Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO CERITA RUPA MASYARAKAT SUMBA DI
BERITAGAR.ID
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
Yusuf Yanuar
NIM: 1112051100040
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO CERITA RUPA MASYARAKAT SUMBA
DI BERITAGAR.ID
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Yusuf Yanuar
NIM: 1112051100040
Pembimbing
Ade Rina Farida, M.Si
NIP. 197705132007012018
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019
iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama: Yusuf Yanuar
NIM: 1112051100040
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ANALISIS
SEMIOTIKA FOTO CERITA RUPA MASYARAKAT SUMBA DI
BERITAGAR.ID adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak
melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada
dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam
skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan
merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 3 Juli 2019
Yusuf Yanuar
NIM 1112051100040
iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi karya Yusuf Yanuar, yang berjudul Analisis Semiotika Foto Cerita Rupa
Masyarakat Sumba Di Beritagar.Id telah diujikan dalam Sidang Munaqasah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada tanggal 10 Juli 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar program Strata Satu (S1) pada jurusan konsentrasi
Jurnalistik.
Tangerang Selatan, 10 Juli 2019
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Kholis Ridho, M.Si Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A
NIP. 19781142009121002 NIP. 197104122000032001
Anggota
Penguji I Penguji II
Siti Nurbaya, M.Si Syamsul Rijal, M.A, Ph.D
NIP. 197908232009122002 NIP. 197810082006041002
Pembimbing
Ade Rina Farida, M.Si
NIP. 197705132007012018
v
KATA PENGATAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur peneliti panjatkan
kepada Allah SWT karena atas nikmat dan karuniaNya penelitian skripsi ini dapat
berjalan dengan baik tanpa halangan yang berarti. Shalawat dan serta salam juga
tidak lupa ditunjukkan kepada Nabi besar Muhamad SAW.
Begitu banyak kesan dan manfaat yang dirasakan oleh peneliti saat
menyelesaikan skripsi ini. Peneliti tidak hanya mendapatkan ilmu tetapi juga
mendapatkan pelajaran bahwa tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras.
Selain itu, peneliti menjadi lebih terbuka dalam berpikir bahwa Islam adalah
agama yang begitu menjunjung tinggi perbedaan serta penuh cinta kepada seluruh
manusia.
Peneliti skripsi ini tentu memiliki beragam tantangan dalam
pengerjaannya. Namun, dengan adanya dukungan dan semangat dari berbagai
pihak, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Karena itu,
dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga
kepada:
1. Orangtua tercinta, Ayahnda Bapak Nasad dan Ibunda Sancih yang
sangat luar biasa memerjuangkan dan mendukung peneliti untuk bisa
meraih pendidikan setinggi-tingginya, memberikan kasih sayang doa
yang tak terhingga sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
2. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.
3. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Dr. Suparto, M.Ed., Ph.D., Wakil Dekan I Bidang
Akdemik Dr. Siti Napsiyah, Wakil Dekan II Bidang Administrasi
Umum Sihabuddin Noor, M.Ag., Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan Cecep Sastra Wijaya MA.
4. Ketua Jurusan Jurnalistik Kholis Ridho, M.Si., Serketaris Jurusan
Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang telah meluangkan
vi
waktunya untuk sekedar berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal
perkulihan.
5. Ibu Ade Rina Farida, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing yang telah
begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada peneliti di tengah
kesibukan yang padat, serta membimbing peneliti dengan sabar agar
skripsi ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.
6. Kepada Ibu Siti Nurbaya M.Si dan Syamsul Rizal, M.A yang telah
menjadi penguji dalam sidang Munaqasah saya, terima kasih telah
mengoreksi skripsi saya sehingga menjadi lebih baik.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang
telah mengajari dan memberi ilmu kepada peneliti. Mohon maaf
apabila ada kesalahan kata atau sikap yang menyinggung selama
perkulihan.
8. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tela berbaik hati
dalam meberikan buku-buku yang dibutuhkan oleh peneliti.
9. Teruntuk Kakak petama Yuni & Asep Supriyadi, Kakak kedua
Yulianti & Hasan, Keponakan Jiswa, Jihad, Syafiq, & Abizar yang
selalu memberi motivasi dan semangat setiap harinya.
10. Segenap keluarga besar Klise Fotografi, yang selalu memberikan
tempat dan waktu bagi penulis untuk belajar.
11. Untuk teman-teman Jurnalistik, Rheza Alfian, Harry Riandayasa, Roni
Kurniawan, Angga Satria Perkasa, Achmad Fauzi, Parama Sumbada,
Alief Mumtaz, Farouq Audah, Reza Amanda, M. Badruzaman, Yasir
Arafat. Terima kasih telah memberikan banyak moment yang
menyenangkan sehingga perkuliahan ini berkesan. Semoga kita sukses
kawan., semoga silaturahmi di antara kami tidak terputus sampai di
sini.
12. Kawan-kawan Warsun Terima kasih karena selalu memberi motivasi
dan semangat setiap harinya.
13. Kawankawan Kantor Glosor Indonesia Beserta (Alvian Luneto, Prima
Utama Rizki, Deny Eka Sumantri, Muhammad Satria Pradika, Tan
vii
Zerrie, Riesky Nurfitrian, Walmy Khasogi, Faisal Amin). Terima kasih
karena selalu memberi motivasi dan semangat setiap harinya.
14. Prana Komunika Terima kasih karena selalu memberi motivasi dan
semangat setiap harinya.
15. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang tidak dapat
disebutan stau persatu. Semoga amal dan kebaikan kalian selalu
dijabah oleh Allah SWT.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan peneliti dalam
menyelesaikan skripsi ini, semoga apa yang telah peneliti lakukan dapat
bermanfaat untuk para pembaca, memberikan nilai kebaikan khususnya
bagi peneliti maupun pembaca sekalian dan semoga dapat menjadi
kebaikan dalam bidang dakwah dan komunikasi di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Aamiin Ya Rabbal Alamiiin
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Jakarta, 3 Juli 2019
Yusuf Yanuar
viii
ABSTRAK
Nama: Yusuf Yanuar
NIM: 1112051100040
Analisis Semiotika Foto Cerita Rupa Masyarakat Sumba di
Beritagar.Id
Indonesia terdiri dari beragam macam budayanya. Salah satunya budaya
yang ada di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di sana terdapat budaya seperti
marapu, batu kubur, dan lainnya. Budaya-budaya yang ada pun tidak dibiarkan
diam begitu saja, budaya juga diabadikan melalui medium fotografi.
Fotografi hadir sebagai media rekam dua dimensi beku yang paling akurat
untuk merepresentasikan realita. Sejak foto cetakan pertama pada tahun 1826
hingga tahun 2019 ini, fotografi masih ampuh digunakan untuk merekam berbagai
peristiwa, termasuk di dalamnya tentang kebudayaan. Menjadi menarik untuk
diteliti bagaimana suatu foto tentang kebudayaan dilihat menggunakan teori
semiotika. Dari latar belakang di atas, timbul pertanyaan, Apa kandungan pesan
denotasi dan konotasi yang disampaikan fotografer melalui fotonya? Adakah
mitos-mitos dari setiap foto yang disampaikan?
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah semiotika yang
dikembangkan oleh Roland Barthes. Metode analisis ini menekan pada
pemaknaan tanda-tanda yang timbul dari suatu karya (dalam hal ini karya
fotografi) dengan tiga tahap, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos yang ditafsirkan
atau dimaknai sendiri oleh peneliti yang tentu dengan latar belakang
kemampuannya, tanpa mencari suatu kebenaran yang mutlak.
Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa foto cerita berjudul Rupa
Masyarakat Sumba di Beritagar.id mempunyai makna denotasi, konotasi, dan
mitos. Dalam foto tersebut, terdapat makna yang menceritakan apa saja budaya-
budaya yang ada di pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang sangat menjunjung
tinggi leluhur. Tidak hanya itu, masyarakat pulau Sumba pun sangat erat
berhubungan dengan beberapa jenis hewan yang dianggap istimewa. Masyarakat
pulau Sumba pun dinilai sangat menjunjung tinggi keramahan kepada siapa saja
yang datang untuk bertamu. Di antara budaya-budaya yang ada di pulau Sumba
pun terdapat mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, seperti bagaimana
memperlakukan roh-roh yang sudah mati.
Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Masyarakat Sumba, Budaya.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iv
KATA PENGATAR .............................................................................................. v
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 5
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 5
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran .................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................. 12
A. Teori Semiotika .......................................................................................... 12
B. Semiotika Roland Barthes .......................................................................... 15
C. Foto Jurnalistik ........................................................................................... 23
x
1. Sejarah Foto Jurnalistik .......................................................................... 25
2. Jenis Foto Jurnalistik .............................................................................. 27
BAB III GAMBARAN UMUM.......................................................................... 36
A. Gambaran Umum Beritagar.id ................................................................... 36
B. Susunan Redaksi Beritagar.id .................................................................... 38
C. Gambaran Umum Masyarakat Pulau Sumba ............................................. 40
1. Profil Pulau Sumba ................................................................................. 40
2. Budaya Masyarakat Sumba .................................................................... 41
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA .................................................... 47
A. Temuan dan Analisis Data Foto Cerita Rupa Masyarakat Sumba……46
1. Data Foto 1 ................................................................................................. 46
1. Makna Denotasi ...................................................................................... 47
2. Makna Konotasi ..................................................................................... 47
3. Makna Mitos ........................................................................................... 51
2. Data Foto 2 ................................................................................................. 53
1. Makna Denotasi ...................................................................................... 53
2. Makna Konotasi ..................................................................................... 54
3. Makna Mitos ........................................................................................... 56
3. Data Foto 3 ................................................................................................. 57
1. Makna Denotasi ...................................................................................... 57
2. Makna Konotasi ..................................................................................... 58
xi
3. Makna Mitos ........................................................................................... 60
4. Data Foto 4 ................................................................................................. 62
1. Makna Denotasi ...................................................................................... 62
2. Makna Konotasi ..................................................................................... 63
3. Makna Mitos ........................................................................................... 65
5. Data Foto 5 ................................................................................................. 66
1. Makna Denotasi ...................................................................................... 66
2. Makna Konotasi ..................................................................................... 67
3. Makna Mitos ........................................................................................... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 71
A. Interpretasi Peneliti…………………………………………………….71
B. Kesimpulan ............................................................................................... 73
1. Tahap Denotasi ....................................................................................... 70
2. Tahap Konotasi ....................................................................................... 71
3. Makna Mitos ........................................................................................... 71
B. Saran ......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77
LAMPIRAN ......................................................................................................... 79
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Peta Tanda Roalnd Barthes …………………………………………… 17
Tabel 2. Tatanan Penandaan Roland Barthes ...………………………………….18
Tabel 3. Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif ………………………….19
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki budaya yang
berbeda di setiap daerahnya. Setidaknya Terdapat 17.504 pulau yang termasuk ke
dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Deputi
Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, di mana
16.056 pulau telah dibakukan namanya di PBB hingga Juli 2017.1
Pulau Sumba, di Nusa Tenggara Timur ialah salah satu pulau yang kaya
akan budaya. Masyarakat yang tinggal di daerah ini masih lekat dengan tradisi
lama yang diturunkan secara lisan oleh leluhur mereka.
Berbagai budaya leluhur masih dipelihara hingga kini, misalnya dengan
budaya Batu Kubur. Batu Kubur adalah kuburan batu besar yang identik dengan
zaman megalitikum, bisa dengan mudah ditemui di Pulau Sumba. Hampir setiap
rumah minimal memiliki sebuah kuburan batu. Kuburan itu biasanya dibangun di
depan rumah mereka. Masyarakat Sumba percaya, rumah ketika masih hidup
haruslah berdampingan dengan rumah ketika mereka meninggal, dalam hal ini
kuburan, ini juga diartikan sebagai simbol kedekatan antara arwah dan keluarga
yang masih hidup.2 Sebagai bentuk penghormatan kepada kerabat yang telah
1 Diakses dari merdeka.com yang berjudul Dari 17.504 Pulau di Indonesia, 16.056 telah
diverifikasi PBB pada 24 Februari 2019 pukul 23.17 WIB -
https://www.merdeka.com/peristiwa/dari-17504-pulau-di-indonesia-16056-telah-diverifikasi-
pbb.html, Penulis: Eko Prasetya.
2 Diakses dari detik.com yang berjudul Mengenal Batu Kubur Sumba pada 24 Februari
2019 pukul 23.33 WIB - https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1512862/mengenal-batu-
kubur-sumba, Penulis: DetikTravel.
2
meninggal, keluarga akan membuatkan batu kubur yang besar dan indah. Batu -
batu itu diambil dari gunung, kemudian dipahat sesuai dengan bentuk dasar yang
diingankan, setelah itu ornamen-ornamen akan diukir di setiap sisi batu yang telah
terbentuk menjadi sebuah dolmen atau sarkofagus. Semakin indah dan besar
sebuah batu kubur, maka hal itu menyimbolkan juga semakin besar status dan
martabat dari yang meninggal. Batu kubur juga sering dikaitkan dengan
kebangsawanan masyarakat Sumba karena tidak sedikit biaya yang dibutuhkan
untuk membangun batu kubur.3
Ada juga budaya yang bernama Marapu. Marapu dapat diartikan sebagai
keyakinan atas kemampuan arwah leluhur menghubungkan manusia dengan Sang
Pencipta. Mayoritas masyarakat Sumba percaya bahwa leluhur yang telah
meninggal dunia dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Karena kesaktian yang
dimilikinya, arwah leluhur menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan.
Penganut Marapu menyampaikan permohonannya terhadap Tuhan melalui arwah
sang leluhur melalui upacara-upacara adat.4 Penganut Marapu umumnya hidup
bersama di kampung adat. Keberadaan kampung adat Marapu dapat ditemukan
dengan mudah di Pulau Sumba. Mereka umumnya ada di dataran rendah maupun
bukit yang jauh dari pusat keramaian.
3 Diakses dari tribunnews.com yang berjudul Kuburan Megalitik Lambang
Kebangsawanan Orang Sumba pada 24 Februari 2019 pukul 23.38 WIB -
http://www.tribunnews.com/regional/2011/02/09/kuburan-megalitik-kebanggaan-orang-sumba,
Editor: Juang Naibaho.
4 Diakses dari cnnindonesia.com yang berjudul Mengenal Lebih Dekat Ritual Sakral
Marapu pada 24 Februari 2019 pukul 23.53 WIB - https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20161127173904-269-175655/mengenal-lebih-dekat-ritual-sakral-marapu, Penulis: Lalu
Rahardian.
3
Batu kubur dan tradisi marapu merupakan salah satu budaya yang masih
dipertahankan oleh masyarakat Sumba. Masih banyak lagi budaya warisan leluhur
yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Kebudayaan-kebudayaan masyarakat Sumba diabadikan oleh melalui foto
cerita yang berjudul Rupa Masyarakat Sumba di media daring beritagar.id dengan
fotografer Wisnu Agung Prasetyo.
Beritagar.id merupakan media daring yang lahir pada 2015, merupakan
gabungan dari situs kurasi publik, Lintas.me (2011), dengan situs kurasi
Beritagar.com (2012). Mengusung visi yang sama, "Merawat Indonesia”,
keduanya sepakat membangun sebuah media baru berbasis teknologi, yang
kemudian diberi nama Beritagar.id, di bawah payung PT Lintas Cipta Media
(LCM) yang merupakan salah satu anak perusahaan Global Digital Prima (GDP)
Venture.5 Menurut alexa.com, saat ini beritagar.id menduduki peringkat 1.138
situs yang sering dikunjungi di Indonesia.6
Melalui karyanya, Wisnu Agung Prasetyo mampu menyampaikan
bagaimana sebuah foto dapat menjadi sebuah sarana bercerita tentang sejarah
suatu tempat. Seperti yang dikatakan Peter L. Berger pada buku Kisah Mata karya
Seno Gumira Ajidarma, bahwa
“Sebuah foto menahan aliran waktu di mana peristiwa yang
dipotret pernah ada. Semua foto adalah dari masa lalu, dan masa lalu itu
tertahan, tak bisa melaju ke masa kini. Setiap foto menyajikan dua pesan:
pesan menyangkut peristiwa yang dipotret; dan menyangkut sentakan
diskontinuitas”7
5 Diakses dari beritagar.id - https://beritagar.id/tentang-kami.
6 Alexa.com merupakan situs untuk mengetahui peringkat kepopolueran sebuah situ web.
7 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 29.
4
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebuah karya foto dapat menjadi
saksi sejarah sebuah wilayah atau tempat melalui objek yang difoto.
Selain itu jika diteliti lebih jauh, dalam sebuah karya foto dapat
terkandung makna-makna dan pesan tersendiri yang mungkin ingin disampaikan
oleh sang fotografer. Foto atau gambar sama halnya dengan tulisan atau teks,
dapat terkandung makna di dalamnya. Karena pada dasarnya segala yang ada
dalam kehidupan manusia memiliki pesan dan makna yang ingin disampaikan.8
Dengan arti lain, foto tidak hanya dapat dinikmati secara visual, namun juga bisa
menyampaikan sebuah pesan bagi yang melihatnya.
Terkait hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti foto cerita yang
berjudul Rupa Masyarakat Sumba di beritagar.id dengan menggunakan teori
semiotika Roland Barthes yang terkenal melalui tiga tahap pemaknaan, yaitu
makna denotasi, makna konotasi, dan mitos.
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian dengan
judul “Analisis Semiotika Foto Cerita Rupa Masyarakat Sumba di
Beritagar.id”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada 5 dari 9 foto yang dipilih dalam foto cerita
Rupa Masyarakat Sumba.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:
8 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada, hal. 29.
5
a. Bagaimana fotografer memaknai ragam budaya masyarakat sumba pada
foto cerita Rupa Masyarakat Sumba Beritagar.id melalui teori Roland
Barthes?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian di atas, tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto cerita Rupa
Masyarakat Sumba di beritagar.id.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
pengembang wacana keilmuan, khususnya di bidang media serta komunikasi.
Selain itu, skripsi ini juga diharapkan mampu menjadi referensi bagi mahasiswa
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
wartawan, mahasiswa komunikasi, dan pemerhati foto serta kepada pembaca pada
umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan
masyarakat yang ingin belajar mengenai analisis semiotika dengan pendekatan
teori Roland Barthes.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
6
Paradigma merupakan cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir,
menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi
realitas. Paradigma ini berasumsi bagaimana pesan dikonstruksi atau disusun.9
Selain itu, konstruktivis memandang realitas merupakan hasil kontruksi sosial
yang diciptakan individu. Kebenaran suatu realitas sosial bersifat tidak mutlak dan
sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.10
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang mendalam atau in
depth dengan menemukan data secara terperinci pada sebuah kasus yang sering
kali bertujuan menemukan bagaimana sesuatu dapat terjadi.11
3. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini yaitu foto cerita Rupa Masyarakat
Sumba di Beritagar.id.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian diadakan selama tiga bulan sejak Maret 2019 – Juni
2019. Tempat pengambilan data dokumentasi berupa foto cerita Rupa
Masyarakat Sumba di Beritagar.id
Tempat penelitian lainnya untuk mendapatkan data referensi adalah
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
9 Ardianto Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 154. 10
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2011) h. 11. 11
Ardianto Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, h. 154.
7
5. Metode Penelitian
Penulis menggunakan semiotik sebagai metode dalam penelitian ini.
Semiotik merupakan ilmu atau metode analisis yang digunakan untuk mengkaji
tanda.12
Pemilihan metode semiotik bertujuan untuk mengkaji makna dari tanda-
tanda pada foto cerita Rupa Masyarakat Sumba di Beritagar.id. Selanjutnya,
semiotik milik Roland Barthes digunakan dalam penelitian ini untuk melihat tanda
melalui makna denotasi, konotasi dan mitos.
6. Sumber dan Jenis Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, digunakan dua data
seperti di bawah ini:
a. Data Primer
Dalam penelitian ini sumber data tersebut diperoleh melalui pada foto
cerita Rupa Masyarakat Sumba di Beritagar.id.
b. Data Sekunder
Data tersebut diperoleh dari transkip wawancara dengan fotografer, Wisnu
Agung Prasetyo. Selain itu, daftar pustaka seperti, buku-buku, artikel, dan
informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian menjadi data sekunder dalam
penelitian ini.
7. Teknik Pengumpulan Data
a. Pemilihan Foto
Data foto yang diperoleh dari foto cerita Rupa Masyarakat Sumba di
Beritagar.id tersebut kemudian dipilih 5 foto yang sesuai dengan batasan
12
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 15.
8
penelitian. Kemudian, foto tersebut dikaji menggunakan teori semiotika Roland
Barthes yang memaknai tanda melalui tahapan denotasi, konotasi, dan mitos.
b. Wawancara Fotografer Wisnu Agung Prasetyo
Wawancara merupakan alat pengumpul data yang melibatkan manusia
sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubung dengan realitas atau gejala yang dipilih
untuk diteliti.13
Selain itu, wawancara digunakan untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya. Wawancara ini dilakukan sebagai pendukung untuk
mengetahui analisis semiotika Roland Barthes pada foto cerita Rupa Masyarakat
Sumba di Beritagar.id.
c. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data melalui buku,
majalah, jurnal, media massa, internet dan lainnya yang berkaitan dengan foto
cerita Rupa Masyarakat Sumba di Beritagar.id.
8. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk
melihat makna dari tanda pada foto cerita Rupa Masyarakat Sumba di
Beritagar.id. Masing-masing foto yang telah dipilih sebelumnya akan dianalisis
melalui tiga tahapan. Pertama denotasi, kedua konotasi, dan ketiga mitos.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari penelitian yang sama, sebelum menyusun penelitian
ini penulis meninjau sejumlah penelitian terdahulu yang telah dilakukan di
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
13
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,
2007), h. 132.
9
Unversitas lainnya. Hal tersebut juga diperlukan untuk menambah referensi bagi
penulis dalam menyusun penelitian ini. Setidaknya, ditemukan tiga skripsi yang
menjadi tinjauan pustaka:
Skripsi dari M. Hendartyo Hanggi dengan judul “Makna Tradisi Budaya
„Pacoa Jara‟ dalam Foto (Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi
Perbawa Berjudul The Riders Of Destiny pada Ajang Pameran The Jakarta
International Photo Summit Tahun 2014)” oleh M. Hendartyo Hanggi, pada 2015,
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kedua, skripsi karya Ardiansyah Pratama 1110051100107 dari Jurusan
Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta berjudul Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi
Semiotika Makna Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores
Revisited Pada Pameran Jakarta Biennale 2015). Meskipun memiliki kesamaan
pada teori, yakni menggunakan teori semiotika Roland Barthes, namun objek
penelitian kami berbeda.
Ketiga, “Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran
Foto Bianglala Xinjiang Karya Ismar Patrizki” oleh Ershad Wiladatika tahun
2015, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
F. Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran
Secara umum, teori didefinisikan sebagai seperangkat konsep, asumsi, dan
generalisasi, digunakan untuk menjelaskan suatu gejala atau fenomena tertentu.
Dengan demikian, teori memiliki tiga fungsi dalam penelitian ilmiah, yaitu
explanation, prediction, dan control atau pengendalian terhadap suatu gejala.14
Dalam konteks ilmiah, suatu teori berfungsi:
a. Memperjelas dan mempertajam ruang lingkup variabel.
b. Memprediksi dan memandu dalam menemukan fakta yang kemudian
dipakai untuk merumuskan hipotesis dan menyusun instrument
penelitian.
c. Mengontrol proses dan hasil penelitian, untuk kemudian dipakai dalam
memberikan saran teoritis dan praktis.
Teori yang akan dipakai untuk membedah simbol-simbol dalam penelitian
ini ialah Semiotika Roland Barthes dengan tiga tahap yaitu denotasi, konotasi, dan
mitos. Setelah makna didapat, kemudian hasil temuan tersebut menjadi pedoman
untuk menganalisis makna budaya yang terkandung pada foto cerita Rupa
Masyarakat Sumba.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini mengacu pada Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sesuai
dengan Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507
Tahun 2017.
14
Diakses dari http://www.masterjurnal.com/ fungsi-teori-dalam-penelitian-ilmiah.
11
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini ialah sebagai berikut:
BAB I: Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustakan
dan sistematika penelitian.
BAB II: Bab ini meliputi gambaran umum tentang tinjauan umum teori
semiotika, serta makna budaya.
BAB III: Bab ini menguraikan tentang gambaran umum beritagar.id dan
kebudayaan di pulau Sumba.
BAB IV: Bab ini membahas tentang temuan data mengenai analisis
semiotika pada foto cerita Rupa Masyarakat Sumba di beritagar.id dan makna
budaya yang terkandung.
BAB V: Pada bab terakhir merupakan kesimpulan dan saran dari
penelitian.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Semiotika
Secara bahasa, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang
berarti tanda. Tanda didefinisikan sebagai suatu hal yang dapat mewakili sesuatu
yang lainnya. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjukan
hal lain.1 Secara terminologis, Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu
yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.
Pada dasarnya semiotika merupakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu
dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi atau wacana
tertentu. Analisanya bersifat paradigmatik dalam arti berupaya menemukan makna
termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks.2
Semiotika mempelajari tentang kode-kode sebagai tanda atau sesuatu yang
memiliki makna. Semiotika digunakan untuk mengkomunikasikan informasi.
Semiotika juga meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda yang
dapat diterima oleh semua panca indera. Tanda-tanda tersebut akan membentuk
sebuah sistem kode yang secara sistematis menyampaikan sebuah pesan atau
informasi tertulis dari perilaku manusia yang kemudian diterima sehingga
maknanya akan lebih mudah dimengerti.
1 Indiwan Seto Wahyu Wibowo Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian
dan Skripsi Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 5. 2 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1996) dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo,
“Semiotika Komunikasi” (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 6.
13
Dalam perkembangannya, semiotika mempunyai dua tokoh sentral yang
memiliki latar belakang berbeda, yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand De
Saussure. Saussure berpandangan bahwa semiotika merupakan sebuah kajian
yang memperlajari tentang tanda-tanda yang menjadi bagian dari kehidupan
sosial.3 Saussure memiliki latar belakang keilmuan linguistik. Ia memandang
tanda sebagai sesuatu yang dapat dimaknai dengan melihat hubungan antara
petanda dan penanda yang biasa disebut signifikasi. Dalam hal ini Saussure
menegaskan bahwa dalam memaknai sebuah tanda perlu adanya kesepakatan
sosial. Tanda-tanda tersebut berupa bunyi-bunyian dan gambar.4 Saussure juga
menyebutkan objek yang dimaknai sebagai unsur tambahan dalam proses
penandaan. Contohnya, ketika orang menyebut kata “anjing” dengan nada
mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan. Penanda dan petanda
yang dikemukakan Saussure merupakan sebuah kesatuan, tak dapat dipisahkan,
seperti dua sisi sebuah koin. Jadi Saussure lebih mengembangkan bahasa dalam
pandangan semiotikanya.
Sedangkan Pierce memandang bahwa semiotika merupakan sesuatu yang
berkaitan dengan logika.5 Logika mempelajari bagaimana manusia bernalar yang
menurut Pierce dapat dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut
memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi dengan orang lain dan
memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh kehidupan manusia. Tanda yang
dimaksud Pierce dapat berupa tanda visual yang bersifat verbal maupun non
3 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), h. 4. 4 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. x.
5 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), h. 3.
14
verbal. Selain itu dapat juga berupa lambang, contohnya lampu merah yang
mewakili sebuah larangan.6
Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkaji semiotika terlihat jelas
bagaimana sebuah tanda dapat dimaknai. Saussure mengkaji semiotika melalui
bahasa yang dituturkan oleh manusia. Sedangkan Pierce lebih kepada logika atau
cara berpikir manusia dalam melihat suatu tanda yang dapat dimaknai di
kehidupan sehari-hari.7
Terdapat tiga cabang penelitian (branches of inquiry) dalam semiotika,
yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Pertama, sintatik merupakan suatu cabang
penyelidikan yang mengkaji tentang hubungan formal antara satu tanda dengan
tanda lain yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Kedua, semantik yaitu
cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda dengan
design objek-objek yang diacunya.8 Menurut Moris, design yang dimaksud adalah
makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam urutan tertentu. Ketiga, pragmatik
adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda
dengan interpretasi.9 Cabang yang dikemukakan Moris tersebut memiliki
keterkaitan satu sama lain yang dapat dimaknai sebagai tingkatan atau level.
Ketiga cabang tersebut juga memiliki spesifikasi kerja dan objek kajian tersendiri,
sehingga apabila dipakai untuk metode analisa akan menghasilkan “pembacaan”
yang mendalam.
6 Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 5.
7 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 35.
8 Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas
Makna, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 26. 9 Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas
Makna, h. 26.
15
Selain itu terdapat beberapa elemen penting dalam semiotik, yaitu
komponen tanda, aksis tanda, tingkatan tanda, dan relasi antar tanda.10
Komponen
tanda yang merupakan komponen penting pertama dalam semiotik memandang
praktik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni selain sebagai fenomena bahasa,
juga dapat dipandang sebagai tanda. Lalu, komponen penting selanjutnya adalah
aksis tanda, analisis tanda yang mengkombinasikan pembendaharaan tanda atau
kata dengan cara pemilihan dan pengkombinasian tanda berdasarkan aturan atau
kode tertentu, sehingga menghasilkan ekpresi yang memiliki makna. Selanjutnya
adalah tingkatan tanda. Dalam tingkatan tanda yang dikembangkan oleh Roland
Barthes ini terdapat dua tingkatan lainnya, yaitu denotasi (makna sebenarnya) dan
konotasi (makna tidak sebenarnya). Terakhir adalah relasi tanda. Relasi atau
hubungan tanda ini terdapat dua bentuk interaksi, yaitu metafora dan metomimi.11
Studi semiotik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tanda, kode, dan
kebudayaan. Tanda adalah kode adalah suatu medan asosiatif yang memiliki
gagasan-gagasan struktural. Kode ini merupakan beberapa jenis dari hal yang
sudah pernah dilihat, dibaca, dan dilakukan yang bersifat konstitutif bagi
penulisan yang dilakukan dunia ini.12
B. Semiotika Roland Barthes
Lahir dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg pada tahun
1915, Roland Barthes besar di Batonne. Ayahnya seorang perwira angkatan laut,
meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara sebelum ia genap berusia
10
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, h. 27-28. 11
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, h. 28. 12
Roland Barthes, Petualangan Semiologi (L’aventure Semiologique), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 420.
16
mencapai satu tahun.13
Barthes mengembangkan pemaknaan tentang semiotik
atau yang ia sebut sémiologie yang juga masuk dalam pandangan strukturalis.14
Barthes telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah
menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Semiotik
berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata bahasa
dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan
bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada
makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denonative). Kaitan dan
kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi
tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos.15
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang
menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.16
Sedangkan konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang
didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
(artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna
lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek
psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan.17
Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of
signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63. 14
Roland Barthes, Petualangan Semiologi (terjemahan), h. sampul belakang. 15
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 65. 16
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261. 17
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, h. 261.
17
Tabel 1. Peta Tanda Roalnd Barthes18
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3. Denotative Sign (Tanda
Denotatif)
4. Connotative Sign (Penanda
Konotatif)
5. Connotative Signified
(Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur
material. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaanya.
Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, yaitu
makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah cerita yang digunakan
untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi
Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu,
cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Tidak ada mitos
yang universal pada suatu kebudayaan. Mitos ini bersifat dinamis. Mitos berubah
dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan
18
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69.
18
perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari
kebudayaan tersebut.
Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam
tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interkasi antara
tanda dan pengguna atau budayanya yang sangat aktif.19
Teori tentang mitos
tersebut kemudian diterangkannya dengan mengetengahkan konsep konotasi,
yakni pengembangan segi signified (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat
konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi
mantap, ia akan menjadi ideologi.
Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil
konotasi.20
Seperti pada gambar di bawah:
Gambar 1. Tatanan Penandaan Roland Barthes:
Denotasi adalah penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa
yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi
tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek.
19
John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 1990), h.
121. 20
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: PT Serambi Ilmu,
2008), h. 14.
19
Denotasi didapat dari pengamatan langsung dari tanda-tanda yang ada yang
menghasilkan makna nyata, makna yang sebenarnya hadir. Dalam hal ini,
digambarkan bahwa denotasi lebih menitik beratkan pada ketertutupan makna.21
Sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Konotasi merupakan
penciptaan makna lapis kedua yang terbentuk ketika lambang denotasi dikaitkan
dengan aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Konotasi
identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi
untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai- nilai dominan yang
berlaku dalam suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya penanda konotasi
dibangun dari tanda-tanda dari sistem denotasi.22
Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi
sebagai berikut:
Tabel 3. Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif23
Konotasi Denotasi
Pemakaian Figur Penanda
Petanda Literatur
Kesimpulan Jelas
Memberi Kesan tentang Makna Menjabarkan
Dunia Mitos Dunia Keberadaan / Eksistensi
21
John Fiske, Cultural and communication Studies, h. 122. 22
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 23
Berger Arthur Asa, Tehnik-tehnik Analisis Media (Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
2000), h. 55.
20
Menurut Barthes, citra pesan ikonik atau iconic message (yang dapat kita
lihat, baik berupa adegan atau scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam)
dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu24
Pesan harfiah/pesan ikonik tak
berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada
tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.
Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai
analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas
kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotip tertentu. Pada tataran ini,
Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra khususnya menyangkut
fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut
Roland Barthes. Prosedur- prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu
konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap
realita itu sendiri (Trick Effect, Pose, dan Object) dan konotasi yang diproduksi
melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:25
1. Trick Effect
Artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk
menyampaikan maksud pembuat berita.
2. Pose
Pose ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil
foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang
diambil.
24
Yuwono dan Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h.
77-78. 25
Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 173.
21
3. Objek
Objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam
sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada sebuah
gambar atau foto.
4. Photogenia
Photogenia adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek
beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya.26
5. Aestheticism
Aestheticism yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara
keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
6. Sintaksis
Sintaksis atau Syntax yaitu rangkaian cerita dari isi foto atau gambar yang
biasanya berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Terdapat dua fungsi caption
yaitu, yang pertama berfungsi sebagai penambat atau pembatasan (anchorage)
agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud
penyampaiannya. Kemudian yang kedua adalah berfungsi sebagai pemancar
atau percepatan (relay) agar langsung dipahami maksud dari pesan yang
disampaikan.27
26
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 174 27
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), h. 128.
22
John Fiske menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan
menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto
yang memunculkan pertanyaan, “ini foto apa”, sedangkan konotasi adalah
“bagaimana ini bisa difoto?” Atau menitik beratkan pertanyaan, “mengapa
fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?”28
Atau dengan kata lain, denotasi
adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek, sedangkan konotasi adalah
bagaimana menggambarkannya.
Mitos menurut Roland Barthes, mitos bukanlah seperti apa yang kita
pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masu akal, transenden,
ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita
kubur. Tetapi mitos menurut Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.
Menurut Barthes, mitos adalah type of specch (tipe wicara atau gaya bicara)
seseorang.29
Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan
dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan
tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis
mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa
atau benda (gambar). Roland Barthes pernah mengatakan “Apa yang tidak kita
katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan
itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini,
manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan
interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya
terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada
28
John Fiske, Cultural and Communication Studies, h. 48. 29
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 127.
23
bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan
tertentu.30
Menurut Barthes, mitos memiliki empat ciri, yaitu:31
1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan
deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat
pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang
sebenarnya.
2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
4. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi.
Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai
kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik
tingkat pertamanya.
C. Foto Jurnalistik
Fotografi Jurnalistik adalah salah satu aliran fotografi yang lebih
mengutamakan realita dibandingkan dengan aliran lainnya. Dalam dunia
jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili sebuah
pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya dengan sebuah
tulisan.32
Taufan menambahkan bahwa foto jurnalstik Sebagai produk jurnalistik
30
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128. 31
Bedah Buku Belajar Membelah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes), Media
Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007, h. 4. 32
Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 100.
24
memang tak setua jurnalistik tulis. Ia berakar dari fotografi dokumenter setelah
teknik perekaman gambar secara realis ditemukan.33
Foto dikategorikan sebagai
foto jurnalistik saat foto itu terdapat nilai-nilai berita yang terkandung di
dalamnya, foto jurnalistik tidak harus bersifat kekerasan dan hal-hal berat lainnya,
jika sebuah foto sudah memiliki nilai berita bagi umum sesederhana apa pun foto
tersebut sudah bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.34
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri Magnum Photo, yang terkenal
dengan teori decesive moment menjelaskan bahwa foto jurnalistik berkisah
dengan gambar, melaporkannya dengan kamera, merekamnya dalam waktu, yang
seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkapkan sebuah
cerita.35
Seorang fotografer terutama fotografer jurnalistik, menginginkan foto
yang dihasilkan adalah moment puncak (decesive moment) dari sebuah peristiwa.
Karena moment tersebut sulit untuk diulang kembali.36
Fotografi jurnalistik bukan cuma sebagai pelengkap berita, penarik
pembaca ataupun hanya sekadar mengisi bagian kosong dari rubrik di kolom
sebuah media, ini alat terbaik yang saat ini dimiliki berita sebagai penyampainya
karena ringkas dan efektif, hal ini dinyatakan oleh tokoh fotografi dunia Kenneth
Kobre yang juga sebagai pengajar di salah satu universitas luar negeri.37
Di dalam
negeri sosok yang sudah tidak asing lagi dengan foto jurnalistik, Oscar Motuloh
mengatakan bahwa foto jurnalistik itu terdapat dua elemen, yaitu elemen verbal
dan elemen visual. Caption adalah keterangan pelengkap foto yang menjelaskan
33
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 130. 34
Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 165. 35
Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, h. 166. 36
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 130. 37
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 17.
25
foto, caption yang dibuat harus singkat dan menjelaskan secara sekilas.38
Visual
yang dimaksud Oscar Motuloh adalah penampilan mengenai foto itu sendiri.
Dari beberapa pengertian yang tertera, secara menyeluruh taufan dalam
bukunya Foto Jurnalistik mendefinisikan bahwa foto jurnalistik seperti
menghentikan waktu, dan memberi kita gambaran nyata bagaimana waktu
membentuk sejarah. Karena sifat dasarnya yang dokumentatif, foto jurnalistik
mampu membuat masyarakat melihat kembali rekaman imaji atas apa yang telah
mereka lakukan pada masa lalu, sekaligus memuat pertanyaan tentang apa yang
terjadi di masa datang, juga mampu membantu masyarakat memahami
lingkungannya dan diri mereka sendiri termasuk mengedentifikasi segala sesuatu
yang harus diwaspadai.39
1. Sejarah Foto Jurnalistik
Sejarah mencatat surat kabar harian Daily Graphic, pada Senin 16 April
1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman
satu seperti yang disebutkan Taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik,
merupakan embrio dari foto jurnalistik.40
Perkembangan foto jurnalistik sampai pada era foto jurnalistik modern
dikenal sebagai “golden age” (1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports
Illustrated, The Daily Mirror, The New York Daily News, Vu, dan LIFE
menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada era itu
muncul nama nama jurnalis foto, seperti Robert capa, Alfred Eisenstaedt,
Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W. Eugene Smith. Lalu ada Henri
38
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 17. 39
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h, 16. 40
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik h. 1.
26
Cartier-Bresson dengan gaya candid dan dokumenternya.41
Cartie-Bresson,
bersama Robert Capa, David Seymour, dan George Rodger kemudian mendirikan
Magnum photos pada 1947, menjadikan agensi foto berita pertama yang
menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu dan belahan dunia. Para pendirinya
yang alumni LIFE kemudian membagi area kerja, Afrika dan Timur Tengah, India
dan Cina, Eropa, serta Amerika.42
Di Indonesia sendiri awal mulanya muncul fotografi jurnalistik pada 1841,
orang tersebut adalah Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat
jalan laut di Batavia. Seorang anak Indonesia yang diangkat oleh pasangan
Belanda bernama Kassian Cephas dikenal dengan hasil fotonya pada tahun
1875.43
Berbeda dengan Kassian Cephas yang cenderung mooi indie, ada nama
juru foto H.M. Neeb dengan karyanya yang fenomenal tentang perang aceh pada
kurun 1904 tanpa kehadiran Neeb, tak ada sama sekali kesaksian terjadinya
perang Aceh melawan colonial. Seperti yang dikatakan sebelumnya, foto
dokumenter sebagai akar dari foto jurnalistik telah dikenal di tanah air sejak abad
ke-19.44
Dalam buku IPPHOS karya Yudhi Soerjoatmodjo, Oscar Motuloh
mengungkapkan, pada 2 Oktober 1946 Justus Umbas bersama Frans “Nyong”
Mendur, Alex Mamusung serta Oscar Ganda, mereka mendirikan IPPHOS, yang
41
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 4-5. 42
Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, h. 63. 43
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 7. 44
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 7.
27
tercatat sebagai kantor berita foto independen pertama di Indonesia.45
Hingga
pada 1992 Lembaga Kantor Berita Negara Antara mendirikan Galeri Foto
Jurnalistik Antara (GFJA), galeri pertama yang fokus pada foto jurnalistik.
Dengan kelas foto jurnalistiknya, Antara menjadi katalis lahirnya jurnalis foto
muda. Lewat jalur pendidikan mereka mengembangkan minat dan wawasan
jurnalistik.
Oscar Motuloh dalam tulisannya tahun 2014 di situs resmi agensi foto
milik Indonesia Antara Foto memperkuat tentang kiblat atau sumber referensi,
bahwa masyarakat fotografi Indonesia tidak perlu kuatir akan perkembangan
fotografi jurnalistik kontemporer nantinya, karena World Press Photo masih
menjadian acuan yang baik bagi perkembangan fotografi dunia.46
2. Jenis Foto Jurnalistik
Foto jurnalistik dibagi dalam beberapa kategori. Menurut Rully Kesuma
dalam presentasinya tentang foto jurnalistik yang ia sampaikan pada kelas Galeri
Foto Jurnalistik Antara (GFJA) XVIII, bahwa kategori foto jurnalistik
berdasarkan standar World Press Photo (WPP) terdiri dari spot news, general
news, people in news, daily life, portrait, sport, science and technology, arts and
culture, nature and environment.47
45
Yudhi Soerjoatmodjo, IPPHOS Indonesian Press Photo Service, (Jakarta: Galeri Foto
Jurnalistik Antara, 2013), h. 220. 46
Diakses dari antarafoto.com yang berjudul Piramida Romantisme Kebuasan Manusia,
pada 30 Maret 2019 pukul 15.00 WIB
http://www.antarafoto.com/artikel/v1392441035/piramidaromantismekebuasanmanusia, 47
Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) adalah suatu lembaga pendidikan fotografi
dokumenter dan jurnalistik yang diadakan oleh Kantor Berita Antara setiap tahun sejak 1992.
Untuk info lengkap mengenai GFJA dapat dikunjungi di situs http://www.gfja.org/ atau Facebook
resmi GFJA Museum & Galeri Foto Jurnalistik Antara.
28
a. Spot Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal.
Misalnya foto kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Foto jenis ini harus
segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.48
Sampai kini
jenis foto ini merupakan primadona dalam foto jurnalistik secara umum, ia
menjadi kekuatan penting untuk menyampaikan suatu peristiwa kepada
khalayak secara gamblang.49
b. General News Photo Adalah foto yang diabadikan dari peristiwa yang
terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu: politik,
ekonomi dan humor.
c. People in The News Photo Adalah foto tentang orang atau masyarakat
dalam suatu berita, yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang
menjadi berita itu.
d. Daily Life Photo Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
e. Portrait Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up
dan “mejeng”. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang
dimiliki atau kekhasan lainnya.
f. Sport Photo Adalah foto yang dibuat ketika ada peristiwa atau event
olahraga. Pada pengambilan foto ini, dibutuhkan peralatan foto yang
memadai, karena objek dengan si pemotret berada pada jarak tertentu.
fotografer yang biasa meliput di stadion, lensa yang mereka gunakan
berukuran panjang dengan spesifikasi khusus. Serta fotografer di sirkuit
48
Audy MirzaAlwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 5. 49
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 69.
29
balap, dimana kamera yang digunakan mampu mem-freeze-kan objek
dengan fokus tinggi.
g. Science and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari peristiwa-
peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h. Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan
budaya.
i. Nature and Environment foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat
serta lingkungan sekitarnya. Contoh foto penduduk disekitar TPA Sampah
dan kegiatannya, pemburu yang fokus membidik hewan buruannya, dll.
Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan
hidupnya.
Ketegori foto jurnalistik seperti yang dikemukakan World Press Photo
dijadikan acuan untuk berbagai pembelajaran tentang foto jurnalistik di dunia.
Menurut Taufan wijaya untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta
penyajiannya dalam era jurnalistik saat ini terdapat jenis foto feature dan foto
cerita.50
Foto feature seperti membawa gambaran kehidupan di sekililing kita.
Sesuatu yang kadang berupa “adonan” dari cerita yang dekat dengan berita, atau
penggalan hidup yang teradang luput dari penglihatan banyak orang.51
Oscar
Matulloh dalam sebuah diskusi mengatakan, “foto feature pada sebuah peristiwa
ibarat mata uang yang dilihat dari sisi sebaliknya”,52
maksudnya adalah
menyampaikan sesuatu di balik kerak peristiwa agar mampu mengetahui dan
memahami cerita yang ada di balik setiap peristiwa. Kekuatan utama dalam foto
50
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 73. 51
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 74. 52
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 74.
30
feature ini adalah kesan yang ditimbulkannya menancap di benak karena
mempengaruhi emosi dan lebih memberi ruang kepada penikmat foto untuk
memaknai foto jurnalistik secara konotatif.
Foto cerita yakni terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo),
dan foto seri (story photo).53
a. Foto Tunggal adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan
lugas secara visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat
oleh kehadiran foto lainnya.
b. Foto Story atau cerita yakni lebih memunculkan keutuhan cerita dan detail
dalam sebuah peristiwa, idealnya terdiri antara 7-12 foto yang merupakan
kumpulan foto-foto terbaik dari suatu rangkaian cerita. Gaya penyampaian
foto cerita pertama kali muncul di jerman pada 1929 di majalah Muncher
Illustrierte Presse dengan judul “Politische Potrats” yang menampilkan
13 foto politikus jerman saat itu.54
Sejatinya foto cerita di level internasional lebih beragam dalam bentuk
penyajiannya, ialah Descriptive, Narrative, Photo Essay.55
a. Descriptive – Fotografer hanya menampilkan hal-hal yang menarik dari
sudut pandangnya. Sajian foto cerita dengan gaya ini adalah kompilasi
foto hasil observasinya. Ciri jenis foto cerita ini adalah susunan foto bias
diubah atau dibalik tanpa mengubah isi cerita. Bila pewarta-foto hanya
ingin merekam sesuatu yang mempesonanya atau menarik perhatiannya,
tanpa mengikuti perkembangan atau perubahan-perubahan yang terjadi, ia
53
Taufan wijaya, Foto Jurnalistik, h. 76. 54
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 79. 55
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 76
31
bisa memilih bentuk deskriptif ini sebagai laporan akhirnya. Bentuk ini
berupa suatu paket rangkaian foto-foto hasil observasi dan liputan yang
memiliki tema atau issue tertentu sering kali bisa tanpa permasalahan apa
pun di dalamnya yang disajikan tanpa alur yang tegas. Semacam paparan
saja. Pendek kata, sebuah kompilasi deskriptif bertumpu pada jumlah
(banyak) atau sedikit foto yang membentuknya, bukan pada alur cerita.
Urutan tak terlalu penting susunan bisa dipertukarkan tanpa merubah
cerita yang hendak disampaikan.56
b. Narrative – Photo story yang memiliki tema dan penggambaran situasi
atau struktur yang spesifik. Ciri foto cerita narrative memiliki alur dan
penanda yang tidak bisa sembarangan diubah susunannya. Narrative atau
yang di dalam perbincangan atau di dalam teks-teks rujukan lebih sering
disebut sebagai Photo Story saja adalah tutur yang memiliki tema tertentu
dan sedikitnya sebuah alur kisah atau cerita spesifik di dalamnya.
Strukturnya terbentuk dari komplikasi dan resolusi.
Komplikasi adalah persoalan atau isue utama yang disorot, yang
diliput dan yang dilaporkan. Di dalam jurnalisme, lazimnya komplikasi
berpusar pada masalah-masalah dasar dan cukup signifikan sehingga
orang-orang dapat mengaitkan dirinya dengan masalah tersebut (relevan)
atau bisa juga berupa karakter atau portrait seseorang yang bisa dijadikan
teladan, sumber inspirasi, atau membangkitkan empati dan solidaritas.
Resolusi adalah perubahan yang terjadi pada situasi/keadaan atau
pada karakter, sang tokoh yang disorot tersebut, biasanya berupa aksi-
56
Di akses dari artikel Tentang Photo Story: Catatan Terbuka untuk Arbain Rambey,
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAINRAMBEY_
32
aksi/tindakan untuk mengatasi komplikasi. Rangkaian aksi yang menandai
perubahan-perubahan dari komplikasi ke resolusi ini lah yang membentuk
alur (plot) cerita atau story. Tanpa perubahan tak akan ada cerita, tak ada
alur, tak ada kisah di dalamnya. Naratif bergantung pada kelengkapan
elemen/unsur cerita dan alur yang kukuh di dalamnya.57
c. Photo Essay adalah sebuah cerita dengan sudut pandang tertentu
menyangkut pertanyaan atau rangkaian argument. Bias juga berua analisis.
Ciri photo essay, yaitu menggunakan teks yang porsinya lebih banyak dan
kumpulan foto terbagi dalam blok-blok. Esai foto dibedakan dengan tegas
dari photo story karena memang berbeda fungsi dan karakternya. Jika
photo story adalah tentang fakta dan peristiwa sebagai informasi utama
yang dihantarkannya namun esai foto melampaui itu. Esai foto bertujuan
utama untuk menyampaikan pendapat atau opini secara sekaligus, fakta
dan peristiwa hanyalah pelengkapnya. Ia menganalisa dari pada
melaporkan suatu gejala, peristiwa atau isue tertentu. Ia adalah rangkaian
argumen yang menyatakan sudut pandang tertentu dari si pewarta foto
(dan atau redaksi).58
Karena karakter dan fungsinya itu, esai foto sangat
mengandalkan keberadaan teks atau kata-kata yang mendampinginya,
tidak sekedar caption yang memang merupakan syarat wajib di dalam
jurnalisme. Kerja sama foto dan teks menghasilkan efek-efek khusus yang
sangat kuat di dalam penyampaian opini atau pernyataan pendapat.59
57
Di akses dari artikel Tentang Photo Story: Catatan Terbuka untuk Arbain Rambey,
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAINRAMBEY_. 58
Di akses dari artikel Tentang Photo Story: Catatan Terbuka untuk Arbain Rambey,
Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAINRAMBEY_. 59
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 78.
33
Menurut Jacob Cecil dalam esai nya yang berjudul A Photographic Essay,
sebuah esai foto adalah seperangkat atau serangkaian foto-foto yang dimaksudkan
untuk menceritakan sebuah cerita atau membangkitkan serangkaian emosi di
penampil. Esai foto berkisar dari karya murni fotografi untuk foto dengan
keterangan atau catatan kecil untuk esai teks lengkap dengan sedikit atau banyak
foto-foto yang menyertainya. Esai foto bisa berurutan dari peristiwa yang disoroti,
dilihat dalam urutan tertentu, atau mereka dapat terdiri dari yang tidak diurutkan,
foto-foto yang dapat dilihat sekaligus atau dalam urutan yang dipilih oleh
penonton. Semua esai foto adalah koleksi foto-foto, tapi tidak semua koleksi foto-
foto yang esai foto. Esai foto seringkali mengatasi masalah tertentu atau mencoba
untuk menangkap karakter tempat dan acara. Digunakan oleh jurnalis foto kelas
dunia seperti Lauren Greenfield, Bruce Davidson, Jan Sochor, Peter Menzel,
James Nachtwey, dan Joachim Ladefoged sebagai contohnya, esai foto
mengambil teknik bercerita yang sama sebagai esai normal, diterjemahkan
menjadi gambar visual.60
Sebuah esai foto, atau cerita bergambar, adalah cara fotografer
menunjukkan cerita yang lebih lengkap daripada hanya dengan satu gambar. Ini
adalah koleksi gambar yang bekerja sama untuk bercerita. Secara umum, ada
antara 5 dan 15 gambar, meskipun lebih atau kurang gambar. Kadang-kadang
gambar ini memiliki keterangan, bisa juga tidak. Meskipun tidak ada aturan
konkret bagaimana esai foto harus dibuat, ada beberapa cara umum yang esai foto
dapat dikembangkan. Antara lain:61
60
Jurnal Jacob Cecil, A Photographic Essay, Bagian 1. 61
Jurnal Jacob Cecil, A Photographic Essay, Bagian 2.
34
a. Urutan Waktu
Urutan waktu adalah awal dari esai foto. Esai foto dimulai sebagai
fotografer mulai menunjukkan urutan foto untuk mencatat suatu peristiwa.
Hal ini sering seperti melihat serangkaian gambar diam dari sebuah film.
Jenis esai foto paling baik digunakan di mana ada jalan yang jelas waktu.
Ilustrasi peristiwa linear di daerah kompak seperti menyelam tebing,
pemadam kebakaran, dan penetasan burung merupakan contoh dari jenis
esai foto. Waktu esai urutan foto juga dapat diperluas untuk mencakup
jumlah waktu di daerah yang lebih kompak lagi. Esai ini memiliki
kesenjangan yang jauh lebih besar dari waktu antara gambar daripada
dasar urutan waktu esai.
b. Tempat
Lokasi esai foto berupaya menangkap nuansa lokasi melalui sekilas
orang dan tempat dalam lokasi yang ditetapkan. Lokasi bisa seperti
sekolah atau taman, atau lebih luas lagi seperti sebuah negara. Jenis esai
foto seringkali non-linear dari sudut pandang kronologis tetapi tidak harus
non-linear. Lokasi esai sering mulai pada satu titik fisik dan perjalanan ke
luar, seperti tur ke sebuah daerah tersebut mengikuti perjalanan sang
fotografer.
c. Ide
Ide esai foto sering menampilkan sangat beragam gambar yang
semua memiliki benang merah dari satu tema atau ide. Topik seperti
harapan, cinta, dan pekerjaan dapat tercakup dalam esai. Karena esai ide
yang sering menampilkan beragam mata pelajaran itu adalah ide yang baik
35
untuk memiliki perjalanan benang merah melalui gambar. Menggunakan
properti umum atau mengikuti skema warna dapat membantu untuk
obligasi visual gambar-gambar tersebut. Misalnya, esai foto tentang
kanker payudara mungkin menggunakan simbol pita merah muda akrab
dalam bentuk jilbab merah muda yang dikenakan oleh subjek dalam setiap
gambar untuk mengikat set bersama-sama. Atau sebuah esai tentang
pekerjaan mungkin mengikat gambar bersama-sama dengan mengalirkan
kesamaan. Setiap gambar akan menunjukkan gambar berikutnya.
d. Peristiwa
Peristiwa pada esai foto cenderung untuk menggabungkan ide-ide
dari kategori lainnya. Esai peristiwa mencakup terjadi tertentu (seperti
kebakaran bangunan atau pernikahan) tetapi tidak terikat dengan metode
tertentu urutan gambar. Banyak peristiwa esai foto mengikuti urutan waktu
garis tetapi beberapa lebih mengalir dalam presentasi mereka. Esai acara
setidaknya harus menunjukkan bagian-bagian utama penting untuk acara
tersebut. Sebagai contoh, sebuah esai pernikahan tanpa pengantin atau
pengantin pria tidak akan lengkap.
Seperti seni apapun, esai foto memiliki pedoman dasar tetapi barang yang
sangat sukses menyimpang drastis dari aturan “normal”. Sebuah esai foto pada
dasarnya menempatkan seorang fotografer di kursi sutradara. Cerita yang ada,
fotografer harus kreatif memutuskan cara terbaik untuk menyampaikan cerita
kepada orang lain.
36
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Beritagar.id
Beritagar.id lahir pada 2015, merupakan gabungan dari situs kurasi publik,
Lintas.me (2011), dengan situs kurasi Beritagar.com (2012).1
Mengusung visi yang sama, "Merawat Indonesia”, keduanya sepakat
membangun sebuah media baru berbasis teknologi, yang kemudian diberi nama
Beritagar.id, di bawah payung PT Lintas Cipta Media (LCM) yang merupakan
salah satu anak perusahaan Global Digital Prima (GDP) Venture. GDP Venture
adalah perusahaan investasi di bisnis konsumsi melalui internet dan aktif
berinvestasi di perusahaan rintisan asal Indonesia. Forum daring terbesar di
Indonesia, Kaskus, adalah salah satu "asuhan" GDP Venture.
Situs Beritagar.id digagas di antara lebih dari 300 media daring berbahasa
Indonesia yang menerbitkan berita setiap hari. Beberapa di antaranya bahkan
terbit sepanjang hari, 24 jam sehari. Dibutuhkan teknologi untuk mengumpulkan
dan menganalisis beragam konten yang bertebaran -- sebagai data untuk diolah
dan diceritakan kembali. Inilah computer-assisted reporting --teknologi pelaporan
dengan bantuan komputer. Teknologi ini berperan penting dalam proses produksi
konten di Beritagar.id.
Dikembangkan oleh Rekanalar, melalui ilmuwan komputer Jim Geovedi
yang kini menjabat sebagai Direktur Penelitian, sejak November 2013 teknologi
berbasis Machine Learning (ML) dan Natural Language Processing (NLP) ini
1 Diakses dari beritagar.id Tentang Kami, https://beritagar.id/tentang-kami
37
pertama kali diujicobakan pada situs kurasi berita, Beritagar.com. Sebagai catatan,
NLP adalah bidang ilmu komputer yang berhubungan dengan kecerdasan buatan
dan komputasi linguistik, seputar interaksi antara bahasa manusia dan komputer.
Sedangkan ML adalah bagian ilmu komputer yang berfokus pada pengenalan pola
dan pembelajaran oleh kecerdasan buatan.
Pada dasarnya Beritagar.id melakukan agregasi, yang menurut KBBI III,
bermakna pengumpulan sejumlah benda yang terpisah-pisah menjadi satu. Namun
Beritagar.id tidak sekadar membuat daftar tautan, seperti yang dikenal selama ini
tentang situs agregasi. Redaksi berperan menyunting dan menceritakannya
kembali kepada pembaca. Jika datanya tak cukup atau meragukan, maka redaksi
akan melakukan verifikasi dan melengkapinya dari sumber lain yang kredibel.
Selain teknologi pelaporan dengan bantuan komputer, Beritagar.id juga
dilengkapi teknologi Rekanalar lainnya untuk menyajikan konten yang relevan.
Mesin rekomendasi Rekanalar mampu secara pintar memprediksi konten atau
iklan yang relevan dengan pembaca, tanpa merasa terganggu dengan
keberadaannya.
Beritagar.id juga menyajikan laporan berbasis data. Pada era digital ini,
banyak data publik yang dapat dikemas ulang baik dalam bentuk tulisan,
infografik maupun videografik. Kumpulan data ini dipandang penting untuk
memberi perspektif yang lebih luas bagi pembaca terhadap sebuah isu.
Pusat data Beritagar.id bernama Lokadata, yang dikumpulkan dari
berbagai sumber yang kredibel, dan berstatus data publik. Publik dapat turut
38
menggunakan data di dalamnya, sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku di
Lokadata.
B. Susunan Redaksi Beritagar.id
Pimpinan
Pemimpin Umum: Herman Kwok
Pemimpin Perusahaan: Didi Nugrahadi
Ombudsman: Dwi Setyo Irawanto, Inaya Rakhmani Johan Budi S.P.
Dewan Redaksi
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Yusro M. Santoso
Wakil Pemimpin Redaksi: Rahadian Prajna Paramita
Redaktur Senior: Antyo Rentjoko, Yayan Sopyan
Kepala Kompartemen: Anindhita Maharrani, R. Hedi Novianto, Sandy Pramuji
Sidang Redaksi: Andi Baso Djaya, Andya Dhyaksa, Aghnia Rahmi Syajaatul,
Adzkia Bonardo Maulana, Wahono Deasy Syafrina, Dian Afrillia, Elisa Valenta
Sari, Heru Triyono, Indra Wiguna Rosalia, Ivan, Merary Tasya Mutiara
Simatupang, Muammar Fikrie, Muhammad Nur Rochmi, Ronna Nirmala, Yandi
Mohammad Rofiandi, Yoseph Edwin
Fotografi: Bismo Agung Sukarno, Wisnu Agung Prasetyo
Artistik: Aditya Nugraha, Pratita Mandaga Sigilipoe, Salni Setyadi, Sandy
Nurdianysah, Tri Aryono Maelite
Sekretaris Redaksi: Airin Febrina
39
Tim Data: Ahmad Suwandi, Cornelius Agung B, Doddy Farhan, Imron Fauzi,
Islahuddin, Iyan Kushardiansah, Kaka Enindhita Prakasa, Markus Deni Kuncoro,
Muhammad Nafi’, Nanang Syaifudin, Ryane Andika Kristianto
Teknologi Informasi
Produk: Abraham Angela Handayani, Atik Nugraha, Eka Candra Setyobudi,
Febyola Aldo Brilyansyah, Henkie Prabancono, Husain Abdul Aziz, Kun
Budiharta, Luluq Miftakhul Huda, Prisca Prisilia Rambitan, Trio Putra Candra
Buwana
IT Support Dan Infrastruktur: Dufan Aditya Putra, Norvianto, Reno Ardy
Darmawan
Pemasaran
Pemasaran: Firni Fadzriani, Iqbal Prakasa, Kristin Amelina, Partiniyani
Yuningsih, Martyn Kho
Konten Pemasaran: Abdul Wahid Fauzie, Agustina Nur Rasyida, Andreas
Yemmy Martiano, Fadhlan Aulia Akbar, Fatah Afrial, Gary Jatikusumo, Irsan
Suwanto, Muhammad Imaduddin, Randi Aditya, Syarahsmanda Sugiartoputri
Iklan: Aisha Putri Tania, Adhitya Hakim, Albertus A. Walandouw, Andreas
Imanuel, Arianti Wulandari, Mutiasari, Ris Munandar Ari Bowo
Manajemen Kantor: Juswinda Paramadhani, Olivia Lindawati, Susi Rahayu
Alamat Kantor
Alamat: Jl. Jatibaru No. 28 Jakarta Pusat 10160
40
Telp. +6221 351 4123
Faks. +6221 351 4122
Surel. [email protected]
C. Gambaran Umum Masyarakat Pulau Sumba
1. Profil Pulau Sumba
Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung
Wanggameti (1.225 m). Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat
laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan
tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau ini. Di bagian timur terletak Laut
Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat. 2
Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten
Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan
Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota
Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan
pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau
lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.
Sebelum dikunjungi bangsa Eropa pada 1522, Sumba tidak pernah
dikuasai oleh bangsa manapun. Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Hindia
Belanda dan selanjutnya menjadi bagian dari Indonesia. Masyarakat Sumba
secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid.
2 Profil Pulau Sumba
41
Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan
agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah
kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
Sebagian terbesar penduduk hidup dari bercocok tanam dan
mengusahakan peternakan kuda, kerbau, sapi dan babi (babi hutan yang telah
dijinakkan). Kuda Sumba yang lebih clikenal sebagai " Kuda Sandel" sudah
merupakan. barang ekspor sejak beberapa abad yang lalu. Pada masa kini juga
diekspor sapi dalam jumlah besar. Sumber penghasilan tambahan yang
merupakan "home industri" seluruh lapisan masyarakat ialah pertenunan. Kain
Sumba, khususnya buatan Sumba Timur, terkenal di dunia karena nilai
keindahannya. Pertanian sebagian besar berupa sawah tadah hujan yang hanya
panen satu kali setahun. Sawah irigasi masih langka. Di Sumba Timur baru
daerah Lewa yang sudah mulai melakukan intensifikasi pertanian secara
modern dengan pemakaian pupuk, bibit padi unggul serta sistim irigasi yang
maju. Di Sumba Barat, intensifikasi pertanian sudah dilakukan oleh sebagian
masyarakat di daerah Kodi. Hingga menjadikan Kodi sebagai penghasil 'beras
yang paling utama di Sumba.
2. Budaya Masyarakat Sumba
a. Marapu
Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh
masyarakat di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk
42
agama ini.3 Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang
dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini
hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di
dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Upacara keagamaan marapu seperti upacara kematian dan sebagainya
selalu dilengkapi penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai
korban sembelihan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun yang
terus dijaga di Pulau Sumba. Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang
ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan
kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad
hewan dimakan oleh orang yang hidup. Sama halnya dengan upacara yang
lain.
Marapu terbentuk dari dua kata, yakni mar dan apu. Kata mar berarti
pencipta semesta dan sumber kehidupan, sementara apu berarti kakek.
Marapu juga berarti yang dipertuan atau yang dimuliakan.4
Inti ajaran kepercayaan warisan nenek moyang masyarakat Sumba itu
adalah pemujaan terhadap arwah para leluhur. Mereka memiliki keyakinan,
melalui arwah leluhur, manusia dapat berhubungan dengan Sang Pencipta.
Masyarakat Sumba percaya bahwa para leluhur yang telah meninggal dunia
dan berada dalam alam keabadian dapat berkomunikasi dengan Tuhan.
3 Purwadi Soeriadiredja, Tatanan Hidup Orang Sumba (Studi Etnografis Di Sumba
Timur), Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar 2016, h
9. 4 Purwadi Soeriadiredja, Tatanan Hidup Orang Sumba (Studi Etnografis Di Sumba
Timur), Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar 2016, h
9.
43
Kepercayaan asli ini masih terpelihara di Pulau Sumba sampai
sekarang. Penganut Marapu umumnya hidup bersama di kampung-kampung
adat. Umumnya, kampung adat berada di dataran rendah maupun bukit yang
jauh dari pusat keramaian.
Rumah-rumah di kampung adat berbentuk rumah panggung dengan
atap ilalang dan alas kayu. Ada dua jenis rumah di sana, yaitu rumah besar
(uma kalada) dan rumah biasa (ana uma). Uma kalada merupakan rumah
pertama yang dibangun leluhur di sebuah kampung adat. Dalam sebuah
kampung adat, ada lebih dari satu uma kalada. Rumah-rumah besar itu dihuni
kabisu, atau keturunan nenek moyang suku yang memiliki tanah adat. Kepala
suku yang disebut Rato tinggal di uma kalada bersama istri dan anaknya.
Sementara ana uma ditinggali oleh penganut kepercayaan Marapu
yang lain. Walau tidak disebut rumah besar, sebenarnya ana uma memiliki
bentuk dan ukuran yang sama dengan uma kalada. Rumah-rumah di kampung
adat berdiri sejajar mengelilingi sebuah pelataran. Pelataran itu merupakan
tempat digelarnya upacara adat atau ritual keagamaan di waktu-waktu tertentu.
b. Wulla Poddu
Penganut Marapu memiliki beragam ritual. Salah satunya Wulla
Poddu, yaitu bulan suci bagi penganut Marapu.5 Wulla artinya bulan dan
poddu berarti pahit. Disebut pahit karena sepanjang bulan ini semua warga
harus berpantang terhadap sejumlah hal. Aturan tersebut harus dipatuhi oleh
penganut Marapu. Selama Wulla Poddu, penganut Marapu tidak boleh
5 Metvensius Ishak, Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung
Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di Gks Jemaat Waingapu, Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga 2017, h. 14.
44
membangun rumah, mengadakan pesta apa pun, kalau ada yang meninggal
dilarang pukul gong bahkan ditangisi, tidak boleh berhubungan badan dengan
pasangan, dan tidak boleh memperbaiki rumah, terutama atapnya. Selama
bulan suci itu, penganut Marapu juga wajib berpuasa memakan daging babi
dan anjing. Mereka diperbolehkan memakan sayur, daging ayam, dan nasi.
Ada beragam ritual yang digelar selama Wulla Poddu. Ritual-ritual itu
ada yang bertujuan memohon berkah dan sebagai ungkapan rasa syukur. Ada
pula yang bercerita tentang asal usul nenek moyang serta proses pembuatan
dan kelahiran manusia pertama. Wulla Poddu juga merupakan masa berburu
babi hutan. Babi hutan yang pertama kali ditangkap biasanya dijadikan
indikator hasil panen. Babi jantan, misalnya, dianggap sebagai pertanda panen
yang baik. Sementara jika babinya menggigit orang berarti bakalan ada hama
tikus.
Di bulan ini pula para pemuda yang telah akil balik menjalani proses
sunatan. Selama beberapa hari, para pemuda yang telah akil balik itu akan
diasingkan ke alam liar untuk hidup mandiri sebagai tanda kedewasaan.
Puncak perayaan Wulla Poddu selalu ditunggu dan disambut meriah. Momen
itu sangat spesial sehingga orang-orang yang di perantauan akan pulang
kampung untuk ikut merayakannya.
Ritual Marapu lain yang tak kalah unik adalah pasola, yaitu perang
adat damai. Pasola merupakan adu ketangkasan melempar lembing kayu
sambil mengendarai kuda. Saat pasola digelar, masing-masing suku akan
berperang menggunakan kuda dan lembing kayu. Mereka akan dihadapkan
45
satu sama lain untuk saling melempar lembing ke arah lawan. Sekilas
terdengar menyeramkan, pasola justru menjadi momen perekat hubungan
kabisu masyarakat Marapu. Ritual yang digelar sebagai bentuk pemujaan
terhadap roh para leluhur ini biasa dilakukan saat awal musim tanam tiba
setiap tahun.
c. Perkawinan
Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada
pihak wanita dalam pernikahan masyarakat Sumba. Penyerahan mas kawin
tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau, babi. Selain itu,
penyerahan belis juga dapat berupa mamuli (Sebuah simbol reproduksi wanita
dalam identitas kebudayaan lokal), hingga Kain Sumba.
Banyaknya belis tergantung pada kesepakatan dan status sosial
daripada calon pengantin perempuan. Jika yang akan dinikahi adalah wanita
dengan status sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai Puluhan
ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor. Dan untuk ata (golongan/lapisan
terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba), dibayar oleh maramba
(tuan/bangsawan).
Mahalnya belis yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria tak
menjadi persoalan sebab ada makna mulia yang tertanam dalam peristiwa
belis ini, yaitu nilai yang menjunjung betapa berharganya seorang wanita.
Namun, seiring berjalannya waktu, belis mengalami pergeseran makna karena
nilainya semakin tinggi dan irrasional. Hal ini juga menyebabkan kemiskinan
yang struktural bagi sang mempelai (tidak termasuk keluarga mempelai
46
wanita) karena belis dipolitisasi semata untuk memperkaya diri. Bahkan yang
lebih parahnya lagi, kini dibuatkan stratifikasi pendidikan. Semakin tinggi
pendidikan seorang wanita, maka semakin besar pula belis yang harus
ditanggung oleh mempelai pria.
47
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Temuan dan Analisis Data atas Foto Rupa Masyarakat Sumba
Seperti apa yang telah peneliti jabarkan pada bab II, terdapat tiga tahap
dalam konsep semiotika Roland Barthes. Pertama, tahap denotasi, peneliti akan
menjabarkan elemen yang terdapat dalam foto. Kedua tahap Konotasi, terdapat
enam komponen yang akan menjelaskan secara rinci makna dalam suatu elemen
pada foto, yakni Trick Effect (efek tiruan), Pose atau gesture tubuh, objek,
photogenia (Teknik foto), Aestheticism(komposisi), dan sintaksis. Ketiga yaitu
tahapan menentukan Mitos.
1. Data Foto 1
Caption: Batu Kubur | Di depan rumah orang-orang Sumba terdapat
sebuah bangunan segi empat yang merupakan makam leluhur mereka. Awalnya
48
bangunan itu terbuat dari batu yang diukir, tapi seiring waktu diganti dengan
beton karena lebih murah dan praktis.
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat sebuah patung yang terbuat dari batu. Patung
tersebut memiliki anggota tubuh seperti kepala, badan, tangan, mata, hidung, serta
kuping. Secara kasat mata, patung ini memilki beberapa ukiran di beberapa
bagiannya. Melihat gambar yang ada, foto ini diambil pada malam hari.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Trick Effect adalah memanipulasi gambar secara artifisial, dengan
maksud membuat foto menjadi lebih baik dengan menambahkan atau
mengurangi bagian dalam foto menggunakan perangkat editing sehingga
mengubah isi foto yang sebenarnya.1
Foto pertama tidak mengandung Trick Effect atau mengubah keaslian
foto saat dipotret dari kamera, tidak ada elemen yang dihilangkan apalagi
diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto tersebut. Hal tersebut
sangat jelas, karena foto ini adalah rangkaian dalam foto esai yang merupakan
bagian dari foto jurnalistik dengan sifat dasarnya yaitu dokumentatif, sehingga
menempatkan keaslian foto pada tahap utama pengambilan sebuah gambar
yang dapat membuat masyarakat melihat kembali rekaman imaji atas apa yang
telah terjadi. Oleh karena itu dalam retouching atau pengeditan gambar,
fotografer hanya boleh merapihkan cahaya jika ada yang terlalu gelap ataupun
1 Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: kanal, 2002), h. 162.
49
terlalu terang, menyelaraskan warna dan melakukan crooping jika diperlukan
untuk menyederhanakan pesan dalam foto, cropping sah saja dilakukan
selama tidak mengubah persepsi pembaca pada sebuah imaji.2
b. Pose
Pose dapat dipahami sebagai gesture (sikap tubuh) ataupun gaya. Pose
seringkali mudah ditemukan dalam foto yang berisi objek manusia atau
hewan. Sedangkan dalam foto dengan objek pemandangan atau benda akan
sulit menemukan pose di dalamnya.3 Sebab, pemandangan alam atau benda
yang menjadi objek foto tidak terdapat unsur gaya dan ekspresi. Namun
penulis meyakini bahwa dalam sebuah benda juga memiliki pose yang mesti
dijabarkan. Seperti yang dinyatakan dalam Kisah Mata Senogumira Ajidarma
“Seorang fotografer melihat dan memotret pohon, pada saat ia
memandang hasil fotonya, ia bukan seorang fotografer lagi. Bila
sebagai fotografer ia adalah subjek-yang-memotret, ketika
memandang fotonya sendiri ia menjadi subjek-yang-memandang.
Pohon dan foto tentang pohon adalah dua hal yang sangat berbeda,
yang menentukan posisi Da-sein di hadapannya. Subyek-yang-
Memotret akan berkemungkinan menghadapi sesama Da-sein, benda-
benda, bahkan mungkin juga foto-foto tentang Da-sein maupun benda-
benda, yang semua itu akan segera dan kemudian telah dipotretnya.
Sesama Da-sein, benda-benda, bahkan foto-foto, dalam posisinya
sebagai fotografer adalah obyek yang dipotretnya. Perbedaan obyek-
obyek foto itu, bahwa Da-sein berkesadaran dan benda-benda tidak,
menjadikan posisinya lebih kompleks. Sedangkan Subyek-yang-
Memandang sudah pasti hanya memandang satu jenis obyek saja,
yakni foto, yang harus dibaca sebagai karya manusia".4
Dengan kata lain, foto-foto bagi pemandangnya diandaikan sebagai
subyek, yang selalu diterima sebagai mengatakan sesuatu. Tetapi foto-foto
adalah benda mati, subyek yang memandang atau penulis dalam hal ini harus
2 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 41.
3 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 163.
4 Seno Gumira Ajidarma Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada. h.55.
50
membahasakannya, jika subyek yang memotret harus membendakan makna-
makna ke dalam wujud foto tersebut. Maka subyek yang memandang harus
mengurai makna-makna dari benda foto tersebut. Pada foto ini, patung difoto
dengan menghadap tegak ke kanan dengan pengambilan gambar
menggunakan teknik angle eye frog (mata katak). Teknik pengambilan gambar
menggunakan eye frog ialah pengambilan gambar dengan menotret gambar
dari sudut pandang bawah seperti mata katak. Dengan menggunakan angle
mata katak, foto akan terlihat seperti besar, kuat, dan kokoh, seperti yang
terlihat dalam foto ini, patung terlihat tegak, besar, kuat, dan kokoh.
c. Objek
Keseluruhan elemen yang ada dalam satu bingkai foto sebetulnya
dapat dikatakan sebagai objek foto. Namun terkait dengan objek dalam
membaca foto di sini, sebagaimana yang penulis jabarkan pada Bab II, objek
dapat dipahami sebagai benda-benda atau yang dikomposisikan sedemekian
rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu juga merupakan
point of interest (poi) atau pusat perhatian dalam foto.5
Di dalam foto ini, objek terlihat dengan jelas, yaitu batu kubur.
Kuburan batu besar yang identik dengan jaman megalitikum, bisa dengan
mudah ditemui di Pulau Sumba. Karena tradisi batu besar jaman purba terus
dijaga oleh masyarakat. Hampir setiap rumah minimal memiliki sebuah
kuburan batu. Kuburan itu biasanya dibangun di depan rumah mereka.
Masyarakat Sumba percaya, rumah ketika masih hidup haruslah
berdampingan dengan rumah ketika mereka meninggal, dalam hal ini kuburan.
5 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 167.
51
Dan juga, ini adalah sebagai simbol kedekatan antara arwah dan keluarga yang
masih hidup.6
d. Photogenia
Dalam Photogenia, kita akan melihat foto dari segi teknik
pengambilannya. Teknis pengambilan foto ini menggunakan lensa fix dengan
diameter 50mm. Pemilihan lensa 50mm membuat point of interest foto terlihat
jelas tanpa distorsi dengan masih menunjukan lingkungan di sekeliling objek
point of interest. Lensa 50mm juga membuat foto jadi terasa dekat. Foto
diambil menggunakan teknik eye frog sehingga foto terlihat seperti dipotret
dari bawah namun tidak 90 derajat. Jika melihat meta data, foto ini diambil
dengan diafragma f/11 dengan iso 2000 sehingga jika untuk mendapatkan
cahaya normal, foto ini diambil dengan kecepatan 13 detik, dapat dipastikan
foto ini diambil menggunakan bantuan tripod.
e. Aestheticism
Komposisi merupakan susunan dari berbagai elemen atau objek yang
mempunyai dua sifat saling bertentangan, bisa “membangun” gambar namun
juga bisa mengacaukan gambar.7 Dalam proses pengambilan foto ini,
fotografer sepertinya sengaja menempatkan objek batu kubur dengan hampir
penuh (tidak ada objek lain) agar pembaca terfokus pada objek utama.
6 Detik Travel, Mengenal Batu Kubur Sumba, 21 Maret 2011,
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1512862/mengenal-batu-kubur-sumba 7 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 168.
52
f. Sintaksis
Syntax merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam penyajian
suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks.8 Dalam foto ini
terdapat caption, Batu Kubur | Di depan rumah orang-orang Sumba terdapat
sebuah bangunan segi empat yang merupakan makam leluhur mereka.
Awalnya bangunan itu terbuat dari batu yang diukir, tapi seiring waktu diganti
dengan beton karena lebih murah dan praktis. Pada teks yang terdapat dalam
foto ini, jelas sekali teks atau caption yang ditulis fotografer ingin
menjelaskan apa dan guna dari objek foto tersebut (batu kubur) kepada
pembaca.
Jadi, foto sengaja diambil pada malam hari karena dengan
menggambarkan malam hari yang gelap, dan dengan objek batu kubur, fotografer
seakan-akan sedang menceritakan tentang kesuraman atau kemuraman.9
3. Makna Mitos
Masyarakat Sumba percaya ada kehidupan sesudah meninggal. Oleh sebab
itu, ritual-ritual yang berkaitan dengan upacara kematian harus dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Ritual yang berkaitan dengan upacara kematian dan
pemakaman menjadi sangat penting ketika jiwa yang telah meninggal dilepas
menuju tanah leluhur (Parai Marapu). Ada beberapa proses yang dilakukan untuk
mencapai puncaknya yaitu kubur batu. Kubur batu merupakan tradisi masyarakat
Sumba saat jenazah dikebumikan.
8 Sunardi, Semiotika Negativa, h. 168.
9 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 43.
53
Saat dikebumikan, belasan bahkan puluhan ekor hewan seperti kuda,
kerbau, babi dan lainnya disembelih sebagai simbol persembahan kepada marapu
yang menyertai perjalanan jiwa yang telah meninggal menuju parai marapu. Kain
tenun, emas dan barang berharga lainnya ikut dikuburkan sebagai bekal untuk
menjalani kehidupan yang baru.10
Dalam tradisi kubur batuini, setelah jenazah
diturunkan pada lubang kubur yang telah disediakan, selanjutnya ditutupi lebih
dahulu dengan batu yang berukuran besar dan kemudian dilindungi dengan batu
yang lebih besar yang ditopang oleh empat batang batu atau lebih sebagai
kakinya. Kuburan seperti itu namanya “reti ma pawiti” (kuburan yang berkaki),
biasanya hanya untuk orang golongan bangsawan karena biayanya mahal. Rakyat
biasa kuburannya cukup ditutup batu besar saja.
Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi kubur batu mengalami
perubahan. Perubahan itu tampak dari pola pikir masyarakat yang semakin maju,
dari pola pikir tradisional menjadi modern. Hal ini akan menimbulkan perubahan
terhadap pribadi masyarakat dan dapat merubah pola tingkah laku masyarakat
baik secara perlahan-lahan maupun secara cepat. Namun kini beberapa kampung
telah mengalami suatu perubahan dalam tatanan kehidupan, karena letaknya di
daerah perkotaan, sehingga segala bentuk perubahan mudah masuk di dalam
masyarakat. Hal itu terlihat dari kuburan batu potong asli alam ke model kuburan
beton. Hal itu karena masayarakat telah berpikir efesien dan secara ekonomis
kuburan beton lebih terjangkau ketimbang menggunakan batu potong asli dan
10
Ferbryanto Wadu, I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, I Nengah Punia, Perubahan
Tradisi Kubur Batu Masyarakat Adat Marapu pada Era Modernisasi di Kampung Raja
Kecamatan Kambera Kota Waingapu, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana,
h. 2.
54
biaya yang dikeluarkan dalam upacara kematian juga tidak sebanyak dari
sebelumnya.
2. Data Foto 2
Caption: Waingapu | Di kampung Waingapu, rumah adat (uma kalada)
masyarakat Sumba yang masih tegak berdiri dikelilingi ratusan batu kubur yang
berisi jenazah para leluhur. Meski begitu mayoritas masyarakat yang tinggal di
pesisir pantai ini telah berpindah ke agama yang diakui pemerintah. Tersisa satu
orang pengikut marapu yang menjadi Rato di tempat ini.
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat seorang laki-laki dan seorang perempuan serta anak
kecil sedang mengendarai sepeda motor. Di sekeliling objek foto tersebut terdapat
rumah-rumah adat masyarakat Pulau Sumba.
55
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto kedua ini juga tidak mengandung Trick Effect atau
mengubah keaslian foto saat dijepret dari kamera. Penulis meyakini tidak ada
elemen yang dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu
dalam foto tersebut. Hal demikian sangat jelas alasannya, karena foto ini
adalah foto dokumenter yang menempatkan keaslian pada tahap utama sebuah
foto. Namun penulis merasa adanya sentuhan editing, tapi dalam batas yang
normal dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik juga dapat
dilakukan pada foto ini, dengan tujuan keindahan visual semata tanpa
mengubah foto atau gambar yang sebenarnya.
b. Pose
Dalam foto ini terlihat gestur laki-laki yang sedang mengendarai
sepeda motor dengan tegap, menatap ke arah kanan. Sementara perempuan di
belakang laki-laki tersebut tidak terlihat gesturnya, yang terlihat jelas adalah
gestur seorang anak yang sedang tertunduk di depan laki-laki yang
memboncengnya.
c. Objek
Beragam objek terdapat dalam foto ini. Mulai dari manusia, kendaraan,
hingga bangunan rumah adat. Pusat perhatian atau point of interest (poi) dari
foto ini jelas terlihat pada objek manusia dan kendaraan yang ditempatkan di
tengah-tengah frame. Namun bukan berarti objek di sekelilingnya tidak
penting, karena semua objek dalam foto ini saling berhubungan.
56
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto ini menggunakan lensa fix dengan diameter
50mm. Pemilihan lensa 50mm membuat point of interest foto terlihat jelas
tanpa distorsi dengan masih menunjukan lingkungan di sekeliling objek point
of interest. Jika dilihat dari meta data foto, foto ini diambil dengan diafragma
f/8 dengan iso 800 sehingga mendapatkan kecepepatan 1/2000 detik untuk
menghasilkan foto dengan cahaya yang normal.
e. Aestheticism
Pada foto ini, peneliti melihat adanya sebuah komposisi tradisional dan
modernitas. Di belakang objek utama (manusia dan kendaraan bermotor)
terdapat rumah tradisional masyarkat Sumba. Peletakan objek rumah adat
yang sangat tradisional serta menaruh objek utama di depan dan tengah
bingkai dapat menunjukkan bahwa masyarakat Sumba yang tetap berpegang
teguh pada adat istiadat dapat menerima adanya moderintas tanpa sepenuhnya
meninggalkan adat istiadat.
f. Sintaksis
Terdapat caption dalam foto ini yang berbunyi Waingapu | Di
kampung Waingapu, rumah adat (uma kalada) masyarakat Sumba yang masih
tegak berdiri dikelilingi ratusan batu kubur yang berisi jenazah para leluhur.
Meski begitu mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir pantai ini telah
berpindah ke agama yang diakui pemerintah. Tersisa satu orang pengikut
marapu yang menjadi Rato di tempat ini. Dari caption di atas, dapat dilihat
bahwa tempat diambilnya foto tersebut ialah di kampung Waingapu. Peneliti
melihat teks yang terdapat dalam foto ini membantu sekali dalam melihat
57
sebuah foto. Jika melihat teks pada foto ini, dapat dilihat objek motor dan
manusia yang berjalan meninggalkan rumah adat di belakang seakan menjadi
visualisasi dari caption yang di foto ini, yaitu mayoritas pengikut marapu telah
meninggalkan ajarannya, dan mengikuti kepercayaan yang umum saat ini
(yang diakui pemerintah).
3. Makna Mitos
Marapu merupakan sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh
masyarakat di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk
agama ini. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan
leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya
sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh,
yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu. Dalam bahasa Sumba,
arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang artinya adalah “yang dipertuan” atau
“yang dimuliakan”. Itulah sebabnya agama yang mereka anut juga disebut
Marapu.11
Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara
penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan
untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad hewan dimakan oleh orang yang
hidup. Sama halnya dengan upacara yang lain.
11
Purwadi Soeriadiredja, Tatanan Hidup Orang Sumba (Studi Etnografis Di Sumba
Timur), Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar 2016, h
9.
58
3. Data Foto 3
Caption: Adat | Masyarakat Sumba terikat dengan adat yang telah
berlangsung selama ratusan tahun. Jika ada warga yang sedang melaksanakan
hajat pernikahan atau kematian, mereka akan membawa hewan untuk membantu
prosesi itu. Kerbau, sapi, kuda, atau babi, biasa dibawa oleh mereka. Warga yang
menerima bantuan hewan itu nantinya akan mengganti hewan-hewan untuk
prosesi itu.
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat seorang laki-laki sedang berdiri memakai ikat
kepala, kemeja hitam, kain tenun, dan celana hijau dengan sebatang rokok berada
di antara jarinya. Di belakang laki-laki itu terlihat seekor kerbau yang cukup besar
dan memiliki dua tanduk.
59
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto ini juga tidak mengandung Trick Effect atau mengubah
keaslian foto saat dijepret dari kamera. Penulis meyakini tidak ada elemen
yang dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto
tersebut. Namun penulis merasa adanya sentuhan editing, tapi dalam batas
yang normal dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik juga
dapat dilakukan pada foto ini, dengan tujuan keindahan visual semata tanpa
mengubah foto atau gambar yang sebenarnya.
b. Pose
Dalam foto ini terlihat seorang laki-laki berpose dengan tegap namun
masih dalam keadaan santai. Gestur ini menunjukkan saat mengambil gambar
ini, fotografer telah melakukan pendekatan yang baik dengan objek foto
sehingga objek foto terasa nyaman.12
c. Objek
Objek dalam foto ini ialah manusia dan hewan yang sedang berada di
kebun. Namun point of interest dalam foto ini terlihat pada foto seorang laki-
laki yang sedang berpose.
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto ini menggunakan lensa fix dengan diameter
50mm. Pemilihan lensa 50mm membuat point of interest foto terlihat jelas
tanpa distorsi dengan masih menunjukan lingkungan di sekeliling objek point
12
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 43.
60
of interest. Lensa 50mm juga membuat foto jadi terasa dekat. Foto tersebut
diambil dengan angle atau sudut pandang eye level, di mana lensa kamera
sejajar dengan objek utama. Hal tersebut menunjukan bahwa fotografer ingin
mensejajarkan objek utama dengan pelihat foto. Berdasarkan pencahayaan
yang terlihat pada foto, penulis meyakini bahwa fotografer tidak
menggunakan cahaya tambahan seperti flash internal maupun eksternal pada
kamera. Melihat keadaan sekitar objek foto, sepertinya keadaan tersebut
membuat fotografer dapat menggunakan iso rendah, dengan kecepatan rana
yang tinggi dan diagfragma yang menyempit atau kecil menjadikan foto
dengan detail yang amat baik.
e. Aestheticism
Jika foto ini diberi garis imajiner, objek laki-laki yang sedang berdiri
berada di 1/3 frame atau rules of third. Kemudian jika objek hewan ditarik ke
arah laki-laki tersebut, akan muncul garis imajiner yang berbentuk diagonal.
f. Sintaksis
Terdapat caption di dalam foto ini yang berbunyi Adat | Masyarakat
Sumba terikat dengan adat yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Jika
ada warga yang sedang melaksanakan hajat pernikahan atau kematian, mereka
akan membawa hewan untuk membantu prosesi itu. Kerbau, sapi, kuda, atau
babi, biasa dibawa oleh mereka. Warga yang menerima bantuan hewan itu
nantinya akan mengganti hewan-hewan untuk prosesi itu. Dalam teks ini,
menerangkan bahwa hewan seperti kerbau, sapi, kuda, dan babi menjadi salah
satu elemen dalam prosesi pernikahan atau kematian.
61
3. Makna Mitos
Binatang yang dianggap gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam
kepercayaan marapu ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu
(ayam) dan ahu (anjing).13
Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara-upacara
keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan
segala kehendak manusia kepada para Marapu. Diterima atau tidaknya suatu
permohonan, dapat dilihat melalui hati babi. Lalu kerbau, yang merupakan
binatang yang biasa dikorbankan pada upacara-upacara keagamaan, terutama pada
upacara perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara
simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah.
Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu merupakan bekal arwah orang
yang meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai
marapu digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu
berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa
keberuntungan pada pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus
yang disebut uma karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon
kekayaan.
Kerbau dan babi merupakan dua jenis hewan yang sangat punya nilai
tinggi untuk persembahan kepada dewa-dewa. Kedua jenis hewan tersebut disebut
dengan nama sanjungan kadu ndakambuku-ulli ndaka tandu (yang tanduknya tak
menanduk-taringnya tak merunduk kebawah, artinya tegak ke atas). Hal tersebut
13
Purwadi Soeriadiredja, Tatanan Hidup Orang Sumba (Studi Etnografis Di Sumba
Timur), Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar 2016, h
9.
62
dimaksudkan karena Sang Pencipta yang disembah itu bertahta di atas, di langit
dalam sebuah negeri kekal yang disebut Paraingu Mapauli – mapatara, Uma
manda mobu – kaheli manda mbata (negeri yang bertaring – bertanduk, rumah
yang tidak lapuk dan balai-balai yang tidak patah, artinya kekal abadi).
Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah
ayam jantan karena mempunyai tanduk (susuh) di kakinya. Bulu-bulu ayam jantan
dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi
arwah seseorang dalam perjalanannya menuju parai marapu. Selain itu kokok
ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah orang yang meninggal agar
bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka. Dalam kepercayaan agama
Marapu, dengan melihat usus ayam beserta hati babi dapat meramalkan atau
merupakan suatu buku petunjuk dari Marapu tentang akan adanya berkat
kehidupan atau bencana pada manusia. Keduanya disebut sebagai Ura manu mola
- eti wei tanji (suratan ayam yang lurus - hati babi yang polos).
Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya
jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan
senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat.
Pada upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat
mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan
gaib yang dapat melihat makhluk-makhluk halus.
63
4. Data Foto 4
Caption: Kuda | Kuda dipercaya sebagai tunggangan leluhur orang-orang
Sumba. Hingga hari ini kuda merupakan binatang yang menghiasi halaman dan
lahan-lahan kosong di seluruh Sumba. Selain untuk tunggangan, kuda juga biasa
dipakai untuk belis (mahar) yang harus dibayar oleh laki-laki yang ingin menikahi
perempuan Sumba.
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat seekor kuda di depan berwarna putih yang sedang
diikat menggunakan tali berwarna merah. Di belakang kuda warna putih, terdapat
seekor kuda berwarna cokelat yang sedang ditunggangi oleh seorang laki-laki
berbaju biru.
64
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto ini juga tidak mengandung Trick Effect atau mengubah
keaslian foto saat dijepret dari kamera. Penulis meyakini tidak ada elemen
yang dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto
tersebut. Namun penulis merasa adanya sentuhan editing, tapi dalam batas
yang normal dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik juga
dapat dilakukan pada foto ini, dengan tujuan keindahan visual semata tanpa
mengubah foto atau gambar yang sebenarnya.
b. Pose
Dalam foto ini, jika diperhatikan, gestur dari penunggang kuda yang
berada di belakang kuda putih sangat tegak dan terkesan berani sehingga dapat
dipastikan penunggang kuda tersebut sudah mempunyai pengalaman yang
cukup dalam menunggangi kuda.
c. Objek
Beragam objek ada dalam foto ini. yaitu, terdapat objek manusia dan
hewan. Namu point of interest dari foto ini terletak pada kuda putih pada
foreground karena hampir setengah bagian foto terlihat kuda putih tersebut.
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto ini menggunakan lensa fix dengan diameter
50mm. Pemilihan lensa 50mm membuat point of interest foto terlihat jelas
tanpa distorsi dengan masih menunjukan lingkungan di sekeliling objek point
of interest. Lensa 50mm juga membuat foto jadi terasa dekat. Foto tersebut
65
diambil dengan angle atau sudut pandang eye level, di mana lensa kamera
sejajar dengan objek utama. Hal tersebut menunjukan bahwa fotografer ingin
mensejajarkan objek utama dengan pelihat foto. Berdasarkan pencahayaan
yang terlihat pada foto, penulis meyakini bahwa fotografer tidak
menggunakan cahaya tambahan seperti flash internal maupun eksternal pada
kamera. Menurut dari meta data foto ini, fotografer menggunakan iso 800 dan
shutter speed 1/80 dan diagfragma f/22 yang menyempit atau kecil
menjadikan foto dengan detail yang amat baik.
e. Aestheticism
Dalam foto ini, jika dibuat garis imajiner dari kepala kuda hingga ke
bagian buntutnya, akan terbentuk garis diagonal (dari kanan atas ke kiri
bawah). Garis diagonal tersebut juga memisahkan objek kedua (manusia
menunggangi kuda) sehingga mata yang melihat foto ini dapat tertuju ke objek
kedua. Foto ini diambil dengan menempatkan objek kuda di tengah, menurut
M. Budyatna, dalam bukunya Jurnalistik, Teori dan Praktik hal ini
menandakan objek tersebut sangat penting. Penempatan posisi seorang anak
yang sedang menunggangi kuda dalam gambar berada di atas, menandakan
subjek berkuasa atas objek, setidaknya itulah menurut M. Budyatna di dalam
bukunya.14
f. Sintaksis
Terdapat caption dalam foto ini yang berbunyi: Kuda | Kuda dipercaya
sebagai tunggangan leluhur orang-orang Sumba. Hingga hari ini kuda
merupakan binatang yang menghiasi halaman dan lahan-lahan kosong di
14
14 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, h. 43.
66
seluruh Sumba. Selain untuk tunggangan, kuda juga biasa dipakai untuk belis
(mahar) yang harus dibayar oleh laki-laki yang ingin menikahi perempuan
Sumba. Dalam teks di foto ini, menceritakan bahwa kuda merupakan hewan
yang sangat penting di masyarakat Sumba. Mulai dari sebagai kendaraan,
kuda juga digunakan sebagai mahar untuk prosesi pernikahan.
3. Makna Mitos
Di Sumba, terdapat Binatang yang dianggap mempunyai kekuatan gaib
antara lain wangi (burung hantu), kuu (burung alap-alap) dan nggangga (burung
gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Umalulu karena dianggap
dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib
dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi),
karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing).
Binatang yang melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap
membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas
di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena
itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk
mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Kuda merupakan lambang
kekuatan supra natural yang biasa dipakai sebagai kuda tunggang para dewa.
Selain itu kuda juga dapat dipakai sebagai alat perang atau alat berburu dan juga
pacuan sehingga mempunyai julukan Njara kehangu-njara attalu (kuda jago
memburu, kuda cepat lari). Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat
permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk
memohon kejayaan dan kekayaan. Tidak hanya itu, kuda juga dijadikan sebagai
mahar perkawinan.
67
5. Data Foto 5
Caption: Sirih Pinang | | Sirih pinang menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat Sumba. Tradisi mengunyah sirih, buah pinang dan
sedikit kapur tersebut menjadi sebuah jamuan yang pertama kali disuguhkan
ketika ada tamu datang. Tak hanya itu sirih pinang juga selalu muncul sebagai
sesaji dalam setiap ritual.
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terdapat sirih, buah pinang, dan kampur yang dialasi
dengan piring, tidak lupa disediakan uang. Di tengah-tengah foto, terdapat sebilah
golok yang dimasukkan ke dalam sarung golok yang diletakkan melintang.
68
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Pada foto ini juga tidak mengandung Trick Effect atau mengubah
keaslian foto saat dijepret dari kamera. Penulis meyakini tidak ada elemen
yang dihilangkan apalagi diganti atau digabungkan menjadi satu dalam foto
tersebut. Namun penulis merasa adanya sentuhan editing, tapi dalam batas
yang normal dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik juga
dapat dilakukan pada foto ini, dengan tujuan keindahan visual semata tanpa
mengubah foto atau gambar yang sebenarnya.
b. Pose
Dalam foto ini tidak terlihat pose atau gestur apapun yang dapat
dianalisis karena penulis menerka bahwa objek foto ini sudah diatur untuk
keperluan foto agar terlihat rapi.
c. Objek
Di dalam foto ini terdapat objek sirih, buah pinang, kapur, dan benda
mati seperti uang dan sebilah parang. Namun point of interest dari foto ini
sepertinya terletak pada parang, karena benda tersebut berada di tengah frame
dan berbeda dari objek lainnya.
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto ini menggunakan lensa fix dengan diameter
50mm. Pemilihan lensa 50mm membuat point of interest foto terlihat jelas
tanpa distorsi dengan masih menunjukan lingkungan di sekeliling objek point
of interest. Lensa 50mm juga membuat foto jadi terasa dekat. Foto diambil
69
menggunakan teknik high angle, dengan begitu foto ini terlihat diambil dari
atas namun tidak 90 derajat.
e. Aestheticism
Jika ditarik garis imajiner, terdapat garis melintang diagonal dari ujung
parang ke sisi ujung parang lainnya yang membagi foto menjadi dua bagian,
yaitu di atas ada dua pring dan bagian bawah terdapat dua piring juga.
f. Sintaksis
Terdapat teks atau caption dalam foto ini yang berbunyi: Sirih Pinang |
Sirih pinang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat Sumba. Tradisi mengunyah sirih, buah pinang dan sedikit kapur
tersebut menjadi sebuah jamuan yang pertama kali disuguhkan ketika ada
tamu datang. Tak hanya itu sirih pinang juga selalu muncul sebagai sesaji
dalam setiap ritual. Dalam teks ini, sudah sangat jelas menerangkan apa-apa
saja yang ada di dalam foto, seperti apa saja objek yang terdapat foto tersebut.
Tidak hanya menyebutkan ada apa saja di dalam foto itu, dalam teks ini juga
dijelaskan kegunaan elemen-elemen yang ada dalam foto tersebut, seperti
kegunaan buah pinang, sirih, dan kapur dalam menyambut tamu yang datang.
3. Makna Mitos
Masyarakat Sumba percaya bahwa sirih pinang sudah ada sejak dahulu
kala atau sejak nenek moyang orang Sumba sudah makan sirih pinang dan sudah
saling menyuguhkan sirih pinang.15
Bagi masyarakat Sumba sirih pinang adalah
budaya milik mereka, orang Sumba yang ada harus mempetahankan budaya ini
15
Metvensius Ishak, Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang
Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di Gks Jemaat Waingapu, Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2017, h. 14.
70
dan tetap melakukan hal makan sirih pinang agar anak dan cucu bisa meneruskan
kegenerasi-generasi yang selanjutnya. Awalnya masyarakat Sumba memakan sirih
pinang hanya sebagai penghilang rasa ngantuk atau untuk membuat seseorang
tetap semangat dalam bekerja, hal ini karena mulut selalu mengunyah atau selalu
bergerak.
Masyarakat Sumba percaya dengan makan sirih pinang dan menyadurkan
sirih pinang kepada sesama itu artinya mau berbagi dengan sesama karena belum
tentu ada suku lain yang menggunakan sirih pinang sebagai sajian awal pembuka
untuk sesama, di sini masyarakat Sumba tetap mempertahankan ciri khas atau
budaya yang sudah ada sejak dulu kala dan menjadi turun temurun untuk ke
generasi selanjutnya. Sekalipun ada suku lain yang sama dalam sajian pembuka
menyodorkan sirih pinang belum tentu maksud dan tujuan nya sama dari pada
suku sumba sendiri, sebab suku Sumba sendiri dalam memberi atau menyodorkan
sirih pinang bagi tamu yang datang ke rumah dengan tempat sirih pinang atau
mbola, entah ada dan tidak adanya sirih pinang dalam tempat sirih pinang itu tetap
akan disodorkan karena itu sudah menjadi suatu penghargaan atau penghormatan
masyarakat Sumba bagi tamu yang datang berkunjung ke rumah.
71
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Interpretasi Peneliti
Setelah foto dianalisis menggunakan teori semiotika Roland Barthes,
ditemukan masing-masing makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam setiap
fotonya. Selanjutnya, peneliti akan menginterpretasikan atas temuan yang telah
didapatkan dari analisis tersebut.
Pulau Sumba merupakan pulau yang memiliki banyak budaya di
dalamnya. Hal itu dapat dilihat dari foto-foto yang telah disampaikan oleh
fotografer dalam foto cerita yang berjudul Rupa Masyarakat Sumba. Peneliti
meyakini dalam setiap foto yang disajikan, terdapat simbol-simbol yang dapat
digali maknanya dengan mendalam. Seperti foto batu kubur yang berdiri tegak di
sebagian rumah masyarakat pulau Sumba. Setelah diteliti dan dicermati melalui
foto maupun literasi yang ada, ternyata batu kubur mempunyai makna bahwa
masyarakat pulau Sumba sangat menjunjung tinggi dan menghormati arwah yang
telah meninggal.1 Jadi, masyarakat pulau Sumba seakan-akan ingin terus hidup
berdampingan dengan keluarganya, sekalipun anggota keluargnya sudah berada di
alam yang berbeda.
Selanjutnya pada foto kedua yang menggambarkan satu keluarga yang
terdiri dari dua orang dewasa dan satu anak. Peneliti melihat ada fenomena sosial
yang tergambarkan di sini. Kepercayan Marapu di pulau Sumba, menurut hasil
1 Metvensius Ishak, Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur Yang Terkandung
Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di Gks Jemaat Waingapu, Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga 2017, h. 14.
72
wawancara peneliti dengan fotografer perlahan ditinggalkan oleh pengikutnya dan
beralih ke kepercayaan yang diakui pemerintah. Dalam gambar ini peneliti
menginterpretasikan objek di dalam foto ini, yaitu satu keluarga ini sedang
meninggalkan kepercayaan dan rumah adat yang berada di belakang mereka,
menggunakan sepeda motor yang notabenenya kendaraan modern. Peneliti pun
menganggap sepeda motor yang modern itu sebagai kepercayaan atau agama yang
diakui pemerintah.
Pada dua foto selanjutnya peneliti melihat bagaimana hubungan
masyarakat pulau Sumba dengan mahkluk hidup lainnya seperti binatang,
misalnya kerbau dan kuda. Dalam tatanan masyarakat pulau Sumba, beberapa
hewan dianggap penting. Seperti kerbau dan kuda. Kerbau sering sekali dibuat
untuk persembahan saat ritual keagamaan, sedangkan kuda lebih dianggap suci
hingga dapat dijadikan sebagai mahar perkawinan, tidak hanya itu, kuda juga
dipelihara untuk dijadikan kendaraan bagi masyarakat pulau Sumba. Di sini
peneliti melihat masyarakat pulau Sumba sangat menghargai mahkluk hidup
lainnya.
Foto terakhir tentang kapur sirih dan pinang serta sebilah golok. Dalam
masyarakat pulau Sumba, kapur sirih dan pinang erat kaitanya dengan perjamuan.
Setiap ada tamu yang datang selalu disediakan sirih dan pinang. Peneliti
menginterpretasikan gambar ini bahwa, walaupun di rumah hanya tersedia sirih
dan pinang, masyarakat pulau Sumba akan tetap menerima tamu yang datang.
Masyarakat pulau Sumba merupakan masyarakat yang sangat terbuka, mereka
tidak segan-segan memanggil siapapun yang lewat dan meminta untuk bersedia
73
singgah di rumahnya serta menjamunya walau hanya dengan sekapur sirih dan
pinang.
Secara keseluruhan, peneliti melihat dalam foto ini bagaimana keseharian
masyarakat pulau Sumba divisualisasikan. Mulai dari hal yang paling kecil hingga
kepercayaan yang dianut maupun tradisi yang ada di pulau Sumba. Peneliti
menanggap foto cerita ini sangat penting sekali untuk kaji, sebab menurut peneliti,
sebuah kebudayaan akan terus terawat jika dibantu dengan dokumentasi yang
baik.
B. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis berdasarkan analisi data dan pembahasan
terhadap foto Rupa Masyarakat Sumba pada Bab IV, Selanjutnya penulis akan
memberikan kesimpulan dari analisis tersebut pada bab lima ini. Berikut
kesimpulan dari hasil analsis skripsi yang berjudul Analisis Semiotika Foto
Cerita Rupa Masyarakat Sumba di Beritagar.id”:
1. Tahap Denotasi
Denotasi pada dasarnya adalah cara memahami suatu objek dalam foto
hanya berdasarkan apa yang terlihat oleh pandangan mata saja, dengan kata
lain makna sebenarnya dapat diasumsikan serupa oleh orang banyak ketika
melihat foto tersebut. Maka berdasarkan pengertian di atas makna denotasi
yang terdapat di dalam lima foto tersebut memberikan gambaran bahwa
kebudayaan-kebudayaan yang ada di pulau Sumba sudah berlangsung sejak
puluhan tahun lalu dan masih berlangsung hingga saat ini.
74
Meski dalam rangkaian foto Rupa Masyarakat Sumba terdapat banyak
foto, namun lima foto yang dipilih peneliti mempunyai kekuatan yang
membuat para khalayak atau pelihat foto mengerti atau setidaknya dapat
merasakan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Pulau Sumba secara
mendalam. Mendalam yang dimaksud terlihat dari kedekatan fotografer
dengan subjek yang ia potret, suatu pendekatan antar manusia dengan
manusia, bukan fotografer dan objek foto. Selain itu, kelima foto tersebut juga
dapat dengan mudah diterima atau dimengerti oleh para pelihat foto termasuk
peneliti. Oleh karena itu, tahap denotasi dalam lima foto yang dipilih dapat
dijabarkan dengan baik dalam penelitian ini.
2. Tahap Konotasi
Konotasi adalah cara memandang suatu objek dalam foto dengan arti
yang tidak sebenarnya, dengan maksud pelihat foto dapat mengartikan gambar
tersebut sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman dirinya sendiri, sehingga
ketika pelihat memahami sebuah objek dalam tahap konotasi ini isi pesan
yang berusaha disampaikan oleh fotografer belum tentu sama dengan yang
diartikan oleh orang lain.
Dari kelima foto tersebut terdapat beragam makna yang muncul, dari
foto pertama hingga foto kelima selalu menimbulkan makna tersendiri.
Misalnya foto pertama batu kubur yang diambil pada malam hari
menunjukkan sisi gelap sebuah proses kematian dengan memotret batu kubur
pada malam hari,2 foto kedua tentang modernitas masyarakat Sumba, foto
2M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 43.
75
ketiga dan keempat seorang masyarakat Sumba yang hidup berdampingan
dengan hewan peliharaannya, dan foto kelima menceritakan bagaimana sirih
pinang menjadi jamuan bagi tamu yang baru datang.
3. Makna Mitos
Tahap Mitos merupakan tahapan lanjutan dari tahapan sebelumnya,
yaitu tahap denotasi dan tahap konotasi. Mitos merupakan gambaran yang
telah disepakati oleh sebagian atau sekelompok masyarakat yang
mempercayainya, dengan kata lain mitos lahir karena adanya pesan konotasi
yang lalu dipercaya oleh banyak orang dalam suatu wilayah atau budaya
tertentu.
Dari kelima foto yang diteliti menunjukkan berbagai mitos yang
terkandung, seperti masyarakat Sumba yang percaya kehidupan setelah mati, oleh
sebab itu, ritual-ritual yang berkaitan dengan upacara kematian harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Orang Sumba percaya bahwa roh nenek
moyang ikut menghadiri berbagai upacara kegamaan, untuk itu harus disediakan
persembahan. Mitos tentang hewan-hewan yang memiliki daya magis dan
mempunyai kedudukan khusus, hingga mitos sirih pinang yang sudah menjadi
suatu penghargaan atau penghormatan masyarakat Sumba bagi tamu yang datang
berkunjung ke rumah.
C. Saran
Jika dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa fotografi tidak hanya hadir
sebagai suatu pesan yang apa adanya (denotasi), melainkan mempunyai punyai
pesan yang terkandung di dalamnya (konotasi) tergantung dari latar belakang
76
pelihat foto, dan lalu hal tersebut akan menjadi suatu mitos jika telah dipercayai
oleh banyak orang atau sekumpulan masyarakat, seperti yang ungkapkan oleh
Roland Barthes dalam teori analisis Semiotika. Dari penelitian telah disimpulkan
pada bab ini, maka adapun saran agar penelitian ini tidak berhenti pada analisis ini
saja dan dapat terus berkembang di kalangan mahasiswa progam studi jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khalayak umum yang menyukai dunia fotografi
khususnya fotografi dukumenter dan jurnalistik, sebagai berikut:
Bagi Program studi Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sejauh ini, fotografi mempunyai peran penting dalam dunia jurnalistik. Selain
dikarenakan pada umumnya manusia lebih tertarik dan mudah mengingat saat mereka
melihat visual atau gambar ketimbang tulisan, hal lainnya ialah Karena fotografi disebut
sebagai alat perekam dan penghadir ulang kenyataan yang paling ampuh seperti layaknya
memberhentikan waktu ketika shutter pada kamera ditekan.
77
1. Bagi akademisi Fakultas komunikasi, khususnya Program Studi Jurnalistik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingat banyaknya penelitian yang
menggunakan analisis semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi, agar metodologi tersebut mendapat perhatian yang lebih
besar, sehingga mampu menghadirkan hipotesa dan teori baru yang lebih
berkembang dan kajian yang lebih mendalam guna memperkaya khasanah
keilmuan khususnya ilmu komunikasi. Dengan memahami secara baik
kajian tentang semiotika ini akan membuat hasil penelitian yang baik
secara kontekstual.
2. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa komunikasi, metode
semiotika dapat berperan sebagai kamus bahasa visual yang merupakan
diluar bahasa yang dikenal secara konvensional baik secara verbal maupun
nonverbal, untuk itu metode tersebut patut didalami agar seorang
fotografer dapat mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga
dapat memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan
suatu pesan, khususnya dalam medium visual.
78
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, S. G. (2002). Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press.
Alexa. (n.d.). Retrieved from Alexa.com/site-info-beritagarid
Asa, B. A. (2000). Tehnik-tehnik Analisis Media. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya.
Barthes, R. (2007). Petualangan Semiologi (L’aventure Semiologique).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berger, A. A. (2010). Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Budiman, K. (2004). Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Bungin, B. (2011). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Fiske, J. (1990). Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, B. H. (2008). Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: PT Serambi
Ilmu.
Metvensius Ishak. (2017). Kajian Sosio-Teologis Terhadap Nilai-Nilai Luhur
Yang Terkandung Dalam Tradisi Makan Sirih-Pinang Di Gks Jemaat
Waingapu. Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana .
MirzaAlwi, A. (2004). Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Naibaho, J. (n.d.). Kuburan Megalitik Lambang Kebangsawanan Orang Sumba.
Retrieved from tribunnews.com:
http://www.tribunnews.com/regional/2011/02/09/kuburan-megalitik-
kebanggaan-orang-sumba
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara.
Peter L. Berger, T. L. (2011). Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media.
Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Bandung: Jalasutra.
79
Prasetya, E. (n.d.). Dari 17.504 Pulau di Indonesia, 16.056 telah diverifikasi PBB
. Retrieved from merdeka.com: https://www.merdeka.com/peristiwa/dari-
17504-pulau-di-indonesia-16056-telah-diverifikasi-pbb.html
Q-Anees, A. E. (2011). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Rahardian, L. (n.d.). Mengenal Lebih Dekat Ritual Sakral Marapu. Retrieved
from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20161127173904-269-175655/mengenal-lebih-dekat-ritual-sakral-
marapu
Redaksi. (n.d.). Tentang Kami. Retrieved from beritagar.id:
https://beritagar.id/tentang-kami.
Seto, I. (2011). Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Sobur, A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Soeriadiredja, P. (2016). Tatanan Hidup Orang Sumba (Studi Etnografis Di
Sumba Timur. Bali: Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana.
Soerjoatmodjo, Y. (2013). IPPHOS Indonesian Press Photo Service. Jakarta:
Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Sunardi. (2002). Semiotika Negativa. Yogyakarta: kanal.
Susanto, A. F. (2005). Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. Bandung: PT. Refika Aditama.
Travel, D. (n.d.). Mengenal Batu Kubur Sumba. Retrieved from
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1512862/mengenal-batu-
kubur-sumba
Wibowo, I. S. (2011). Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber: Wisnu Agung Prasetyo
Pekerjaan: Fotografer Beritagar.id
Tempat Wawancara: Galeri Fotografi Jurnalistik Antara
A: Sejak kapan si mas Wisnu nih bergelut di dunia fotografi?
B: Mulai motret si 2006 kayaknya, kemudian workshop digaleri itu 2009 sampai
2010, eh 2009 lulus 3 bulan masuk di Tempo.
A: Dari 2006 mulai motret dari apa saja?
B: Dari iseng, beneran kayak gua suruh temen gua jual, butuh duit, anak IKJ dulu
kan, jadi ceritanya gua jual, apa, DO kan dia, anak fotografi IKJ DO, buat anceran
butuh duit jual kamera gua tangkep dah punya lu, gua juga gak ngerti tuh awalnya
buat apaan.
A: terus ikut workshop fotografi Antara di 2009?
B: Iya, abis itu motret. Gua beli film, waktu itu kamera FG, Nikon FG, motret-
motret akhirnya gua suka, terus malah jadi kerjaan
A: Apa yang melatarbelakangi mas nih memotret rupa masyarakat sumba nih?
B: Sebenernya kan proyek merapu.
A: merapu tuh apa?
B: Merapu itu agama lokal sumba
A: Jadi awalnya ngambilnya merapu yah?
B: Iya, jadikan disana ada kearifan agama lokal gitu, marapu namanya. Nah,
merapu akhirnya kan jadi nyangkut aspekya banyak yah, maksud gua jadi acara,
jadi kepercayaan, terus jadi adat sekarang yang berlaku di Sumba itukan
sebenernyakan menurut saya merapu itukan.
Nah terus sekarang itukan, seiring waktukan itu mahal banget tuh, karena
masyarakat di sana kan terikat satu sama lain itukan cukup kuat. Rata-rata lu liat
ada orang yang sedikit-sedikit mereka ada apa sedikit potong babi, tikam babi,
potong kebo atau apa gitu. Jadi emang, bahkan sampe lo nikah tuh mahal banget
gitu, ni lo mau nikahin perempuan gitu dia mintanya bisa 28 kuda, 50 kerbau gitu,
lu dikredit, cicil tuh. Jadi emang masyarakatnya kan kayak gitu kan. Jadi
masyarakat di sana tuh adatnya tuh sampai hari ini mereka terikat satu sama lain
itu dengan hal-hal kayak gitu. Jadi katakanlah lu ada, lu nikahin anak gitu kan
yah, gua kasih lu kebo A, nah suatu hari lu balikin gua kebo lagi, maksud gua
terikatnya kan hal-hal kayak gitu kan
A: Dan membutuhkan biaya yang besar ya?
B: Iya, setelah marapunya ditinggalin gitu beberapa orang kan mereka kan rebutan
sama, awalnya gak diakuinkan kepercayaan lokal itu kan, akhirnya mereka masuk
agama-agama yang diakui di Indonesia yah, ada agama ini agama itu, nah agama
ini masuk tapi adatnya itu masih ada. Kayak gitu kan. Lebih kayak gitu si. Di
beberapa tempat ritual masih ada, tapi dibeberapa lain agamanya udah beda, tapi
masih terikat satu sama lain masih kayak gitu si.
Awalnya gua nangkep, gitu jadi kayak, dan itu kan larinya kan ke ini, jadi
menurut gua si saat itu kan larinya bisa jadi gengsi, terus bisa diketahanan pangan
kan? Lo bayangin dalam seminggu lo bisa dapet daging itu dua atau tiga kilo
dalam acara acara kayak itu. Lo coba tracking juga dah, misalnya disana itu ada
katakanlah gizi buruk apa enggak, dibanding sama tempat lain karena adat kayak
gitu. Jadikan mereka secara, ya emang adatnya memberatkan. Tapi paling gk
orang-orang disana tuh secara nutrisi lumayan karena ada acara itu. Kalo gak gini,
lo dateng ke satu acara, kebetulan elu gak kebagian daging gitu, nah elu tuh
dirumah bisa potong kambing bisa potong kebo gitu, elu kayak gengsi kan, jadi
kayak sakit hati, jadi bisa kayak gitu. Maksud gua hal hal kayak gitu sampe hari
ini terpelihara dengan baik kan disana. Yah cukup berat si.
Misalnya bokap lu ini, masih punya tanggungan dulu apa gitu, misalnya kebo ama
orang, nah kan bisa turun ke elu gitu, lu juga harus, misalnya ada gua gitu ngasih
ke bokap lo katakanlah kebo gitu, nah suatu hari gimana gitu, elu yang akan ganti
ke gua, jadi mereka terikat dengan adat gitu.
A: walaupun agamanya sendiri udah beralih ke yang lain yah
B: Beberapa udah.
A: Terus pendekatan dan riset yang mas lakuin tuh dalam karya ini gimana si?
B: pendekatannya si sebenernya, nah ada beberapa itukan karena cuman dua hari
cuman tiga hari, lo gak dapet kayak banyak hal yang gua dapet si kayak
pernikahan, kayak apa segala macem. Tapi pendekatan gua si saat itu dateng ke
kampung tarung itu, ngobrol sama tokoh adat disitu terus gua wawancara deh, dan
ngobrol sama orang orang lokal driver gua, gitu gitu, yah semua yang gua temuin
si gua ajak ngbrol gitu, sebenernya itukan ada adat yang tersisa gitu yah, gua
lebih motret ke itu si, bukan kayak ngomonging kayak antropologi apa gitu, yah
yang gua liat aja si, ceritanya lebih kayak gitu
A: jadi pendekatan secara langsung gitu yah?
B: Iya, lebih ke ngbrol ngbrol gitu, karena kan gua lebih motret apa yang dia
rasainkan, ketika driver gua dia harus nyicil pernikahan kayak mahar gitu kan apa
yah namanya, semacam mahar itulah, dia harus nyicil mahar istrinya itu sampe
hari ini pun belum lunas, iya
A: itu memberatkan mereka gak?
B: memberatkan memberatkan gak memberatkan si, tapi yah, jadi itu. Dia bilang,
orang yang ngelepasin diri dari adat kayak gitu, terus dia usaha babi usaha gitu,
terus mereka kayak raya. jdi mereka kekayaan itu sebenernya tajir ni, tapi gak
dalam bentuk gak keliatan gitu. Jadi asetnya kan ada di katakanlah masih
disimpen disana kebo satu, disana kebo satu, disana apa kayak gitu kan. Lo
bayangin kalo tiba tiba itu muncul dalam satu tarik kayak gitu, dia punya
tabungan gede banget, atau sebaliknya karena dia punya utang gede banget.
A: iya gede banget, karena dimana mana yah?
B: iya, kayak gitu si ya, nah gua dari driver gua cerita gitu.
A: yang batu kubur itu?
B: aah ada batu kuburkan, kan ada acara yang tikam babi itu kan, yang gambar api
itu. Jadi malam itu pas gua disana gua mau balik, tapi mereka bilang hari ini ada
ini mas, yaudah gua nginep disitu tuh. Jadi mereka itu, dikampung tarung itu kan
sempet kebakar gitu rumah mereka, rumah adat mereka, sampe hari inipun belum
bisa.
A: karena harganya yang mahal itu yah?
B: mahal banget, jadi bikin rumah disana itu sampe dari motong kayu sampe lo
berdiri jadi, pasang tiang kayak gitu gitu kayak bisa 2 M 3 M, mahal banget
A: jadi itu belum dibangun yah karna gitu gitu yah?
B: yah karena bahan bakunya susah segala macem, yah sekarang dibeton tuh
bawahnya tuh, kan awalnya kayu, skrg bawahnya dibeton, mereka kan rumah kan
kayak orang kan, ada kakinya ada perutnya ada kepala nya, jadi setiap itu inikan
ada ritualnya, saat itu kan ritual, dia manggil arwah roh rumah, jadi mereka
anggep rumah itu ada rohnya, jadi waktu kebakar itukan pergi, nah dia panggil
balik kesitu.
A: jadi mistisnya kuat yah mas?
B: mistisnya, gua gak ngerasain gak ngeliat apasi, maksud gua disana itukan
kampungnya isinya kuburan semua yah, gua semaleman disitu gak ngeliat apapun
si, tapi adatnya masih ada si mereka kumpul makan makan doa sampe pagi gitu si.
A: terus dalam pembuatannya ini sebelumnya sudah dikonsepin atau kondisional
mas?
B: sebenarnya kalo ini gua lebih bilang kondisional si, awalnya merapu kan itu,
tujuannya awalnya merapu, terus akhirnya dari agama itu gua liat aja kondisi
sekarang aja gitu bagaimana mereka pertarungan antar. Maksudnya Kalo disana
tuh LSM LSM itu banyak banget, katakanlah dari Jerman, dari mana dari mana
gitu kan, misalnya itu dari agama agama lokal agama agama ini tuh tembus masuk
kesana, kayak rebutan lahan. Kayak disini tuh katakanlah tembus agama A,
daerah sana tuh agama B. jadi emang ada usaha yang gila-gilaan itu untuk
merubah agama mereka dari agama merapu ke agama yang diakui sekarang.
A: dari LSM LSM itu? Atau yang?
B : iya LSM banyak yang masuk, jadi yah, yah ada banyak yang muslim, ada
yang Kristen, yah petarungan kayak gitu lah, petarungan itu ada disanaa, kalo lo
suatu hari kesana yah kerasa lah
A : kerasa yah? Jadi awalnya tuh konsepnya ingin ke fokus ke merapunya aja,
ternyata pas dilapangan?
B : pas gua liat dilapangan, gua liat gitu masih ada sisa sisa adat, tapi kan gak
mungkin kan dalam tulisan gua, misalnya gua tulis kayak ada perebutan, ada
kepentingan yang lebih besar lagi, menurut gua bahaya si.
A : berapa lama si mas kemaren pas proses pembuatannya ini?
B : 3 hari atau 4 hari gitu si,
A : sebelumnya riset?
B : sebelumnya riset iya, karena kan selama ini kalo lu ke sumba kan pasola. Lo
liat rata-rata kalo gak rumah adat yah pasola. Jadikan sebenernya kan dibalik itu
si, pasola lamboya, disitukan ada nama daerah lamboya, pasola itu kan cuman
bagian dari ritual adat merapu ini si, bagian kecil aja si. Kalau riset
jauh,maksudnya yah gak bisa yah lu di sumba tuh 3 tahun tuh gak bisa, gak
selesai si,
A : prosesnya gak cukup yah?
B : bisa panjang banget, kalo misalnya A hari lo mau jadi kesana, belom ada
orang yang serius si garap itu si.
A : terus mengenai fotografi dan budaya mas, bagaimana pendapat mas ini
mengenai keduanya?
B : iih berat banget. Yah dokumen foto kan kaya media yah, medium gitu,
merekam. Jadi, hemm, maksud gua foto foto kita bagian dari kebudayaan itu kan,
misalkan bagian dari budaya mana nih, heem apakah budaya hubungan foto
dengan kebudayaan yang kultur oldschool, budaya semacem itu loh, atau yang
pop gitu, yang tradisional gitu atau yang ngepop gitu. Itu yahkalo foto dan itu si
yah, foto sekarang kamera bisa lu pake untuk mendokementasikan mereka
kebudayan kebudayaan yang masih tersisa ini yang suatu hari lu kan gak tau ini
akan bisa bertahan atau beneran hilang. Kalau lu denger, cerita gua tadi yah, yang
ada orang masuk yang berusaha mau ngerubah agama mereka satusatu gitugitu,
nah foto jadi data gitu, lo motret untuk mendokumentasikan mereka yang suatu
hari bisa hilang atau akan justru bisa makin solid bertahan gitu si, maksud gua
paling gk lebih kesitu si. bisa arkaiving atau apa si.
A : untuk sebagai arsip yah mas?
B : arsip itu kan terkahir banget yah, tapi paling gk lu bisa melempar wacana kan,
dari foto lo ada kejadian kayak gini loh, jadi biar orang yang akan menilai yah ,
termasuk elu yang ketiganya kan, elu melihat ini sebagai suatu hal yang gimana,
atau orang lain, yah jadi wacana aja si, jadi media aja fotografi
A : jadi peran peran fotografi dalam tradisi budaya gitu?
B : fotografi dalam tradisi budaya kalo pop gitu, yang kita alami sehari-hari, yah
menurut gua foto itu jadi lu taukan kayak spon gitu yah, yah elu menyerap apa
yang ada disekeliling lo gitu, terus lu keluarin dalam bentuk baru gitu, medianya
foto gitu kan, jadi fotografi buat gua jadi kyak medium gue gitu, sebagai media lu
menyampaikan wacana, berkespresi segala macemkan, misalnya elu menyerap
apa yang ada disekeliling lu nih, terus lu kan mulai mengolah berfikir segala
macem ini kayaknya dibikin ini, jadi seperti kayak gitu si gua si.
Termasuk kayak kalo tradisi lama, elu nangkep sesuatu ini, terus fotografi jadi
medium lu, jadi media lu.
A : heem, jadi secara keseluruhan yah mas, jadi sebenernya apa yang mau mas
sampein dalam karya tersebut?
B : itu tadi kalo lo liat gambar-gambarnya kan, itu tuh mereka jadi, hem,
sebenrnya lebih kayak keterikatan masyarakat sumba itusi, jadi kayak adat mereka
itutuh terikat satu sama lain dengan caranya yah begitu, nah mungkin yah dulu itu
hal kayak gitu sengaja diciptain gitu biar orang itu saling terhubung gitu, jejaring
yah. Jadi orang itu satu sama lain itu antesis kota sekarang iyakan. Jadi kota itu
sekarang jadi kayak hal yang berlawanan, maksudnya kultur kota yah yang
dijakarta itu kan berlawanan sama mereka yang ngelakuin hal ini. ketika mereka
satu sama lain sangat terhubung walaupun dengan cara kayak gitu kan, tapikan
mereka tetep, “wow,gua punya utang sama sana” jadi elu harus, apapun
kondisinya elu, elu berushaa mengenal orang itu kan. Kayak gitu, jadi elu
nyamperin kesana atau dia sebaliknya, semua orang kan saling terhubung satu
sama lain yah paling gak satu daerah. Gitu si, Jadi kan sebenernya kayak satire
gitu mas, yang kita hidup dikita sekarang inikan hampir gak kayak gitu kan. Elu
sama tetangga elu aja kan gak kenal gitu yah, misalnya ada kontrakan bederet
gitu, apalagi kontrakan gitu kan, rumah gua kan kampung gitu yah, ada kontrakan
enem apa tujuh gitu gua gak tau tuh siapa siapanya, maksud gua gitu si.
Nah hal yang kita lakukan sekarang kan berbeda sma mereka yah, mereka bisa
terhubung dari berapa berapa dengan budaya mereka Jadi gitu yah, dari merapu
batu kubur itu kan, terus masuk ke orang-orang, mereka masih guyub gitu kan,
ada gotong royong, mere bisa memecahkan masalah bersama sama. Ada orang,
jadi kayak ada satu foto tapi gak masuk tuh, mereka tuh naik nyewa bis, eh gak
bis gitu kayak truk terbuka bawa kebo gitu, dari jauh gitu bro, jadi ada orang
meninggal gitu, jauh gitu, 20 kilo 30 kilo posisinya dari situ tuh. Mereka nyewa
satu kampung gitu bersatu rombongan gitu bawa kebo gitu naek mobil bak itu
kesana ngasih itu.
A : sebagai bentuk apa tuh mas?sumbangan atau belasungkawa?
B : yah elu kalo nanya mereka yah, inikan ada orang kesusahan yah, yah elu bantu
bantu sedikit. Tapikan nanti mereka gentian, kalo orang ini kenapa kenapa yah elu
harus ngasih. Pokoknya elu harus punya stok kebo harus banyak. Kalo jadi mahal
kalo lo konversi pake uang. Iyakan, kalo diitu tuh gak berasa karna elu bisa
melihara kebo nih, disanakan kebokan ditaro yah liar aja, jadi mereka beranak
pinak gitu disitu. Nah ketika itu dikonversi jadi uang gitu, dan lu mau melihara
kebo lagi, harus ketanggungan kayak gitu, gua pikir lu bisa gila gitu.
A : ooh, oke mas, ke teknis yah mas, kayak kamera, lensa yang digunain apa mas?
Apakah ada tambahan pake flash atau apa gitu?
B : kayaknya gua make sony A7 kan, A7 ii itu sama lensa fix 50 mm Nikon 55
mm Nikon, kayaknya gua bawa 1 kamera itu.
A : terus proses editing mas, editing fotonya gitu?
B : proses editing yah, sebenernya pendekatannya bisa difoto dulu bisa dicerita
dulu kan, nah kayak gitu si, terus yah memilih berdasarkan ,elu yang mau lu
ceritain apasi, mulai dari kepala terus turun kebawah adatnya, terus kebawah lagi,
jadi proses editingnya si kebih ke alur ceritanya aja si.
A : terus kenapa milih foto itu jadi pembukanya? Kenapa begitu?
B : yah kan awalnya emang dari situ kan. Dari marapu itukan diturunin dari orang
sebelumnya itukan yang bersimbol, kan simbolnya itu yah, mana si fotonya gua
juga agak lupa itu udah lama kayaknya,
A : mau ngeprint tapi kayak gak keluar gitu wrnanya.
B : nih kan, nih kan adatnya, nih kan segala macem gimana mereka guyub
gitukan, inikan tikam babi nih, nihkan sebenernya babi abis ditusuk gitu, wik gitu,
abis itu dibakar sama mereka, nah mereka pake tanda tanda alam gitu. Jadi babi
itu kan didoain dulu nih, ditusuk mati abis itu dibelah, dilihat tuh hatinya tuh. Jadi
dia baca petanda ini baik apa gak segala macem dari hatinya babi itu. Nah setiap
hal yang mereka lakuin, selalu kayak gitu. Jadi katakanlah misalnya lu mau
merantau nih, bikin acara apa pasti tikam babi dilihat hatinya itu sama kayak
orang adatnya tuh dilihat, ini bagus apa gak gitu. Nah maksud gua inikan
selalu…..
A : kalo dilihat dari fotonya si, maksud foto ini foto awalnya kan kayak makam
B : makam
A : ditaro diawal gitu kan kaya mengawali….
B : iyakan inikan kayak turun gitu yah, secara inikan hal yang mereka lakukan
sekarang kan gak bisa lepas dari orang terdahulu
A : ini ukir yah mas? Batu ukir yah mas?
B : ini namanya batu apa yah? Ada satu daerah yang bikin makamnya kayak gini
si, emang batu dipahat sama mereka.
A : kalo yang nomer 3 tuh mas, yang itu..
B: nah kalo yang inikan makan yah, proses..
A : dari babi itu yah mas
B : heeh,
A : diacara yang sama yah mas?
B : iya diacara yang sama jadi yang kayak gua bilang tadi kayak ketahanan
pangan tadi yah, maksud gua gini nih, jadi setiap ada keluarga bikin apa, mereka
kumpul rame rame makan bareng, segala macem kayak gitu kan, ini soal
kerukunan yang dibangun mereka itu loh dengan makan bareng begadang sampe
pagi. Ini lebih ke yang gua bilang tadi, rumah yang mahal banget ituloh.
A : oh tapi ada modernisasi motor gitu yah?
B : inikan tabrakannya kesitu kan sebenernya kan, inikan mereka sebenernya
yang gua rasain, inikan sebenernya ditinggalin kan, jadi nanti kalo lu kesana
suatu hari, lo ngeliat ada tiang tiangnya doang tuh rumah, bekas tiang bekas tiang,
jadi ada suatu keluarga induk disitu rumahnya rusak dan mereka gak mampu
bangun lagi gituloh, karena mahal banget.
A : kalau udah rusak udah yah, berarti mereka beralih ke rumah gini yah?
B : emang gak keliatan yah, tapi dibelakang belakangnya ada bekas tiang tiang
rumah yang udah ambruk gitu yah ditumpuk aja udah, ya mereka kan kesini yah
kearah sini, mereka sekarang lebih memilih ini yah.
Nah inikan kebo, jadi elu ngasih orang gitu, ini akan dipajang depan rumah lu,
tanduk dan itu ada namanya nanti, nama yang ngasih, itu nanti buat tanda kalo lu
balikin keorang itukan mereka itungannya tanduknya panjangnya seberapa.
A : oh kalo ngasih kerbau itu itungannya dari tanduk?
B : dari tanduk, harga kerbaupun itungannya dari tanduk. Nah makanya kayak
kan.
A : kalo dri teknis mas, ini kan kayak ada korelasi antara kepala si bapaknya
sama kepala tanduk, ngambilnya gimana tuh mas suasananya?
B : kalo ini gak sebenernya gua ambil portrait kan, tapi gua cari latarbelakang
yang ada ininya kan, inikan kayak kepala desa yang disana kan, gua wawancara
gitu segala macem. Nah inikan lebih ke secara fesyen lah lu bisa nangkepkan,
katakanlah..
A: itukan fesyen yang disanakan yah, pakaian adat yang disana..
B : heeh, jadi ada mereka improve gitu dari yang oldschool gitu dari yang
tradisional sama yang pakaian sehari-harinya mereka gitu, mereka keseharian
kayak gini, ada acara ataupun enggak yah kayak gini, rata-rata kayak gini, pake
sarung, pake iket dikepala dan bawa golok. Dan kalo polisi pun kalo disinikan
bawa golok itu ditangkepkan, kalo disana enggak, karena yah golok itu jadi
bagian dari laki laki gitu harus kayak gitu kan,Nah inikan lo liat nih,
A : oh ini rumahnya udah modern mas?
B : iya karena mahal banget bro, saking mahalnya, jadikan ini pas ada acara
kematianlah, mereka lagi potong potong kan, kayak gitu, lu bisa liat kan, banyak
banget rumah disana kayak gini, terus fesyen anak mudanya masih pake ginikan ,
keseharian mereka kayak gini, lu nangkepnya gimana?
A : yah maksud gua, yah baliknya kana da modernisasi juga kan?
B : iya heeh dimitosnya kan di.. nah inikan soal kuda kan, jadi kultur kuda disana
itu yah udah, jdi kayak keseharian, dan namanya kuda jadi faktor yang penting
gitu, mereka jarang banget motong kuda, jadi kuda itu jadi belis yang gua bilang
mahar tadi.
A : jadi rata-rata kuda itu dipake untuk kendaraan disana atau enggak?
B : ada yang iya ada yang enggak
A : jadi untuk mahar aja?
B : emang lebih mahar, jadi kuda itu fungsinya untuk alat tukar gitu. Jadi
posisinya kayak gitu. Inikan kudanya ada yang kecil , ada yang kudanya 1 dari
daerah yang kemaren jokowi dikasih tuh dari daerah mana tuh, gue, ntar lu search
deh, jokowi kan sempet dikasih kuda dari Sumba daerah apa itu, nah itu kuda
yang bagus.
A : nah itu yang bagus, harga tukarnya juga beda tuh mas?
B : beda, jadi inikan kalo kuda kuda kecil inikan kuda biasa yah,. Jadi emang
mereka kuda pun gak semua kuda sama, ada yang kuda lokal ada yang kuda
khusus daerahnya gitu.
A: nah kalo ini ada sirih pinang gitu mas?
B : nah, maksud gua yang sirih pinang itu kan, sebenernya yang gua tangkep si
yah, heemm inikan addict banget yah, nyirih, pinang, sama batu kapur itu kan,
sebenernya.. s jadi secara filosofisnya gini, mereka sirihnya itu kan bukan
daunnya kan, tapikan bunganya yang panjang panjang gitu,
A : ini lagi dililit lilit gitu yah?
B : enggak, terus pinang itukan bulet, terus kalo lu belah jadi dua gitu kan, jadi
kayak lu bilang pinang dibelah dua, jadi itukan, nangkep gak. Inikan Bunga sirih,
ini pinang, lu inget kalo simbol simbol tua gitu gak si? Kayak simbol simbol
kesuburan segala macem kayak monas gitu kan , terus batu kapurkan representasi
dari bumi , kalau lu tau orang disana se addict apa soal sirih pinang, parah itu
lebih dari addict dari rokok. udah lebih dari kebutuhan yah? Parah Addict banget,
jadi lu harus kesana deh, Sumba itu kayak daerah yang belum di kuak gitu,
maksud gua dari, gua asal asal lan kan agak ngawur-ngawurkan , lu riset lagi, lu
dateng bae bae kesana lu tinggal, lu masih punya waktu panjang sebulan gitu
disana, lu bakal melihat hal-hal menarik banget si disana,
A : itukan mas mas siapa, yang pasola itu,
B : Itu Sumbawa, romi perbawa itu kan, itu isu udah lamakan, dari tahun 90an
udah ada kan fotonya, tapi lu kalo ngebahas masih agak fresh
A : kalo yang foto terakhir mas, anak kecilnya?
B : nah ini soal regenerasi segala macem, jadi satu rumah itu kan mereka, jenisnya
rumah inti tuh, rumah adat ini jadi rumah inti gitu, jadi satu rumah bisa diisi sama
4 keluarga, 5 keluarga, soal regenerasi dan segala macem, yah mereka selow gak
ngapa-ngapain gitu,
A : mereka berladang?
B : berladang, aduh daerahnya tandus banget deh jadi bingung gua
A : ternak mungkin yah?
B : ternak yah habis buat acara kan, jadi yah rata-rata si jualan apa, jualan hasil
bumi kepasar, jual ayam. Yah ini lebih kesitu si, yahsoal ini, rumah kan dari
bawah kakinya, perutnya dan atasnya, terus mereka bikin lagi tuh, pintu
perempuan, pintu laki laki tuh beda, tiangnya pasangnya 4 nih , laki-laki
perempuan, laki-laki perempuan parah si,
A : terakhir yah mas, banyak media yang menyampaikan sebuah pesan atau karya,
kenapa mas milih fotografi medianya?
B : yah sama kayak elu aja ngapa ambil soal skripsi lu semiotika. Maksud gua yah
Hemm jadi yah fotografi jadi apa yah, yah itu pilihan aja si, dan gua menikmati
proses fotografi itu si, yah kayak gini kan lu dateng ke tempat baru, ngobrol sama
orang baru, terus lu survive disana gimana segala macem, gimana yah. Kayak gitu
kan lebih kayak, Yah gua menikmati gua suka proses dan hasilnya aja si itu,
karena gua suka orang lain, yah karena elu orang lu akan tertarik dengan orang
juga kan, fotografi kan rata-rata menceritakan tentang manusia dan sekitarnya,
yah itu si, gua suka ngeliat orang, awalnya kayak gitu.