, Nur Kholis, dalam kata pengantar Aksin Wijaya, Menggugat
Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta:
Safiria Insania Press, 2004).
Shihab, M. Quraisy, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001).
__________et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
_____________, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Sihabulmilah, A., “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19
Ferbuari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-
teks-alquran/
Sirojuddin AR, D., “al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.”
Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993).
Suplemen, Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993).
Suyûthî, Jalâl ad-Dîn, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399
H/1979 M), Jilid II.
Syafruddin, Didin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV).
_______________, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei
Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV.
92
93
____________, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika
2, No. 2 (1995). Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di
Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah
Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).
The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury,
CT: Lexicon Publications, INC., 2004).
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).
Umar, Nasaruddin, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang
Ensiklopedi Al-Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-
Qur’an 1, No. 3 (2006).
Verdiansyah, Very, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis
Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004).
Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretastion (London: Oxford University, 1977).
Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin 15 Februari 2010.
Yusuf, M. Yunan, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad Keduapuluh.”
Ulumul Quran 3, No. 4 (1992).
Zarqani, al, Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-
Babi al-Halabi, t.th.), jilid II.
Hasil Transkrip Wawancara Pribadi Dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin, 15 Februari 2010. Buku Alfatihah diterbitkan pertama kali pada 2002. Adakah konteks tertentu yang mendorong Anda untuk menulisnya? Saya memahami bahwa al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca umat Islam. Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Al-Fatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis tafsir al-Fatihah agar mereka yang sering membaca al-Fatihah tahu makna al-Fatihah. Memang sudah banyak yang menafsirkan al-Fatihah. Tapi karena ditafsirkan secara ortodoks, penafsirannya tidak terkait dengan realitas kekinian. Padahal al-Fatihah sering dibaca. Kalau begitu, mesti diberi sebuah penafsiran yang mengena alam pikiran yang sekarang sedang berjalan. Apa yang Anda maksud dengan ‘alam pikiran yang sedang berjalan’? Ketika membaca al-Fatihah itu kan ada harapan. Ada yang berharap kesembuhan, ada yang berharap keterbukan hati dan pikiran. Harapan-harapan itu kan adanya di alam pikiran. Tapi kadang-kadang tidak termanifestasikan. Jadi hampir setiap orang yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas cakupannya. Singkat kata, saya ingin menafsirkan al-Fatihah secara simpel tapi poin-poinnya memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar. Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menulis tafsir Alfatihah? Buku itu sudah saya tulis pada 1999 akhir dan selesai pada 2000. Cuma baru bisa diterbitkan pada Maret 2002. Saat itu saya adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis. Makanya tidak gampang untuk menyakinkan penerbit apalagi saya bukan dari lingkungan IAIN. Inilah yang jadi bahan pertimbangan penerbit dan membuat prosesnya agak lama. Malah sebelumnya ada kekhawatiran di penerbit kalau tulisan saya itu tidak bernilai komersial. Judul awal buku saya adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti seperti yang sekarang. Dan setelah diganti, penerbit kewalahan terus mencetak ulang. Tulisan saya sempat tertahan tiga bulan di penerbit karena saat itu ada pergantian staff redaksi di tingkatan penerbit. Dan alhamdulillah tidak ada draft kedua atau ketiga. Pada 2001 tulisan saya masuk ke Serambi lalu diterbitkan pada Maret 2002. Tapi pada 2000 tulisan saya ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Kepindahan ke Serambi karena pada Juli 2000, Gramedia didemo oleh FPI (Front Pembela Islam) dengan alasan Gramedia menerbitkan buku-buku agama Islam. Oleh FPI, Gramedia dianggap bukan bagian dari Islam. Kalaupun ada buku-buku agama Islam yang diterbitkan Gramedia tentu buku-buku agama Islam yang mendukung misi Gramedia yang mendukung liberalisme dan sejenisnya.
I
Akhirnya pihak Gramedia menghubungi saya untuk mengatakan bahwa saat itu mereka tidak bisa lagi menerbitkan buku-buku ajaran Islam. Kecuali buku-buku ajaran Islam yang digabungkan dari koran-koran Kompas. Seperti bukunya Komaruddin Hidayat. Oleh pihak Gramedia, saya disarankan untuk menerbitkan buku saya itu ke penerbit-penerbit yang jelas-jelas punya Muslim. Lalu saya pilih Serambi dengan pertimbangan buku-buku yang pernah diterbitkan Serambi dan mendapat sambutan di awal 2001. Waktu itu Anda menulis buku itu hanya ‘iseng-iseng’? Saya menulis buku itu sudah menggunakan sistematika penulisan tertentu. Kebetulan saya adalah seorang staff di sebuah perusahaan yang tentunya sudah terbiasa membuat laporan. Tapi tentu saja mesti ada titik temu dengan penerbit terkait tulisan tersebut. Setelah al-Fatihah selesai, maka tulisa saya yang selanjutnya seperti Annas dan al-Falaq bisa lolos dengan mudah. Berapa eksemplar buku Anda yang sudah terjual dari hasil laporan penerbit? Laporan dari penerbit rutin per semester. Kebetulan saya memang tidak pernah menghitung kumulatif dari buku saya itu. Normatifnya, Alfatihah sudah cetakan berapa lalu dikali 5000. Kalau sembilan berarti dikalikan limu ribu saja. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal, Anda tidak memelajari studi keagamaan khususnya studi tafsir. Apa yang membuat Anda berani menafsirkan al-Quran? Meski pendidikan formal saya bukan di jalur pendidikan agama tapi waktu SMU, saya pernah belajar kepada guru tafsir dan hadis yang ada di Malang pada saat itu seminggu sekali. Dan guru-guru tersebut, bagi saya levelnya sudah level nasional. Saya belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Dan untuk hadis, saya belajar kepada Muhammad Bejo adalah mubalig nasional Muhammadiyah. Dari belajar itulah saya mendapat pemahaman lebih dibanding hanya membaca terjemahan al-Quran saja. Guru tersebut juga menginformasikan kepada kami macam-macam kitab tafsir, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk kami pelajari. Ini tentu saja mendorong saya untuk mendalami bahasa Arab sebagai landasan penafsiran tapi bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, saya juga belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra. Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih menitikberatkan di satu tempat. Artinya, banyak pilihan-pilihan yang disediakan ketika kita ingin menafsirkan al-Quran. Maka pilihan saya agar terjemahan al-Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer yang bisa dipahami oleh pembaca zaman sekarang.
II
Lalu modal apa yang Anda miliki untuk menafsirkan al-Quran, selain bahasa Arab tadi? Saya tentu saja membaca ‘Ulûm al-Quran dari berbagai macam penulis. Lalu memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama Islam. Saya juga membaca sirah Nabi dan para sahabat. Dengan memelajari ilmu-ilmu tadi, ketika akan menulis saya tahu tafsir ini lingkupnya akan ke mana arah penulisannya, karena saya sudah mengidentifikasi tafsir yang sudah kita baca sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kita tidak menulis setelah membaca banyak literatur? Adakah ilmu lain yang Anda masukan dalam tafsir Anda tersebut? Tentu saja. Sebab ketika kita membaca al-Quran tentu kita tidak bisa lepas dari pemahaman fisika, kimia, geologi, sosiologi, dan lain-lain. Apa metode yang Anda gunakan untuk menafsirkan al-Quran? Semua metode. Ketika kita ingin menafsirkan al-Quran hendaknya kita merujuk kepada ayat-ayat yang lain yang sama temanya. Lalu dalam menafsirkan al-Quran kita juga harus merujuk kepada hadis-hadis dan riwayat-riwayat sahabat yang ada yang relevan dalam pembahasan ayat tersebut. Kita juga bisa menggunakan asbab al-nuzul, meskipun tidak semua ayat ada asbab al-nuzul dan asbab al-nuzul bukan informasi yang eksak. Artinya, semua sumber bisa kita eksplor untuk menafsirkan ayat. Tafsir saya bukan tafsir berdasarkan topik tertentu, tapi berdasarkan surat. Oleh sebab itu, dalam tafsir saya ada model tafsir berdasarkan urutan ayat dan karena di dalam surat ada berbagai tema, maka tema-tema yang ada saya bahas juga. Kenapa Anda tidak menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan formal Anda. Seperti ayat-ayat tentang pertanian atau tentang alam? Kalau kita ingin menafsirkan al-Quran kita tidak boleh hanya terpaku pada latar belakang semata. Sebab nanti al-Quran tidak bisa lagi diakses oleh banyak orang. Kalau membahas tentang pertanian, berarti menafsirkan ayat-ayat yang secara maudu’i berbicara tentang pertanian. Dengan begitu kita tidak bisa lagi membahas al-Quran yang maknanya lebih luas baik ditinjau dari segi riwayat, dirayat, atau kaitan ayatnya. Lagipula, Wahyu yang diterima Nabi kan tidak spesifik. Setidaknya bila ditopang dengan latar belakang pendidikan Anda, tafsir Anda tentang pertanian akan lebih mendalam? Lebih mendalam tidak berarti lebih fungsional. Katakanlah, misalnya saya menulis karya tafsir yang sesuai dengan latar pendidikan formal saya atau tafsir yang fokus pada pertanian, maka pembacanya hanya terbatas pada orang yang mengerti pertanian. Padahal orang pertanian yang jenius tidak butuh tafsir al-Quran tentang pertanian. Buat apa kita mendalami pertanian dengan membaca karya tafsir. Malah yang ada nanti kita dianggap orang melakukan justifikasi ayat terhadap ilmu pengetahuan yang ada. Contoh, ilmu pertanian yang sudah ada lalu kita konfirmasi dengan ayat
III
IV
al-Quran. Bukankah itu hal yang buruk. Ini sama dengan kasus penemuan ilmiah mutakhir oleh Barat lalu sebagian dari umat mengklaim bahwa al-Quran sudah mengatakan itu sebelumnya. Kecuali setelah kita membaca al-Quran kita mampu merumuskan sebuah ilmu baru, ini yang lebih baik. Apa motivasi Anda menulis Alfatihah? Agar kehidupan pembaca lebih baik lagi sebelumnya. Sehingga kualitas hidup mereka juga lebih baik lagi. Adakah yang menggugat terhadap karya Anda tersebut? Pada 2000 saya pernah diundang dalam sebuah forum di IAIN Jakarta. Saat itu Pak Salman Harun keberatan dengan apa yang saya tulis itu sebagai tafsir. Dia berkata kepada saya, “Tafsir bukan wilayah saya dan oleh sebab itu sebaiknya Anda tidak memasuki ranah itu.”
Mengetahui
Achmad Chodjim