Upload
dangcong
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004
TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK
SYARIAH BUKOPIN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
oleh:
Muis Hidayat NIM: 105046101687
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004
TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK
SYARIAH BUKOPIN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.E.Sy)
Oleh :
Muis Hidayat NIM: 105046101687
Di bawah bimbingan:
Pembimbing
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. NIP : 19601171985051001
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M i
PENGESAHAN PANITIA SIDANG
Skripsi yang berjudul “ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2010, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syari’ah pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
Jakarta, 21 Juni 2010
Dekan,
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 19550505 198203 1 012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : D r . E u i s A ma l i a , M A . (…………………………) NIP. 19710701 199803 2 002 Sekretaris : H. Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. (....………………………) NIP. 19740725 200112 1 001 Pembimbing : Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. (...……………………….) NIP. 19601107198505 1 001 Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (…………………………) NIP. 195703121985031 003 Penguji II : H. Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. (...……………………….) NIP. 19740725 200112 1 001
ii
ABSTRAKSI
Muis Hidayat. Analisis Penerapan Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh pada Pembiayaan Murabahah di PT Bank Syariah Bukopin, Skripsi Konsentrasi Perbankan Syari’ah, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan konsep ta’widh yang telah dikeluarkan oleh DSN MUI melalui fatwa DSNMUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 dan Mengetahui penerapan dan aplikasi ta’widh pada pembiayaan murabahah dan cara penyelesaiannya di PT Bank Syariah Bukopin.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan memadukan antara penelitian lapangan (field research) yakni dengan wawancara secara langsung kepada pihak DSN-MUI dan PT Bank Syariah Bukopin yang memiliki kepentingan terhadap penulisan skripsi ini dan penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mengambil bahan-bahan pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ta’widh.
Hasil penelitian ini Ta’widh merupakan sebagai bentuk proses ganti rugi yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak yang merasa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan atas dasar kemaslahatan dan biaya – biaya ril yang dikeluarkan oleh bank syariah karena terjadinya proses perpanjangan dalam pembiayaan murabahah akibat dari penundaan pelunasan oleh nasabah debitur.
Berbeda dengan ta’zir sebagai denda yang masuk dananya ke dalam pendapatan non halal atau dana kebajikan. Sedangkan ta’widh merupakan dana ril yang telah dikeluarkan pihak bank syariah, sehingga dana ganti rugi yang didapat masuk ke dalam pendapatan bank syariah dalam perhitungannya. Hal ini dilakukan agar menjaga kinerja dan kolektibilitas bank syariah.
Kata kunci: Ta’widh, Ta’zir, kolektibilitas, ganti rugi
iii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 20 Juni 2010
Muis Hidayat
iv
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
kemudahan yang diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw.
Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bimbingan
dan saran dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati
penulis persembahkan untaian terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Ayah dan Ibu penulis yang telah membesarkan dan merawat sejak kecil hingga
dewasa dan memberikan kesempatan agar dapat melanjutkan kuliah hingga
lulus saat ini, jasa kalian tak akan pernah terbilang oleh kata-kata. Hadiah ini ku
persembahkan kepada orang tua yang tercinta.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Dr. Euis Amalia, M,Ag. selaku Ketua Program Studi Perbankan Syariah
dan Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. selaku Sekretaris Program
v
Studi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang selalu memberikan arahan, saran serta motivasi selama penulisan skripsi
ini.
5. Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan
dan bantuannya kepada penulis.
6. Bapak Kanny Hidayat dari DSN-MUI dan bapak Noor Cholis dari PT Bank
Syariah Bukopin yang telah memberikan kesempatan waktunya kepada penulis
untuk dapat diwawancarai, sehingga penulisan ini dapat selesai dengan baik.
7. Kepada teman-teman Gontor 2003 Zagreenada De Nature, dan teman – teman
kelas PSD 05 (Matroji, Rizki, Beni, Irul, olied, Muhajir, Irfan, dll) semoga
sukses selalu.
8. Kepada teman – teman kantor di PP MES (Iqbal, Farizal,Dedi, Yuni n’ Janu)
yang telah memotivasi agar dapat buru-buru menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada teman – teman LDK (Reza, Iqbal, Rudi, Anwar, Fathim, Bibah, Ari,
Husnul, Rani, Rini,dll ) yang selalu menanyakan kapan nih akh? Tar kebalap
dengan kami loh...syukron atas doa dan ”pecutan”semangatnya.
vi
10. Kepada temen-temen lingkar Studi Ekonomi Syariah (Lisensi) (Jihad, wahyu,
Asbah, dll) yang telah menyempatkan waktunya untuk dapat berdiskusi
bersama.
11. Dan kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan disini, tanpa
mengurangi kontribusi kalian terhadap penulis yang begitu besar.
Semoga amal dan jasa baik yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima oleh Swt dengan pahala yang melimpah. Besar harapan penulis bahwa
skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi banyak pihak.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam peulisan skripsi ini, sehingga
penulis berharap peneliti-peneliti selanjutnya dapat melakukan perbaikan.
Penulis,
MUIS HIDAYAT
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING…………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN PANTIA UJIAN………………………………… ii
ABSTRAK ………………………………………………………………………. iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………….... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………….... 8
D. Kajian Pustaka …………………………………………………………. 9
E. Kerangka Teori dan Konsep …………………………………………… 12
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ……………………………... 16
G. Sistematika Penulisan………………………………………………….. 18
BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KONSEP MURABAHAH
DAN TA’WIDH
A. Pengertian Murabahah
1. Definisi Murabahah ……………………………………………….. 20
2. Rukun dan Syarat Murabahah ……………………………………. 19
3. Landasan Hukum Murabahah …………………………………….. 24
4. Jenis-jenis Murabahah ……………………………………………. 27
viii
5. Manfaat dan Resiko Murabahah …………………………………. 28
6. Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah ………………… 29
B. Pengertian Ta’widh
1. Definisi Ta’widh …………………………………………………… 30
2. Dasar Hukum Ta’widh ……………………………………………. 33
3. Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh ………………………………. 35
4. Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh …………………………. 37
C. Perbedaan antara ta’widh dan denda (ta’zir) …………….…………....... 40
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PT BANK SYARIAH BUKOPIN
A. Sejarah Singkat Bank Syari’ah ……………………………………….. 41
B. Falsafah, Visi dan Misi Perusahaan …………………………………... 42
C. Struktur Organisasi …………………………………………………… 43
D. Produk-Produk Bank Syari’ah ………………………………………. 44
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Konsep ta’widh pada fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004
…………….......................................................................................................48
B. Penerapan ta’widh pada Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah .......51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………….63
B. Saran …………………………………………………………………65
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 66
LAMPIRAN ix
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi syariah cukup pesat dan besar, banyak
bermunculan lembaga keuangan syariah yang baru menambah kemampuan ekonomi
berbasis syariah menjadi pilihan utama atas permasalahan ekonomi yang dihadapi
saat ini. Islam membawa suatu sistem ekonomi syariah yang diperuntukkan untuk
mencapai kesejahteraan dan keadilan serta jauh dari tindakan-tindakan yang
merugikan orang lain, baik itu untuk muslim sendiri atau pun non-muslim.
Kesempurnaan ajaran Islam yang membawa rahmatan lil’alamin kepada seluruh
makhluk di muka bumi ini.
Khususnya perkembangan perbankan syariah saat ini cukup luar biasa,
walaupun tidak mencapai target yang diinginkan. Undang- Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1998, menandai sejarah
baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system
banking di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dengan piranti bunga dan
perbankan syariah dengan piranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah1. Ini menunjukkan bahwa legalitas dan dukungan pemerintah terhadap
1 Ahmad Kamil dan M. Fuazan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah”,( Jakarta: Kencana, 2007) cet. 1, h. I
1
2
perbankan syariah menjadi kekuatan tersendiri akan pertumbuhannya dari masa ke
masa nantinya.
Berdasar data publikasi BI per September 2009, industri perbankan syariah
mencatat aset Rp 58 triliun, meningkat 29 persen dari periode sama tahun lalu yang
sebesar Rp 45,8 triliun. Pada akhir 2008, aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp
49,5 triliun. Di sisi pembiayaan per September 2009 sebanyak Rp 44,5 triliun dan
DPK Rp 45,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat dari akhir 2008 dimana pembiayaan
sebesar Rp 38,1 triliun dan DPK Rp 36,8 triliun. Sementara itu ekuivalen tingkat bagi
hasil bank syariah untuk tabungan naik dari 3,02 persen di Agustus menjadi 3,06
persen pada September 2009 dan untuk deposito bagi hasil antara 6,78 persen dan
8,42 persen di kuartal III. Per September, pembiayaan dengan akad mudharabah
memiliki tingkat bagi hasil 19,33 persen, musyarakah 11,04 persen dan murabahah
15,78 persen.2
Seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia, tentu akan
dibarengi juga dengan perubahan aktivitas manusia yang selalu berubah-ubah. Dalam
sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem Ekonomi
Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan–pandangan yang
2 http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/174/kat/17 , BI Rate Pacu Kinerja Bank
Syariah
3
benar terhadap hakekat manusia. Sistem – sistem yang ada memiliki filosofi yang
berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari yang sama yaitu materialisme3.
Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan struktur dan kondisi alam atau
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Perubahan aktivitas manusia tersebut
tidak terlepas dari ancaman risiko. Segala macam risiko yang berasal dari musibah
dan bencana alam merupakan qadha dan qadhar dari Allah SWT. Allah SWT
berfirman dalam surat al Luqman (31) Ayat 34 :
... ⌧
☺ ) 34:لقمان (
“… dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakan esok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia
akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS.
Luqman[31] : 34)
Dari ayat di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam menghadapi
kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian, manusia tidak dapat mengelak dari
kehendak Allah SWT, tetapi manusia wajib untuk berikhtiar untuk dapat
mengatasinya.
Dalam konsep ekonomi Islam, setiap transaksi ekonomi yang membutuhkan
kerjasama (mudharabah,musyarakah, dll) menggunakan sistem bagi hasil, maka
3 A. Riawan Amin, “Menata Perbankan Syariah di Indonesia”,(Jakarta;UIN Press 2001) cet.
1, h.22
4
ketika terjadi resiko, maka akan ada proses berbagi risiko juga. Di bidang ritel,
nasabah dan bank membagi risiko dari segala investasi sesuai dengan peraturan yang
telah disetujui serta membagi keuntungan yang didapat. Melihat kedigdayaan
keuangan syariah tersebut, kini Inggris mulai melirik sistem keuangan syariah ini. Di
negara asal ekonom besar Adam Smith ini, industri syariah telah masuk ke banyak
sektor kehidupan, termasuk kredit perumahan. Para nasabah yang kebanyakan non-
Muslim merasa perlu mengambil kredit mortgage-nya melalui sistem syariah. Hal ini
terjadi karena mereka tertarik dengan transparansi dan stabilitas bisnis perbankan
syariah setelah kehancuran bank-bank konvensional akibat krisis properti, subprime
mortgage4.
Dalam bisnis pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan, tapi dalam Islam
sendiri dalam prinsipnya berbagi keuntungan dan kerugian baik antara pelaku bisnis
(mudhorib) atau pemilik uang (shohibul mal), sehingga tidak ada yang dizalimi satu
sama lain. Bank syariah sebagai lembaga intermediary yang seiring dengan situasi
lingkungan eksternal dan internal, mengalami perkembangan pesat yang akan selalu
berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam
dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam konteks perbankan merupakan
suatu kejadian yang potensial, baik yang diperkirakan maupun yang tidak dapat
diperkirakan yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank.
4 Republika Newsroom, “ Ketika Barat Jatuh Cinta pada Sistem Ekonomi Syariah”, artikel
diakses pada 6 November 2009 dari http://www.republika.co.id/berita/31514
5
Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan5.
Dalam Islam kerugian yang harus dipertanggung jawabkan adalah kerugian riil, hal
ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-
nunda pembayaran6.
Menurut Imam asy-Syatibi, sesungguhnya syariah itu bertujuan
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan, dalam hal ini,
diartikan pelbagai sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan
penghidupan manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas
emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Beliau melanjutkan,
kemaslahatan ini dapat terealisasi apabila lima unsur pokok yang harus diwujudkan
dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta7, ini dikenal dengan
nama Maqosidhu as Syariah.
Dengan melihat itu semua, maka diketahui bahwa dalam pemenuhan suatu
kemaslahatan dalam kehidupan manusia haruslah dapat memenuhi kelima unsur
pokok diatas sebagai landasan awal, apalagi dalam hal bermuamalah, khususnya
dalam berekonomi. Hal ini bisa terkait dengan proses memenuhi kebutuhan hidup
dalam berekonomi dengan cara proses transaksi atau jual beli dan akad – akad yang
5 Adiwarman A. karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:Rajawali press),
cet.3, hal. 255 6 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, h. 828 7 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta;Pusataka Asatruss) h. 208-209. Lihat pula pada, Asy-Syatibi, al- Muwafaqat fi Ushul asy-Syariah, Kairo: mustofa Muhammad , t.th) jilid 2
6
telah diperjanjikan pun haruslah dipenuhi, agar tidak ada yang dirugikan oleh masing-
masing pihak. Islam menggambarkan dalam al-Quran surat al-Maidah (5), ayat 1, :
)1: ا لمائدة (… “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.
Dalam risiko yang dihadapi seperti halnya adanya wanprestasi atau
kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya sangat
kontradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan semua pihak
yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syariah maupun nasabah, sehingga tidak
boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan
yang ada dalam Syariah Islam adalah adanya mekanisme ta’widh (pemberian ganti
rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar8.
Perlu dipahami bersama, ta’widh berbeda dengan ta’zir, walaupun proses
yang terjadi adanya kesamaan dikarenakan kelalaian dengan menunda-nunda
pembayaran. Ta’zir (denda) dana yang dikumpulkan masuk kedalam dana sosial,
biasanya sudah ada dalam perjanjian dan besarannya pun telah ditentukan dan bukan
karena kasus force majeur, sedangkan ta’widh (ganti rugi) dananya masuk sebagai
pendapatan bank dan besarannya pun ditentukan sesuai dengan kerugian rilnya serta
bukan karena kehilangan kesempatan atau time value of money. Fatwa ta’widh ini
telah keluar, walaupun sempat tertunda karena para ulama dan pembuat kebijakan di
8 Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, h.828
7
Bank Indonesia keberatan dengan klausul ta’widh. Nasabah yang mengulur-ulur
pembayaran sudah bisa ditindak dengan adanya fatwa MUI no 17 tahun 2000 tentang
sanksi (ta’zir).
Berdasarkan fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau
ta’zir. Selain itu dananya juga tidak dimasukkan pendapatan bank melainkan sebagai
dana sosial, tentu hal ini berbeda dengan ta’widh seperti yang telah dikatakan
sebelumnya. Dan fatwa tentang ta’zir No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentu berbeda
dengan Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh.
Hal ini dilakukan agar memberikan manfaat yang lebih luas dan
pemahaman yang baik, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak bank syariah
maupun nasabah. Bagi bank syariah membantu pengelolaan dan kinerja perusahaan,
jika hal ini tidak dilakukan akan berdampak kepada penurunan kolektibilitas terhadap
kinerja bank syariah sendiri, karena kewajiban yang belum dilunasi. Ini juga sebagai
kompetitif terhadap bank konvensional yang menerapkan bunga dengan mengambil
konsep kehilangan kesempatan time value of money. Ta’widh tentu berbeda yang
diterapkan oleh bank syariah sebagai ganti rugi terhadap segala biaya-biaya ril yang
telah dikeluarkan agar tidak kehilangan ongkos kerja dan diakui sebagai pendapatan
bank syariah.
Dengan konsep ta’widh ini memberikan pembelajaran kepada nasabah
pembiayaan yang nakal dan membantu bank syariah agar mendorong nasabah untuk
melunasi kewajibannya tepat waktu. Bagi nasabah pun akan berpikir ulang untuk
melunasi secepatnya dan sesuai dengan perjanjian.
8
Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh
mengenai proses ta’widh sendiri dan aplikasinya dalam bank syariah, khusus dalam
proses jual beli atau Murabahah. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis memilih
judul : “ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO. 43/DSN-
MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH
DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis memberikan batasan
dalam pembahasan ini hanya berfokus pada ta’widh atau ganti rugi terhadap transaksi
murabahah dalam perbankan syariah.
Agar mempermudah dalam penyusunan, maka perlu kiranya dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep ta’widh pada fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 ?
2. Bagaimana penerapan ta’widh yang digunakan dalam bank syariah dan proses
penyelesaiannya pada murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian sudah pasti mempunyai tujuan dan manfaat. Adapun tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep ta’widh pada fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004.
9
2. Mengetahui penerapan dan aplikasi ta’widh dalam bank syariah dan cara
penyelesaiannya pada murabahah.
Sedangkan manfaat penelitian ini terbagi empat, antara lain :
1. Bagi Peneliti : Dapat menambah wawasan dan pengetahuan akan proses
ta’widh dalam bank syariah dan mengetahui pula akan perbandingan antara
konsep dan aplikasi.
2. Bagi Pengusaha : Memberikan informasi penting mengenai proses ta’widh
atau ganti rugi yang sesuai dengan syariah.
3. Bagi Masyarakat : Dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang
proses ganti rugi pada bank syariah.
4. Dapat menjadi sumber referensi dan sarana pemikiran bagi kalangan para
akademisi dalam menunjang penelitian lainnya.
D. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada skripsi terdahulu yang telah dilakukan
yaitu :
1. Peneliti Yesi Iryanti, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, FSH, perbankan syariah
Judul “Analisis Penanganan Pembiayaan Murabahah
Bermasalah” (Studi Kasus Pada Bank DKI Syariah
dan BPRS Wakalumi)
10
Metodelogi Penelitian Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian - faktor penyebab nasabah mengalami wanprestasi
yaitu kebanyakan dari faktor eksternal karena jenis
pembiayaan yang dilakukan digunakan untuk
menambah modal usaha.
- Akibatnya nasabah tidak mampu mengembalikan
pembiayaan tepat pada waktunya yang telah
ditentukan, bank akan mengalami kerugian baik
financial maupun tenaga akibat tidak
dikembalikannya dana bank tersebut.
- Dalam proses penanganannya diawal memberikan
surat teguran atau pemanggilan, eksekusi jaminan,
jika belum berhasil dilakukan hapus buku. Dalam
proses akhir ini jarang dilakukan karena hal tersebut
dapat merugikan pihak bank
2 Peneliti Yetty Nur Indah Sari, Perbankan Syariah, melakukan
penelitian tahun 2008
Judul “ Denda Murabahah Dalam Pandangan Sistem
Ekonomi Islam” ( Studi Kasus Di Bank Syariah Mega
Indonesia)
11
Metodelogi Penelitian Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian - Denda (ta’zir) diberikan akibat kelalaian nasabah,
jika nasabah mampu dan tak mau membayar,
biasanya ini sudah ada dalam perjanjian atau akad
diawal, hal ini sebagai proses hukuman atas
kelalaiannya. Penyelesaian denda murabahah dibayar
pada akhir masa jangka waktu pembiayaan dan dana
ini dimasukkan sebagai dana sosial atau kebajikan.
3 Peneliti Enung Nurjannah, Perbankan Syariah, melakukan
penelitian tahun 2008
Judul “Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada
Pembiayaan Multiguna BTN Syariah” ( Studi Kasus
pada Bank BTN Syariah Kantor Cabang Syariah
Tangerang )
Metodelogi Penelitian Kualitatif deskriptif
Hasil Penelitian - Dalam upaya menyelesaikan pembiayaan multiguna
(murabahah), dilakukan dari reschedulling, melalui
pembinaan melalui pendekatan pada nasabah,
collection, pengurangan tungakkan pokok
pembiayaan, eksekusi jaminan asset atau objek
12
pembiayaan dalam rangka pelunasan pembiayaan,
menghapus buku atau membebaskan hutang
Dari keterangan diatas dijelaskan mengenai permasalahan akan pembiyaan
bermasalah dan cara proses penyelesaian, khususnya dalam pembiyaan murabahah.
Terdapat pula di dalam ta’zir atau denda yang disebabkan kelalaian dalam menunda
pembayaran, padahal mempunyai kemampuan untuk membayar. Akan tetapi dana
dari denda tersebut masuk ke dalam dana sosial atau kebajikan.
Hal ini tentu saja berbeda dengan penulis sendiri, karena pembahasan ini akan
dititik beratkan kepada proses ta’widh atau ganti rugi atas biaya-biaya yang telah
dikeluarkan bank. Dalam prosesnya tentu pembiayaan ini berhubungan dengan
pembiayaan bermasalah atau wanprestasi yang terjadi. Dan dana yang dikumpulkan
tersebut sebagai pendapatan bank syariah.
E. Kerangka Teori dan Konsep
Kerangka Teori
Murabahah adalah transaksi kepercayaan, sebab pembeli telah
mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang dibelinya. Oleh
karena itu, ketika bank menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya
bank menawarkan kepercayaan dan good-will yang tinggi kepada nasabah, dan
sebalknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank.
13
Konsep amanah dan saling mempercayai inilah yang membedakan murabahah
dengan pinjaman berbasis bunga tetap9.
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan/margin yang disepakati10. Dalam jual beli ini, penjual harus memberi
tahu harga pokok pembelian barang dan menentukan tingkat keuntungan tertentu
sebagai tambahan dan menjelaskannya kepada pembeli. Murabahah menekankan
adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, bukan hanya
pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di perbankan konvensional.
Dalam praktek pembiayaan murabahah, nasabah datang mengajukan
pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi
negosiasi dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Kemudian bank
memesan barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah.
Setelah barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual
beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada
nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Perbankan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir
utnuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang dijalankan
berdasarkan prinsip syariah. Namun, adakalanya dalam menjalankan transaksi para
pihak dihadapkan sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian.
9 Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, h. 306 10 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz. II(Beirut: Dar al Fikr 1415
M/1995 H) h. 172
14
Risiko tersebut diantanya bisa disebabkan wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan
menunda-nunda pembayaran. Dalam hal ini murabahah juga memiliki tingkat risiko
yang sama dengan diatas11.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syariah yang sangat melindungi
kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik bank syariah maupun nasabah,
sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu
bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah adalah adanya mekanisme ta’widh
(pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Sedangkan yang
dimaksud dengan ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan12.
Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat
diperhitungkan dengan jelas, yaitu kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan
pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran
tersebut, seperti biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang
seharusnya dibayarkan. 13
Besar ganti rugi (ta’widh) harus disesuaikan dengan kerugian riil (real loss),
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss). Hal ini karena obyek
11 karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 254
12 Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, h. 828 13 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,(Bogor:Ghalia
Indonesia,2009),h.64
15
ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diizinkan syariat untuk
dimanfaatkan)14.
Kerangka konsep :
Bank Syariah
Transaksi Murabahah
Nasabah
Proses pelunasan
Wanprestasi
Penyelesaian Masalah
Denda/Ta’widh
Analisa Kesesuaian dengan prinsip syariah terhadap proses penyelesaian
14 Ibid ., h. 832
16
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Jenis Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode diskriptif , yaitu
mendiskripsikan dan menganalisis temuan-temuan yang diperoleh, menggambarkan
atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat
hubungan antar fenomena yang diselidiki.
- Pendekatan ?
- Jenis data ?
Tehnik penulisan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penyusunan skripsi ini adalah:
1. Penelitian lapangan (field research), yaitu :
a. Studi kasus dengan menginventarisir beberapa kasus yang berkaitan dengan
topik penelitian.
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur dengan
pihak yang terkait.
2. Penelitian perpustakaan (library research), yaitu dengan mengambil bahan-bahan
pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah yang dibahas.
Teknik penulisan berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”, dengan
beberapa pengecualian, sebagai berikut :
1. Dalam daftar kepustakaan, al-Qur’an al-Karim ditulis pada urutan pertama
sebagai tanda penghormatan.
17
2. Kutipan ayat-ayat al-Qur’an tidak diberi footnote tetapi hanya diberi nama surat
dan nomor ayat di akhir terjemahannnya, dan terjemahan dari ayat-ayat tersebut
berpedoman pada “al-Qur’an dan Terjemahannya”, terbitan Departemen Agama
Republik Indonesia.
3. Terjemahan dari ayat-ayat al-Qur’an berjarak satu spasi dengan di awali dan di
akhiri dengan tanda kutip.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab, dengan perincian sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,Kajian pustaka,
kerangka Teori dan konsep, metode penelitian dan teknik penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KONSEP TA’WIDH DAN
MURABAHAH . Definisi Murabahah, Rukun dan Syarat Murabahah,
Landasan Hukum Murabahah, Jenis-jenis Murabahah, Manfaat dan
Resiko Murabahah, Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah.
Definisi Ta’widh, Dasar Hukum Ta’widh, Ketentuan Umum dan
Khusus Ta’widh, Pendapat Para Ulama Tentang Ta’widh, Perbedaan
antara ta’widh, ganti rugi dan denda (ta’zir)
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI. Bab
ini memaparkan tentang sejarah singkat Bank Syariah, falsafah, visi dan
18
misi Bank Syariah, struktur organisasi Bank Syariah dan produk-produk
Bank Syariah.
BAB IV : HASIL PENELITIAN . Berisi tentang konsep ta’widh pada fatwa
DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004, Penerapan ta’widh pada
pembiayaan murabahah di bank syariah.
BAB V : PENUTUP. Berisi kesimpulan dan saran.
19
BAB II
Tinjauan Teoritis Mengenai Konsep Murabahah dan Ta’widh
A. Pengertian Murabahah
Salah satu skim fiqh yang paling popular digunakan perbankan syariah adalah
skim jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah
Saw dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan
barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya,
seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan
tertentu15.
Murabahah merupakan jenis transaksi dengan dasar kepercayaan, sebab pembeli
telah mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal yang dibelinya. Oleh
karena itu, ketika bank syariah menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka
sebenarnya bank syariah menawarkan kepercayaan dan good will yang tinggi kepada
nasabah dan sebaliknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada
pihak bank syariah.
1. Definisi Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الربح)
yang berarti keuntungan, pemasukan atau laba16. Sedangkan dalam definisi para
15 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,(Jakarta: Rajawali Press),
cet. 3, h. 113
16 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,( Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak), cet. I, h. 954
20
Dengan melihat adanya ketentuan diatas “ keuntungan yang disepakati”, maka
murabahah adalah penjual memberi tahu kepada pembeli tentang harga pembelian
barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut,
baik sebesar satu dinar maupun satu dirham18. Misalnya, si Fulan membeli unta 30
dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya, ia
mengatakan: “ Saya menjual unta ini 50 dinar dengan mengambil keuntungan 15
dinar.”19
Dalam prakteknya pembiayaan murabahah, yaitu pembiayaan berupa
talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang dengan
kewajiban mengembalikan talangan tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan
pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga
beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.20
2. Rukun dan Syarat Murabahah
a. Rukun :
17 Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-’Imraani, al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah,
(Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah, 1427H),h. 257
18 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Beirut:Daar Al fikri), h. 172
19 Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,h. 113
20 Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Ausransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20005), h. 106
21
1) Pihak yang berakad (aqidain) :
a) Penjual
b) Pembeli
2) Objek yang diadakan (ma’qud alaih) :
a) Barang yang diperjualbelikan
b) Harga
3) Akad (Shighot):
a) Serah (ijab)
b) Terima (qabul)
b. Syarat :
1) Syarat yang terkait dengan shighot
Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijaba qabul sebagai
berikut:
a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal
menurut jumhur ulama, dan berakal menurut ulama hanafiah.
b) Qabul sesuai dengan ijabnya.
c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.21
2) Syarat yang berakad
Para ulama sepakat bahwa yang melakukan akad jual beli harus
memenuhi syarat baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang
dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila,
21 Harun Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 116
22
hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz,
menurut ulama Hanafiah, hukumnya sah jika yang dilakukan
membawa keuntungan bagi anak kecil tersebut, dan tidak sah jika
membawa kerugian.22
3) Syarat objek yang diadakan
Para ulama membedakan al-tsaman dengan al-si’ir. Menurut
mereka al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-si’ir adalah modal
barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual
kepada konsumen. Adapun syarat dari al-tsaman adalah harga yang
disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlah dan jenisnya.
Sedangkan syarat barang yang diperjual belikan, boleh
diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.23
Syarat – syarat murabahah menurut Syafi’i Antonio adalah
sebagai berikut :
1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah
2) Kontrak pertama harus sah.
3) Kontrak harus bebas dari riba.
22 Nasrun, Fiqh Muamalat, h.117 23 Nasrun, Fiqh Muamalat, h.118
23
4) Penjual harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah
pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan
cacat.
5) Penjual harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6) Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki
pilihan:
a.melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b.kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
c.membatalkan kontrak24.
3. Landasan Hukum Murabahah25 (Istidlal)
a. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
..منكم تراض عن تجارة تكون أن إال بالباطل بينكم أموالكم التأآلوا آمنوا الذين أيها يآ
)29:اء ا لنس(
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”
Pada ayat di atas menjelaskan akan jual beli yang didasari suka rela dan tidak
saling menzholimi satu sama lain. Khususnya pada murabahah dengan akad jual
beli diharuskan adanya kejujuran dalam transaksi tersebut dan tidak ada yang
24 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 102
25 Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2005),h.13
24
dizholimi satu sama lain, misalnya manipulasi barang, gharar, atau penipuan
lainnya.
b. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
)275: ا لبقرة (…الربا وحرم البيع اهللا وأحل …
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
Disini jelas bahwa Allah telah menghalalkan jual beli yang salah satunya
adalah murabahah dan yang terpenting tidak melakukan transaksi dengan riba.
Karena hal ini akan merusak akad yang telah dilakukan dan dapat merugikan
yang lainnya.
c. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
)1:ا لمائدة(… بالعقود أوفوا آمنوا الذين ياأيها
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
Setiap perjanjian atau akad yang telah disepakati bersama haruslah masing-
masing pihak dapat memenuhi hak dan kewajibannya. Khususnya dalam transaksi
murabahah harus dijelaskan masing-masing hak dan kewajiban antara kedua
belah pihak, jika ada hal yang dilanggar maka akan dapat merugikan yang lainnya
dan ini termasuk ke dalam zhulm.
d. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
)280: ا لبقرة ( ...ميسرة إلى فنظرة ذوعسرة آان وإن
25
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”
Dalam setiap transaksi jual beli atau transaksi lainnya, kemungkinan besar ada
hal yang tidak dapat diduga seperti terjadinya kepailitan atau bangkrut di salah
satu pihak atau pun terjadinya force majure,. Apabila hal tersebut terjadi dan
bukan karena kesengajaan, maka diberikan kelonggaran atau kemudahan adalah
lebih baik, agar dapat menjalankan kewajibannya dalam melunasi akad yang telah
disepakati.
e. Hadis Nabi saw.:
:قال وسلم وآله عليه اهللا صلى اهللا رسول أن عنه اهللا رضي الخدري سعيد أبي عن
)حبان ابن وصححه ماجه وابن البيهقي رواه(،)تراض عن البيع إنما(
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)26.
Hadis di atas menjelaskan bahwa jual beli harus didasari atas suka sama suka.
Intinya tidak adanya pemaksaan dalam setiap transaksi muamalah, khususnya
pada murabahah yang didasari kejujuran dan diantara kedua belah pihak yang
bertransaksi harus pula suka sama suka dengan suka rela tanpa paksaan.
f. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
والمقارضة، أجل، إلى البيع :البرآة فيهن ثالث :قال وسلم وآله عليه اهللا صلى النبي أن
26 Muhammad Fuad Abdu al Baqi, Sunan al Hafizh Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al Qazwiny Ibn Majah, (Lebanon: Darul Kutub al Libany, t.th) juz 2, hadist ke- 2185, h. 736-737
26
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)27.
g. Kaidah fiqh:
.28تحريمها على دليل يدل أن إال اإلباحة المعامالت فى األصل
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
4. Jenis-jenis Murabahah
a) Murabahah Naqdan (tunai)
Yakni jual beli secara kontan atau tunai. Sebagai contoh, penjual A dan B
sepakat jual beli kambing yang diserahkan saat itu juga dengan harga Rp. 500
ribu dibayar dibayar tunai29. Dengan penjual mendapatkan keutungan Rp 100
ribu dari harga sebenarnya sebesar 400ribu.
b) Murabahah muajjal (cicilan)
Yakni pembiyaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk
membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan dana
tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan bank pada waktu jatuh
27 Abdu al Baqi, Sunan Ibn Majah, hadist ke-2289, h. 768
28 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: kencana,2007), cet.ke-2, h. 10 29 Karim, Bank Islam Analisis fiqh dan Keuangan, h. 118
27
tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari
pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.30
5. Manfaat dan Resiko Murabahah
Bai’ al-murabahah memberi banyak menfaat kepada bank syariah
salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari
penjual dengan harga jual kepada nasabah31. Sedangkan manfaat yang dapat
dirasakan oleh nasabah adalah adanya kemudahan dalam mendapatkan barang
yang diinginkan dengan sistem yang sederhana.
Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain
sebagai berikut :
a. Default atau kelalaian: nasabah sengaja tidak membayar angsuran
b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di
pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak
bisa mengubah harga jual beli tersebut.
c. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh
nasabah karena pelbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam
perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu,
sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena
30 Wirdyaningsih, karnaen Perwataatmadja, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,(
Jakarta:Kencana, 2005), h. 106 31 Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 106
28
nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia
pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan
penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan
demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak
lain.
d. Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang,
maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik
nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun terhadap asset miliknya
tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko
akan default akan besar. 32
6. Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah
Secara umum, aplikasi perbankan dari bai’ al-murabahah dapat digambarkan
dalam skema berikut ini :
Gambar I.
32 Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 106
29
Nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan
kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi negosiasi dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh kedua pihak . Kemudian bank memesan barang kepada supplier
sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang tersebut resmi
menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah
dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, kemudian
nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan33.
B. Pengertian Ta’widh
1. Definisi Ta’widh (terminologis)
Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadha (عوض), yang artinya ganti
atau konpensasi. Sedangkan al-ta’widh sendiri secara bahasa berarti
mengganti (rugi) atau membayar konpensasi34. Adapun menurut istilah adalah
menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.35
Adanya dhaman ( tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu
yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya (beban berat)
dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya(beban berat) termasuk di
dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian
ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa seseorang,
baik menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang
33 Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 108 34 Atabik dan Ahmad, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 1332
35 Wahbab al-Zuhaili, Nazariyah al- Dhaman, ( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), h. 87
30
terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan kuantitas, kualitas ataupun
manfaat.36
Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak
menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad atau
menyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril
kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril.
Misalnya seseorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya yang
diminta untuk disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu pada pasien
tersebut.37 Dalam kasus ini tentu saja yang berhubungan dengan harta
kekayaan atau sesuatu yang telah dikeluarkan.
2. Dasar Hukum Ta’widh38 (istidlal)
a. QS. Al Maidah (5):1
)1:ا لمائدة(… بالعقود أوفوا آمنوا الذين اياأيه
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
b. QS. al-Baqarah (2);279-280 :
☺ ☺ ⌧
36 Jadurrabb, al-Ta’wis al-Ittifaqi ‘an ‘Adam Tanfidz al-Iltizam au at-Ta’akhkhur fih: Dirasah
Muqaranah Baina al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadhi’I, (Iskandariah : Dar al-Fikr al-Jamai’I, 2006), h. 170
37 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 335
38 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah,h.820
31
“…kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
c. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
الضرر والضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
d. Kaidah Fiqh :
39ىتحريمهل ع أن يدل دليل فى المعامالت اإلباحة إالصلاأل“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
الضرر يزال
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”40
3. Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh
Hal ini mengingatkan secara tradisional, setiap bentuk penambahan
apa pun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk riba’. Namun,
PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi
39 A. Djazuli, Kaidah – kaidah Fiqh, h. 10 40 A. Djazuli, Kaidah- kaudah Fiqh, h. 16
32
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu
berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian (ta’widh) dalam pembiayaan
dimaksud memberi kemungkinan pengenaan ganti kerugian dalam hal dan
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut41.
a. Ketentuan umum42
1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta
murabahah dan ijarah.
41 Adrian Sutedi, S.H., M.H., Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,
(Bogor:Ghalia Indonesia, 2009),h. 64 42 Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h.
825
33
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah
apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
b. Ketentuan khusus
1. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah
sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya
bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya peluang
yang hilang (opportunity loss/al-fursah al-dha’iah).
2. Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad
dan dipahami oleh nasabah.43
3. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan
tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya
lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara44.
4. Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh (dirubah)
Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan mengenai
ta’widh atau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut :
43 Bank Indonesia (BI), PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,( Jakarta:BI, 2005),bab.3,pasal 19,h.22
44 Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,h. 826
34
a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan
pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya harus
dihindarkan; ia menyatakan:45
“Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan,
atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur
(melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut.
Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari
perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur
masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan
Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya
melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita
kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada
saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin
atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar
utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan
tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat
dihindarkan.”
b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili :
45 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al Mughni Libni
Qudamah, (Riyadh:Maktabah Riyadh al Haditsah), h. 503
35
““Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan” 46. Ketentuan umum yang berlaku pada
ganti rugi dapat berupa:
(a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti
memperbaiki dinding
(b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti
semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang
dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan,
maka wajib menggantinya denganbenda yang sama (sejenis) atau
dengan uang”47.
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang
belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka
menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti
(dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta
yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk
memanfaat-kannya” 48.
c. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li :
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu
didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan
46 Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, (Damsyiq:Daar al fikr, 1998),h. 87 47 Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h.93 48 Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h.96
36
pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan
pembayaran tersebut.49”
d. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham
Anas al-Zaftawi :
“ Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu
tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas
debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan
manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama
dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu
bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-
ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun
harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”
5. Perbedaan antara ta’widh, dan ta’zir
Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang
terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan50 dengan ketentuan kerugian riil
yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh
pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial
49 `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah,( al
Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996), h. 115. 50 Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h. 87
37
loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-fursah al-
dha’iah)51.
Ganti rugi dalam pandangan hukum perdata yakni menutup kerugian
atas segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak
dan terjadi kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur begitu pula dengan kerugian berupa
kehilangan keuntungan (bunga) yang sudah dibanyangkan atau dihitung oleh
kreditur.52
Sedangkan ta’zir adalah sanksi terhadap nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau tidak ada kemauan dan
itikad yang baik untuk membayar hutangnya. Denda dapat berupa uang yang
ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akan ditandatangani,
sedangkan hasil dari denda tersebut digunakan untuk dana sosial.53
51 Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h.
831 52 Subekti., Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001),cet.18,h.47 53 Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,h.65
38
BAB III
Tinjauan Umum Tentang PT. Bank Syariah Bukopin
A. Sejarah Singkat Bank Syariah Bukopin
Perjalanan PT Bank Syariah Bukopin dimulai dari sebuah bank umum, PT
Bank Persyarikatan Indonesia (BPI), didirikan berdasarkan Akta No. 102
tertanggal 29 Juli 1990 dengan nama PT. Swansarindo Internasional yang dibuat
dihadapan Dr. Wijdojo Wilami, SH., Notaris di Samarinda. Dalam
perkembangannya diakuisisi oleh PT Bank Bukopin Tbk untuk dikembangkan
menjadi sebuah Bank Syariah yang kini menjadi PT. Bank Syariah Bukopin.
Dalam praktiknya, Bank Syariah Bukopin mulai beroperasi dengan
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah setelah memperoleh izin
operasi Syariah dari Bank Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2008 dan pada
tanggal 11 Desember 2008 telah diresmikan oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia. Komitmen penuh dari PT Bank Bukopin Tbk sebagai pemegang saham
mayoritas diwujudkan dengan menambah setoran modal dalam rangka untuk
menjadikan PT Bank Syariah Bukopin sebagai bank syariah dengan pelayanan
terbaik.
Pada semester kedua 2009, tepatnya, tanggal 10 Juli 2009 melalui Surat
Persetujuan Bank Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk telah mengalihkan Hak dan
Kewajiban Usaha Syariah-nya kedalam PT Bank Syariah Bukopin. Dalam
bisnisnya, PT. Bank Syariah Bukopin memposisikan sebagai bank yang fokus
39
pada pembiayaan, mikro, kecil, dan menegangah (UMKM) dengan segmentasi
usaha pendidikan, kesehatan, konstruksi, dan perdagangan. Selain hal tersebut, PT.
Bank Syariah Bukopin juga melakukan penghimpunan dana dari masyarakat
(Individu-individu) dan perusahaan- perusahaan yang ada di Tanah Air.
PT. Bank Syariah Bukopin telah memiliki Kantor Pusat, 7 Kantor Cabang
(KC), 4 Kantor Cabang Pembantu (KCP), dan 29 kantor Layanan Syariah (KLS)
yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Dengan dukungan infrastruktur dan
sumber daya insani (SDI) yang professional dan dapat diandalkan, PT Bank
Syariah Bukopin selalu siap melayani kebutuhan nasabah di mana pun berada.
B. Visi, Misi dan Nilai-Nilai Perusahaan
1. Visi
“Menjadi Bank Syariah Pilihan dengan Pelayanan Terbaik”
2. Misi
• Memberikan pelayanan terbaik pada nasabah
• Membentuk sumber daya insani yang profesional dan amanah
• Memfokuskan pengembangan usaha pada sektor UMKM (Usaha Mikro
Kecil & Menengah)
• Meningkatkan nilai tambah kepada stakeholder
3. Nilai – Nilai Perusahaan
• Amanah
• Integritas
40
• Peduli
• Kerjasama
• Kualitas
C. Struktur Organisasi
• Komisaris Utama : Ir. Harry Harmono Busiri
• Komisaris Independen : Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA
• Komisaris Independen : Prof. DR Bambang Setiaji, M.Sc
41
• Direktur Utama : Riyanto
• Direktur Pelayanan & Consumer : Tantri Indrawati
• Direktur Bisinis : Eriandi
• Direktur Manajemen Resiko & Kepatuhan : Djoni Edward
• Ketua : Prof. DR HM Din Syamsudin, MA
• Anggota : DR H. Anwar Abbas, MA., M.Ag.
• Anggota : H. Ikhwan Abidin, MA
D. Produk- Produk Bank Syariah Bukopin
1. Pendanaan
a. Tabungan iB SiAga : Simpanan dalam mata uang rupiah yang penyetoran
dan penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu.
b. Tabungan iB Rencana : Jenis tabungan berjangka dengan potensi bagi hasil
yang kompetitif guna memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang,
sekaligus memberikan manfaat proteksi asuransi jiwa gratis.
c. Tabungan iB SiAga Bisnis : menggunakan prinsip mudharabah mutlaqah,
sehingga nasabah memperoleh kepastian Bagi Hasil.
d. Tabungan iB Haji : Simpanan untuk perorangan dalam bentuk mata uang
rupiah yang mempunyai rencana menunaikan ibadah Haji atau Umroh.
e. Giro iB : Simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan
penarikannyadapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan Cek atau
sarana perintah pembayaran lainnya atau melalui pemindahbukuan lainnya.
42
f. Deposito iB : Jenis simpanan dalam mata uang rupiah yang penarikannya
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara
deposan dengan pihak bank.
g. TabunganKu iB : tabungan untuk perorangan dengan persyaratan mudah
dan ringan yang diterbitkan secara bersama oleh bank-bank di Indonesia
guna menumbuhkan budaya menabung serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
2. Pembiayaan
a. Pembiayaan iB Jual-beli (Murabahah) : Jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati
b. Pembiayaan iB Pemilikan Mobil : Fasilitas pembiayaan yang digunakan
untuk pembelian Kendaraan roda empat sebagai kendaraan pribadi
c. Pembiayaan iB Pemilikan Rumah : Pembiayaan untuk pemilikan rumah
tinggal, ruko, rukan, apartemen atau rumah peristirahatan (vila) baik
kondisi baru maupun lama dan prioritas pembiayaan untuk kepemilikan
pertama dan ditempati sendiri
d. Pembiayaan iB Bagi hasil (Musyarakah) : Kerjasama 2 pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dan atau karya/keahlian dengan kesepakatan keuntungan dan resiko
menjadi tanggungan bersama sesuai kesepakatan
e. Pembiayaan iB Bagi hasil (Mudharabah) : Kerjasama antara pemilik modal
dan pengelola untuk suatu usaha tertentu dengan kesepakatan bagi hasil
43
f. Mudharabah iB Investasi Terikat (Mudharabah Muqoyyadah) :
Pembiayaan yang diinvestasikan nasabah/pemilik dana khusus untuk bisnis
tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh nasabah
g. Pembiayaan iB Kepada Koperasi Karyawan/Pegawai untuk Anggota (K3A
Pola Syariah) : Pembiayaan yang diberikan oleh Bank Bukopin Syariah
(Bank) kepada Koperasi Karyawan (kopkar), Koperasi Pegawai, Koperasi
Pegawai Negeri (KPN) atau koperasi sejenis lainnya yang diteruskan
kepada anggotanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan
h. Pembiayaan iB Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA-
Relending Syariah) : Pembiayaan dengan prinsip syariah dalam bentuk
investasi dan modal kerja kepada koperasi primer untuk diteruskan kepada
anggotanya dengan sumber dana berasal dari Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) yang dikelola oleh PT. Permodalan Nasional Madani
(PNM)
i. Pembiayaan iB Pinjaman (Qordh) : Fasilitas pinjam meminjam dana tanpa
imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok
pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu
j. Pembiayaan iB Perjalanan Haji (Talangan haji) : Fasilitas pinjaman yang
diberikan kepada penabung SiAga Haji yang sudah mencapai nilai
tabungan dalam jumlah tertentu dan memenuhi persyaratan lainnya untuk
mendapatkan kepastian pemberangkatan ibadah haji
44
k. Pembiayaan iB Jaminan Tunai : Pemberian pembiayaan dengan jaminan
cash collateral yang ada di Bank Syariah Bukopin dan diblokir sampai
dengan pembiayaan lunas
l. Pembiayaan iB Istishna Pararel : Pembiayaan yang digunakan untuk jual
beli dimana bank (penjual) memesan barang kepada pihak lain (Produsen)
untuk menyediakan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang telah disepakati nasabah (pembeli) dengan pembayaran sesuai dengan
kesepakatan
3. Jasa
a. Kartu ATM SiAga Syariah : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk
melakukan transaksi perbankan dengan perangkat mesin ATM (Automated
Teller Machine) yang dimiliki atau ditunjuk oleh Bank Bukopin
b. Kartu SiAga Visa Electron Syariah : Jasa yang diberikan kepada nasabah
untuk dapat melakukan transaksi belanja dan transaksi lainnya di merchant
atau ATM yang berlogo VISA atau VISA Electron
c. SMS Banking Syariah Bukopin : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk
melakukan transaksi perbankan dengan berbasis teknologi seluler
d. Internet Banking Syariah Bukopin : Fasilitas layanan kepada nasabah
untuk melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan Internet
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Proses terbentuk fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang
hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Namun, adakalanya dalam
menjalankan trasaksi di lembaga keuangan syariah para pihak dihadapkan pada
sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian. Risiko tersebut di
antaranya bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan
menunda-nunda pembayaran.
Hal ini tentunya sangat kotradiktif dengan syariah Islam yang sangat
melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik Lembaga Keungan
Syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan
hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam syariah Islam adalah
mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar.
Sedangkan dimaksud dengan ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan.
DSN-MUI memperbolehkan ta’widh berdasarkan beberapa ketentuan, salah
satunya karena bank dalam melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan apabila
terjadi permasalahan dalam pembiayaan atau penundaan pembiayaan, maka
dikeluarkan biaya riil untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pengenaan
46
ta’widh. Karena denda (ta’zir) yang selama ini diterapkan kepada nasabah yang
menunda – nunda pembayarannya tidak masuk ke dalam pendapatan bank melainkan
masuk ke dalam dana kebajikan.
Dalam hukum Islam, Alquran surat al Maidah ayat 1, “Hai orang yang
beriman! Penuhilah akad-akad itu….” dan dalam hadis ال ضرار وال ضرار “Tidak
boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”
kaidah fiqh ا لضرار يزال “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”, dengan
demikian ini dapat meyakinkan kepada kita agar selalu bisa menjaga suatu perjanjian
yang telah kita buat agar tidak saling membahayakan diri sendiri atau pun orang lain
dan bahaya atau beban yang ditanggung harus dihilangkan.
Dalam prosesnya ta’widh beda dengan riba karena bukan sebagai tambahan
pinjaman. Oleh karena itu, fatwa Ini dikeluarkan untuk kemaslahatan atas biaya-biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak bank dalam rangka melindungi haknya. Misalnya
untuk kebutuhan biaya transport, biaya telepon, makan, minum, dan lain-lainya yang
dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan, sedangkan pihak peminjam atau debitur
haruslah mengganti itu semuanya sesuai yang dikeluarkan berdasarkan laporan atau
bukti-bukti yang ada54.
Ketentuan khusus fatwa ini dikeluarkan bahwa ganti rugi yang diterima dalam
transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang
menerimanya, jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan
54 Wawancara pribadi dengan bapak Kanny Hidayat, di kantor MUI, tanggal 4 Februari 2010
47
tata cara pembayarannya tergantung kesepakatann para pihak, bisarnya ganti rugi
tidak boleh dicantumkan dalam akad, dan pihak yang cedera janji bertanggung jawab
atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/IX/2004 tentang ta’widh yang telah
dikeluarkan oleh DSN-MUI juga didasari diantaranya oleh :
- Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu
yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menyebutkan bahwa sanksi yang
diterima berupa ta’zir (denda) dengan tujuan untuk mendisiplinkan nasabah
dalam menyelesaikan kewajibannya, tetapi dana yang diterima berupa denda
dimasukkan ke dalam dana kebajikan (non halal) pada laporan keuangan bank
syariah.
- Fatwa DSN No. 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan
Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah. Ini merupakan
pencadangan sejumlah dana oleh bank syariah berdasarkan kualitas dari
pembiayaan yang telah diberikan dengan tujuan menciptakan stabilitas bisnis
perbankan melalui pengelolaan aktiva produktif bank secara hati-hati (prudent).
48
B. Penerapan ta’widh pada Proses Pembiayaan Murabahah
1. Proses ta’widh yang berjalan di PT. Bank Syariah Bukopin
☺
☺
☺
☺
Artinya :
“ ... maka,barangsiapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia,
seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al
Baqarah : 194)
Dari penggalan ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang harus mengganti
atas kerugian yang telah dialami oleh orang lain atas dirinya dan besaran kerugian itu
pun sesuai dengan kerugian yang riil. Dalam dunia perbankan proses ini dikenal
dengan ta’widh yakni menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau
kerugian. Hal ini pula Bank Syariah Bukopin (BSB) menerapkan prinsip – prinsip
syariah di atas.
Dalam praktiknya BSB selain memberikan sanksi atau denda kepada nasabah
yang melakukan penundaan, padahal debitur mampu membayarnya. Hal ini dilakukan
49
sebagai bentuk pendisiplinan nasabah agar mendapatkan efek jera. Selain itu BSB
juga memberikan ta’widh atas penundaan dan perpanjangan masa pembayaran
apabila belum dilunasi ketika jatuh tempo, hal ini sebagai bentuk mekanisme
perbankan untuk mewaspadai kerugian pada pihak bank.
Apabila perpanjangan pembayaran atas jatuh tempo terjadi, hal ini akan
berdampak kepada penurunan kolektibilitas, sehingga pencadangan penghapusan
aktiva produktif akan meningkat. Ini dapat mengurangi perhitungan keuntungan bagi
lembaga keuangan syariah. Oleh karena itu bank syariah selain mengenakan sanksi
atau ta’zir kepada nasabah, memberlakukan pula ta’widh atau ganti rugi atas kerugian
secara riil yang dialami oleh bank syariah selama masa perpanjangan itu. Jika tidak,
akan terjadi kezaliman terhadap salah satu pihak.
Dalam proses pengenaan ta’zir atau denda dana yang diterima masuk ke
dalam dana kebajikan bukan pendapatan bank syariah, adapun dengan ta’widh masuk
ke dalam dana pendapatan bank syariah sesuai dengan kerugian yang telah
dikeluarkan. Hal inilah yang membedakan antara ta’zir dengan ta’widh, ta’zir telah
ditentukan besaran presentasenya sejak awal akad dibuat sedangkan ta’widh tidak
ditentukan di awal karena disesuaikan dengan besaran nominal yang telah dikeluakan
oleh pihak bank syariah.
50
Ketentuan ta’widh yang harus diperhatikan adalah ;
a. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja
atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan
akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss)
yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian
yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang
hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
c. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah
sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank
untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potensial loss).
d. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
e. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah
dan ijarah.
Dalam proses ta’widh ini sudah dijelaskan pada fatwa DSN No.43/DSN-
MUI/VII/2004 tentang ta’widh dan menjadi sumber kekuatan hukum tertentu yang
ditegaskan atau dikuatkan lagi pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005
51
tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dengan peraturan dan fatwa di atas menunjukkan bahwa bank khususnya
Bank Syariah Bukopin diperbolehkan untuk menerapkan ta’widh terhadap nasabah
yang lalai sehingga terjadi kerugian. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian secara
real akibat logis dari perpanjangan pembayaran yang telah jatuh tempo, seperti biaya
administrasi, biaya perpanjangan, overhead, dan biaya monitoring (penagihan,
survey, pengawasan). Adapun besaranya tidak bisa ditetapkan oleh nominal tertentu,
karena berdasarkan kepada besaran dana yang dikeluarkan dalam proses ini. Dana
ta’widh ini diberikan diakhir masa perpanjangan ditambah dengan sisa pembayaran
yang belum dilunasi.
2. Proses Perhitungan ta’widh pada Bank Syariah Bukopin
Besaran nominal dalam ta’widh tidak bisa ditentukan sejak awal akad
perjanjian dilakukan, perhitungan berdasarkan nominal real yang telah dikeluarkan
oleh bank syariah selama proses perpanjangan ini. Berbeda dengan denda yang
dikeluarkan, sudah didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh setiap bank.
Dalam murabahah ketentuannya ada harga beli, margin, harga jual, jangka
waktu. Bank Syariah Bukopin (BSB) memberikan pembiayaan murabahah berupa
modal investasi sebesar 100 juta kepada nasabah dengan marginnya 10 juta sehingga
yang harus dibayar oleh nasabah sebesar 110 juta dengan masa angsurannya 2 tahun.
Dalam perjalanan masa pelunasan hingga tahun ke dua ternyata tidak mencapai target
sesuai kesepakatan, dengan selisih kekurangan sebesar 30 juta. Setelah diproses oleh
52
pihak bank syariah ternyata debitur memiliki prospek atau ada upaya bisa
melunasinya dan terjadi kesepakatan antara pihak BSB dengan nasabah debitur agar
dapat rekstrukturisasi pembiayaan, lalu diperpanjang 6 bulan dengan sisa
pembiayaan 30 juta dari total pembiayaan 110 juta. BSB menentukan perpanjangan 6
bulan ini tidak ditambah margin. Oleh karena itu dikenakanlah ta’widh atas biaya riil
yang dikeluarkan oleh pihak bank syariah selama proses perpanjangan 6 bulan yang
telah jatuh tempo dan bank syariah tidak boleh mengambil keuntungan atau
menambahkan dari biaya riil yang telah dikeluarkan. Di dalam memperpanjang masa
angsurannya ternyata BSB mengeluarkan dana berupa biaya over head, khususnya
biaya perpanjangan , biaya monitoring, biaya penagihan, seluruh biaya ini dibebankan
kepada nasabah.
Dengan perincian:
- Biaya administrasi (Atk, listrik, pulsa, dll) : Rp. 1.000.000, -
- Biaya Monitoring (pengawasan, survey,Penagihan) : Rp. 3.000.000, -
- Biaya perpanjangan (administrasi) : Rp. 500.000, -
TOTAL : Rp. 4.500.000,-
Jadi debitur mengembalikan sisa masa pembayaran ditambah dengan biaya-
biaya diatas sebesar Rp. 34.500.000, - dimasa akhir perpanjangan. Dalam proses
pengembalian ini, perhitungan ta’widh atau ganti rugi yang diterapkan BSB sudah
sesuai dengan prosedur peraturan bank yang berlaku, biasanya harus dengan
kesepakatan antara kedua belah pihak agar tidak terjadi manipulasi atau gharar.
Proses ini dilakukan agar pihak bank tidak mengalami kerugian financial atas biaya
53
yang telah dikeluarkan dan dana ini akan masuk sebagai hak pendapatan bank
syariah55.
3. Upaya Penyelesaian Proses Ganti Rugi
Bahwa dalam melaksanakan setiap transaksi dalam lembaga keuangan syariah
terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan
menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian. Dalam
syariah Islam melindungi semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS,
sehingga tidak boleh satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Kewajiban agar
tidak saling merugikan satu sama lain ditekankan dalam Al Quran surat al Baqarah:
279-280 :
...
☺ ☺
⌧
☺
Artinya :
55 Wawancara pribadi dengan Bapak Noor Cholis, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan
Cabang, di kantor PT. Bank Syariah Bukopin, lt. 6, tanggal 20 April 2010
54
“ … Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Berdasarkan ayat di atas, bahwa salah satu pihak tidak boleh menganiaya
lainnya dalam bertransaksi, apabila ini terjadi terhadap bank, maka harus mengambil
tindakan-tindakan terntentu dalam menyelesaikan permasalahan dan harus tetap
berpegang kepada prinsip syariah. Dalam proses penyelesaian pembiayaan
bermasalah BSB melakukan berbagai cara :
a. Resktrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka
membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajiban. Proses ini
dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil
langkah-langkah agar kualitas pembiayaan setelah diresktruturisasi dalam
keadaan lancar. Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar
permohonan secara tertulis dari nasabah yang memenuhi criteria : nasabah
mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan/atau memiliki prospek
usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
Proses ini hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang
Lancar, Diragukan dan Macet yang didukung dengan analisis dan bukti-bukti
yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Restrukturisasi pembiayaan
dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu akad
pembiayaan awal dan untuk yang kedua dan ketiga dapat dilakukan paling
55
cepat 6 (enam) bulan setelah restrukturisasi sebelumnya. Restrukturisasi bisa
melalui:
1. Pejadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
2. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal
pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian
potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang
harus dibayarkan kepada bank;
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning,
antara lain meliputi :
a) Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank;
b) Konversi akad pembiayaan;
c) Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah
berjangka waktu menengah;
d) Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal
sementara pada perusahaan nasabah. Ini merupakan
penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa
pembelian saham dan/atau konversi pembiayaan menjadi
saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi
kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam
56
jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku56.
b. Penjualan angunan dilakukan apabila usaha dalam penyehatan pembiayaan
belum juga dapat memenuhi hutang yang harus dibayarkan, antara lain dengan
cara:
o Debitur : debitur menjual angunannya sendiri kepada pihak lain agar
menutupi pembiayaan yang belum dibayar, sesuai jumlah dan jangka
waktu yang disepakati;
o Account Officer : pihak AO (bank) akan menjual barang angunan tersebut
dengan nilai tertentu, apabila terjadi kelebihan dari harga jual tersebut
dengan nilai hutangnya, maka dana tersebut dikembalikan kepada debitur;
o Bank : Pihak bank akan membeli angunan atau mengambil alih angunan
tersebut, prosesnya hampir sama dengan AO, dimana jika terdapat
kelebihan harus dikembalikan kepada debitur.
c. Cara lain dengan proses penagihan pembiayaan melalui pihak ketiga
(collection agent) atau dengan eksekusi pembiayaan melalui perwasitan atau
pengadilan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan
Pengadilan Agama sesuai dengan kesepakatan awal akad perjanjian. Eksekusi
ini merupakan proses pengembalian atau pelunasan atau penjualan jaminan
pembiayaan dengan melalui musyarwarah di depan arbitrase atau pengadilan
56 Peraturan Bank Indonesia, Nomor: 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, bab 1, ketentuan Umum Pasal 1-3
57
untuk mendapatkan keputusan yang akan didaftarkan ke pengadilan negeri
untuk dieksekusi.
4. Pengalokasian Dana Ta’widh
Dalam Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 tentang
Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah bahwa dalam
rangka restrukturisasi yang diberikan kepada debiutr yang tidak bisa melunasi
utangnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati. Penjadwalan kembali
tagihan murabahah dilakukan dengan ketentuan57 :
- tidak menambah jumlah utang yang tersisa;
- pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil; dan
- perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak.
Biaya riil yang terkait dengan proses penjadwalan kembali tagihan
murabahah yang dibebankan kepada debitur diakui sebagai pendapatan58. Biaya riil
dalam proses penjadwalan kembali piutang murabahah adalah biaya langsung
(direct cost) dari aktivitas kreditur dalam melakukan penjadwalan kembali
tersebut59. Jika ada kerugian yang timbul atas restrukuturisasi piutang murabahah
disajikan secara terpisah dalam laporan laba rugi.60
57 Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 : Akuntansi Penyelesaian
Utang Piutang Murabahah Bermasalah, Ikatan Akuntan Indonesia, hal. 108.3-4, paragaf 13 58 Ibid., h. 108.4, paragaf 14 59 Ibid., h. 108.4, paragaf 15 60 Ibid., h. 108.5, paragaf 20
58
Dalam mekanisme pengelolaan pada BSB, dana ta’widh atas proses
perpanjangan masa angsuran atau masa restrukturisasi ini masuk ke dalam salah
satu pendapatan administrasi pada pendapatan operasional lainnya. Hal ini sesuai
dengan aturan akuntansi yang berlaku, penulisannya dalam laporan keuangan PT.
Bank Syariah Bukopin :
59
Gambar 2.
60
Gambar 3
61
Jika kita melihat catatan laporan keuangan BSB (Gambar 2), menurut BSB
pencatatan ta’widh dimasukkan ke salah satu pendapatan administrasi, lalu dalam
laporan laba rugi (Gambar 3) terlihat bahwa pendapatan administrasi (pendapatan
operasional) sebagai salah satu pendapatan (beban) operasonal lainnya. Menurut
BSB, hal ini sesuai dengan perlakuan akuntansi syariah mengenai laporan keuangan
yang didasari oleh prinsip syariah yang berlaku khususnya pada Fatwa DSN-MUI
No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh, Peraturan Bank Indonesia nomor:
7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip Syariah, Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelakasanaan Prisnip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi
Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan ED PSAK 108:
Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah.
62
BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Sungguh penting dalam setiap bertransaksi ekonomi, kita dituntut agar lebih hati-
hati dan haruslah transparan dalam segala kegiatan. Transparan merupakan modal
utama dalam melaksanakan kegiatan ekonomi , karena disitu seseorang dituntut agar
lebih bertanggung jawab dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi syariah juga demikian,
khususnya pada saat akad karena akan menjadi pedoman apabila terjadi kesalahan-
kesalahan dalam kegiatan ekonomi. Islam melarang terdapat tambahan dari pinjaman
dengan bunga, begitu pula dengan halnya seseorang yang telah habis masa
pinjamannya (pembiayaan) tidak boleh dikenakan tambahan karena keterlambatan,
walaupun kena denda, tapi itu pun dananya masuk ke dalam dana kebajikan. Hal ini
akan mempengaruhi kinerja dari bank tersebut. Oleh karena itu terdapat ta’widh atau
ganti rugi atas kerugian yang telah dikeluarkan oleh bank selama proses
perpanjangan.
1. Setiap tambahan dalam pinjaman akan menjadi bunga, tapi beda dengan
ta’widh karena prosesnya bukan sebagai tambahan pinjaman. Ta’widh
merupakan sebagai bentuk proses ganti rugi yang telah dikeluarkan oleh salah
satu pihak yang merasa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan. Hal Ini
didasarkan kemaslahatan, karena dalam Islam dianjurkan bisa saling tolong-
menolong dan tidak menzholimi satu sama lain. Sehingga perlulah dibuat
63
suatu sistem yang mengatur agar proses ini tidak terjadi kesalahan dan
dirugikan satu sama lain, maka dikeluarkanlah fatwa yang mengatur hal ini.
Dalam prosesnya, tawidh haruslah biaya riil yang telah dikeluarkan oleh
pihak bank dan ini haruslah diganti oleh pihak debitur sesuai dengan besaran
yang telah dikeluarkan.
2. Dalam proses pemberian pembiayaan tentulah ada margin yang telah
disepakati dalam perjanjian, akan tetapi apabila proses pengembalian tidak
lancar bahkan macet, hal ini tentu saja dapat mempengaruhi kinerja bank,
khususnya yang menyangkut kolektibilitas. Apalagi dalam proses
perpanjangan masa pinjaman, dimana bank tidak boleh mengambil
keuntungan dari keterlambatan ini. Bank pun mengenakan denda atas
keterlambatan, tetapi dananya tidak masuk sebagai pendapatan bank dan
masuk ke dalam dana kebajikan. Dalam proses perpanjangan terdapat biaya-
biaya yang harus dikeluarkan oleh bank seperti biaya administrasi, overhead,
akomodasi, dll dan ini bersifat riil bukan dari keuntungan yang hilang
(oppurtinity lost), ini bisa diklaim oleh bank sebagai pendapatan bank yang
tentu saja sesuai dengan besaran riil yang telah dikeluarkan.
3. Sesungguhnya proses ta’widh merupakan proses ganti rugi yang terjadi akibat
kesalahan satu pihak yang dapat merugikan pihak lain. Dalam Islam, ganti
rugi dimaksud adalah sesuatu yang riil bukan akibat dari keuntungan yang
hilang seperti halnya bunga. Dalam praktiknya BSB menerapkan prinsip
ta’widh tersebut terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan, khususnya
64
dalam proses perpanjangan yang membutuhkan beberapa dana atau biaya
yang harus dikeluarkan oleh pihak bank dan selanjutnya harus diganti oleh
pihak debitur atau nasabah peminjam pembiayaan. Semua ini sesuai dengan
proses dan kaidah ketentuan yang berlaku baik dari fatwa DSN atau pun
Peraturan Bank Indonesia. Sehingga sesuai dengan kaidah atau prinsip
syariah.
B. Saran
Bank syariah haruslah berhati-hati dalam memberikan pembiayaan
terhadap nasabah, karena apabila terjadi kesalahan yang rugi juga pihak bank.
Setelah proses ini telah sesuai dengan prosedur barulah membuat akad yang lebih
jelas dan transparan agar masing – masing pihak tidak saling dirugikan atau
terzholimi.
Dalam proses ta’widh, bank harus mengedepankan prinsip kejujuran dan
transparan agar tidak terjerumus ke dalam riba, karena sedikit saja dalam
penambahan terhadap pinjaman yang tidak jelas dari mana asalnya dan bukan riil
sudah termasuk ke dalam katagori riba.
65
DAFTAR PUSTAKA Abdul , Hakim, Mabaadiy Awwaliyah, Jakarta: Saadiyah Putra, 1927 Abdul , Mujies, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al Mughni
Libni Qudamah, (Riyadh:Maktabah Riyadh al Haditsah), Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah,( al
Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996), Al-’Imraani, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah, DR, al-’Uqud al-Maaliyah al-
Murakkabah, (Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah, 1427H),h. 257 Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
Jakarta;Pusataka Asatruss Anshori, Abdul Ghofur, Tanya Jawab Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press,
2008 Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Suatu Pengalaman Umum, Jakarta:
Tazkia, 2000, cet. 1 Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih
Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia,(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, cet. I, h. 954
Daryanto, Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya: APOLLO, 1997 Jadurrabb, al-Ta’wis al-Ittifaqi ‘an ‘Adam Tanfidz al-Iltizam au at-Ta’akhkhur fih:
Dirasah Muqaranah Baina al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadhi’I, (Iskandariah : Dar al-Fikr al-Jamai’I, 2006),
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan
Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2007, cet.1 Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP,
2001, cet.1
66
--------------------------, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:Rajawali
press, cet.3 Muhammad, Bank Syariah Analisis kekuatan, Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman, Yogyakarta: Ekononisia, cet. 1 ---------------, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002 Nasrun, H. Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet. 1 Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia,UIn Press, UIN Syarif
Hidaytullah Jakarta,2001 cet. 1 Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Beirut:Daar Al fikri) Siamat, Dahlan, Manajemen lembaga Keuangan, Jakarta: LPFEUI, 1999, edisi. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2001, cet. 18 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 2003 Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005 Zuhaily, Wahbah, al – Islamy Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 2002 , Vol. 2 http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/174/kat/17 , BI Rate Pacu Kinerja Bank Syariah wawancara pribadi dengan Kanny Hidayat, DSN-MUI, 4 Februari 2010 wawancara pribadi dengan Noor Cholis, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan
Cabang PT. Bank Syariah Bukopin, 20 April 2010 Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 : Akuntansi
Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah, Ikatan Akuntan Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
67
Peraturan Bank Indonesia nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Peraturan Bank Indonesia nomor: 10/18/2008 tentang Rektrukturisasi Pembiayaan
Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 04/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
MURABAHAH
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli;
b. bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melang-sungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba;
c. bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يآ أيها الذين آمنوا التأكلوا أموالكم بينكم بالباطـل إال أن تكـون كماض منرت نة عارتج...
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
…وأحل اهللا البيع وحرم الربا… "…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…."
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
…ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
4. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
...وإن كان ذوعسرة فنظرة إلى ميسرة
04 Murabahah
Dewan Syariah Nasional MUI
2
“D an jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”
5. Hadis Nabi SAW.:
عن أبي سعيد الخدري رضي اهللا عنه أن رسول اهللا صلى اهللا عليـه ـ (إنما البيع عن تراض، : وآله وسلم قال ن ماجـه رواه البيهقي واب
)وصححه ابن حبان Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
البيع إلى : ثالث فيهن البركة: لنبي صلى اهللا عليه وآله وسلم قال أن ا رواه ابن ماجه (أجل، والمقارضة، وخلط البر بالشعير للبيت ال للبيع
)عن صهيب “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual
beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
لمنيسالم نيب ائزج لحا الصامرل حأح الال أوح مرا حلحإال ص والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل حراما
.)رواه الترمذي عن عمرو بن عوف( “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
طل الغمظلم ني… “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang
mampu adalah suatu kezaliman…”
9. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
هتبقوعو هضحل عراجد يالو لي.
04 Murabahah
Dewan Syariah Nasional MUI
3
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
10. Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
لهع فأحيان فى الببرن العع لمسه وليلى اهللا عل اهللا صوسئل رس هأن “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam
jual beli, maka beliau menghalalkannya.”
11. Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal. 220-222).
12. Kaidah fiqh:
.األصل فى المعامالت اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمها
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG MURABAHAH
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
04 Murabahah
Dewan Syariah Nasional MUI
4
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang dalam Murabahah:
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
04 Murabahah
Dewan Syariah Nasional MUI
5
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H. 1 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs. H.A. Nazri Adlani
No. 10/ 34 / DPbS Jakarta, 22 Oktober 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/18/PBI/2008 tanggal 25 September 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan
bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4898), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat
Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagai berikut:
I. UMUM
1. Sejalan dengan meningkatnya kompleksitas usaha, Bank Umum Syariah
yang selanjutnya disebut BUS dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya
disebut UUS perlu menjaga kelangsungan usahanya, antara lain dengan
meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola risiko kredit
dari aktivitas Pembiayaan (credit risk) serta meminimalkan potensi
kerugian.
2. Sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian yang
disebabkan oleh Pembiayaan bermasalah, BUS dan UUS dapat
melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang
mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan masih memiliki
prospek …
2
prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah
restrukturisasi.
3. Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal
pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian
potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang
harus dibayarkan kepada BUS atau UUS; dan/atau
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan yang tidak terbatas pada rescheduling atau
reconditioning, antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan BUS atau UUS;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka
Waktu Menengah;
4) konversi Pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada
perusahaan nasabah.
4. Dalam melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan, BUS dan UUS harus
menerapkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah serta prinsip
akuntansi yang berlaku.
II. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Kebijakan dan prosedur Restrukturisasi Pembiayaan mencakup paling
kurang hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan satuan kerja khusus untuk menangani Restrukturisasi
Pembiayaan.
2. Penetapan …
3
2. Penetapan limit wewenang memutus Pembiayaan yang direstrukturisasi.
3. Kriteria Pembiayaan yang dapat direstrukturisasi.
4. Sistem dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan,
termasuk penetapan penyerahan Pembiayaan yang akan direstrukturisasi
kepada satuan kerja khusus dan penyerahan kembali Pembiayaan yang
telah berhasil direstrukturisasi kepada satuan kerja pengelola
Pembiayaan.
5. Sistem informasi manajemen Pembiayaan yang direstrukturisasi.
III. SATUAN KERJA KHUSUS
1. Pembentukan satuan kerja khusus Restrukturisasi Pembiayaan
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing BUS dan
UUS.
2. Pejabat atau pegawai yang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan harus
berbeda dengan pejabat atau pegawai yang terlibat dalam pemberian
Pembiayaan.
3. Keputusan Restrukturisasi Pembiayaan harus dilakukan oleh pejabat
yang kedudukannya lebih tinggi dari pejabat yang memutuskan
pemberian Pembiayaan.
4. Dalam hal keputusan pemberian Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang
memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar perusahaan, maka
keputusan Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang
kedudukannya setingkat dengan pejabat yang memutuskan pemberian
Pembiayaan.
IV. PELAKSANAAN
1. Pembiayaan yang akan direstrukturisasi dianalisis berdasarkan:
a. prospek usaha nasabah dan/atau kemampuan membayar sesuai
proyeksi arus kas untuk nasabah Pembiayaan usaha produktif; atau
b. kemampuan …
4
b. kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah
Pembiayaan non produktif.
2. Pembiayaan kepada pihak terkait yang akan direstrukturisasi dianalisis
oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan
reputasi yang baik.
3. Analisis yang dilakukan BUS atau UUS dan konsultan keuangan
independen terhadap Pembiayaan yang direstrukturisasi dan setiap
tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan
didokumentasikan secara lengkap dan jelas.
4. Restrukturisasi Pembiayaan dituangkan dalam addendum akad
Pembiayaan dan/atau melakukan akad Pembiayaan yang baru mengikuti
karakteristik masing-masing bentuk Pembiayaan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3 dan
angka 4 juga diterapkan dalam hal dilakukan Restrukturisasi
Pembiayaan yang kedua dan ketiga.
V. PENERAPAN PRINSIP SYARIAH
1. BUS dan UUS dapat mengenakan ganti rugi (ta’widh) kepada nasabah
dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan.
2. Ganti rugi ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka
penagihan hak yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah dan bukan
potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena
adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah).
3. Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS atau UUS dengan
nasabah dalam Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk penetapan ganti
rugi harus dituangkan dalam addendum akad Pembiayaan.
4. Dalam hal Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan melalui konversi akad
maka harus dibuat akad Pembiayaan baru.
VI. TATACARA …
5
VI. TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Semua jenis Pembiayaan dapat dilakukan restrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada butir I angka 3 dengan memperhatikan karakteristik masing-
masing bentuk Pembiayaan, sebagai berikut:
1. Piutang Murabahah dan Piutang Istishna’
Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah dan piutang istishna’
dapat dilakukan restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah
yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat
Pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah
angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang
tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan
kepada BUS atau UUS.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
piutang murabahah atau piutang istishna’ sebesar sisa kewajiban
nasabah menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau
musyarakah.
Konversi piutang dimaksud dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
piutang murabahah atau piutang istishna’ dengan
memperhitungkan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’.
Dalam hal terdapat perbedaan antara jumlah kewajiban nasabah
dengan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’, maka diakui
sebagai berikut:
a) apabila …
6
a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban
nasabah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar
selisih tersebut;
b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban
nasabah, maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka
ijarah muntahiyyah bittamlik atau menambah porsi modal
nasabah untuk musyarakah atau mengurangi modal
mudharabah dari BUS atau UUS.
2) Obyek murabahah atau istishna’ sebelumnya menjadi dasar
untuk pembuatan akad Pembiayaan baru.
3) BUS atau UUS melakukan akad Pembiayaan baru dengan
mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan
nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah.
Pembuatan akad Pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi
mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan prinsip syariah.
4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad Pembiayaan
sebelumnya dalam akad Pembiayaan baru.
d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah.
Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
piutang murabahah atau piutang istishna’.
2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah
dengan nasabah atas Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang
dibiayai.
3) BUS …
7
3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka
Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
e. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan
sebagai berikut:
1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada
nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum
Perseroan Terbatas.
2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
piutang murabahah atau piutang istishna’.
3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah
untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan
nasabah atas usaha yang dilakukan.
4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara paling
tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi piutang murabahah atau
piutang istishna’ sebagaimana dimaksud pada butir VI.1 huruf a sampai
dengan huruf e merupakan jumlah pokok dan margin yang belum
dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi.
2. Piutang Salam
Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat dilakukan proses
restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
jatuh tempo penyerahan barang salam tanpa mengubah spesifikasi
dan kekurangan jumlah barang yang harus diserahkan nasabah
kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan …
8
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat–
syarat Pembiayaan antara lain spesifikasi barang, jumlah, jangka
waktu, jadwal penyerahan, pemberian potongan piutang dan/atau
lainnya tanpa menambah nilai barang yang harus diserahkan nasabah
kepada BUS atau UUS.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana.
Restrukturisasi yang dilakukan dengan penambahan dana oleh BUS
atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat
kembali berjalan dengan baik.
3. Piutang Qardh
Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat dilakukan proses
restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah
yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat–
syarat pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah
angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang
tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan
kepada BUS atau UUS.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan qardh
sebagaimana dalam butir VI.3 huruf a dan huruf b merupakan jumlah
pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan
restrukturisasi.
4. Mudharabah …
9
4. Mudharabah dan Musyarakah
Pembiayaan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah dapat
dilakukan proses restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah
yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat–
syarat pembiayaan antara lain nisbah bagi hasil, jumlah angsuran,
jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan pokok
dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban nasabah yang harus
dibayarkan kepada BUS atau UUS.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana.
Restrukturisasi yang dilakukan dengan penambahan dana oleh BUS
atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat
kembali berjalan dengan baik.
d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah.
Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
mudharabah atau musyarakah.
2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah
dengan nasabah untuk Surat Berharga Berjangka Waktu
Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang
dibiayai.
3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka
Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
e. Penataan …
10
e. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan
sebagai berikut:
1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada
nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum
Perseroan Terbatas.
2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
mudharabah atau musyarakah.
3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah
untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan
nasabah atas usaha yang dilakukan.
4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar
sisa kewajiban nasabah.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi akad Pembiayaan dalam
bentuk mudharabah atau musyarakah sebagaimana dimaksud dalam
butir VI.4 huruf a, huruf b, huruf d dan huruf e merupakan jumlah pokok
yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi.
5. Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Pembiayaan dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik
dapat dilakukan restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
jatuh tempo Pembiayaan, dan BUS atau UUS dapat menetapkan
kembali besarnya ujrah yang harus dibayar nasabah dengan kondisi
sebagai berikut:
1) Aktiva ijarah dimiliki oleh BUS atau UUS
Jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan umur
ekonomis aktiva ijarah.
2) Aktiva …
11
2) Aktiva ijarah bukan milik BUS atau UUS
Jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan
berakhirnya hak penggunaan aktiva ijarah.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat
Pembiayaan antara lain jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal
pembayaran, pemberian potongan ujrah dan/atau lainnya, dan BUS
atau UUS dapat menetapkan kembali ujrah yang harus dibayar
nasabah, dengan kondisi sebagai berikut:
1) Aktiva ijarah dimiliki oleh BUS atau UUS
Dalam hal BUS atau UUS memberikan perpanjangan jangka
waktu, maka jangka waktu perpanjangan paling lama sampai
dengan umur ekonomis aktiva ijarah.
2) Aktiva ijarah bukan milik BUS atau UUS
Dalam hal BUS atau UUS memberikan perpanjangan jangka
waktu, maka jangka waktu perpanjangan paling lama sampai
dengan berakhirnya hak penggunaan aktiva ijarah.
c. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi akad
ijarah atau akad ijarah muntahiyyah bittamlik menjadi mudharabah
atau musyarakah.
Konversi pembiayaan terhadap aktiva ijarah yang dimiliki oleh BUS
atau UUS dilakukan sebagai berikut:
1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik dengan
memperhitungkan nilai wajar aktiva ijarah.
Dalam hal terdapat perbedaan antara nilai wajar aktiva ijarah
dengan nilai buku aktiva ijarah ditambah tunggakan angsuran
ijarah, maka diakui sebagai berikut:
a) apabila …
12
a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku ditambah
tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui
kerugian sebesar selisih tersebut;
b) apabila nilai wajar lebih besar daripada nilai buku ditambah
tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui
keuntungan yang ditangguhkan sebesar selisih tersebut dan
diamortisasi selama masa akad mudharabah atau musyarakah.
2) BUS atau UUS membuat akad Pembiayaan baru dengan
mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan
nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah.
Pembuatan akad Pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi
wajib mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan prinsip
syariah.
3) BUS atau UUS mencatat pembiayaan dalam bentuk mudharabah
atau musyarakah sebesar nilai wajar aktiva ijarah.
4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad Pembiayaan
sebelumnya dalam akad Pembiayaan baru.
d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi
menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan
sebagai berikut:
1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada
nasabah yang merupakan badan usaha yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas.
2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk
ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik dengan
memperhitungkan nilai wajar aktiva ijarah.
Dalam …
13
Dalam hal terdapat perbedaan antara nilai wajar aktiva ijarah
dengan nilai buku aktiva ijarah ditambah tunggakan angsuran
ijarah, maka diakui sebagai berikut:
a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku ditambah
tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui
kerugian sebesar selisih tersebut;
b) apabila nilai wajar lebih besar daripada nilai buku ditambah
tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui
keuntungan yang ditangguhkan sebesar selisih tersebut dan
diamortisasi selama masa Penyertaan Modal Sementara.
3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah
untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan
nasabah atas usaha yang dilakukan.
4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar
nilai wajar aktiva ijarah.
6. Ijarah Multijasa
Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat dilakukan proses
restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling).
Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu
jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah
yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan kembali (reconditioning).
Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat
Pembiayaan antara lain jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal
pembayaran, pemberian potongan piutang dan/atau lainnya tanpa
menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada
BUS atau UUS.
VII. PENUTUP …
14
VII. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 22 Oktober 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SITI CH. FADJRIJAH DEPUTI GUBERNUR
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004
Tentang
GANTI RUGI (TA’WIDH)
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Dewan Syari’ah Nasional setelah,
Menimbang : a. bahwa lembaga keuangan syari’ah (LKS) beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah untuk menghindarkan praktik riba atau praktik yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda finansial yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional;
b. bahwa para pihak yang melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian;
c. bahwa syari’ah Islam melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya;
d. bahwa kerugian yang benar-benar dialami secara riil oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian tersebut;
e. bahwa masyarakat, dalam hal ini para pihak yang bertransaksi dalam LKS meminta fatwa kepada DSN tentang ganti rugi akibat penunda-nundaan pembayaran dalam kondisi mampu;
f. bahwa dalam upaya melindungi para pihak yang bertransaksi, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang ganti rugi (ta’widh) untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT.; antara lain: a. QS. al-Ma’idah [5]:1:
…ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود “Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…”.
b. QS. al-Isra’ [17]: 34:
.وأوفوا بالعهد، إن العهد كان مسئوال…“…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya.”
c. QS. al-Baqarah [2]: 194:
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 2
Dewan Syariah Nasional MUI
… ،كمليى عدتا اعه بمثل مليا عودتفاع كمليى عدتن اعفمنقيتالم عم ا أن اللهولماعو ،قوا اللهاتو.
“…maka, barang siapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
d. QS. al-Baqarah [2]: 279-280:
تظلمون وال تظلمون؛ وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ال… .ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن كنتم تعلمون
”... Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
a. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
الم نيب ائزج لحا الصامرل حأح الال أوح مرا حلحإال ص لمنيس .والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل حراما
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
b. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Nasa’i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):
ظلم نيطل الغم… “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
c. Hadis Nabi riwayat Nasa’i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid:
هتبقوعو هضحل عراجد يالو لي.
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 3
Dewan Syariah Nasional MUI
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
d. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
ارالضرو ررالض. “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
3. Kaidah Fiqh; antara lain:
لى تل عليل ددة إال أن ياحالت اإلبامعل فى المااألصمهريح. “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
.الضرر يزال“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
Memperhatikan : 1. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:
فإن كان : من عليه الدين إذا أراد السفر أو أراد غريمه منعه نظرناحل قدل من قبيحل الدإلى م هفرن سكوفر مثل أن يالس مه منو
ة، فلهذي الحج م أورححل في المي هنيدفر وس إال في مقوالي جالحن أقام منعه من السفر، ألن عليه ضررا في تأخير حقه عند محله؛ فإ
ررألن الض ،فرالس حل، فلهالم دن عنيبالد فيا ينهر فعد ا أونميضل بذلكوزي.
“Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 4
Dewan Syariah Nasional MUI
2. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang dhaman atau ta’widh; antara lain sebagai berikut:
a. Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:
ضويعطأ : التأو الخ يدعاقع بالتر الورة الضطيغت و٨٧(ه ( هو إزالة الضرر عينا، : األصل العام في الضمان أو التعويض
ا كان أو جبر المتلف وإعادته صحيحا كم... كإصالح الحائط بجو ذلك ذرعا، فإن تححير صوكسة المادكان كإعاإلم دعن
قديأو الن المثلي ضويع٩٤(الت( أي (وأما ضياع المصالح والخسارة المنتظرة غير المؤكدة
فال يعوض عنها في و األضرار األدبية أو المعنويةأ) المستقبلة دوجوال المالم وض هويعل التحألن م ،كم الفقهيل الحأص
وهبة الزحيلي، نظرية ) (٩٦(المحقق فعال والمتقوم شرعا )١٩٩٨فكر، دمشق، الضمان، دار ال
“Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” (h. 87).
“Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding... (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang” (h. 93).
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya” (h. 96).
b. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
ضمان المطل مداره على الضرر الحاصل فعال من جراء التأخير )١١٥(في السداد، وكان الضرر نتيجة طبيعية لعدم السداد
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 5
Dewan Syariah Nasional MUI
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.”
c. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
الضرر يزال حسب قواعد الشريعة، وال إزالة إال بالتعويض، . ن المضرورومعاقبة المدين المماطل ال تفيد الدائ
وهو ،هكمذ حأخأن ي غيبنيو ،بصالغ بهشي قاء الحأد رأخيتأن الغاصب يضمن منافع المغصوب مدة الغصب عند الجمهور،
)١٦-١٥(ك إلى جنب ضمانه قيمة المغصوب لو هل“Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”
3. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran.
4. Fatwa DSN No 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
5. Rapat BPH DSN MUI – BI – Perbankan Syari’ah, 18 Juli 2004 di Lippo Karawaci-Tangerang.
6. Rapat Pleno DSN-MUI, hari Rabu, 24 Jumadil Akhir 1325 H/11 Agustus 2004.
Dengan memohon taufiq dan ridho Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA’WIDH)
Pertama : Ketentuan Umum 1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 6
Dewan Syariah Nasional MUI
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Kedua : Ketentuan Khusus 1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui
sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya. 2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil
dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Ketentuan Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H 11 Agustus 2004 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
Daftar pertanyaan kepada Bank Syariah mengenai proses ta’widh (ganti rugi ) terhadap
Murabahah.
Tempat : PT. Bank Syariah Bukopin, Lt. 6
Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat
Tanggal : 20 April 2010
Nara sumber : Bapak Noor Cholis, kepala Divisi Pengembangan dan Suvervisi Bisnis
Cabang
1. Produk apa saja yang ditawarkan oleh PT. Bank Bukopin Syariah?
a. Produk Funding (pendanaan) : calon nasabah yang memiliki kelebihan dana
ditawarkan produk :
- Tabungan iB SiAga, iB Rencana, iB SiAga Bisnis, iB Haji,
- Giro iB
- Deposito iB
b. Produk Financing ( Pembiayaan)
- Murabahah (Jual beli, Kepemilikan Mobil, Rumah )
- Musyarakah (Bagi Hasil)
- Mudharabah (Bagi Hasil)
- Mudhorobah Muqoyyadah ( Investasi Terikat)
- Qordh (Pinjaman dengan pengembalian yang pokok)
- Isthisna Pararel
c. Produk Jasa
- Pengiriman uang (transfer)
- RTGS (Transfer Via on line dengan nominal di atas 100 juta )
- Payment PLN, PDAM, pulsa, dll
- SDB ( Save Deposit Box )
2. Penilaian seperti apa yang dilakukan bank syariah dalam menilai kelayakan seseorang
yang menerima pembiayaan khususnya pembiayaan murabahah?
Penilaian secara garis besar haruslah prudent, dengan melihat dari 5C :
konsep 5C, yaitu
1. Character (karakter),
2. Capacity (kemampuan mengembalikan utang),
3. Collateral (jaminan),
4. Capital (modal), dan
5. Condition (situasi dan kondisi).
Bagi orang bank, nasabah yang memenuhi criteria 5C adalah orang yang sempurna untuk
mendapatkan Pembiayaan. Bank melihat orang yang mempunyai karakter kuat,
kemampuan mengembalikan uang, jaminan yang berharga, modal yang kuat, dan kondisi
perekonomian yang aman bagaikan melihat sebuah mutiara. Orang seperti ini adalah
nasabah potensial untuk diajak bekerja sama atau orang yang layak mendapatkan
penyaluran kredit. Pendeknya orang yang mempunyai 5C yang baik adalah manusia yang
ideal, menurut criteria orang bank.
3. Bagaimana dengan jaminan/angunan dalam proses ini?
Secara prosesnya jaminan ini haruslah dari debitur sendiri atau kerabat keluarga
agar terhindar dari permasalahan. Proses ini dilihat dengan dua cara yakni dari segi
juridisnya (hukum legal) dan Apprasial (nilai). Juridis dilihat dari analisa objeknya
rumah/tanah yang memiliki sertifikat tanah, kendaraan bermotor seperti mobil, motor
yang memiliki BPKB, dan tanda bukti sah lainnya.
Sedangkan dari segi appraisal (nilai) dengan melihat dari penilaian suatu barang
/objek tersebut artinya penilaian secara quality, dari pihak bank sendiri terdapat bagian
penilaian tersendiri (kredit investigator) dengan asumsi nilai yang masih di bawah 5
milyar. Kalau untuk nilai barang yang di atas 5 Milyar dengan menggunakan jasa
Independent Apprasial, suatu lembaga independen yang menilai suatu barang tertentu
dengan nilai yang cukup besar.
4. Apa yang dilakukan apabila terjadi pembiayaan macet, bagaimana penyelesaiannya?
Pembayaran bermasalah terjadi maka langkah selanjutnya dengan cara ;
a. Penyehatan kembali pembiayaan
- Restrukturisasi
- Rescheduling
- Penataan kembali
Dengan syarat gejala menurunnya usaha dan memiliki potensi usaha yang cukup
menjanjikan.
b. Penjualan angunan (jika langkah peyehatan di atas tidak bisa dilakukan)
- Debitor ; debitor menjual angunannya sendiri agar menutupi pembiayaan yang
belum dibayar
- AO : pihak AO (bank) akan menjual barang angunan tersebut dengan nilai
tertentu, apabila terjadi kelebihan dari harga jual tersebut dengan nilai hutangnya,
maka dana tersebut harus dikembalikan kepada debitur.
- Bank : Pihak bank akan membeli angunan tersebut (ayda : angunan yang diambil
alih), intinya sama dengan AO, dimana jika terdapat kelebihan harus dikembalikan
kepada debitur. (PBI mengenai resktrustur..?)
c. Cara lain dengan variasi- variasi yang lain seperti di take over dengan pihak lain atau
dibayar dengan pihak lainnya, dan mencari sumber dari pihak lain. Misalkan ada
permaslahan hukum sehingga harus menggunakan pengadilan.
5. Bagaimana dengan nasabah yang enggan memenuhi kewajiban padahal mereka mampu?
Bagi nasabah yang enggan membayar padahal dia mampu di berikan funishment
berupa denda (ta’zir) dengan nilai tertentu, biasanya dikenakan perbulan dan denda atau
ta’zir ini merupakan kesepakatan dari awal perjanjian dengan tertulis di dalam akad
perjanjian. Denda dimungkinkan presentasi dari tunggakan dan dana denda ini tidak
dimasukkan sebagai sumber pendapatan bank Syariah, dana ini harus masuk dalam dana
non halal atau qardhul hasan dengan ketentuan dari DSN-MUI yang berasumsi bahwa
penambahan nilai atas pinjaman masuk ke dalam katagori riba, sehingga denda ini harus
dipisahkan tersendiri. Ini berbeda dengan konvensional yang merupakan sebagai
pendapatan bank karena dikenakan bunga atas tunggakan.
6. Apa yang membedakan antara bunga, ta’zir (denda) dan ta’widh (ganti rugi)?
- Bunga : penambahan suatu nilai suatu barang dengan jumlah yang sudah
ditentukan, biasanya bunga ini harus tetap dibayar dengan jumlah yang tetap
walaupun terdapat permasalahan dalam pinjaman tersebut.
- Ta’zir ; denda ini di berikan kepada nasabah yang enggan untuk membayar
angsuran pembiayaannya padahal mampu untuk membayarnya ini sebagai
punishment. Dana ini masuk ke dalam dana qardhul hasan bukan sebagai sumber
pendapatan bank.
- Ta’widh ; ganti rugi yang harus dibayar atas kerugian riil atas kompensansi biaya
yang telah dikeluarkan bank. Dana ini akan masuk sebagai sumber pendapatan
bank.
7. Mengenai pengenaan ganti rugi (ta’widh), Apa saja yang dikenakan ganti rugi dan
bagaimana dengan mekanismenya dalam pembiayaan murabahah?
Dalam ketentuan murabahah bahwa mengambil margin atau kelebihan dari nilai
yang telah disepakati termasuk dalam katagori riba. Oleh karena itu terdapat ganti rugi
yang dikenakan kepada debitur yang belum melunasi angsuran telah jatuh tempo dengan
memperpanjang angsurannya, dan selama masa perpanjangan angsuran tersebut terdapat
biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh bank dengan nilai yang riil, seperti halnya biaya
overhead, proses montoring, penagihan, proses perpanjangan dan tidak adanya
penambahan (mark up) atas nilai tersebut. Hal inilah yang harus diganti oleh pihak debitur
atas biaya – biaya riil yang telah dikeluarkan oleh bank. Dana dari ganti rugi ini masuk ke
dalam salah satu sumber pendapatan bank.
Sebagai contoh : Murabahah ketentuannya ada beli, margin, harga jual, jangka
waktu, misalnya jangka waktuny 2 tahun margin nya 5 juta, kemudian belum bisa bayar,
lalu kita perpanjang lagi menjadi 3 tahun dengan sisa pembiayaan 50 juta dari total
pembiayaan 100 juta, di tahun ke 2 tidak mampu bayar, diperpanjangan 1 tahun.
Ketentuan meurabahah perpanjangan 1 tahun ini tidak bioleh di tambahkan margin. Oleh
karena itu dikenakan ta;’widh atas biaya riil yang dikeluarkan selama jangka waktu 1
tahun yang telah jauth tempo. Bank tidak boleh mengambil keuntungan dan hanya boleh
riil costnya. Di dalam mengeluarkan 50 juta ada biaya over head cost, khususnya biaya
perpanjangan , biaya monitoring, biaya penagihan, seluruh biaya ini dibebankan kepada
nasabah. Misalnya riil cost sebesar 3 juta dari 50 juta sehingga harus diganti sesuai
dengan besaran yang dikeluarkan oleh pihak bank. maka kita tidak boleh mengambil
keuntungan, dimisalkan dilebihkan 1 juta menjadi 4 juta dan ini tidak boleh.
8. Apa yang dilakukan dengan proses perhitungan ganti rugi ini?
Sesuai dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Bank Syariah tanpa adanya tambahan
biaya atau mark up, misalkan untuk biaya monitoring sebesar 1 juta, yah harus 1 juta yang
diganti. Intinya biaya ril yang dikeluarkan bank. Contoh lain : debitur telah jatuh tempo
masa angsurannya selama 2 tahun dan diperpanjang masa angsurannya dimisalkan 1
tahun dengan sisa angsuran Rp. 50.000.000,- dari Rp. 100.000.000, - (ini nominal
akumulatif selama 1 tahun)
- Biaya Overhead (Atk, listrik, pulsa, dll) : Rp. 1.000.000, -
- Biaya Monitoring (pengawasan, survey,Penagihan) : Rp. 3.000.000, -
- Biaya perpanjangan (administrasi) : Rp. 500.000, -
TOTAL : Rp. 4.500.000,-
Jadi Perkiraan Debitur mengembalikan sisa masa pembayaran ditambah dengan biaya-
biaya diatas sebesar Rp. 54.000.000, - dimasa akhir perpanjangan.
9. Bagaimana dengan pengalokasiaan dana ta’widh atau ganti rugi dalam bank syariah?
Dalam pengalokasiannya dana tersebut masuk sebagai sumber dana pendapatan
operasional
10. Apa keuntungan pihak bank syariah dengan dikeluarkannya fatwa DSN-MUI No.
34/DSN-MUI/ VIII/ 2004 tentang Ta’widh (ganti rugi) dan PBI No. 7/46/PBI/2005
tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian
(ta’widh)?
murabahah; perpanjangan tidak boleh ada margin, oleh karena itu apabila ini
(perpanjanga) dilakukan maka ini merupakan peluang yang baik bagi bank syariah
dengan dikeluarkannya ta’widh, dimana nasabah harus mengganti kerugian atas dana
yang sebesar yang dikeluarkan oleh bank.
Pewancara
Muis Hidayat
Diwancarai
Daftar Pertanyaan untuk DSN MUI, Mengenai analisa dikeluarkannya Fatwa DSN-MUI No.
34/DSN-MUI/ VIII/ 2004 Tentang Ta’widh (ganti Rugi).
Tgl : 4 Februari 2010
Tempat : Gedung MUI lt.3
Nara Sumber : Bapak Kanny Hidayat (DSN-MUI)
1. DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa No. 34/DSN-MUI/ VIII/ 2004 Tentang Ta’widh (
Ganti Rugi), Apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa tersebut ?
Awal dari akibat suatu denda yakni memberikan seuatu dendan atau ta’zir kepada nasabah
yang tidak mau membayar pinjaman dan ditentukan. Tuk besarannya bisa dikenakan lebih
besar agar jera. Dan dananya bukan buat bank tapi sebagai dana kebajikan. Dibolehkan
denda sebesar-besarnya karena dana tersebut tuk sodaqoh dan kemaslahatan. Untuk
ta’widh sendiri dimisalkan ketika melayani nasabah membutuhkan biaya transport, biaya
telpon, dan lain-lain yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan.
2. Bagaimana Proses terbentuknya fatwa tersebut ?
Karena bank merasa untuk melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan. Bank tidak
hanya mengeluarkan denda saja karena denda tersebut masuk ke dalam dana kebajikan
bukan pendapatan. Dan untuk biaya tambahan diluar pinjaman, karena dikeluarkan sesuai
kebutuhan riil sebagai pendapatan bank, maka diperlukan suatu fatwa yang mengatur
tentang itu.
3. Apakah hukum Islam mengatur tentang proses ta’widh?
Setiap dari tambahan dalam pinjaman akan menjadi bunga, tapi beda dengan ta’widh
karena prosesnya bukan sebagai tambahan pinjaman. Ini di dasarkan kemaslahatan, karena
atas biaya riil yang telah dikeluarkan bank.
4. Bagaimana dengan perhitungan ta’widh sendiri?
Perhitungannya sesuai dengan pengeluaran yang riil.
5. Ada sumber mengatakan bahwa fatwa ini sempat tertunda lantaran para ulama dan
pembuatan kebijakan di BI keberatan dengan klausul ta’widh. Bagaimana solusinya?
Dalam proses ini tidak ada hambatan dan semuanya lancar sampai fatwa ini keluar.
6. Menurut anda, apa yang harus dilakukan oleh Bank Syariah dalam proses ta’widh ini?
Harus biaya riil yang diganti, jangan ada tambahannya karena bisa masuk ke dalam riba.
7. Agar lebih jelas, bisa dijelaskan apa yang membedakan antara ta’widh, ta’zir dan ganti
rugi?
Ta’widh merupakan ganti rugi secara Islam karena tuk kemaslahatan dengan mengganti
yakni biaya- biaya yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahannya, seperti transport,
telepon,dll.
Ta’zir merupakan denda yang diberikan kepada nasabah atas kelalaiannya atau menunda
membayar, dan dana tersebut masuk ke dalam dana kebajikan bank, bukan untuk bank.
Untuk ganti rugi dalam konvensional, meraka tidak memikirkan akan dampak yang terjadi,
terserah mau dikenakan berapa, tanpa harus membedakan antara riil atau denda
lainnya(ta’widh atau ta’zir).
Penanya
Muis Hidayat
Penjawab
Kanny Hidayat
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/18/PBI/2008
TENTANG
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya;
b. bahwa salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha
nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat
melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki
prospek usaha dan/atau kemampuan membayar;
c. bahwa restrukturisasi pembiayaan harus memperhatikan prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan
mengenai Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran ...
-2-
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI
PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha syariah.
2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank ...
-3-
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS
adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari
suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan
atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7. Restrukturisasi ...
-4-
7. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank
dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan
kewajibannya, antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan
jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau
pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban
nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning,
antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah
berjangka waktu menengah;
4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara
pada perusahaan nasabah.
8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah surat
bukti investasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim
diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu
3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad
mudharabah atau musyarakah .
9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau
UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi
Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk
mengatasi ...
-5-
mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka
waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 2
(1) Bank dapat melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank wajib menjaga dan mengambil langkah-langkah agar kualitas
Pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam keadaan Lancar.
BAB II
RESTRUKTURISASI
Pasal 3
Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan
untuk menghindari:
a. penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan;
b. pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar;
atau
c. penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara akrual.
Pasal 4
Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar
permohonan secara tertulis dari nasabah.
Pasal 5 ...
-6-
Pasal 5
(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk
Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
(3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan
bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.
Pasal 6
(1) Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu akad Pembiayaan awal.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling
cepat 6 (enam) bulan setelah Restrukturisasi Pembiayaan
sebelumnya.
Pasal 7
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memiliki beberapa
fasilitas Pembiayaan dari Bank, dapat dilakukan terhadap masing-masing
Pembiayaan.
BAB III ...
-7-
BAB III
PERLAKUAN AKUNTANSI
Pasal 8
Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, Bank wajib
menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia yang berlaku.
BAB IV
PRINSIP SYARIAH
Pasal 9
Restrukturisasi Pembiayaan dilaksanakan dengan memperhatikan fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang berlaku.
BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 10
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure
tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris.
(3) Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan disetujui
oleh Direksi dan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pelaksanaan ...
-8-
(4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib diawasi
secara aktif oleh Komisaris.
(5) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENETAPAN KUALITAS PEMBIAYAAN
Pasal 11
(1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan
sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum
dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. kualitas Pembiayaan tidak berubah untuk Pembiayaan yang
sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Kurang Lancar.
(2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga)
kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/fee/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian
Restrukturisasi Pembiayaan; atau
b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi lebih buruk, jika
nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan
Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan
dokumentasi yang memadai;
(3) Dalam ...
-9-
(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas
menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat
dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan;
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
berlaku juga untuk Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan
ketiga.
Pasal 12
Pembiayaan yang direstrukturisasi lebih dari 3 (tiga) kali, digolongkan
Macet sampai dengan Pembiayaan lunas.
Pasal 13
Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran (grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Pembiayaan
sebelum dilakukan restrukturisasi; dan
b. setelah grace period berakhir, kualitas Pembiayaan mengikuti
penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 14
(1) Untuk BUS dan UUS, kualitas Pembiayaan yang telah
direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja
(performance) nasabah dan/atau kemampuan membayar, sesuai
dengan penggolongan nasabah, setelah 1 (satu) tahun sejak penetapan
kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
(2) Untuk ...
-10-
(2) Untuk BPRS, kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi wajib
dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar
kewajiban nasabah.
BAB VII
TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 15
(1) Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’
dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(2) Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
(3) Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dapat
direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(4) Pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik
dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(5) Pembiayaan ...
-11-
(5) Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
(6) Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(7) Tata cara Restrukturisasi Pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Restrukturisasi Pembiayaan dengan cara penataan kembali
(restructuring) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam bentuk
konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah dan Penyertaan Modal Sementara tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 17
(1) Bank wajib melepaskan Penyertaan Modal Sementara apabila:
a. telah sampai jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan nasabah tempat Penyertaan Modal Sementara telah
memperoleh laba kumulatif.
(2) Bank wajib menghapus buku Penyertaan Modal Sementara apabila
telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
BAB VIII ...
-12-
BAB VIII
LAPORAN RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 18
Bank wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 19
Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 bagi BUS dan UUS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 20
(1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, untuk BPRS wajib disampaikan setiap bulan paling lambat
tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila BPRS
menyampaikan laporan melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 21 pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila BPRS belum
menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Pelaporan ...
-13-
(5) Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
SANKSI
Pasal 21
Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) sampai
dengan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang–
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 22
(1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
(2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 23
Pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan Pasal 12,
tidak mengurangi pengenaan sanksi dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dan Laporan Bulanan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 24 ...
-14-
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak
mengurangi kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan
Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum
berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia
ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Dengan dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni
2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit;
c. Pasal 47 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan ...
-15-
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Pasal 46 dan Pasal 46A Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/9/PBI/2007 tanggal 18 Juni 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Ketentuan pelaksanaan tentang Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28 ...
-16-
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 25 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
undangkan di Jakarta
Pada tanggal l 25 Sep. 08
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 138......... DPbS
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
-17-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/18/PBI/2008
TENTANG
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, Bank harus mengelola
risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk), sehingga dapat meminimalkan
potensi kerugian yang akan terjadi. Penurunan kegiatan usaha dan/atau kemampuan
pembayaran nasabah dapat mempengaruhi kelancaran pemenuhan kewajiban
nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko kredit bagi Bank.
Untuk menurunkan risiko kredit dalam aktivitas Pembiayaan, Bank dapat
melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah
pembiayaan. Langkah-langkah tersebut antara lain dengan melakukan
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang masih memiliki prospek usaha
dan/atau kemampuan membayar.
Kebutuhan dan penggunaan dana nasabah pada prinsipnya berbeda-beda
sehingga Bank menyediakan fasilitas Pembiayaan kepada nasabah dalam beragam
akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Masing-masing akad Pembiayaan
memiliki karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan Bank dalam
pengelolaan Pembiayaan.
Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank selain memperhatikan
prinsip syariah juga harus memenuhi prinsip kehati-hatian. Ketentuan
Restrukturisasi Pembiayaan yang berlaku saat ini belum sepenuhnya memenuhi
kebutuhan ...
-2-
kebutuhan Bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus yang
mengatur tentang pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 9
Cukup Jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non produktif
antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber pembayaran angsuran
yang jelas dari nasabah setelah dilakukan restrukturisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai” antara lain adalah
adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan
kinerja ...
-3-
kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja yang diperoleh nasabah atau
adanya sumber pembayaran lain yang jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pembatasan frekuensi restrukturisasi dimaksudkan agar Bank tidak
melakukan restrukturisasi dalam rangka menghindari penurunan
penggolongan kualitas Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan “jangka waktu akad Pembiayaan awal” adalah
jangka waktu yang disepakati oleh Bank dan nasabah dalam akad
Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi.
Contoh :
Bank dan nasabah pada tanggal 1 September 2008 melakukan akad
Pembiayaan dengan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Pada tanggal
1 September 2009, Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan
pertama dengan cara memperpanjang jangka waktu menjadi 5 (lima)
tahun. Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan
paling lambat pada tanggal 1 September 2011.
Ayat (2)
Contoh :
Berdasarkan contoh pada ayat (1), Restukturisasi Pembiayaan kedua
paling cepat dilakukan pada tanggal 1 Maret 2010 dan apabila
dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan ketiga maka Restrukturisasi
Pembiayaan paling cepat dilakukan pada tanggal 1 September 2010.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 ...
-4-
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “fatwa Majelis Ulama Indonesia” adalah fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi
Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara
lain satuan kerja atau petugas khusus Restrukturisasi Pembiayaan,
limit wewenang memutus Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem
informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-5-
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “grace period” adalah masa tenggang yang diberikan
Bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran angsuran pokok
dan margin untuk akad Murabahah atau Istishna’ atau angsuran Ijarah untuk
akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggolongan nasabah” adalah
pengelompokkan nasabah yang didasarkan pada:
a. besar kecilnya jumlah penyediaan dana yang diberikan oleh Bank
kepada nasabah,
b. Usaha Kecil dan Menengah dengan mempertimbangkan Sistem
Pengendalian Risiko, Kondisi Tingkat Kesehatan dan Rasio
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank.
Ayat (2)
Kualitas Pembiayaan bagi BPRS dinilai berdasarkan ketepatan
dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
-6-
Pasal 17
Pelepasan Penyertaan Modal Sementara pada prinsipnya harus segera
dilakukan walaupun belum mencapai 5 (lima) tahun.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
format laporan dan tata cara pelaporan.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22 ...
-7-
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4898
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/46/PBI/2005
TENTANG
AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perbankan syariah harus senantiasa menjaga
kepercayaan masyarakat baik dari aspek finansial maupun
kesesuaian terhadap prinsip syariah yang menjadi dasar
operasinya;
b. bahwa setiap pelaku dalam industri perbankan syariah,
termasuk pengelola bank/pemilik dana/pengguna dana, serta
otoritas pengawas harus memiliki kesamaan cara pandang
terhadap Akad-Akad produk penghimpunan dan penyaluran
dana bank syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana
bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan …
- 2 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG AKAD
PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI
BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank …
- 3 -
1. Bank adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.
2. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
3. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul
(penerimaan) antara Bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban
masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah;
4. Wadi’ah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang
pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima
titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
5. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal)
kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and
loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
6. Musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/ modal
berdasarkan bagian dana/ modal masing-masing.
7. Murabahah …
- 4 -
7. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati.
8. Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
9. Istishna' adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran
sesuai dengan kesepakatan.
10. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah
mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau imbalan jasa;
11. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan
dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 2
(1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank
wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dalam Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditegaskan jenis
transaksi syariah yang digunakan.
(3) Transaksi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram
dan maksiat.
BAB II …
- 5 -
BAB II
PERSYARATAN AKAD PENGHIMPUNAN
DAN PENYALURAN DANA
Bagian Pertama
Penghimpunan Dana
Pasal 3
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan berdasarkan
Wadi'ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana titipan;
b. dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah
nominal;
c. dana titipan dapat diambil setiap saat;
d. tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada
nasabah;
e. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.
Pasal 4
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro berdasarkan
Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank bertindak
sebagai pengelola dana (mudharib);
b. Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
melakukan Akad Mudharabah dengan pihak lain;
c. modal …
- 6 -
c. modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah
nominalnya;
d. nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh Bank
dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan
rekening;
e. pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam Akad pembukaan rekening.
f. pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap
akhir bulan laporan.
g. Bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya; dan
h. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Pasal 5
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito
berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana;
b. dana disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;
c. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam
bentuk nisbah;
d. pada Akad tabungan berdasarkan Mudharabah, nasabah wajib meng-
investasikan minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan oleh Bank
dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan
rekening;
e. nasabah …
- 7 -
e. nasabah tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan;
f. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan atau deposito
dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;
g. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa
persetujuan nasabah yang bersangkutan; dan
h. Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Penyaluran Dana
Paragraf 1
Penyaluran Dana Berdasarkan Mudharabah dan Musyarakah
Pasal 6
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh,
dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam
kegiatan usaha;
b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak
dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan
jumlahnya;
f. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan …
- 8 -
diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar;
g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati;
h. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika
nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang
mengakibatkan kerugian usaha;
i. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
j. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
k. pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung
dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue
sharing);
l. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan
laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
m. dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang
dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan;
(i) nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib;
(ii) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai
tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi
modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan
nasabah;
n. pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk
pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan
secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah;
dan …
- 9 -
dan
o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Pasal 7
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
Mudharabah muqayyadah (restricted investment) berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent)
kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha
dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor;
b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak
dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar;
f. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang
perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;
g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah;
h. Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko
kerugian usaha yang dibiayai; dan
i. investor …
- 10 -
i. investor sebagai pemilik dana Mudharabah muqayyadah menanggung
seluruh risiko kerugian kegiatan usaha kecuali jika nasabah melakukan
kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian
usaha.
Pasal 8
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
Musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan
bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu
kegiatan usaha tertentu;
b. nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha
dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang
yang disepakati;
c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah
untuk mengelola usaha;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
f. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
g. biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
h. pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati;
i. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi
modal …
- 11 -
modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi
perjanjian dari salah satu pihak;
j. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
k. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
l. pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi
(profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
m. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan
keuangan nasabah;
n. pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau
dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha;
dan
o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam
Akad karena kelalaian dan atau kecurangan.
Paragraf 2
Penyaluran Dana Berdasarkan Murabahah, Salam dan Istishna’
Pasal 9
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli
barang.
b. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank
ditentukan …
- 12 -
ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya;
d. dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli
barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara
prinsip menjadi milik Bank;
e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan
selain barang yang dibiayai Bank;
g. kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak
berubah selama periode Akad;
h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara
proporsional.
(2) Dalam hal Bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e maka berlaku ketentuan sebagai
berikut :
a. dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang
setelah membayar uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari
uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang
muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai
kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta
lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah;
b. dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang
telah dibayarkan nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar
kerugian …
- 13 -
kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan
jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Pasal 10
(1) Dalam pembiayaan Murabahah Bank dapat memberikan potongan dari total
kewajiban pembayaran hanya kepada nasabah yang telah melakukan
kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau nasabah yang
mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
(2) Besar potongan Murabahah kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan dalam
Akad dan diserahkan kepada kebijakan Bank.
Pasal 11
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah,
jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b. pembayaran harga oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan secara
penuh pada saat Akad disepakati;
c. pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan kewajiban nasabah kepada Bank ;
d. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
e. Bank sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima;
f. dalam rangka meyakinkan bahwa penjual dapat menyerahkan barang
sesuai kesepakatan maka Bank dapat meminta jaminan pihak ketiga
sesuai …
- 14 -
sesuai ketentuan yang berlaku; dan
g. Bank hanya dapat memperoleh keuntungan atau kerugian pada saat
barang yang dibeli Bank telah dijual kepada pihak lain, kecuali terdapat
perubahan harga pasar terhadap harga perolehan, sebelum barang dijual
kepada pihak lain.
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka Bank
memiliki pilihan untuk :
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana
hak Bank;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c. meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula;
(3) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang
lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah;
(4) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang
lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh
menuntut pengurangan harga (discount).
Pasal 12
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam
paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank sebagai pembeli dalam Akad Salam dapat membuat Akad Salam
paralel …
- 15 -
paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai penjual;
b. kewajiban dan hak dalam kedua Akad Salam tersebut harus terpisah;
c. Pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Salam tidak boleh tergantung
pada Akad Salam lainnya;
d. Bank yang bertindak sebagai penjual dalam Akad Salam paralel harus
memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam
Akad Salam tidak memenuhi Akad Salam;
e. Bank menjual barang kepada nasabah pemesan dengan spesifikasi,
kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
f. pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan secara penuh
pada saat Akad disepakati;
g. dalam hal pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan
secara angsuran maka wajib dilakukan dengan Akad Murabahah;
h. pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk
pembebasan kewajiban Bank kepada nasabah;
i. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
j. nasabah sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum
diterima;
k. dalam rangka meyakinkan Bank dapat menyerahkan barang sesuai
kesepakatan, maka nasabah dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai
ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah
memiliki pilihan untuk:
a. membatalkan …
- 16 -
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana
hak nasabah;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c. meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula;
(3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah;
(4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh
menuntut pengurangan harga (discount).
Pasal 13
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna'
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas,
jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b. pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang nasabah kepada Bank;
c. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
d. pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada Bank dilakukan secara
bertahap atau sesuai kesepakatan;
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan …
- 17 -
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah
memiliki pilihan untuk:
a. membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana
kepada Bank;
b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c. meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang
sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang
pesanan semula;
(3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan antara nasabah dengan Bank;
(4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang
lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka nasabah tidak
boleh menuntut pengurangan harga (discount).
Pasal 14
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna'
paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank sebagai penjual dalam Akad Istishna’ dapat membuat Akad
Istishna' paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai
pembeli;
b. kewajiban dan hak dalam kedua Akad Istishna’ tersebut harus terpisah;
c. pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Istishna’ tidak boleh tergantung
pada Akad Istishna’ paralel atau sebaliknya;
d. dalam hal Bank yang bertindak sebagai pembeli dalam Akad Istishna'
paralel …
- 18 -
paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila
nasabah dalam Akad Istishna’ tidak memenuhi Akad Istishna’;
e. Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan
secara proporsional.
(2) Ketentuan Istishna’ berlaku pula pada Istishna’ Paralel sebagai berikut :
a. Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah,
jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b. pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang nasabah kepada Bank;
c. alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan
kesepakatan;
d. pembayaran oleh Bank selaku pembeli kepada nasabah dilakukan secara
bertahap atau sesuai kesepakatan;
e. dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas
yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga;
f. dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas
yang lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka Bank
tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount).
Paragraf 3
Penyaluran dana berdasarkan Akad Ijarah, Ijarah muntahiya bitamlik
dan Qardh
Pasal 15
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk
transaksi sewa menyewa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank …
- 19 -
a. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah
dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain
untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b. objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara
spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka
waktunya;
c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas
maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang
sewa sesuai kesepakatan;
d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya
materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan
disewa oleh nasabah;
f. nasabah wajib membayar sewa secara tunai, menjaga keutuhan barang sewa,
dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan
kesepakatan;
g. nasabah tidak bertanggungjawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi
bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah ;
Pasal 16
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan Ijarah
muntahiya bittamlik (IMBT) berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. IMBT harus disepakati ketika Akad Ijarah ditandatangani dan
kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam Akad Ijarah dimaksud;
b. pelaksanaan …
- 20 -
b. pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah Akad Ijarah dipenuhi;
c. Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah
berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa;
d. pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan dalam
Akad tersendiri setelah masa Ijarah selesai;
(2) Ketentuan Ijarah berlaku pula pada Akad IMBT sebagai berikut :
a. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah
dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak
lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b. objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi
secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa
dan jangka waktunya;
c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas
maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang
sewa sesuai kesepakatan;
d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang
sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang
akan disewa oleh nasabah;
f. nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhan
barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai
dengan kesepakatan;
g. nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang
terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah;
Pasal 17 …
- 21 -
Pasal 17
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk
transaksi multijasa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dapat menggunakan Akad Ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa
keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan,
ketenaga kerjaan dan kepariwisataan;
b. dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan Akad Ijarah untuk
transaksi multijasa, Bank dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee;
c. besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Pasal 18
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pinjaman dana berdasarkan Qardh
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah
berdasarkan kesepakatan;
b. nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima
pada waktu yang telah disepakati;
c. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan
dengan pemberian pinjaman Qardh;
d. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada
Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad;
e. dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh
kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak
mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau
menghapus …
- 22 -
menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban
kerugian Bank;
f. dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank
dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan
pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban
pinjaman nasabah;
g. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat
berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak;
h. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan
dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari
Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan
kepentingan nasabah pemilik dana;
Bagian Ketiga
Ketentuan Ganti Rugi (Ta’widh)
Pasal 19
Ketentuan Ganti Rugi (Ta'widh) dalam Pembiayaan:
a. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang
dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad
dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
b. Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai
dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank
untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan …
- 23 -
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah);
c. ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Istishna’ serta
Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai;
d. ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan
Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah
jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
e. klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan
dipahami oleh nasabah; dan
f. Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara Bank dengan nasabah.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA BANK
DAN NASABAH
Pasal 20
(1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
diperjanjikan dalam Akad atau jika terjadi perselisihan di antara Bank dan
Nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah;
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui
alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase Syariah;
BAB IV …
- 24 -
BAB IV
SANKSI
Pasal 21
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal
19 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau
c. penggantian pengurus.
(2) Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak melaksanakan pengawasan terkait
dengan pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan atau
b. pencabutan izin usaha UUS.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Akad-Akad Bank yang telah jatuh tempo dan akan diperpanjang wajib disesuaikan
dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VI …
- 25 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 14 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 124
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR: 7/46/PBI/2005
TENTANG
AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
UMUM
Sejalan dengan perkembangan pesat industri perbankan syariah
dimungkinkan pula adanya berbagai penafsiran dalam penyusunan Akad produk
dan jasa bank syariah yang dapat menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif
bagi bank syariah dan ketidak pastian bagi para pihak terkait dan stakeholders
lainnya. Dengan demikian diperlukan pengaturan Akad penghimpunan dan
penyaluran dana bank syariah dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap bank syariah.
Dengan adanya ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran
dana bank syariah akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang
berkepentingan yang pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah
yang sehat. Selain itu, kejelasan Akad akan membantu operasional bank sehingga
menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk
bagi pengawas dan auditor bank syariah.
Ketentuan persyaratan minimum Akad ini disusun berpedoman kepada
fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional dengan memberikan
penjelasan …
- 2 -
penjelasan lebih rinci aspek teknis perbankan guna menyediakan landasan hukum
yang cukup memadai bagi para pihak yang berkepentingan.
Ketentuan persyaratan minimum Akad ini mengikuti proses yang
berkesinambungan (evolving process) dengan memperhatikan perubahan dan
perkembangan kondisi regulasi dan sistem perundangan yang berlaku
Prinsip-prinsip umum yang diatur dalam ketentuan persyaratan minimum
Akad ini meliputi antara lain prinsip transparansi produk dan jasa dalam upaya
mewujudkan bank syariah yang penuh integritas dan amanah, asas keberlakuan
secara universal sehingga bank syariah dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, dan pengutamaan penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah
secara musyawarah, memenuhi rasa keadilan dan efisiensi biaya dalam
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase
syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 11
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jenis transaksi syariah yang maksud adalah
Wadi’ah, Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’,
Ijarah dan Qardh.
Ayat (3) …
- 3 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan:
"Gharar" adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu
pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
"Maysir" adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-
untungan atau spekulatif yang tinggi.
"Riba" adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau
bertentangan dengan ajaran Islam.
"Zalim" adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian
dan penderitaan pihak lain.
"Risywah" adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau
bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan
fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.
"Barang haram dan maksiat" adalah barang atau fasilitas yang dilarang
dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a sampai dengan huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "biaya operasional" adalah biaya yang berkaitan
langsung dengan fasilitas pengelolaan rekening nasabah misalnya biaya
kartu …
- 4 -
kartu ATM, cetak buku/cek/bilyet giro, cetak laporan traksaksi dan
saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan Mudharabah dalam pengaturan pasal ini
adalah Mudharabah mutlaqah.
Huruf b sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Harga pasar digunakan untuk barang yang telah dimiliki oleh Bank
atau bukan pengadaan baru.
Nasabah mengembalikan dana Bank sebesar nilai nominal yang
ditetapkan berdasarkan nilai perolehan atau nilai pasar pada saat Akad.
Huruf g sampai dengan huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil
usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua
belah pihak berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf m …
- 5 -
Huruf m sampai dengan huruf o
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Huruf a sampai dengan huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil
usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua
belah pihak berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf n dan huruf o
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “barang” adalah barang yang diketahui
jelas kuantitas, kualitas dan spesifikasinya.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
- 6 -
Huruf d
Wakalah harus dibuatkan Akad secara terpisah dari Akad
Murabahah.
Yang dimaksud dengan secara prinsip barang milik Bank dalam
wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang
ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan
kuitansi pembelian.
Huruf e sampai dengan huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Angsuran secara proposional adalah angsuran yang ditetapkan
Bank secara proposional antara harga pokok dan marjin, serta
jangka waktu angsuran. Contoh :
� Harga pokok mesin Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
� Marjin Rp2.000.000,- (dua juta rupiah)
� Jangka waktu angsuran = 12 (dua belas) bulan
� Angsuran nasabah Rp12.000.000,-/12 = Rp1.000.000,- (satu
juta rupiah)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan nasabah yang mengalami penurunan
kemampuan membayar adalah nasabah yang kegiatan usahanya
terkena dampak bencana alam atau krisis perekonomian yang
ditetapkan …
- 7 -
ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai krisis nasional.
Pemotongan kewajiban pembayaran ditetapkan berdasarkan kebijakan
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud ‘barang’ adalah hasil pertanian dan atau hasil
tambang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pembayaran secara penuh pada saat
Akad adalah pembayaran segera setelah Akad disepakati atau
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Akad disepakati.
Huruf c sampai dengan huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Jaminan pihak ketiga antara lain dalam bentuk garansi
berdasarkan prinsip syariah.
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 8 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pembiayaan berdasarkan Salam paralel muncul pada saat Bank
membeli barang untuk dijual kembali kepada pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud ‘barang’ adalah proyek infrastruktur dan atau
hasil industri manufaktur.
Huruf b sampai dengan huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat 3 …
- 9 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pembiayaan Istishna’ paralel muncul pada saat Bank memesan barang
untuk dijual kembali kepada pihak lain.
Ayat (2)
Huruf a
Nasabah adalah termasuk nasabah produsen, pemasok atau
penyedia.
Huruf b sampai dengan huruf f
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Yang dimaksud ‘barang’ adalah barang bergerak atau tidak bergerak
yang dapat diambil manfaat sewa.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural sesuai
kesepakatan dituangkan dalam Akad
Huruf e …
- 10 -
Huruf e
Akad mewakilkan kepada nasabah di buatkan secara terpisah dari
Akad Ijarah
Huruf f dan huruf g
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan IMBT adalah Ijarah dengan janji (wa’ad)
yang mengikat pihak yang menyewakan untuk mengalihkan
kepemilikan kepada penyewa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a sampai dengan huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Kondisi “nasabah tidak mampu” adalah ketidak mampuan nasabah
terhadap hal-hal di luar kemampuan nasabah karena musibah bencana
alam atau krisis perekonomian nasional yang ditetapkan sebagai krisis
oleh pemerintah.
Huruf f dan huruf g
Cukup jelas
Huruf h …
- 11 -
Huruf h
Dalam rangka kehati-hatian pemberian pinjaman Qardh untuk kegiatan
usaha yang bersifat talangan dana komersial, Bank dapat meminta
agunan kepada nasabah.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan oleh Bank dalam
rangka penagihan hak Bank yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah.
Huruf c sampai dengan huruf f
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Badan arbitrase syariah yang digunakan adalah badan arbitrase syariah
yang berdomisili paling dekat dengan kantor Bank yang bersangkutan
atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan nasabah.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 12 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4563