13
Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel di DKI Jakarta Oleh: Nanang Ruhyat, ST, MT Alfa Firdaus, ST, MT Staff Pengajar Universitas Mercu Buana ABSTRAK Konsumsi bahan bakar fosil, yang biasa disebut bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perkiraan yang ekstrem menyebutkan, minyak bumi di Indonesia dengan tingkat konsumsi seperti saat ini akan habis dalam waktu 10-15 tahun lagi. Beberapa alternatif bahan bakar non fosil dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi kelayakan dari berbagai alternatif sumber daya alam yang akan dijadikan bahan baku biodiesel agar pengembangan biodiesel sebagai bahan bakar terbarukan dapat lebih terfokus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan dengan melihat nilai prioritas global pada AHP, maka Minyak Jelantah memiliki nilai bobot prioritas global tertinggi, sehingga keputusan yang sebaiknya diambil dalam memilih Bahan Baku Biodiesel di DKI Jakarta adalah Minyak Jelantah. Kata Kunci: Biodiesel, AHP. I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Konsumsi bahan bakar fosil, yang biasa disebut bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Secara keseluruhan, konsumsi BBM selama tahun 2004 mencapai 61,7 juta kilo liter, dengan rincian 16,2 juta kilo liter premium, 11,7 juta kilo liter minyak tanah, 26,9 juta kilo liter minyak solar, 1,2 juta kilo liter minyak diesel, dan

Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel di DKI Jakarta

Oleh:Nanang Ruhyat, ST, MT

Alfa Firdaus, ST, MT

Staff PengajarUniversitas Mercu Buana

ABSTRAKKonsumsi bahan bakar fosil, yang biasa disebut bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perkiraan yang ekstrem menyebutkan, minyak bumi di Indonesia dengan tingkat konsumsi seperti saat ini akan habis dalam waktu 10-15 tahun lagi. Beberapa alternatif bahan bakar non fosil dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.

Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi kelayakan dari berbagai alternatif sumber daya alam yang akan dijadikan bahan baku biodiesel agar pengembangan biodiesel sebagai bahan bakar terbarukan dapat lebih terfokus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan dengan melihat nilai prioritas global pada AHP, maka Minyak Jelantah memiliki nilai bobot prioritas global tertinggi, sehingga keputusan yang sebaiknya diambil dalam memilih Bahan Baku Biodiesel di DKI Jakarta adalah Minyak Jelantah.

Kata Kunci: Biodiesel, AHP.

I. PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG

Konsumsi bahan bakar fosil, yang biasa disebut bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Secara keseluruhan, konsumsi BBM selama tahun 2004 mencapai 61,7 juta kilo liter, dengan rincian 16,2 juta kilo liter premium, 11,7 juta kilo liter minyak tanah, 26,9 juta kilo liter minyak solar, 1,2 juta kilo liter minyak diesel, dan 5,7 juta kilo liter minyak bakar. Perkiraan yang ekstrem menyebutkan, minyak bumi di Indonesia dengan tingkat konsumsi seperti saat ini akan habis dalam waktu 10-15 tahun lagi. Fakta ini semakin membuka peluang akan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Sumber daya energi terbarukan adalah sumber-sumber energi yang outputnya akan konstan dalam rentang waktu jutaan tahun.

Salah satu jenis energi terbarukan adalah energi biomassa. Bahan-bahan yang termasuk dalam kategori biomassa adalah produk-produk tumbuhan, baik teresterial maupun akuatik dan material yang dihasilkan dari pengolahan tumbuhan tersebut oleh manusia atau hewan. Bentuk pengonversian biomassa yang dapat mensubstitusi bahan bakar minyak bumi adalah biodiesel yang dihasilkan melalui proses transesterifikasi. Biodiesel memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan bentuk energi lainnya, yaitu lebih mudah ditransportasikan, memiliki kerapatan energi per volume yang lebih tinggi, memiliki karakter pembakaran yang relatif bersih, biaya produksinya rendah dan ramah lingkungan.

Page 2: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

B. PERUMUSAN MASALAHPenelitian ini akan mencoba untuk mengevaluasi kelayakan dari berbagai alternatif sumber daya alam yang akan dijadikan bahan baku biodiesel agar pengembangan biodiesel sebagai bahan bakar terbarukan dapat lebih terfokus. Penelitian dibatasi di DKI Jakarta sebagai area penelitian karena pengembangan bahan baku biodiesel sendiri dapat menyesuaikan dengan potensi alam setempat sehingga penelitian harus difokuskan di satu area penelitian. Hasil dari penelitian diharapkan mampu menjawab pertanyaan mengenai minyak nabati yang paling layak untuk dijadikan bahan baku biodiesel di DKI Jakarta sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada.

II. TUJUAN PENELITIANTujuan dari penelitian ini adalah:1. Mengevaluasi kelayakan dari berbagai alternatif minyak nabati yang akan

dijadikan bahan baku biodiesel.2. Menentukan jenis minyak nabati yang paling layak digunakan sebagai bahan

baku biodiesel di DKI Jakarta.3. Menjadi dasar rekomendasi untuk penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar

alternatif di DKI Jakarta.

III.METODE PENELITIANMetode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi kelayakan dari setiap minyak nabati yang berpotensi untuk menjadi bahan baku biodiesel. Teknik pemecahan masalah akan dilakukan dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). AHP merupakan suatu teknik pengambilan keputusan kriteria majemuk yang berguna untuk mengevaluasi alternatif yang kompleks melibatkan subjektivitas atau kriteria yang intangible.

Tiga langkah awal AHP adalah sebagai berikut:1. Penentuan Tujuan: Memilih bahan baku biodiesel2. Penentuan Kriteria Pemilihan:

Karakteristik bahan baku Potensi dampak lingkungan Potensi komersialisasi Potensi energi yang dikeluarkan untuk proses Tingkat ketersediaan produk di pasaran Daya saing dengan produk sejenis Tingkat kemudahan proses

3. Penentuan Alternatif Pilihan: Jarak-Kepyar Jarak-Pagar Kelapa Kelapa Sawit Minyak Jelantah

Executive Summary 2

Page 3: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

Informasi mengenai tujuan, kriteria dan alternatif tersebut dapat divisualisasikan dalam bentuk model berikut:

IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. IDENTIFIKASI KRITERIA PEMILIHAN

1. KarakteristikKriteria pemilihan pertama adalah karakteristik bahan baku biodiesel. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Banyak jenis biodiesel berdasarkan sumber bahan bakunya. Biodiesel kelapa sawit merupakan jenis yang telah dikembangkan secara komersial. Selain CPO, masih ada lebih dari 40 jenis minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia, misalnya minyak jarak pagar, minyak kelapa, minyak jarak kepyar dan minyak jelantah. Meskipun minyak nabati lain tidak menghasilkan minyak sebesar minyak kelapa sawit, pengembangan biodiesel dapat menyesuaikan dengan potensi alam setempat. Secara umum, parameter yang menjadi standar mutu biodiesel adalah densitas, titik nyala, angka setana, viskositas kinematik, sulphated ash, energi yang dihasilkan, bilangan iod, dan residu karbon.

2. Dampak lingkunganProses pembuatan bahan bakar dari tumbuhan membutuhkan energi yang besar sehingga sebenarnya tidak memberikan sumbangan pada penurunan emisi CO2 di atmosfer. Sebagai contoh dalam kasus kelapa sawit, proses oksidasi dari satu hektar lahan gambut untuk lahan penanaman sawit per tahun diperkirakan menghasilkan 100 ton emisi CO2.

3. Komersialisasi Komersialisasi merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup banyak faktor yang saling berkaitan. Studi oleh Digital External Research Program (ERP) menyatakan bahwa ada tiga hal yang menentukan efisiensi dan efektifitas proses transfer teknologi, yaitu kualitas perencanaan, program, serta komunikasi antara unit pemberi dengan unit penerima teknologi. Pendekatan yang dipakai mengacu pada penelitian dari U.S. Department of Energy mengenai perilaku pasar energi. Pendekatan ini digunakan untuk memprediksi

Executive Summary 3

Pemilihan Bahan Baku Biodiesel

KarakteristikDampak

Lingkungan KomersialisasiPemakaian

EnergiTingkat

KetersediaanKemudahan

ProsesDaya Saing

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

- Kepyar - Pagar - Kelapa - Sawit - Jelantah

Page 4: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

potensi pasar dari teknologi dan komoditi yang baru dipasarkan. Salah satu hasil penting dari komersialisasi adalah tingkat penetrasi pasar.

4. Pemakaian EnergiLaporan penelitian terbaru para ilmuwan dari Universitas Cornell dan Universitas California di Berkeley, AS, yang diterbitkan Natural Science Research memperlihatkan proses produksi bahan bakar nabati membutuhkan energi yang lebih besar daripada proses produksi bahan bakar dari energi fosil. Kriteria pemakaian energi merupakan perbandingan antara energi yang dipakai untuk proses konversi bahan bakar dengan energi yang dihasilkan.

5. Tingkat KetersediaanPertumbuhan permintaan bahan bakar nabati di dunia yang sangat besar dan sama sekali di luar dugaan telah melambungkan harga minyak sawit mentah (CPO) dunia. Dampaknya untuk biodiesel yang berbahan baku CPO, industri biodiesel kesulitan mendapatkan bahan baku karena produsen lebih memilih ekspor. Hal ini juga disebabkan oleh harga bahan bakar nabati yang tidak kompetitif dibandingkan dengan harga bahan bakar fosil.

6. Daya SaingUntuk menentukan harga jual, menurut Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional telah disebutkan bahwa harga energi disesuaikan secara bertahap sampai batas waktu tertentu menuju harga keekonomiannya. Harga keekonomian adalah biaya produksi per unit energi termasuk biaya lingkungan ditambah biaya margin. Daya beli masyarakat yang berada di bawah harga keekonomian akan menjadi dasar kebijakan Pemerintah dalam pemberian Subsidi.. Oleh karenanya, bahan baku biodiesel yang terlalu mahal dapat menurunkan tingkat daya saingnya bila dibandingkan dengan bahan baku yang lain.

7. Kemudahan prosesTeknologi konversi minyak nabati yang umum digunakan adalah transesterifikasi (trans-ester-ifikasi) antara minyak nabati dan metanol menggunakan katalis basa NaOH atau KOH. Dalam suatu transesterifikasi atau reaksi alkoholisis satu mol trigliserida bereaksi dengan tiga mol alkohol untuk membentuk satu mol gliserol dan tiga mol alkil ester asam lemak berikutnya. Hambatan dan beban utama pengembangan bahan bakar minyak dari biji tumbuh-tumbuhan (biodiesel) adalah karena kesulitan dalam proses konversi minyak nabati menjadi biodiesel.

B. PERBANDINGAN BERPASANGANKriteria-kriteria pemilihan yang telah teridentifikasi tersebut belum secara spesifik didasarkan pada kondisi sampel yang akan diamati. Kriteria itu dibentuk dengan dasar konsep pendekatan atas telaah teori maupun kajian penelitian. Oleh karena itu, ke-7 (tujuh) kriteria pemilihan tersebut perlu disusun kembali urutannya sehingga pertanyaan yang akan diajukan kepada responden dapat mengarah pada maksud sebenarnya dan dapat merefleksikan kondisi dari sampel penelitian. Perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dibuat agar dapat menggambarkan reliabilitas dan validitas dalam menghubungkan konsep dengan

Executive Summary 4

Page 5: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

paparan kondisi real. Setelah terbentuk hirarki dari persoalan memilih bahan bakar biodiesel, langkah selanjutnya menentukan pembobotan kriteria dan alternatif.

C. PEMBOBOTAN KRITERIADari ketujuh kriteria tersebut masing-masing perlu ditentukan tingkat kepentingannya. Normalisasi matriks perbandingan berpasangan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7. Nilai Prioritas Kriteria

Kriteria Prioritas

Karakteristik (KR) 0,277

Dampak Lingkungan (DL) 0,065

Komersialisasi (KM) 0,182Pemakaian Energi (PE) 0,097Tingkat Ketersediaan (TK) 0,199Daya Saing (DS) 0,079Kemudahan Proses (KP) 0,101

Setelah dilakukan tahap normalisasi, kemudian dihitung nilai Eigen (), nilai Indeks Konsistensi (CI) dan Rasio konsistensi (CR) dari matrik di atas.

1n

nCI maks

dimana : maks = eigenvalue maksimum n = ukuran matriks

Jika indeks konsistensi dibandingkan dengan indeks random (RI) akan menghasilkan rasio konsistensi (CR):

03.0RI

CICR

Karena nilai rasio konsistensi (CR) 0.1, maka matrik perbandingan antar kriteria dalam model AHP tersebut dapat diterima.

D. PEMBOBOTAN ALTERNATIFSetelah dilakukan pembobotan kriteria, maka tahapan selanjutnya adalah menyusun matriks berpasangan untuk alternatif-alternatif bagi setiap kriteria. Sebagai contoh untuk kriteria Karakteristik, didapat nilai prioritas alternatif untuk kriteria Karakteristik:

Tabel Nilai Prioritas Alternatif untuk Kriteria KarakteristikAlternatif PrioritasKepyar 0,055

Executive Summary 5

Page 6: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

Pagar 0,074Kelapa 0,142Sawit 0,466Jelantah 0,264

Dari tabel di atas diperoleh nilai rasio konsistensi 0.04 (CR 0.1) maka matrik perbandingan antar alternatif untuk Kriteria Karakteristik dapat diterima.Untuk memperoleh nilai prioritas alternatif dari kriteria Dampak Lingkungan, Komersialisasi, Pemakaian Energi, Tingkat Ketersediaan, Daya Saing dan Kemudahan Proses dilakukan dengan perhitungan yang sama.

Karena nilai CR dari semua alternatif di atas 0.1, maka matrik berpasangan alternatif untuk ketujuh kriteria dapat diterima. Secara lengkap nilai semua bobot masing-masing kriteria dan alternatif dapat digambarkan sebagai berikut :

Dari hasil analisis di atas, maka jawaban dapat diperoleh dengan jalan mengalikan nilai prioritas lokal dari alternatif dengan nilai prioritas lokal dari kriteria, sehingga diperoleh nilai prioritas global seperti tersaji pada tabel berikut :

Tabel 16. Bobot Prioritas Global

AlternatifPrioritas Global

KR DL KM PE TK DS KP TOTAL

Kepyar 0.015 0.011 0.012 0.014 0.055 0.021 0.020 0.148

Pagar 0.021 0.017 0.057 0.022 0.081 0.033 0.020 0.250

Kelapa 0.039 0.006 0.019 0.008 0.016 0.008 0.007 0.103

Sawit 0.129 0.003 0.061 0.005 0.011 0.005 0.007 0.222

Jelantah 0.073 0.028 0.033 0.048 0.035 0.013 0.047 0.277

Dengan melihat nilai prioritas global pada tabel di atas, maka Minyak Jelantah memiliki nilai bobot prioritas global tertinggi, sehingga keputusan yang

Executive Summary 6

Pemilihan Bahan Baku Biodiesel

(1.00)

Karakteristik(0,277)

Dampak Lingkungan

(0,065)

Komersialisasi(0,182)

Pemakaian Energi(0,097)

Tingkat Ketersediaan

(0,199)

Kemudahan Proses(0,101)

Daya Saing(0,079)

-Kepyar (0,055) -Pagar (0,074) -Kelapa (0,142) -Sawit (0,466) -Jelantah (0,264)

-Kepyar (0,170) -Pagar (0,259) -Kelapa (0,086) -Sawit (0,054) -Jelantah (0,432)

-Kepyar (0,068) -Pagar (0,315) -Kelapa (0,102) -Sawit (0,335) -Jelantah (0,181)

-Kepyar (0,141) -Pagar (0,226) -Kelapa (0,087) -Sawit (0,056) -Jelantah (0,490)

-Kepyar (0,279) -Pagar (0,408) -Kelapa (0,082) -Sawit (0,054) -Jelantah (0,178)

-Kepyar (0,263) -Pagar (0,419) -Kelapa (0,097) -Sawit (0,062) -Jelantah (0,160)

-Kepyar (0,194) -Pagar (0,194) -Kelapa (0,073) -Sawit (0,073) -Jelantah (0,466)

Page 7: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

sebaiknya diambil dalam memilih Bahan Baku Biodiesel di DKI Jakarta adalah Minyak Jelantah. Peringkat alternatif lainnya menurut bobot prioritas global secara berturut-turut adalah Jarak Pagar, Kelapa Sawit, Jarak Kepyar dan Kelapa.

E. ANALISA HASILDalam tahapan pengembangan bahan bakar alternatif, lembaga penelitian, pemerintah dan sektor industri ikut terlibat dalam mengadakan, mengembangkan, mengintegrasikan, mengatur dan menggunakan sumber daya teknologi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara melakukan perubahan untuk meraih nilai tambah. Untuk itu dibutuhkan pemilihan bahan baku yang tepat agar biodiesel dapat segera bersaing dengan solar yang tergantung pada pasokan impor minyak dunia.

Karena masih rendahnya suplai, maka minyak jelantah tidak dapat dijadikan satu-satunya bahan baku biodiesel. Pada kondisi normal, minyak-lemak pangan (sawit dan kelapa) tak akan bisa bersaing, karena harga minyak-lemak mentahnya lebih ditentukan oleh permintaan dari sektor pangan (harga tinggi, karena pangan kebutuhan paling vital). Tetapi industri biodiesel dapat menjadi pendukung keuletan daya saing industri minyak pangan nasional dengan menampung surplus minyak-lemak pangan di kala pasokan melonjak tinggi di atas permintaan.Industri biodiesel yang berbasis IPTEK minimal mampu mencampur aneka minyak-lemak (bahan mentah) guna menghasilkan biodiesel yang tepat memenuhi persyaratan standar kualitas/mutu. Jadi akan juga mampu menampung minyak-lemak yang diperah/ diekstraksi dari biji-biji limbah industri makanan-minuman maupun biji-biji pohon penghias atau peneduh. Produksi minyak-lemaknya bisa menjadi lahan bisnis Usaha Kecil Menengah. Skema ini terlihat pada gambar berikut:

Skema Penampungan Surplus Minyak Lemak Pangan

Executive Summary 7

Page 8: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

Walaupun suplai biodiesel masih terasa kurang, setiap wilayah yang tadinya hutan tidak boleh digunakan seluruhnya untuk perkebunan tanaman pangan atau pun energi. Alternatif utama dalam suplai Lahan subur digunakan untuk membudidayakan tanaman pangan (memproduksi bahan pangan), sedangkan lahan kering atau kritis untuk membudi-dayakan tanaman energi.

VI. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan:

Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi seluruh alternatif yang ada berdasarkan tinjauan ekonomisnya, sehingga proses pengembangan biodiesel dapat berjalan seperti yang diharapkan yaitu menjadi salah satu sumber energi nasional. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan seperti di bawah ini:1. Sasaran pengembangan biodiesel pada tahun 2010 biodiesel dari Sawit sebesar

1,364 juta ton dan dari Jarak 3,154 juta ton. Disini terlihat bahwa Minyak Jarak memegang peranan besar dalam mensuplai bahan baku biodiesel. Dengan Minyak Jelantah sebagai pilihan dari bahan baku biodiesel di DKI Jakarta diharapkan Minyak Jarak dan Minyak Sawit dapat menjadi pendukung sehingga suplai biodiesel tidak tersendat seperti saat ini.

2. Terbukanya pasar bahan bakar alternatif biodiesel membuat pengembangan proses dan plant engineering biodiesel menjadi menarik secara komersial. Roadmap biodiesel nasional: 720.000 KL biodiesel di tahun 2009 membutuhkan 8 - 25 unit kapasitas 30.000 – 100.000 ton/tahun. Tantangan utamanya adalah bagaimana mendesign dan memproduksi pabrik skala komersial di lokasi sekitar DKI Jakarta dengan harga yang kompetitif sehingga ongkos produksi biodiesel dapat ditekan serendah mungkin.

B. Saran:Ada tiga hal yang menentukan efisiensi dan efektifitas proses pengembangan biodiesel, yaitu kualitas perencanaan, program, serta komunikasi antara produsen dengan konsumen. Saran yang dapat diberikan untuk pemerintah daerah DKI Jakarta adalah sebagai berikut:1. Industri biodiesel yang berbasis IPTEK minimal mampu mencampur aneka

minyak-lemak (bahan mentah) yang terbuat dari Minyak Jelantah, Minyak Jarak dan Minyak Kelapa Sawit guna menghasilkan biodiesel yang tepat memenuhi persyaratan standar kualitas/mutu. Oleh karenanya, industri biodiesel dapat menjadi pendukung keuletan daya saing industri minyak pan-gan dengan menampung surplus minyak-lemak pangan di kala pasokan mel-onjak tinggi di atas permintaan.

2. Menerbitkan regulasi produksi dan distribusi (tata niaga biodiesel) agar pemasok, produsen dan penyalur biodiesel dapat memperoleh kepastian hukum.

3. Walaupun suplai biodiesel masih terasa kurang, namun pembagian lahan subur hanya digunakan untuk membudidayakan tanaman pangan (memproduksi ba-han pangan), sedangkan lahan kering atau kritis untuk membudi-dayakan tana-man energi. Tambahan pasokan bahan baku biodiesel dapat diperoleh dari minyak jelantah.

DAFTAR PUSTAKA

Executive Summary 8

Page 9: Analisis Pemilihan Bahan Baku Biodiesel Di DKI Jakarta

1. Abetti, Pier A. Linking Technology and Business Strategy. American Management Association. New York. 1998.

2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. Kebijakan dan Strategi Umum Pengembangan Industri Kecil Menengah. Jakarta. 2002.

3. Lembaga Penelitian ITB. Studi Transfer Teknologi Kepada UKM Beserta Pengembangan Riset Daerah. Bandung. 2002.

Executive Summary 9