Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Analisis Pengaruh Perbandingan Massa Saprolit dan Reduktor Batubara pada Proses Pemanggangan Saprolit
Al-Muntasar, Badrul Munir, Johny Wahyuadi M.Soedarsono
1. Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
2. Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
3. Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Nikel ada dialam bebas dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah saprolit. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh reduktor batubara terhadap hasil yang didapatkan dari proses pembakaran bijih saprolit dengan menggunakan perbandingan massa yang berbeda. Perbandingan massa saprolit dan reduktor batubara adalah 1:4, 1:3, 1:2, dan 1:1. Proses pemanggangan ini berlangsung selama 60 menit pada suhu 1000 Celsius. Proses pembakaran dikarakterisasi dengan XRD untuk melihat senyawa dan kadarnya. Hasil pengujian menunjukkan peningkatan kadar Ni pemurnian yang tinggi yaitu 10% dengan perbandingan 1:2. Senyawa yang didapatkan dari hasil reduksi yang awalnya berbentuk Lizardit menjadi beberapa hasil reduksi seperti NiS, NiFeO4, dan Fe3O4.
Mass Effect Comparison Analysis Between Saprolite and Coal as Reductor on Saprolite Roasting
Abstract
Nickel exist in the soil in several forms, one of it is the saprolite. The purpose of this study was to determine the influence of the coal reductant to the results obtained from the combustion process saprolite ore using a different mass ratio. Saprolite and reducing agent mass ratio of coal is 1: 4, 1: 3, 1: 2 and 1: 1. The roasting process lasts for 60 minutes at a
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
temperature of 1000 Celsius. The roasting products was characterized by XRD to observe compounds and percentage levels. The results showed elevated levels of high purification Ni is 10% with a ratio of 1: 2. Compounds obtained from the roasting of lizardite were NiS, NiFeO4, and Fe3O4.
Keywords: saprolite; coal; ratio mass; roasting; XRD
Pendahuluan
Kebutuhan nikel didunia saat ini sangatlah tinggi. Hal ini dipengaruhi
kegunaan Ni yang sangat banyak dalam industri saat ini, seperti pembuatan baterai,
elektroplatting, dan untuk baja tahan karat. Indonesia merupakan salah satu produsen
nikel yang terkenal dengan kualitas yang sangat baik. Cadangan nikel Indonesia
nomor enam dunia setelah Australia, New Kaledonia, Brasil, Rusia, dan Kuba[1]. Di
Indonesia sendiri, seperti diperlihatkan pada Gambar 1.1, penyebaran nikel ada di
beberapa daerah dan telah dieksplorasi oleh beberapa Perusahaan, seperti di Pomalaa,
Sulawesi Tenggara.
Deposit nikel dialam ada dua jenis yang bernilai ekonomis untuk diolah yaitu
konsentrasi residual nikel silika hasil pelapukan batuan ultrabasa yang sering disebut
endapan nikel laterit dan deposit deposit yang terbentuk akibat injeksi magma yang
sering disebut nikel sulfida[3]. Umumnya, laterit diklasifikasikan didalam dua
kelompok, yaitu kelompok bijih dengan kadar magnesia yang rendah, seperti saprolit
dan kadar magnesia yang tinggi, seperti limonit. Saprolit memiliki kadar nikel yang
cukup tinggi berkisar 1.5%-3% [4]. Di dalam laterit, saprolit merupakan mineral yang
lebih kaya akan nikel dibandingkan limonit.
Pengolahan laterit merupakan salah satu yang sangat proses yang
membutuhkan energi yang sangat tinggi. Hal yang sangat mempengaruhi proses ini
adalah banyaknya proses yang harus dilalui untuk bisa mengekstraksi laterit menjadi
konsentrat, seperti rotary-kiln dan high pressure acid leaching. Untuk bijih laterit
dengan kadar rendah harus dilakukan peningkatan kadar nikel untuk menghasilkan
hasil yang sama. Hal ini membuat biaya produksi akan semakin membengkak, belum
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
lagi kondisi pertambangan yang tidak menentu akan membuat proses ini akan sulit
untuk dilakukan[5].
Untuk bijih laterit dengan kadar tinggi akan menghasilkan energi yang sangat
besar untuk mengekstraksi bijih laterit yang ada. Belum lagi efek rumah kaca yang
timbul dengan peningkatan kadar konsumsi energi yang ada, dan hal ini juga tentu
akan berefek ke pembiayaan yang lebih besar lagi. Dengan pertimbangan lingkungan
yang sekarang menjadi isu hangat, sektor pertambangan, dan industri yang
berhubungan dengan pengolahan logam dibawah sorotan untuk bisa mengurangi
pemakaian bahan bakar fosil untuk mengurangi pemakaian energi dan gas rumah kaca
yang dihasilkan. Maka dibuuthkan sebuah proses yang lebih mengurangi pemakaian
bahan bakar fosil ini lagi kedepannya[5].
Dari beberapa sumber yang diperoleh, telah dilakukan beberapa penelitian
yang menyangkut tentang ekstraksi saprolit, seperti Ulum (2008) telah meneliti
tentang pengaruh variasi massa antrasit terhadap proses karbotermik bijih nikel
saprolit, Suprayogi (2012) mempelajari tentang pengaruh penambahan batubara untuk
proses roating batubara dan pelindian dalam asam sulfat 1 M, Bunjaku (2013) telah
meneliti tentang pengaruh mineral, sulfur dan gas sisa terhadap kemampuan reduksi
saprolit, Zhang et. al (2015) meneliti tentang pengendapan Fe2O3 dari Ni dan Co, Ma
et. al (2013) meneliti tentang proses reduksi laterit limonit untuk mendapatkan Besi
dengan kadar tinggi, Li (1999) mempelajari secara umum tentang proses reduksi nikel,
Tambunan (2008) meneliti tentang pengaruh proses float sink dan roasting reduction
terhadap transformasi bijih nikel dari bijih saprolit, Arif (2007) mempelajari tentang
penggunaan HPAL di Indonesia untuk mengolah bijih nikel laterit, dan Pournaderi et.
al (2014) mempelajari tentang kemampuan reduksi bijih nikel limonit laterit dari
Central Anatolia.
Rumusan masalah yang menjadi perhatian untuk penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses pemanggangan saprolit dengan menggunakan batubara pada
suhu 1000 C?
2. Seberapa besar pengaruh perbandingan massa saprolit dan batubara pada
proses pemanggangan ini?
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
1. Mengetahui efek dari proses pemanggangan saprolit dengan menggunakan
batu bara.
2. Mengetahui perbandingan massa saprolit dan batu bara yang akan
menghasilkan nikel yang optimal.
Cakupan untuk penelitian ini adalah:
1. Bahan-bahan yang digunakan adalah bijih nikel saprolit, dan batu bara.
Peletakan saprolit dan batu bara dengan sandwich, yaitu saprolit diapit antara
batubara.
2. Proses penghalusan bijih saprolit dan batubara menggunakan ballmill.
3. Formulasi yang digunakan adalah berat saprolit dan berat batubara 1:1, 1:2, 1:3
dan 1:4.
4. Proses pemanggangan dilakukan pada suhu 1000 C.
5. Karakterisasi sampel bijih saprolit menggunakan XRF dan XRD.
TINJAUAN PUSTAKA
Nikel merupakan salah satu senyawa yang penting dalam perkembangan dunia
selama ini. Penggunaan nikel yang besar bisa ditemukan pada industri stainless steel
sebesar 62% dan diikuti pada industri lainnya yang sangat dibutuhkan saat ini[6]. Nikel
bisa didapat dari dua tipe deposit, yaitu sulfida dan oksida. Indonesia memiliki deposit
nikel yang cukup tinggi dalam bentuk oksida, yaitu berupa laterit. Laterit mudah
ditemukan pada daerah tropis dan subtropis. Pembentukan lapisan deposit laterit ini
tergantung pada beberapa kondisi seperti[7],
1. Pembentukan awal batuan
2. Cuaca
3. Topografi wilayah
4. Riwayat geomorfik
Laterit ini memiliki beberapa lapisan, seperti lapisan yang kaya silika, lapisan
limonit, dan lapisan saprolit. Tipe kaya silika bisa diproses menggunakan
pirometalurgi, sedangkan tipe limonit bisa diproses menggunakan hidrometalurgi.
Lapisan saprolit ini merupakan hasil pelapukan batuan peridotit berwarna kekuning-
coklatan, terletak di bagian bawah dari lapisan limonit dengan ketebalan rata-rata 7
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
meter.saprolit ini memiliki kadar sekitar 1,5-3% Ni, 10-25% Fe, 10-35% MgO, 0,02-
0,1% Co[8].
Berdasarkan komposisi mineral, deposit nikel laterit bisa dibagi kedalam 5
zona, yaitu [9]:
1. Iron Capping Zone
2. Limonite Zone
3. Transition atau Intermediate Zone
4. Saprolite Zone
5. Bed Rock
Komposisi kimia setiap lapisan ada di Tabel 2.1 sebagai perbandingan unsur
yang terdapat didalam zona-zona tersebut dan pada Gambar 2.1 merupakan gambaran
lapisan secara garis besar yang menjelaskan tentang pembagian zona tersebut.
Tabel 2. 1 Tabel komposisi kimia tiap zona[9]
Nama Formula Ni%
Limonite Zone:
Goethite
Lithiophorite
Cryptomelane
(Fe,Al,Ni)OOH
Mn,Fe,Co,Ni oxide
0.5~1.5
1~10
Intermediate Zone:
Nontronite
Quartz
(Ca,Na,K)0.5(Fe3+,Ni,Mg,Al)8O20(OH)4
SiO2
0~5
0
Saprolite Zone:
Nickeliferrous Serpentine
Garnierite
(Mg,Fe,Ni)3Si2O5(OH)4
(Ni,Mg)3Si4O10(OH)2
1~10
10~24
Periodite bedrock:
Olivine
Orthopyroxene
Serpentine
(Mg,Fe,Ni)2SiO4
(Mg,Fe)SiO3
Mg3Si2O5(OH)4
0.25
0.05
0.25
Batubara merupakan salah satu hasil tambang Indonesia yang dijadikan barang
tambang saat ini. Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat yang terdapat di
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
alam dengan komposisi yang cukup kompleks. Bahan organik utama yaitu tumbuhan
yang dapat ditengarai berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora,
pollen, damar dan lain-lain.
Gambar 2. 1 Lapisan Pembagian Zona Saprolit[5]
Batubara dikelompokkan berdasarkan kualitas dan bentuk fisiknya adalah[11]:
a) Antrasit
• Warna hitam sangat mengkilap, kompak
• Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon sangat tinggi
• Kandungan air, abu dan sulfur sangat sedikit
b) Bitumen/subbitumin
• Warna hitam mengkilat, kurang kompak
• Nilai kalor tinggi, kandungan karbon relatif tinggi
• Kandungan air, abu dan sulfur sedikit
c) Lignit
• Warna hitam dan sifatnya rapuh
• Nilai kalor rendah dan kandungan karbon sedikit
• Kandungan air tinggi
• Kandungan abu dan sulfur tinggi
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Batubara adalah bahan bakar padat yang banyak dikonsumsi di dunia saat ini
sehingga membuat batubara merupakan material yang sangat penting saat ini.
Konsumsi dunia saat ini mencapai 4x109 ton/tahun. Indonesia merupakan salah satu
negara penghasil batubara yang sangat potensial. Potensi batubara Indonesia mencapai
61.366 miliar ton yang tersebar di 19 provinsi termasuk Sumatera Selatan. Batubara
Indonesia memiliki terletak pada kadar bituminous sampai sub-bituminous. Di
indonesia, kadar panas dari batubara as-received memiliki kadar panas sebesar 5300
kcal/kg (gar).
Batubara yang digunakan pada penelitian ini memiliki komposisi kimia seperti
pada Tabel 2.2
Tabel 2. 2 Tabel komposisi batubara [13]
Parameter As Received As Dried Dried Basis
Total Moisture (%) 7.36 - -
Inherent Moisture (%) - 7.48 -
Ash Content (%) 14.15 14.13 15.27
Volatile Matte (%) 28.43 28.39 30.69
Fixed Carbon (%) 50.06 50 54.04
Total Sulfur (%) 0.3 0.3 0.32
Gross Calorific Value (Kcal/kg) 5292 5252 56.77
Pengolahan bijih nikel disesuaikan dengan tipe deposit dan produk yang
diharapkan dari proses pengolahannya tersebut. Nikel bisa didapatkan dengan dua
cara, yaitu pirometalurgi atau hidrometalurgi seperti yang ada pada Gambar 2.2.
Gambar 2. 2 Alur Proses Pengolahan Nikel[5] Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Proses pirometalurgi adalah proses yang bisa digunakan untuk mendapatkan
nikel dari saprolit. Pada proses pirometalurgi secara konvensional, deposit yang ingin
diekstrak akan dibakar atau dikeringkan pada suhu tertentu, lalu dikalsinasi pada
rotary kiln dan akan dilebur dalam electric arc furnace. Matte akan didapatkan jika
ditambahkan sulfur didalam prosesnya. Matte ini yang akan digunakan pada
pengaplikasiaannya. Proses pirometalurgi akan membutuhkan bahan bakar untuk
peleburan deposit tersebut, itu bisa didapat dari batubara, bahan organik yang
mengandung karbon yang tinggi, seperti arang atau tenaga listrik. Sekitar 40% dari
deposit bijih laterit ketika di roasting akan membentuk hydrous nickel-magnesium
silicates[4].
Ada beberapa proses yang telah diterapkan pada dunia industri pengolahan
nikel selama ini, yaitu[9]:
1. Matte Smelting Process
2. Reduction Roast-Ammonia Leach Process
3. Electric Furnace Smelting to Ferronickel
4. Pressure Leaching of Oxide Ores with Sulphuric Acid
5. Reduction Roast and Electric Furnace Smelt
Teknik pirometalurgi sangat cocok untuk mengolah saprolit dimana hasil
garniete akan tinggi dan besi akan menurun. Kekurangan utama dari metode ini adalah
membutuhkan energi yang substansial. Sehingga pada prosesnya, ada fase yang
disebut dengan pre-reduksi sebelum menuju furnace untuk mengurangi beban pada
furnace[14].
Proses reduksi ini akan menghasilkan paduan alloy dan wustite,yang terdiri
dari nikel dan kobalt. Proses reaksi reduksi ini, reaksi yang biasa terdapat adalah[15]:
C + CO2 2CO (II. 1)
NiO + C Ni + CO (II. 2)
NiO + CO Ni + CO2 (II. 3)
Salah satu fungsi karbometrik yang diperhitungkan pada proses karbotermik
adalah diagram Ellingham. Diagram Ellingham adalah diagram yang menunjukkan
proses pembentukan oksida dengan plot energi Gibbs, energi yang menunjukkan
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
besaran gaya yang menghasilkan reaksi dengan spontan tanpa energi dari luar, dan
temperatur. Pada diagram Ellingham seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3, ada 3
jenis kemiringan dari garis yang ada, yakni kemiringan positif, nol dan kemiringan
dengan gradient negatif. Kita bisa melihat dari diagram Ellingham yang tercantum,
garis CO2 hampir mendekati kemiringan nol. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
suhu pada CO2 tidak akan berefek terlalu besar terhadap kestabilannya[16].
Perpotongan antara garis reaksi karbon (C) dengan garis reaksi logam akan
menunjukkan temperatur minimal yang dibutuhkan untuk bisa mereduksi logam
tersebut menjadi oksidanya[4].
Diagram yang dipertimbangkan untuk reaksi karbotermik ini adalah reaksi
Boudard. Gaussner-Bouduard membuat sebuah diagram yang menggambarkan
kesetimbangan antara besi, hematit, magnetie, wustit, karbon padat, karbon monoksida
dan karbon dioksida. Diagram ini merupakan dasar untuk reduksi langsung dengan
karbon[17].
Diagram Bouduard, yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, dipergunakan sebagai
alat untuk memperkirakan pembentukan senyawa-senyawa saat dilakukannya proses
karbotermik. Dalam hal ini, temperatur reduksi yang dilakukan pada 1000 Celsius dan
kadar karbon yang digunakan adalah 50%, 66,67%, 75% dan 80%.
Gambar 2. 3 Diagram Ellingham[16]
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Gambar 2. 4 Diagram Boudard[17]
XRD adalah suatu metode karakterisasi dengan memanfaatkan prinsip kerja
X-Ray. Proses analisis menggunakan X-ray diffraction (XRD) merupakan salah satu
metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga
sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material
dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran
partikel. Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik yang memiliki energi tinggi
sekitar 200 eV sampai 1 MeV. Sinar X dihasilkan oleh interaksi antara berkas elektron
eksternal dengan elektron pada kulit atom. Spektrum sinar X memilki panjang
gelombang 10-10 s/d 5-10 nm, berfrekuensi 1017-1020 Hz dan memiliki energi 103-
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
106 eV. Panjang gelombang sinar X memiliki orde yang sama dengan jarak antar atom
sehingga dapat digunakan sebagai sumber difraksi kristal. SinarX dihasilkan dari
tumbukan elektron berkecepatan tinggi dengan logam sasaran. Olehk arena itu, suatu
tabung sinar X harus mempunyai suatu sumber elektron, voltase tinggi, dan logam
sasaran. Selanjutnya elektron elektron yang ditumbukan ini mengalami pengurangan
kecepatan dengan cepat dan energinya diubah menjadi foton[18].
X-Ray Flourescence (XRF) adalah teknik analisis unsur yang membentuk
suatu material dengan dasar interaksi sinar-X dengan material analit. Teknik ini
banyak digunakan dalam analisa batuan karena membutuhkan jumlah sampel yang
relatif kecil ( sekitar 1 gram). Teknik ini dapat digunakan untuk mengukur unsur-
unsur yang terutama banyak terdapat dalam batuan atau mineral[1].
METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 3.1 adalah alur penelitian yang dilakukan:
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Alat yang digunakan adalah furnace, timbangan, ballmill, penggerus, plastik
klip, dan alat uji XRD. Bahan yang diperlukan adalah saprolit dan batubara.
Prosedur sampel yang dilakukan Sampel pada harus bersih dari segala material
lain yang bukan merupakan bagian dari saprolit, maka sampel harus dibersihkan
terlebih dahulu dan dipastikan kering. Sampel dan reduktor harus memiliki kehalusan
yang sama, maka di crushing terlebih dahulu sebelum selanjutnya dilakukan proses
grinding. Menghitung perbandingan massa saprolit dan batubara 1:1, 1:2, 1:3 dan 1:4
dengan total berat per sampel adalah 100gr. Di crucible, saprolit dan batubara
diletakkan seperti sandwich, dimana saprolit terletak ditengah-tengah antara batubara.
Berat batubara yang dibagian atas sama dengan berat batubara dibagian bawah.
Sampel yang telah siap dimasukkan kedalam furnace dengan suhu 1000 C selama 1
jam. Perlu dicatat bahwa pemasukan sampel kedalam furnace dilakukan ketika furnace
telah berada pada suhu 1000 C.Sampel yang diambil untuk pengujian adalah sampel
yang terletak ditengah, tempat saprolit awalnya berada. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi kemungkinan bercampurnya saprolit yang telah direduksi dengan
batubara. Sampel awal dan sampel setelah direduksi selanjutnya dilakukan pengujian
XRD dan XRF untuk dilihat senyawa-senyawa penyusunnya dan kadar setiap senyawa
tersebut. Ini adalah fase terakhir untuk melihat hasil pengujian yang telah dilakukan
dan dilakukan perbandingan dengan pengujian yang terdahulu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data perbandingan hasil XRD yang didapat untuk masing-masing sampel
meunjukkan adanya perubahan pada setiap perlakuannya. Yang kita cari dari proses reduksi
ini adalah perubahan bijih saprolite menjadi FeNi.
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Grafik 4. 1 Hasil uji XRD Untuk Bijih
Dari Grafik 4.1, dapat dilihat hasil uji XRD dari raw material saprolite memiliki
beberapa unsur seperti SiO2, Lizardite ((Mg, Al)3(Si,Al)2O5(OH)4), Thallium Nickel Iron
Fluoride (TiNiFeF6) dan beberapa senyawa lainnya. Persentase terbesar dari senyawa tersebut
adalah SiO2 hal ini bisa dilihat dari puncak tertinggi dari senyawa tersebut.
Grafik 4. 2 Hasil Uji XRD Untuk Sampel 1:1
Pada perlakuan sampel dengan menggunakan perbandingan berat saprolit dan batu
bara 1:1 bisa dilihat dari Grafik 4.2, didapatkan hasil bahwa material mengandung silika
(SiO2), Nickel diiron(III) oxide (NiFe2O4) dan Nickel Sulfide (NiS). Disini terlihat bahwa
Lizardite ((Mg, Al)3(Si,Al)2O5(OH)4) yang awalnya ada di sampel awal sudah tereduksi dan
tidak didapatkan lagi pada sampel ini. 3 senyawa yang paling dominan adalah SiO2, NiFe2O4,
dan NiS.
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
FeNi yang didapat dalam sampel 1:1 adalah dalam bentuk Nikel diiron(III) oksida
(NiFe2O4). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan dari dalam bentuk raw NiFe dalam
bentuk Thallium Nickel Iron Fluoride (TiNiFeF6) dan berhasil direduksi dalam bentuk oksida.
Grafik 4. 3 Hasil XRD Untuk Sampel 1:2
Pada Grafik 4.3 merupakan hasil dari uji XRD terhadap sampel 1:2, hasil
menunjukkan bahwa material mengandung silika (SiO2), Nickel diiron(III) oxide (NiFe2O4)
dan Nickel Sulfide (NiS).
Dalam sampel 1:2 bentuk oksida yang dicari juga didapatkan dalam bentuk Nikel
diiron(III) oksida (NiFe2O4).
Dari pengujian XRD untuk sampel 1:3 di Grafik 4.4, hasil menunjukkan bahwa
material mengandung dengan 3 terbesar adalah silika (SiO2), Magnetite (Fe3O4) dan Nickel
Sulfide (NiS).
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Grafik 4. 4 Hasil XRD pada sampel 1:3
Pada pengujian XRD untuk sampel 1:4 bisa dilihat pada Grafik 4.5, hasil
menunjukkan bahwa material mengandung silika (SiO2), Nikel diiron(III) oxide (NiFe2O4)
dan Nickel Sulfide (NiS) dan ini sesuai dengan perkiraan peneliti terhadap adanya unsur Nikel
diiron(III) oksida (NiFe2O4) sebagai hasil roasting dari bijih saprolite.
Jadi dari pengujian XRD, tiga senyawa yang terdapat dengan peak tertinggi adalah didapat
pada Tabel 4.1 berikut ini.
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Grafik 4. 5 Hasil XRD pada sampel 1:4
Dari Tabel 4.1, bisa dilihat bahwa saprolit berhasil direduksi menjadi FeNi pada
senyawa oksida pada berbagai perbandingan massa. Hal ini menunjukkan bahwa batu bara
bisa digunakan sebagai salah satu reduktor untuk saprolite untuk menghasilkan FeNi dan
dilanjutkan untuk proses selanjutnya.
Tabel 4. 1 Tabel Mineral yang didapat dari XRD
Raw SiO2 Lizardite ((Mg, Al)3(Si,Al)2O5(OH)4)
Thallium Nickel Iron Fluoride (TiNiFeF6)
Perbandingan 1:1 SiO2 Nickel diiron(III) oxide (NiFe2O4) Nickel Sulfide (NiS) Perbandingan 1:2 SiO2 Nickel diiron(III) oxide (NiFe2O4) Nickel Sulfide (NiS) Perbandingan 1:3 SiO2 Magnetite (Fe3O4) Nickel Sulfide (NiS) Perbandingan 1:4 SiO2 Nickel diiron(III) oxide (NiFe2O4) Nickel Sulfide (NiS)
Dari penelitian Li, 1999[9],Nikel dari saprolit ini merupakan hasil dari hidrasi dari
olivine dan pyroxene. Reaksi thermal ini penting karena berhubungan dengan mineral dan
proses perubahan mineral pada proses perubahan nikel. Pada penelitian ini, pemanasan
dilakukan pada suhu 1000 Celsius selama 1 jam. Pada prosesnya tersebut, terjadi beberapa
proses yang terkait dengan kenaikan suhu ini. Pada 100 Celsius, dari sampel terjadi
penghilangan unsur airnya. Pada 250 Celsius, terjadi disosiasi geothite pada sampel. Pada
jarak 550-650 terjadi penghilangan kristal air, yang sering disebut reaksi dehidrosilasi.
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Selanjutnya terjadi reaksi kristalisasi pada interval suhu 650-820 Celsius. Hal ini juga sama
dengan apa yang didapat pada penelitian ini.
Pada perbandingan massa 1:3 terdapat perbedaan mineral dibandingkan yang lainnya,
yaitu terdapatnya Fe3O4 pada 3 peak tertingginya. Hal ini disebabkan oleh laju kristalisasi
lebih tinggi dibandingkan kekuatan reduksi pada proses roastingnya, sehingga akan membuat
ada Ni yang tidak tereduksi. Fenomena ini sama dengan apa yang ditemukan oleh Li, 1999[9].
Menurut (Bunjaku, Kekkonen, & Holappa, 2013)[36],Reaksi reduksi ini melingkupi 3
titik temperatur yang termasuk kedalam reaksi endotermik menentukan proses reduksi ini,
yaitu:
1. Menghilangkan air pada suhu 100 Celsius
2. Disosiasi goethite pada suhu 250 Celsius
3. Reaksi dehidrosilasi pada suhu 550-650 Celsius
selanjutnya akan dilanjutkan reaksi reaksi eksotermik yang akan menjadi kritalisasi fasa baru
pada suhu 850 Celsius.
Untuk sampel 1:3 karena mendapatkan Fe3O4. Sedangkan dengan dua sampel sebelumnya
didapatkan NiFe2O4. Hal ini mirip dengan yang diteliti oleh (Swamy, Kar, & Mohanty,
2001)[20] dan Bunjaku, 2013[5] yang terjadi karena adanya tingginya kristalinitas goethite
sehingga membuat laju kristalinitas lebih tinggi daripada laju reduksi. Hal ini membuat proses
reduksi ferronikel yang diharapkan tidak terjadi dengan baik.
4.2 Hasil Pengujian Kuantitatif XRD Pengujian Kuantitaif ini didapatkan untuk bisa melihat seberapa besar kadar yang
dikandung oleh sampel untuk bisa dibandingkan dengan sampel setelah direduksi. Pada
pengujian XRD, kita melihat bahwa telah terjadi reduksi untuk Hasil Ni yang didapatkan bisa
dilihat pada Tabel 4.3 dan Grafik 4.11.
Tabel 4. 2 Tabel Perbandingan Hasil Ni yang diperoleh
Ni
Raw
5%
1:1
9%
1:2
10%
1:3
7%
1:4
9%
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Grafik 4. 6 Persentase Ni yang didapat dari uji XRF
Pada penelitian oleh (Arif, 2007) [21], unsur Ni pada Pomalaa berkisar 1.8-2.6 % dan
memenuhi hasil yang ditunjukkan pada hasil XRD ini dan dari hasil uji XRD jga
memperlihatkan adanya reduksi Ni yang terjadi, karena adanya peningkatan kadar jumlah Ni.
Hal ini berlaku untuk semua sampel yang dipakai, yaitu 1:1, 1:2, 1:3 dan 1:4. Hal ini sesuai
dengan reaksi yang terjadi pada diagram Ellingham, hal yang juga ditunjukkan oleh Ulum,
2008[1].
Pada sampel 1:2, terjadi penurunan kadar Ni yang didapat, tapi tidak terlalu signifikan.
Hal ini tidak terlalu berpengaruh signifikan karena perbedaan yang terlalu mencolok. Hal ini
bisa disebabkan karena abu roasting menumpuk, sehingga pada saat terjadi reduksi terjadi
penumpukan abu, sehingga ada lapisan yang menghambat reduksi yang lebih lanjut terjadi.
Hal ini juga terjadi pada penelitian (Pournaderi, Keskinkilic, Gevei, & Topkaya, 2014)[22].
Pada sampel 1:3 terjadi penurunan kadar Ni yang didapat, yaitu hanya 5.415%. Hal ini
bisa terjadi karena pada proses roasting ini ada dua reaksi yang terjadi, yaitu reaksi reduksi
dan kristalisasi mineral. Pada penelitian yang dilakukan oleh Li, 1999[42], kedua reaksi saling
berkompetisi dalam merebut reduktor yang ada. Maka ketika ada satu reaksi yang terjadi,
maka reaksi yang lain akan tidak efektif terjadi. Dan hal inilah yang terjadi pada sampel
perbandingan massa 1:3. Hal ini bisa terjadi karena adanya banyak pengaruh lingkungan pada
sampel, yaitu pada furnace, karena sampel ini dibakar terakhir dan roasting dilakukan tidak
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
Raw 1:01 1:02 1:03 1:04
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
tertutup, sehingga sudah terlalu banyak gas yang ada di furnace tersebut sehingga membuat
sampel lebih mudah terkristalisasi dibandingkan tereduksi.
Pembentukan layer pada batas antara saprolit dan batubara juga memiliki andil untuk
menghambat peoses reduksi yang terjadi. Hal ini bisa menurunkan intersepsi karbon ke
saprolit sehingga akan mengurangi laju reduksi yang ada. Hal ini sama dengan yang
dijelaskan Yang, S, 2015[23].
4.2.2 Hasil Fe yang diperoleh Fe dan Ni merupakan logam yang sulit untuk dipisahkan karena memiliki beberapa
kemiripan sifat. Maka wajar apabila ketika membahas Ni, maka Fe secara tidak langsung akan
ikut berpengaruh dan itu bisa dilihat dari Tabel 4.3.
Tabel 4. 3 Tabel Fe yang diperoleh
Fe
Raw
32%
1:1
45%
1:2
49%
1:3
40%
1:4
44%
Dari Grafik 4.12, bisa dilihat persentase Fe yang didapat dari proses reduksi ini
menunjukkan suatu grafik yang sedikit anomali. Pada bijih didapatkan Fe sebesar 32%, dan
pada sampel 1:1 didapatkan 45% dan meningkat pada sampel 1:2 menjadi 49% dan turun
menjadi 40% pada sampel 1:3 dan naik lagi menjadi 44%. Proses ini terjadi karena pengaruh
laju kristalisasi mineral. Maka Fe yang tereduksi tidak maksimal karena jumlah hal yang
masih bebas dan mudah untuk direduksi berkurang dan akan menyebabkan hasil reduksi yang
diperoleh akan berkurang juga.
Grafik 4. 7 Grafik persentase Fe yang didapat
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Raw 1:01 1:02 1:03 1:04
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
Hal lain yang bisa memepngaruhi persentase Fe ini adalah oleh jumlah O2 dan H2 yang
ada diudara akan bisa berdifusi Hal ini didapat dari kemiripan proses pada penelitian yang
dilakukan oleh Terekhov, Dimitri, 2013[24] (Terekhov & Emanuel, 2013). Furnace yang
digunakan tidak kedap udara, sedangkan di udara terdapat O2 dan H2 yang bisa menjadi
reduktor, sehingga laju reduksi yang didapatkan untuk reaksi ini menjadi tidak terukur dengan
baik lagi.
KESIMPULAN
1. Pada pengujian kualitatif XRD, peak untuk silika (SiO2) merupakan peak yang paling
tinggi dibandingkan yang lain. Pembakaran dari bijih saprolit berhasil menghasilkan
nikel diiron (III) oksida (NiFe2O4). Hal ini menunjukkan bahwa batu bara bisa
digunakan sebagai salah satu reduktor untuk mendapatkan FeNi yang selanjutnya akan
diproses selanjutnya. Dari hasil XRD, proses pemanggangan menggunakan reduktor
batubara bisa digunakan untuk mendapatkan nikel dari bijih saprolit.
2. Dari pengujian kuantitatif XRD, hasil pembakaran memperlihatkan hasil yang
signifikan dari yang awalnya 5% menjadi 9%, 10%, 7% dan 9% . Untuk adanya
anomali pada hasil pengujian pada perbandingan massa 1:3 didapatkan kadar Ni
sebesar 7% dibandingkan sampel 1:1, 1:2 dan 1:4.Hhal ini disebabkan oleh pengaruh
lingkungan karena sampel 1:3 merupakan sampel terakhir yang dibakar. Maka kadar
yang optimal untuk mendapatkan kadar Ni yang baik adalah 1:2.
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
DAFTAR PUSTAKA
1. Ulum, Reza M. "Studi pengaruh penambahan 10, 13, 15 dan 20% reduktor antrasit dan arang batok kelapa terhadap reaksi karbotermik bijih nikel saprolit." 2008.
2. PT. INCO. "Nickel Business in Indonesia." 2009.
3. MacCarthy, J., Nosrati, A., Skinner, W., & Addai-Mensah, J. (2014). Acid leaching and rheological behaviour of a siliceous goethitic nickel laterite ore: Influence of particle size and temperature.
4. Suprayogi. (2012). Studi Pengaruh Penambahan Batubara Pada Proses Roasting Reduction Bijih Nikel Saprolit dan Pelindian (Leaching) Dalam Larutan Asam Sulfat 1 M.
5. Bunjaku, A. (2013). The effect of mineralogy, sulphur, and reduing gases on the reducibility of saprolitic nickel ores.
6. Zhang, P., Guo, Q., Wei, G., Qu, J., & Qi, T. (2015). Precipitation of alpha-Fe2O3 and recovery of Ni and Co from synthetic laterite-leaching solutions.
7. Fan, C., Zhai, X., Fu, Y., & Chang, Y. (2010). Extraction of nickel and cobalt from reduced limonitic laterite using a selective chlorination-water leaching process.
8. Ma, B., Wang, c., Yang, W., Yin, F., & Chen, Y. (2013). Screening and reduction roastinf of limonitic laterite and ammonia-carbonate leaching of nickel-cobalt to produce a high grade iron concentrate.
9. Li, S. (1999). Study Of Nickeliferrous Laterite Reduction.
10. Bayuseno, A., Sulistyo, & Istadi. (2009). Pengaruh Sifat Fisik dan Struktur Mineral Batu Bara Lokal Terhadap Sifat Pembakaran.
11. Alfian, Z. (2015). Proses Pemanfaatan Limbah Karet dengan Menggunakan Batubara.
12. Ewart, D. L., Vaughn, R., & Marston. (n.d.). Review the Indonesian thermal coal industri. Indonesian coal .
13. Drossman, V. (2002). Air Pollution from Energy Use.
14. Lu, J., Lio, S., Shangguan, J., & Du, W. (2013). The effect of sodium sulphate on the hydrogen reduction process of nickel laterite ore.
15. Das, G., & de Lange, J. (2010). Reductive atmospheric acid leaching of West Australian smectitic nickel laterite in the presence of sulphur dioxide and copper (II).
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016
16. Kishimoto, H., Yamaji, K., Brito, M. E., Horita, T., & Yokokawa. (2008). Generalized Ellingham Diagrams For Utilization in Solid Oxide Fuel Cells.
17. Hol, W. (2011). Principles of X-ray Diffraction.
18. Arezki, B. (2011). X-Ray Flourescence: Energy-Dispersive analysis (EDXRF).
19. Sato, Yohta. (1970). Method of Producing Ferronickel or Metallic Nickel
20. Swamy, S. V., Kar, B. B., & Mohanty, J. K. (2001). Physico-chemical characterization and sulphatization roasting of low-grade nickeliferrosu laterites.
21. Arif, A. (2007). Prospek Penggunaan Proses HPAL Untuk Pengolahan Bijih Nikel Laterit Kadar Rendah Indonesia.
22. Pournaderi, S., Keskinkilic, E., Gevei, A., & Topkaya, Y. (2014). Reducibility of nickeliferous limonitic laterite ore from Central Anatolia.
23. Yang, J., Zhang, G., Jahanshasi, S., & Ostrovski, O. (2015). Reduction Of A
Garnieritic Laterite Ore Ore By CO-CO2 Gas Mixture.
24. Terekhov, D., & Emanuel, N. (2013). Direct extraction of nickel and iron from
laterite ores using the carbonyl process.
Analisis pengaruh ..., Al Muntasar, FT UI, 2016