Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM
IN THE NAME OF GOD
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh
Hani Taqiyya
NIM: 107051002739
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu penyataan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Mei 2011
Hani Taqiyya
ABSTRAK
Hani Taqiyya
Analisis Semiotik Terhadap Film In The Name of God
Pasca kejadian Serangan 11 September 2001 lalu, wajah dunia Islam kian
menjadi sorotan. Gencarnya media-media yang mengatakan bahwa otak serangan itu
adalah teroris muslim, membawa khalayak kepada konstruksi identitas agama Islam
sebagai agama yang penuh dengan kekerasan dan radikalisme. Apalagi setelah beberapa
serangan lain yang mengatasnamakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan jihad,
karena dilakukan atas nama Allah SWT dan untuk menegakkan agama Islam. Sehingga,
tidak kata yang lebih populer menyimbolkan kekerasan dan teror atas nama Islam di
atas selain jihad, padahal konsep jihad yang seperti itu tidak sesuai dengan agama Islam
yang rahmatan lil ‟alamin.
Bukan hanya media cetak saja, film sebagai salah satu media massa juga
menggambarkan hal tersebut dengan cara yang berbeda. Beberapa produksi film
Hollywood membuat film yang didalamnya menggambarkan bagaimana muslim
melakukan perbuatan tersebut. Misalnya mereka membunuh dengan menyebut nama
Allah, atau tokoh teroris yang merupakan orang Islam. Oleh karena itu, beberapa sineas
muslim yang khawatir dengan persepsi ini mencoba membuat film yang
menggambarkan Islam yang sebenarnya. Salah satunya adalah film In The Name of
God. In The Name of God adalah film Pakistan dengan isu sensitif yang banyak
mendapat penghargaan di dunia Internasional. Selain bercerita tentang realitas Islam di
Pakistan dan di dunia, film ini juga menyinggung muatan sensitif tentang pernikahan
yang dipakasa, konotasi jihad adalah perang, juga sentimen anti-Amerika. Dan untuk
mengetahui gambaran atau representasi yang memang sengaja dibuat oleh film ini,
maka digunakanlah pendekatan Semiotik, dengan menggunakan model Roland Barthes.
Sehingga, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana makna denotasi, konotasi,
dan mitos yang merepresentasikan konsep jihad Islam dalam film In The Name of God.
Melalui observasi secara teliti dan kolaborasi dengan dokumen-dokumen yang relevan,
akhirnya ditemukan adegan-adegan yang dapat merepresentasikan konsep jihad Islam
dalam film In The Name of God.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi konsep jihad Islam yang
ditampilkan dalam film ini adalah berupa jihad yang dimaknai sebagai peperangan,
jihad dalam menuntut ilmu, dan jihad untuk mempertahankan diri dari ketidakadilan
yang menimpa seseorang. Di sini, Shooaib Mansoor, sutradara film ini, menonjolkan
jihad yang berkonotasi pada peperangan pada potret kultur yang diambil adalah
sekelompok orang Pakistan yang tinggal di dekat perkampungan Thaliban, sehingga
kalaupun pemahaman mereka tentang jihad cukup keras, maka itu adalah hal yang
wajar. Sedangkan representasi jihad yang lain diwakili oleh dua tokoh lain yang hidup
di Amerika dan Inggris, mereka yang dianggap mengagungkan demokrasi, persamaan
hak, dan kebebasan, tidak mengenal dan tidak menyetujui konsep jihad yang keras itu.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah atas Rasulullah SAW, kaum keluarga, para sahabat, dan para
pengikut yang setia mengikuti sunnahnya sampai akhir zaman.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Komunikasi Islam, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Program Strata 1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya sangat
menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga pada
penyelesaian skripsi ini, segala upaya yang saya lakukan tidak akan berhasil dengan
baik. Oleh karena itu, dengan rasa hormat saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Arief Subhan M. Ag
beserta Pembantu Dekan I, Drs. Wahidin Saputra, M.Ag, Pembantu Dekan II,
Drs. H. Mahmud Jalal, MA, dan Pembantu Dekan III, Drs. Study Rizal LK,
MA.
2) Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Drs. Jumroni, MSi.
3) Dosen Pembimbing Penulis. Drs. Suhaimi., MSi.
4) Sekertaris Jurusan KPI. Umi Musyaroffah, MA dan Fathoni S.Kom.I.
5) Bapak/ibu dosen di Jurusan KPI.
6) Ayah dan Ibu, Drs. Abdi Sumaithi, Lc dan Dra. Reti Riseti, M.Si, serta adik-
adik, Khansa, Hanun, Hanana, Yaqzhan, Yuzak, Yumnan, dan Hanina.
7) Keluarga besar Sudrajat dan K.H. Syanwani, sahabat, dan teman-teman di Kelas
KPI B angkatan 2007 serta Kelompok KKN `10 Cigombong.
Jazakumullah khairan jaza, tidak ada sebaik-baik balasan kecuali dari Allah
SWT semata. Kritik, saran, dan masukan sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, Maret 2011
Hani Taqiyya
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian ............................................................ 8
F. Tinjauan Kepustakaan ............................................................. 10
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 11
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Semiotik ........................................................ 13
1. Pengertian Umum Semiotik .............................................. 13
2. Tanda dalam Semiotik ...................................................... 15
3. Representasi dalam Semiotik ............................................. 18
4. Model-Model dalam Semiotik .......................................... 20
5. Model Semiotik Roland Barthes ....................................... 22
B. Tinjauan Umum Film ............................................................... 27
1. Film Sebagai Representasi Realitas .................................. 27
2. Jenis-Jenis Film ................................................................. 28
3. Unsur-Unsur Pembentuk Film .......................................... 30
4. Struktur Film ..................................................................... 31
5. Sinematografi .................................................................... 32
C. Konsep Jihad dalam Islam ....................................................... 36
1. Pengertian dan Terminologi Jihad .................................... 36
2. Bentuk-Bentuk Jihad dalam Islam ................................... 38
D. Definisi Istilah Penelitian ......................................................... 40
BAB III PROFIL FILM IN THE NAME OF GOD
A. Profil Shooaib Mansoor sebagai Sutradara Film In The Name of
God ......................................................................................... 42
B. Sinopsis Cerita ......................................................................... 44
C. Tim Produksi Film In The Name of God ................................. 47
D. Penghargaan-Penghargaan Film In The Name of God ............. 48
BAB IV HASIL ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM IN THE NAME
OF GOD
A. Identifikasi Umum Temuan Data ........................................... 49
B. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos yang Merepresentasikan
Konsep Jihad dalam Islam ...................................................... 52
1. Scene 1 .............................................................................. 52
2. Scene 2 .............................................................................. 56
3. Scene 3 .............................................................................. 59
4. Scene 4 .............................................................................. 61
5. Scene 5 .............................................................................. 64
6. Scene 6 .............................................................................. 67
7. Scene 7 .............................................................................. 69
8. Scene 8 .............................................................................. 72
9. Scene 9 .............................................................................. 74
10. Scene 10 ............................................................................. 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 80
B. Saran ...................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 83
LAMPIRAN ................................................................................................... 86
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Model Semiotika Pierce ……………………………………………21
Gambar 2: Model Semiotika Saussure …………………………………… 22
Gambar 3: Signifikansi Dua Tahap Barthes …………………………………… 24
Gambar 4: Ilustrasi Jarak Kamera Terhadap Obyek …………………………… 32
Gambar 5: Ilustrasi Sudut Kamera ……………………………………………34
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasca penyerangan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada 11 september 2001 yang lalu, wajah Islam di dunia kian menjadi
sorotan. Peristiwa yang juga dikenal dengan Serangan 9/11 ini memberikan identitas
baru pada agama Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan, radikalisme,
maupun terorisme. Karena, kebanyakan media-media Barat, menyatakan bahwa aktor
dibalik kejadian tersebut adalah sekelompok ekstrimis muslim yang dipimpin oleh
Osama bin Laden dalam organisasi Al-Qaeda.
Selang satu bulan setelah kejadian tersebut, terjadi peristiwa Bom Bali di kota
kecamatan Kuta, Bali, Indonesia. Pada tanggal 12 Oktober 2002, peristiwa ini memakan
korban yang kebanyakan wisatawan asing itu, meninggal sebanyak 202 orang, dan
mencederakan 209 yang lain. Tiga orang yang dianggap tersangka oleh polisi, Imam
Samudera, Ali Ghufron, dan Amrozi sudah divonis mati.
Seakan tak berhenti di situ, peristiwa serupa pun bermunculan. Pada tanggal 7
Juli 2005, terjadi peristiwa pengeboman 7/7 di London, Inggris. Ini adalah serangkaian
pengeboman bunuh diri yang terkoordinasi terhadap sistem transportasi publik di kota
London pada jam-jam sibuk. Pengeboman yang terjadi di atas kereta subway dan bis
kota pada itu menewaskan 52 orang. Situs berita Inggris, BBC menuliskan bahwa
sebuah website Islam telah memberikan statemen yang kurang lebih menyatakan bahwa
Al-Qaeda mengklaim berada dibalik serangan tersebut.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang adalah tidak ada kata yang lebih
populer menyimbolkan kekerasan dan teror atas nama Islam di atas selain jihad.
Padahal, berdasarkan sejarah, jihad memiliki makna yang beragam. Ia juga berkonotasi
kehormatan dan pengorbanan bagi orang lain. Jadi, mengidentikkan kata ”jihad” dengan
”terorisme” bukan hanya tidak akurat, melainkan juga tidak produktif. Konsep jihad
memiliki lebih banyak nuansa ketimbang makna tunggal yang selalu diterapkan oleh
media-media barat untuk istilah itu.1
Berita-berita di televisi maupun di surat kabar juga sedikit memberikan andil
dalam memberikan judgement tentang hal tersebut, karena tidak bisa dihindari bahwa
media massa mempunyai fungsinya sendiri untuk mengkonstruksi realitas. Selain dua
media di atas, dan juga media internet yang kian mudah melakukan penetrasi ideologi
kepada masyarakat, film juga menjadi salah satu media yang paling efektif digunakan
karena kepopulerannya.
Film dinyatakan sebagai bentuk dominan dari komunikasi massa visual di
belahan dunia, karena lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film
televisi atau lewat Digital Video Disc (DVD)2. Ini berarti ia dapat menjangkau banyak
segmen sosial sehingga ia memiliki potensi besar untuk mempengaruhi khalayaknya,
karena selain berfungsi sebagai hiburan ia juga perpanjangan dari pemikiran dan
ideologi pembuatnya.
Pada tahun 2007, jumlah produksi film Indonesia adalah 77 judul dan di tahun
2008 meningkat menjadi 87 judul film, sementara Thailand mencapai 353 judul, Korea
1 John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim tentang
Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008),
h. 104 2 Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), hlm 134.
berhasil membuat 400 judul film, Amerika menghasilkan 630 judul film dan India
mempunyai jumlah produksi film terbesar di dunia, yaitu 877 judul film3.
Hollywood adalah contoh industri film Amerika yang dengan sukses mampu
membuat film yang bukan hanya dapat menghibur penontonnya secara afektif tapi juga
dapat mempengaruhi kognisi penontonnya. Salah satunya dengan mengkonstruksi
konsep jihad dan kegiatan terorisme yang marak belakangan ini.
Sejak kejadian 9/11 tersebut, banyak bermunculan film-film yang mengangkat
tema ini. The Kingdom, United 93, atau World Trade Center (karya Oliver Stone), film
dokumenter karya Michael Moore, Fahrenheit 9/11 dan My Name is Khan. Tetapi,
kebanyakan dari film-film produksi Hollywood tersebut mendeskreditkan agama Islam.
Mengidentikkan Islam dengan terorisme, seperti film The Kingdom yang menceritakan
usaha FBI mengungkap serangan pengeboman yang menewaskan ratusan warga
Amerka di sebuah komplek pemukiman di Arab Saudi oleh teroris muslim. United 93
juga tidak jauh berbeda. Film yang disutradarai Paul Greengas ini sejak awal sudah
secara nyata menyuguhkan penampilan teroris yang berwajah Arab, membaca al-
Qur`an, dan melakukan sholat berjama‟ah. Bahkan disalah satu adegan diperlihatkan
bahwa salah satu teroris itu menusuk leher seorang pramugari sambil membaca
basmalah.
Sineas Indonesia juga tidak ketinggalan, Peristiwa Bom Bali I juga diangkat ke
layar lebar dengan judul Long Road to Heaven, dengan pemain antara lain Surya
Saputra sebagai Hambali dan Alex Komang, serta melibatkan pemeran dari Australia
dan Indonesia. Dian Rousta Febryanti dalam penelitiannya menemukan bahwa
3http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel.php?1=1&a=view&recid=KAR-000072 diakses pada
19 November 2010
kepentingan dan ideologi pembuat film menentukan bagaimana suatu penggambaran
konsep tertentu disajikan dalam film. Dalam hal ini jihad yang ditampilkan dalam film
“Long Road to Heaven” tidak sesuai dengan pengertian jihad yang sebenarnya dalam
Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits. Tidak ada upaya konfirmasi dari pembuatnya
tentang konsep jihad dalam film ini. Representasi tersebut ditunjukkan secara eksplisit
maupun implisit dalam dialog pemain, acting pemain, setting, kostum, dan sebagainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa representasi jihad dalam film ini adalah representasi
yang terkonstruksi.4
Meskipun film bukan faktor utama dari pencitraan buruk tentang Islam itu, tanpa
disadari efeknya kian terasa, islamophobia masih kental terjadi, banyak orang terang-
terangan menunjukkan dirinya memusuhi Islam. Ini adalah realita yang terhampar di
mana masih banyak orang-orang yang menganggap Islam sebagai suatu ancaman,
bukan sebagai agama yang merupakan rahmatan lil ‟alamin, rahmat bagi semesta alam.
Kenyataan ini tentu saja mengusik kita, sebagai umat Islam. Oleh karena itu
beberapa insan perfilman dunia mulai memproduksi film-film yang menghadirkan
perspektif sebenarnya tentang agama Islam. Salah satunya adalah film In The Name of
God atau dalam bahasa urdu disebut, Khuda Kay Liye. Film ini adalah film Pakistan
yang dirilis pada bulan Juli tahun 2007, dan disutradarai oleh Shoaib Mansoor, sutradara
asal Pakistan. Di Indonesia sendiri, film ini baru ditayangkan secara resmi di bioskop-
bioskop lokal, pada bulan November 2010. Meski sebelumnya pernah ditayangkan di
Jiffest (Jakarta International Film Festival) pada tahun 2008.
4 http://digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=132777&lokasi=lokal diakses pada 7
Maret 2011
Film In The Name of God adalah salah satu film Pakistan dengan isu sensitif
yang bisa dirilis di bioskop di negerinya. Film ini juga menunjukkan bahwa terorisme,
ekstrimisme, dan radikalisme berbasis pada kesalahan interpretasi terhadap ajaran
Islam, bukan semata-mata kesalahan agama tersebut. Film ini juga mendapat banyak
penghargaan dunia Internasional, diantaranya Silver Pyramid Award for Best Picture
dari Cairo International Film Festival 2007 di Mesir dan Audience Award untuk
kategori film terbaik di Fukuoka Film Festival 2007, Jepang. Film ini mencoba
memberikan sebuah perspektif bahwa tidak ada satu agama pun yang melegalkan
kekerasan dan radikalisme. Begitu juga dengan agama Islam.
In The Name of God juga merupakan film yang sangat padat (compact) dan
lengkap mengungkapkan sisi-sisi kehidupan keislaman masyarakat Pakistan. Ia
bercerita tentang realitas Islam di Pakistan, yang bermacam-macam, baik yang kita
sebut liberalis, moderat, maupun fundamentalis. Sehingga film berdurasi hampir tiga
jam ini dapat memberikan sebuah pencerahan dalam melihat Islam. Setidaknya film ini
bisa menjadi jawaban bagi islamophobia yang yang digencarkan Barat dan menjadi
rujukan bagi mereka untuk memandang Islam secara lebih baik.
Oleh karena itu menjadi menarik untuk menelusuri tanda-tanda apa yang ada
dalam film ini. Terutama bagaimana tanda-tanda dalam film ini merepresentasikan
Islam yang seperti apa. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu
dikolaborasikan untuk mencapai efek yang diinginkan. Karena film merupakan produk
visual dan audio, maka tanda-tanda ini berupa gambar dan suara. Tanda-tanda tersebut
adalah sebuah gambaran tentang sesuatu.
Untuk mengetahui hal itu semua, kita dapat menelitinya melalui pendekatan
semiotik. Karena tanda tidak pernah benar-benar mengatakan suatu kebenaran secara
keseluruhan5. Ia hanya merupakan representasi, dan bagaimana suatu hal
direpresentasikan, dan medium yang dipilih untuk melakukan itu bisa sangat
berpengaruh pada bagaimana orang menafsirkannya.
Dari sekian banyak model semiotik yang ada, peneliti memilih model semiotik
Roland Barthes (1915-1980), karena menurutnya, semua objek kultural dapat diolah
secara tekstual. Teks yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan linguistik saja,
tetapi semua yang dapat terkodifikasi. Jadi semiotik dapat meneliti berbagai macam teks
seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, drama6.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
yang akan dituangkan dalam skripsi dengan judul, ” ANALISIS SEMIOTIK
TERHADAP FILM IN THE NAME OF GOD . ”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Batasan dalam penelitian ini adalah rangkaian gambar (scene) dalam film In The
Name of God yang berkaitan dengan konsep jihad dalam Islam. Hal ini Berangkat dari
konteks besar film ini yang banyak menggambarkan perbuatan yang dilakukan manusia
atas nama agama atau atas nama Tuhan (In The Name of God), dalam hal ini agama
Islam yang dimaksud.
5Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2010) h.21.
6Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Wacana: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h.123
Untuk memfokuskan penelitian, maka masalah dalam penelitian ini mengacu
pada model semiotik yang digunakan, yaitu semiotik Roland Barthes, yang dikenal
dengan makna denotasi, konotasi dan mitos.
Sehingga rumusan masalahnya menjadi, apa makna denotasi, konotasi, dan
mitos yang merepresentasikan konsep jihad Islam dalam film In The Name of God .
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan penelitian di atas, maka tujuan penelitiannya adalah
untuk mengetahui apa makna denotasi, konotasi, dan mitos yang merepresentasikan
konsep jihad Islam dalam film In The Name of God .
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitiannya adalah:
1) Segi Akademis,
Diharapakan hasil penelitian ini dapat memperkaya literatur-literatur tentang
kajian semiotik, khususnya semiotik dalam film yang menggunakan pisau
analisis model Roland Barthes.
2) Segi Praktis,
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi praktisi perfilman
terutama untuk memberikan rujukan bagaimana membuat film yang sarat
muatan makna dan memberi pencerahan. Sedangkan untuk praktisi komunikasi,
diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran ideal tentang bagaimana
membaca makna yang terkandung dalam suatu produk media massa, melalui
pendekatan semiotik.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode
Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif, dengan metode deskriptif. Peneliti
berusaha menggambarkan fakta-fakta tentang bagaimana adegan-adegan dalam film In
The Name of God merepresentasikan konsep jihad Islam lewat tanda-tanda yang
disebut oleh Barthes sebagai konotasi, denotasi, dan mitos.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kediaman peneliti, yaitu di Srengseng, Jakarta Barat.
Waktu penelitiannya dimulai dari Januari hingga Maret 2011.
3. Objek Penelitian dan Unit Analisis
Objek penelitian ini adalah film. Sedangkan unit analisisnya adalah potongan
gambar atau visual yang terdapat dalam film In The Name of God yang berkaitan
dengan rumusan masalah penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui observasi, yaitu mengamati
langsung data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adapun instrumen
penelitiannya adalah:
1) Data Primer, berupa dokumen elektronik, 1 buah VCD film In The Name of God
dengan subtitle bahasa Inggris.
2) Data Sekunder, berupa dokumen tertulis, yaitu literatur-literatur seperti resensi
film In The Name of God baik dari surat kabar, wawancara-wawancara di
majalah, ataupun internet, serta buku-buku yang relevan dengan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan mengklasifikasikan adegan-
adegan dalam film In The Name of God yang sesuai dengan rumusan masalah
penelitian. Kemudian, data dianalisis dengan model semiotik Roland Barthes yaitu
dengan cara mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam setiap masing-masing
adegan. Indikator masing-masingnya adalah (seperti yang tertulis dalam Sobur,
hlm.127):
1) Denotasi :
Makna paling nyata dari tanda, apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah
objek.
2) Konotasi:
Bagaimana menggambarkan objek, ia bermakna subjektif juga intersubjektif,
sehingga kehadirannya tidak disadari.
3) Mitos:
Merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Dalam
dunia modern, mitos dikenal dengan bentuk feminisme, maskulinitas, ilmu
pengetahuan, dan kesuksesan.
F. Tinjauan Kepustakaan
Setelah peneliti melihat pada Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta
Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Peneliti
mendapati ada 3 judul skripsi yang ada kaitannya dengan judul yang dibahas yaitu:
skripsi pertama yang dilihat peneliti adalah karya Istianah, mahasiswa Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Konsentrasi Jurnalistik, ditulis tahun 2009 yang berjudul Analisis Semiotik Film Turtles
Can Fly. Skripsi ini memiliki kesamaan objek penelitian yaitu film internasional. Ia juga
menggunakan model semiotik yang sama, yaitu model Roland Barthes. Meskipun
begitu, makna yang ingin diungkap dalam skripsi tersebut adalah tentang konsep perang
dalam film Turtles Can Fly.
Skripsi yang kedua adalah hasil karya Rizki Alamsyah, mahasiswa Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Konsentrasi Jurnalistik, ditulis tahun 2010 dengan judul Analisis Semiotik Film A
Mighty Heart. Ia juga menggunakan objek penelitian dan model yang sama, film dan
semiotik Roland Barthes, tetapi yang lebih diungkapkan adalah konsep jurnalismenya.
Skripsi terakhir yang dilihat peneliti adalah yang ditulis oleh Listya Adi
Andarini yang berjudul Representasi Budaya Dominan Amerika Serikat dalam
Menguasai Arab Saudi (Studi Analisis Semiotik Terhadap Film The Kingdom), Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2008. Skripsi ini memiliki
kesamaan objek penelitian, yaitu film internasional. Tetapi model semiotik yang
digunakan adalah Model Saussere yang mengungkap makna yang diperlihatkan dalam
naskah, pergerakan, music, dan setting dalam film.
Dari ketiga skripsi diatas, ada perbedaan dengan skripsi yang akan ditulis oleh
peneliti. Karena dalam Film In The Name of God ada perbedaan makna yang ingin
diungkap dalam masalah penelitian, karena aspek yang lebih ingin dikaji adalah
masalah konsep jihad dalam Islam yang direpresentasikan dalam film. Berbeda juga
dengan skripsi terakhir yang peneliti lihat, yang menggunakan model Saussure, karena
peneliti menggunakan semiotik Roland Barthes.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi dalam penelitian ini ditulis dengan menggunakan panduan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi), karya Hamid Nasuhi, dkk., yang
diterbitkan oleh CeQDA, 2007. Oleh karena itu sistematika penulisannya adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan
Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Terdiri dari Tinjauan Umum Semiotik: Pengertian Umum Semiotik,
Tanda Dalam Semiotik, Representasi dalam Semiotik, Model-Model
Dalam Semiotik, Model Semiotik Roland Barthes, B.Tinjauan Umum
Film: Film sebagai Representasi Realitas, Jenis-Jenis Film, Struktur
Film, Sinematografi, dan, C. Konsep Jihad Dalam Islam: Pengertian dan
Terminologi Jihad, Bentuk-Bentuk Jihad dalam Islam.
BAB III PROFIL FILM IN THE NAME OF GOD
Terdiri dari A. Profil Shooaib Mansoor sebagai Sutradara Film In The
Name of God, B. Sinopsis Cerita, C. Tim Produksi Film In The Name of
God, dan D. Penghargaan Film In The Name of God.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan Representasi Konsep Jihad Islam Dalam Film In
The Name of God : A. Identifikasi Umum Temuan Data, B. Makna
Konotasi, Denotasi, dan Mitos yang Merepresentasikan Konsep Jihad
Islam dalam Film In The Name of God.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan hasil penelitian, dan saran dari
peneliti atas permasalahan yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Umum Semiotik
1. Pengertian Umum Semiotik
Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-
337 SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut
Hippocrates, merupakan semeion, bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda
(sign) fisik.7
Dari dua istilah Yunani tersebut, maka semiotik secara umum didefinisikan
dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang
digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual
dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan
bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut
membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan
secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia8.
Sementara Preminger (2001) menyebut semiotik sebagai ilmu yang
mengganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda.9
Saussure mendifinisikan semiologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat, dan, dengan demikian menjadi bagian dari
7 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h.7.
8 http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotik diakses pada 17 Januari 2011
9 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta:Kencana, 2009), h.263.
disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya
tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.10
Lechte (2001:191), menyebut semiotik sebagai teori tentang tanda dan
penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua
bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‟tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada
sign system (code), sistem kode (Segers, 2004:4).
Charles Sanders Pierce (dalam Littlejohn, 1996:64) mendefinisikan semiotik
sebagai a relationship amog a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di
antara tanda, objek, dan makna).
Sementara Charles Morris (dalam Segers, 2005:5) menyebut semiotik sebagai
suatu proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa
organisme.11
Definisi yang cerdas tapi juga penuh makna diusulkan oleh penulis dan pakar
semiotik kontemporer, Umberto Eco. Eco (1976:12) mendefinisikannya sebagai
‟disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena
jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai untuk
jujur; dan pada kenyatannya tidak bisa dipakai untuk apapun juga‟. Walau tampaknya
bermain-main, ini adalah definisi yang cukup mendalam, karena menggarisbawahi fakta
bahwa kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun
yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara penuh dusta atau yang
menyesatkan. Kemampuan untuk berpura-pura ini memungkinkan kita untuk
10
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.12. 11
Ibid, h.16.
memanggil rujukan yang tidak ada, atau merujuk ke hal-hal apa pun tanpa dukungan
empiris yang mengatakan bahwa yang kita katakan itu adalah benar. 12
Oleh karena itu, semiotik atau semiologi adalah studi tentang tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja. Tanda pada dasarnya akan mengisyaratkan suatu makna yang
dapat dipahami oleh manusia yang menggunakannya. Bagaimana manusia menangkap
sebuah makna tergantung pada bagaimana manusia mengasosiasikan objek atau ide
dengan tanda. Hal ini selaras dengan pendapat Charles Sander Pierce (dalam Sobur,
2003:15) bahwa semiotik sebagai “a relationship a many sign, an object, and a
meaning…” suatu hubungan diantara tanda, objek, dan makna.13
2. Tanda dalam Semiotik
Dari definisi-definisi para ahli sebelumnya, kita dapat melihat bahwa para ahli
menempatkan sistem tanda dan makna sebagai gagasan pokok dalam semiotik.
Semiotik, menurut John Fiske mempunyai tiga bidang studi utama:
1) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda,
cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-
tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.
2) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau
budaya atau untuk mengeksploitasi selama komunikasi yang tersedia untuk
mentransmisikannya.
12
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 33 13
Tommy Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam
Komunikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2011), h. 95
3) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya begantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra kita.
Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada pengamatan
oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.
Pierce (dalam Fiske 1990: 62) melihat tanda, acuan, dan penggunaannya sebagai
tiga titik dalam segitiga. Sedangkan Saussure mengatakan bahwa tanda terdiri atas
bentuk fisik plus konsep mental yang terkait. Konsep ini merupakan pemahaman atas
realitas eksternal. 14
Pierce juga menyebut tanda sebagai representamen; bentuk fisik, konsep benda,
dan gagasan diacunya sebagai objek. Makna yang diperoleh dari sebuah tanda
diistilahkan sebagai interpretan.15
Hal yang dirujuk oleh tanda, secara logis dikenal sebagai referen (objek atau
petanda). Ada dua jenis referen: (1) referen konkrit, adalah referen yang dapat
ditunjukkan hadir di dunia nyata, misalnya cat (kucing) dapat diindikasikan dengan
menunjuk seekor kucing, dan (2) referen abstrak, yaitu referen yang bersifat imajiner
dan tidak dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk pada suatu benda, salah satu
caranya adalah dengan membongkar akar-akar budaya dari setiap komponen tandanya.
16
Pierce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menujukkan hubugan
yang berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya.
14
Ibid., h. 96 15
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, h. 37 16
Ibid. h. 8
1) Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang
ditandainya, misalnya foto atau peta.
2) Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia merupakan tanda
yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan objeknya. Misalnya, asap
adalah indeks api dan bersin adalah indeks flu.
3) Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan
konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya adalah simbol. Palang
merah adalah simbol dan angka adalah simbol.
Ikonitas melimpah ruah dalam semua wilayah representasi manusia. Foto, potret,
peta, angka Romawi seperti I, II, dan III adalah wujud ikonis yang dirancang atau
diciptakan agar mirip dengan sumber acuannya secara visual. Parfum, adalah ikon
penciuman yang meniru wangi alamiah, zat tambahan makanan kimiawi adalah ikon
pengecap yang mensimulasikan rasa makanan alamiah. Kini, ikon juga memiliki fungsi
sosial dalam cakupan yang sangat luas. Misalnya ditemukan pada poster, pintu kamar
mandi sebagai indikasi “pria” dan “wanita, dan sebagainya. Ikon membuktikan bahwa
persepsi manusia sangatlah tinggi terhadap pola-pola berulang dalam warna, bentuk,
dimensi, gerakan, bunyi, rasa, dan seterusnya.17
Sementara indeks membuktikan bahwa manusia juga memperhatikan pola
berulang dalam hubungan serta sebab-akibat yang tidak pasti dalam waktu dan ruang.
Dalam hal ini, Pierce mengacu pada objek tanda sebagai “agen ulang”, karena objek ini
berupa reaksi terhadap sebuah agen yang memungkinkan kita untuk menyimpulkan
keberadaan-nya, mapun hubungannya dengan objek-objek lain.
17
Ibid., h. 39-40.
Ada tiga jenis dasar indeks: (1) Indeks ruang, yang mengacu pada lokasi spasial
sebuah benda, makhluk, dan peristiwa dalam hubungannya dengan pengguna tanda.
Tanda yang dibuat dengan tangan seperti jari yang menunjuk, figure seperti anak panah,
merupakan contohnya. (2) Indeks Temporal, indeks ini menghubungkan benda-benda
dari segi waktu, kata keterangan seperti sebelum, sesudah, sekarang, tanggal di
kalender, merupakan contohnya. (3) Indeks Persona. Indeks ini saling menghubungkan
pihak-pihak yang ambil bagian dalam sebuah situasi, kata ganti seperti aku, kau, ia,
adalah contohnya.
Sementara simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional
yang dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi historis.
Bentuk salib dapat mewakili konsep agama Kristen, putih dapat mewakili kebersihan,
kesucian, kepolosan, dan gelap mewakili kotor, ternoda, dan sebagainya. 18
3. Representasi dalam Semiotik
Dalam kajian semiotik modern, istilah representasi menjadi suatu hal yang
sangat penting. Karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi,
dan lain-lain) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi
sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.19
Dengan kata lain, representasi juga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah
referen mendapatkan bentuk tertentu dengan tanda-tanda.20
Hal ini bisa dicirikan dengan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam
rangkan mengarahkan perhatian ke sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material
18
Ibid., h. 43-44 19
Ibid.,, h. 24. 20
Danesi, Semiotika Media, h. 280.
maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya
menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk,
konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan
pembuatannya dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang memasuki
gambaran tersebut.21
Tanda tidak pernah benar-benar mengatakan kebenaran secara keseluruhan.
Tanda me-mediasi kenyataan kepada kita, karena tanda secara niscaya membentuk
berbagai pilihan yang sesuai dari lingkungan hal-hal yang diketahui yang tak terhingga
kemungkinannya. Oleh karena itu, representasi yang diberikan pada sesuatu merupakan
proses mediasi.22
Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep
abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa
representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik.
Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga
beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, ini terkait dengan bagaimana
konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam
percakapan sehari-hari.23
4. Model-Model dalam Semiotik
Analisis dalam semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal
yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Model-model dalam
21
Ibid., h. 3-4. 22
Ibid., h. 20-21 23
John Hartley, Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta,
Jalasutra, 2009), h.265-266.
semiotik mengacu pada proses komunikasi yang disebut Fiske (1990) sebagai
pembangkit makna (the generation of meaning), bukan model-model sebelumnya yang
cenderung linear.
Fiske menyebutnya sebagai „model-model struktural‟, di mana setiap anak panah
menunjukkan relasi di antara unsur-unsur penciptaan makna. Model sruktural ini tidak
mengasumsikan adanya serangkaian tahap atau langkah yang dilalui pesan, melainkan
lebih memusatkan perhatian pada analisis serangkaian relasi terstruktur yang
memungkinkan sebuah pesan menandai sesuatu. 24
Dari terminologi di atas, peneliti dapat mengasosiasikan bahwa untuk
menemukan makna tersebut, dibutuhkan sebuah model. Ada dua model makna yang
sangat berpengaruh. Pertama, model dari filsuf dan ahli logika, CS Pierce, Ogden, dan
Richard. Kedua, model dari ahli linguistik Ferdinand de Saussere. Namun, dalam
penelitian ini kedua model tersebut tidak akan dibahas begitu mendalam, karena peneliti
akan menggunakan model semiotik Roland Barthes, yang merupakan penerus pemikiran
Saussure.
Seperti telah disebutkan sebelumnya Pierce telah mengungkapkan tiga elemen
semiotik yang utama, yaitu tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda (interpretant). Tiga
elemen ini disebut Pierce sebagai teori segitiga makna, atau triangle of meaning (Fiske,
1990 & Littlejohm, 1998). Maka, persoalannya adalah bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.25
Hubungan ketiga elemen ini digambarkan Pierce sebagai berikut:
24
Tommy Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam
Komunikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2011), h.94. 25
Rachmat Kriyantono, S.Sos., M.Si., Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h.265.
Gambar 1
Model Semiotik Pierce
Gambar di atas menunjukkan panah dua arah yang menekankan bahwa masing-
masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda,
yang salah satu bentuknya adalah kata, mengacu kepada sesuatu di luar dirinya sendiri –
objek, dan ini dipahami oleh seseorang serta ini memiliki efek di benak penggunanya.
Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah
makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. 26
Sementara itu Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia
dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut dengan signifier (penanda) dan
signified (petanda). Jadi, ide sentral dalam semiotik adalah konsepsi khusus (particular)
dari struktur sebuah tanda (sign) yang didefinisikan sebagai ikatan antara yang
menandai (signifier) dan yang ditandai (signified).27
Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek
material), yakni apa yang dikatakan, ditulis, dan dibaca. Sedangkan signified adalah
gambaran mental dari bahasa. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari atas
signifier dan signified sebagai berikut:
26
Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam Komunikasi, h.97. 27
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi Kedua (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 958
Sign
Object
Interpretant
Gambar 2
Model Semiotik Saussure, Sumber: McQuail, 2000: 31228
Hubungan antara penanda dan petanda tersebut adalah produk kultural.
Hubungan diantara keduanya bersifat arbiter dan hanya berdasarkan konvensi,
kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut.
Berdasarkan model pemaknaan ini, petanda-petanda merupakan konsep mental
yang kita gunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga kita dapat
memahami realitas tersebut. Petanda dibuat oleh manusia dan ditentukan oleh kultur
atau subkultur yang dimiliki manusia tersebut. 29
5. Model Semiotik Roland Barthes
Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar kaidah
tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan
bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna
tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative).30
28
Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, h.265. 29
Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam Komunikasi,
h.101. 30
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.126-127.
Sign
Composed of
Signifier Signification
Signified
Referent
(External Reality)
Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotik pada dua
makna tersebut adalah Roland Barthes. Ia adalah pakar semiotik Prancis yang pada
tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop
menggunakan semiotik sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut mengatakan bahwa
struktur makna yang terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos-
mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama
dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual
keagamaan.
Dalam terminologi Barthes, jenis budaya populer apapun dapat diurai kodenya
dengan membaca tanda-tanda di dalam teks. Tanda-tanda tersebut adalah hak otonom
pembacanya atau penonton. Saat sebuah karya selesai dibuat, makna yang dikandung
karya itu bukan lagi miliknya, melainkan milik pembaca atau penontonnya untuk
menginterpretasikannya begitu rupa.31
Representasi menurut Barthes menunjukkan bahwa pembentukan makna
tersebut mencakup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna yang
tertanam dalam-dalam di budaya Barat misalnya, dan menyelewengkannya ke tujuan-
tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur.32
Sehingga, dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna
denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah
berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda
lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out,
rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga
31
Ade Irwansyah, Seandainya Saya Kritikus Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2009), h.42. 32
Danesi, Semiotika Media, h. 28.
menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. 33
Barthes menyebut
fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu–
sebagai penciptaan mitos.
Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order of Signification”
(Signifikansi Dua Tahap).
Gambar 3
Signifikansi Dua Tahap Barthes
Melalui gambar di atas, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikansi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda
33
Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, (Manchester and New York: Manchester
University Press, 1997) h.16.
First Order Second Order
signs culture reality
Denotation
Conotation
Myth
Signifier
-------------
Signified
Form
Content
terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Konotasi adalah
istilah yang digunakan Barthes untuk signifikansi tahap kedua. Hal ini menggambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca
serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikansi tahap kedua yang berkaitan
dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. 34
Makna Denotasi:
Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan
sebagainya.35
Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi
merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem
signifikansi tahap pertama.
Makna Konotasi:
Makna yang memiliki „sejarah budaya di belakangnya‟ yaitu bahwa ia hanya
bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode
operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti pusis, novel,
komposisi musik, dan karya-karya seni.36
Mitos:
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebut dengan „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu37
,
34
Sobur, Analisis Teks Media, h.127-128 35
Danesi, Semiotika Media., h.274. 36
Ibid., h.43. 37
Sobur, Semiotik Komunikasi, h.71.
jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada
kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi.38
.
Mitos, oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia juga menegaskan bahwa
mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini
memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek,
konsep, atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Segala
sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.39
Dalam mitos, sekali
lagi kita mendapati pola tiga dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda,
dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes yang dikutip dari buku Semiotika
Komunikasi, karya Alex Sobur:
3) Signifier
(penanda)
4) Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5.CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda
(1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material: hanya
jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan
keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar
38
Roland Barthes, Mitologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h.208. 39
Ibid., h. 151-152.
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya.40
B. Tinjauan Umum Film
1. Film Sebagai Representasi Realitas
Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film
lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil
pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk
pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia
membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang
bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara memberikan pertunjukkan film
sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris. 41
Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat
komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan,
lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi: dengan gambar bergerak, yang diceritakan
adalah perihal kehidupan. Di sinilah kita lantas menyebut film sebagai representasi
dunia nyata. Eric Sasono menulis, dibanding media lain, film memiliki kemampuan
untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari.
Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan
pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat
menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan direkonstruksi yang dimulai saat
menulis skenario hingga film selesai di buat.
40
Sobur, Semiotika Komunikasi, h.69. 41
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 132.
Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya.
Film menjadi imitasi kehidupan nyata42
, yang merupakan hasil karya seni, di mana di
dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas
rapi. 43
Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang
menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan
mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana
makna itu digambarakan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil.
Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi
yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada
tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film
menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem
signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari
rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant.44
2. Jenis-Jenis Film
Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori
utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi, penjelasannya adalah
sebagai berikut45
:
a. Film Fitur
42
Ade Irwansyah, Seandainya Saya Kritikus Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2009) h.12 43
Ekky Al-Malaky, Remaja Doyan Filsafat, Why Not?, (Bandung, DAR! Mizan, 2004) h.139. 44
Danesi, Semiotika Media., h.134. 45
Ibid., h. 134-135.
Film fitur merupaka karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi,
yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan periode ketika
skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita
pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan
lainnya; bisa juga yang ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap
produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario
itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang
pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi
suatu kisah yang menyatu.
b. Film Dokumenter
Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi
kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan
pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada
kamera atau pewawancara. Robert Claherty mendefinisikannya sebagai “karya
ciptaan mengenai kenyataan”, creative treatment of actuality.46
Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan
di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. Akan tetapi, film jenis ini
sering tampil di televisi. Dokumenter dapat diambil pada lokasi pengambilan
apa adanya, atau disusun secara sederhana dari bahan-bahan yang sudah
diarsipkan. Dalam kategori dokumenter, selain mengandung fakta, film
dokumenter mengandung subyektivitas pembuatnya. Dalam hal ini pemikiran-
pemikiran, ide-ide, dan sudut pandang idealisme mereka. Dokumenter merekam
46
Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 139.
adegan nyata dan faktual (tidak boleh merekayasanya sedikitpun) untuk
kemudian diubah menjadi sefiksi mungkin menjadi sebuah cerita yang menarik.
c. Film Animasi
Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan
dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional
dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan
penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian
penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan
ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya. Pada
masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer.
Salah satu tokohnya yang legendaris adalah Walt Disney dengan film-film
kartunnya seperti Donald Duck, Snow White, dan Mickey Mouse.
3. Unsur-Unsur Pembentuk Film
Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif
dan unsur sinematik, dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu
sama lain:
1) Unsur Naratif
Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini
unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemen-
elemennya. Mereka saling berinteraksi satu sama lain untuk membuat sebuah
jalinan peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan, serta terikat dengan sebuah
aturan yaitu hukum kausalitas (logika sebab akibat).
2) Unsur Sinematik
Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film.
Terdiri dari : (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok: setting atau
latar, tata cahaya, kostum, dan make-up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu
transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal
dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran.47
4. Struktur Film
1) Shot
Shot adalah a consecutive series of pictures that constitutes a unit of action in a
film, satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang hanya
direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan
mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.48
2) Scene
Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang
memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi
(cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa
shot yang saling berhubungan.
3) Sequence
Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa yang
utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling
47
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h.1-2 48
Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman, (Yogyakarta:
Interprebook, 2010), h.97.
berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diartikan seperti sebuah bab
atau sekumpulan bab.49
5. Sinematografi
Sinematografi adalah perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya.
Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film,
framing, serta durasi gambar. Untuk kebutuhan penelitian ini, framing yang merupakan
hubungan kamera dengan obyek yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini.
a. Jarak
Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap obyek dalam frame.
Secara umum, dimensi jarak kamera terhadap obyek ini dikelompokkan menjadi
tujuh, seperti ilustrasi berikut50
:
Gambar 4
Ilustrasi Jarak Kamera Terhadap Obyek
49
Himawan Pratista, Memahami Film, h.29-30 50
Ibid., h. 104- 106.
1) Extreme Long Shot
Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya.
Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya
menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.
2) Long Shot
Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang
masih dominan. Long shot seringkali digunakan sebagai establishing shot,
yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.
Secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika: mengikuti area
yang lebar atau ketika adegan berjalan cepat, menunjukkan dimana adegan
berada atau menunjukkan tempat, juga menunjukkan progress51
.
3) Medium Long Shot
Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh
fisik manusia dan lingkungan relatif seimbang. Sehingga semua terlihat
netral.
4) Medium Shot
Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gesture
serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam
frame.
5) Medium Close-up
51
Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman, (Yogyakarta:
Interprebook, 2010), h.100
Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh
manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Seperti
digunakan dalam adegan percakapan normal.
6) Close-up
Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, dan kaki, atau obyek kecil
lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas
serta gesture yang mendetail. Efek close up biasanya akan terkesan gambar
lebih cepat, mendominasi menekan. Ada makna estetis, ada juga makna
psikologis.52
7) Extreme Close-up
Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari
wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah
objek.
b. Sudut Kamera (Angle)
Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada dalam
frame.
Gambar 5
52
Ibid., h.101
Ilustrasi Sudut Kamera53
Secara umum, sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Low angle
Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari
objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, menekan, seperti
pada ilustrasi 7.19 dan 7.21.
2) High angle
Kebalikan dari low angle, high angle akan mengakibatkan dampak
sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan.
3) Eye level
Sudut pengambilan gambar, subjek sejajar dengan lensa kamera. Ini
merupakan sudut pengambilan normal, sehingga subjek kelihatan netral,
tidak ada intervensi khusus pada subjek. 54
C. Konsep Jihad dalam Islam
1. Pengertian dan Terminologi Jihad
Kata jihad berasal dari kata jahada, berarti setiap usaha yang diarahkan pada
tujuan tertentu dan berupaya dengan kemampuan yang ada berupa perkataan dan
53
Himawan Pratista, Memahami Film, h.107. 54
Ibid., h.104-107.
perbuatan serta ajakan kepada agama yang haq. Dalam tradisi sufisme, jihad dipahami
sebagai pengekangan jiwa (mujâhadah-an nafs). Inilah jihad yang dipandang paling
agung (al-jihâd al-akbar) sedangkan perang adalah jihad kecil (al-jihâd al-ashgar).
Jihad hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif) bilamana sebagian muslim
telah melaksanakannnya maka gugurlah kewajiban itu dari kaum muslimin. Kewajiban
kolektif yang bersifat sosial ini mendapat penekanan lebih kuat dan lebih rawan
daripada kewajiban individual (fardu „ain). Seperti firman Allah dalam Surat At-Taubah
ayat 122 :
Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali supaya mereka
dapat menjaga diri.” (QS Al-Taubah: 122)
Jadi, jihad seperti halnya dengan menuntut ilmu pengetahuan tertentu dan seperti
halnya juga dengan da‟wah, merupakan kewajiban kolektif sosial. Akan tetapi jihad
dalam kondisi tertentu dapat menjadi kewajiban individual: muslim laki-laki maupun
perempuan, bahkan hingga wanita diperbolehkan keluar untuk berjihad tanpa izin
suaminya. Jihad menjadi wajib „aini (kewajiban individual) ketika musuh telah
menginjakkan kakinya di bumi Islam.55
55
Dr. Muhammad „Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h.
206 - 208.
Di samping pengertian umum tersebut, para ulama juga mendefinisikan tentang
jihad secara khusus, salah satunya Imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa jihad adalah
memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. Pengertian inilah yang mengandung
makna bahwa jihad dikaitkan dengan pertempuran, peperangan, dan ekspedisi militer.
Melihat dari sejarahnya, ayat-ayat tentang jihad yang turun pada periode
Madinah inilah yang menjadi landasannya, diantaranya seperti yang tertulis dalam
firman Allah berikut:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berjihad dengan harta
dan jiwa-nya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman
dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung
melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka
tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka
berhijrah.(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum
yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS Al-Anfal: 72)
Sekarang ini jihad terus memiliki makna yang bermacam-macam. Ia digunakan
untuk menggambarkan perjuangan hidup seseorang dengan mengerjakan kebajikan,
memenuhi tanggung jawab keluarga, membersihkan lingkungan tempat tinggal,
melawan pemakaian obat-obatan terlarang, atau bekerja untuk kepentingan sosial. Jihad
juga digunakan dalam peperangan untuk pembebasan dan perlawanan, demikian juga
untuk menghadapi aksi teror.56
2. Bentuk-Bentuk Jihad Dalam Islam
Secara umum, seperti yang tertulis dalam literatur, Islam mengenal beberapa bentuk
jihad yaitu57
:
1. Jihâd „alan-nafsi, yaitu berjuang melawan hawa nafsu.
2. Jihâd bil-lisan, yaitu berjihad dengan lidah.
3. Jihâd bil-qalam, yaitu berjihad dengan pena.
4. Jihâd bit-tarbiyah, yaitu berjihad dengan pendidikan, dengan cara menyebarkan
nilai-nilai Islam dalam masyarakat.
5. Jihâd fi sabilillah, yaitu berjuang dijalan Allah.
Ulama fikih membagi jihad menjadi tiga bentuk, yaitu berjihad memerangi
musuh secara nyata, berjihad melawan setan, dan berjihad terhadap diri sendiri. Lebih
lanjut, Ibnu Qayyim juga menguraikan bahwa jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu58
:
1) Jihad Mutlaq;
Jihad dalam rangka perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini
mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya perang tersebut harus bersifat defensif,
untuk menghilangkan fitnah, menciptakan perdamaian, dan mewujudkan kebajikan
56
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim tentang
Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008),
h. 42. 57
Tim Penyusun Pustaka Azet Jakarta, Leksikon Islam, (Jakarta: PT Penerbit Pustazet Pustaka,
1998), h.286. 58
Ibnu Qayyim, dalam Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) h.
315-317.
dan keadilan. Perang juga tidak dibenarkan bila digunakan untuk memaksakan
ajaran Islam kepada orang yang bukan Islam, untuk tujuan perbudakan, penjajahan
dan perampasan harta kekayaan. Juga tidak dibenarkan membunuh orang-orang
yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut, seperti wanita, anak kecil, dan orang-
orang tua.
Orang yang wajib berjihad dalam pengertian perang ini adalah mereka yang
Islam, akil balig, laki-laki, tidak cacat, merdeka, dan mempunyai biaya yang cukup
untuk pergi perang dan untuk keluarga yang ditinggalkan.
2) Jihad Hujjah;
Jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan
mengemukakan argumentasi yang kuat. Ibnu Taimiyah menyebut jihad ini sebagai
jihâd bi al-„Ilm wa al-Bayan atau jihâd bi al-lisan (jihad dengan lisan), yaitu jihad
yang memerlukan kemampuan ilmiah yang bersumberkan dari Al-Qur`an dan
sunnah serta ijtihad.
3) Jihad „Amm;
Jihad yang mencakup segala aspek kehidupan, baik yang bersifat moral maupun
yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-
tengah masyarakat. Jihad ini juga bersifat berkesinambungan, tanpa dibatasi oleh
ruang dan waktu, dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan atau hawa
nafsu. Pengertian musuh yang nyata di sini, disamping perang, juga berarti semua
tantangan yang dihadapi umat Islam seperti kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Jihad terhadap setan mengandung pengertian berusaha untuk
menghilangkan hal-hal yang negatif yang membahayakan umat manusia. Sedangkan
jihad terhadap hawa nafsu adalah sikap pengendalian diri agar cara tindak, jiwa, dan
komunikasi dengan orang lain tidak menyimpang dari ketentuan Islam.
D. Definisi Istilah Penelitian
Untuk memperlihatkan hubungan antara kajian teoritis dalam penelitian ini
dengan analisis data pada Bab IV, maka dibuatlah definisi istilah penelitian yang
dibutuhkan sesuai dengan perumusan masalah penelitian.
1. Semiotik
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana tanda-tanda diproduksi
sehingga menghasilkan makna. Tanda-tanda itu dikolaborasikan untuk memberikan
makna yang diinginkan oleh pembuat tanda kepada interpretan nya.
2. Semiotik Roland Barthes
Semiotik Roland Barthes bertumpu pada tiga hal yaitu makna denotasi, konotasi,
dan mitos. Makna denotasi adalah makna yang paling nyata dari gambar-gambar dalam
film In The Name of God dalam bentuk kalimat-kalimat yang menjelaskan visualisasi
gambar tersebut.
Sedangkan pada makna konotasi, peneliti membuat interpretasi dari makna
denotasi yang didasarkan pada rumusan masalah yang dibuat oleh peneliti, sehingga
konotasinya akan merepresentasikan konsep jihad dalam Islam yang terlihat dalam film
In The Name of God..
Pada akhirnya, peneliti akan menemukan makna mitos yang terkandung dalam
suatu gambar dengan mengkolaborasikan makna denotasi dan makna konotasinya.
Dalam penelitian ini, mitos merupakan wacana jihad yang dipakai dalam film In The
Name of God, yang terlihat dalam setiap rangkaian visualnya. Pada dua tingkat terakhir
ini, dokumen-dokumen yang relevan menjadi sarana dalam analisisnya.
3. Representasi
Representasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggambaran suatu
wacana yang disampaikan lewat media film, dalam hal ini konsep Jihad Islam, sehingga
dapat dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Karena yang digunakan adalah media film,
maka representasi ini terlihat dari rangkaian scene, berupa gambar-gambar adegan yang
ada dalam film ini.
BAB III
PROFIL FILM IN THE NAME OF GOD
A. Profil Shooaib Mansoor sebagai Sutradara Film In The Name of God
Shooaib Mansoor, lahir di Karachi, Sindh, Pakistan pada tanggal 19 Agustus,
bukanlah orang baru dalam dunia showbiz Pakistan. Ia lama berkecimpung di dunia
pertelevisian Pakistan, sejak tahun 1980 hingga sekarang. Ia sering menulis,
memproduseri, dan menyutradarai serial televisi populer di Pakistan, diantaranya adalah
Ankahi, Fifty Fifty, Alpha Bravo Charlie, Sunehre Din, dan Gulls & Gulls, yang
semuanya ditayangkan di PTV, sebuah stasiun televisi di Pakistan. Ia juga seorang
penulis lagu dan music composer yang cukup sukses. Ia banyak mengorbitkan
penyanyi-penyanyi Pakistan menjadi populer di negaranya, di samping ia juga sering
menyutradarai video klip mereka. Berkat kontribusinya di dunia televisi ini, ia
mendapat penghargaan PTV Lifetime Achievement Award, yang diberikan langsung
oleh Presiden Pakistan Pervez Musharraf, pada bulan November 2007.
In The Name of God atau Khuda Kay Liye adalah karya debutnya di bidang film.
Dirilis pada tanggal 20 Juli 2007, film ini ternyata menuai kontroversi di negaranya
karena mengandung muatan sensitif tentang pernikahan yang dipakasa, konotasi jihad
adalah perang, juga sentimen anti-Amerika. Selain itu film ini juga memicu perdebatan
tentang kaum Islam moderat yang ingin membawa bendera moderatnya sebagai sebuah
pencerahan dan kelompok radikal dengan panggilan jihad-nya.
Dalam sebuah wawancara, Mansoor mengatakan bahwa ia ingin menjadi suara
perwakilan dari kaum moderat yang selama ini diam dan terbungkam. Oleh karena itu ia
menjadikan film ini sebagai film yang bercorak bollywood atau lollywood (istilah untuk
industri film Pakistan yang berpusat di Lahore), dengan musik-musik dan tari-tarian,
tetapi ia ingin filmnya sarat dengan filosofi dan pesan di dalamnya. Selain itu, ia ingin
memberikan penjelasan tentang kesalahan persepsi yang mungkin banyak orang lihat
tentang Pakistan.
Dalam Khuda Kay Liye ini ia juga sebuah pernyataan politiknya tentang
terorisme. Ia mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah rekaan politik semata, karena
ketika kita melihat situasi dunia sekarang, terutama yang berkaitan dengan
penganiayaan kaum muslimin, yang terjadi di belahan dunia, dari Palestina sampai ke
timur tengah. Begitu juga isu tentang Kashmir yang menjadi polemik antara India dan
Pakistan sampai saat ini belum ada solusinya. Jadi, bagi Mansoor terlalu banyak tekanan
dalam hal ini, oleh karena itu lewat karakter yang dimainkan oleh Shaan (Mansoor) ia
ingin memperlihatkan kekejaman yang dialami orang muslim di berbagai negara.
Meski film ini banyak mendapat protes di negaranya, salah satunya oleh
kelompok radikal dari Islamabad‟s Red Mosque, bahkan sebuah petisi pernah diajukan
ke Pengadilan Tinggi Pakistan terkait dengan penayangan film ini. Mansoor tetap
meneruskan pekerjaannya untuk terus membuat film. Film berikutnya, Bol dijadwalkan
untuk rilis pada tahun 2011 ini.
B. Sinopsis Cerita
Film In The Name God bercerita tentang tiga orang dari benua berbeda yang
memiliki masalah yang berkaitan dengan isu-isu Islam. Dua bersaudara dari Pakistan,
Mansoor dan Sarmad adalah musisi berbakat dari Lahore, Pakistan. Suatu ketika, di saat
mereka sedang melakukan gladi resik untuk pertunjukkan musik, sekelompok pria
berpakaian putih menyerang mereka. Mereka merusak panggung, dan melarang
pertunjukkan. Setelah kejadian itu, Sarmad bertemu dengan Kiai Maulana Tahiri yang
merubah pandangannya tentang Islam. Kiai tersebut menyatakan larangan agama Islam
tentang musik, “Nabi Muhammad membenci lagu dan musik. Jadi, walaupun kamu
punya bakat di musik, lebih baik cari pekerjaan yang lain.” tegas ulama tersebut.
Akhirnya, Sarmad, terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan para aktivis
Islam itu. Ia mulai mempelajari bagaimana pandangan ekstrimis tersebut tentang Islam,
memanjangkan janggut, dan mengharamkan musik bagi dirinya. Keluarga Mansoor dan
Sarmad adalah keluaga moderat yang menjalankan Islam secara biasa-biasa saja,
sehingga perubahan Sarmad menjadi sebuah tekanan bagi mereka.
Di London, Inggris, ada seorang perempuan bernama Mary (Maryam). Dia
adalah gadis keturunan Pakistan yang perilakunya sudah terwesternisasi. Tidak seperti
perempuan-perempuan dari negara mayoritas Islam lain, yang menggunakan jilbab dan
baju muslimah. Mary berpakaian seperti orang Inggris pada umumnya. Ia juga
berpacaran dengan seorang laki-laki Inggris bernama Dave, yang bukan beragama
Islam. Percintaan ini dilarang oleh Ayah Mary, Hussein. Seorang Pakistan yang
bersikap hipokrit tentang kehidupannya. Dia melarang Mary mencintai laki-laki non-
muslim, padahal dia sendiri tinggal dengan seorang perempuan Inggris yang tidak
dinikahinya. Ia berprinsip bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan non-
muslim. Tetapi perempuan muslim tidak boleh menikahi laki-laki non-muslim. Ia
menjadi khawatir dengan keinginan Mary yang ingin menikahi Dave, oleh karena itu
dia merancang sebuah jebakan untuk menghalangi keinginan anaknya itu. Dia
mengatakan pada Mary bahwa mereka akan menjalani liburan ke Pakistan, bertemu
keluarga besar mereka, dan setelah itu dia boleh menikahi Dave. Ketika Mary dan
Ayahnya mengunjungi FATA (Federal Administered Tribal Areas), sebuah unit
administrasi kecil di barat laut Pakistan yang bersisian langsung dengan Afghanistan,
ayahnya meninggalkannya di daerah tersebut, dan memaksanya menikah dengan
Sarmad yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Mary pun harus tinggal di daerah
FATA dan terisolasi di sana.
Sementara itu, Mansoor mengambil jalan yang berbeda dengan adiknya. Ia tetap
menekuni musik, dan pergi bersekolah musik di Chicago. Di sana, ia jatuh cinta dengan
seorang perempuan Amerika bernama Jannie. Mereka saling jatuh cinta dan
memutuskan menikah, meskipun awalnya Mansoor sempat ragu apakah cinta beda
agama dan budaya bisa berjalan dengan mulus sampai ke jenjang pernikahan. Jannie
bahkan berhenti minum alkohol demi Mansoor. Beberapa saat setelah mereka menikah,
terjadilah peristiwa 9/11 Serangan yang menghancurkan menara kembar WTC ini.
menewaskan ratusan orang Amerika. Oleh Bush (Presiden AS saat itu), ia menyebutkan
bahwa otak serangan tersebut adalah teroris muslim. Ia menyebut sebuah nama yaitu
Osama bin Laden. Kejadian ini serta merta melabelkan Islam sebagai agama terorisme
yang harus dihancurkan. FBI melakukan penangkapan di mana-mana, dan Mansoor
terkena tuduhan itu, sehingga FBI menangkapnya. Padahal dia tidak mengetahui apa-
apa tentang kejadian itu, bahkan ia tidak pernah mengenal Osama. Ia ditangkap hanya
karena latar belakangnya yang beragama Islam. Di penjara, ia terus disiksa secara fisik,
sampai ia mau mengakui keterlibatannya dengan jaringan terorisme.
Di desa FATA, Mary berkali-kali melakukan rencana melarikan diri. Sayangnya
rencana tersebut diketahui oleh Sarmad. Akhirnya, ia dijaga dengan pengawalan ketat
dari orang-orang Taliban di lingkungannya. Mary tidak menyerah, ia mengirim surat
kepada Dave, tetapi dengan tipuan bahwa surat tersebut untuk ayahnya. Orang tua
Mansoor dan Sharmad kemudian datang untuk menyelamatkan Mary, di bawah
perlindungan dari Pemerintah Inggris. Mary yang sudah diliputi dendam, akhirnya
membawa ayah dan sepupunya ke pengadilan. Di pengadilan, Mary mendatangkan
Maulana Wali, seorang ulama Pakistan moderat yang memberikan penjelasan
bagaimana Islam telah dirusak atas nama perang dan kebencian.
Sarmad merasa trauma atas semua yang telah dia lakukan dan fakta bahwa dia
menyebabkan semua itu terjadi. Ia juga menyadari bahwa kerusakan yang ia buat
dilakukan atas nama Tuhan. Mary kini bebas dari pernikahannya, tetapi ia memutuskan
untuk kembali di desa tempat ia disekap dahulu, sehingga ia dapat memberikan
pendidikan pada gadis-gadis di sana. Sementara itu, Mansoor yang masih berada dalam
tahanan Amerika Serikat, akhirnya dibebaskan. Tetapi penyiksaan selama setahun yang
ia alami, membawa kerusakan permanen pada otaknya. Akhirnya ia dibawa kembali ke
Pakistan dan berkumpul bersama keluarganya.
C. Tim Produksi Film In The Name of God
Sutradara : Shoaib Mansoor
Produser : Shoman Production;
Leigh Jones .... line producer: USA
Shoaib Mansoor .... producer
Reshma Siddiqui .... co-producer: US
Penulis naskah : Shooaib Manshoor
Pemain : Shaan sebagai Mansoor
Naseeruddin Shah sebagai Maulana Wali
Fawad Afzal Khan sebagai Sarmad
Iman Ali sebagai Mary/ Maryam
Hameed Sheikh sebagai Sher Shah
Austin Marie Sayre sebagai Jenie
Rasheed Naz sebagai Maulana Tahiri
Penata musik : Rohail Hyatt
Original music : Javed Bashir , Shuja Haider , Ahmad Jahanzeb , Khawar
Jawad, Lagan Band
Manager produksi : Rizwaan Chowdiri
Asisten sutradara : Rizwaan Chowdiri, Bilal, Ali Javed
Sinematografi : Ali Mohammad, Neil Lisk, Ken Seng, David Le May
Editor : Ali Javed, Aamir Khan
Distribusi : Geo Film
Budget : 50,000,000 PKR
Gross revenue : $10 miliar
D. Penghargaan-Penghargaan Film In The Name of God
In The Name of God (Khuda Kay Liye) adalah film Pakistan dengan pendapatan
kotor tertinggi sepanjang masa. Adapun penghargaan-penghargaan yang didapat sejak
film ini dirilis adalah:
Tahun Nama Penghargaan Kategori
2008 Lux Style Awards Best Film
Best Actor – Shaan
Best Actress – Iman Ali
Best Soundtrack
2008 31st Cairo International
Film Festival
Silver Pyramid Award for Best Picture
2008 Fukuoka Audience
Award Japan
Best Film
2008 Asian Festival of First
Films
Swarovski Trophy for Best
Cinematography
2008 Roberto Rosselini Award
(Italy)
Best Film
BAB IV
REPRESENTASI KONSEP JIHAD ISLAM DALAM FILM
IN THE NAME OF GOD
A. Identifikasi Umum Temuan Data
Film yang diteliti oleh penulis ini berjudul In The Name of God (ITG). Film ini
secara umum berkisah tentang pergulatan muslim di tiga negara di tiga belahan dunia,
Asia yang diwakili oleh Pakistan, Inggris di Eropa, dan Chicago, di Amerika Serikat. Di
Pakistan ada dua kakak beradik, Sarmad dan Mansoor, musisi terkenal di Lahore yang
akhirnya memilih jalan berbeda atas pandangan mereka tentang Islam. Sarmad yang
masuk gerakan Islam keras di Pakistan, terlibat dalam gerakan-gerakan kelompok
tersebut yang berorientasi pada jihad serta Mansoor yang mengikuti kecintaannya pada
musik, tetap menjadi pribadi muslim bebas yang melakukan apapun yang
menyenangkan hatinya. Di Eropa ada Mary, wanita Pakistan yang sama sekali tidak
mengenal Islam karena sekian lama tinggal di Inggris, bersama ayahnya, seorang
Pakistan yang tinggal bersama seorang wanita Inggris tanpa menikah.
Alur cerita secara keseluruhan terbagi menjadi tahap permulaan, pertengahan,
dan penutupan. Pada tahap permulaan, adalah perkenalan tentang tokoh-tokoh, Shoaib
Mansoor, sutradara film ini sengaja membelah-belah cerita antara Mansoor, Sarmad,
dan Mary dan memotret latar belakang ketiganya, mulai dari keluarga dan kultur tempat
tinggal.
Pada tahap pertengahan, konflik mulai bermunculan dan mencapai klimaksnya.
Penulis mencatat ada beberapa adegan klimaks dalam film ini, pertama ketika Mary
dipaksa menikah oleh Sarmad, sepupunya sendiri, di desa yang terletak di daerah antara
perbatasan Afghanistan dan Pakistan. Karena, atas usul Maulana Tahiri, ulama yang
menjadi panutannya, ia harus menikah dengan Mary untuk menyelematkan perempuan
itu. Kedua, saat Mansoor dituduh sebagai teroris karena dia seorang muslim, dan dia
disiksa oleh kepolisian Amerika hingga otaknya mengalami cacat permanen. Dan
ketiga, ketika Mary membawa ayah dan sepupunya ke pengadilan di Pakistan atas
kejahatan kemanusiaan mereka yang dilakukan atas nama Tuhan. Selain itu, konflik
batin dalam diri Sarmad antara pandangannya tentang Islam, terutama jihad, yang
bertentangan dengan konsep jihad dan penegakan islam yang dilakukan Maulana Tahiri.
Klimaks yang begitu banyak dalam film ini, menjadikan film ini sangat menarik.
Apalagi ketika film ditutup dengan adegan yang merepresentasikan isi film secara
keseluruhan, lewat penjelasan dari Maulana Wali, seorang Islam yang menempatkan
Islam dalam pokok yang sebenarnya. Islam yang humanis, moderat, dan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilanya tanpa harus takluk pada modernitas dan pemahaman
fanatis.
Secara umum plot film ini menggunakan pola linier. Seperti diungkapkan oleh
Himawan Pratista dalam bukunya Memahami Film. Pola linier memiliki hubungan
kausalitas jalinan suatu peristiwa dengan peristiwa lain misalnya A-B-C-D-E, maka
urutan waktu cerita juga A-B-C-D-E.59
Teknik kilas balik (flashback), hanya sekali
digunakan, yaitu pada saat adegan pembuka film ini ketika Janie, istri Mansoor
diberitahu oleh pihak rumah sakit di Chicago bahwa Mansoor harus dideportasi ke
Pakistan karena kerusakan permanen pada otaknya akibat penyiksaan kepolisian
Amerika yang menuduhnya teroris. Pasca penangkapan brutal setelah terjadinya
kejadian Serangan 11 September 2001. Setelah itu film mundur, ke awal di mana semua
tokoh diperkenalkan di negaranya masing-masing, bergulat dengan konflik mereka, dan
ditutup oleh kesimpulan film yang diwakili oleh penjelasan dari Maulana Wali, dan
kembali pada adegan di Amerika tersebut. Jadi, meskipun film ini memiliki multi plot
(tiga cerita atau lebih) yang saling berkaitan, tetapi alur cerita berjalan menerus (linier)
sehingga, alur ceritanya tetap mudah diikuti.
Tanpa bermaksud mengurangi esensi cerita secara keseluruhan, peneliti akhirnya
dapat mengidentifikasi 10 scene yang berkaitan dengan rumusan masalah yang ingin
59
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h. 37.
diteliti. Tidak dimasukkannya semua scene dalam film ini, semata-mata agar analisis
yang ada, sesuai dengan fokus penelitian. Dari sepuluh scene tersebut peneliti
menemukan konsep jihad dalam film ITG direpresentasikan dalam beberapa bentuk
berdasarkan referensi konsep jihad yang telah dituliskan dalam bab II, yaitu jihad yang
dipahami secara esensial berupa usaha yang bersungguh-sungguh untuk menuju
kebaikan, dan secara kontekstual seperti dalam peperangan. Identifikasi tersebut terlihat
sebagai berikut:
1. Jihad yang berkonotasi perang, seperti terlihat dalam scene 6, 7, dan 8
2. Jihad dalam mempertahankan diri dari ketidakadilan yang menimpa seseorang, yang
digambarkan dengan cara berjuang untuk mengubah keadaan diri sendiri, seperti
terlihat dalam scene 4.
3. Jihad dalam rangka menuntut ilmu, seperti terlihat dalam scene 5 dan 10.
4. Jihad dalam rangka menegakkan kebenaran yang diyakini dalam rangka amar
ma‟ruf nahi munkar, seperti terlihat dalam scene 1 (perusakan acara musik karena
dianggap melanggar syariat), dan scene 3 (perusakan baliho-baliho bergambar
perempuan yang pakaiannya tidak menutup aurat).
5. Pada scene 2 merupakan representasi pelopor jihad, digambarkan seseorang yang
mengkoordinir jihad dan kelompoknya dimulai dari sebuah masjid.
B. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos yang Merepresentasikan Konsep Jihad
Dalam Islam
Untuk menjelaskan identifikasi masalah di atas, maka sepuluh scene tersebut
harus dianalisis sesuai dengan model semiotik yang dipakai, yaitu semiotik Roland
Barthes, sebagai berikut:
1) Scene 1
Adegan pertama yang dipilih peneliti adalah adegan flash back (kilas balik)
ketika, Mansoor dan Sarmad, sedang melakukan rehearsal untuk pertunjukkan musik
mereka di malam tahun baru, pada tahun 2000. Kemudian datang sekelompok orang
berbaju putih dan menghancurkan prosesi latihan mereka. Para penari dan mereka
sendiri kabur untuk menyelamatkan diri, sementara sekelompok orang tersebut terlihat
menghancurkan set panggung sambil meneriakkan takbir.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
Mansoor
menyanyikan lagu
berbahasa Urdu
(Pakistan) bercampur
bahasa Inggris.
Teriakan-teriakan
Allahu Akbar
Medium close up,
memperlihatkan bagian
dada ke atas dari subjek,
sehingga profil subjek
dapat ditegaskan.
Long shot, subjek
(manusia) tampak kecil,
dan setting terlihat dalam
frame secara utuh
Medium close up,
memperlihatkan bagian
dada ke atas dari subjek,
sehingga profil subjek
terlihat tegas.
Denotasi Pada gambar pertama, terlihat Mansoor
menggenggam mic, sedang menyanyikan sebuah
lagu dengan wajah yang tersenyum. Sementara itu,
di gambar berikutnya, ada sekelompok orang
berpakaian putih-putih, berpeci, dan berjanggut
beramai-ramai menghancurkan set panggung malam
itu, pada gambar ke-tiga, terlihat salah satu dari
mereka terlihat berteriak-teriak sambil mengepalkan
tangannya.
Konotasi Konotasi yang ingin disampaikan oleh
gambar ini adalah adanya kontradiksi antara dua
golongan Islam, yang diwakilkan oleh Sarmad yang
mencintai musik, dan orang-orang berbaju putih,
berpeci, dan berjanggut tersebut, sehingga terlihat
bahwa ada ketidaksukaan atau kebencian terhadap
musik. Jadi, dalam hal ini adalah adanya perbedaan
pemahaman tentang hukum musik dalam Islam.
Pakistan adalah negara yang sejak lama
bergulat dengan identitas Islam di negerinya, sejak
tahun 1956 konflik antara kaum sekuler modern
yang menginginkan modernisasi yang berkiblat pada
barat, dan pihak tradisionalis yang diwakili pemuka
agama yang konservatif. Konflik ini serta merta
mempengaruhi kehidupan bernegara, karena kedua
kelompok menginginkan ideologinya menjadi
identitas resmi Pakistan dan secara tidak langsung
berefek pada penegakan hukum-hukum yang ada di
negara tersebut, sehingga secara luas mempengaruhi
pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran yang
dianut masing-masing kelompok.
Dapat dikatakan bahwa mereka yang
cenderung konservatif, digambarkan oleh
sekelompok orang yang menganggap bahwa musik
dan tari-tarian adalah hal yang bertentangan dengan
ajaran Islam, dengan kata lain, mereka
mengganggap bahwa musik itu adalah kemunkaran.
Dan bahwa pemahaman mereka tentang kemunkaran
adalah melarangnya, maka musik menjadi hal yang
harus diberantas, sehingga mereka masuk pada
istilah jihad dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar
(menegakkan kebenaran dan mencegah perbuatan
keji). Putih adalah simbol dari kesucian, keluhuran,
dan kebersihan. Jadi, untuk menghapuskan
„kekotoran‟ tersebut, dalam hal ini dalam agama.
Mitos
Ada perbedaan pemahaman dalam Islam
tentang musik. Musik adalah eskspresi jiwa
seseorang yang tidak perlu dikaitkan dengan agama.
Sementara di sisi lain, musik, tari-tarian, adalah hal
yang haram yang harus dimusnahkan. Ini adalah
perbedaan fiqh yang sering terjadi, bukan hanya
dalam masalah musik saja. Mitos berikutnya adalah
Islam masih dipahami secara simbolis, lewat
pakaian yang dikenakan dan fisik mereka. Sehingga
nilai-nilai dominan yang berlaku di dunia ini adalah
bahwa ada sekelompok muslim yang menggunakan
pakaian putih-putih dan berjenggot kerap kali
melakukan kegiatan kekerasan yang oleh mereka
dianggap sebagai salah satu bentuk penegakan
agama Allah di muka bumi.
Generalisasi ini sangat berbahaya karena
tidak semua mereka yang berpakaian putih-putih
dan berjanggut adalah mereka yang melakukan
kekerasan atas nama Tuhan, dan identik dengan
terorisme dan radikalisme. Sehingga pada akhirnya
makna jihad tereduksi menjadi kekerasan atas nama
agama, yang bukan makna sebenarnya. Pada
akhirnya, generalisasi ini juga melahirkan citra
Islam yang dianggap tidak memiliki toleransi
terhadap sekelompok orang yang cenderung
menyimpang dari aqidah yang mereka imani.
2) Scene 2
Setelah kejadian penyerangan latihan musiknya saat malam tahun baru, Sarmad
mengalami sebuah dilema akan sikap keislamannya selama ini. Maka ia menemui
Maulana Tahiri, seorang tokoh Islam, yang membuat Sher Shah (temannya yang juga
musisi), meninggalkan kegiatan musiknya sama sekali, karena ingin menjalankan Islam
dengan baik. Saat Sarmad mendatangi Maulana Tahiri di Masjid Wazir Khan, Lahore,
Pakistan, ia sedang berbicara tentang kegiatan jihadnya pada seorang reporter dari
Barat. Setelah mendapat pemahaman dari Maulana Tahiri, perlahan Sarmad mulai
merubah dirinya dan lingkungan keluarganya.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
-
-
Long shot, digunakan untuk
menunjukkan tempat
adegan berada.
Long shot, digunakan untuk
menunjukkan tempat
Maulana Tahiri: from
all over the world
have gathered in
Afghanistan
adegan berada.
medium close-up, sosok
tubuh manusia
mendominasi frame,
gesturenya terlihat jelas.
Denotasi Terlihat dua orang sedang berjalan di
pelataran masjid, dia adalah Sarmad dan Sher Shah.
Pada gambar kedua, long shot digunakan sebagai
establishing shot, yakni shot pembuka sebelum
digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.
Sehingga dapat terlihat tempat dimana adegan itu
berada. Kemudian, diperlihatkan sosok Maulana
Tahiri yang sedang diwawancarai oleh salah satu
media dari Barat.
Konotasi Masjid Wazir Khan di Lahore adalah masjid
yang menjadi simbol Pakistan. Masjid tersebut
sangat indah dan megah dengan warna merah yang
kontras dengan langit yang biru. Arsitekturnya
didominasi oleh detail khas Persia dan Mughal.
Selain menjadi simbol di negaranya, masjid ini juga
memiliki polemiknya tersendiri.
Beberapa sumber dari media online
mengatakan, bahwa restorasi masjid ini ternyata
didanai oleh Amerika Serikat (US taxpayers) dalam
rangka cultural funding project, dari data, dana
yang dikeluarkan adalah sekitar $31,015.60
Sehingga secara tidak langsung, konotasi yang
ingin disampaikan adalah ada negara-negara
tertentu yang seolah-olah memberikan bantuan atau
memiliki andil dalam beberapa kegiatan jihad di
negara-negara Islam.
Mitos Masjid adalah salah satu simbol dari agama
Islam, seperti halnya Katolik dengan Gereja, atau
Budha dengan Vihara. Selain sebagai tempat
ibadah, Masjid juga merupakan sarana tempat
kegiatan-kegiatan agama Islam dilakukan.
Pengajian, misalnya. Maka, ketika sebuah masjid
dijadikan sebuah sarana untuk memasukkan
doktrin-doktrin tentang jihad yang keras, maka
Islam lah menjadi sasarannya. Sehingga, konotasi-
konotasi tentang jihad yang penuh kekerasan,
60
http://infidelsarecool.com/2010/08/30/a-list-of-foreign-mosques-being-funded-by-us-taxpayers-with-
cost-details/ diakses pada 16 Maret 2011
diwacanakan secara parsial sehingga melekat dalam
konsep jihad Islam yang agung.
3) Scene 3
Setelah mengikuti beberapa pertemuan dengan Maulana Tahiri, perlahan-lahan
ia mulai merubah dirinya, dimulai dari memanjangkan janggut dan menggunakan
sorban serta baju panjang. Kemudian, untuk pertama kalinya Sarmad mulai mengikuti
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
-
-
-
Medium shot, gesture dan
ekspresi wajah
ditampakkan, dan sosok
manusia terlihat dalam
frame
Close up, memperlihatkan
gambar wajah secara detail.
Medium shot,
memperlihatkan gambar
secara netral, latar dan
objek terlihat seimbang.
Denotasi Dalam gambar terlihat, pada malam hari,
Sarmad dan Sher Shah sedang melempari gambar-
gambar di baliho yang berdiri di sekitar Lahore
dengan bola tenis yang sudah dilumuri cat hitam.
Gambar-gambar itu kebanyakan berupa wanita yang
tidak menggunakan jilbab dan memakai pakaian
yang terbuka. Pada saat itu raut wajah Sarmad
terlihat masih ragu dengan apa yang ia lakukan,
karenanya Sher Shah lah yang melakukan
pelemparan tersebut.
Konotasi Hitam adalah lambang dari keburukan, hal-hal
buruk. Cat-cat yang menempel pada gambar-gambar
tersebut memberikan efek psikologis pada
penontonnya untuk mengidentikkan gambar-gambar
tersebut sebagai sesuatu yang buruk. Adapun yang
buruk atau jahiliah tersebut tentu saja tidak sesuai
dengan syariat Islam, oleh karena itu harus
ditunjukkan kepada masyarakat banyak dengan cara
merusaknya karena perusakan tersebut bisa diartikan
sebagai ketidaksukaan atau ketidaksetujuan.
Sebagai salah satu negara dengan populasi
muslim terbesar ke-2 setelah Indonesia, adalah wajar
jika sekelompok orang di Pakistan menginginkan
tegaknya syariat Islam di negaranya.
Mitos Keburukan harus dilawan dengan kebaikan,
sayangnya pemahaman tentang baik dan buruk
seringkali disalahartikan. Pemahaman yang keras
tentu akan melahirkan tindakan yang keras juga.
Hanya di sedikit negara kelompok mayoritas
mengatakan bahwa syariat seharusnya tidak punya
peran dalam masyarakat, tetapi di kebanyakan
negara, hanya minoritas yang menginginkan syariat
sebagai satu-satunya sumber hukum. Di Yordania,
Mesir, Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.61
Mitos dalam gambar ini juga merupakan
potret golongan Islam yang dengan perasaan
kepercayaannya bahwa Islam adalah agama yang
paling haq, maka merusak dan memberontak
dianggap masalah yang paling besar pahalanya.
4) Scene 4
Mary, setelah dipaksa menikah dengan Sarmad oleh ayahnya. Tinggal di desa
FATA. Ia ditinggalkan oleh ayahnya di sana agar tidak menikah dengan Dave,
pacarnya, lelaki Inggris yang bukan muslim. Pada suatu ketika, Sarmad dan Sher Shah,
melakukan perjalanan ke kota. Mary yang mengetahui hal tersebut, menjadikan hal ini
sebagai kesempatan untuk melarikan diri. Sayangnya, ketika ia sudah hampir lolos,
kedua lelaki itu datang, dan membawa Mary kembali ke daerah itu.
61
John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat,
Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 74.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
Tidak ada dialog,
hanya dilatari oleh
musik saja.
Long shot, menunjukkan
tempat dimana adegan ini
berada, fisik manusia masih
terlihat, dan latar/
panorama terlihat di dalam
frame.
Long shot, menunjukkan
tempat dimana adegan ini
berada, fisik manusia masih
terlihat namun sangat kecil,
dan latar/ panorama terlihat
di dalam frame.
Long shot, menunjukkan
tempat dimana adegan ini
berada, fisik manusia masih
terlihat namun sangat kecil,
dan latar/ panorama terlihat
di dalam frame.
Denotasi Pada gambar tersebut terlihat Mary
menggunakan pakaian tradisional Pakistan, Burqa,
untuk menutupi seluruh tubuhnya. Ia berusaha
melarikan diri dari desa tempatnya tinggal, menuju
bukit di mana satu-satunya transportasi yang
menyambungkan desa tersebut dengan jalan umum
berada. Transportasi itu berupa kereta gantung yang
hanya bisa ditarik oleh orang yang berada di
seberangnya. Sayangnya, proses pelarian diri itu
gagal, dan Mary harus kembali lagi ke desa tersebut.
Konotasi Dari gambar tersebut terlihat adanya
kesungguhan (mujâhadah) sebuah usaha yang kuat
dilakukan Mary untuk merubah keadaannya yang
merasa terpenjara dalam desa itu.
Kesungguhan itu terlihat dari bagaimana ia
mempersiapkan dirinya untuk melarikan diri, yaitu
dengan menggunakan burqa, pakaian tradisional
yang sering digunakan dibeberapa daerah di
Afghanistan dan Pakistan Hal ini digunakannya
sebagai penyamaran untuk mengantisipasi orang-
orang sekitar yang akan mengenalinya. Sehingga
mereka mengira dia adalah penduduk desa biasa,
dan bukan orang asing yang patut dicurigai.
Hal ini sangat sesuai dengan salah satu
konteks jihad yang berarti bersungguh-sungguh
untuk merubah keadaan diri sendiri. Dalam surat Ar-
Ra‟du ayat 11, Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.” (QS
13:11)
Mitos Daerah FATA adalah daerah yang berbatasan
langsung dengan Afghanistan, secara tidak
langsung, kulturnya sangat dekat dengan negara
yang menjadi markas Thaliban itu. Mitos yang
terlihat adalah keterkungkungan orang muslim di
dalam sebuah lingkungan yang dianggap
menjalankan ajaran agama yang terlalu keras.
Potret Mary di dalam desa tersebut juga
menjelaskan bahwa terjadi bias gender, di mana
dalam kelompok ini perempuan dianggap lebih
rendah dari laki-laki sehingga kehidupannya harus
dibatasi oleh peraturan-peraturan yang dianggap
mengungkung kebebasan dan hak-hak mereka
sebagai perempuan. Penggunaan sistem pingitan dan
keharusan menggunakan pakaian panjang dan cadar
seperti ini sebenarnya merupakan adat istiadat yang
lazim di Pakistan. Sehingga, kemudian juga
melahirakan mitos bahwa wanita yang berhijab atau
menggunakan jilbab dijadikan lambang status
inferior perempuan di dunia muslim.
5) Scene 5
Adegan dimulai dari kota Chicago, Amerika Serikat. Mansoor, yang masih
meneruskan hasrat bermusiknya, pergi ke Chicago untuk melanjutkan sekolah musik. Di
sana, ia satu-satunya orang asia, dan juga satu-satunya yang muslim. Namun, didorong
oleh keseriusannya mengejar cita-citanya itu, latar belakang dirinya yang berbeda tidak
dijadikan penghalang.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
-
Mansoor mulai
menyanyikan lagu
berbahasa Urdu
Suara-suara alat
musik lain bercampur
dengan piano yang
dimainkan Mansoor.
Long shot, menunjukkan
tempat dimana adegan ini
berada, fisik manusia masih
terlihat namun sangat kecil,
sementara latar
mendominasi.
Medium close up, profil
subyek ditonjolkan, namun
latar dapat terlihat dengan
baik
Medium close up, profil
subyek ditonjolkan, namun
latar dapat terlihat dengan
baik
Denotasi Mansoor yang sangat mencintai musik,
dengan tekad dan harapannya yang besar pergi ke
Amerika Serikat, tepatnya ia masuk ke The School
of Music, Chicago. Murid-murid lain yang berbeda
kultur dengannya bercampur di situ. Pada awal
pertama perkuliahan, masing-masing orang harus
memperkenalkan musik mereka, sebagai satu-
satunya orang Asia, Mansoor menyanyikan lagu
berbahasa urdu, yang berasal dari negaranya sendiri,
Pakistan.
Konotasi AS adalah negara multikultur yang mengklaim
dirinya sebagai negara demokrasi, yang terbuka
pada semua perbedaan apapun. Di sini diperlihatkan
bahwa perbedaan bisa menjadi hal yang indah, lewat
harmoni yang digabungkan antara musik Asia
Mansoor dan alat-alat musik lain. AS juga dianggap
dapat menjadikan hidupnya lebih baik.
Meski tidak secara langsung bersinggungan
dengan konteks jihad, perjuangan yang dilakukan
Mansoor untuk dirinya sendiri ini membuktikan
adanya suatu kesungguhan yang dilakukannya
dalam rangka mengejar ilmu yang ia inginkan.
Meskipun harus bermil-mil jauhnya dari negaranya,
Pakistan.
Jadi dapat terlihat bahwa Mansoor berjihad
dengan caranya sendiri, dengan menyebarkan
musiknya ia akan ada pesan kebaikan meskipun
bukan berupa dakwah yang nyata, yang dapat
tersampaikan.
Mitos Mansoor adalah seorang Pakistan yang akan
membawa identitas muslimnya dimanapun ia
berada, tanpa simbol-simbol yang sudah umum
melekat pada orang Islam, seperti janggut, peci, atau
jubah.
6) Scene 6
Kelompok Maulana Tahiri, melakukan jihad melawan sesama orang Pakistan
yang berbeda kelompok dengan mereka, karena mereka dianggap sebagai kaki tangan
Amerika.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
Maulana Tahiri: we
prefer to be martyr of
Islam
Sher Shah: Shout in
God‟s name
Pengikut Maulana
Tahiri: God is great!
Medium Close-up,
meperlihatkan tubuh
manusia dari dada ke atas.
Sosok tubuh manusia
mendominasi frame dan
latar belakang tidak terlalu
dominan.
Medium Shot,
meperlihatkan tubuh
manusia dari pinggang ke
atas. Gesture serta ekspresi
wajah mulai tampak. Sosok
manusia mulai dominant
dalam frame.
Close up, memperlihatkan
ekspresi wajah dengan jelas
dan fokus
Denotasi Gambar ini memperlihatkan sebuah persiapan yang
dilakukan oleh Maulana Tahiri sebelum mereka
melakukan perang. Ia terlihat berbicara dan
memotivasi para pengikutnya untuk menjadi martyr
(syuhada) di jalan Allah. Sementara para
pengikutnya merespon dengan meneriakkan nama
Tuhan sebelum melakukan jihad.
Konotasi Meneriakkan nama Tuhan, berarti
menganggap apa yang mereka lakukan ini adalah
perjuangan yang dilakukan atas nama Tuhan.
Dengan kata lain, jihad adalah perjuangan yang
dilakukan atas nama Allah swt, meskipun yang
dilawan adalah saudara mereka sendiri, sesama
muslim.
Selain itu, di sini terlihat dapat melihat
adanya ketaatan yang kuat pada pemimpin
pergerakannya, terlihat dari keseriusan mereka
mendengarkan pengarahan dari Maulana Tahiri.
Orang-orang Barat (para orientalis) biasa menyebut
hal ini sebagai sebuah taklid (ketaatan) buta.
Mitos Mitos dalam gambar ini adalah salah satu
konstruksi konsep jihad yang diidentikkan dengan
holy war atau perang suci. Frasa ini memang dikenal
di negara-negara yang di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok Islam yang cenderung keras,
atau media menyebutnya sebagai radikal dan
ekstrimis.
Dalam sebuah jejak pendapat di Gallup pada
tahun 2001, 10.004 orang dewasa di negara
berpenduduk mayoritas muslim diberi pertanyaan
tentang makna jihad. Di empat negara Arab
(Lebanon, Kuwait, Yordania, dan Maroko) jawaban
yang paling sering digunakan adalah “kewajiban
kepada Allah”, “tugas suci”, atau Ibadah kepada
Allah tanpa menghubungkannya dengan
peperangan. Sementara itu, di tiga negara non-Arab
(Pakistan, Iran, dan Turki), sejumlah kecil
responden yang cukup signifikan menyatakan
bahwa jihad adalah “mengorbankan nyawa sendiri
demi kepentingan Islam/ Allah/ keadilan atau perang
melawan musuh Islam.62
62
Ibid., h. 45
Sayyid Qutb mengatakan bahwa jihad dengan
tujuan membela diri adalah penyesatan opini barat
untuk melemahkan konsep jihad yang ada dalam
Islam. Karena, jihad dalam Islam tidak ada
hubungannya dengan peperangan-peperangan
manusia zaman kini.
7) Scene 7
Setelah mendapat instruksi dan melakukan persiapan untuk perang dari Maulana
Tahiri sebelumnya. Akhirnya, untuk pertama kalinya Sarmad menjalani jihad
pertamanya di daerah Nangarhar, Afghanistan, bersama Sher Shah dan kelompok
Maulana Tahiri yang memang sudah sering melakukan kegiatan semacam itu.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
Suara tembakan
bergemuruh
Sher Shah: this is
Jihad! Holy war!
-
Long shot, menunjukkan
tempat dimana adegan ini
berada, sehingga latar
sangat mendominasi.
Medium close up, profil
subyek ditonjolkan, namun
latar dapat terlihat dengan
baik
Medium close up, profil
subyek ditonjolkan, namun
latar dapat terlihat dengan
baik
Denotasi Suasana perang antar kelompok tersebut
terlihat sangat dahsyat, debu-debu mesiu dan bom
terlihat mengepul menutupi bangunan. Berlindung
di balik tembok, Sarmad masih diliputi keraguan
yang besar tentang apa yang ia lakukan, terlihat dari
raut wajahnya yang diliputi ketegangan bercampur
dengan menahan tangis. Sementara Sher Shah,
terlihat lebih berani dan ia menuntun Sarmad untuk
melakukan hal yang sama, dengan cara
mencontohkan bagaimana ia membunuh musuh
mereka dengan menembaknya.
Konotasi Konotasi yang terlihat dalam adegan ini
adalah jihad dalam makna perang dan kegiatan-
kegiaan yang berbau militer. Ini terlihat dari senjata-
senjata yang digunakan, juga efek yang ditimbulkan,
seperti kehancuran pada bangunan-bangunan. Dalam
perang juga diperbolehkan membunuh musuh
karena tujuan perang memang memperoleh
kemenangan.
Lewat tokoh Sarmad yang terlihat bimbang
dan ketakutan dalam melaksanakan jihad
pertamanya itulah yang oleh sutradara film ini,
seolah menggambarkan ada kesalahan interpretasi
dalam jihad yang mereka yakini, sehingga
pengimplementasiannya pun menjadi tidak sesuai
dengan konsep jihad Islam yang komprehensif dan
humanis.
Mitos Keragaman makna jihad dalam Islam
melahirkan implementasi yang berbeda-beda pula.
Salah satunya adalah pengkonotasian jihad sebagai
perang suci atau holy war. Padahal, dibagian
manapun di dalam Al-Qur`an, jihad tidak
dihubungkan atau disamakan dengan frasa “perang
suci”.63
Karena, makna suci itu seharusnya karena
jihad merupakan perjuangan yang dilakukan untuk
cita-cita yang suci, yakni menegakkan agama Allah,
namun itu bukan berarti perang.
8) Scene 8
63
Ibid., h. 39
Sarmad yang masih diliputi ketakutan, menemukan seorang musuh yang
tergeletak di dekatnya. Sarmad mengira laki-laki itu sudah meninggal dan ia
mendekatinya. Nyatanya, laki-laki itu hanya berpura-pura meninggal malah berbalik
menyerang Sarmad sehingga mereka mengalami pergulatan.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
Sarmad: Sher Shah,
No!
-
-
Medium close up, profil
subyek ditonjolkan, namun
latar dapat terlihat dengan
baik
Long shot, menunjukkan
tubuh fisik manusia masih
tampak jelas, namun latar
masih mendominasi.
Medium close up, profil
subyek ditonjolkan, namun
latar dapat terlihat dengan
baik
Denotasi Pada gambar pertama, terlihat Sarmad dicekik
oleh musuhnya itu, ia memanggil-manggil Sher
Shah untuk menolongnya. Tetapi Sher Shah hanya
berdiam diri sambil menggenggam senjatanya dan
menunggu Sarmad menyelamatkan dirinya sendiri.
Di adegan berikutnya, terlihat bahwa Sarmad sudah
berbalik mencekik lawannya tersebut. Laki-laki itu
terlihat sangat kesakitan dan akhirnya dia
meninggal.
Konotasi Seperti gambar sebelumnya, Shooaib Mansoor
kembali memperlihatkan konotasi jihad sebagai
perang karena salah satu dari bentuk perang merujuk
kepada mempertahankan diri dan perlawanan yang
bersifat tindakan fisik.
Gambar di mana Sarmad akhirnya membunuh
laki-laki tersebut, juga merupakan isyarat bahwa
membunuh dalam peperangan adalah tidak apa-apa,
meskipun mereka adalah saudaranya sesama
Pakistan, dan sesama muslim.
Mitos Gambar ini menunjukkan mitos modern
tentang konsep jihad dalam Islam yang lahir dari
pemahaman tentang orang yang tidak sesuai aqidah-
nya berarti digolongkan kafir.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, kelompok
ini dianggap sebagai kaki tangan Amerika.
Sehingga, Mitos ini lahir dari kebencian mereka
yang berakar pada kebencian akan nilai-nilai dan
budaya yang dianggap dapat menyesatkan kaum
muslimin, dan bahwa mereka berada di balik
beberapa penindasan yang dilakukan Amerika
kepada negara-negara muslim.
Ini persepsi yang dipakai oleh golongan yang
diwakili oleh tokoh Sher Shah dan Maulana Tahiri
di atas, maka ketika golongan lain dianggap kafir,
tentu saja mereka merupakan salah satu yang boleh
dibunuh.
9) Scene 9
Setelah laki-laki itu terbunuh, Sarmad masih tidak mempercayai apa yang ia
lakukan dengan membunuh laki-laki tersebut. Meskipun dalam konteks ia membela
dirinya sendiri. Sher Shah yang sejak tadi hanya diam saja melihat pergulatan Sarmad
dengan lelaki itu, akhirnya mendatanginya.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
Sher Shah: finally
you‟ve become a man!
Sarmad: what kind of
Jihad is this?
Medium close-up, jarak ini
meperlihatkan tubuh
manusia dari dada ke atas.
Sosok tubuh manusia
mendominasi frame dan
latar belakang tidak lagi
dominan
Medium close-up, jarak ini
meperlihatkan tubuh
manusia dari dada ke atas.
Sher Shah (berteriak):
Sarmad, stop Sarmad!
Seperti dalam adegan
percakapan normal.
Long shot, menunjukkan
tempat dimana adegan ini
berada, sehingga latar
sangat mendominasi dan
fisik manusia terlihat kecil.
Denotasi Sarmad terlihat masih shock dengan apa yang
ia lakukan. Tetapi Sher Shah, malah memuji
perbuatannya itu dengan mengatakan bahwa
akhirnya dia menjadi seorang laki-laki. Sementara
Sarmad yang masih diliputi kekalutan akibat
membunuh laki-laki itu, merasa sangat marah dan
mencengkram baju Sher Shah. Ia mempertanyakan
jihad apa ini yang sebenarnya ia lakukan, didorong
rasa ketakutan dan rasa bersalahnya ia malah
melarikan diri dari arena jihad.
Konotasi Islam adalah agama yang humanis dan
universal. Jadi mengikuti ajaran Islam adalah
mengikuti kebenaran dengan atas dasar kepuasan
dalam memilih, sehingga pada akhirnya dalam
menjalankan apa-apa yang disyariatkan, ia
seharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian
kepada mereka yang melakukannya, dan bukan
mempertanyakan apa yang ia lakukan atau malah
meninggalkan Islam yang penuh rahmat ini.
Sehingga, konotasi yang terlihat dalam gambar ini
adalah bahwa jihad yang berkonotasi perang
ternyata tidak selamanya membawa kita kepada
ketenangan karena sudah menjalankan perintah
Allah.
Lewat tokoh Sarmad inilah, Shooaib Mansoor
seolah memberikan salah satu konfirmasi tentang
konsep jihad yang dipahami oleh sekelompok
muslim ini. Kalau, perbuatan ini memang dilakukan
atas nama Allah, dan untuk Allah, juga untuk
menegakkan agama-Nya, mengapa mereka harus
membunuh saudara mereka yang sesama muslim
juga, dan mengapa hati Sarmad begitu memberontak
dengan keadaan itu.
Mitos Penafsiran tentang ajaran-ajaran Islam begitu
beragam. Dalam masalah fiqh atau syariat misalnya,
antara imam yang satu dan yang lain bisa berbeda.
Tetapi, ketika perbedaan tersebut berakar pada
masalah ideologi atau aqidah, hal ini bisa menjadi
rumit karena masing-masing akan mempertahankan
ideologi yang diyakini, sehingga penafsiran tentang
Islam menjadi parsial.
10) Scene 10
Mary akhirnya berhasil keluar dari desa dibantu oleh pamannya yang merupakan
ayah dari Sarmad serta di bawah pengawasan pemerintah Inggris. Setelah mengalami
proses persidangan terkait dengan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh Sarmad
dan ayahnya, ia malah kembali ke desa FATA dan mengajar orang-orang di sana.
Visual Dialog/ Suara Type of Shot
-
-
-
Medium Shot,
memperlihatkan gambar
yang netral.
Medium Shot,
Pada jarak ini
meperlihatkan tubuh
manusia dari pinggang ke
atas. Gesture serta ekspresi
wajah mulai tampak.
Medium Close-up,
meperlihatkan tubuh
manusia dari dada ke atas.
Sosok tubuh manusia
mendominasi frame dan
latar belakang tidak lagi
dominan.
Denotasi Mary kembali ke desa FATA dan mendirikan
sekolah di sana, sekolah itu adalah bekas bangunan
kosong yang tidak terpakai lagi sehingga ia harus
membersihkannya terlebih dahulu. Di dorong rasa
peduli yang ia miliki, meskipun sendirian, ia tetap
terlihat bersemangat menjadikan tempat tersebut
tempat yang layak untuk dijadikan sarana belajar.
Dalam gambar berikutnya terlihat wajah-wajah
gembira dari perempuan-perempuan di desa itu,
karena mengetahui Mary kembali dan mengajar di
sana.
Konotasi Rasulullah saw. pernah bersabda, ”Barang
siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid
Nabawi) dengan tujuan mempelajari kebaikan atau
mengajarkannya, maka ia laksana orang yang
berjihad di jalan Allah Ta‟ala. Dan barang siapa
yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka
ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang
bukan miliknya” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh
ibnu Hibban)
Tanpa mengurangi keagungan jihad fi
sabilillah, dalam rangka menegakkan keadilan di
bumi, hal ini seolah ingin memberikan sebuah
gambaran bahwa jihad tanpa mengangkat senjata
juga sama beratnya dengan bentuk jihad tersebut. Ini
terlihat dari pengorbanan Mary yang meninggalkan
keluarga dan orang-orang terkasihnya untuk
mencurahkan pengetahuan yang ia punya kepada
orang-orang yang memerlukan di sana. Karena,
musuh yang nyata itu juga termasuk tantangan yang
dihadapi dunia Islam saat ini, salah satunya adalah
masih banyaknya kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan.
Mitos Dalam realitas modern, konstruksi tentang
masyarakat Islam seperti yang diwakilkan oleh
penduduk desa tersebut, diidentikkan dengan
mereka yang memiliki penafsiran hidup yang sukar
dalam melakukan aktifitas masyarakat. Salah
satunya lewat larangan mempelajari hal-hal yang
tidak berkaitan dengan ilmu agama.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah peneliti menganalisis data berupa rangkaian scene dalam film In The
Name of God dengan mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos yang dianggap
merepresentasikan konsep jihad Islam, maka peneliti merumuskan beberapa hal yaitu:
1. Makna Denotasi
Makna denotasi dalam penelitian ini adalah gambaran tentang potret
kehidupan orang-orang muslim, khususnya Pakistan, di tiga benua di dunia.
Sehingga, ada tiga lokasi yang diwakilkan oleh masing-masing tokohnya, Pertama,
Mary atau Mariam yang berasal dari Inggris, Kedua, Sarmad di Pakistan, dan
Mansoor, kakak Sarmad yang menuntut ilmu musik di Chicago, Amerika Serikat.
2. Makna Konotasi
Sehingga, Makna konotasi yang terlihat dalam film ini adalah perjuangan
yang dilakukan oleh tiga orang tersebut terkait dengan identitas islam yang ada pada
diri mereka dan pengimplementasiannya dalam kehidupan. Lebih khusus lagi,
Sarmad berjuang dengan berpegangan pada konsep jihad Islam yang ditawarkan
oleh Maulana Tahiri, yaitu jihad yang berupa perang fisik untuk menegakkan agama
Islam, ini terlihat dalam beberapa scene saat ia melakukan jihad di Afghanistan.
Sedangkan Mary bejuang untuk mengeluarkan dirinya dari pernikahan paksa dan
dari keterkungkungan di desa FATA, sedangkan Mansoor berjuang untuk mencapai
cita-citanya di Amerika.
3. Mitos
Ada beberapa mitos yang terlihat dalam film ini, yaitu tentang wacana
tentang jihad dalam agama Islam yang berarti peperangan dan jihad yang dianggap
sebagai holy war atau perang suci. Secara singkat, mitos yang ada dalam film ini
adalah kepercayaan tentang nilai-nilai kebenaran dalam agama Islam yang
disalahgunakan untuk melakukan jihad atas nama Tuhan.
Dari ketiga makna di atas, maka peneliti dapat mengatakan bahwa representasi
konsep jihad dalam film In The Name of God ini berupa jihad yang dimaknai sebagai
peperangan, jihad dalam menuntut ilmu, dan jihad untuk mempertahankan diri dari
ketidakadilan yang menimpa seseorang.
Di sini, Shooaib Mansoor memang lebih menonjolkan jihad yang berkonotasi
pada peperangan, karena potret kultur yang diambil adalah sekelompok orang Pakistan
yang tinggal di dekat perkampungan Thaliban, sehingga kalaupun pemahaman mereka
tentang jihad cukup keras, maka itu adalah hal yang wajar. Adapun Mary dan Mansoor
yang hidupnya sudah terwarnai oleh kultur Eropa dan Amerika yang dianggap
mengagungkan demokrasi, persamaan hak, dan kebebasan, tidak mengenal konsep jihad
yang seperti itu.
B. Saran
Terkait dengan penelitian ini ada beberapa saran yang penulis dapat sampaikan:
1. Sebelum menonton sebuah film, kita harus siap dihadapkan dengan stereotype -
streotype yang akan dibuat oleh sutradaranya sebagai penggambaran realitas yang
diinginkan. Karena, film bukan semata-mata pemindahan realitas di hadapan kita
yang begitu saja dipindahkan ke dalam layar, tetapi ada nilai-nilai yang dimiliki oleh
pembuatnya yang ingin ia masukkan. Sehingga realitas itu menjadi sebuah
representasi saja, sebuah gambaran yang sudah dimediasi.
2. Bagi penulis, film ini sudah memenuhi kriteria yang baik untuk sebuah film. Ada
unsur hiburan, edukasi, dan juga informasi. Tanpa harus menyudutkan satu pihak,
film ini bisa dijadikan contoh bagi mereka yang ingin membuat film idealis tanpa
harus melupakan fungsi film sebagai hiburan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Malaky, Ekky. Remaja Doyan Filsafat, Why Not?. 2004. Bandung: DAR! Mizan.
Ardianto, Elvinaro dan Komala, Lukiati. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. 2007.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Barthes, Roland. Mitologi. 2009. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bignell, Jonathan. Media Semiotics: An Introduction. 1997. Manchester and New York:
Manchester University Press.
Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. 2010. Yogyakarta: Jalasutra.
_ _ _ _,. Pesan, Tanda, dan Makna. 2010. Yogyakarta: Jalasutra
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 2. 1994. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Endriana, Herita. ”Menggugat Wajah Islam yang Keras”, Seputar Indonesia, 14
November 2010.
Ghurab, Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme.1991. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Hartley, John. Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci. 2009
Yogyakarta: Jalasutra.
John L. Esposito dan Dalia Mogahed. Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim
tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya.
2008. Bandung: PT Mizan Pustaka.
„Imarah, Muhammad. Perang Terminologi Islam Versus Barat. 1998. Jakarta: Robbani
Press.
Irwinsyah, Ade. Seandainya Saya Kritikus Film, Pengantar Menulis Kritik Film. 2009.
Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi. 2006. Jakarta: KENCANA.
Kuper, Adam dan Kuper, Jessica. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi Kedua. 2000.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Majalah Tempo, FITNA DARI BELANDA, Edisi 7-13 April 2008
Majalah Era Muslim Digest, ”The Dark Side 911, Sisi Gelap Peristiwa WTC, Edisi
Koleksi II. 2007.
Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka
Qutb, Assyahid Sayyid. 1993. Harokah Jihad Islam, Muqoddimah Surat Al-Anfaal
dalam Fi Dzilalil Qur‟an.
Sepriyossa, Darmawan. ”In The Name of God Satu Islam Sebuah Dialektika”
Republika, 9 November 2010.
Sobur, Alex. Analisis Teks Wacana: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. 2006. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
_ _ _ _,. Semiotika Komunikasi. 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suprapto, Tommy. Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam
Komunikasi, 2011. Yogyakarta: CAPS.
Tim Penyusun Pustaka Azet Jakarta. Leksikon Islam. 1998. Jakarta: PT Penerbit
Pustazet Pustaka.
Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman. 2010.
Yogyakarta: Interprebook.
http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel.php?1=1&a=view&recid=KAR-000072
diakses pada 19 November 2010
http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/4659093.stm diakses pada 6 Maret 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 diakses pada 6 Maret 2011
http://rol.republika.co.id/berita/46998/Tiga_Terdakwa_Pengeboman_London_Dibebask
an diakses pada 6 Maret 2011