218
ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI DI INDONESIA (Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif Legislatif Pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar 1111112000019 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI DI INDONESIA

(Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif – Legislatif

Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Hendra Sunandar

1111112000019

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

Page 2: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 3: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 4: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 5: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 6: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

i

ABSTRAKSI

Skripsi ini memusatkan analisis terjadinya divided government pada pemerintahan

Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dipandang sebagai dampak dari kombinasi sistem

presidensialisme-multipartai yang menurut beberapa ilmuan terdahulu, seperti Juan Linz

(1990), Scott Mainwaring (1993), Alfred Stephan dan Cindy Skach (1993) dinilai sebagai

kombinasi yang menyulitkan bagi efektivitas pemerintahan. Terlebih, jika kombinasi

tersebut menghasilkan pemerintahan terbelah (divided government) yang diasumsikan

akan memicu kebuntuan dan kesulitan antara eksekutif dengan legislatif untuk mencapai

keputusan bersama (Cheibub, 1999; Elgie, 2001). Tujuan penelitian ini adalah untuk

menguji asumsi teoritik tersebut dalam kasus periode divided government pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta pemahaman

mendalam (deep-understanding). Selain itu teknik pengumpulan data dilakukan melalui

studi pustaka, wawancara mendalam (in-depth interview) dan penelusuran dokumen.

Penelitian ini menggunakan pendekatan koalisi presidensial (Chaisty, Cheeseman, Power,

2005) untuk selanjutnya mengeksplorasi relasi eksekutif-legislatif melalui penelusuran

transkrip-transkrip yang berisi proses pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini,

periode divided government itu terjadi sesaat setelah Presiden dan DPR periode 2014-

2019 dilantik sampai Golkar versi Agung Laksono menyatakan keluar dari Koalisi Merah

Putih dan menyatakan dukungannya terhadap pemerintah. Pembatasan periode masalah

tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri yang mengharuskan

eksekutif memiliki partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) diatas single

majority (50%+1) di legislatif agar relasi eksekutif-legislatif bisa berjalan tanpa deadlock.

Penelitian ini menemukan bahwa divided government yang terjadi pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla disebabkan oleh faktor ketidakmampuan

eksekutif dalam membangun koalisi presidensial yang mencapai single majority (50%+1)

di legislatif. Namun, berbeda dengan asumsi para teoritisi sebelumnya, divided

government yang terjadi di Indonesia hanya terjadi dalam ranah struktural dan bukan

sebagai fenomena yang menyulitkan eksekutif untuk membangun kesepakatan dengan

legislatif, bahkan hal tersebut mampu berakhir dengan win-win solution. Fenomena

tersebut terjadi disebabkan karena adanya dua pendekatan yakni: pendekatan melalui

prosedur konstitusi seperti yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa antara Presiden dan DPR harus saling duduk bersama dalam pengambilan

keputusan sehingga konstitusi memiliki kekuatan untuk menjembatani hubungan

eksekutif-legislatif dan mendorong terjadinya sikap kompromi. Selain itu, pendekatan

diluar prosedur konstitusi seperti adanya pola komunikasi informal antara Presiden

dengan oposisi pemerintah seperti pertemuan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto

pada tanggal 29 Januari 2015 di Istana Bogor yang kemudian diikuti pidato Prabowo

mengenai dukungannya terhadap kebijakan Pemerintah. Selain itu tidak solidnya partai

terhadap arah koalisi serta kemungkinan berpindahnya partai dari satu koalisi ke koalisi

lain berdampak pada tidak kuatnya bangunan divided government yang terjadi di

Indonesia sehingga tidak terjadi dalam waktu yang lama. Oleh karenanya, berbeda

dengan asumsi teoritik para ilmuan sebelumnya, meskipun mengalami periode divided

government, relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensialisme-mutipartai di

Indonesia bisa berjalan tanpa ada deadlock.

Kata Kunci: Presidensialisme, Multipartai, Divided Government, Koalisi Presidensial,

Deadlock, Joko Widodo - Jusuf Kalla.

Page 7: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Penelitian skripsi ini bukanlah akhir dari perjalanan akademik, tetapi ini baru

memasuki pintu gerbang yang mengawali dunia intelektual tak mengenal batas apriori.

Sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk mempertanggungjawabkan

argumentasi dan kesimpulan dalam penelitian ini, karena dalam prosesnya, penelitian ini

melibatkan banyak pihak yang sangat membantu penulis dalam menyusun argumentasi

dan analisa serta memungkinkan penelitian skripsi ini selesai.Temuan penelitian ini tidak

akan muncul tanpa adanya bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu,

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya.

2. Bapak Dr. Iding Rosyidin Hasan, sebagai Kepala Program Studi Ilmu Politik.

3. Ibu Suryani, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik

4. Bapak Dr. Ali Munhanif, sebagai dosen pembimbing dalam penelitian ini.

Terima Kasih Pak Ali, atas banyak masukan dan selalu membuka ruang diskusi

yang menyenangkan selama penulisan skripsi ditengah kesibukannya.

5. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. A. Bakir Ihsan dan Bapak Zaki Mubarak,

M.Si sebagai dosen penguji skripsi. Keduanya juga telah memberikan masukan

yang konstruktif.

6. Kepada semua dosen-dosen di Program Studi Ilmu Politik yang tidak bisa

disebutkan satu per satu. Mereka selalu mengajakan pentingnya keseriusan

dalam menuntut ilmu. Terima kasih atas segala dedikasinya.

Page 8: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

iii

7. Ulil Abshar Abdalla, yang selalu menjadi teman diskusi yang menyenangkan.

Meskipun Mas Ulil juga bertindak sebagai politisi tetapi juga tidak kehilangan

gairah untuk membaca buku dan menggali ide.

8. Nong Darol Mahmada (Manajer Freedom Institute), yang sudah membantu

penulis untuk menghubungi beberapa narasumber guna keperluan wawancara

dalam penelitian ini.

9. Mbak Dewi, dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)

Sekretariat Jenderal DPR-RI yang sudah mempermudah penulis untuk

mendapatkan dokumen-dokumen persidangan DPR-RI.

10. Teman-teman di Teater Utan Kayu: Evi Rahmawati, Ade Juniarti, Novriantoni

Kahar, Guntur Romli, Malja Abrar. Penulis banyak belajar dari mereka.

11. Rekan dan sahabat penulis di Forum Ide: Rizal Lubis, Erton Vialy Arsy, Nadya

Karima, Raden Fadillah, Bashroni Rizal, Nisfu, Surahmat Eko, serta Imam

Hidayat dan Soleman Siregar yang sedang menimba ilmu di Istanbul, Turki.

Terima Kasih atas kebersamaannya.

12. Teman-teman di FISIP UIN Jakarta: Zamiral Hamdi, Ahmad Nurcholis, Amar

Raunsfikry, Roy Imanuddin, Rezza R. Ramadhan, Nasrul, Icksan Nst,

Sulaiman Nukman, Afdal Fitrah, Isworo, Iskandar, Derio, Handi, Fadhli, Fauzi,

Abimanyu, Heni, Ndu, Ino, Neneng, Fini Rubianti, Hilman Hidayat, Farah

Dina, Iir Irham Mudzahir, Ahmad Garaudi dan lain-lain.

13. Sahabat-sahabati PMII KOMFISIP: Muhammad Sutisna, Muhammad Sulton,

Ronald Adam, Khairy Fuady, Masmuhah Oecha, Rida Fauzia, Adi Budiman,

Kholid Syaifulloh, Hakim, Anhari, M. Rafsanjani, Cendy Vicky, Ade Prasetyo,

Syahrul Fadhil, Kadir, Syara Anissa, Ahmad Subandi, Reynaldi Akbar, Juple,

Ical, Masayu, Nje, Kholid, Erika, Muhammad Faruqi, Adriansyah, Udin

Page 9: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

iv

Syarifuddin, Imam Fitra, Amizar Isma, Yasir Risay, Majid, Khairunnisa Lubis

dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini bisa selesai. Semoga Allah membalas

kebaikan mereka. Dan sudah tentu, mereka tidak bertanggungjawab atas segala

kekurangan dalam penelitian ini. Akhir al- kalam, penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada Anda, para pembaca. Tentunya penulis sangat menantikan kritik dan

masukannya, Wallahualam bishawab.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Depok, 1 Juni 2015

Page 10: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK....................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... v

DAFTAR TABEL........................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1

B. Pertanyaan Penelitian.............................................................................. 16

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................... 16

D. Tinjauan Pustaka..................................................................................... 18

E. Metode Penelitian.................................................................................... 22

F. Sistematika Penulisan.............................................................................. 25

BAB II KERANGKA TEORI

A. Sistem Presidensial.................................................................................. 26

B. Sistem Multipartai................................................................................... 30

C. Koalisi Presidensial................................................................................. 35

D. Divided Government............................................................................... 44

BAB III KONFIGURASI POLITIK TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN

JOKO WIDODO - JUSUF KALLA DALAM SISTEM

PRESIDENSIALISME - MULTIPARTAI

A. Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia............................. 51

B. Konfigurasi Politik Pemilihan Legislatif 2014........................................ 59

1. Pemilihan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik

Indonesia Periode 2014-2019......................................................... 67

2. Pemilihan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Republik Indonesia Periode 2014-2019.......................................... 71

C. Konfigurasi Politik Pemilihan Presiden Repubulik Indonesia Periode

2014 - 2019.............................................................................................. 73

BAB IV ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI

EKSEKUTIF-LEGISLATIF PEMERINTAHAN JOKO WIDODO –

JUSUF KALLA

A. Divided Government dalam Pendekatan Koalisi

Presidensial.............................................................................................. 81

1. Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial..................................... 85

B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan

Joko Widodo - Jusuf Kalla...................................................................... 94

Page 11: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

vi

1. Fungsi Budgeting APBN-P 2015....................................................... 97

2. Fungsi Legislasi Pembahasan Rancangan Undang-Undang............ 106

a) Revisi UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah........................ 108

b) Revisi UU MD3......................................................................... 113

c) Pengangkatan Kapolri................................................................ 116

C. Model Pendekatan dalam Divided Government...................................... 119

1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi........................................... 120

2. Pendekatan diluar Prosedur Konstitusi............................................. 126

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................. 137

B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya............................................ 142

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 145

Page 12: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

vii

DAFTAR TABEL

Tabel I.A.1 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer

dalam Konteks Keberlanjutan Sistem Demokrasi..................... 4

Tabel I.A.2 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer

dalam Konteks Intervensi Militer.............................................. 5

Tabel I.A.3 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer

dalam Konteks Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh

Kekuatan Dominan di Legislatif................................................ 6

Tabel I.A.4 Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 – 2009.................... 9

Tabel I.A.5 Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.. 10

Tabel II.B.1 Sistem Kepartaian Giovani Sartori............................................ 32

Tabel II.D.1 Divided Government dalam Berbagai Jenis Sistem

Pemerintahan............................................................................. 45

Tabel II.D.2 Veto dalam Sistem Presidensial................................................. 48

Tabel III.A.1 Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. 54

Tabel III.B.1 Jumlah Kursi Partai Politik Hasil Pemilihan Legislatif 2014.... 64

Tabel III.B.2 Polarisasi Dua Koalisi di DPR setelah Pileg 2014 dan

Sebelum Pilpres 2014................................................................ 65

Tabel III.B.1.1 Hasil Sidang Paripurna Pemilihan Pimpinan DPR-RI 2014-

2019........................................................................................... 67

Tabel III.B.2.1 Komposisi Paket Calon Pimpinan MPR-RI 2014-2019............ 72

Tabel III.C.1 Komposisi Koalisi Indonesia Hebat & Koalisi Merah Putih

Saat Pemilihan Presiden 2014.................................................... 75

Tabel III.C.2 Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014....................... 76

Tabel III.C.3 Komposisi Kabinet Kerja Jokowi – JK...................................... 79

Tabel IV.A.1 Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah

Putih di DPR dalam Periode Divided Government.................... 88

Tabel IV.B.1 Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided

Government............................................................................... 96

Tabel IV.B.1.1 Proses Silang Pendapat Eksekutif-Legislatif dalam Asumsi

Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015....................................... 102

Tabel IV.B.1.2 Pendapatan Negara dalam APBN-P 2015................................. 103

Page 13: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

viii

Tabel IV.B.1.3 Kesepakatan Belanja Negara dalam APBN-P 2015.................. 104

Page 14: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.A.1 Sistem Pemerintahan Negara di Dunia...................................... 30

Gambar II.C.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem

Presidensial................................................................................ 39

Gambar II.C.2 Tiga Gelombang Studi Presidensialisme................................... 41

Gambar III.A.1 Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945....... 53

Gambar III.B.1 Hasil Pemilihan Legislatif 2014................................................ 63

Gambar IV.A.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem

Presidensial................................................................................ 83

Page 15: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Transkrip Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari (Politisi PDI-

Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI Periode 2009-2014)........ 157

Lampiran II Transkrip Wawancara dengan William R Liddle (Professor bidang

Ilmu Politik, Ohio State University, USA)............................................ 159

Lampiran III Transkrip Wawancara dengan Thomas Pepinsky (Asisten Professor

studi Asia Tenggara dan Direktur Cornell Modern Indonesia Project,

Cornell University, USA)....................................................................... 166

Lampiran IV Transkrip Wawancara dengan Robert Elgie (Professor bidang Ilmu

Pemerintahan dan Studi Internasional, School of Law and

Government, Dublin City University, Ireland)....................................... 169

Lampiran V Transkrip Wawanxara dengan Sébastien G. Lazardeux (Asisten

Professor Ilmu Politik St. John Fisher College, USA)........................... 171

Lampiran VI Transkrip Wawancara dengan Indra J. Piliang (Ketua DPP Golkar

Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Ketua Tim Ahli

Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi).... 173

Lampiran VII Transkrip Wawanara dengan Hamdi Muluk (Profesor Psikologi

Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survei dan

Opini Publik Indonesia).......................................................................... 179

Lampiran VIII Transkrip Wawancara dengan Wandy N. Tuturoong (Pokja Lembaga

Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK)................................................. 185

Lampiran IX Transkrip Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (Ketua Dewan

Pimpinan Partai (DPP) Demokrat bid. Kajian Strategis dan

Kebijakan)............................................................................................... 190

Lampiran X Transkrip Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua

Komisi IV DPR-RI 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional)......... 197

Lampiran XI Transkrip Wawancara dengan Adian Napitupulu (Anggota Komisi III

DPR-RI periode 2014-2019 / Fraksi PDI-Peerjuangan)......................... 199

Page 16: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam literatur ilmu politik, kombinasi antara sistem presidensialisme

dengan sistem multipartai dinilai tidak terlalu ramah untuk menghasilkan

efektivitas pemerintahan, karena berpotensi memunculkan presiden minoritas,1

atau dalam artian eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang

berbeda (divided government), dan berpotensi menghasilkan legitimasi demokrasi

ganda (dual democtatic legitimacy) antara eksekutif dan legislatif yang sama-sama

dipilih rakyat.2 Selain itu, kombinasi ini juga bertendensi pada permainan konflik

karena diiringi oleh konsep pemisahan kekuasaan serta kewenangan the winner

takes all yang melekat pada Presiden,3 atau dalam istilah Juan Linz sebagai sistem

yang paradoks. Berikut seperti yang dikutip dalam tulisan Juan Linz:

“Presidential constitution paradoxically incorporate two opposite

principles and assumption. On to one hand, their purpose is to create a

stable powerful executive endowed with popular legitimacy, tending toward

plebistarian legitimation capable of opposing the particularistic interest

represented in congress on the basic of party, region, local and conception

of democracy implicit in the ideal of people of the people rhetoric. On the

other hand, those same constitutions are based on a deep suspicion of the

personalization of power and on the memories and fear of Caudillismo,

going back even further, the fear of an absolute monarch, and therefore

introduce many mechanisms to limit that power which might turn out to be

arbitrary: foremost, the rule excluding reelection. The number of provisions

1 Presiden minoritas diartikan sebagai situasi dimana presiden tidak dapat mengontrol dan

mengendalikan mayoritas kursi di legislatif atau presiden hanya mengantongi sedikit dukungan di

parlemen. Lihat, Jose Antonio Cheibub, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the

Survival of Presidential Democracies,” Yale University, 3. 2 Juan Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990):

62. 3 Linz, “The Perils of Presidentialism,” 56.

Page 17: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

2

to control the presidential power like making certain appointments

dependent on congressional approval, different provisions for impeachment

and. the whole institutionalization of granted to the judiciary reflect this

suspicion.” (Diterjemahkan penulis: sistem presidensialisme pada dasarnya

menggabungkan dua prinsip dan asumsi yang berlawanan, sehingga

dipandang paradoks. Di satu sisi, tujuannya adalah untuk menciptakan

kekuatan eksekutif yang stabil dengan legitimasi yang cukup plebiscitarian

untuk berhadapan dengan berbagai kepentingan di legislatif yang berbasis

pada banyak partai, daerah lokal dan konsepsi tentang demokrasi yang

tersirat dalam ide dan retorika masing-masing legislator. Di sisi lain, sistem

presidensialisme juga menunjukan kekhawatiran serius terhadap

personalisasi daya seorang presiden, yakni kenangan dan ketakutan presiden

yang sulit dihilangkan. Selain itu, konstitusi telah membuat benteng

konstitusional bagi potensi kesewenangan kekuasaan presiden melalui

larangan pemilihan kembali. Selain itu, untuk mengontrol kekuasaan

presiden dilakukan mekanisme kesepakatan yang berdasarkan pada

persetujuan kongres/legislatif, ketentuan untuk mekanisme impeachment

terhadap presiden dan pelembagaannya diserahkan kepada pengadilan, ini

menunjukan adanya kekhawatiran bagi presiden yang berkuasa.)4

Tudingan bernuansa negatif terhadap sistem presidensialisme juga paparkan oleh

Scott Mainwaring yang menilai sistem tersebut berpotensi melahirkan

pemerintahan minoritas dan konflik antara eksekutif-legislatif serta berujung pada

kehancuran demokrasi, seperti yang dikutip dalam artikelnya berikut:

“Consequently, presidential systems are simultaneously more prone to

minority governments and to immobilism. Immobilism has often led to

enervation of executive power, problems of governability, and severe

conflict between legislatures and presidents, sometimes contributing

decisively to democratic breakdowns” (Diterjemahkan penulis: Akibatnya,

sistem presidensial secara bersamaan lebih rentan bagi munculnya

pemerintah minoritas dan cenderung immobilism. Immobilism menyebabkan

kekuasaan eksekutif yang lemah, masalah terhadap penyelenggaraan

pemerintahan, dan konflik yang berlarut antara legislatif dan presiden,

sehingga itu memberikan kontribusi bagi kehancuran demokrasi.)5

4 Juan Linz, “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a Difference?,” The

paper prepared for the Project „The Role of Political Parties in the Return to Democracy in the

Southern Cone, sponsored by the Latin America Program of The Wodrow Wilson International

Center for Sholar, and the World Peace Foundation, 1985, 4-5. 5 Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult

Equation,” Working Paper 144, September 1990, 3.

Page 18: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

3

Penilaian Scott Mainwaring dan Juan Linz tersebut dijadikan titik awal pijakan

dalam penelitian tentang presidensialisme di periode selanjutnya, sampai pada

akhirnya muncul penelitian dalam skripsi ini.

Selain itu, menurut Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, studi tentang

sistem presidensialisme banyak merujuk kasus yang terjadi di Amerika Latin

seperti Amerika Serikat, Brazil, Columbia, Chille, Argentina dan lain-lain.6 Hal

tersebut sependapat dengan John Carey yang mengatakan bahwa tradisi

presidensialisme di kawasan Amerika Latin adalah yang tertua.7 Bahkan, seperti

halnya tudingan negatif yang dilakukan oleh Juan Linz dan Scott Mainwaring

tentang presidensialisme, John Carey dalam penelitiannya di beberapa negara di

Amerika Latin semisal Brazil, Chille, Uruguay dan Peru menemukan hasil yang

cukup mengecewakan karena adanya invasi militer sebagai dampak dari konflik

antara eksekutif dan legislatif.8 Tidak hanya itu, Jose Antonio Cheibub bahkan

mengatakan bahwa potensi deadlock akan selalu menghantui sistem presidensial,

namun secara spesifik Cheibub tidak langsung mengkaitkannya sistem

presidensial dengan potensi deadlock dan democratic breakdown, menurutnya

potensi deadlock hanya akan terjadi ketika eksekutif tidak bisa mengontrol

mayoritas kursi di lembaga legislatif.9 Selain itu, Beberapa data statistik yang

ditunjukan oleh Alfred Stephan dan Cindy Skach pada tahun 1990-an menunjukan

6 Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin

America: Rethinking the Term of The Debate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12. 7 John Carey, “Presidential versus Parliamentary Government,” dalam C Menard dan M.M

Shirley, ed., Handbook of New Institutional Economic (Netherlands: Springer, 2005), 93. 8 John Carey, “Presidential versus Parliamentary,” 95.

9 Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime

Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual

Review of Political Science, 2002, 4.

Page 19: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

4

bahwa sistem presidensialisme rentan terjadinya destabilisasi bila dibandingkan

dengan sistem parlementer.10

Tabel I.A.1 di bawah ini menjelaskan perbandingan

antara sistem presidensialisme dan sistem parlementer dalam hal menjaga

keberlangsungan demokrasi dalam sebuah negara.

Tabel I.A.1

Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks

Keberlanjutan Sistem Demokrasi

Regime Type During Democracy

Pure

Parlemantary

Pure

Presidentialism

Semi-

Presidentialism

Total non OECD

countried democratic for

at least one year during

1973-1989

28 25 0

Number of countries

from above set

continuously democratic

for ten consecutive year

in this period

17 5 0

Democratic Survival

Rate 61% 20% N/A

Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 11.

Hasil penelitian dalam rentan waktu 1973-1989 di beberapa negara yang

publikasikan oleh Alfred Stephan dan Cindy Skatch dalam tabel diatas

menunjukan bahwa keberlanjutan sistem demokrasi dalam sistem parlementer

terlihat tiga kali lebih besar ketimbang sistem presidensial, yakni 61% pada sistem

parlementer dan 20% pada sistem presidensial. Selanjutnya apabila dilihat dari

10

Alfred Stephan dan Cindy Skatch, “Constitutional Framework And Democratic

Consolidation; Parliamentarism Versus Presidentialism,” World Politics Journal, Vol 46, No 1,

(Okt 1993): 1-22.

Page 20: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

5

aspek pengalaman intervensi militer, sistem presidensialisme juga memiliki

persentase yang lebih besar. Berikut adalah tabel penjelasannya:

Tabel I.A.2

Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks

Intervensi Militer

Regime Type During Democracy

Pure

Parlemantary

Pure

Presidentialism

Semi-

Presidentialism

Total non OECD

countried democratic for

at least one year during

1973-1989

28 25 0

Number of Countries

from Above set Having

Experience a Military

Coup While a

Democracy

5 10 0

Military Coup

Susceptibility Rate 18% 40% N/A

Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 12.

Berdasarkan tabel diatas, intervensi militer pada sistem presidensialisme

mencapai angka 40% pada interval tahun 1973 – 1989, sedangkan dalam sistem

parlementer hanya sekitar 18%. Hal tersebut terjadi karena sistem

presidensialisme dalam konteks pemisahan kekuasaan memungkinkan terjadinya

kegaduhan saat eksekutif tidak mendapatkan dukungan kuat di legislatif, sehingga

berpotensi pada terjadi krisis dan pada kondisi tersebut kekuatan militer bisa saja

muncul ke permukaan disaat eksekutif dan legislatif memiliki ketidaksepahaman

yang menyebabkan destabilitas pemerintahan.11

11

Stephan dan Skatch, “Constitutional Framework,” 19.

Page 21: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

6

Selain dua data tersebut, Stephan dan Skatch juga menunjukan betapa

sulitnya pengalaman eksekutif dalam sistem prsidensialisme untuk mendapatkan

dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Tabel I.A.3 dibawah ini menjelaskan

persentase kemampuan eksekutif untuk mendapatkan dukungan mayoritas di

legislatif dalam sistem presidensialisme dan sistem parlementer.

Tabel I.A.3

Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks

Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh Kekuatan Dominan di Legislatif

Total Year of

Democracy

Total Democracy

Year in Which

Executive Had a

Majority

Legislative

Percentage of

Democracy year

in Which

Executive Had a

Majority

Legislative

Parliamentary

Years 208 173 83%

Presidential Years 122 58 48%

Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 16.

Dengan menggunakan tiga indikator yakni: (1) intervensi milier, (2)

keberlangsungan sistem demokrasi dan (3) kemampuan eksekutif mendapatkan

dukungan mayoritas, studi Stephan dan Skach dalam rentan waktu tahun 1973-

1989 berkesimpulan bahwa sistem presidensialisme yang awalnya bertujuan untuk

membuat lembaga eksekutif yang kuat, justru berakhir dengan terjadinya

kegaduhan pemerintahan. Berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana

kepala pemerintahan merupakan mandat penuh yang diberikan oleh parlemen,

Page 22: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

7

sehingga mekanisme konstitutional dalam sistem parlementer mampu

meminimalisir kegaduhan dalam relasi ekeskutif-legislatif.12

Studi Stephan dan Skach sebagaimana yang dikutip diatas, banyak merujuk

fenomena di Amerika Latin yang sebelumnya juga dituduhkan oleh Scott

Mainwaring dan Mathew Shugart yang melihat fokus pada maraknya studi

presidensialisme pada kawasan Amerika Latin. Berbeda dengan arus mainstrem

para peneliti-peneliti sebelumnya yang mengidentifikasikan studi presidensialisme

pada kawasan Amerika Latin, penelitian ini berupaya untuk menganalisa sistem

presidensialisme di Indonesia, yang posisinya jauh dari kawasan Amerika Latin,

yang cukup unik karena dikombinasikan dengan sistem multipartai,13

kombinasi

ini yang menurut Scott Mainwaring sebagai sesuatu yang sulit dan complicated.14

Dalam konteks Indonesia, perkembangan studi presidensialisme dalam satu

dekade terakhir mengalami perdebatan di kalangan ilmuan mengenai berhasil atau

tidaknya berjalannya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia.15

Karena

12

Stephan dan Skatch, “Constitutional Framework,” 18. 13

Seperti yang sudah diketahui, dalam pasal 4 UUD 1945 digarisbawahi bahwa sistem

pemerintahan Indonesia adalah presidensialisme, pilihan tersebut menjadi salah satu kesepakatan

politik di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang pada saat yang sama sejak

sebelum pemilu 1999 telah berkembang sistem multipartai ekstrim sebagai konsekuensi logis

meluasnya kebebasan berserikat. Setelah tumbangnya orde baru, orang beramai-ramai untuk

mendirikan partai politik. Hal tersebut menjadi tuntutan era reformasi yang meniscayakan adanya

jumlah partai yang lebih dari dua partai dominan, sistem ini merupakan produk dari struktur

masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Sehingga pilihan

politik terhadap presidensialisme harus di impementasikan dalam konteks sistem multipartai,

sehingga kombinasi yang antara presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik

yang tak terhindarkan pasca amandemen konstitusi UUD 1945. Lihat, disertasi Valina Singka

Subekti, “Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses

Perubahan UUD 1945,” dalam A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945

(Jakarta: Penerbit Kompas, 2011) hlm xiii. 14

Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, “Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A

Critical Appraisal,” The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre

Dame, Working Paper 200, Juli 1993, 26. 15

Terjadi perdebatan mengenai berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme multipartai

diterapkan di Indonesia. Pertama, Hanta Yuda dalam “Presidensialisme Setangah Hati; Dari

Page 23: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

8

hal itu tidak saja terkait dengan problematika teoritis tetapi juga menyangkut

persoalan efektifitas pemerintahan. Namun studi tentang berhasil atau tidaknya

sistem presidensialisme di Indonesia hanya berkisar pada pemerintahan Susilo

Bambang Yudhoyono saja, sebagaimana nanti yang akan dijelaskan pada bagian

tinjauan pustaka dalam penelitian ini.

Pengalaman Indonesia dalam sistem presidensialisme-multipartai pasca

amandemen UUD 1945 selalu menghasilkan partai koalisi pemerintahan (the

ruling coalition party) diatas single majority (50%+1). Sehingga ini yang menurut

Djayadi Hanan menjadi salah satu faktor mengapa sistem presidensialisme-

multipartai di Indonesia dapat berjalan, hal itu dikarenakan terpenuhinya syarat

bagi sikap akomodatif dari presiden terhadap banyak partai di legislatif.16

Dengan

adannya sikap akomodatif tersebut maka membuat eksekutif dan legislatif tidak

mengalami kesulitan dalam membangun kesepakatan, meskipun dalam realitanya

seringkali partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan sering berbeda

pendapat tetapi selalu berakhir dengan kesepakatan bersama dan tanpa terjadi

Dilema ke Kompromi” menunjukan bahwa sistem presidensialisme multipartai di Indonesia rentan

terjadi konflik kelembagaan dan tarik menarik kewenangan antara Presiden dengan DPR sehingga

berujung pada adanya kewenangan Presiden yang dipangkas oleh DPR sebagai dampak dari tarik

menarik kepentingan dengan banyak partai. Kedua, Djayadi Hanan dalam disertasinya “Making

Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian Democracy”, (terj

Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang

Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia). Temuannya menunjukan bahwa hubungan

eksekutif dan legislatif tetap stabil. Hal tersebut dikarenakan praktek politik mengisyaratkan

adanya lobi-lobi antara eksekutif dan legislatif dalam bentuk koalisi. Presidensialisme Multipartai

berhasil diterapkan dengan adanya karakter presiden yang mau berkompromi sehingga agenda-

agenda kebijakan eksekutif tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan legislatif. 16

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari

Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan,

2014), 17.

Page 24: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

9

suatu deadlock. Sikap akomodatif tersebut seperti yang dipaparkan oleh

Kawamura dalam tabel 1.A.4 dibawah ini.17

Tabel I.A.4

Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 - 2009

Periode Habibie Gus Dur Megawati SBY SBY

Pemilu 1997 1999 2004 2009

Presidensiali

sme

Dominasi

Eksekutif Dominasi Legislatif

Perimbangan tiga

cabang kekuasaan

(eksekutif-legislatif-

yudikatif)

Multiprtai Predominan Pluralisme

% Partai

penguasa 65 % 10,2% 30,6% 10,2 % 26,8 %

% Partai

Presiden &

Wapres

---- 40,8 % 42,1 % 33,3 % 26,8 %

% Partai

Koalisi

Pemerintaha

n

97,8 % 94,8 % 83,2 % 73,4% 75,1 %

Jumlah

Partai

Koalisi

2 Partai & 1

Faksi

7 partai & 1

Faksi

5 Partai &

1 Faksi 7 Partai 6 Partai

Komposisi

Partai

Koalisi

Golkar

PPP

Militer

PKB, PDIP.

Golkar,

PAN, PPP,

PBB, PK,

Militer

PDIP,

PPP, PBB,

PAN,

Golkar,

Militer

Demokrat,

Golkar,

PKS,

PAN,

PBB,

PKPI, PPP

Demokrat,

Golkar,

PKS,

PAN,

PPP, PKB

Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 17.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase partai koalisi pemerintahan di

masing-masing presiden selalu mencapai angka diatas single majority (50% + 1)

atau lebih dari lima partai pendukung di legislatif, tidak terkecuali juga setelah

pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali pada tahun 2004.

17

Koichi Kawamura, “Is Indonesian President strong or weak?,” Institute of Developing

Economic Disscusion Paper, No 235, Japan, Mei 2010, 18.

Page 25: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

10

Sehingga tuduhan akan kesulitan presiden dalam membangun partai koalisi

pemerintahan (the ruling coalition party) dengan angka diatas single majority

(50%+1) atau kekuatan mayoritas cenderung tidak terbukti pada masa era

reformasi hingga periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, atau

komposisi antar eksekutif dan legislatif sering disebut dengan unified government.

Dalam penelitian ini, karena berbeda dengan periode kepresidenan

sebelumnya, sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan minoritas di legislatif dan dikuasainya

eksekutif dan legislatif oleh dua kelompok yang berbeda, seperti dugaan yang

dipaparkan para teoritisi sebelumnya yang mengatakan bahwa sistem

presidensialisme-multipartai berpotensi melahirkan pemerintahan terbelah

(divided government),18

dengan indikator pengukuran melalui persentase partai

koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) yang tak mencapai single

majority (50%+1). Dibawah ini adalah tabel penjelasan mengenai komposisi

koalisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Tabel I.A.5

Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla

Periode Joko Widodo – Jusuf Kalla

Pemilu 2014

Presidensialisme Perimbangan tiga cabang kekuasaan

(eksekutif-legislatif-yudikatif)

Sistem Multipartai Pluralisme

% Partai Penguasa 18,95%

18

Divided Government adalah suatu kondisi dimana eksekutif gagal mendapatkan kekuatan

mayoritas di legislatif, sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang

berbeda. Lihat, Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York:

Oxford University Press Inc, 2001), v.

Page 26: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

11

% Partai Presiden & Wapres 18,95%

% Partai Koalisi Pemerintahan 46,48%

Jumlah Partai Koalisi 5 Partai

Komposisi Partai Koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP*

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

*terjadi dualisme kepengurusan didalam PPP, namun penulis mengklasifikasikan

PPP sebagai bagian dari Koalisi Pemerintahan. Hal tersebut berdasarkan

mekanisme hukum yang termaktub dalam SK Menkumham yang menyatakan

bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah PPP versi Romahurmuzy. Yang

sebelumnya menyatakan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Hebat pada saat

proses pemilihan piminan MPR-RI. Selain itu, keberadaan kader PPP dalam

kabinet pemerintahan Joko Widodo juga memperkuat posisi PPP yang masuk ke

dalam koalisi pemerintahan.

Dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada preferensi seorang

presiden terhadap partainya sendiri (the ruling party) untuk mengukur terjadinya

divided government, tetapi berdasarkan partai koalisi pemerintah (the ruling

coalition parties) untuk selanjutnya dihadapkan dengan kekuatan partai non-

pemerintah (the opposition coalition parties) di legislatif. Sehingga, divided

government terjadi apabila jumlah kursi the ruling coalition parties lebih rendah

dari the opposition coalition parties di DPR. Oleh karenanya, berdasarkan

kacamata tersebut, maka ini merupakan kali pertama Indonesia di era reformasi

mengalami divided government.

Melalui tabel I.A.5 diatas, total partai koalisi pemerintahan (the ruling

coalition parties) Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai 46,48% atau tidak

mencapai angka single majority (50%+1) yang berarti ini menandakan kekuasaan

mayoritas legislatif dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah, yakni Koalisi Merah

Putih, atau pihak yang menjadi rival Joko Widodo – Jusuf Kalla pada saat

pemilihan presiden 2014, mengingat Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasang

Page 27: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

12

kandidat dan melahirkan polarisasi kuat dua kubu di legislatif yakni Koalisi

Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, yang juga sempat terjadi adanya

dualisme pimpinan DPR yang berbasis pada pola koalisi tersebut.19

Polarisasi

tersebut juga terjadi pada antar lembaga eksekutif dan legislatif yang dikuasai

oleh dua kelompok yang berbeda atau dinamakan sebagai divided government.

Penulis membatasi periode divided government ini dimulai sejak Presiden dan

DPR hasil pemilu 2014 dilantik sampai sesaat setelah pernyataan Ketua Umum

Golkar versi Agung Laksono keluar dari Koalisi Merah Putih.20

Pembatasan

periode tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri.

Mengingat, sebagai pemenang kedua pada Pemilihan Legislatif 2014 yang

mencapai suara 14,75% atau memiliki jumlah 91 kursi di DPR, membuat arah

koalisi Golkar memiliki dampak yang signifikan bagi muncul atau berakhirnya

19

Sebelumnya pernah terjadi juga perpecahan dalam tubuh DPR pada tahun 2004, kala itu

koalisi di DPR terpecah menjadi dua kubu, yakni koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan.

Koalisi kebangsaan beranggotakan lima fraksi, yakni Partai Golkar, PDI-Perjuangan, PKB, Partai

Bintang Reformasi, dan Partai Damai Sejahtera. Sedangkan koalisi kerakyatan beranggotakan

Partai Demokrat, PKS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, PPP dan PAN. Dalam merebut kursi

pimpinan DPR, terjadi persaingan sengit diantara keduanya, setelah PPP yang sebelumnya

bergabung ke koalisi kebangsaan akhirnya memutuskan untuk merapat ke koalisi kerakyatan, dan

mencalonkan kadernya Endin AJ Soefihara sebagai calon ketua DPR, bersama EE Mangindaan

(Partai Demokrat), Ahmad Farhan Hamid (PAN) dan Ali Maskour Musa (PKB). Sedangkan

koalisi kebangsaan mengusung Agung Laksono (Golkar) sebagai ketua DPR, bersama Soetarjo

Soerjogoeritno (PDI- Perjuangan), Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zaenal Ma‟arif (PBR).

Akhirnya setelah melalui voting, koalisi kebangsaan mengungguli koalisi kerakyatan dengan

perolehan 280 suara dan 250 suara untuk koalisi kerakyatan. Sehingga Agung Laksono (Golkar)

dinobatkan sebagai ketua DPR 2004-2009. Namun pada tahun 2004, polarisasi tersebut tidak

sampai pada munculnya dualisme pimpinan DPR sebagaimana yang terjadi pada tahun 2014 yang

mana muncul deklarasi pimpinan DPR tandingan versi KIH. Sehingga menurut penulis, meskipun

perpecahan di DPR bukanlah hal baru, tetapi kasus dualisme kepemimpinan DPR yang terjadi

pasca pilpres 2014 bisa dibaca sebagai kasus yang baru dan pertama dalam sejarah Indonesia era

reformasi. 20

Ketua Umum DPP Partai Golkar Hasil Musyawarah Nasional IX Ancol, Agung Laksono

memastikan akan mengubah arah politik Golkar dengan keluar dari Koalisi Merah Putih dan

mendukung pemerintahan Joko Widodo. Lihat, “Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari

KMP dan Dukung Pemerintahan Jokowi,” Kompas, 10 Maret 2015,

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/15452001/Agung.Laksono.Pastikan.Golkar.Keluar.d

ari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh pada 3 April 2015.

Page 28: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

13

periode divided government. Karena dengan dukungan Golkar ke Pemerintahan,

maka kekuatan partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) sudah

mencapai single majority (50%+1). Dengan kondisi tersebut maka komposisi

eksekutif-legislatif sudah tidak lagi mengalami divided government.

Namun, sengketa dualisme kepengurusan Golkar versi Munas Ancol dan

Munas Bali yang terjadi menjadi kompleksitas tersendiri dalam penelitian ini.

Sebagaimana diketahui, Golkar versi Munas Bali diketuai oleh Aburizal Bakrie

dan Golkar versi Munas Ancol diketuai oleh Agung Laksono, yang mana

keduanya memiliki preferensi yang berbeda mengenai arah koalisi. Namun untuk

memecahkan persoalan dualisme tersebut, karena ini berkaitan juga dengan arah

koalisi Partai Golkar, maka penulis mengacu pada mekanisme hukum yang

berdasarkan pasal 3 dan 4 dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa partai politik yang sah adalah

partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan

pengesahan itu yang diperoleh Agung Laksono, terlepas dari latar belakang politik

munculnya SK Menkumham tersebut. Sebagaimana diketahui, Kementerian

Hukum dan HAM telah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono melalui

surat No: M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015,21

yang kemudian disusul

pernyataan Agung Laksono yang mendukung pemerintahan Joko Widodo – Jusuf

Kalla.22

Mengingat, SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan,

yakni 23 Maret 2015. Meskipun seiring waktu berjalan, SK tersebut digugat oleh

21

“Menkumham Sahkan Kepengurusan Golkar Adung Laksono,” Kompas, 23 Maret 2015,

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/23/13034331/Menkumham.Sahkan.Kepengurusan.Golk

ar.Agung.Laksono. Diunduh pada 4 April 2015. 22

“Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar KMP,” Kompas, 10 Maret 2015.

Page 29: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

14

Aburizal Bakrie ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan berakhir dengan

diterimanya gugatan tersebut pada tanggal 18 Mei 2015.23

Tetapi yang harus

digarisbawahi adalah keputusan PTUN tersebut tidak bersifat Inkracht.24

Sehingga dengan sendirinya, sejak SK Menkumham itu diterbitkan pada tanggal

23 Maret 2015 sampai putusan PTUN pada tanggal 18 Mei 2015 maka secara

hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 adalah Agung Laksono sebagai

ketua umum Golkar. Mengingat SK Menkumhan tersebut bersifat final and

binding dan berlaku sejak tanggal diputuskan. Namun, terkait dengan proses

pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah

fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian

ini.

Oleh karenanya, terlepas dari konflik dualisme dan dinamika hukum yang

sedang berjalan pasca putusan PTUN yang menyangkut partai Golkar, dan terikat

dengan SK Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015 itu telah membuat batasan

periode divided government dalam penelitian ini, karena dengan fenomena

tersebut, per tanggal 23 Maret 2015, struktur kekuatan eksekutif dan legislatif

sudah tidak lagi menunjukan kondisi divided government, karena kekuatan oposisi

pemerintah di DPR berkurang dan sudah tidak lagi mencapai angka single

majority (50% + 1).

23

“PTUN Kabulkan Gugatan Aburizal Bakrie,” Kompas, 18 Mei 2015,

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/15072551/PTUN.Kabulkan.Gugatan.Aburizal.Bakrie

Diunduh pada 20 Mei 2015. 24

Inkracht adalah suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap karena telah diputus

oleh hakim dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang lebih tinggi.

Page 30: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

15

Seperti yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub bahwa konseptualisasi

hubungan antara eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian

dalam studi perbandingan politik.25

Sehingga dengan sendirinya, penelitian ini

akan berusaha mengekplorasi relasi eksekutif-legislatif sejak Presiden dan DPR

dilantik sampai pada keluarnya SK Menkumham No: M. HH-01.AH.11.01 yang

kemudian diikuti dukungan Agung Laksono terhadap pemerintah, telah melalui

proses masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015 atau yang penulis

sebut sebagai periode divided government.

Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji, mengingat terjadinya

divided government telah memunculkan banyak asumsi akan sulitnya Joko

Widodo dalam membangun kesepakatan dengan DPR, seperti yang dipaparkan

dalam rilis survey Indikator Politik Indonesia pada 19 Oktober 2014.26

Tidak

hanya itu, dalam literatur tentang divided government juga banyak pihak yang

khawatir akan terjadinya kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif, seperti yang

akan dijelaskan pada bab II nanti. Oleh karenanya, penulis akan menguji asumsi

teoritik tersebut melalui analisa terhadap faktor yang memicu terjadinya divided

government melalui pendekatan koalisi presidensial serta mengekplorasi relasi

legislatif dan eksekutif pada periode divided government tersebut yang nantinya

akan dijadikan pusaran analisis untuk menilai apakah terjadi kebuntuan dalam

relasi eksekutif-legislatif dalam fenomena divided government di Indonesia. Oleh

25

Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, “Beyond Presidentialism and

Parliamentaris,” British Journal of Political Science, DOI:10.1017/S000712341300032. (14

November 2013): 1. 26

Indikator Politik Indonesia, Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided Goverment:

Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-JK (Jakarta: Gedung Joeang 45, 19

Oktober 2014).

Page 31: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

16

karenanya penelitian ini berjudul: Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai

di Indonesia; Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif –

Legislatif Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

B. Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis munculnya divided government

pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla serta mengeksplorasi proses

interaksi eksekutif dan legislatif dalam konteks tersebut, adapun dengan

pertanyaan penelitiannya adalah:

1. Apa faktor yang memicu terjadinya divided government pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam konteks sistem

presidensialisme-multipartai?

2. Dalam periode divided government, bagaimana relasi antara legislatif dan

eksekutif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses

perumusan kebijakan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Munculnya divided government pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf

Kalla adalah fenomena yang masih tergolong baru dan pertama kali terjadi di era

reformasi dalam pelaksanaan sistem presidensialisme-multipartai. Oleh karenanya

penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengisi kekosongan tentang studi

tersebut. Namun secara khusus penelitian ini memiliki beberapa tujuan

diantaranya.

Page 32: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

17

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang memicu terjadinya

divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam

konteks sistem presidensialisme multipartai.

2. Untuk mengetahui bagaimana relasi antara legislatif dan eksekutif pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses perumusan

kebijakan dalam periode divided government.

Selain itu, ada dua manfaat utama dalam penelitian ini, diantaranya manfaat

teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat teoritis. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menguji sejauh

mana potensi deadlock terjadi dalam relasi eksekutif dan legislatif pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang mengalami divided

government. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya

perdebatan tersebut dalam kasus di Indonesia. Mengingat, ini adalah

pertama kalinya di era reformasi, Indonesia mengalami divided

government pasca penguatan sistem presidensialisme-multipartai sejak

tahun 2004 yang ditandainya dengan adanya pemilihan presiden langsung.

Selain itu studi tentang divided government lebih banyak merujuk pada

fenomena di Amerika Latin. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk

mengisi kekosongan studi tentang divided government di Indonesia.

2. Manfaat praktis. Dengan penelitian ini penulis berharap bisa menjadi

rujukan bagi siapapun yang tertarik dengan studi sistem presidensialisme

pada umumnya dan studi tentang divided governmennt pada khususnya.

Page 33: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

18

D. Tinjauan Pustaka

Usaha teoritis untuk menganalisis munculnya divided goverment dalam

kerangka sistem presidensialisme-multipartai pada pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla belum pernah dilakukan, hal tersebut terjadi karena kasus tersebut

adalah baru dan pertama kali terjadi di era reformasi. Namun, secara umum studi

mengenai sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia pernah dilakukan oleh

Hanta Yuda dalam bukunya “Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke

Kompromi”. Dalam buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada

tahun 2008 tersebut, Hanta melakukan tracking terhadap formasi presidensialisme

yang dianut oleh Indonesia sejak tahun 1998. Melalui penelitiannya ditemukan

bahwa pemerintah Indonesia melakukan purifikasi sistem presidensial, yang

diantaranya dengan mengurangi kuasa yang cenderung „koruptif‟ pada lembaga

kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada legislatif untuk

melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden. Namun, hal tersebut

menimbulkan masalah karena kekuasaan presiden menjadi dilematis karena

sistem politik yang „legislative heavy‟ menimbulkan keharusan bagi Presiden

untuk melakukan kompromi politik dengan legislatif.27

Dalam penelitian Hanta Yuda, periode pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono – Jusuf Kalla adalah objek penelitiannya. Ditemukan bahwa telah

terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif dalam berbagai

hal. Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi

27

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2010).

Page 34: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

19

internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di

legislatif yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-

kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial.

Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari

legislatif kepada presiden dalam berbagai kebijakan atau disebutnya sebagai

sistem presidensialisme setengah hati. 28

Penelitian lainnya mengenai sistem presidensialisme multipartai pernah

dilakukan oleh Syamsuddin Harris (2010), peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), dalam disertasinya yang berjudul “Format Baru Relasi Presiden-

DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen Konstitusi

(2004-2008)”. Dalam disertasi doktoralnya di FISIP UI, Syamsuddin berfokus

pada realitas empiris sulitnya membangun hubungan antara eksekutif dengan

legislatif terlebih apabila mekanisme kerjasama dan konsultasi antara kedua

lembaga tidak lakukan secara intens. Secara khusus Syamsuddin menilai sikap

presiden kedepan harus lebih akomodatif jika tidak ingin ada deadlock antara

eksekutif dan legislatif, jika sikap presiden kaku dalam membangun jaringan

komunikasi dengan partai politik lainnya maka potensi konflik yang berujung

deadlock akan semakin besar pula.29

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Barry Ames dalam bukunya

“Deadlock of Democracy in Brazil” terbitan Univeristy of Michigan Press tahun

2001 yang berusaha menelaah masalah presidensialisme di Brazil pasca tahun

28

Yuda, Presidensialisme Setengah Hati. 29

Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di

Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (Disertasi Doktoral FISIP Universitas Indonesia, 2008).

Page 35: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

20

1985. Penelitiannya berfokus pada tantangan yang dihadapi oleh setiap presiden

di Brazil yakni bagaimana seorang presiden bisa mempertahankan konsistensi

dukungannya terhadap kongres. Ames menggunakan analisanya dalam menjawab

sulitnya membangun otoritas kuat presiden di Brazil. Hal tersebut ditenggarai

karena tidak adanya hubungan dekat antara warga negara dengan partai politk.30

Selain itu, sistem presidensialisme yang meniscayakan adanya tugas-tugas

politik bagi presiden nampak jauh dari prinsip meritrokasi, pekerjaan politik yang

harusnya dilakukan oleh kabinet justru diserap oleh partai politik dan beberapa

kelompok kepentingan. Sebagai contoh pada kabinet presiden José Sarney (1985-

1990), Fernando Collor (1990-1992), Itamar Franco (1992-1995) dan Fernando

Henrique Cardoso (1995-2003) yang seharusnya presiden memiliki nilai strategis

kepada seluruh kekuatan administrasi dan konstruksi kabinetnya, namun hal

tersebut tak begitu nampak. Bisa dilihat dari percampuran bidang keahlian di

kabinetnya yang terdiri dari teknokrat dan politisi justru terlihat tanpa ada kuasa.

Hal itu dijadikan analisa kuat Ames dalam menilai begitu rapuhnnya sistem

presidensial di Brazil karena berpotensi deadlock. Kasus di Brazil juga seringkali

dijadikan rujukan utama dalam melihat resiko buruk dalam sistem

presidensialisme.31

Penelitian lainnya yang terkait, juga dilakukan oleh Djayadi Hanan dalam

disertasi doktoralnya di Ohio State University yang berjudul “Making

Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian

30

Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil (Michigan: University of Michigan

Press, 2001), 273. 31

Ames, The Deadlock of Democracy, 274.

Page 36: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

21

Democracy” yang sudah diterjemahkan oleh Mizan dengan judul “Menakar

Presidensialisme Multipartai; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan

Dunamis dalam Konteks Indonesia” yang terbit tahun 2014. Djayadi berusaha

membantah teori-teori umum tentang hubungan eksekutif dan legislatif dalam

sistem presidensialisme multipartai. Menurut teori-teori umum, kombinasi

presidensialisme dengan multipartai akan cenderung gagal. Penyebab utamanya

adalah suasana konflik yang cenderung terjadi antara eksekutif dan legislatif yang

membuat keduanya sulit kerjasama dalam landasan dasar Tria Politica.

Banyaknya partai yang ada dalam legislatif juga membuat presiden sulit untuk

mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari gangguan legislatif. Maka,

sistem presidensialisme multipartai cenderung berakhir dengan konflik antar

keduanya. Berbeda dari prediksi para teoritisi terdahulu, Djayadi melihat sistem

presidensialisme-multipartai di Indonesia relatif berjalan stabil dan normal.

Hubungan tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi, namun tidak

mencapai jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda pemerintah

relative masih terbangun.32

Djayadi menilai hal tersebut bisa terbangun karena keberadaan dua faktor

yang saling mendukung. Mekanisme kelembagaan formal anara eksekutif dan

legislatif seperti mekanisme persetujuan bersama membuat keduanya harus

menyelesaikan perbedaan satu sama lain dengan mengutamakan kerjasama.

Mekanisme kelembagaan informal yakni koalisi menjadi jalan keluar dari

32

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari

Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan,

2014), 17.

Page 37: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

22

kebuntuan. Selain itu juga terdapat mekanisme non-kelembagaan seperti presiden

yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis dan budaya

konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan antara eksekutif dan legislatif.33

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memfokuskan diri

pada sistem presidensialisme-multipartai sebelum pemilu 2014, maka penelitian

ini berfokus pada telaah atas divided government melalui pendekatan koalisi

presidensial dan mengeksplorasi proses relasi antara eksekutif dan legislatif pada

periode divided government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta

pemahaman mendalam (deep-understanding). Penelitian dengan metode ini

menghasilkan data deskriptif berupa deskripsi dari unit analisis yang diteliti.

Metode kualitatif ini telah banyak digunakan dalam studi Ilmu Politik, karena para

partisipan dalam dunia politik ada kecenderungan bersedia berbicara tentang

keterlibatan dan peran mereka dalam jabatan kekuasaan formal.34

Dari hasil

pembicaraan para partisipan tersebut diharapkan penulis memperoleh pemahaman

yang mendalam (deep-understanding) terkait relasi eksekutif-legislatif pada

pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terutama pada periode divided

govenment. Dalam hal teknik analisis data, penulis menggunakan teknik

deskriptif-analitis. Hal tersebut digunakan untuk menggambarkan realitas yang

33

Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai, 121. 34

David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik (Bandung:

Nusamedia, 2002), 242.

Page 38: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

23

kompleks melalui penyederhanaan konsep, sehingga asumsi yang bersifat umum

diperlukan dalam upaya merumuskan hubungan antar variabel penelitian.

Dalam hal pengumpulan data, penulis menggunakan teknik wawancara,

studi kepustakaan dan tela‟ah dokumen. Wawancara adalah salah satu bagian dari

proses pengumpulan data melalui pertemuan antara peneliti dengan responden

atau informan. Melalui wawancara ini peneliti bisa memperoleh informasi yang

tidak tercatat dalam berbagai dokumen yang tersedia.35

Dalam proses wawancara,

penulis menggunakan pertanyaan terbuka dan tidak terstruktur.36

Mengenai jenis

informan, penulis membaginya kedalam enam kelompok berdasarkan profesi

yang berkaitan dalam penelitian ini, hal ini sebagai wujud selektifitas agar

mendapatkan data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, Pihak

yang menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Hebat, yakni Eva Kusuma Sundari

(Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota DPR-RI periode 2009-2014) dan Adian

Napitupulu (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI periode

2014-2019). Kedua pihak yang menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih yakni

Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Periode 2014-2019 / Fraksi

Partai Amanat Nasional). Ketiga, pihak yang menjadi bagian dalam Tim Transisi

Jokowi-JK, yakni Wandy N. Tuturoong (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim

Transisi Jokowi-JK), mengingat tim ini memiliki peran dalam membantu Presiden

menyusun kabinet pemerintahan. Empat, pihak yang menjadi bagian dari

35

Harrison, Metode Penelitian, 104. 36

Wawancara tidak terstruktur adalah bentuk wawancara yang mengalir bebas dan

memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar. Namun dalam prosesnya, penulis mengalami

pengalihan bentuk wawancara dari yang sebelumnya adalah wawancara terstruktur. Sehingga

penulis menggunakan aide-memoire atau daftar ringkas topik yang akan ditanyakan, meski tidak

dalam urutan tertentu. Sehingga ini memastikan penulis agar tetap fokus tanpa mengurangi

kelancaran alur dalam wawancara yang tidak terstruktur. Lihat, Harrison, Metode Penelitian, 106.

Page 39: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

24

eksekutif, yakni Indra J Piliang (Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara - Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) dan juga sebagai

Ketua DPP Golkar bidang Penelitian dan Pengembangan periode 2009-2014).

Kelima, yakni pihak yang kerap kali mengaku tidak memposisikan dirinnya

sebagai Koalisi Indonesia Hebat ataupun Koalisi Merah Putih, yakni Ulil Abshar

Abdalla (Ketua DPP Partai Demokrat bid Kajian Strategis dan Kebijakan). Dan

yang keenam adalah ilmuan-ilmuan politik yang berasal dari dalam dan luar

negeri untuk memperkuat kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, diantaranya

William R. Liddle (Ohio State University, USA), Thomas Pepinsky (Cornell

University, USA), Robert Elgie (Dublin City University, Ireland), Sebastien

Lazardeaux (St. John Fisher College, USA), dan Hamdi Muluk (Universitas

Indonesia). Selain itu, dalam hal kepustakaan, penulis melakukan selektifitas

terhadap beberapa terbitan buku yang dipandang sudah memiliki kredibilitas

dalam dunia akademik, untuk penggunaan jurnal penulis merujuk pada Journal of

Democracy, Comparative Politics, American Political Science Review, World

Politics, British Journal of Political Science, Democratization dan lain-lain.

Selain itu, penulis juga melakukan tela‟ah dokumen untuk mendapatkan data

terkait percakapan yang terjadi dalam proses relasi eksekutif-legislatif. Dokumen

tersebut diperoleh dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)

Sekretariat Jenderal DPR-RI, yang diantaranya adalah Risalah Sidang Paripurna,

Laporan Badan Anggaran (Banggar), Laporan Sidang Komisi DPR-RI, Laporan

Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) dan laporan pembicaraan lainnya. Untuk

pedoman penulisan, penulis menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan

Page 40: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

25

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan Penyusunan

Proposal dan Penulisan Skripsi yang diterbitkan pada tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi kedalam lima bab. Berikut adalah sistematika

penulisan dalam penelitian ini:

Bab I, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang, pertanyaan

penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini.

Bab II, penulis akan mengekplorasi kerangka teori yang akan digunakan

sebagai rancang bangun konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian ini.

Bab III, penulis akan memfokuskan diri pada gambaran umum konfigurasi

politik terbentuknya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam sistem

presidensialisme-multipartai.

Bab IV, penulis akan melakukan analisa untuk menemukan faktor yang

menyebabkan terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla serta mengekplorasi relasi antara eksekutif dan legislatif dalam proses

perumusan kebijakan pada periode divided government tersebut.

Bab V, penulis akan dijabarkan kembali temuan-temuan yang diperoleh

dalam bab IV untuk dijadikan kesimpulan dari penelitian ini serta akan

dipaparkan tentang beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Page 41: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

26

BAB II

KERANGKA TEORI

Pada bab ini, penulis akan mengulas beberapa teori sebagai pijakan dalam

rancang bangun konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian dalam studi ini.

A. Sistem Presidensialisme

Sistem presidensialisme merupakan salah satu varian dari sistem

pemerintahan yang dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antara

lembaga negara dan juga kelanjutan dari konsep pemisahan kekuasaan.1 Sebagai

suatu sistem, maka tidak lepas dari ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Scott

Mainwaring dan Mathew Shugart memberikan beberapa ciri sistem presidensial

yakni: (1) adanya pemilihan presiden secara langsung (direct popular vote) dan

terpisah dengan legislatif (fusion of ceremonial and political power), (2) adanya

masa jabatan presiden yang tetap (fixed term of office).2 Prinsip lain dalam sistem

presidensialisme bahwa eksekutif dikepalai oleh presiden yang sering disebut

sebagai sole executive yang tidak terbagi kekuasaannya ke dalam jabatan kepala

negara (head of state) dan jabatan kepala pemerintahan (head of government)

1 Sistem pemerintahan secara umum terbagi menjadi 2 yakni: sistem presidensialisme dan

sistem parlementer. Berbeda dengan sistem presidensialisme, sistem parlementer bercirikan

dengan adanya pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, pemilihan Perdana

Menteri oleh Parlemen serta kekuasaan yang berpusat pada parlemen. Lihat, Jack H Nagel, “The

Descriptive Analysis of Power”, dalam Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-

Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2012), 30. Lihat juga,

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011), 15. 2 Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, ed., Presidentialism and Democracy in Latin

America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 14.

Page 42: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

27

yang tak bisa dijatuhkan oleh legislatif.3 Selain itu, Juan Linz melalui artikelnya

mengenai sistem presidensialisme mengatakan:

“Presidential systems are based on the opposite principle. An executive with

considerable powers in the constitution, generally in full control of the

composition of his cabinet and the administration, is directly elected by the

people for a fixed period of time and is not dependent on the formal vote of

confidence by the democratically elected representatives in parliament. He

is not only the holder of executive power but the symbolic head of state and

cannot be dismissed except in the exceptional cases of impeachment

between election.” (Diterjemahkan penulis: Sistem presidensial didasarkan

pada prinsip yang berlawanan. Eksekutif memiliki kekuatan yang cukup

besar yang tertuang dalam konstitusi, umumnya memiliki kontrol penuh atas

komposisi dan administratuf di kabinetnya, hal tersebut dikarenakan

Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu yang tetap dan

tidak tergantung pada suara-suara yang datang dari wakil rakyat yang juga

dipilih secara demokratis di parlemen. Presiden tidak hanya sebagai kepala

pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala simbolis negara dan tidak dapat

diberhentikan kecuali jika terjadi pelanggaran yang luar biasa untuk

selanjutnya diatur melalui mekanisme impeachment ditengah periode

pemilu.) 4

Ciri-ciri tersebut yang menurut beberapa ilmuan politik seperti Juan Linz menilai

sistem presidensial sebagai sistem yang paradoks karena menciptakan dualisme

legitimasi antara eksekutif dan legislatif, karena kedua lembaga tersebut sama-

sama dipilih oleh rakyat dan tak bisa saling menjatuhkan.5 Mengenai kritiknya

terhadap sistem presidensialisme, Juan Linz mengatakan:

“Presidential constitutions paradoxically incorporate contradictory

principles and assumptions. On the one hand, such systems set out to create

a strong stable executive with enough plebiscitarian legitimation to stand

fast against the array of particular interests represented in the legislature.

3 Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Form and Performance in Thirty Six

Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1999), 117. 4 Juan Linz, “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a Difference?,” The

paper prepared for the Project „The Role of Political Parties in the Return to Democracy in the

Southern Cone, Sponsored by the Latin America Program of The Wodrow Wilson International

Center for Sholar, and the World Peace Foundation, 1985, 3. 5 Juan Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990):

62.

Page 43: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

28

On the other hand, presidential constitutions also reflect profound suspicion

of the personalization of power: memories and fears of kings and caudillos

do not dissipate easily. Other provisions like legislative advice-and-consent

powers over presidential appointments, impeachment mechanisms, judicial

independence, and institutions such as the Contraloria of Chile also reflect

this suspicion.” (Diterjemahkan penulis: Sistem presidensialisme yang

memasukkan prinsip dan asumsi yang bertentangan dipandang paradoks. Di

satu sisi, sistem tersebut berangkat untuk membuat lembaga eksekutif yang

kuat dan stabil dengan cukup legitimasi plebiscitarian untuk berdiri kokoh

saat berhadapan dengan berbagai kepentingan yang terwakili dalam

lembaga legislatif. Di sisi lain, presiden juga dihadapkan ketakutan

mendalam terkait kekuasaan personal yang dimilikinya: seperti kenangan

dan ketakutan yang tidak bisa menghilang dengan mudah. Ketentuan lain

seperti kekuasaan legislatif dan persetujuan atas usulan presiden,

mekanisme impeachment, independensi peradilan, dan lembaga-lembaga

seperti Contraloria di Chile juga menunjukan adanya kekhawatiran bagi

keberadaan Presiden.) 6

Berbeda dengan Juan Linz yang menentang sistem presidensial secara

kelembagaan, Scott Mainwaring dan Mathew Shugart justru lebih halus dalam

menjawab tudingan buruk tersebut, baginya jika sistem presidensial dirancang

dengan baik dan hati-hati, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

parlementer, namun Mainwaring dan Shugart juga tak menafikan akan bahaya

sistem presidensialisme apabila dikombinasikan dengan sistem multipartai.7

Bahaya dalam sistem presidensialisme juga diafirmasi oleh Noah Feldman dan

Duncan Pickard yang mengatakan adanya potensi ketegangan antara legitimasi

eksekutif dan legislatif.8 Temuan lain dalam sistem presidensialisme dilakukan

oleh Jose Antonio Cheibub yang mengatakan bahwa dalam konteks

presidensialisme di kawasan Amerika Serikat ada upaya untuk menyetujui

6 Linz, “The Perils of Presidentialism,” 54.

7 Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, “Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A

Critical Appraisal,” The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre

Dame, Working Paper No 200, Juli 1993, 26. 8 Noah Feldman dan Duncan Pickard, “The Risks of Semi-Presidentialism in Emerging

Democracies,” Democracy Reporting International, Right to Nonviolence‟s Tunisia Constitutional

e-Forum, 2 October 2012, 1.

Page 44: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

29

kekuasaan presiden yang memiliki peran yang kuat dalam legislasi serta membuat

aturan darurat yang lebih luas.9

Selain itu, menurut Syamsuddin Harris, pemisahan kekuasaan dalam sistem

presidensialisme dipandang sebagai hal yang positif karena memperkuat prinsip

check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, namun disisi lain juga

membuka peluang terjadinya divided government yang berpotensi pada

kegaduhan pemerintahan dan deadlock dalam pengambilan keputusan karena

eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.10

Dibalik

polemik yang diasumsikan oleh para ilmuan politik terdahulu, sistem

presidensialisme tampaknya masih tetap dianut di banyak negara. Gambar

dibawah ini menunjukan bahwa sistem presidensialisme banyak dianut di negara-

negara kawasan Amerika Latin, meskipun juga ada bagian wilayah lain seperti

Afrika, sebagian wilayah Asia Barat dan Indonesia adalah salah satu negara yang

menganut sistem tersebut. Namun studi-studi penting yang kerap menjadi rujukan

tentang presidensialisme banyak mengacu pada fenomena yang terjadi di Amerika

Latin.11

9 Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, “Latin American

Presidentialism in Comparative and Historical Perspective,” University of Chicago Public Law

and Legal Theory, Working Paper No. 361, 2011, 24. 10

Syamsuddin Harris, Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia

(Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 32. 11

Studi tentang presidensialisme banyak mengulas fenomena di negara Amerika Latin.

Beberapa yang familiar diantaranya Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil

(Michigan: University of Michigan Press, 2001). Jennifer S. Holmes, Bullets and Ballots in

Columbia (Dallas: University of Texas), Morgernstern dan Nacif, Legislative Politics in Latin

America (Cambridge: Cambridge University Press). Jose Antonio Cheibub, “Minority Presidents,

Deadlock and The Survival of Presidential Democracy”, Yale University. Adam Przeworski, Jose

Antonio Cheibub, Sebastian Saiegh, “Government Coalitions and Legislative Success Under

Presidentialism and Parliamentarism”, B.J.Pol.S.34 DOI: 10.1017/S0007123403000195 United

Kingdom: Cambridge University Press. Mahakarya Juan Linz, “The Perils of Presidentialism”

Page 45: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

30

Gambar II.A.1

Sistem Pemerintahan Negara di Dunia

Sumber: https://www.boundless.com

B. Sistem Multipartai

Sistem Multipartai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian

yang berkembang di dunia modern saat ini. Secara umum, Maurice Duverger

mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan kuantitas atau jumlah.

Menurutnya sistem kepartaian menjadi tiga jenis yakni: (1) sistem partai tunggal,

(2) sistem dwi-partai dan (3) sistem multipartai.12

Secara definisi, sistem

multipartai adalah sistem kepartaian yang meniscayakan adanya partai yang lebih

secara umum juga mengacu pada fenomena-fenomena di Amerika Latin. Meskipun juga ada

beberapa studi mengenai fenomena presidensilisme di Indonesia tetapi jumlahnya tidak signifikan

jika dibanding dengan studi-studi di Amerika Latin. 12

Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok Penekan (Jakarta: Penerbit Rineka

Cipta, 1994), 13.

Page 46: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

31

dari dua partai dominan. Dalam konteks Indonesia, sistem multipartai dianggap

sangat mendukung kebebasan berkumpul yang terlegitimasi dalam pasal 28 UUD

1945. Banyak faktor yang mempengaruhi sistem kepartaian di suatu Negara.

Untuk konteks politik Indonesia, ada tiga faktor penyebab sistem multipartai sulit

dihindari. Pertama, yakni faktor pembentuk atau tingginya tingkat pluralitas

masyarakat. Faktor ini yang menyebabkan keharusan bagi penerapan sistem

multipartai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan suatu yang harus

diterima dalam struktur masyarakat indonesia. Kedua, yakni faktor pendorong

atau dukungan sejarah sosio-kultural masyarakat. Ketiga, yakni faktor penopang

atau desain sistem pemilihan proporsional dalam beberapa sejarah pemilihan

umum.13

Dalam kasus Indonesia, sistem multipartai adalah keniscayaan adanya

aneka ragam suku, ragam, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Selain

Indonesia, negara yang menganut sistem ini adalah Malaysia, Belanda, Perancis,

Swedia, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, klasifikasi mengenai sistem multipartai seperti

yang dipaparkan Maurice Duverger tampak sebagai kategori tunggal sehingga

gagal menjelaskan mengenai rincian mendetail sistem multipartai, seperti

pertimbangan tentang perilaku partai serta jarak ideologis. Melihat kekurangan

tersebut, kajian mengenai sistem multipartai telah banyak disempurnakan oleh

Giovani Sartori, sehingga tipologi mengenai sistem multipartai memiliki beberapa

13

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2010), 102.

Page 47: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

32

varian.14

berikut adalah penjelasan umum Sartori sebagaimana yang dikutip oleh

Kuskridho Ambardi tentang sistem kepartaian:

Tabel II.B.1

Sistem Kepartaian Giovani Sartori

Jumlah Partai Tingkat Ideologi Rendah Tingkat Ideologis Tinggi

1 Satu - Partai Tidak ada

2 Dua - Partai Dua Partai Terpolarisasi

3-5 Pluralisme Moderat Pluralisme Terbatas, Terpolarisasi

5 Pluralisme Ekstrem Pluralisme Terpolarisasi

Sumber: Sartori

Klasifikasi Sartori pada umumnya mengacu konsep jarak ideologis untuk

menggambarkan interaksi antarpartai yang memperihatkan tingkat keajekan

tertentu, dimana partai politik bertindak dan saling merespons secara terpola di

arena politik yang berbeda.15

Dalam hal jumlah partai, Sartori menawarkan dua

konsep penyaring, yakni potensi koalisi dan potensi mengintimidasi secara politik.

Suatu partai memiliki potensi untuk berkoalisi manakala ia berada dalam posisi

yang menentukan bagi terbentuknya koalisi dan di saat yang sama memiliki posisi

yang menentukan bagi terbentuknya koalisi mayoritas di pemerintahan.

Sedangkan suatu partai berpotensi melakukan intimidasi manakala ia memiliki

kekuatan memaksa sehingga keberadaannya mempengaruhi taktik persaingan

antar partai terutama ketika ia mampu mengubah arena persaingan.16

14

Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di

Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia – Lembaga Survei Indonesia,

2009), 8. 15

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 8. 16

Giovanni Sartori, “Parties and Party System: A Framework of Analysis,” dalam

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 11.

Page 48: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

33

Berdasarkan fenomena tersebut, kedua kriteria diatas menurut Sartori harus

dimasukan dalam klasifikasi sistem kepartaian. Tipologi Sartori tersebut

mengasumsikan hanya ada satu persaingan politik. Dengan demikian ia

mengabaikan kemungkingan pemisahan antara persaingan di arena pemilu dengan

persaingan di arena legislatif. Dengan begitu logika yang dibawa Sartori adalah

hasil-hasil Pemilu akan menentukan tindakan partai secara konsisten di arena

legislatif dan arena pemerintahan.17

Argumentasi Sartori pada dasarnya juga

mendapatkan dukungan dari David Mayhew yang disederhanakan oleh Shaun

Bowler yang mengatakan:

“Berbagai keuntungan di arena Pemilu akan membentuk perilaku partai di

arena legislatif. Partai-partai di parlemen dilihat sebagai konsekuensi dari

kebutuhan untuk bertarung memenangi pemilu, partai-partai di legislatif

sebagian besar muncul sebagai akibat dari nilai fungsional partai pada

waktu Pemilu.” 18

Meskipun konsistensi tindakan partai antara arena pemilu dan arena

pemerintahan tersebut perlahan dibantah oleh Robert Dahl dalam “Pattern of

Opposition” yang mengidentifikasi ragam arena persaingan politik yang

diantaranya yakni arena pemilu, parlemen, birokrasi, pemerintah daerah dll.19

Dalam fenomena yang terjadi di Indonesia, ragam arena persaingan politik

dijelaskan lebih intens oleh Kuskridho Ambardi, menurutnya sejak era reformasi

partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi.

Beberapa bukti yang ditunjukan yakni hilangnya peran ideologis sebagai aktor

17

Giovanni Sartori, “Parties and Party System: A Framework of Analysis,” dalam

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12. 18

David Mayhew dalam Shaun Bowler “Parties in Legislature: Two Competiting in

Explanations,” dalam Russell Dalton dan Martin Wattenberg, ed., “Parties Without Partisans,“

dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12. 19

Robert Dahl,“Pattern of Opposition,” dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 13.

Page 49: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

34

penentu perilaku koalisi partai, sikap permisif dalam pembentukan koalisi,

tiadanya oposisi, hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan

perilaku partai politik dan kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara

kolektif sebagai satu kelompok.20

Hal itu yang menurut Ambardi sebagai

gambaran muram mengenai sistem multipartai di Indonesia. Namun, dalam

penelitian ini penulis tidak menggunakan tesis kartel sebagai konseptualisasi

dalam basis analisis. Sebagaimana diketahui, dalam tesis kartel, persaingan antar

partai yang sehat bisa menciptakan check and balances dan berdampak baiknya

kualitas demokrasi, namun dalam kasus Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan

oleh Ambardi, ada kecenderungan partai-partai memiliki pola yang serupa dengan

kartel yang berperilaku seperti layaknya satu kelompok dan menghilangkan

persaingan serta berakhir pada jauhnya dari prinsip check and balances.21

Sehingga menurut tesis ini demokrasi di Indonesia jauh dari prinsip ideal. Tetapi,

menurut penulis tesis tersebut tidak bisa menjelaskan dalam perspektif sistem

presidensialisme-multipartai yang dalam pendekatan koalisi presidensial, seperti

yang akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya, mengharuskan adanya koalisi guna

melancarkan pemerintahan agar bisa berjalan. Keberadaan koalisi itu secara tidak

langsung mengharuskan adanya kerelaan dari partai politik untuk meninggalkan

basis ideologi dan platform masing-masing partai guna mencapai kesepahaman

bersama dengan partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi. Sehingga posisi

teoritik yang digunakan dalam penelitian ini bersebrangan dengan tesis kartel

pada umumnya. Penulis menyadari bahwa ketegasan posisi teoritik dalam suatu

20

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 3. 21

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 366.

Page 50: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

35

penelitian adanya hal yang tidak bisa diabaikan, karenanya ini menjadi suatu

identitas yang melekat dalam sebuah penelitian.

C. Koalisi Presidensial (Coalitional Presidentialism)

Studi mengenai sistem presidensialisme pada dasarnya selalu mengalami

perkembangan dari satu periode ke periode berikutnya. Dalam perkembangan

studi tersebut, Robert Elgie menjabarkannya kedalam tiga periode studi

presidensialisme,22

yakni: periode pertama ditandai dengan serangkaian artikel

yang ditulis oleh Juan Linz.23

Analisis yang dibawa oleh Linz mengacu pada

resiko dalam sistem presidensial yang memicu destabilisasi politik karena rentan

terjadi dualisme legitimasi antara legislatif dan eksekutif karena keduanya sama-

sama dipilih oleh rakyat. Periode pertama ini lebih menitikberatkan pada stabilitas

sistem parlementer ketimbang sistem presidensial. Dalam periode ini, pendekatan

sistem multipartai belum muncul dalam penguatan argumentasi yang dibangun.

Selanjutnya periode kedua, ditandai dengan munculnya tulisan yang dibuat oleh

Scott Manwaring beserta rekan-rekannya.24

Kesimpulan yang dibangun dalam

22

Robert Elgie, “From Linz to Tsebelis: Three Waves of Presidential/Parliamentary

Studies?,” Working Papers in Centre for International Studies, Dublin City University, 2004, 2 -

25. 23

Beberapa tulisan Juan Linz yang dikategorikan dalam periode pertama studi

presidensialisme oleh Robert Elgie diantaranya “The Perils of Presidentialism”, Journal of

Democracy, Vol 1, No 1, (1990). “Democracy: Presidential or Parliamentary Does It Make

Difference”, Latin American Program of the Woodrow Wilson International Center for Scholar

and the World Peace Foundation, (1985). Kesimpulan umum yang dijadikan pijakan dalam

periode ini adalah sistem presidensialisme cenderung berpotensi melahirkan dual democratic

legitimacy yang berujung pada konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif dan

mengabaikan aspek-aspek non intitutional seperti adanya komunikasi politik, jaringan koalisi, dan

pendekatan sistem kepartaian belum menjadi topik yang disandingkan dengan sistem presidensial. 24

Klasifikasi Robert Elgie mengenai periode kedua studi presidensialisme merujuk pada

karya-karya Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult

Equation”, Comparative Political Studies, Vol 26. Matheuw Shugart and John Carey, Presidents

and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic (Cambridge, Cambridge University

Press, 1992) . Perbedaan mendasar dari periode sebelumnya yakni, studi-studi ini mulai mencakup

Page 51: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

36

periode kedua adalah sistem presidensialisme pada dasarnya tidak complicated,

menjadi complicated bila dikombinasikan dengan sistem multipartai. Karena

kombinasi tersebut membuat sulitnya presiden untuk mendapatkan dukungan

mayoritas di legislatif dan berujung pada kendala dalam membangun relasi antara

eksekutif dengan legislatif.

Periode ketiga studi presidensialisme melahirkan proses analisis yang

mendalam yang berbeda dengan dua periode sebelumnya. Periode ini ditandai

dengan munculnya tokoh-tokoh seperti George Tsabelis, Paul Chaisty, Nic

Cheeseman, Timothy Power.25

Berbeda dengan periode sebelumnya, periode

ketiga ditandai dengan munculnya istilah koalisi presidensial dan pendekatan

veto. Pendekatan veto digunakan guna memperkuat peran eksekutif ketika

berhadapan dengan legislatif, Geroge Tsabelis mendefiniskan veto sebagai

“individual or collective actors whose agreement is necessary for a change of the

status quo” (Diterjemahkan penulis: Individu atau aktor kolektif yang berwenang

pembahasan pada sistem multipartai. Yang kemudian dijadikan problem sulitnya presiden sebagai

pimpinan eksekutif untuk mendapatkan dukungan maksimal di legislatif karena adanya banyak

partai dan kesulitan mencapai dukungan mayoritas. 25

Beberapa karya yang menjadi pijakan Robert Elgie dalam mengklasifikasi gelombang

ketiga studi presidensial yakni: George Tsabelis, “Veto Players; How Political Institutions Work”,

UCLA, Princeton and Sage Foundation. Paul Chaisty, Cheeseman & Timothy Power, “Rethinking

The Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective”,

Democratization, Routledge, UK, (2012). Ciri khas dari periode ini adalah munculnya pendekatan

veto dan koalisi presidensial untuk mengurangi dampak destabilisasi seperti yang dikhawatirkan

oleh para pendahulu. Unsur-unsur tersebut yang nantinya akan menentukan seberapa efektif

kombinasi sistem presidensialisme dengan sistem multipartai. Dengan mempertahankan tesis

koalisi presidensial berarti presiden memiliki akses dan banyak cara untuk membentuk koalisi dan

mengamankan dukungan legislatif, atau Chaisty memperkenalkannya dengan istilah presidential

toolbox. Sehingga tugas presiden tidak hanya membentuk kabinet dan menjalankan kebijakan

tetapi juga memiliki tugas untuk membangun kekuasaan untuk memerintah di lembaga legislatif.

Sehingga antara eksekutif dan legislatif dalam proses komunikasi tidak mengalami jalan terjal

seperti yang dikhawatirkan oleh ilmuan-ilmuan di periode sebelumnya, seperti Mathew Shugart,

John Carey dan Scott Manwaring.

Page 52: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

37

menyetujui kebutuhan untuk perubahan status quo).26

Hal yang sama juga

diutarakan oleh Mitchel A. Sollenberger bahwa otoritas veto yang dimiliki

Presiden adalah salah satu alat yang paling signifikan dalam proses legislasi

ketika berhadapan dengan legislatif, hal ini tidak hanya efektif dalam mencegah

bagian undang-undang yang tidak diinginkan Presiden, tetapi juga menghindari

Presiden dari ancaman yang seringkali memaksa legislatif untuk memodifikasi

undang-undang sebelum disajikan kepada Presiden.27

Pendekatan veto umumnya

banyak merujuk pada fenomena presidensialisme di Amerika Serikat.

Selain itu, pendekatan koalisi presidensial juga menjadi rujukan dalam

klasifikasi periode ketiga studi presidensialisme. Istilah „koalisi‟ pada dasarnya

berasal dari bahasa latin yakni „coalescere‟ yang secara harfiah berarti saling

menempelkan atau saling mengikat. Koalisi pada umumnya merupakan aliansi

atau kerjasama untuk periode waktu terbatas dalam rangka demi mencapai tujuan

tertentu seperti ambil alih kekuasaan dan memegang pemerintahan.28

Sedangkan,

yang dimaksud dengan koalisi presidensial adalah suatu pendekatan dimana

sistem presidensial bisa bekerja layaknya parlementer yang artinya presiden

memiliki kerja memerintah dengan mampu membangun koalisi multipartai di

legislatif.29

Sebagaimana yang ditulis Paul Chaisty dalam artikelnya:

26

George Tsabelis, Veto Players: How Political Institutions Work (California: UP and

Russell Sage Foundation, 2001), 36. 27

Mitchel A. Sollenberger, “Congressional Overrides of Presidential Vetoes,” CRS Report

for Congress, 7 April 2014, 1. 28

Rainer Adam, Masa Depan Ada di Tengah; Toolbox Manajemen Koalisi (Jakarta:

Friedrich Naumann Stiftung Foundation, 2010), 11. 29

Paul Chaisty, Cheeseman dan Timothy Power, “Rethinking The Presidentialism Debate;

Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective,” Democratization, Routledge,

UK, (2012): 1.

Page 53: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

38

“Coalitional presidentialism is a strategic response to the institutional

dilemmas posed by the coexistence of a presidential executive with a

fragmented multiparty legislature. In order to win support for the legislative

agenda of the executive, presidents must behave much like prime ministers

in the multiparty democracies of Western Europe: they must first assemble

and then cultivate interparty coalitions on the floor of the assembly. The

objective of the president is to foster the emergence of a legislative cartel

which will reliably defend the preferences of the executive branch.”

(Diterjemahkan penulis: Koalisi Presidensial merupakan respon strategis

terhadap dilema kelembagaan yang ditimbulkan terkait kompleksitas

eksekutif atau presiden dengan legislatif yang terfragmentasi dengan

multipartai. Dalam rangka untuk memenangkan dukungan terhadap agenda

legislasi yang bawa oleh eksekutif, presiden dalam sistem presidensial harus

berperilaku seperti perdana menteri dalam seperti yang terjadi di Eropa

Barat dalam sistem multipartai: mereka (eksekutif dan legislatif) harus

terlebih dahulu duduk bersama dan kemudian menumbuhkan koalisi antar

partai dalam proses perumusan. Tujuan dari presiden adalah untuk

mendorong munculnya kartel di legislatif yang nantinya akan membela

preferensi kebijakan yang dibawa oleh eksekutif.) 30

Menurut Djayadi Hanan, disinilah pentingnya koalisi dalam sistem

presidensialisme-multipartai manakala presiden tetap memerlukan dukungan

legislatif dalam menjalankan pemerintahannya. Jika tidak, presiden mengalami

kendala oleh lembaga legislatif melalui kekuasaan anggaran, legislasi dan fungsi

pengawasan yang diberikan undang-undang.31

Untuk mendapatkan dukungan

legislatif, tentu Presiden tidak bisa melakukan tanpa feedback yang harus

diserahkan kepada masing-masing partai politik. Oleh karenanya disini, power

sharing menjadi konsekuensi dalam kombinasi sistem presidensialisme-

multipartai untuk menghindari terjadinya deadlock dan tingginya oposisi. Secara

30

Chaisty, Cheeseman dan Power, “Rethinking The Presidentialism Debate,” 38. 31

Hanan, Menakar Presidensialisme, 68.

Page 54: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

39

komprehensif, Jose Antonio Cheibub menjabarkannya potensi peluang deadlock

dan dominasi oposisi dalam sistem presidensialisme pada gambar berikut:32

Gambar II.C.1

Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial

Sumber: Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, 21.

Melalui gambar diatas, dapat dipahami bahwa power sharing terutama pada

jajaran kabinet menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan untuk menghindari

terjadinya deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sehingga apabila presiden

sedikit melakukan power sharing, maka akan sedikit pula mendapatkan dukungan

di legislatif atau opposition dominates. Oleh karenanya, disinilah pentingnya

koalisi presidensial guna eksekutif bisa mengamankan agenda serta program

kerjanya dihadapan legislatif sebagaimana yang dipaparkan oleh Paul Chaisty

sebelumnya.

Seperti yang kutip Hanan, buku yang ditulis oleh T. J Power dan M. Taylor

mengatakan koalisi presidensial adalah pilihan untuk mengimbangi dampak

pemecah belah institutional antara eksekutif dan legislatif dengan mendukung

32

José Antonio Cheibub, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of

Presidential Democracies,” Yale University, 3.

Page 55: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

40

adanya kemampuan presiden untuk melakukan sikap akomodatif terhadap

legislatif, yang nantinya akan menentukan berhasil atau tidaknya sistem

presidensialisme multipartai ini akan berjalan.33

Menjadi complicated jika

eksekutif gagal membangun koalisi presidensial atau tidak mencapai dukungan

single majority (50% +1) di legislatif sehingga berujung pada kondisi divided

government dan memiliki potensi deadlock seperti yang ilmuan politik

khawatirkan secara umum.

Selain itu, dalam pendekatan koalisi presidensial, dikenal konsep

„presidential toolbox‟ yang dimaksudkan pada kondisi bahwa kekuasaan presiden

tidak terbatas pada kewenangan formal terkait sumber daya kelembagaan seperti

menyusun program kerja, menyusun kabinet tetapi juga memiliki kewenangan

informal seperti membangun konsolidasi dalam sistem bagi-bagi rezeki (spoils

system) guna mencapai feedback koalisi dan memperoleh dukungan di lembaga

legislatif seperti yang terjadi di kawasan Amerika Latin.34

Dalam pendekatan ini,

maka sikap Presiden yang kompromistis menjadi penting untuk melancarkan

relasi eksekutif dan legislatif, setidaknya mencapai batas single majority (50%+1)

dukungan pemerintah di legislatif. Oleh karenanya koalisi menjadi hal yang

penting dalam sistem presidensialisme-multipartai. Dibawah ini adalah bagan

yang penulis rancang guna mempermudah pemahaman mengenai periodesasi

sistem presidensialisme seperti yang dirumuskan oleh Robert Elgie.

33

T. J Power dan M. Taylor, “Accountability Institutions and Political Corruption in

Brazil,” dalam Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya

Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung:

Penerbit Mizan, 2014), 69. 34

Chaisty, Cheeseman dan Power, “Rethinking The Presidentialism Debate,” 7-8.

Page 56: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

41

Gambar II.C.2

Tiga Gelombang Studi Presidensialisme

Sumber: Elgie, From Linz to Tsabelis.

Page 57: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

42

Selain itu, mengenai keabsahan adanya koalisi dalam sistem presidensial,

penulis merujuk pada studi Djayadi Hanan yang menunjukan bahwa koalisi dalam

sistem presidensial adalah fenomena yang sama seringnya dalam sistem

parlementer. Seperti penelitian Jose Antonio Cheibub, ketika menganalisis semua

negara demokratis pada 1970-2004 ditemukan bahwa koalisi pemerintahan terjadi

sekitar 39% dalam sistem parlementer dan 36,3% dalam sistem presidensial.35

Selain itu menurut Cheibub, Przeworski & Saiegh bahwa hampir sebanyak 50%

pemerintahan akan melakukan koalisi dengan partai lain apabila partai presiden

tidak memiliki kekuatan mayoritas di legislatif. seperti yang dikutip dari

artikelnya.

“It turns out that government coalitions occur in more than one half of the

situations in which the president‟s party does not have a majority.”

(Diterjemahkan penulis: Pada gilirannya, koalisi pemerintahan itu akan

terjadi lebih dari setengah (50%) dari situasi dimana partai presiden tidak

memiliki kekuatan mayoritas.)36

Hal tersebut yang menurut Hanan, keberadaan koalisi bukanlah faktor pembeda

antara sistem presidensialisme dan parlementer, melainkan koalisi adalah watak

dari sistem multipartai.37

Sehingga mekanisme koalisi adalah sarana bagi

terbentuknya hubungan antara eksekutif dan legislatif untuk membangun tindakan

kerjasama dan mengurangi tingkat kegaduhan seperti yang diasumsikan oleh

banyak teoritisi sebelumnya yang pesimis dengan kombinasi sistem

35

Jose Antonio Cheibub, “Presidentialism, Parlementarism and Democracy,” dalam Hanan,

Menakar Presidensialisme Multipartai, 229. 36

Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworski dan Sebastian M. Saiegh, “Government

Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parlementarism,” British Journal of

Political Science, Vol 34, No 04, (Oktober 2004): 565. 37

Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai, 230.

Page 58: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

43

presidensialisme multipartai.38 Meskipun begitu, Cheibub tetap berpandangan

bahwa koalisi dalam sistem presidensial seringkali tidak solid daripada sistem

parlementer.39

Namun, penulis juga menyadari bahwa koalisi dalam sistem presidensial

bisa berprospek pada kerjasama politik dan juga adanya peluang untuk

meninggalkan postur koalisi. kemungkinan tersebut dilandasi oleh beberapa faktor

yang menjadi pertimbangan untuk menentukan solid atau tidak tidaknya suatu

koalisi, David Altman merumuskannya sebagai berikut: (1) afinitas ideologis

antara presiden atau kepala koalisi dengan kelompok partai politik lainnya, (2)

Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau presiden (3) afiliasi psikologis atau

kedekatan partai politik terhadap partai pimpinan koalisi (4) pertimbangan

terhadap pemilihan umum di masa mendatang (5) keadilan insentif dalam

perjanjian koalisi.40

Sehingga, penulis sepakat dengan Cheibub bahwa koalisi

dalam sistem presidensial seringkali tidak stabil dibanding sistem parlementer dan

memungkinkan partai berpindah koalisi di tengah periode pemerintahan

berlangsung.

38

Banyak teoritisi yang menilai kombinasi antara sistem presidensialisme dan sistem

multipartai akan melahirkan kegaduhan tingkat tinggi dan berpotensi deadlock. Beberapa publikasi

diantaranya adalah Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty System and Democracy: The

Dificult Equation,” The Hellen Kellogg Institute for Insternational Studies Published, (1990), Juan

Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990), Alfred Stephan

dan Cindy Skach, “Presidentialism and Parliamentarism in Comparative Prespective,” World

Politics, Vol 46, No 1, (1993), Mathew Shugart dan John Carey, President and Assemblies :

Constitutional Design and Electoral Dynamic (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). 39

Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime

Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual

Review of Political Science, 2002, 4. 40

David Altman, “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty

Presidential Democraties,” The International Journal for the Study of Political Parties and

Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, (2000): 259.

Page 59: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

44

Meskipun pendekatan ini eksis dalam studi presidensialisme di kawasan

Amerika Latin,41

penulis akan mencoba menggunakan pendekatan koalisi

presidensial ini untuk menganalisis faktor terjadinya divided government serta

relasi eksekutif - legislatif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai

hasil dalam Pemilihan Umum 2014.

D. Divided Government (Pemerintahan Terbelah)

Divided Government atau pemerintahan terbelah adalah suatu kondisi saat

lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.

Menurut Robert Elgie, kajian mengenai divided government nampak lebih banyak

merujuk pada fenomena-fenomena di Amerika Serikat,42

meskipun hal tersebut

seringkali dibantah, salah satunya oleh Kurt Von Mettenheim yang menegaskan

bahwa perdebatan tentang divided government dalam konteks perpolitikan di

Amerika Serikat belum mendapatkan pengaruh luas di kalangan analis

perbandingan politik.43

Selain itu, menurut catatan Matthew Soberg Shugart

bahwa tidak ada literatur secara spesifik dan mendetail yang ditujukan untuk

menjelaskan fenomena divided government dalam sistem presidensial.44

Baginya,

studi Juan Linz (1990) dan Scott Manwaring (1993) hanyalah menjelaskan

problem pelembagaan antara eksekutif dan legislatif.

41

Chaisty, Cheeseman dan Power, “Rethinking The Presidentialism Debate,” 4. 42

Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford

University Press Inc, 2001), 1. 43

Kurt Von Mettenheim, ed., “Presidential Institutions and Democratic Politics,” dalam

Elgie, ed., Divided Government, 2. 44

Matthew Soberg Shugart, “The Electoral Cycleand Institutional Sources of Divided

Presidential Government,” American Political Science Review, Vol 89, No 2, (Juni 1995): 327.

Page 60: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

45

Berbeda dengan pesimisme Mathew Shugart terhadap perkembangan studi

mengenai divided government, Robert Elgie memberikan terobosan studi

mengenai klasifikasi divided government dalam berbagai sistem pemerintahan

seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini, meskipun disadari bahwa peluang

munculnya divided government lebih besar terjadi dalam sistem presidensial

ketimbang parlementer.45

Tabel II.D.1

Divided government dalam Berbagai Jenis Sistem Pemerintahan

Sistem Bentuk divided government

Presidensial Partai oposisi pemerintah memiliki kekuatan

mayoritas di legislatif.

Parlementer Pemerintah (Perdana Menteri) gagal melakukan

instuksi untuk memerintah mayoritas kursi di

legislatif.

Sumber: Elgie, Divided Goverment, 12.

Dalam sistem presidensialisme, divided government selalu dicirikan dengan

adanya presiden minoritas, Cheibub mendefinisikan presiden minoritas sebagai

kondisi ketika partai presiden tidak dapat mengontrol lebih dari 50% kursi di

legislatif,46

dan seringkali ini dijadikan satu indikator analisis sering terjadinya

deadlock, seperti yang dipaparkan Cheibub dalam tulisannya.

“In the comparative literature, it is often assumed that whenever the

presidency and congress are controlled by different parties deadlock will

occur. Several analyses of presidentialism use divided government as an

indicator of deadlock.” (Diterjemahkan penulis: Dalam literatur

perbandingan, sering diasumsikan bahwa setiap kali presiden dan kongres

(legislatif) dikendalikan oleh pihak yang berbeda maka deadlock akan

45

Elgie, ed., Divided Goverment, 12. 46

Cheibub, “Minority Presidents,” 18.

Page 61: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

46

terjadi. Beberapa analisis menggunakan divided government sebagai

indikator terjadinya deadlock dalam sistem presidensial.) 47

Hal tersebut seperti layaknya kecemasan yang diutarakan oleh Scott Mainwaring

ketika berbicara mengenai kekhawatiran potensi deadlock dalam kombinasi

sistem presidensialisme-multipartai.

Kekhawatiran deadlock dalam sistem presidensial secara lebih luas

sebetulnya sudah diprediksi oleh Scott Mainwating dan Juan Linz yang dipandang

dari sudut kelembagaan. Namun Cheibub memiliki pendapat bahwa potensi

deadlock tidak sesederhana yang dikatakan Linz dan Mainwaring, menurutnya hal

itu harus memperhitungkan penjelasan lain dari sistem politik dari sekedar

karakter presiden dan jumlah partai. Mengingat, deadlock dalam sistem

presidensialisme sering dihubungkan dengan jabatan presiden untuk waktu yang

tetap dan kewenangan veto yang melekat dalam Presiden.48

Dalam studi

presidensialisme, deadlock sering didefinisikan sebagai situasi yang berkaitan

dengan produksi hukum di legislatif. Dalam situasi kebuntuan, presiden mungkin

akan mencoba untuk memveto semua hukum atau legislatif memutuskan untuk

tidak meloloskan hukum yang dibawa eksekutif serta berdampak pada penurunan

produksi hukum.49

Mengenai veto dalam konteks Indonesia, bisa dilihat dari

proses yang terjadi dalam perumusan Undang-Undang, khususnya dalam pasal 22

(2) UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan DPR untuk duduk bersama.

Sehingga veto yang terjadi dimungkikan saat Presiden menolak untuk mengikuti

47

Jose Antonio Cheibub, “Divided Government, Deadlock and the Survival of Presidents

and Presidential Regimes,” The Paper for presented at Conference Constitutional Design 2000,

Center for Continuing Education, University of Notre Dame, 11 December 1999, 4. 48

Leiv Marsteintredet, Political institutions and Their Effect on Democracy in the

Dominican Republic (Tesis Master di University of Bergen, 2004), 24. 49

Levi, Political Institutions, 54.

Page 62: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

47

pembahasan tersebut, karena dengan penolakan tersebut membuat sebuah

Rancangan Undang-Undang gagal untuk dibahas. Meskipun veto tersebut berbeda

dengan yang terjadi di banyak negara.50

Sehingga jika asumsi keadaan deadlock

itu didasarkan oleh adanya veto, maka dalam konteks Indonesia deadlock bisa

diartikan dari penolakan eksekutif untuk duduk bersama legislatif dalam

membahas Rancangan Undang-Undang (RUU). Karena dengan begitu, proses

perencanaan kebijakan menjadi terhambat karena tidak sesuai dengan mekanisme

yang tertuang dalam pasal 22 (2) UUD 1945.

Menurut Cheibub, jika deadlock menjadi hal yang tidak diharapkan maka

partai presiden harus memiliki representasi dukungan lebih dari 50% di kedua

kamar (bikameral), atau ketika oposisi mempunyai lebih dari mayoritas dua

pertiga di kedua kamar (bikameral). Meskipun dalam konteks Indonesia sistem

bikameral tidak menunjukan adanya peran yang seimbang, mengingat Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) tidak memiliki peran yang signifikan dalam proses

perumusan Undang-Undang. Namun klasifikasi Cheibub dibawah ini menurut

penulis masih bisa digunakan untuk menjelaskan relasi eksekutif dan legislatif di

Indonesia dengan mengabaikan adanya klasifikasi upper house dan lower house.

50

Dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Presiden memiliki kekuasaan veto,

yakni kekuasaan untuk menganulir sebuah UU. Beberapa kekuasaan veto tersebut diantarannya:

(1) Partial Veto yakni bentuk peyampaian memorandum keberatan presiden terhadap beberapa

ketentuan RUU, (2) Package Veto yakni berupa penolakan presiden untuk memberlakukan suatu

RUU secara keseluruhan dan (3) Pocket Veto yakni bentuk penolakan presiden untuk

menandatangani suatu RUUU yang sudah disetujui oleh legislatif. Namun dalam konteks

presidensialisme di Indonesia, Presiden tidak memiliki ketiga hak veto tersebut. Tetapi mekanisme

kelembagaan antara eksekutif dan legislatif mengharuskan adanya pembahasan bersama dari awal

sampai akhir dalam sebuah proses Rancangan Undang-Undang. Mekanisme pembahasan bersama

antara eksekutif dan legislatif yang tidak dimiliki dalam desain konstitusional di Amerika Serikat.

Lihat, Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu (Jakarta:

Noura Book, 2013), 188.

Page 63: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

48

Tabel II.D.2

Veto dalam Sistem Presidensial

Sumber: Cheibub, Minority Presidents, 23.

Menurut tabel diatas, untuk mencapai president rules dan menghindari

terjadinya veto, maka dimungkinkan presiden memiliki koalisi yang berdampak

pada bagi-bagi kursi yang dilakukan oleh partai presdien diatas 50%, angka

tersebut menjadi indikator penting, mengingat dalam lembaga legislatif berlaku

mekanisme collective collegial yang membuat proses kesepakatan mengharuskan

adanya dukungan diatas 50% suara, terlebih apabila keputusan tersebut diambil

melalui mekanisme voting. Sehingga dengan sendirinya kebijakan presiden

dimungkinkan akan menghadapi tantangan di legislatif apabila tidak memiliki

dukungan yang mencapai 50% suara, begitupun juga sebaliknya dalam proses

Rancangan Undang-Undang yang diajukan legislatif juga harus melalui proses

duduk bersama dengan eksekutif, sehingga keduanya berada dalam posisi saling

membutuhkan. Oleh karenanya, veto dalam konteks Indonesia bisa dilakukan oleh

eksekutif maupun legislatif dengan cara untuk tidak bersedia hadir dalam proses

pembahasan bersama.

Page 64: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

49

Menurut Robert Elgie, divided government bisa terjadi karena dua

pendekatan yang mempengaruhinya, yakni (1) pendekatan perilaku pemilih (2)

pendekatan institusional.51

Perbedaan diantara keduanya berkisar pada mekanisme

yang terjadi bagi munculnya divided government, bagi pendekatan perilaku,

munculnya divided government terjadi karena perilaku pemilih dalam sebuah

negara dalam pemilu memilih dua partai yang berbeda pada saat pemilu legislatif

dan pemilu presiden, Amerika Serikat adalah contoh yang tepat guna menjelaskan

dalam konteks ini. Berbeda hal dengan pendekatan institusional yang menjelaskan

bahwa divided government lebih karena persoalan sistem yang menyebabkan hal

tersebut terjadi, seperti sistem pemilu, mekanisme pemilihan pimpinan kongres,

dan koalisi.52 Bagi Elgie, kasus divided government seringkali dikaitkan dengan

situasi krisis serta ketegangan dan tensi politik yang tinggi sehingga menimbulkan

momentum untuk melakukan reformasi di bidang politik.53

Menurut Jeffrey Fine, pasca Perang Dunia II fenomena divided government

sudah menjadi hal umum, namun tingkat perselisihan antara eksekutif dan

legislatif terjadi dengan beberapa bervariasi.54

Salah satu variasi adalah

perselisihan yang mungkin terjadi karena adanya perbedaan pandangan secara

ekstrim antara dua kelompok berbeda yang menguasai eksekutif dan legislatif

yang bisa berujung pada kemacetan dalam proses pengambilan keputusan.

Namun, Jeffrey Fine yang turut andil dalam perdebatan mengenai topik ini

51

Elgie, ed., Divided Goverment, 214. 52

Elgie, ed., Divided Goverment, 214-219. 53

Elgie, ed., Divided Goverment, 221-222. 54

Jeffrey A. Fine, “The Problem of Divided Government in an Era of Polarized Parties,”

Clemson, South Carolina: Balance of Power Between Congress and the President, 31.

Page 65: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

50

memiliki kesimpulan berbeda dengan teoritisi yang disebutkan diatas.

Menurutnya divided government yang selalu dianggap mengakibatkan hubungan

politik yang buruk antara presiden dan legislatif belum teruji secara empiris,

meskipun dirinya tetap meyakini bahwa potensi ketegangan dalam divided

government itu selalu ada.55

Sebagaimana yang paparkan oleh Mayhew dalam

perhatiannya selama periode 1946-2002, bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara jumlah undang-undang yang disahkan di negara yang mengalami

kondisi divided government. Sehingga, berbeda dengan asumsi pada umumnya,

Mayhew berpandangan bahwa divided government tidak selalu menyajikan

lingkungan politik yang merugikan antara presiden dan legislatif.56

Hal yang

sama juga dipaparkan oleh Scott Morgenstern dan Pilar Domingo yang

mengatakan bahwa eksekutif dan legislatif dalam aktivitasnya akan selalu

menghindari kemacetan untuk melindungi kepentingannya masing-masing.57

Oleh karenanya, bisa dilihat bahwa pandangan di kalangan ilmuan politik

mengenai apakah divided government selalu menghasilkan dampak buruk

keberlangsungan pemerintahan pada dasarnya juga tidak ada ketidaksamaan

pendapat. Oleh karenanya dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk masuk

dalam perdebatan tersebut guna membuktian terhambat atau tidaknya relasi

eksekutif dengan legislatif pada periode divided government dalam pemerintahan

Joko Widodo – Jusuf Kalla.

55

Fine, “The Problem of Divided Government,” 33. 56

David R. Mayhew, “Divided We Govern: Party Control, Lawmaking and Investigations,

1946-2002,” dalam Fine, “The Problem of Divided Government,” 33. 57

Scott Morgenstern dan Pilar Domingo, “The Success of Presidentialism? Breaking

Gridlock in Presidential Regime,” Working Paper, Mexico: CIDE, 1997, 97.

Page 66: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

51

BAB III

KONFIGURASI TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO –

JUSUF KALLA DALAM SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI

A. Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia

Salah satu amanat reformasi yang tak bisa diabaikan adalah dengan adanya

penguatan sistem presidensial di Indonesia,1 meskipun unsur presidensialisme

sudah ada dalam UUD 1945 sebelum diamandemen namun prinsip check and

balances tidak berlaku karena adanya dominasi presiden yang terlalu besar dalam

relasi eksekutif dan legislatif, karena saat itu sebagian anggota DPR dan MPR

pada saat era Orde Baru diangkat oleh Presiden sehingga tidak ada peluang bagi

adanya kontrol legislatif terhadap eksekutif (executive heavy).2 Sebagai bentuk

evaluasi terhadap sistem presidensial maka proses pemilihan eksekutif dan

legislatif dilakukan secara langsung dan terpisah adalah keniscayaan. Selain itu

dalam konteks Indonesia, produk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa

jabatan presiden dan pengalihan kekuasaan legislasi dari Presiden ke DPR sebagai

warisan semangat reformasi dimaksudkan sebagai upaya penguatan sistem

presidensial murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II. Ketika UUD 1945

belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia terlihat semu dan dalam

prakteknya lebih mendekati sistem parementer.3 Hal tersebut terlihat dengan

mekanisme pemberhentian presiden yang lebih disebabkan atas dasar

1 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung:

Mizan, 2007), 337. 2 Syamsuddin Harris, Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia,

(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014), 102. 3 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2010), 2.

Page 67: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

52

pertimbangan politis. Seperti kasus pemberhentian Presiden Soekarno yang

diawali dengan permintaan Pimpinan DPR kepada Presiden agar mengundurkan

diri. Pemberhentian Presiden Soekarno juga berawal dari permintaan DPR kepada

MPR untuk melaksakan Sidang Istimewa agar meminta pertanggungawaban

Presiden. MPR akhirnya mencabut mandat Presiden Soekarno sesuai resolusi

DPR. Sama halnya dengan pemakzulan Presiden Abdurahman Wahid melalui

Sidang Istimewa MPR yang dipandang hanya formalitas prosedur sekadar

mengesahkan pandangan di DPR. Tak bisa dipungiri semua presiden yang

berkuasa saat sebelum amandemen UUD 1945 diberhentikan karena alasan politik

yang diinisiasi oleh DPR.4 Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen

UUD 1945 juga mengharuskan Presiden bertanggngjawab kepada MPR serta

melaksanakan tugas sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

yang ditetapkan MPR, melalui kontruksi tersebut seringkali Presiden disebut

sebagai mandataris MPR, saat itu juga tak mengenal istilah oposisi.5 Namun pada

saat Orde Baru, komposisi legislatif adalah hal yang by design, karena sebagian

anggota DPR dan MPR pada saat itu diangkat oleh Presiden.

Berbeda dengan hal tersebut, konstitusi hasil amandemen memutarbalikan

itu semua dengan memperkuat sistem presidensialisme dan reformasi sistem

kelembagaan di Indonesia guna memperkuat prinsip check and balances untuk

menghindari kewenangan yang tumbang tindih seperti yang terjadi saat Orde Baru

antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagaimana yang digambarkan

oleh Kawamura bahwa antara ekesektiif, legislatif dan yudikatif berada dalam

4 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 3.

5 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 3.

Page 68: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

53

posisi yang sejajar dan tidak bisa saling menjatuhkan.6 Dibawah ini adalah sistem

politik di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 yang digambarkan oleh

Kawamura:

Gambar III.A.1

Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945

Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 9.

Selain itu, amandemen UUD 1945 tidak hanya mengubah sistem politik di

Indonesia, namun juga ada perubahan mengenai regulasi pembatasan waktu

kekuasaan presiden yang hanya 5 tahun untuk batas maksimal 2 periode

kepemimpinan, serta memperluas otoritas DPR dalam proses legislasi, terutama

dalam relasi dengan eksekutif. DPR juga memiliki otoritas kontrol terhadap

Presiden melalui pelembagaan hak yakni hak interpelasi, hak angket dan hak

6 Koichi Kawamura, “Is the Indonesian President Strong or Weak?,” Institute of Developing

Economies Discussion, No 235, Japan, Mei 2010, 9-10.

Page 69: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

54

menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat 2). Tabel dibawah ini adalah perbandingan

UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

Tabel III.A.1

Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen

No Unsur Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen

1 Locus

Kedaulatan

Berada di tangan rakyat,

dilakukan oleh MPR

Berada di tangan rakyat,

dilakukan menurut UUD

2 Masa Jabatan

Presiden

bersifat tetap

Lima tahun dan dapat

dipilih kembali (tanpa

kejelasan berapa kali)

Lima tahun dan dapat dipilih

kembali untuk satu kali masa

jabatan

3 Pemilihan

Presiden dan

Wapres

Dilakukan oleh MPR Dipilih secara langsung oleh

rakyat

4 Kedudukan

menteri

Pembantu Preisiden,

diangkat dan diberhentikan

oleh Presiden

Tetap

5 Kekuasaan

membentuk

UU

Berada di tangan Presiden

atas persetujuan DPR

Berada di tangan DPR atas

persetujuan Presiden

6 Kekuasaan

Kehakiman

Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh MA menurut

UU

Kekuasaan kehakiman

bersifat merdeka, dilakukan

oleh MA dan MK

7 Kekuasaan

MPR

Memilih Presiden dan

wapres, menetapkan GBHN,

menetapkan UUD

Kecuali menetapkan UUD,

kekuasaan MPR yang lain

dihapus

8 Hubungan

Presiden-

DPR

Presidenn tidak dapat

membubarkan DPR dan

sebaliknya

Tetap

9 Fungsi

pengawasan

DPR

Tidak ada DPR memiliki hak

interpelasi, angket dan

menyatakan pendapat

10 Pemakzulan DPR bisa mengusulkan

pemakzulan Presiden

kepada MPR atas dasar

pertimbangan politik

DPR bisa mengusulkan

pemakzulann Presiden

kepada MPR tetapi hanya

atas dasar pertimbangann

hukum dari MK

11 Pembatasan

kekuasaan

Presiden

1. Pengangkatan duta dan

penerimaan duta negara

lain tanpa konfirmasi

DPR

2. Otoritas Presiden dalam

1. Pengangkatan duta dan

penerimaan duta negara

lain melalui pertimbangan

DPR

2. Pemberian amnesti dan

Page 70: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

55

pemberian amnesti dan

abolisi tanpa konfirmasi

DPR

3. Otoritas Presiden dalam

pemeberiann grasi dan

rehabilitasi tanpa

konfirmasi MA

4. Pengaturan BPK

ditetapkan UU

abolisi melalui

pertimbangan DPR

3. Pemberian grasi dan

rehabilitasi melalui

pertimbangan MA

4. Pemilihan anggota BPK

melalui pertimbangan

DPD

Sumber: Harris, Praktik Parlementer, 99.

Atas dasar amandemen UUD 1945 maka pelaksanaan Pemilu Presiden dan

Pemilu Legislatif secara langsung di era reformasi menjadi bagian yang tak

terpisahkan dalam memperkuat sistem presidensial meskipun penguatan tersebut

masih dalam perdebatan, karena masih adanya anggapan bahwa presidensialisme

yang dianut di Indonesia cenderung setengah hati karena adanya kewenangan

eksekutif (dalam aturan main sistem presidensial murni) yang dipangkas oleh

legislatif seperti perluasan otoritas DPR dalam memilih anggota lembaga negara

seperti BPK, Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Komnas HAM dan lain-lain

yang dalam praktinya justru melebihi desain konstitutional sistem presidensial

murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II.7

Tak hanya itu, kewenangan DPR juga tampak dalam keterlibatannya dalam

proses perumusan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), keterlibatan

DPR dalam APBN menjadi urgent karena DPR yang menjadi penentu akhir

7 Dalam kerangka sistem presidesialisme murni, seharusnya wewenang dalam menentukan

pejabat lembaga negara seperti Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Kapolri, Komnas HAM dll

diserahkan sepenuhnya atau hak prerogatif presiden. Dalam konteks Indonesia, pengangkatan

pejaban-pejabat tersebut harus melalui restu DPR yang dalam hal ini justru mereduksi kewenangan

Presiden itu sendiri sebagai pelaksana tugas Negara, terlebih hal tersebut menjadi tambah

problematik karena DPR dihuni oleh banyak partai (sistem multipartai) yang menyebabkan

kegaduhan-kegaduhan karena ada banyak beragam kepentingan yang terhimpun di lembaga

legislatif. Lihat, Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 5.

Page 71: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

56

struktur anggaran negara yang diajukan pemerintah. Sehingga pemerintah

seringkali tidak berkutik saat ada perubahan rencana alokasi APBN yang datang

dari DPR.8 Menurut Syamsuddin Harris, format baru relasi Presiden-DPR pasca

amandemen UUD 1945 yang sarat dengan DPR-heavy menjadi problematik

karena menyimpan potensi konflik antara eksekutif dan legislatif dan berdampak

pada tidak efektifnya sistem pemerintahan.9 Hanta Yuda menyebutnya sebagai

sistem presidensial yang tepurifikasi atau „presidensialisme setengah hati‟.10

Kondisi DPR-heavy tersebut menjadi tambah problematik karena Indonesia

menganut sistem multipartai, menurut Hamdi Muluk, sistem multipartai

mengindikasikan ada banyak kepentingan yang terhimpun di DPR, kepentingan

tersebut yang harus ditampung oleh Presiden guna mendapatkan restu DPR dalam

menjalankan program kerjanya, sehingga membuat sistem presidensial di

Indonesia menjadi problematik.11

Terlepas dari perdebatan relasi kelembagaan tersebut, kita perlu bersyukur

bahwa Indonesia dalam upaya penguatan sistem presidensial, telah melewati

beberapa proses pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004, 2009, dan

2014, hal yang sebelumnya sangat sulit dilakukan sebelum adanya amandemen

UUD 1945. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa proses

pemilihan Presiden secara langsung adalah salah satu ciri yang tak bisa dipisahkan

dalam sistem presidensial, berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana

8 Harris, Praktik Parlementer, 106.

9 Harris, Praktik Parlementer, 107.

10 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 1.

11 Wawancara dengan Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia

dan Ketua Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (PERSEPI), tanggal 3 Maret 2015.

Page 72: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

57

kepala pemerintahan atau perdana menteri dipilih oleh parlemen, perbedaan

tersebut yang seringkali meresahkan bagi ilmuan politik seperti Juan Linz, yang

menilai sistem presidensial sebagai ‘dual democratic legitimacy’ atau legitimasi

demokrasi ganda karena eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat.12

Selain itu, perkembangan sistem presidensialisme di Indonesia era reformasi

juga sering memunculkan presiden dengan dukungan minoritas jika dilihat dari

preferensi seorang presiden terhadap jumlah kursi partainya di legislatif (the

rulling party). Misalnya di pemilu 2004 saat Susilo Bambang Yudhoyono

memenangkan Pilpres namun partainya hanya memiliki 55 kursi di DPR,

sedangkan tiga partai yang mengusungnya yakni PKS, PBB dan PKPI masing-

masing hanya memiliki 45 kurrsi, 11 kursi dan 1 kursi. Jika ditotal maka jumlah

basis dukungan hanya 113 dari 550 kursi atau 20,5 %.13

Dengan kondisi tersebut

maka SBY membuka peluang koalisi bagi partai-partai lain untuk bergabung ke

dalam kabinet, hal tersebut disadari guna mengamankan kebijakan-kebijakannya.

Keterbukaan dan sikap kompromi SBY menghasilkan tergabungnya Golkar (128

kursi), PPP (58), PAN (53), dan PKB (52) yang secara total jumlah pendukung

pemerintah (the rulling coalition parties) mencapai 403 kursi atau 73,4%.

Sehingga SBY yang awalnya merupakan Presiden dengan kekuatan minoritas di

legislatif berubah secara total menjadi Presiden dengan kekuatan mayoritas. Hal

tersebut terjadi berkat sikap kompromi SBY untuk mengajak partai politik untuk

bergabung ke dalam koalisi pemerintahan. Dengan begitu maka, feedback yang

12

Juan Linz, “Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference,” dalam

Juan Jose Linz dan Arturo Valenzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy: Comparative

perspective (Baltimore, Maryland: John Hopkins University, 1994), 6. 13

Harris, Praktek Parlementer, 150.

Page 73: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

58

diperoleh SBY yakni tingginya dukungan legislatif terhadap kebijakannya, 14

terlepas dari ketidakstabilan partai koalisi pada pemerintahan SBY.

Sama halnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu

2009 yang mana Partai Demokrat (the ruling party) hanya mendapatkan 150 kursi

atau 26,4%. Namun lagi-lagi SBY berusaha membangun kekuatan koalisi

presidensial dengan mengajak banyak partai untuk bergabung di pemerintahan

guna memperoleh dukungan kebijakan di lembaga legislatif. Dari yang semula

menperoleh kekuatan minoritas di parlemen, SBY memperoleh kekuatan

tambahan dengan merangkul banyak partai seperti Golkar (107 Kursi), PPP (37),

PAN (43), PKS (57) dan PKB (27) sehingga kekuatannya mencapai 421 kursi

atau 75,1% dukungan di legislatif (the ruling coalition parties). Namun dalam

melihat kasus presiden minoritas dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada

preferensi seorang presiden terhadap partainya sendiri (the ruling party), tetapi

berdasarkan kacamata koalisi presidensial atau perpaduan antara partainya

presiden dengan partai pendukungnya (the ruling coalition parties). Berbeda

dengan realitas yang terjadi sebelumnya, pemerintahan Joko Widodo justru

menghasilkan partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) dibawah

single majority atau terjadi divided government.

Atas dasar tersebut, selanjutnya penulis akan menjelaskan konfigurasi

politik terbentuknya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai hasil dalam

pemilu 2014 yang dilakukan melalui dua tahap yakni, pertama adalah pemilu

legislatif yang dilakukan pada 9 April 2014 dan kedua adalah pemilu presiden

14

Harris, Praktek Parlementer, 150.

Page 74: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

59

pada 9 Juli 2014. Penjelasan tersebut dimaksudkan untuk memahami proses

mengapa sampai pada akhirnya fenomena divided government terjadi pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, sebagaimana yang diutarakan oleh

Robert Elgie bahwa peluang terjadinya divided government lebih besar terjadi

dalam sistem presidensial.15

Sehingga Indonesia sebagai negara yang menganut

sistem presidensial besar kemungkinan terjadi divided government terlebih

dikombinasikan dengan sistem multipartai, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf

Kalla adalah contoh terbaik dalam penjelasan tersebut.

B. Konfigurasi Politik Pemilihan Legislatif 2014

Setelah Pemilu 2004 dan 2009, kombinasi sistem presidensial - multipartai

kembali mengalami pengujiannya di pemilu 2014.16

Sama dengan proses pemilu

sebelumnya, proses pemilihan legislatif 2014 di Indonesia berlangsung secara

terpisah dengan pemilihan Presiden, hal tersebut berdasarkan pada UU No.22

Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.17

Namun sebelum

terselenggaranya Pileg 2014, Yusril Ihza Mahendra mengajukan Judicial Review

kepada Mahkamah Konstitusi terhadap UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait upaya pembatalan aturan Presidential

Threshold yang sebelumnya juga pernah diajukan oleh Effendy Ghazali dan

15

Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford

University Press Inc, 2001), 12. 16

Untuk mengetahui hasil penelitian sistem presidensialisme di Indonesia sebelum pemilu

2014. Lihat, Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2010) , Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam

Demokrasi Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008), Disertasi

Doktoral di FISIP Universitas Indonesia. Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai

di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks

Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2014). 17

Lihat Pasal 1 Ayat 2 dan 3 dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 22 Tahun

2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Page 75: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

60

permohonan tersebut dikabulkan oleh Hakim Konstitusi, namun permohonan

tersebut berlaku mulai pada pemilu 2019.18

Sehingga secara tak langsung pemilu

2019 akan berlangsung secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan

presiden, namun pemilu 2014 tetap berpedoman pada regulasi yang tersedia

dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum.19

Seiring adanya pemilihan yang terpisah antara Presiden dan Legislatif

sebagaimana yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pemilu

2014, Pemilihan Legislatif berlangsung secara bersamaan antara pemilihan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

karena sebagaimana yang diketahui, Indonesia menganut sistem pelembagaan

legislatif dua kamar atau bikameral. Sistem bikameral pada dasarnya juga dianut

oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat yang terdiri dari House of

Representative dan Senator, demikian juga yang terjadi pada parlemen di Inggris

yang terbagi menjadi dua kamar yakni House of Lords (Majelis Tinggi) dan

House of Commons (Majelis Rendah).20

Keberadaan sistem dua kamar dalam konteks Indonesia merupakan produk

amandemen UUD 1945 yang menghasilkan lembaga baru yang dinamakan

Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Pada dasarnya DPD dibentuk untuk memperkuat

peran daerah dalam proses penyelenggaraan negara dan dalam proses pemilihan

18

“Gugatan UU Pilpres Dikabulkan, Pemilu Serentak 2019,” Kompas, 23 Januari 2014

http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1504396/Gugatan.UU.Pilpres.Dikabulkan.Pemilu.Ser

entak.2019 Diunduh pada 5 April 2015. 19

“Ini Alasan MK Putuskan Pemilu Serentak 2019,” Kompas, 23 Januari 2014

http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1536382/Ini.Alasan.MK.Putuskan.Pemilu.Serentak.2

019 Diunduh pada 5 April 2015. 20

Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen

UUD 1945 (Jakarta: Penerbit Konpress, 2012), 147.

Page 76: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

61

anggotanya dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu dan tiap provinsi memiliki

jumlah yang sama dengan ketentuan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari

sepertiga jumlah anggota DPR.21

Namun kewenangan DPD seringkali dipandang

terbatas dan tidak seimbang bila dibanding kewenangan DPR.22

Dengan demikian

pasca amandemen UUD 1945, posisi MPR hanyalah bertindak sebagai just

session antara DPR dan DPD dan bukanlah lembaga yang mandiri.23

Kontestasi pemilihan legislatif dimulai saat Komisi Pemilihan Umum pada

tanggal 8 Januari 2013 menetapkan jumlah partai politik peserta pemilu 2014

hanya ada 10 partai, namun keputusan tersebut tidaklah final.24

Proses

penyeleksian tersebut dimulai sejak tanggal 7 September 2012 saat Komisi

Pemilihan Umum mengumumkan partai politik yang mendaftar pemilu sebanyak

46 partai politik. Dari 46 parpol tersebut, sebanyak 12 parpol dinyatakan tidak

memenuhi persyaratan. Dengan demikian, terdapat 34 parpol yang dinyatakan

terdaftar dan dapat melengkapi dokumen persyaratan.25

21

Siahaan, Politik Hukum, 323. 22

Kewenangan DPD dalam penyelenggaraan pemerintahan diantaranya melakukan

pengawasan seara khusus atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan,

pemekaran dan penggabubangan daerah, hubungan pusat dan daerah. Dan hasil pengawasan

tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Lihat, Pasal

22D ayat 3 UUD Republik Indonesia, dalam Siahaan, Politik Hukum, 323. 23

Siahaan, Politik Hukum, 321. 24

Sesuai Pasal 259 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 269 Undang-Undang Nomor 8 tahun

2012 tentang Pemilu, keputusan KPU itu dapat berubah, apabila ada keputusan dari lembaga

sengketa penyelenggaraan pemilu seperti Bawaslu, atau Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara (PTTUN), atau Putusan Mahkamah Agung (MA) Lihat, “KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta

Pemilu 2014,” Suara KPU, edisi Januari 2013, 4. 25

“Keberanian KPU Menegakkan Peraturan dalam Penetapan Peserta Pemilu,” Suara KPU,

Edisi September 2012, 4.

Page 77: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

62

Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2012, KPU mengumumkan 16 partai

yang lolos verifikasi administrasi dan akan menjalani verifikasi faktual.26

Pada

perkembangannya, sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilihan Umum, verifikasi faktual juga dilakukan terhadap 18 partai yang tidak

lolos verifikasi administrasi. Hasil dari verifikasi faktual ini ditetapkan pada

tanggal 8 Januari 2013, KPU menetapkan 10 partai sebagai peserta Pemilu 2014.27

Dalam perkembangan berikutnya, keputusan KPU tersebut digugat ke Pengadilan

Tata Usaha Negara (PTUN). Namun hanya ada dua partai yang dikabulkan

gugatannya oleh PTUN yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan

Persatuan Indonesia. KPU mengabulkan putusan PTUN tersebut dan menetapkan

kedua partai tersebut menjadi peserta Pemilu Legislatif 2014.28

Sehingga

pemilihan legislatif 2014 dilakukan sebanyak 12 partai politik yakni PDI-

Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, PKS, Nasdem, PPP,

Hanura, PKPI dan PBB.

Pemilu legislatif yang dilakukan pada 9 April 2014 menunjukan bahwa

PDI Perjuangan berhasil meraih suara terbesar dengan 18.95% suara, diikuti oleh

Partai Golkar dengan suara 14 % di posisi kedua, lalu Gerindra dengan 11% di

posisi ketiga, selanjutnya Partai Demokrat di posisi keempat dengan 10%, di

26

“Hasil Verifikasi Adminstrasi Kelengkapan Syarat Partai Politik Sebagai Calon Peserta

Pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota Tahun 2014,” Komisi Pemilihan Umum

Repubik Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/Parpol_Lolos.pdf, Diunduh pada 4 Maret 2015. 27

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor: 5/kpts/KPU/Tahun

2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014,” Komisi Pemilihan

Umum Repubik Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/(9.1.2013)%2005%20S K%20Ketua.pdf,

Diunduh pada 4 Maret 2015. 28

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor: 166/kpts/KPU/Tahun

2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014,” Komisi Pemilihan

Umum Republik Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/Kpts%20166-2013.pdf, Diunduh pada 4

Maret 2015.

Page 78: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

63

posisi kelima ada PKB dengan 9%, di posisi keenam ada PAN dengan 7,6%,

kemudian ada PKS, Nasdem, PPP dan Hanura dengan 6,8 %, 6,7%, 6,5% dan

5,3%.29

Dengan menyisihkan PBB dan PKPI sebagai partai yang tidak memenuhi

ambang batas parlemen 3,5% (Parliamentary Treshold), sehingga tidak bisa

menaruh wakil-wakilnya di Parlemen.30

Berikut adalah grafik hasil pemilihan

legislatif 2014.

Gambar III.B.1

Hasil Pemilihan Legislatif 2014

Sumber: kpu.go.id

Setelah melalui proses penghitungan akhirnya ditetapkan bahwa PDI-P berhasil

memperoleh kursi dewan yang terbanyak. Diikuti oleh Golkar, Gerindra dan

29

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014

Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang Memenuhi dan

Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Secara

Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014,”. Komisi

Pemilihan Umum Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_K

PU_412.pdf. diunduh pada 1 Desember 2014. 30

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014

Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang Memenuhi dan

Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Secara

Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014,” Komisi

Pemilihan Umum Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_

KPU_412.pdf. diunduh pada 1 Desember 2014.

Page 79: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

64

Partai Demokrat di posisi dua, tiga dan empat.31

Tabel dibawah ini adalah

komposisi jumlah kursi anggota dewan masing-masing partai politik yang lolos

parliamentary threshold.

Tabel III.B.1

Jumlah Kursi Partai Politik Hasil Pemilihan Legislatif 2014

Partai Politik Jumlah Kursi

PDI-Perjuangan 109 Kursi

Golkar 91 kursi

Gerindra 73 Kursi

Demokrat 61 Kursi

PKB 47 Kursi

PAN 49 Kursi

PKS 40 Kursi

Nasdem 35 Kursi

PPP 39 Kursi

Hanura 16 Kursi

Jumlah 560 Kursi

Sumber: diolah dari kpu.go.id

Setelah pemilihan dan pengumuman pemilihan legislatif diputuskan Komisi

Pemilihan Umum, partai politik sibuk beramai-ramai untuk menentukan kekuatan

menjelang pemilihan presiden. Polarisasi koalisi yang terjadi terbentuk

berdasarkan dua kelompok yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah

Putih. Koalisi tersebut didasarkan pada preferensi dukungan calon presiden dan

wakil presiden yang mana Koalisi Indonesia Hebat mengusung pasangan Joko

31

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 416/kpts/KPU/Tahun 2014 Tentang

Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik daan Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pemilihan Umum 2014,” Komisi Pemilihan Umum Republik

Indonesia, www.kpu.go.id/.../SK_KPU_416_Penetapan_Kursi_Calon_Terpilih_ 1452014.pdf

Diunduh pada 2 Januari 2015.

Page 80: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

65

Widodo – Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih mengusung pasangan Prabowo

Subianto – Hatta Rajasa.32

Polarisasi koalisi tersebut tak hanya terjadi pada saat pemilihan presiden

namun juga berdampak pada pembelahan yang terjadi di DPR dan berujung pada

kegaduhan politik dalam rangkaian sidang paripurna sebelum dan sesudah

pemilihan presiden. Tabel dibawah ini adalah komposisi koalisi di DPR pasca

pemilu 2014.

Tabel III.B.2

Polarisasi Dua Koalisi di DPR setelah Pileg 2014 dan Sebelum Pilpres 2014

Koalisi Indonesia Hebat Koalisi Merah Putih

PDI-P: 109 Kursi Golkar: 91 Kursi

PKB: 47 Kursi Gerindra: 73 Kursi

Nasdem: 35 Kursi PAN: 49 Kursi

Hanura: 16 Kursi PKS: 40 Kursi

Demokrat: 61 Kursi*

PPP: 39 Kursi*

Total: 207 Total: 353

Sumber: Diolah dari kpu.go.id

*PPP: Seiring berjalannya waktu, PPP memutuskan untuk pindah ke Koalisi

Indonesia Hebat saat proses pemilihan pimpinan MPR pada tanggal 6 Oktober

2014 sehingga total Koalisi Indonesia Hebat memiliki 246 kursi di DPR atau

sekitar 43,9%

*Demokrat: terjadi perdebatan mengenai posisi Partai Demokrat dalam arah

koalisi saat Pilpres. Namun demi kepastian klasifikasi, penulis memasukan Partai

Demokrat ke dalam Koalisi Merah Putih. Karena sebagian besar pengurus dan

anggota Partai Demokrat juga banyak yang memberikan arahan dukungannya

kepada KMP, meskipun SBY secara pribadi tidak mendeklarasikan diri untuk

mengarahkan dukungan partainya ke KMP. Hal ini sebagai dampak dari

penolakannya Megawati terhadap pendekatan yang dilakukan oleh SBY.

32

“Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat,” Jawa Post , 6 Oktober 2014

http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/7798/Koalisi-Merah-Putih-vs-Indonesia-Hebat Diunduh

pada 5 April 2015.

Page 81: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

66

Sehingga penulis mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian dari KMP

atau diluar pemerintahan. Lihat wawancara Ulil Abshar Abdalla.

Polarisasi dua koalisi tersebut tidak saja terjadi pada anggota legislatif

terpilih periode 2014-2019 namun juga terjadi pada anggota legislatif periode

2009-2014 di masa-masa akhir setelah pemilihan legislatif 2014 dan sebelum

pelantikan anggota DPR terpilih periode 2014-2019 tanggal 20 Oktober 2014.33

Tak pelak hal tersebut memicu kekhawatiran, salah satu kekhawatiran

disampaikan oleh Abdul Kadir Karding, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa yang

dalam sidang paripurna revisi UU MD3 tanggal 8 Juli 2014 mengatakan:

“Pada kesempatan yang baik ini saya ingin menyampaikan beberapa hal

yang menjadi kerisauan pribadi saya terhadap keadaan-keadaan terutama

menjelang Pilpres. Tentu kita ingin Pilpres kita ke depan adalah Pilpres

yang damai, Pilpres yang tenteram, yang tidak mencederai dan melukai

kualitas demokrasi kita. Saya agak kaget ketika ada pernyataan dari Kepala

Staf Angkatan Darat, yang di salah satu media mengatakan bahwa kalau

Pilpres ini perbedaannya dibawah 5% maka bisa kita tafsirkan akan terjadi

sesuatu yang kita tidak inginkan. Saya kira ini sesuatu yang tidak patut

dan tidak pantas untuk disampaikan oleh institusi manapun. Apalagi mohon

maaf, kita melihat bahwa menurut Undang-Undang Dasar kita, Undang-

undang TNI kita, Undang-undang Kepolisian kita bahkan Undang-undang

Pemilihan Umum dan Pilpres kita bahwa sesungguhnya yang punya

kewenangan besar terhadap persoalan-persoalan keamanan adalah Polri.” 34

Polarisasi koalisi yang terbentuk berdasarkan dukungan pilpres merambah

pada pembahasan Revisi UU Pilkada, Revisi UU MD3 dan Revisi Tatib DPR

yang terjadi pada saat setelah pemilihan legislatif dan sebelum pemilihan presiden

2014. Koalisi Merah Mutih yang memiliki kekuatan lebih dari 50% di DPR

33

Terjadi tiga kali sidang paripurna DPR RI setelah pelaksanaan pemilihan legislatif dan

sebelum pemilihan presiden. Sidang tersebut diantaranya membahas revisi UU MD3, revisi UU

Pilkada dan revisi UU tatib DPR. Peserta dalam sidang paripurna tersebut adalah anggota legislatif

periode 2009-2014 namun terpolarisasi kuat berdasarkan arah dukungan pilpres. 34

Risalah Sidang Paripurna DPR-RI, Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan

terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun

2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014), 9.

Page 82: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

67

membuat Koalisi Indonesia Hebat selalu kalah dalam rangkaian sidang paripurna

yang saat itu masih diisi oleh keanggotaan legislatif periode 2009-2014.35

Sehingga itu yang membuat potensi divided goverment semakin besar pada

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

1. Pemilihan Pimpinan Dewan Pimpinan Rakyat Periode 2014-2019

Tak lama setelah anggota DPR periode 2014-2019 dilantik, kegaduhan

DPR-RI dimulai saat sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR digelar di hari

pertama. Upaya terselenggaranya sidang paripurna di hari pertama digagas oleh

Koalisi Merah Putih, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat berusaha untuk tidak

menyelenggarakan sidang paripurna di hari pertama setelah dilantik dengan alasan

terlalu tergesa-gesa.36

Dengan segala pro-kontranya akhirnya sidang paripurna

pemilihan pimpinan DPR RI diselenggarakan di hari pertama. Dengan berbagai

dinamika yang ada, Koalisi Indonesia Hebat memutuskan untuk walk-out.37

Meski

demikian, pengesahan pimpinan DPR tetap dilakukan. Tabel berikut adalah hasil

sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR-RI tanggal 1-2 Oktober 2014

Tabel III.B.1.1

Hasil Sidang Paripurna Pemilihan Pimpinan DPR-RI 2014-2019

Jabatan Nama Pimpinan

Ketua Setya Novanto (Golkar)

Wakil Ketua 1 Agus Hermanto (Demokrat)

35

“Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat,” Jawa Post, 6 Oktober 2014. 36

“Kronologi Pemilihan Pimpinan DPR yang Tergesa-gesa,” Tempo, 02 Oktober 2014 .

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/02/078611381/Kronologi-Pemilihan-Pimpinan-DPR-

yang-Tergesa-gesa. Diunduh pada 2 Desember 2014. 37

“Nasdem, PDI P, Hanura, PKB "Walk Out,” Kompas, 02 Oktober 2014,

http://nasional.kompas.com/read/2014/10/02/02595871/Nasdem.PDI.P.Hanura.PKB.Walkout

Diunduh pada 16 Februari 2014.

Page 83: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

68

Wakil Ketua II Taufik Kurniawan (PAN)

Wakil Ketua III Fadli Zon (Gerindra)

Wakil Ketua IV Fahri Hamzah (PKS)

Sumber: www.dpr.go.id

Berdasarkan hasil sidang paripurna DPR RI tanggal 2 Oktober 2014, maka

komposisi pimpinan DPR-RI dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Namun,

berhubung tingginya tensi politik saat itu dan ada perasaan tidak menerima

kekalahan dalam proses pimpinan DPR, Koalisi Indonesia Hebat dalam

keterangan persnya pada tanggal 29 Oktober 2014 mengatakan akan membentuk

pimpinan DPR tandingan. Alasan dibentuknya DPR Tandingan, menurut Arif

Wibowo, Politisi PDI-Perjuangan, merupakan mosi tak percaya terhadap

kepemimpinan DPR RI yang saat ini dikuasai oleh politikus dari KMP.38

Koalisi Indonesa Hebat akhirnya membentuk pimpinan DPR tandingan pada

31 Oktober 2014. Pemilihan dilakukan oleh lima fraksi, yakni PDIP, Hanura,

PKB, Nasdem, dan PPP. PPP yang awalnya masuk dalam Koalisi Merah Putih,

saat pemilihan paket pimpinan MPR mengubah haluannya dengan bergabung

dengan Koalisi Indonesia Hebat pada tanggal 7 Oktober 2014.39

. Hal tersebut

dikarenakan terjadi kegaduhan di internal partai dengan adanya pengurus PPP

yang tak setuju partainya bergabung dengan Koalisi Merah Putih.40

38

“KIH Putuskan Bentuk DPR - RI Tandingan,” Jawa Post, 29 Oktober 2014.

http://www.jpnn.com/read/2014/10/29/266679/KIH-Putuskan-Bentuk-DPR-RI-Tandingan-.

Diunduh pada 30 November 2014. 39

“Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,” Liputan 6, 11 Oktober 2014.

http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada

5 April 2015. 40

Salah satu yang tak setuju PPP bergabung dengan Koalisi Merah Putih yakni Sekjen

Romahurmuziy, yang jengkel lantaran kadernya tidak disertakan dalam paket pimpinan MPR versi

Koalisi Merah Putih (KMP). Namun Suryadharma Ali selaku Ketua Umum PPP tetap mendukung

Page 84: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

69

Komposisi pimpinan DPR versi KIH yakni Ketua DPR diisi oleh Ida

Fauziah (Fraksi PKB), Sebagai wakil Ketua DPR RI diantaranya Effendi

Simbolon (Fraksi PDI-Perjuangan), Syaifullah Tamliha (Fraksi PPP), Patrice Rio

Capella (Fraksi Nasdem) dan Dossy Iskandar (Fraksi Hanura).41

Sehari setelah

pimpinan DPR versi KIH dibentuk, pada tanggal 3 November 2014 mereka

langsung menggelar rapat konsultasi dengan agenda menentukan komposisi

pimpinan untuk alat kelengkapan dewan (AKD) DPR. Rapat ini dihadiri 5 fraksi

yang tergabung di dalam KIH, yakni Fraksi PDIP, Fraksi Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB), Fraksi Partai Nasdem, Partai Hanura plus Fraksi Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy.42

Meskipun keberadaan pimpinan

DPR versi KIH dalam pelaksanaan sidangnya tidak fasilitasi secara penuh dari

Sekretariat Jendral DPR-RI.43

Terkait dengan munculnya polarisasi kekuatan tersebut dan berdampak pada

terbelahnya DPR dianggap sebagai akibat panjang dari sistem presidensialisme

multipartai, seperti yang diungkapkan oleh Khatibul Umam Wiranu, Wakil Ketua

Komisi II DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat periode 2009-2014 memberikan

komentarnya:

Koalisi Merah Putih. Lihat, “Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,” Liputan 6, 11 Oktober

2014. 41

“KIH Putuskan Bentuk DPR – RI Tandingan,” Jawa Post, 29 Oktober 2014. 42

“Ini Komposisi Pimpinan AKD DPR Tandingan versi KIH,” Liputan 6, 3 November

2014. http://news.liputan6.com/read/2128524/ini-komposisi-pimpinan-akd-versi-dpr-tandingan-

kih. Diunduh pada 1 Desember 2014. 43

“Tak Dilayani, KIH Juga Akan Sampaikan Mosi Tidak Percaya Kepada Sekretariat

Jendral DPR RI,” Kompas, 31 Oktober 2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/11/

04/16592821/Tak.Dilayani.KIH.Juga.Akan.Sampaikan.Mosi.Tidak.Percaya.kepada.Setjen.DPR

Diunduh pada 12 Januari 2015.

Page 85: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

70

“Polarisasi dua kekuatan di Parlemen yang tercermin dalam pemilihan

Pimpinan DPR/MPR merupakan konsekuensi dari sistem presidensial

multipartai. Koalisi Indonesia Hebat menjadi korban sistem tersebut.” 44

Polarisasi tersebut memiliki dampak yang sangat buruk bagi berjalan atau

tidaknya fungsi DPR. Karena dengan adanya dualisme kepemimpinan DPR, maka

rapat-rapat di DPR tidak bisa berjalan dalam proses pengambilan keputusan.45

Karena berdasarkan Tata Tertib DPR, dalam Pasal 281 maupun Pasal 284

Ayat 1 tertera bahwa pengambilan keputusan DPR melalui musyawarah mufakat

ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, jika didapat melalui forum rapat

yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251, bahwa

pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas

lebih dari separuh unsur fraksi yang ada.46

Jika dilihat melalui mekanisme kuorum maka DPR dapat mengambil

keputusan sah jika dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Aturan tersebut

tidak bisa dipenuhi dikarenakan PPP yang semula bergabung ke Koalisi Merah

Mutih berpindah ke Koalisi Indonesia Hebat, sehingga polarisasi di DPR semakin

sengit dengan kedua kubu sama-sama memiliki lima fraksi. Melalui aturan yang

tertera dalam tata tertib DPR pasal 254 dan 251, membuat keberadaan dualisme

kepemimpinan DPR berakibat pada ketidakmampuan DPR dalam menjalankan

44

“KMP Dominan di Parlemen Harus Direspon Dewasa,” Inilah.com, 9 Oktober 2014.

http://nasional.inilah.com/read/detail/2143151/kmp-dominan-di-parlemen-harus-direspon-dewasa.

Diunduh pada 1 Desember 2014. 45

“DPR Lumpuh, Pemerintahan Tersandera,” Jawa Post, 31 Oktober 2014

http://www.jawapos.com/baca/artikel/8669/DPR-Lumpuh-Pemerintahan-Tersandera Diunduh

pada 1 Desember 2014. 46

“Peraturan Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repubik Indonesia,”

Sekretariat Jenderal DPR-RI, http://www.dpr.go.id/uu/appbills/RUU_PERATURAN_DPR_R

I_TTG_TATA_TERTIB.pdf Diunduh pada 28 Desember 2014.

Page 86: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

71

tugas dan fungsinya.47

Sebelum akhirnya kedua kelompok sepakat untuk berdamai

pada tanggal 15 November 2014 dalam pertemuan yang diwakili kedua pihak

yakni Pramono Anong mewakili Koalisi Indonesia Hebat dan Hatta Rajasa

mewakili Koalisi Merah Putih. 48

Perdamaian kedua kelompok menghasilkan

kesepakatan mengenai kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang sebanyak 21

kursi diserahkan kepada Koalisi Indonesia Hebat.49

Meskipun begitu, kursi

pimpinan DPR tetap dipegang oleh Koalisi Merah Putih dengan kekuatan

mayoritasnya. Dengan begitu maka tidak berubah posisi Joko Widodo – Jusuf

Kalla sebagai Presiden dengan dukungan minoritas di legislatif.

2. Pemilihan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2014-2019

Tak berbeda dengan proses pemilihan pimpinan DPR, saat pemilihan

pimpinan MPR juga mengalami polarisasi antara Koalisi Indonesia Hebat dan

Koalisi Merah Putih. Namun sedikit berbeda saat PPP memutuskan untuk

bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat dikarenakan partainya tidak disertakan

dalam paket pencalonan pimpinan MPR oleh Koalisi Merah Putih.50

47

“DPR Lumpuh, Pemerintahan Tersandera,” Jawa Post, 31 Oktober 2014

http://www.jawapos.com/baca/artikel/8669/DPR-Lumpuh-Pemerintahan-Tersandera Diunduh

pada 1 Desember 2014. 48

“Siang Ini, KMP dan KIH Teken 5 Poin Kesepakatan Damai,” Kompas, 11 November

2015.http://nasional.kompas.com/read/2014/11/17/07225241/Siang.Ini.KMP.dan.KIH.Teken.5.Poi

n.Kesepakatan.Damai. Diunduh pada 15 April 2015. 49

Koalisi Indonesia Hebat mendapatkan 21 kursi AKD yang kemudian dibagi berdasarkan

perbandingan kursi partai-partai KIH di DPR. PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak mendapatkan

10 kursi, PKB mendapat 5 kursi, adapun Hanura dan Nasdem mendapat 3 kursi. Lihat, “Setelah

Islah, KIH dapat 21 Kursi AKD di DPR,” Kompas, 9 Januari 2015.

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/19/15013011/Setelah.Islah.KIH.dapat.21.Kursi.AKD.di.

DPR diunduh pada 15 April 2015. 50

“Pemilihan Ketua MPR,” BBC News, 14 Oktober 2014

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/10/141007_mpr_ketua. Diunduh pada 30

November 2014.

Page 87: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

72

MPR sebagai lembaga just session antara DPR dan DPD dalam proses

pemilihan pimpinannya juga melibatkan kedua lembaga tersebut yakni DPR dan

DPD. Dalam proses pencalonan paket pimpinannya pun juga diharuskan

melibatkan perwakilan dari DPD, sebagaimana yang tertera dalam Tatib MPR

pasal 21 ayat (1) yang berbunyi: “Bakal calon Pimpinan MPR berasal dari

Fraksi dan Kelompok DPD disampaikan di dalam Sidang Paripurna MPR”.

Berdasarkan aturan tersebut, maka komposisi Pimpinan MPR adalah kombinasi

antara DPR dengan DPD sebagaimana yang tertuang dalam tabel dibawah

mengenai paket calon pimpinan MPR-RI periode 2014-2019 baik dari Koalisi

Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih yang berhasil dimenangkan oleh Koalisi

Merah Putih dengan perolehan 347 dari total 677 Suara.51

Tabel III.B.2.1

Komposisi Paket Calon Pimpinan MPR-RI 2014-2019

Jabatan Paket A

Koalisi Indonesia Hebat

Paket B

Koalisi Merah Putih

Ketua Oesman Sapta Odang Zulkifli Hasan (PAN)

Wakil Ketua 1 Ahmad Basarah (PDI-P), Mahyudin (Golkar)

Wakil Ketua II Imam Nachrawi (PKB) EE Mangindaan (Demokrat),

Wakil Ketua III Patrice Rio Capella

(Nasdem)

Hidayat Nur Wahid (PKS),

Wakil Ketua IV Hasrul Azwar (PPP) Oesman Sapta Odang (DPD).

Hasil Voting 330 suara 347 suara

Sumber: www.mpr.go.id

Kekalahan Koalisi Indonesia Hebat dalam sidang paripurna pemilihan

pimpinan MPR-RI melengkapi seluruh rangkaian kekalahan yang sebelumnya

51

“KMP Dapat Bonus 41 Suara dalam Pemilihan Pimpinan MPR,” Kompas, 9 Oktober

2014”http://nasional.kompas.com/read/2014/10/08/16394541/Fahri.Klaim.KMP.Dapat.Bonus.41.S

uara.dalam.Pemilihan.Pimpinan.MPR. Diakses pada 5 April 2015.

Page 88: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

73

Koalisi Indonesia Hebat juga kalah dalam pembahasan revisi UU MD3, revisi

Tatib DPR, revisi UU Pilkada dan pemilihan pimpinan DPR-RI sebelum akhirnya

keduanya sepakat berdamai pada tanggal 17 November 2014.52

Fenomena

tersebut semakin memperkokoh posisi Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan

kekuatan minoritas di legislatif. Pasalnya Koalisi Indonesia Hebat sebagai

penguasa eksekutif gagal mendapatkan pengaruh besar di lembaga legislatif yang

faktanya justru dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah dan terjadi divided

government. Menurut Thomas Pepinsky, pada umumnya munculnya divided

government lebih karena persoalan keberagaman ideologi dan kepentingan

masyarakat, namun dalam konteks Indonesia, divided government terjadi karena

strategi dari kelompok elite yang berusaha untuk melemahkan pemerintahan.53

Seperti yang dilakukan oleh DPR ketika melakukan revisi UU MD3 yang

membuat pimpinan DPR dan MPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai

pemenang pemilu.

C. Konfigurasi Politik Pemilihan Presiden 2014

Persaingan tidak hanya di pemilihan legislatif, pada 9 Juli 2014 dilakukan

pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam

bab II, pemilihan presiden adalah ciri khas dalam sistem presidensial yang

berupaya diperkuat dalam proses kelembagaan di Indonesia di era reformasi.

Presiden dalam sistem presidensial bertugas sebagai kepada negara dan kepala

52

Shanti Dwi Kartika, “Kesepakatan KMP-KIH dan Revisi UU MD3,” Info singkat Hukum

Vol. VI, No. 22/II/P3DI (November 2014): 1. 53

Wawancara dengan Thomas Pepinsky, Asisten Professor studi Asia Tenggara dan

Direktur Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, AS, tanggal 12 Februari 2015.

Page 89: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

74

pemerintahan, berbeda dengan sistem parlementer yang mana keduanya

diposisikan secara terpisah.54

Begitu besarnya wewenang Presiden dalam sistem

presidensial maka tidak menutup kemungkinan proses pemilihan Presiden

menyedot perhatian banyak pihak.

Dalam konteks Indonesia, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur

dalam UU No 42 Tahun 2008. Di dalam pasal 9 disebutkan bahwa pemilihan

presiden berlaku aturan ambang batas presiden (presidential threshold) bagi setiap

pihak yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, sebagaimana yang tertuang

dalam Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008. Berikut adalah bunyi pasal yang dimaksud:

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik

peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit

20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua

puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR,

sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” 55

Karena hasil pemilihan legislatif 2014 tidak ada satu partai yang mencapai syarat

ambang batas presiden, sehingga tidak ada partai politik yang bisa mencalonkan

Presiden dan Wakil Presiden secara tersendiri, maka instrument koalisi menjadi

penting guna memenuhi syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.56

Dalam konteks sistem presidensialisme di Indonesia, keberadaan koalisi

tidak bisa diabaikan, mengingat Indonesia juga menganut sistem multipartai yang

memungkinkan partai politik untuk menyatukan kekuatan guna memenuhi syarat

54

Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Form and Performance in Thirty Six

Countries, (New Haven and London: Yale University Press, 1999), 117. 55

Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Presiden

dan Wakil Presiden. https://www.mahkamahagung.go.id/images/pdp/uu_42_2008.pdf Diunduh

pada 3 Maret 2015. 56

Koalisi diperuntukan untuk memenuhi syarat presidential threshold paling sedikit 20%

dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR

yang tertera dalam UU No 42 Tahun 2008 Tentang Presiden dan Wakil Presiden.

Page 90: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

75

presidential threshold dalam proses pemenangan calon presiden, di lain sisi

berdasarkan hasil pemilihan legislatif 2014 tak ada satupun partai politik yang

mendapatkan suara nasional diatas 20%. Oleh karena itu mekanisme koalisi

menjadi keharusan guna memenuhi syarat administratif proses pencalonan

Presiden. Mengenai kritik terhadap keberadaan koalisi karena identik dengan

sistem parlementer, penulis sudah menjabarkan hal tersebut dalam bab II.

Koalisi yang dibangun saat pilpres melahirkan polarisasi dua kubu pasangan

calon, yakni Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla

dan Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.

Berikut adalah komposisi kekuatan kedua koalisi tersebut berdasarkan hasil

pemilihan legislatif 2014:

Tabel III.C.1

Komposisi Koalisi Indonesia Hebat & Koalisi Merah Putih Saat Pemilihan

Presiden 2014

Koalisi Indonesia Hebat

(Joko Widodo - Jusuf Kalla)

Koalisi Merah Putih

(Prabowo – Hatta)

PDI-P: 23.681.471 (18,95%) Golkar: 18.432.312 (14,75%)

PKB: 11.298.957 (9,04%) Gerindra: 14.760.371 (11,81%)

Nasdem: 8.402.812 (6,7%) PAN: 9.481.621 (7,59%)

Hanura: 6.579.498 (5,26%) PKS: 8.480.204 (6,7%)

PKPI: 1.143.094 (0,91%) PPP: 8.157.488 (6,53%)

Demokrat: 12.728.913 (10,19%)

PBB: 1.825.750 (1,46%)

Total: 40,86 Total: 59,03 %

Sumber: diolah dari kpu.go.id

Berdasarkan tabel di atas, Koalisi Merah Putih memiliki kekuatan mayoritas

di legislatif dengan 59,03%. Proses penentuan sikap partai politik dalam

menentukan arah koalisi cenderung alot, misalnya Partai Demokrat yang awalnya

Page 91: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

76

mengaku akan menjadi penyimbang dan tidak memihak pada kedua pihak

akhirnya melakukan deklarasi dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Hatta.57

Dukungan dari Partai Demokrat membuat pasangan Prabowo-Hatta kala itu

semakin berada di atas angin dengan tingginya dukungan di legislatif. Melalui

pembelahan dukungan tersebut, maka sejak awal proses pemilihan presiden,

pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla adalah pasangan calon dan wakil presiden

yang tidak memiliki dukungan mayoritas ( single majority 50% + 1) di legislatif.

Namun, karena Indonesia menganut sistem presidensialisme yang memiliki

ciri bahwa pemilihan presiden dilakuan secara langsung oleh rakyat sehingga

besarnya dukungan di legislatif tidak akan mempengaruhi proses pemilihan

presiden.58

Dengan dukungan legislatif yang tak mencapai single majority

(50%+1), pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan Pilpres

2014.59

Berikut adalah tabel perolehan persentase suara pemilihan presiden 2014:

Tabel III.C.2

Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014

Norut Pasangan Total Suara Persentase

1 Prabowo Subianto – Hatta Rajasa 62.576.444 46,85%

2 Joko Widodo – Jusuf Kalla 70.997.833 53,15%

Sumber: kpu.go.id

57

“Partai Demokrat Resmi Dukung Prabowo-Hatta,” Kompas, 30 Juni 2014,

http://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/1659074/partai.demokrat.resmi.dukung.prabowo-

hatta. Diunduh pada 30 November 2014. 58

C.F Strong, “Modern Political Constitutions,” dalam Sulardi, “Presidensiil Dengan

Sistem Multi Partai,” Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi Universitas Muhamamdiyah

Malang, Vol lll, No 2. (November 2010): 16. 59

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014

tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden 2014,” Komisi Permilihan Umum Republik Indonesia,

http://www.kpu.go.id/koleksigambar/SK_KPU_535_227201 4.pdf. Diunduh pada 1 Desember

2014.

Page 92: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

77

Meskipun tidak memperoleh dukungan mayoritas dari partai politik,

pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan presiden adalah

bukti bahwa sistem presidensial berhasil dikuatkan dalam amanat reformasi,

karena pasangan presiden terpilih adalah mereka yang memperoleh dukungan

sepenuhnya dari rakyat secara langsung. Selanjutnya ini adalah pengalaman

pertama di Indonesia bahwa partai pemenang pengusung pasangan calon

Presiden-Wakil Presiden tidak saling menentukan arah koalisi baru dalam

pembentukan pemerintahan selanjutnya setelah pemilu berakhir.60

Yang terjadi

setelah Pemilu 2014 berakhir sampai proses pembentukan kabinet pemerintahan,

justru kedua koalisi saling menunjukan kesolidannya.

Kesolidan masing-masing partai politik dalam menentukan arah koalisi

kerap kali dipandang sebagai hal temporal, mengingat di dalam tubuh partai

politik itu sendiri juga terdapat banyak faksi yang menyuarakan pendapat yang

berbeda dengan petinggi partai politik. Misalnya yang terjadi dalam Partai Golkar

yang beberapa kadernya justru mendeklarasikan dukungannya terhadap Joko

Widodo – Jusuf Kalla, padahal secara kelembagaan dukungan Golkar mengarah

pada pasangan Prabowo – Hatta. Seperti yang dilakukan oleh politisi Golkar,

Indra J Piliang yang mengatakan:

60

Tahun 2014 ini adalah kali pertama terbangunnya koalisi saat proses pemenangan pilpres

dan koalisi pemerintahan tak ada ubahnya. Berbeda dengan proses pembentukan koalisi

pemerintahan pasca pemilu 2004 dan pemilu 2009. Misalnya pada tahun 2004, koalisi

pemenangan pilpres yang dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono hanyalah berjumlah 33,3 %

dari suara pileg, namun pada saat membangun koalisi pemerintahan, SBY berhasil mengakomodir

partai-partai hingga mencapai angka koalisi sebesar 63,8% begitu juga pada pemilu tahun 2009,

SBY yang hanya mengantongi dukungan koalisi sebesar 26,8 % saat pilpres berhasil membangun

koalisi dengan banyak artai hingga mencapai 75,5 % kekuatan di legislatif.

Page 93: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

78

“Saya mendukung Jokowi-JK karena ada beberapa alasan. alasan pertama

saya adalah seharusnya yang capres diusung oleh partai adalah kader

Golkar. Dan ini adalah hasil dari penafsiran saya kepada hasil rapimnas

Golkar. Karena kan hasil rampimnas golkar diantaranya: (1) Mengajukan

ARB sebagai capres atau cawapres (2) memberikan mandat kepada ARB

untuk melakukan komunikasi politik guna mencapai acuan diatas (3) apabila

keduanya atak terpenuhi maka hasil rapimnas batal. Nah tafsiran saya

adalah mandat penuh yang diemban oleh ARB adalah menjadi caprres atau

cawapres. Nah ketika ARB tak menjadi capres atau cawapres maka saya tak

perlu lagi mematuhi hasil rapimnas. Oleh karenanya saya memiliki Jokowi-

JK yang mana Pak JK adalah kader Partai Golkar.” 61

Adanya sebagian pengurus partai yang mengarahkan dukungannya secara

berbeda dengan sikap partai membuat kesolidan koalisi dalam sistem presidensial

di Indonesia menjadi hal yang dipertanyakan, hal ini sebagaimana yang paparkan

oleh Jose Antonio Cheibub bahwa koalisi dalam sistem presidensial dipandang

tidak stabil bila dibanding dalam sistem parlementer,62

sebagaimana yang sudah

dijelaskan dalam bab II.

Selain itu, Presiden dalam sistem presidensialisme memiliki hak prerogatif

dalam menyusun kabinetnya tanpa adanya campur tangan DPR. Sebagaimana

yang sudah dilakukan, Joko Widodo – Jusuf Kalla sudah menentukan postur

kabinetnya yang terdiri atas 34 Menteri. Proses pemilihan Menteri melibatkan

Tim Transisi JKW-JK guna melakukan selektifitas dan masukan mengenai

kriteria-kriteria ideal terhadap para calon Menteri namun dalam menentukan

komposisi perseorangan kembali diserahkan kepada Presiden.63

Susunan kabinet

61

Wawancara dengan Indra J. Piliang, Ketua DPP Golkar bid. Penelitian dan

Pengembangan/Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, tanggal 27 Maret

2015. 62

Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime

Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual

Review of Political Science, 2002, 4. 63

Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi

Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015.

Page 94: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

79

pemerintah merupakan kombinasi antara profesional dan partai politik yang

menempatkan 15 menteri di isi oleh kalangan partai politik guna melengkapi

feedback koalisi dan 19 menteri diisi oleh kalangan non partai. Selain itu, Joko

Widodo juga menghapus posisi Wakil Menteri kecuali pada Kementerian Luar

Negeri dan Kementerian Keuangan.64

Berikut adalah susunan kabinet

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Tabel III.C.3

Komposisi Kabinet Kerja Jokowi - JK

No Nama Jabatan Asal

1 Tedjo Edhy Purdijatno Menkopolhukam Nasdem

2 Sofyan Djalil Menko Perekonomian Non-Partai

3 Indroyono Susilo Menko Kemaritiman Non-Partai

4 Puan Maharani Menko Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan

PDI-P

5 Pratikno Mensesneg Non-Partai

6 Tjahjo Kumolo Mendagri PDI-P

7 Retno Lestari Menlu Non-Partai

8 Ryamizard Ryacudu Menteri Pertahanan Non-Partai

9 Yasonna Laoly Menkumham PDI-P

10 Bambang Brodjonegoro Menteri Keuangan Non-Partai

11 Sudirman Said Menteri ESDM Non-Partai

12 Saleh Husin Menteri Perindustrian Hanura

13 Rachmat Gobel Menteri Perdagangan Non-Partai

14 Amran Sulaiman Menteri Pertanian Non-Partai

15 Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup Nasdem

16 Ignasius Jonan Menteri Perhubungan Non-Partai

17 Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan

Perikanan

Non-Partai

18 Hanif Dhakiri Menteri Ketenagakerjaan PKB

19 Marwan Jaf‟ar Menteri Desa, PDT PKB

20 Basuki Hadiuljono Menteri Pekerjaan Umum

& Perumahaan Rakyat

Non-Partai

64

Untuk Wakil Menteri Luar Negeri diisi oleh AM Fachir dan Wakil Menteri Keuangan

diisi oleh Mardiasmo. Lihat, “Selain Menteri, Jokowi Juga Lantik 2 Wakil Menteri,” Metro TV, 27

Oktober 2014 http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/27/310721/selain-menteri-jokowi-juga-

lantik-2-wakil-menteri. Diunduh pada 23 April 2015.

Page 95: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

80

21 Nila Djuwita F. Moeloek Menteri Kesehatan Non-Partai

22 Anis Baswedan Menteri Pendidikan &

Kebudayaan

Non-Partai

23 Muhammad Nasir Menteri Riset, Teknologi &

Pendidikan Tinggi

Non-Partai

24 Khofifah Indar Parawansa Menteri Sosial PKB

25 Lukman H. Saifuddin Menteri Agama PPP

26 Arief Yahya Menteri Pariwisata Non-Partai

27 Rudiantara Menkominfo Non-Partai

28 Agung Gede Ngurah

Puspayoga

Menteri Koperasi & UKM PDI-P

29 Yohana Yambise Menteri Pemberdayaan

Perempuan & Perlindungan

Anak

Non-Partai

30 Yuddy Chrisnandi Menteri PAN & RB Hanura

31 Andrinof Chaniago Menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional

Non-Partai

32 Ferry Mursyidan Baldan Menteri Agraria & Tata

Ruang

Nasdem

33 Rini Soemarno Menteri BUMN PDI-P

34 Imam Nahrawi Menpora PKB

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Page 96: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

81

BAB IV

ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI EKSEKUTIF-

LEGISLATIF PEMERINTAHAN JOKO WIDODO - JUSUF KALLA

Pada bab ini, penulis akan menganalisis faktor yang memicu terjadinya

divided government melalui pendekatan koalisi presidensial dan menganalisis

proses relasi eksekutif-legislatif yang terjadi dalam pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla, terhitung mulai sejak Presiden dilantik pada tanggal 20 Okrober 2014

sampai keluarnya Golkar dari Koalisi Merah Putih pada Maret 2015, atau yang

penulis sebut sebagai periode divided government.1 Analisis yang dibangun oleh

penulis menekankan kontinuitas dan konvergensi dari waktu ke waktu, mengingat

unit analisis dalam penelitian ini tergolong relatif sedang berjalan.

A. Divided Government dalam Pendekatan Koalisi Presidensial

Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II, mengenai tiga periodesasi studi

presidensialisme yang dipaparkan oleh Robert Elgie bahwa pemetaan studi

presidensialisme telah mengalami perkembangan yang cukup mendalam jika

1 Pembatasan periode tersebut diambil berdasarkan konsepsi divided government itu sendiri,

sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa melalui pendekatan koalisi presidensial,

divided government terjadi ketika eksekutif tidak mendapatkan dukungan lebih dari 50% kursi di

Legislatif. Sedangkan dalam kasus konflik internal Partai Golkar yang membuat Agung Laksono

mengambil alih otoritas dalam Golkar dari yang sebelumnya dipimpin oleh Aburizal Bakrie

berdasarkan SK Menkumham Nomor: M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 dan keputusan

ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Kemenangan kubu Agung Laksono tersebut membuat Golkar

menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih. Terlepas dari dualisme kepengurusan yang terjadi di

internal Golkar, penulis mengacu pada mekanisme hukum yang tertera dalam UU No 2 Tahun

2011 tentang Perubahan atas UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4

bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian

Hukum dan HAM, terlepas dari pertimbangan politik yang melatarbelakangi keputusan

Menkumhan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut maka relasi eksekutif dan legislatif sudah

tidak lagi menunjukan konsep divided government. Meskipun, terlepas dalam perkembangannya,

SK Menkumham tersebut ditunda seiring diterimanya gugatan Aburizal Bakrie di PTUN pada

tanggal 18 Mei 2015, meskipun putusan PTUN tersebut bukan keputusan yang bersifat Inkracht.

Page 97: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

82

dibandingkan dengan studi-studi di tahun 1990-an. Jika perdebatan di sekitar

tahun 1990-an lebih karena persoalan bahaya sistem presidensial secara

kelembagaan, seperti tesis Juan Linz yang mengatakan bahwa sistem presidensial

adalah sistem yang berbahaya karena menciptakan konflik kelembagaan antara

eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih oleh rakyat.2 Atau penjelasan

Manwaring yang lebih mendetail terkait sistem multipartai yang menjadi

penyebab complicated dalam sistem presidensial.3 Meskipun penjelasan

Manwaring lebih mendalam karena berhasil menarik sistem kepartaian dalam

studi presidensialisme, kesimpulan yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut kurang

lebih sama, yakni sistem presidensialisme merupakan sistem yang kurang

kondusif dalam menciptakan efektivitas pemerintahan, meskipun Mainwaring

menggarisbawahi sistem multipartai sebagai faktor utama penyebab sulitnya

sistem presidensialisme, hal berbeda apabila sistem presidensialisme

dikombinasikan dengan sistem dwiparty atau triparty.4

Berbeda dengan kesimpulan dua tokoh tersebut, pendekatan terbaru dalam

studi presidensialisme saat ini lebih difokuskan melalui perilaku aktor dalam

membangun koalisi presidensial sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II

bahwa pendekatan koalisi presidensial inilah yang nantinya akan menentukan

muncul atau tidaknya suatu divided government. Menurut pendukung tesis koalisi

2 Juan Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990):

62. 3 Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, “Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A

Critical Appraisal,” The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre

Dame, Working Paper No 200, Juli 1993, 26. 4 Mainwaring dan Shugart, “Juan Linz, Presidentialism,” 26. Lihat juga wawancara dengan

Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survey

Opini Publik Indonesia (PERSEPI), tanggal 3 Maret 2015.

Page 98: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

83

presidensial, adanya bangunan partai koalisi pemerintah (the ruling coalition

parties) yang mencapai single majority menjadi hal penting guna mengamankan

agenda-agenda eksekutif dan menghindari deadlock jika berhadapan dengan

legislatif.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub yang sudah

dijelaskan dalam bab II, bahwa potensi deadlock itu terjadi apabila presiden tidak

bisa mencapai batas single majority (50% +1) dukungan di legislatif. Untuk

mencapai angka tersebut, tentu koalisi tidak akan tercapai tanpa adanya power

sharing yang dihadapkan kepada banyak partai.5 Hal itu menjadi konsekuensi

sebagai feedback dalam ikatan koalisi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam

gambar di bawah ini:

Gambar IV.A.1

Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial

Sumber: Cheibub, Minority President, Deadlock Situations, 21.

Dalam gambar diatas dapat dipahami bahwa untuk menghindari kondisi

opposition dominates dan deadlock situation, maka Presiden harus melakukan

akomodasi politik terhadap banyak partai di legislatif terutama untuk penguatan

5 José Antonio Cheibub, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of

Presidential Democracies,” Yale University, 3.

Page 99: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

84

struktur di kabinet pemerintahan atau spoils system (sistem bagi-bagi kursi). Hal

itu dilakukan, guna memenuhi batas minimal dukungan eksekutif di legislatif

yakni single majority (50%+1) dan mampu menghindari kebuntuan dan

problematika hubungan antara eksekutif dan legislatif sebagaimana yang

dituduhkan oleh Juan Linz dan Scott Mainwaring sebelumnya. Karena dalam

sistem multipartai, sulit bagi partainya presiden untuk mencapai lebih dari 50%

kursi di legislatif secara mandiri. Itulah sebabnya mengapa pemerintahan SBY

dalam dua periode kepemimpinan selalu mengajak partai-partai politik untuk

bergabung ke dalam koalisi di pemerintahannya.

Berbeda dengan dua periode pemerintahan SBY, pemerintahan Joko

Widodo-Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan partai koalisi pemerintah (the

ruling coalition parties) dibawah 50% yang membuat oposisi pemerintah berhasil

mendapatkan kekuatan mayoritas dan menguasai pimpinan DPR dan MPR.

Sehingga terjadi apa yang dalam literatur ilmu politik sebagai divided government

(pemerintahan terbelah). Hal tersebut senada dengan Robert Elgie yang

mengatakan bahwa peluang terjadinya divided government lebih besar terjadi

dalam sistem presidensial.6 Hal yang sama juga dipaparkan oleh Hamdi Muluk

yang mengatakan bahwa divided government lebih kental dalam resiko sistem

presidensial, dan jika berharap kecil kemungkinan menghasilkan divided

government, maka sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem dwipartai.7

Dibawah ini, penulis akan menjelaskan faktor yang memicu terjadinya divided

6 Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford

University Press Inc, 2001), 12. 7 Wawancara dengan Hamdi Muluk.

Page 100: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

85

government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla melalui pendekatan

koalisi presidensial.

Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial

Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II, pendekatan koalisi

presidensial mengharuskan adanya sikap presiden yang akomodatif dan

kemampuan komunikasi politik yang baik guna mengajak partai-partai lain untuk

bergabung ke dalam struktur pemerintahan. Hal itu tentu mendapatkan feedback

yakni dukungan pemerintah di legislatif, setidaknya untuk mencapai angka single

majority (50% + 1). Menurut pendekatan koalisi presidensial, hal ini menjadi

persoalan penting untuk menjaga relasi eksekutif dan legislatif nantinya akan

berjalan baik.

Namun, mekanisme ini yang tidak terlihat dalam proses penyusunan

arsitektur kabinet pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Terlihat dari tidak

adanya perubahan drastis dalam postur koalisi antara koalisi pemenangan presiden

dan koalisi pemerintahan, kecuali hanya masuknya PPP dari yang sebelumnya

berasal dari Koalisi Merah Putih, namun berpindahnya PPP tersebut bukan karena

kecakapan eksekutif dalam mengajak koalisi, namun lebih dikarenakan

ketidakpuasan PPP terhadap internal Koalisi Merah Putih karena tidak dilibatkan

dalam proses pencalonan pimpinan MPR.8 Terlebih pada saat itu juga terjadi

konflik di internal PPP antara kubu Romahurmuzy dengan kubu Suryadharma Ali

yang membuat PPP dengan mudah meninggalkan warisan saat dipimpin oleh

8 “Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,” Liputan 6, 11 Oktober 2014.

http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada

5 April 2015.

Page 101: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

86

Suryadharma Ali yang bergabung dengan Koalisi Merah Putih karena

Suryadharma Ali diberhentikan dari jabatan ketua umum karena tersangkut

dugaan korupsi di Kementerian Agama.9 Meskipun ditambah dengan masuknya

PPP di koalisi pemerintah, tetap tidak mencapai dukungan legislatif terhadap

eksekutif di atas single majority (50% + 1). Sehinggga oposisi pemerintah bisa

dengan mudah memenangkan proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR seperti

yang sudah dijelaskan pada bab III.

Upaya untuk memperkuat bangunan koalisi presidensial tidak terlihat dalam

proses lobby-lobby yang dilakukan eksekutif, dalam hal ini PDI-P sebagai partai

pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Hal itu disebabkan karena faktor

elit yang berkuasa, yakni Megawati yang tidak melakukan pembukaan diri

terhadap pendekatan-pendekatan yang datang dari luar, salah satunya yakni Partai

Demokrat. Ini yang menjadi penyebab kekecewaan sebagian besar petinggi Partai

Demokrat terhadap PDI-P karena seringkali pendekatan yang dilakukan oleh

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum Partai Demokrat diabaikan oleh

Megawati sebagai pemegang otoritas di PDI-P.10

Sebagimana dalam pengakuan

yang disampaikan, Ulil Abshar Abdalla mengatakan:

“SBY itu kan pada awalnya memang setuju dengan Jokowi dan ingin sekali

koalisi dengan PDIP. Hal itu tidak terwujud karena ada faktor Megawati.

SBY sangat ingin untuk damai dengan Megawati dan mengakhiri

9 Terjadi konflik di internal PPP yang diantaranya yakni terjadi aksi saling pecat antara

pimpinan partai. Setelah SDA diberhentikan dari PPP dikarenakan statusnya sebagai tersangka

dalam kasus korupsi di Kementerian Agama. Karena itu, SDA memecat balik 3 kader yang telah

memberhentikannya. Mereka adalah Wakil Ketua PPP Emron Pangkapi dan Suharso Monoarfa,

serta Sekjen PPP Romahurmuziy. Ketiganya dikeluarkan dari kepengurusan di DPP PPP sekaligus

keanggotaan. Lihat, “Suryadharma Ali Pecat Balik Para Petinggi PPP,” Liputan 6, 26 Oktober

2014 http://news.liputan6.com/read/2104613/suryadharma-ali-pecat-balik-para-petinggi-ppp,

Diunduh pada 21 April 2015. 10

Wawancara`dengan Ulil Abshar Abdalla, Ketua DPP Partai Demokrat bidang Kajian dan

Strategis Kebijakan, tanggal 5 April 2015.

Page 102: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

87

perseteruan implisit diantara kedua tokoh ini. Lagipula SBY juga realistis,

kalau misalnya ada tokoh yang tak mungkin untuk dikalahkan. Maka ya

sebaiknya kita bergabung disitu. Kan menurut survey publik saat itu Jokowi

yang paling unggul. Selain itu juga ada masalah faktor pribadi SBY yang

tak suka dengan Prabowo. Tapi pendekatan yang dilakukan oleh SBY

diabaikan oleh Megawati. Dan itu yang membuat beberapa kader Partai

Demokrat dibuat jengkel.” 11

Ini yang menjadi kritik oleh pengamat politik seperti Philips J Vermonte

terhadap sikap tertutup yang dilakukan PDI-Perjuangan dibawah komando

Megawati yang seharusnya PDI-P sebagai partai pemenang pemilu bisa bersikap

lebih progresive ketimbang defensive terhadap partai-partai lain,12

karena tidak

dipungkuri dalam sistem presidensial-multipartai, dukungan yang datang dari

partai lain menjadi penting guna melancarkan pemerintah dalam menjalankan

program kerjanya, sebagaimana yang diargumentasikan oleh William R. Liddle.

“Bagi saya, dalam sistem presidensial yang juga multi-partai seperti

Indonesia, seorang presiden memerlukan dukungan mayoritas di DPR untuk

memerintah secara efektif. Jadi masalahnya bukan polarisasi antara KIH

dan KMP, melainkan bahwa KIH bukan merupakan mayoritas di DPR.” 13

Meskipun, disadari bahwa ketertutupan Jokowi dan PDIP dalam

membangun kekuatan koalisi presidensial, juga dipengaruhi oleh partai-partai

yang mendukungnya sejak awal. Meskipun, partai yang bergabung di Koalisi

Merah Putih secara masing-masing berupaya melakukan pendekatan terhadap

Jokowi. Seperti yang yang diutarakan oleh salah satu Pokja Tim Transisi Jokowi-

JK, Wandy N. Tuturoong.

11

Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla. 12

“Laporan: Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi,” Freedom Institute, 4 Oktober 2014

http://www.freedom-institute.org/index.php?option=com_content&view=article&i d=293:laporan-

diskusi-publik-membahas-arsitektur-kabinet-jokowi&catid=52:laporan-diskusi. Diunduh pada 23

Maret 2015. 13

Wawancara dengan William R. Liddle, Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State

University, USA, tanggal 5 Februari 2015.

Page 103: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

88

“Mengapa koalisi Jokowi tak mencapai single majority, itu kan proses yang

tidak sepenuhnya Jokowi yang menentukan. Itu proses ditentukan oleh

partainya dan partai yang mendukungnya sejak awal. Dan juga ada reaksi

dari KMP kan. KMP ini kan agak susah membaca arah politiknya saat

dipermukaan dan yang tidak dipermukaan. Kalau di permukaan kan mereka

kumpul terus seperti menunjukan loyalitas. Walaupun sebenarnya saya tahu

dibalik itu bahwa orang-orang KMP itu secara masing-masing juga ikut

menghubungi Jokowi.” 14

Ketidakcakapan komunikasi politik PDI-P sebagai komando dari Koalisi

Indonesia Hebat untuk mencapai dukungan single majority (50%+1) membuat

posisi eksekutif berada dalam posisi rawan deadlock dalam pengambilan

keputusan bersama legislatif seperti yang digambarkan oleh Jose Antomio

Cheibub dalam gambar IV.A.1 diatas. Hal tersebut terjadi karena angka koalisi

pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai angka 43,6 % kursi di

legislatif, kurang memenuhi syarat untuk mencapai single majority (50%+1)

sebagaimana yang tergambar dalam tabel IV.A.2 dibawah ini.

Tabel IV.A.1

Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di DPR

dalam periode divided government.

Koalisi Indonesia Hebat

(Pemerintah)

Koalisi Merah Putih

(Luar Pemerintah)

PDI-P: 109 Kursi Golkar: 91 Kursi*

PKB: 47 Kursi Gerindra: 73 Kursi

Nasdem: 35 Kursi PAN: 49 Kursi

Hanura: 16 Kursi PKS: 40 Kursi

PPP: 39 Kursi* Demokrat: 61 Kursi*

Total: 246 Kursi (43,9%) Total: 314 (56,1%)

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

*PPP: Terjadi dualisme kepemimpinan PPP, yakni PPP versi Romahurmuzy dan

PPP versi Djan Faridz. Untuk menyelesaikan problematika tersebut, penulis

merujuk regulasi yang tertera dalam pasal 3 dan 4 UU No 2 Tahun 2008 tentang

14

Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi

Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015.

Page 104: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

89

Partai Politik bahwa partai yang sah adalah yang mendapatkan legitimasi dari

Kementerian Hukum dan HAM. Mengingat, pada tanggal 29 Oktober 2014

Kementerian Hukum dan HAM telah mengesahkan PPP versi Romuharmuzy

sebagai pihak yang sah melaui SK No M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014,

mengingat SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, terlepas

dari dinamika politik dan hukum yang berkembang selanjutnya. Sehingga penulis

bisa mengklasifikasikan PPP sebagai bagian dari Koalisi Indonesia Hebat dengan

landasan keputusan hukum mengikat tersebut. Mengingat, sebelumnya

Romahurmuzy juga mendeklarasikan partainya sebagai bagian dari KIH. Selain

itu indikator lain yang memperkuat PPP sebagai bagian dari KIH adalah saat

proses pemilihan pimpinan MPR-RI periode 2014-2019 yang bergabung pada

paket pimpinan yang diusung KIH dan keberadaan kader PPP di kabinet

pemerintahan juga mengindikasikan keberadaan PPP sebagai bagian dari

pemerintah. Meskipun disadari ada sebagian anggota partai yang mengaku masih

menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih, seperti mantan ketua umum PPP,

Suryadharma Ali. Namun, sebetulnya bila dilihat secara matematis dari jumlah

kursi PPP di DPR yang tidak signifikan atau hanya 39 kursi sehingga keberadaan

PPP tidak menjadi aktor yang menentukan bagi muncul dan berakhirnya periode

divided government, karena dengan bergabungnya PPP di KIH tetap tidak

membuat partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) mencapai

single majority (50%+1) sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mencegah

terjadinya divided government.

*Partai Demokrat: Terjadi perdebatan di anggota Partai Demokrat terkait arah

koalisi yang ingin dilakukan. Berkali-kali SBY melakukan pendekatan ke PDI-P

namun berkali-kali pula diabaikan oleh Megawati. Meskipun, Partai Demokrat

seringkali mengaku sebagai pihak ketiga, tetapi penulis tetap mengklasifikasikan

Partai Demokrat sebagai bagian diluar pemerintahan, hal itu dibuktikan dari tidak

adanya anggota Partai Demokrat yang duduk dijajaran kabinet dan untuk

mempermudah pengklasifikasian dalam penelitian ini, penulis memasukan Partai

Demokrat sebagai bagian dari KMP, terlepas dari ketidaksetujuan penggunaan

nomenklatur KMP oleh sebagian anggota Partai Demokrat.

*Partai Golkar: Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar pasca Munas. Yakni

Golkar versi ARB dan Golkar versi Agung Laksono. Untuk menyelesaikan

problematika pengklasifikasian ini, penulis mengacu pada mekanisme hukum

yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4

bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari

Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga, Golkar dengan sendirinya berada

diposisi KMP saat kepengurusan ARB sebelum SK Menkumham No: M. HH-

01.AH.11.01 diterbitkan dan SK tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan.

Mengingat, Agung Laksono yang dimenangkan dalam SK Menkumham tersebut

mendeklarasikan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Meskipun pada

tanggal 18 Mei 2015, PTUN menunda SK Menkumham tersebut dan putusan

PTUN tidak bersifat inkrahct. Terlepas dari proses pengadilan yang terjadi

setelahnya, maka per tanggal 23 Maret 2015 relasi eksekutif-legislatif sudah

menunjukan berakhirnya periode divided government. Terkait dengan proses

Page 105: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

90

pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah

fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian

ini.

Berubahnya arah koalisi dalam sistem presidensialisme-multipartai

memungkinkan periode divided government tidak terjadi dalam waktu yang lama.

Hal ini yang sebagaimana dikatakan oleh David Altman bahwa ada beberapa

faktor yang menentukan solid atau tidaknya koalisi dalam sistem presidensial,15

diantaranya: (1) afinitas ideologis antara presiden atau kepala koalisi dengan

kelompok partai politik lainnya, (2) Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau

presiden (3) afiliasi psikologis atau kedekatan pimpinan partai politik terhadap

pimpinan partai koalisi (4) pertimbangan terhadap pemilihan umum di masa

mendatang (5) keadilan insentif dalam perjanjian koalisi. Namun, penulis tidak

sampai sejauh menjelaskan secara detail pertimbangan dan dinamika yang terjadi

dari masing-masing anggota partai dalam proses perubahan arah koalisi.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Jose Antonio Cheibub, penulis hanya ingin

menegaskan bahwa koalisi dalam sistem presidensial tidak cukup memiliki

kesolidan yang kuat jika dibanding sistem parlementer.16

Hal itu juga tercermin

pada fenomena berpindahnya beberapa partai politik dari yang sebelumnya berada

di Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat, yang didalamnya juga

dipengaruhi oleh preferensi ketua partai.17

15

David Altman, “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty

Presidential Democraties,” The International Journal for the Study of Political Parties and

Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, (2000): 259. 16

Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime

Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual

Review of Political Science, 2002, 4. 17

Terjadi tarik menarik arah koalisi di Internal partai politik, misalnya Golkar dibawah

ketua Agung Laksono yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan Golkar versi

Page 106: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

91

Terlepas dari ketidaksolidan koalisi dalam sistem presidensial, kembali

kepada gambar IV.A.1 bahwa eksekutif berada dalam kendalinya sendiri saat

berhubungan dengan legislatif apabila berhasil mengakomodir partai-partai

setidaknya melewati batas M atau 50% dari skala 0-100 jumlah kursi yang akan

dibagikan kepada partai-partai sebagai feedback koalisi. Sedangkan dalam periode

divided government, Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mampu mencapai angka

koalisi sekitar 46,48% berdasarkan perolehan suara saat pemilihan legislatif atau

43,9% dukungan berdasarkan perolehan kursi partai pendukung di DPR. Jika

dilihat melalui teoritisi Cheibub, maka pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla

diprediksi akan mengalami jalan sulit atau dalam potensi deadlock dalam

membangun relasi dengan legislatif yang dikuasai oleh pihak oposisi.

Selain itu, meskipun sebelumnya Partai Demokrat seringkali mengaku

berada dipihak ketiga, atau tidak berada dalam Koalisi Indoneia Hebat dan Koalisi

Merah Putih, penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai pihak di

luar koalisi pemerintahan, hal ini dikarenakan dalam pendekatan koalisi

presidensial fokusnya adalah peran Presiden yang memiliki kewenangan untuk

memerintah terhadap keberadaan banyak partai di legislatif, sedangkan Partai

Demokrat tidak memiliki ikatan koalisi tersebut yang membuat Presiden tidak

memiliki wewenang terhadap arah kebijakan Partai Demokrat karena bukan

Aburizal Bakrie yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Begitu juga halnya

dengan PPP versi Romahurmuzy yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan

PPP versi Djan Faridz yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Namun untuk

menyelesaikan problematika dualisme yang menyulitkan penulis dalam proses klasifikasi, penulis

merujuk pada legitimasi yang tertuang dalam SK Menkumham. Mengingat berdasarkan UU No 2

Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai yang sah adalah partai yang mendapatkan legitimasi dari

Kemenkumham, Mengingat SK tesebut bersifat final and binding serta berlaku sejak tanggal

diputuskan. Terkait perkara yang terjadi setelah SK Menkumham tersebut diterbitkan, itu adalah

fenomena yang terjadi selanjutnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini.

Page 107: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

92

bagian dari partai pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat.

Begitu pula yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdhalla bahwa sikap Partai

Demokrat terhadap suatu pembahasan bergantung pada persoalan yang dibahas,

apabila ide dan gagasan pemerintah baik dan sesuai dengan ekspektasi Partai

Demokrat akan didukung, begitu pula sebaliknya.18

Sehingga penulis tetap

mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian dari Koalisi Merah Putih atau

lebih tepatnya di luar pemerintah pemerintahan.

Kegagalan eksekutif dalam membangun koalisi presidensial menjadi faktor

yang membuat oposisi menguasai pimpinan legislatif dan memiliki kekuatan

mayoritas sehingga terjadilah divided government yang dalam studi-studi

presidensialisme berpotensi akan terjadinya tarik menarik kepentingan dan

berujung kondisi deadlock karena sulitnya eksekutif dalam membangun

kesepakatan dengan legislatif. Hal tersebut senada dengan William R Liddle yang

mengatakan:

“Divided government yang dialami sekarang adalah konsekuensi dari

kegagalan Presiden Terpilih Jokowi membuat koalisi mayoritas di DPR.

Tentu saya khawatir bahwa tanpa mayoritas Jokowi sulit sekali memerintah

secara efektif. Sekali lagi, SBY tidak menghadapi divided government,

meski parlemennya multi-partai sebab dia memang mengerti dari awal

bahwa dia memerlukan koalisi mayoritas.” 19

Oleh karenanya dalam penelitian ini, pendekatan koalisi presidensial menjadi

kunci dalam melihat apakah suatu pemerintahan terjadi divided atau tidak,

sebagaimana yang digambarkan oleh Robert Elgie mengenai tiga gelombang studi

presidensialisme pada bab II penelitian ini.

18

Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla. 19

Wawancara dengan William R. Liddle.

Page 108: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

93

Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa divided government adalah

wujud dari prinsip check and balances yang sebagaimana dibangun dalam

landasan filosofis trias politica agar tidak terjadi kekuasaan yang sewenang-

wenang. Menurut penulis anggapan tersebut tidak seutuhnya tepat. Dalam konteks

sistem presidensial, tujuan yang ingin dicapai memang untuk memperkuat prinsip

check and balances. Beberapa aspek terkait pemisahan kekuasaan seperti tugas

eksekusi yang dijalankan oleh pemerintah dan tugas kontrol dilakukan oleh

legislatif. Sehingga prinsip check and balances termaktub dalam peran yang

terpisah antara eksekutif dan legislatif, hal itu yang tertuang dalam sistem

presidensialisme murni sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II. Namun

yang menjadi persoalan adalah identitas partai atau kelompok yang membuat

fenomena divided government dipandang memiliki potensi kebuntuan. Meskipun

partai yang duduk di legislatif secara filosofos adalah mewakili rakyat, tetapi

kelompok tersebut memiliki ciri khas seperti kepentingan, identitas, platform dan

ciri programnya masing-masing dan sebagai entitas kelompok tentu akan selalu

memperjuangkan apa yang diyakini. Sehingga tetap terjadi dikotomi antara

eksekutif dan legislatif saat terjadi divided government, terkebih jika dikotomi

tersebut dihubungkan dalam proses relasi eksekutif-legislatif yang didalamnya

menyangkut mekanisme persetujuan bersama. Ini yang kemudian banyak analis

yang mengatakan untuk menghindari kebuntuan, maka antara eksekutif dan

legislatif dianjurkan untuk dikuasai oleh kelompok dengan identitas yang sama,

tanpa mengurangi prinsip check and balances. Hal yang sama juga diakui oleh

Page 109: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

94

Hamdi Muluk jika dalam pendekatan psikologis, pihak yang berbeda identitas

cenderung mudah bersitegang, seperti yang dikutip dalam wawancara berikut:

“Kalau dalam psikologis diakui kalau seseorang atau kelompok berbeda

identitas menang gampang musuhan, walaupun tidak dalam sudut pandang

objektif. Tetapi kan itu melalui sudut pandang subjektif. Ibarat: “dia kan

bukan orang kita, lalu kenapa kita harus dukung dia? kira-kira begitu.” 20

Sehingga, terminologi check and balances dengan divided government memiliki

pendefinisian yang berbeda. Apabila check and balances lebih kepada persoalan

rule (aturan) yang harus ditempuh antara eksekutif dan legislatif dalam

pengambilan kebijakan, sedangkan divided government lebih kepada persoalan

wacana relasi eksekutif-legislatif yang berbasis pada identitas atau kepentingan

yang saling kooperatif atau konfrontatif. Pada bagian selanjutnya, penulis akan

mengeksplorasi relasi eksekutif dan legislatif dalam periode divided government

yang terhitung pada masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015

DPR-RI, untuk selanjutnya dilihat apakah terjadi suatu kebuntuan seperti yang

diasumsikan oleh teoritisi sebelumnya mengenai relasi eksekutif-legislatif dalam

konteks divided governnment.

B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan

Joko Widodo – Jusuf Kalla

Seperti yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 bahwa proses

perundang-undangan mengharuskan adanya persetujuan bersama antara eksekutif

dengan legislatif, sehingga relasi keduanya tidak saling menjauhi antar

kewenangan. Eksekutif memiliki kekuasaan legislasi dalam proses perundang-

20

Wawancara dengan Hamdi Muluk.

Page 110: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

95

undangan, seperti kekuasaan menyusun anggaran, mengajukan RUU,

mengeluarkan dekrit. Selain itu legislatif juga memiliki kekuasaan untuk

menyetujui usulan-usulan ekekutif seperti pengangkatan panglima TNI, Kapolri,

dan Gubernur Bank Indonesia dan lain-lain.21

Selain itu eksekutif pun juga tak

memiliki kewenangan untuk membubarkan legislatif, kedua lembaga tersebut

bekerja secara berkaitan.

Keterkaitan tersebut menjadi sesuatu yang diharuskan dalam sistem politik

di Indonesia, misalnya dalam hal pengesahan RUU menjadi UU. Baik eksekutif

maupun legislatif pada dasarnya memiliki hak untuk mengajukan RUU. Jika RUU

tersebut diajukan oleh presiden maka harus mencapai persetujuan DPR untuk

kemudian dilanjutkan ke pembahasan dengan komisi terkait atas persetujuan

pimpinan DPR. Begitu pula dengan RUU yang diajukan oleh DPR maka harus

mencapai persetujuan oleh Presiden untuk kemudian dilanjutkan ke pembahasan

dengan menteri terkait atas persetujuan presiden. Baik eksekutif maupun legislatif

terlibat dalam setiap proses pembahasan hingga tahap akhir saat sidang paripurna

DPR dan kemudian dikirim kembali ke presiden untuk di sahkan sebagai Undang-

Undang, sehingga terjadi interaksi dua arah.22

Dalam konteks Indonesia, relasi

proaktif antara eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensialisme multipartai

adalah sesuatu yang diharuskan, keharusan tersebut diiringi dengan potensi bagi

munculnya divided government bila eksekutif gagal membangun jaringan koalisi

presidensial seperti yang sudah dijelaskan dalam bab III sehingga antara eksekutif

dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.

21

Hanan, Menakar Presidensialisme, 122. 22

Hanan, Menakar Presidensialisme, 123.

Page 111: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

96

Sebagai suatu resiko yang harus dijalankan dalam sistem prsidensialisme

multipartai di Indonesia, maka dalam kondisi divided government, baik eksekutif

dan legislatif tetap harus duduk bersama untuk saling menyepakati antar usulan

kebijakan melalui pembicaraan tingkat II atau Sidang Paripurna DPR-RI. Tabel di

bawah ini adalah beberapa relasi eksekutif-legislatif dalam pembicaraan tingkat II

paripurna DPR RI yang terhitung sejak periode divided government itu terjadi

Tabel IV.B.1

Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided Government

No Materi Tanggal Konsensus

1 RUU Perubahan atas UU no 17

Rahun 2014 tentang MPR, DPR,

DPD, DPRD

5 Desember 2014 Disetujui

2 RUU tentang Perubahan Atas

Undang-undang No 27 Tahun

2014 tentang APBN-P 2015

13 Februari 2015 Disetujui

3 RUU tentang Penetapan Perppu

Nomor 1 Tahun 2014 tentang

perubahan atas UU No 22 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota

20 Januari 2015 Disetujui

4 RUU tentang Penetapan Perppu

No 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas UU No 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan

Daerah

20 Januari 2015 Disetujui

5 RUU tentang Perubahan terhadap

UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun

2014 tentang perubahan atas UU

Nomor 22 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan

Walikota

17 Februari 2015 Disetujui

6 RUU tentang Perubahan terhadap

UU No 2 Tahun 2015 tentang

Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan atas UU

No 23 Tahun 2014 tentang

17 Februari 2015 Disetujui

Page 112: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

97

Pemerintah Daerah

7 Pembicaraan Tingkat II Pengajuan

Nama Kapolri

15 Januari 2015 Disetujui

Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI

Dibawah ini adalah penjelasan dari beberapa interaksi eksekutif-legislatif

yang terjadi selama pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla berlangsung saat

periode divided government yang dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi

DPR yakni politik anggaran dan fungsi legislasi Rancangan Undang-Undang

(RUU). Fungsi pengawasan tidak dimasukan dalam penelitian ini karena fungsi

pengawasan seperti penggunaan hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan

pendapat tidak digunakan selama periode divided government dalam penelitian

ini. Pemilihan beberapa interaksi ini penulis lakukan atas beberapa pertimbangan

seperti (1) kasus relasi eksekutif - legislatif yang dibahas mendapatkan perhatian

publik (2) memiliki pengaruh yang signifikan bagi implementasi kebijakan

pembangunan pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, (3) berkaitan

dengan proses polarisasi kuat yang sebelumnya tampak pada beberapa revisi UU

yang dilakukan sebelum pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2014. Pemilihan

atas dasar pertimbangan tersebut penting guna melihat tingkat viabilitas guna

mendapatkan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.

1. Fungsi Budgeting dalam Politik Anggaran APBN-P 2015

Pembicaraan tentang politik anggaran dalam sistem presidensial adalah

salah satu yang krusial untuk dibahas dan cukup menyita perhatian publik karena

ini menyangkut tentang proses pendanaan dalam pelaksanaan program

Page 113: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

98

pemerintah, terlebih pembicaraan tentang politik anggaran dirumuskan bersama

antara eksekutif dan legislatif, yang dalam teori sistem presidensial dinilai akan

berpotensi pada kebuntuan apabila dirumuskan dalam kondisi divided

government. Dalam prosesnya mengenai politik anggaran, sudah dijelaskan dalam

UUD 1945 pasal 23 ayat 2 dan 3 bahwa APBN diusulkan oleh presiden untuk

dibahas bersama dengan DPR, apabila DPR tidak menyetujui rancangan yang

diusulkan oleh Presiden, maka pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.

Oleh karenanya pembahasan APBN tetap melalui jalur konsesus antara eksekutif

dan legislatif, meskipun pengajuan RAPBN adalah hak istimewa presiden guna

menjalankan program-programnya.

Perumusan APBN pada dasarnya terbagi menjadi beberapa tahap, dimulai

saat membangun level sumber daya yang tersedia untuk tahun anggaran

berikutnya, hal tersebut diaktori oleh Menteri Keuangan yang mengambil asumsi-

asumsi makro ekonomi dan perkiraan pembiayaan dalam anggaran, meskipun

begitu DPR tetap dapat menggunakan kewenangannya untuk mengubah asumsi

makro ekonomi tersebut. Setelah RAPBN diserahkan kepada pimpinan DPR maka

RAPBN tersebut dibahas oleh Badan Banggaran (Banggar) dan masing-masing

komisi terkait dengan mitra kerja pemerintah. Saat pembahasan di komisi DPR,

para legislator dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada pemerintah terkait

pendanaan yang diajukan, bila mereka tidak sepakat maka para legislator dapat

memberikan tanda bintang sebagai tanda bahwa rencana anggaran tersebut belum

disetujui. Jika komisi sudah menyelesaikan kesepakatan dengan mitra kerja

pemerintah maka RAPBN diserahkan kembali ke Banggar dan kemudian diproses

Page 114: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

99

menuju sidang paripurna untuk memperoleh persetujuan.23

. Hal tersebut

menunjukan bahwa sikap proakif antara legislatif dan eksekutif tampak terlihat

dalam proses perumusan APBN.

Pembicaraan tentang APBN-P 2015 menjadi unik dan menyita perhatian

publik mengingat perubahan anggaran ini terjadi setelah proses transisi dari

kepemimpinan sebelumnya. Karena sebelumnya pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla menggunakan postur anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBN

2015 yang disahkan pada pemerintahan SBY – Boediono saat rapat paripurna

tanggal 29 September 2014. Karena sejak awal, postur APBN 2015 sudah

didesain berbeda dengan APBN tahun sebelumnya, hal tersebut disusun sebagai

baseline budget dengan memberikan ruang gerak fiskal kepada pemerintahan baru

untuk melakukan penyesuaian pada masa transisi pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla.24

Seperti yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam

Pidato RAPBN dan Nota Keuangan tanggal 15 Agustus 2014 di Gedung

DPR/MPR/DPD.

"Perlu saya kemukakan bahwa berbeda dengan Nota Keuangan dan RAPBN

tahun-tahun sebelumnya, Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2015 disusun

oleh pemerintahan yang mengemban amanah saat ini, untuk dilaksanakan

oleh pemerintah baru hasil Pemilu tahun 2014. Oleh karena itu, penyusunan

anggaran belanja Kemen-terian Negara dan Lembaga dalam RAPBN 2015

masih bersifat baseline, yang substansi utamanya hanya memperhitungkan

kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada

masyarakat. Saya berharap, langkah ini dapat memberikan ruang gerak yang

luas bagi pemerintah baru, untuk melaksanakan program-program kerja

yang direncanakan. Setelah tanggal 20 Oktober mendatang, saya yakin

bahwa pemerintah baru akan memiliki ruang dan waktu yang cukup untuk

23

Hanan, Menakar Presidensialisme, 123. 24

Muhammad Chatib Basri, “Budget in Brief APBN 2015,” Direktorat Penyusunan

APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, 15 Oktober 2014.

Page 115: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

100

memperbaiki anggaran dan memasukkan berbagai program yang akan

dilaksanakan 5 tahun mendatang." 25

Dalam kondisi tersebut, maka menjadi penting bagi pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla untuk mengajukan RAPBN-P 2015 guna menyesuaikan postur

anggaran dengan rencana programnya yang sudah ditetapkan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan RKP 2015,

proses pengajuan RAPBN-P juga dimungkinkan oleh UU No 27 Tahun 2014

tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3.26

Dalam prosesnya, RAPBN-P 2015 ajukan oleh pemerintah tanggal 13

Januari 2015 melalui surat Nomor: R-05/Pres/01/2015 tentang APBN Tahun

Anggaran 2015 untuk dibahas bersama DPR dan menunjuk Bambang

Brodjonegoro, Andrinof A. Chanago dan Yassona Laoly sebagai wakil

pemerintah. Seiring dengan mekanisme yang ada, lalu RAPBN-P 2015 diserahkan

kepada Badan Anggaran untuk kemudian dibahas bersama dengan komisi-komisi

terkait. Melalui pembahasan ditingkat komisi terjadi silang pendapat antara

pemerintah sebagai pihak yang mengajukan RAPBN-P dengan legislator.

Meskipun antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang

berbeda, pembahasan mengenai APBN-P nampak berjalan dengan interaktif dan

tidak terjadi suatu deadlock yang dikhawatirkan oleh para teoritisi sebelumnya

25

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam rangka

Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-undang Tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015 beserta Nota Keuangannya (Jakarta:

Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Agustus 2014), 22. 26

Laporan Badan Anggaran DPR-RI, Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan

Belanja Negara Tahun 2015 Beserta Nota Perubahan (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13

Februari 2015), 2.

Page 116: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

101

yang pesimis dengan adanya kombinasi sistem prsidensialisme-multipartai. Baik

pembahasan yang terjadi di Banggar maupun dalam Sidang Paripurna, relasi

eksekutif dan legislatif terbangun cukup dinamis dan proaktif untuk saling

mengkritisi dan berjalan tanpa adanya deadlock. Meskipun dalam Sidang

Paripurna yang dipimpin oleh Taufik Kurniawan tersebut sempat terjadi jeda

beberapa jam.27

Namun kesepakatan dalam APBN-P 2015 tetap terjadi dengan

diiringi adanya lobi-lobi guna mencapai kesepakatan. Seperti yang dikatakan oleh

Taufik Kurniawan, yang juga sebagai pimpinan Sidang Paripurna pembahasan

APBN-P 2015.

“Setelah melalui serangkaian rapat yang intensif dan forum lobi yang telah

kita lalui tadi, sehingga, asumsi makro yang telah dibahas sebelumnya dapat

disahkan.” 28

Fenomena tersebut menunjukan bahwa kondisi divided government tak

menyulitkan antara eksekutif dan legislatif untuk saling berinteraksi dan

berkompromi dalam proses pembahasan APBN-P 2015. Tabel di bawah ini

menunjukan adanya pola interaktif yang dibangun oleh eksekutif dan legislatif

dalam pembahasan APBN-P 2015 yang didalamnya juga memuat adanya

kesepakatan-kesepakatan yang dibangun antara dua belah pihak. Tabel di bawah

ini menjelaskan mengenai proses silang pendapat dalam pembahasan APBN-P

2015 yang terjadi di rapat komisi serta kesepakatan yang terjadi dalam

pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna DPR-RI.

27

“Banyak Penolakan, Rapat Pengesahan APBN-P Diskors 3 Jam,” Liputan 6, 13 Februari

2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2175383/banyak-penolakan-rapat-pengesahan-apbn-p-

diskors-3-jam diunduh pada 2 Mei 2015. 28

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang

Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 (Jakarta:

Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015), 51.

Page 117: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

102

Tabel IV.B.1.1

Proses Silang Pendapat Eksekutif-Legislatif dalam Asumsi Dasar Ekonomi

Makro APBN-P 2015

Indikator APBN 2015 RAPBN-P

2015

Komisi

VII

Komisi XI Sidang

Paripurna

Pertumbuhan

Ekonomi

5,8 % 5,8 & - 5,7% 5,7 %

Inflasi 4,4% 5 % - 5% 5.0%

Suku Bunga

/SBN

6.0% .6.2% - 6,2% 6,2%

Nilai Tukar

(IRD / USD 1)

Rp

11.900,-

Rp 12.200 - Rp 12.500 Rp 12.500

Harga Minyak

(USD/Barel)

105 70 60 - 60

Lifting Minyak

(ribu barel/hari)

900 849 825 - 825

Lifting Gas

(ribu barel /

hari)

1248 1177 1221 - 1.221

Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI

Tak bisa dipungkiri, dalam prosesnya terdapat beberapa perubahan dari

RAPBN-P 2015 yang diajukan oleh pemerintah sebelumnya, namun menurut

penulis segala proses perubahan postur anggaran itu adalah hal wajar dalam

konteks check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. Yang perlu

menjadi titik tekan disini adalah adanya proses silang pendapat dan kesepakatan

bersama yang membuat relasi eksekutif – legislatif bisa berjalan tanpa diiringi

adanya kekhawtiran deadlock. Sehingga, tuduhan-tuduhan akan adanya potensi

deadlock oleh para ilmuan-ilman politik yang sudah dijelaskan pada bab II

cenderung tidak terbukti pada periode divided government yang terjadi pada

Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla, bahkan eksekutif dan legislatif bisa

melakukan silang pendapat yang menyangkut substansi rancangan dan

Page 118: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

103

kemungkinan-kemungkinan perubahan postur anggaran. Seperti yang

disampaikan oleh ketua Banggar DPR-RI, Ahmadi Noor Supit dalam laporannya

saat Sidang Paripurna tanggal 13 Oktober 2015:

“Dari hasil pembahasan, terdapat perubahan baik dari sisi pendapatan

maupun sisi belanja. Dari sisi pendapatan menurun sebesar Rp 7,3 triliun,

dan penghematan belanja negara sebesar Rp 29,6 triliun dan pembiayaan Rp

7,2 triliun. Sehingga didapatkan tambahan alokasi anggaran sebesar Rp 20,9

triliun, yang dialokasikan untuk tambahan belanja negara sebesar Rp 20,9

triliun, mengurangi penerbitan SBN sebesar Rp 9 triliun dan pembayaran

bunga utang sebesar Rp 440 miliar.” 29

Dengan asumsi dasar tersebut, disepakati pendapatan negara dan hibah dalam

APBN-P 2015 sebesar Rp 1.761 triliun, yang terdiri dari penerimaan dalam negeri

sebesar Rp 1.758 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 3,3 triliun. Penerimaan

dalam negeri berasal dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp 1.489 triliun dan

Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 269 miliar.30

Seperti yang tertera

dalam tabel dibawah ini:

Tabel IV.B.1.2

Pendapatan Negara dalam APBN-P 2015

Postur Kesepakatan Banggar

(Miliar Rupiah)

Penerimaan Perpajakan 1.489.255,5

Pph Non Migas 629.835,3

a. PPh Migas 49.534,8

b. PPn 576.469

c. PBB 26.689,9

d. Pajak Lainnya 11.729,5

Bea dan Cukai

29

Laporan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI, Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan

RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran

Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015 Beserta Nota Perubahan (Jakarta: Sekretariat Jenderal

DPR-RI, 13 Februari 2015) 30

Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan

Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 42.

Page 119: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

104

a. Cukai 145.739,9

b. Bea Masuk 37.203,9

c. Bea Keluar 12.053

Penerimaan Negara Bukan Pajak 269.075,4

a. SDA Migas 81.364,9

b. SDA Non Migas 37.554,3

c. Bagian Laba BUMN 36.956,5

d. PNBP Lainnya 90.109,6

e. Pendapatan BLU 23.090,2

Penerimaan Hibah 3.311,9

Pendapatan Negara 1.761.642,8

Sumber: Sekretariat Jenderal DPR-RI

Sementara, belanja negara disepakati sebesar Rp 1.984 triliun, yang terdiri

dari Rp 1.319,5 triliun untuk belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah

disepakati sebesar Rp 643,8 miliar dan dana desa Rp 20,7 miliar.31

Seperti yang

tertera dalam tabel di bawah ini:

Tabel IV.B.1.3

Kesepakatan Belanja Negara dalam APBN-P 2015

Postur Kesepakatan Banggar

(Miliar Rupiah)

Belanja Pusat 1.319.549

Belanja K/L 795.480,4

Belanja Non K/L 524.068,6

Belanja Daerah

Transfer ke Daerah 643.834,5

Dana Desa 20.766,2

Dana Perimbangan 521.760,5

a. DAK 58.820,7

b. DAU 352.887,8

c. DBM 110.052

Dana Otsus dan Penyesuaian 17.115,5

31

Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan

Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 43.

Page 120: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

105

Dana Keistimewaan DIY 547,5

Dana Transfer Lainnya 104.441,1

Total Belanja Negara 1984.149,7

Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR – RI

Proses interaksi antar dua lembaga pun bisa berjalan dengan baik, usulan demi

usulan dilakukan oleh masing-masing fraksi, seperti usulan Fraksi Demokrat yang

mengatakan:

“Fraksi Partai Demokrat meminta kepada Pemerintah untuk menerapkan

berbagai kebijakan untuk mendorong optimalisasi penerimaan negara,

maupun untuk meningkatkan kualitas belanja negara dalam rangka

memelihara pertumbuhan ekonomi dan menjaga kesinambungan fiskal.” 32

Sehingga tampak, kondisi divided government yang muncul dalam ranah

struktural eksekutif – legislatif tidak menunjukan adanya persaingan dalam proses

pengambilan keputusan. Pemerintah yang di asosiasikan dengan Koalisi Indonesia

Hebat bisa memperoleh keputusan bersama dengan legislatif yang mayoritas diisi

oleh Koalisi Merah Putih. Hal tersebut kontras dengan teori-teori umum yang

mengatakan adanya potensi deadlock dalam sistem presidensialisme multipartai

yang mengalami divided government, namun dalam proses politik anggaran

APBN-P 2015 baik eksekutif dan legislatif bisa saling berinteraksi dan

menunjukan adanya kepuasan bersama (win-win solition). Kepuasan bersama

tersebut juga nampak dalam argumentasi Menteri Keuangan, Bambang

Brojonegoro yang mengatakan:

"Kita bisa menggolkan APBN-P yang dengan postur jauh lebih baik, ini

akan punya sinyal sendiri ke market, dengan postur APBN-P 2015, maka

32

Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan

Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 40.

Page 121: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

106

pemerintah akan lebih leluasa dalam mengembangkan berbagai proyek

infrastruktur yang memang saat ini sedang digenjot oleh pemerintah. Sebab,

dana infrastruktur akan lebih banyak karena dana subsidi energi telah

dikurangi.” 33

Sebagai sebuah proses perundang-undangan, APBN-P diajukan oleh pemerintah

dan dibahas bersama dengan DPR membuat kedua lembaga lebih mengutamakan

prinsip musyawarah meskipun antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua

kelompok yang berbeda. Berbeda hal dengan pemerintahan Susilo Bambang

Yushoyono yang memiliki kekuatan koalisi presidensial diatas 50% + 1 (single

majority) di legislatif sehingga tidak mengalami jalan sulit dalam proses politik

anggaran, namun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang tidak memiliki

kekuatan koalisi presidensial diatas 50% + 1 (single majority) juga tetap bisa

melakukan kesepakatan dengan legislatif. Kekhawatiran sebelumnya mengenai

kesulitan membangun relasi eksekutif-legislatif dalam konteks divided

government cenderung tidak terbukti pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf

Kalla, terlebih dalam pembahasan APBN-P 2015 yang merupakan produk

legislasi yang cukup penting bagi keberlangsungan program pemerintah. Bahkan

divided government bisa menghasilkan kepuasan bersama (win-win solution)

seperti yang diutarakan oleh Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.

2. Fungsi Legislasi dalam Pembahasan RUU

Seperti diketahui, sistem presidensialisme di Indonesia tidak seperti

layaknya di Amerika Serikat yang proses perumusan undang-undang tidak

33

“Menkeu: APBN-P Disetujui, Rupiah Bakal Menguat,” Kompas, 14 Desember 2015

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/14/162100126/Menkeu.APBN-P.Disetujui.R

upiah.Bakal.Menguat Diunduh pada 5 April 2015.

Page 122: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

107

menjembatani langsung antara eksekutif dan legislatif.34

Dalam konteks Indonesia

perumusan undang-undang justru melibatkan interaksi eksekutif dan legislatif dari

awal perumusan hingga persetuuan akhir. Dalam prosesnya terdapat dua tahap

pembahasan RUU, tahap pertama yakni pembicaraan tingkat I yang dilakukan

oleh komisi DPR terkait, di Badan Legislatif (Baleg), Rapat Panitia Khusus

(Rapat Pansus) atau Badan Anggaran (banggar) bersama dengan Menteri atau

utusan Presiden. Selanjutnya pembahasan tingkat II yakni di Sidang Paripurna

DPR yang secara resmi menyetujui atau menolak RUU tersebut.35

Melalui

mekanisme tersebut, maka relasi eksekutif dan legislatif yang menurut Djayadi

Hanan dibangun berdasarkan mekanisme institutional yang mengharuskan kedua

lembaga untuk duduk bersama.

Dalam periode divided government, pemerintahan Jokowi sudah melakukan

beberapa persidangan dengan DPR guna mencapai keputusan bersama. Beberapa

RUU yang dibahas disini berkaitan dengan eksistensi partai politik sehingga

mampu menarik perhatian bagi partai politik untuk mendalami proses

pembahasannya. Maka penting bagi penulis untuk menjadikannya kasus untuk

untuk memperkuat argumentasi dalam penelitian ini yang diantaranya yakni

34

Dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Presiden memiliki kekuasaan veto,

yakni kekuasaan untuk menganulir sebuah UU. Beberapa kekuasaan veto tersebut diantarannya:

(1) Partial Veto yakni bentuk peyampaian memorandum keberatan presiden terhadap beberapa

ketentuan RUU, (2) Package Veto yakni berupa penolakan presiden untuk memberlakukan suatu

RUU secara keseluruhan dan (3) Pocket Veto yakni bentuk penolakan presiden untuk

menandatangani suatu RUUU yang sudah disetujui oleh legislatif. Namun dalam konteks

presidensialisme di Indonesia, Presiden tidak memiliki ketiga hak veto tersebut. Tetapi mekanisme

kelembagaan antara eksekutif dan legislatif mengharuskan adanya pembahasan bersama dari awal

sampai akhir dalam sebuah proses Rancangan Undang-Undang. Mekanisme pembahasan bersama

antara eksekutif dan legislatif yang tidak dimiliki dalam desain konstitusional di Amerika Serikat.

Lihat, Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu (Jakarta:

Noura Book, 2013), 188. 35

Hanan, Menakar Presidensialisme, 135.

Page 123: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

108

Revisi UU Pilkada, Revisi UU Pemerintahan Daerah, Revisi UU MPR, DPR,DPD

dan DPRD dan Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

a) Revisi UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah

Pembahasan mengenai revisi UU Pilkada dan UU Pemda adalah salah satu

yang menyita perhatian masyarakat. Karena ini adalah serangkaian yang berkaitan

dengan kontestasi DPR-RI periode 2009-2014 di akhir masa jabatannya sebelum

pelantikan presiden terpilih hasil pemilu 2014 yang sangat kental dengan

polarisasi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Sebelumnya pada

tanggal 25 September 2014, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan RUU

Pilkada yang berakhir dengan disahkannya RUU Pilkada dengan opsi pemilihan

melalui DPRD berdasarkan suara 226 anggota.36

Setelah disahkan opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD, pada 2 Oktober

2014 Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan dua Perppu kepada DPR yakni

Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur/Bupati/Walikota yang

sekaligus mencabut UU No 22 tahun 2014 yang mengatakan pemilihan

Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tidak

langsung oleh DPRD dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah yang sekaligus mencabut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah

daerah untuk menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih kepala daerah.37

36

Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II terhadap

RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 25 September

2014), 4. 37

“SBY Akan Keluarkan Perppu Pilkada Langsung,” Kompas, 30 September 2014

http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/18175701/SBY.Akan.Keluarkan.Perppu.Pilkada.Lan

gsung. Diunduh pada 2 Januari 2015.

Page 124: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

109

Sebagaimana yang diatur oleh konstitusi, dalam pasal 22 UUD 1945, dalam

keadaan memaksa, presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Perppu

yang kemudian harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU tentang penetapan

Perpu untuk disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR.

Sebagai sebuah proses panjang dan rumit, Susilo Bambang Yudhono pada

tanggal 1 Oktober 2014 sampai harus melobi sejumlah pimpinan partai di Koalisi

Merah Putih untuk menjamin Perppu agar bisa lolos di DPR. Karena sempat ada

upaya dalam Munas Partai Golkar versi Ketua Umum Aburizal Bakrie yang

dikabarkan sempat berencana menolak Perppu Pilkada langsung.38

Namun niat

tersebut urung dilaksanakan saat SBY menemui Presiden Joko Widodo pada 8

Desember 2014 lalu. Partai Golkar kemudian kembali mendukung Perppu Pilkada

langsung.39

Selanjutnya, Sidang Paripurna dilakukan pada tanggal 20 Januari 2015

menyetujui kedua Perppu tersebut untuk dapat disahkan menjadi Undang-

Undang.40

Sebelum dibawa ke paripurna, Komisi II DPR telah membahas kedua

Perppu tersebut dalam rapat kerja bersama pemerintah. Berdasarkan pandangan

yang disampaikan, semua fraksi sepakat untuk menetapkan kedua perppu itu

38

“SBY Sebut Revisi UU Pilkada dimugknkan dengan satu syarat,” Detik.com, 21 Januari

2015 http://news.detik.com/read/2015/01/21/104131/2809317/10/sby-sebut-revisi-uu-pilkada-

langsung-dimungkinkan-dengan-satu-syarat Diunduh pada 3 Mei 2015. 39

“Mengapa ARB Akhirnya Dukung Pilkada Langsung?,” Kompas, 10 Desember 2014.

http://nasional.kompas.com/read/2014/12/10/19000021/Mengapa.ARB.Akhirnya.Dukung.Pilkada.

Langsung. Diunduh pada 3 Mei 2015. 40

Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI, Pembicaraan Tingkat

II/Pengambilan Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas

UU No 22 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-

Undang dan Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang prubahan atas UU No 23 Tahun 2014

tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13

Februari 2015), 2.

Page 125: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

110

menjadi undang-undang. Seperti dalam laporan yang dilakukan oleh Ketua

Komisi II DPR-RI, Rambe Kamarul Zaman dalam Rapat Paripurna tanggal 20

Januari 2015.

“Secara umum apa yang dihasilkan di dalam Rapat Kerja Komisi II dengan

Pemerintah yang diwakili oleh Mendagri, Menkumham, dan DPD-RI dalam

dua hari kemarin sudah mencapai kesepakatan bahwa secara prinsip fraksi-

fraksi menerima Perpu No 1 dan 2 Tahun 2014 untuk disahkan menjadi

Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Masa sidang II Tahun Sidang 2014-

2015 ini.” 41

Dengan adanya proses dan lobby yang cukup berlarut akhirnya seluruh fraksi

menyepakatinya Perppu ini dan secara otomatis menganulir UU Pilkada melalui

DPRD yang disahkan DPR pada 25 September 2014 lalu. Setelah disahkan,

sejumlah fraksi di DPR mengusulkan revisi atas Undang-Undang tentang Pilkada

langsung tersebut. Usulan untuk melakukan revisi juga ditanggapi dingin oleh

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pihak yang menerbitkan Perpu tersebut asal

revisi tersebut tidak mengubah substansi dari Pilkada langsung.42

Begitu juga

yang dipaparkan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo dalam pandangan yang

dibacakan usai pengesahan Perppu tersebut mengatakan bahwa pemerintah

membuka diri untuk membahas perubahan-perubahan yang diperlukan bersama

DPR.43

41

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II tentang Pengambilan

Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun

2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan

Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah menjadi Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015), 31. 42

“SBY Sebut Revisi UU Pilkada,” Detik, 21 Januari 2015. 43

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II tentang Pengambilan

Keputusan tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun

2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan

Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah menjadi Undang-Undang, 45.

Page 126: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

111

Setelah ditetapkan Pilkada secara langsung, sejumlah perubahan

diberlakukan mulai dari penghapusan uji publik hingga penetapan paket kepala

daerah dan wakilnya.44

Proses saling interaksi ditunjukan untuk mendapatkan

kesepahaman bersama dalam dinamika RUU Pilkada. Sampai pada pembahasan

di Badan Legislatif (Baleg), seluruh fraksi di DPR menyetujui RUU tentang

Revisi UU Pilkada hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) Baleg. Hal tersebut

diputuskan dalam Rapat Pleno Baleg yang dipimpin oleh Sareh Wiyono pada

tanggal 9 Februari 2015 untuk dibawa ke proses selanjutnya melalui Rapat

Paripurna dan terjadi kesepakatan.45

Interaksi antara eksekutif dan legislatif juga

berlangsung secara harmoni tak ada potensi deadlock. Interaksi harmoni tersebut

juga ditujukan oleh anggota Fraksi Golkar, Mujib Rahmat, saat Sidang Paripurna

tanggal 17 Februari 2015.

“Setelah mengikuti seluruh proses pembahasan tahapan-tahapannya dengan

serius, dan memperhatikan kesepakatan di tingkat 1 di Komisi serta laporan

dari ketua komisi II, dengan mengucapkan bismillahi rohmanirahoim,

Fraksi Partai Golkar menerima dan menyetujui 2 RUU inisiatif DPR

tersebut menjadi Undang-Undang.” 46

44

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II Pengambilan

Keputusan tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1

Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU dan RUU Perubahan atas UU

No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi UU (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari

2015), 27-28. 45

Laporan Singkat Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI, Pengambilan Keputusan

Harmonisasi RUU Tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No

1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Serta

RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Usulan Komisi II (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 9 Februari 2015), 5. 46

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun

2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

menjadi Undang-Undang dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi

Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari 2015), 33.

Page 127: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

112

Selain itu, pembahasan mengenai RUU perubahan atas UU No.2 Tahun 2015

tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah

sebagai dampak dari hasil pembahasan RUU tentang perubahan Atas UU No.1

Tahun 2015 tentang Pilkada. Sehingga UU Pemda ini adalah penyesuaian dari UU

Pilkada. Seperti yang dilaporkan oleh Ketua Komisi II DPR-RI, Rambe Kamarul

Zaman.

“Penyesuaian pertama diawali dengan perubahan judul yang diubah menjadi

RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda,

alasannya karena materi yang diubah dalam Perppu No.2 Tahun 2014 yang

ditetapkan menjadi UU No.2 Tahun 2015 hanya terkait dengan satu pasal

tentang kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah yang dihapus.” 47

Beberapa materi yang harus disesuaikan dengan hasil pembahasan RUU tentang

Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 adalah terkait dengan peran wakil kepala

daerah akibat diputuskannya bahwa pilkada diikuti oleh pasangan calon yang

terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain itu, RUU Pemda ini

mencoba merumuskan agar hubungan antara kepala daerah dan wakilnya berjalan

harmonis hingga akhir masa jabatan, sehingga diatur adanya kewajiban bagi wakil

kepala daerah menandatangani fakta integritas serta melakukan tugasnya bersama

kepala daerah hingga akhir masa jabatan. Pembahsan dalam revisi UU ini juga

tidak memakan banyak waktu dan berakhir pada kepuasan bersama (win-win

solution) antara eksekutif dan legislatif.

47

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun

2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

menjadi Undang-Undang dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi

Undang-Undang, 29-30.

Page 128: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

113

b) Revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

Undang-Undang ini merupakan salah satu yang menjadi titik islah antara

Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih yang sebelumnya sempat

berseteru dengan adanya dualisme pimpinan DPR. Sebelumnya, DPR periode

2009-2014 telah melakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR,

DPR, DPD dan DPRD (MD3). Yang didalam revisi tersebut memuat perubahan

dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai

pemenang pemilu tetapi dipilih melalui mekanisme demokratis. Proses perubahan

dari UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 kental dengan nuansa

kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi

Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang-

Undang tersebut.

Revisi dari UU No 27 Tahun 2009 berjalan alot dan diwarnai perdebatan

dari masing-masing fraksi yang terpolarisasi sebagai dampak dukungan Pilpres

2014. Salah satu perdebatan yang terjadi saat itu adalah terkait waktu pelaksanaan

Rapat Paripurna yang dilakukan sehari sebelum Pemilihan Presiden 2014. Salah

satu peserta Rapat Paripurna Erik Satrya Wardhana dari Fraksi Hanura

menyampaikan:

“Tadi saya bicara dengan Pak Wakil Ketua, Pak Imam. Jadi sistem

presidensial multipartai dimanapun selalu deadlock. Yang bisa berjalan

relatif efektif sampai dengan saat ini cuma Indonesia. Pertanyaannya

kenapa? Karena di Indonesia ada kompromi-kompromi yang terlembaga dan

tak terlembaga. Nah ruang kompromi ini yang harusnya kita ciptakan. Kalau

pengambilan keputusan kita paksakan sekarang tidak ada ruang kompromi.

Saya khawatir deadlock. Kalau pun tidak deadlock, itu tadi. Ada proses

pelembagaan, suasana, nilai yang tidak baik. Oleh karena itu saya usulkan

Page 129: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

114

agar proses pengambilan keputusan ini ditunda sampai selesai Pilpres dan

karena Pilpres itu nanti di masa reses, maka setelah reses pada masa sidang

berikutnya.” 48

Rapat Paripurna berjalan dengan perdebatan diantara masing-masing kelompok,

seperti yang dilontarkan oleh Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P dalam Rapat

Paripurna yang mengatakan:

“Saya sangat menyesalkan bahwa bukannya kita makin dewasa tapi

kemudian hanya kepentingan sesaat pilpres itu yang membuat suasana kita

terbelah dan kemudian tidak meninggalkan nilai-nilai yang harusnya justru

kita matangkan dan kita kembangkan. Jadi saya protes terhadap draft

Undang-Undang ini karena tidak membawa kebaikan tapi justru mudaratnya

banyak terutama apa yang kita inginkan sebagai praktek parlemen yang

makin akutabel, makin berkeinginan dan makin menunjukan kepribadian itu

hilang semua.” 49

Setelah terjadi perdebatan yang alot, akhirnya Rapat Paripurna diiirngi keputusan

walkout dari fraksi PDI-P, Hanura dan PKB.50

Meskipun terjadi walkout, Rapat

Paripurna revisi UU no 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 tetap

disahkan. Sehingga berdasarkan aturan baru ini membuat Koalisi Merah Putih

tidak mengalami kesulitan dalam merebut kursi pimpinan DPR-RI seperti yang

sudah dijelaskan dalam bab III. Namun, menurut Saldi Isra, pilihan untuk

menguasai pimpinan DPR tak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai strategi

membangun check and balance dengan pemerintah, tetapi juga seperti hendak

48

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27

Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli

2014), 58. 49

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27

Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli

2014), 53. 50

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27

Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, 102.

Page 130: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

115

melembagakan pembelahan pola hubungan kedua lembaga.51

Selain itu langkah

politik Koalisi Merah Putih untuk menguasai pimpinan DPR pada satu kelompok

telah menghadirkan pembelahan di internal DPR, dengan pengelompokan yang

tercipta setelah pilpres, terjadi kebuntuan secara permanen yang ditandai dengan

munculnya pimpinan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat. Disfungsi DPR hampir

dua bulan lebih sejak dilantik adalah dampak dari revisi UU No 27 Tahun 2019

menjadi UU No 17 Tahun 2014.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU No 17 Tahun 2014 tentang

MD3 di revisi kembali seiring dengan membaiknya hubungan diantara Koalisi

Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.52

Dalam pembahasan di Pansus UU

MD3 yang diketuai oleh Saan Mustofa tersebut, pasal-pasal yang sempat menjadi

perdebatan adalah pasal 74 ayat 3 - 6 dan pasal 98 ayat 7 - 9 yang memuat hak

DPR dan sanksi administratif yang diberikan kepada pejabat negara. Namun,

semua fraksi akhirnya sepakat pasal tersebut dihapus.53

Setelah melalui rapat di

Pansus, akhirnya Revisi UU No 17 Tahun 2014 berhasil disahkan dalam Rapat

Paripurna DPR dengan hasil akhir win-win solution seperti yang dikatakan oleh

51

Saldi Isra, “Revisi UU MD3,” Kompas, 26 November 2014. 52

Membaiknya hubungan antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat

terjadi pada tanggal 17 November 2014. Dalam pertemuan informal yang dilakukan oleh Hatta

Rajasa yang mewakli Koalisi Merah Putih dan Pramono Anung mewakili Koalisi Indonesa Hebat,

kedua kubu sepakat untuk islah dengan syarat dilakukan revisi terhadap UU MD3 dan juga

ketersediannya posisi untuk Koalisi Indonesia Hebat untuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD)

DPR-RI. Lihat, “Islah DPR Diteken dengan 5 Butir Kesepakatan,” Tempo, 17 November 2014

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/078622484/Islah-DPR-Diteken-dengan-5-Butir-

Kesepakatan. Diakses pada 20 April 2015. 53

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 5

Desember 2014), 24-25.

Page 131: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

116

Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly yang mewakili Presiden dalam Rapat

Paripurna tanggal 5 Desember 2014.

“Kami sampaikan kepada Pimpinan serta Anggota Dewan yang terhormat.

Kami ucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-

tingginya atas segala niat baik, perhatian, dan kontribusi selama

berlangsungnya pembahasan RUU ini.” 54

Meskipun dalam prosesnya Revisi UU MD3 ini terjadi kegaduhan-kegaduhan,

namun dalam akhir pembahasannya, kedua kubu sepakat untuk mengambil jalan

islah dan kompromi yang membuat relasi antara eksekutif-legislatif bisa berjalan.

Kompromi tersebut yang menurut William R Liddle sebagai salah satu kelebihan

dari sistem presidenlisme di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain.55

Meskipun kompromi itu terjadi dalam struktur kelembagaan yang mengalami

divided government.

c) Pengangkatan Kapolri

Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian RI, bahwa dalam pengangkatan calon Kapolri, Presiden harus

mendapatkan persetujuan dari DPR. Meskipun kerapkali, aturan ini dinilai

berpolemik karena tidak sesuai dengan mekanisme sistem presidensialisme murni

dan cenderung mengkooptasi hak prerogatif Presiden yang seharusnya ditentukan

secara sendiri tanpa adanya campur tangan DPR dalam proses pengangkatan

Kapolri. Dalam penelitian ini, penulis sengaja memasukan kasus pengangkatan

Kapolri sebagai bagian dari interaksi eksekutif dan legislatif dalam klasifikasi

54

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tiingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, 28. 55

Wawancara dengan William R Liddle.

Page 132: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

117

fungsi legislasi karena ini menyangkut persoalan implementasi Undang-Undang

yang wajib dilaksanakan oleh Presiden dalam menjalankan tugasnya.

Relasi eksekutif-legislatif dalam proses pengangkatan Kapolri menjadi

perhatian publik karena calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden dalam surat

nomor: R/01/Pres/01/2015 pada tanggal 9 Januari 2015 yakni Budi Gunawan

berstatus sebagai tersangka oleh KPK.56

Dalam rapat yang dilakukan di Komisi III

DPR dibentuk Tim Kecil yang bertugas untuk mempersiapkan tahapan uji

kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan yang terdiri dari wakil-wakil

fraksi yakni Aziz Syamsyuddin (Ketua Fraksi Golkar), Desmond Junaidi Mahesa

(Fraksi Gerindra/unsur Pimpinan), Benny Karman (Fraksi Demokrat/unsur

Pimpinan), Mulfahcri Harahap (Fraksi PAN/unsur Pimpinan), Junimart Girsang

(Fraksi PDI-P), John Kenedy Azis (Fraksi Golkar), Sufmi Dasco Ahmad (Fraksi

Gerindra), Ruhut Sitompul (Fraksi Demokrat), Muslim Ayub (Fraksi PAN),

Irmawan (Fraksi PKB), Aboe Bakar Alhabsyi (Fraksi PKS), Asrul Sani (Fraksi

PPP), Patrice Rio Capella (Fraksi Nasdem) dan Sarifuddin Sudding (Fraksi

Hanura).57

Dalam rapat tersebut, terjadi perdebatan apakah dilanjutkan atau tidak

pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri yang berstatus tersangka

oleh KPK. Dalam rapat tersebut, selurih fraksi menyetujui untuk diproses lebih

56

“Akhirnya KPK Jadikan Budi Gunawan Tersangka,” Tempo, 13 Januari 2015

http://www.tempo.co/read/news/2015/01/13/063634558/Akhirnya-KPK-Jadikan-Budi-Gunawan-

Tersangka Diunduh pada 4 Mei 2015. 57

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Hasil Pembahasan Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI)

(Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Januari 2015), 35.

Page 133: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

118

lanjut kecuali Fraksi Partai Demokrat.58

Bedasarkan rapat tersebut, Komisi III

menyetujui usulan Presiden untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai

Kapolri dan memberhentikan Jendral Sutarman sebagai Kapolri. Kasus tersebut

membuktikan bahwa relasi antara eksekutif dan legislatif berjalan dengan baik

tanpa diiringi dengan deadlock, meskipun publik sempat dikejutkan dengan

pemberian status tersangka kepada Komjen Budi Gunawan oleh KPK namun hal

itu tidak mengganggu DPR untuk menyetujui usulan Presiden.

Meskipun Budi Gunawan sudah disahkan oleh DPR sebagai Kapolri,

Presiden melakukan tinjauan ulang tentang pengangkatan tersebut, mengingat

publik banyak yang bersikap antipati terhadap usulan Presiden tersebut. Seriring

berjalannya waktu, Presiden memutuskan untuk membatalkan pelantikan Komjen

Budi Gunawan dan mengangkat calon Kapolri baru yakni Komjen Badrodin Haiti,

sebagaimana yang dimaksud dalam surat Presiden No R-16/Pres/02/2015

tertanggal 18 Februari yang diajukan kepada DPR.59

Pembatalan pelantikan

Komjen Budi Gunawan ini yang membuat anggota DPR, Bambang Soesatyo

mempertanyakan dan menujukan sikap protes terhadap keputusan Presiden

tersebut, mengingat usulan presiden tersebut sudah disetujui dalam Rapat

Paripurna DPR.60

Meskipun Presiden membatalkan Komjen Budi Gunawan yang

58

Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI (Jakarta: Sekretariat

Jenderal DPR-RI, 15 Januari 2015), 2. 59

Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI (Jakarta: Sekretariat

Jenderal DPR-RI, Kamis, 16 April 2015), 1. 60

“F-Golkar: Jika Jokowi Tak Lantik Budi Gunawan, Tamparan Keras bagi DPR,”

Kompas, 6 Februari 2015 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/06/11314831/F-

Golkar.Jika.Jokowi.Tak.Lantik.Budi.Gunawan.Tamparan.Keras.bagi.DPR Diunduh pada 4 Mei

2015.

Page 134: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

119

telah melalui persetujuan dalam Rapat Paripurna DPR, usulan Presiden terkait

calon Kapolri baru yakni Komjen Pol. Badrodin Haiti tetap disetujui dalam Rapat

Paripurna DPR tanggal 16 April 2015, yang sebelumnya sudah dibahas melalui

pembicaraan tingkat 1 di Komisi III pada tanggal 8 April 2015.61

Meskipun terjadi

tarik-menarik antara Presiden dan DPR dalam proses pengangkatan Kapolri,

kedua lembaga tersebut tetap bisa membuat kesepakatan bersama. Sehingga

berbeda dengan asumsi teoritik yang sebagaimana dijelaskan pada bab II, dalam

konteks Indonesia, divided government yang terjadi tidak menyulitkan eksekutif

dan legislatif untuk mencapai kesepakatan bersama. Pada bagian selanjutnya,

penulis akan menjelaskan pendekatan yang bisa menjelaskan mengapa divided

government di Indonesia tidak berakhir dengan kebuntuan. Penjelasan ini

berdasarkan proses-proses yang terjadi dalam perumusan kebijakan.

C. Model Pendekatan dalam Divided Government

Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam paparan diatas, setidaknya

dalam konteks divided government di Indonesia, relasi antara eksekutif dan

legislatif bisa berjalan tanpa adanya deadlock dan saling menunjukan hasil win-

win solution. Hal ini berbeda dengan asumsi teoritik sebelumnya yang memiliki

pandangan pesimis dalam sistem presidensialisme-multipartai yang mengalami

divided government. Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan diatas, penulis

mengklasifikasikan beberapa pendekatan yang bisa menjelaskan mengapa hal

tersebut terjadi, yakni pendekatan melalui prosedur konstitusi dan pendekatan

61

Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI (Jakarta: Sekretariat

Jenderal DPR-RI, 16 April 2015, 2.

Page 135: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

120

diluar prosedur konstitusi. Kedua pendekatan tersebut berhasil mengurangi

ketegangan eksekutif-legislatif yang biasanya terjadi dalam konteks divided

government.

1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi

Pendekatan ini berkaitan dengan mekanisme yang tercantum dalam

konstitusi yang mengharuskan eksekutif dan legislatif duduk bersama dalam

pengambilan keputusan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 (2) Undang-

Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap rancangan undang-undang dibahas

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan

bersama.” Aturan tersebut mendorong eksekutif dan legislatif bisa saling

meninggalkan ego dan kepentingannya masing-masing, hal tersebut terjadi

dikarenakan konstitusi ini mengarahkan eksekutif dan legislatif untuk

bernegosiasi, meskipun terjadi dalam konteks divided government.

Sepintas, mungkin penjelasan ini agak mirip dengan tesis Djayadi Hanan

ketika berbicara mengenai kelancaran sistem presidensialisme di Indonesia selama

era SBY, namun penjelasan tersebut tidak mencakup periode divided government

sebagai bahan pertimbangan untuk menjelaskan relasi eksekutif-legislatif. Padahal

secara umum, terjadinya deadlock dalam sistem presidensialisme itu terlebih

dahulu diawali dengan adanya proses divided govenment dalam stuktur

penguasaan di lembaga eksekutif dan legislatif, karena tidak mungkin eksekutif

dan legislatif terjadi dikotomi jika tidak ada pembelahan pemerintahan antara

eksekutif dan legislatif yang dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Dan

Page 136: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

121

mekanisme yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 telah membantu

mengurangi terjadinya deadlock yang sebagaimana dikhawatirkan oleh teoritisi

sebelumnya yang berbicara mengenai divided government. Mekanisme ini

berbeda bila dibanding dengan sistem presidensialisme di Amerika Serikat yang

mana antara eksekutif dan legislatif tidak dijembatani secara bersama dalam

proses perumusan Undang-Undang.

Keberhasilan pendekatan melalui prosedur konstitusi dalam mekanisme

perumusan Undang-Undang yang mampu mengurangi kekhawatiran deadlock

dalam konteks divided government adalah prestasi bagi berlangsunganya sistem

presidensialisme-multipartai di Indonesia. Mengingat, banyak asumsi teoritik

sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II mengenai hubungan yang dekat

antara terjadinya deadlock dengan divided government. Keberhasilan ini berbeda

halnya dengan kepemimpinan SBY yang juga tidak mengalami deadlock,

sebagaimana yang ditulis Djayadi Hanan dengan menunjukan tesis adanya koalisi

dengan jumlah besar atau diatas single majority (50%+1) sebagai faktor yang ikut

berperan dalam menghindari terjadi deadlock, pendekatan koalisi ini juga yang

menurut William R. Liddle, fenomena divided government tidak terjadi dalam era

SBY,62

dan komposisi eksekutif dan mayoritas legislatif saat era SBY pada

dasarnya dikuasai oleh kelompok yang sama yang dikoordinasikan dalam

Sekretariat Gabungan (Setgab) sehingga pendekatan melalui prosedur konstitusi

yang berlangsung pada era SBY adalah relasi yang dibangun oleh satu kelompok

koalisi yang terpisah secara kelembagaan antara eksekutif dan legislatif sehingga

62

Wawancara dengan William R Liddle.

Page 137: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

122

sulit untuk terjadi kegaduhan diantara kedua lembaga tersebut, karena eksekutif

dan partai-partai mayoritas di DPR sudah diikat melalui pendekatan koalisi,

meskipun koalisi tersebut seringkali tidak permanen atau dalam berbagai isu

cenderung mengeluarkan sikap yang berbeda dengan pemerintah.

Pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang mengalami divided

government, pendekatan melalui prosedur konstitusi berhasil membantu relasi

antara eksekutif-legislatif berjalan dengan interaktif dan tanpa terjadi deadlock.

Sebagai contoh kasus dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, hal tersebut

nampak pada penolakan dan perubahan beberapa usulan RAPBN-P 2015 oleh

DPR dari yang sebelumnya diusulkan oleh Presiden seperti yang tergambar pada

Tabel IV.B.1.1 mengenai proses silang pendapat antara pemerintah saat rapat-

rapat di Komisi DPR mengenai Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015.

Sehingga menurut Adian Napitupulu tercipta negosiasi dalam proses politik,63

dan

berakhir pada win-win solution antara eksekutif dan legislatif. Kasus lain yang

bisa dijadikan contoh adalah mengenai seluruh rangkaian pembahasan revisi UU

MD3. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa UU MD3

berkali-kali dilakukan revisi saat sebelum dan sesudah presiden dan DPR periode

2014-2019 dilantik. Misalnya saat DPR periode 2009-2014 masih menjabat telah

dilakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014

yang didalamnya memuat perubahan dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak

secara otomatis dikuasai oleh partai pemenang pemilu tetapi dipilih melalui

mekanisme demokratis. Proses perubahan tersebut kental dengan nuansa

63

Wawancara dengan Adian Napitupulu, Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III

DPR-RI periode 2014-2019, tanggal 18 Mei 2015.

Page 138: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

123

kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi

Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang-

Undang tersebut. Sebagai pemenang dalam proses revisi tersebut, membuat

Koalisi Merah Putih berhasil memenangkan perebutan kursi pimpinan DPR, dan

tak ada satu pun kursi pimpinan diberikan kepada Koalisi Indonesia Hebat. Bisa

dikatakan hal tersebut merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari proses

divided government yang terjadi di intra-legislatif. Hal itu pula yang menjadikan

Koalisi Indonesia Hebat sebagai representasi eksekutif di legislatif sangat

menolak revisi tersebut dan memiliki walk out saat rapat paripurna. Praktis hal itu

membuat PDI-P merugi karena sebagai partai pemenang pemilu tidak berhasil

merebut kursi pimpinan DPR, bahkan MPR sekalipun. Proses penolakan tersebut

nampak pada terbentuknya pimpinan DPR tandingan versi Koalisi Indonesia

Hebat sehingga membuat fungsi dan tugas DPR dalam beberapa waktu

mengalami tersendat.64

Namun, tersendatnya fungsi dan tugas DPR tersebut

perlahan bisa diselesaikan melalui mekanisme konstitusi dengan diadakannya

revisi UU MD3 kembali di rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Desember 2015,

meskipun sebelumnya juga diselingi oleh pertemuan-pertemuan informal, yang

nantinya akan disinggung pada sub-bab berikutnya mengenai pendekatan diluar

64

Berdasarkan Tata Tertib DPR, dalam Pasal 281 maupun Pasal 284 Ayat 1 tertera bahwa

pengambilan keputusan DPR melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak

menjadi sah, jika didapat melalui forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur

di Pasal 251, bahwa pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri

atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada. Jika dilihat melalui mekanisme kuorum maka DPR

dapat mengambil keputusan sah jika dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Aturan tersebut

tidak bisa dipenuhi dikarenakan PPP yang semula bergabung ke Koalisi Merah Mutih berpindah

ke Koalisi Indonesia Hebat, sehingga polarisasi di DPR semakin sengit dengan kedua kubu sama-

sama memiliki lima fraksi. Melalui aturan yang tertera dalam tata tertib DPR pasal 254 dan 251,

membuat keberadaan dualisme kepemimpinan DPR berakibat pada ketidakmampuan DPR dalam

menjalankan tugas dan fungsinya.

Page 139: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

124

prosedur konstitusi. Adanya revisi UU MD3 tersebut membuat pendekatan

melalui prosedur konstitusi ini berhasil membuat Koalisi Indonesia Hebat dan

Koalisi Merah Putih menurunkan ketegangan yang diakibatkan dampak pilpres.

Meskipun sebelumnya terjadi ketegangan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi

Indonesia Hebat di DPR, keduanya berhasil menunjukan sikap islah dengan

adanya revisi UU MD3 sebagai persyaratan. Sehingga mekanisme yang tercantum

dalam konstitusi berhasil mendorong konsensus antara kedua kubu di DPR.

Selain itu, bagi penulis, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini tidak

bisa dipahami secara langsung dan tersendiri, tetapi juga dikombinasikan dengan

model pendekatan diluar prosedur konstitusi guna melancarkan relasi eksekutif

dan legislatif. Sehingga, jelas bahwa pendekatan ini merupakan cara formal guna

memberikan suatu dorongan untuk kedua kubu di DPR agar bisa saling bertemu

untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sekalipun, persetujuan bersama tersebut

harus ditempuh bagi kedua kubu yang sebelumnya mengalami ketegangan pasca

Pilpres 2014. Oleh karenanya, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini bisa

dilakukan dengan baik jika sebelumnya didahului dengan pendekatan diluar

prosedur konstitusi seperti adanya pertemuan antara pemerintah dengan oposisi

guna memastikan bahwa agenda-agenda yang akan dibahas dalam paripurna bisa

berjalan dengan tanpa hambatan.

Secara formal, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini menjadi penting

guna menjaga agar deadlock tidak terjadi dalam konteks divided government.

Pendekatan ini mengarahkan kedua kubu yang berseteru untuk lebih menunjukan

sikap kompromistis dalam mencapai kesepakatan dan dengan sendirinya

Page 140: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

125

memerlukan sikap kerelaan bagi kedua kubu untuk menerima hal yang tidak ideal

dari apa yang sebelumnya diharapkan, sesaat sebelum terjadinya pertemuan dalam

rangka pembahasan bersama tersebut. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Viva

Yoga Mauladi, dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, dikemukakan bahwa

mekanisme ini membuat antar kelompok saling berorientasi pada national interest

dan tidak berporos pada Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.65

Hal

yang sama juga dikatakan oleh Indra J Piliang bahwa sampai pada akhirnya,

konflik antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih akan

menemukan titik kompromi dalam membangun relasi eksekutif dengan

legislatif.66

Tak hanya itu, Indra J Piliang bahkan mengutarakan

ketidaksepahamannya dengan pendekatan koalisi dalam sistem presidensial

sebagai respon strategis untuk menghindari kegaduhan eksekutif dan legislatif

sebagaimana yang diutarakan oleh para pendukung tesis koalisi presidensial

seperti Paul Chaisty, Nic Cheseeman, T.J Power. Menurutnya, koalisi dalam

konteks Indonesia yang menganut sistem desentralisasi dipandang tidak sesuai

dengan dinamika yang terjadi di tingkat daerah dan pusat. Seperti yang dikutip

dalam petikan wawancara berikut.

“Oleh karenanya pendekatan koalisi menjadi tak mungkin dalam konteks

indonesia. karena kita kan ada 500 lebih gubernur dan walikota. Di masing-

masing daerah itupartai penguasanya beda-beda. Tau gak pemenang pemilu

di kota Solonto siapa? Dari PKPI coba. Kalah golkar. Di kota pariaman,

hampir saja PBB menjadi pemenang pemilu. Hampir kalah golkar, dinamika

di daerah lalu mau dikoalisikan di pusat? Ya gak bisa.” 67

65

Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-2019 /

Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), tanggal 10 Mei 2015. 66

Wawancara dengan Indra J. Piliang, Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara- Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB), tanggal 27 Maret 2015. 67

Wawancara dengan Indra J. Piliang.

Page 141: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

126

Pandangan Indra J Piliang tersebut dipandang kontras bila dibandingkan dengan

pendekatan koalisi presidensial yang pada umumnya mendorong adanya koalisi

guna menjaga relasi eksekutif dan legislatif bisa berjalan baik. Namun, ketika

penulis menyodorkan tesis koalisi presidensial tersebut, Indra J Piliang bisa

dengan yakin mengatakan bahwa sampai pada akhirnya kompromi-kompromi

dalam hal perumusan kebijakan akan tetap terjadi,68

meskipun tidak dijembatani

melalui pendekatan koalisi. Hal tersebut bisa ditenggarai sebagai dampak positif

dari prosedur konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 (2) Undang-

Undang Dasar 1945 yang membuat eksekutif dan legislatif bisa saling

mendiskusikan rencana kebijakan secara bersama-sama, sehingga bisa

meminimalisir terjadi konflik kelembagaan diantara keduanya dan mencegah

terjadinya deadlock, karena hal tersebut ditutupi oleh mekanisme konsensus yang

mampu meredam ketegangan yang biasanya terjadi dalam kondisi divided

government.

2. Pendekatan diluar Prosedur Konstitusi

Pendekatan ini berkaitan dengan adanya mekanisme kesepakatan yang

tidak diatur dalam konstitusi antara pemerintah dengan oposisi yang

terfragmentasi dalam lembaga eksekutif dan legislatif guna memuluskan

kebijakan pemerintah. Atau yang sering disebut oleh Djayadi Hanan sebagai

lobby informal, namun penulis sengaja menyebutnya sebagai pendekatan diluar

konstitusi karena pendekatan ini seringkali menimbulkan kritik dan memiliki

prasangka negatif dalam proses relasi eksekutif dan legislatif yang berakhir

68

Wawancara dengan Indra J. Piliang.

Page 142: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

127

dengan kesepakatan bersama, sehingga penyebutan mekanisme informal

sebagaimana disebutkan Djayadi Hanan dinilai kurang tepat dalam menempatkan

sebuah nilai dalam praktek demokrasi. Meskipun, tidak semua yang dilakukan

dalam mekanisme diluar konstitusi ini mengabaikan prinsip etika dan moralitas

dalam politik. Beberapa pendekatan yang dimaksud yakni adanya lobby-lobby,

kompromi dan tidak jarang menimbulkan transaksi politik. Hal itu yang kerap

dilakukan oleh Jokowi dengan oposisi pemerintah guna memuluskan kebijakan di

DPR. Padahal logikanya, hubungan antara pemerintah dengan oposisi selalu

berada dipihak yang bersebrangan dalam proses pengambilan kebijakan, atau jika

ada kebijakan pemerintah yang dianggap keliru dimata publik maka oposisi akan

menolaknya. Namun logika tersebut tidak tampak dalam periode divided

government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Padahal sebelumnya, hubungan antara eksekutif yang direpresentasikan

sebagai Koalisi Indonesia Hebat dan legislatif yang direpresentasikan sebagai

Koalisi Merah Putih mengalami perseteruan sengit sebagai dampak Pilpres 2014.

Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Elgie bahwa kompetisi dan

konflik dalam politik adalah hal yang wajar, tinggal bagaimana sikap dari

pemimpin untuk menghadapi hal tersebut, termasuk sikap Presiden dalam

menghadapi fenomena divided government.69

Sebagai perwujudan dari sikap

Presiden, pendekatan diluar prosedur konstitusi ini memungkinkan adanya

interaksi antara Presiden dengan petinggi dari kelompok oposisi pemerintah.

Interaksi ini bisa dilakukan kapan saja diluar jadwal masa persidangan DPR.

69

Wawancara dengan Robert Elgie, Professor bidang Pemerintahan dan Studi

Internasional, Dublin City University, Ireland, tanggal 18 Februari 2015.

Page 143: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

128

Pendekatan diluar prosedur konstitusi ini juga kerap ditunjukan dalam interaksi

yang dilakukan oleh Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada tanggal 29

Januari 2015 di Istana Bogor melalui pertemuan tertutup yang kemudian

dilanjutkan dengan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan akan siap

mendukung pemerintahan Joko Widodo. Ini menjadi unik, padahal Prabowo

Subianto adalah petinggi dari Koalisi Merah Putih yang merupakan oposisi

pemerintah tetapi dalam pidatonya menunjukan dukungannya terhadap kebijakan

pemerintah saat berhadapan dengan DPR. Sehingga mekanisme diluar konstitusi

ini menjadi solusi untuk mengurangi ketegangan antara eksekutif dan legislatif

yang mengalami divided government.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pendekatan diluar prosedur

konstitusi ini kerap menjadi sasaran kritik karena seringkali interaksi ini

berlangsung secara tertutup sehingga menimbulkan prasangka negatif terkait

pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di belakang, Sebagaimana yang terjadi

dalam pertemuan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada tanggal 29

Januari 2015, salah satu narasumber yang tidak bersedia disebutkan namanya

mengatakan:

“Kedatangan Prabowo yang utama bukan untuk membahas isu Kapolri atau

Pencak Silat yang sebagaimana beredar. Ini informasi yang tidak tersebar di

media. Jadi begini, Prabowo itu kan punya perusahaan, namanya PT Kiani

Kertas. Perusahaannya itu saat ini memiliki hutang sekitar 2 Triliun. Nah

dalam pembicaraan yang tertutup itu, Prabowo meminta kepada Jokowi

untuk supaya pemerintah menanggung hutang diperusahaannya itu. Saya tak

tahu, feedback apa yang diterima oleh Jokowi bila menuruti permintaannya

Page 144: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

129

Prabowo. Dan Jokowi saat itu tidak menjawab apa-apa. Tetapi hanya

melontarkan senyum kepada Prabowo.” 70

Dengan begitu, pendekatan ini memiliki problematika tersendiri ketika pemerintah

dan oposisi sudah menempuh jalur kesepakatan, Walaupun, relasi antara

eksekutif-legislatif berjalan tanpa hambatan tetapi menimbulkan transaksi-

transaksi politik yang terjadi demi kepentingan elit dan mengabaikan kepentingan

publik secara umum, artinya ada sesuatu yang dikorbankan daripada sekadar

terjadinya suatu deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif.

Selain itu, kasus lain yang bisa dijadikan contoh sebagai pendekatan diluar

prosedur konstitusi adalah saat pembahasan UU MD3, yang sebelumnya terjadi

beberapa kali revisi, namun proses itu juga diawali dengan adanya pertemuan

informal yang dilakukan oleh Pramono Anung sebagai perwakilan dari Koalisi

Indonesia Hebat dan Hatta Rajasa sebagai perwakilan dari Koalisi Merah Putih.

Setelah diadakan pertemuan tertutup yang dilakukan pada tanggal 12 November

2015 di kediaman Hatta Rajasa tersebut, keduanya menyatakan sikap islah dengan

adanya kompensasi politik sebesar 21 kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD)

DPR untuk Koalisi Indonesia Hebat. Sehingga, pendekatan ini kental dengan

nuansa transaksi politik guna menghindari terjadinya deadlock. Ini juga yang

menjadi kekurangan secara mendasar mengenai pendekatan diluar prosedur

konstitusi untuk menghindari deadlock dalam konteks divided government.

Dengan diberikannya kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR untuk Koalisi

Indonesia Hebat, kedua kubu yang berseteru bisa berdamai seiring dibubarkannya

70

Untuk menjaga keamanan informasi dan mencegah hal yang tidak diinginkan. Tanpa

mengurangi validitas informasi, narasumber tidak bersedia disebutkan identitasnya.

Page 145: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

130

pimpinan DPR tandingan versi Koalisi Indonesia Hebat yang praktis telah

membuat fungsi dan tugas DPR menjadi terhambat dalam beberapa waktu setelah

dilantik.

Sebetulnya, ada kasus lain yang bisa dijadikan contoh untuk menela’ah

pendekatan diluar prosedur konstitusi secara lebih lanjut, dalam hubungan antara

Joko Widodo dengan Aburizal Bakrie misalnya. Pada tanggal 18 Desember 2014,

Jokowi menyatakan akan membeli PT Minarak Lapindo dan melunasi ganti rugi

kepada korban sebesar 781 Miliar.71

Penulis tidak menemukan data terkait

pengakuan adanya deal-deal politik di balik upaya Joko Widodo untuk melunasi

ganti rugi tersebut, namun hal itu bisa terindikasi demikian, mengingat, hal itu

tampak dari beberapa sikap Golkar saat masih dipimpin oleh Aburzal Bakrie

terhadap penerimaan seluruh proses legislasi pada saat periode divided

government yang dibatasi dalam penelitian ini. Hal tersebut begitu kontras apabila

dibandingkan dengan sikap Aburizal Bakrie yang sejak sebelum Pilpres berada di

pihak yang bersebrangan dengan Joko Widodo, namun dalam kasus penyelesaian

PT Minarak Lapindo, keduanya bisa saling bersinergi. Sehingga dalam hal ini

divided government tidak menyulitkan kedua kubu untuk saling berinteraksi,

mengingat hubungan diantara keduanya berada pada posisi saling membutuhkan.

Presiden membutuhkan dukungan oposisi supaya usulan kebijakannya bisa

diterima, begitupun juga dengan oposisi yang juga memiliki kepentingan guna

memperoleh sumber daya yang ada dalam negara, mengingat, para petinggi

71

“Kasus Lumpur Lapindo, Desmond: Jokowi Sandera Ical,” Tempo, 19 Desember 2014

http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629754/Kasus-Lumpur-Lapindo-Desmond-

Jokowi-Sandera-Ical Diunduh pada 28 Juni 2015.

Page 146: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

131

oposisi juga lebih banyak diisi oleh kalangan pengusaha sehingga apa yang

menjadi daya tawar sumber daya tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan

kepentingan bisnis. Prabowo misalnya yang dihubungkan dengan PT Kiani

Kertas, begitu juga dengan Aburizal Bakrie yang dihubungkan dengan PT

Minarak Lapindo. Karena petinggi oposisi tersebut juga memiliki kekuatan sentral

di masing-masing partai sehingga untuk melakukan mekanisme diluar konstitusi

ini, Presiden hanya cukup untuk melakukan komunikasi kepada satu atau dua

orang saja untuk memastikan dukungan seluruh kursi partai politik yang

bersangkutan di DPR.

Selain itu, yang perlu menjadi catatan dalam pendekatan ini adalah

perilaku aktor menjadi kunci penting yang membuat pendekatan diluar prosedur

konstitusi ini dapat berjalan. Pendekatan ini hanya bisa terjadi apabila perilaku

aktor atau Presiden mampu berkompromi dan luwes dalam membangun

komunikasi dengan pihak oposisi pemerintah. Jika perilaku aktor tidak memenuhi

syarat tersebut, maka pendekatan ini akan sulit bisa terealisasikan. Selain itu,

kelemahan yang terjadi akibat pendekatan ini yakni memicu adanya transaksi

politik antara pemerintah dengan oposisi atau jika boleh dikatakan sebagai mahar

politik atas dukungan kebijakan pemerintah di legislatif. Hal ini tidak saja

mengabaikan komitmen ideologis dan perjuangan platform, tetapi juga

mengabaikan substansi dari demokrasi yang seharusnya lebih mengutamakan

kepentingan publik. Kenapa ini menjadi bermasalah? Dalam berbagai kasus, tidak

bisa dipungkiri bahwa pendekatan diluar prosedur konstitusi ini berada di posisi

menguntungkan bagi elit-elit di partai politik, meskipun secara umum partai

Page 147: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

132

politik adalah institusi yang bersifat collective collegial dan menyangkut beragam

kepentingan para kader yang ada di dalam tubuh partai politik, namun keberadaan

elit partai yang paling berpengaruh membuat seringkali kebijakan partai

ditentukan oleh perseorangan dan seringkali mengabaikan prinsip collective

collegial, meskipun hal itu tak seluruhnya diakui oleh sebagian pengurus partai.

Contohnya saat Joko Widodo melalukan pertemuan dengan Prabowo Subianto

tanggal 29 Januari 2015 di Istana Bogor yang kemudian disusul oleh sikap Koalisi

Merah Putih yang akan mendukung kebijakan pemerintah. Sehingga proses

negosiasi cukup dilakukan oleh perseorangan untuk memastikan dukungan yang

besar di DPR. Ini yang membuat pendekatan diluar prosedur konstitusi bisa

dilakukan dengan mudah dan bisa dilakukan kapan saja, diluar masa persidangan

DPR. Begitu juga berkaitan dengan kompensasi politik yang dihasilkan dalam

proses negosiasi juga lebih menguntungkan kepentingan para elit-elit partai politik

saja dengan distribusi yang tidak merata kepada seluruh kader partai politik. Ini

merupakan dampak buruk dari pendekatan diluar prosedur konstitusi yang juga

tidak bisa diabaikan dan bahkan bisa dikatakan tidak kalah bahayanya jika

dibandingkan dengan kondisi deadlock. Tetapi meskipun begitu, mekanisme ini

bisa berakhir dengan win-win solution antara dua kubu yang terdikotomi antara

eksekutif dan legislatif. Berdasarkan informasi melalui wawancara, Eva Kusuma

Sundari juga mengafirmasi bahwa sikap kompromi perlu dilakukan agar eksekutif

dan legislatif bisa berakhir dengan win-win solution.72

Begitu juga menurut

politisi Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla yang menyatakan bahwa kultur

72

Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari, Politisi PDI-Perjuangan dan mantan Komisi

III DPR-RI 2009-2014, tanggal 1 Mei 2015.

Page 148: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

133

politik di Indonesia pada dasarnya kompromistis.73

Sehingga sikap tersebut yang

membuat divided government di Indonesia tidak berakhir pada kesulitan eksekutif

dalam membangun kesepakatan dengan legislatif.

Sikap perilaku aktor yang luwes dalam membangun komunikasi dengan

oposisi pemerintah membuat titik kopromi adalah keniscayaan. Selain itu,

ketidaksolidan koalisi di dalam sistem presidensialisme-multipartai juga berhasil

membuat fenomena divided government tidak berlangsung dalam waktu yang

lama. Hal tersebut senada dengan paparan David Altman di dalam bab II bahwa

dalam sistem presidensialisme-multipartai, keberadaan partai di dalam koalisi bisa

berpindah di satu periode kepemimpinan presiden. Seperti yang terjadi pada

fenomena berpindahnya PPP dari yang sebelumnya berada di Koalisi Merah Putih

lalu bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat saat proses pemilihan pimpinan MPR

periode 2014-2019. Selain itu juga ketidakstabilan koalisi di dalam Partai Golkar

yang mengalami dualisme kepemimpinan juga mempengaruhi arah koalisi Partai

Golkar. Mengingat, kepengurusan Agung Laksono yang mendapatkan pengesahan

SK Menkumham telah mendeklarasikan diri mendukung pemerintahan. Meskipun

disadari juga terdapat beberapa kader Partai Golkar yang masih memposisikan

dirinnya sebagai oposisi pemerintah, seperti kepengurusan Golkar versi Aburizal

Bakrie. Sehingga fenomena tidak solidnya partai politik terhadap arah koalisi serta

kemungkinan berpindahnya partai politik dari satu koalisi ke koalisi yang lain

berdampak pada tidak kuatnya bangunan divided government yang terjadi di

Indonesia yang mana fenomena tersebut tidak terjadi dalam waktu yang lama dan

73

Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla.

Page 149: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

134

bisa berujung pada hubungan saling kerjasama antara eksekutif dan legislatif

dalam membangun kesepakatan bersama. Hal tersebut sebagaimana yang

dipaparkan oleh William R. Liddle bahwa demokrasi sehat harus ada

keseimbangan antara budaya konflik dan kompromi. Dalam politik, konflik akan

selalu terjadi, sebab kelompok kepentingan akan selalu berusaha untuk

memengaruhi proses pengambilan keputusan, tetapi pada akhirnya kelompok

tersebut harus bersedia menerima sesuatu yang kurang dari ideal dari apa yang

sebelumnya diharapkan. Penerimaan terhadap hal yang tidak idealnya itu adalah

wujud perjuangan demi keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri atau Robert

Dahl menyebutnya sebagai Polyarchy.74

Bahkan dengan nada yang lebih optimis,

Sebastien Lazardeaux berasumsi bahwa fenomena divided government bisa

memberikan kesempatan lobby antara eksekutif dan legislatif untuk

mempengaruhi kebijakan yang lebih baik.75

Meskipun diakui bahwa hal tersebut

belum teruji secara empirik. Berbeda dengan optimisme yang dibawa Sebastien

mengenai lobby dalam sistem presidensial, Hamdi Muluk justru menunjukan nada

sinis mengenai lobby dan kompromi yang dimungkinkan terjadi dalam sistem

presidensial yang mengacu pada pemerintahan SBY. Sebagaimana yang

dipaparkan oleh Hamdi Muluk dalam kutipan wawancara yang mengatakan:

“Sebenernya kita bisa menerima kompromi kalau kepentingan publik ini

bisa diakomodasi secara maksimal yang diambil secara keputusan bersama

dan dieksekusi. Itu artinya kinerja pencapaian publik saat era SBY tidak big

impression. Meskipun secara hubungan eksekutif dan legislatif ya stabil,

tetapi kalau kita memaknai prestasi SBY selama 2 periode ini apa? Ya

meskipun kerusuhan politik pun minim seperti yang dibilang Djayadi. Antar

74

Wawancara dengan William R. Liddle. 75

Wawancara dengan Sebastien G. Lazardeux, Asisten Professor Ilmu Politik, St. John

Fisher College, tanggal 9 Februari 2015.

Page 150: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

135

aktor juga tak banyak berkelahi, itu juga benar. Dan orang pada tahu

akhirnya, ada permainan anggaran di belakang.” 76

Sinisme yang ditunjukan oleh Hamdi Muluk tentunya juga menjadi kekhawatiran

penulis mengenai dampak buruk dari pendekatan diluar prosedur konstitusi ini,

namun hal itu sekiranya bisa ditutupi oleh keterbukaan peran masyarakat untuk

bisa lebih mengontrol dan mengawasi berbagai macam implementasi dari

pendekatan ini, termasuk lebih diutamakan adanya peran Non-Government

Organization (NGO) pro reformasi yang lebih bisa mengawal dampak buruk

tersebut. Hal ini penting dalam upaya menyelesaikan masalah dengan tidak

menghasilkan masalah baru. Oleh karenanya peran publik sangat dibutuhkan

untuk mengontrol proses tersebut agar tidak terjadi penyelewengan yang mungkin

bisa saja merugikan negara sebagai akibat buruk dari pendekatan diluar prosedur

konstitusi ini.

Terakhir, proses ini tidak saja dilakukan saat pemerintahan Jokowi, saat

pemerintahan SBY pun juga demikian, namun apabila dibandingkan, keduanya

memiliki corak kompromistis yang berbeda, apabila di pemerintahan SBY,

kompromistis dibangun berdasarkan intra-koalisi, atau kompromi yang sudah

diikat melalui pendekatan koalisi, sehingga ini berbeda dengan jenis kompromi

pada pemerintahan Jokowi yang dilakukan melalui antar-koalisi dan dalam

konteks divided government. Selain itu penulis juga tidak mendapatkan data

terkait sejauh mana perbandingan kerugian yang dihasilkan dari pendekatan diluar

prosedur konstitusi yang terjadi antara pemerintahan Jokowi yang mengalami

divided government dengan pemerintahan SBY yang mengalami unified

76

Wawancara dengan Hamdi Muluk.

Page 151: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

136

government, apakah dampak buruk dari pendekatan diluar prosedur konstitusi

dalam konteks divided government jauh lebih besar atau lebih sedikit bila

dibanding dengan konteks unified government seperti era SBY, itu harus

dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, terlepas dari segala kekurangannya,

pendekatan diluar prosedur ini berhasil mencairkan suasana ketegangan antara

eksekutif dengan legislatif dalam konteks divided government. Sehingga ini

berhasil membuat relasi eksekutif-legislatif bisa berjalan tanpa adanya deadlock.

Page 152: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

137

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan koalisi presidensial

untuk menganalisis faktor terjadinya divided government pada pemerintahan Joko

Widodo – Jusuf Kalla sekaligus melihat seberapa kuat pendekatan koalisi

presidensial untuk dijadikan respon strategis terhadap dilema kelembagaan yang

ditimbulkan terkait kompleksitas eksekutif atau presiden dengan legislatif yang

terfragmentasi dengan sistem multipartai sebagaimana yang dikatakan oleh Paul

Chaisty dkk, pada bab II penelitian ini, atau sebagaimana yang diklasifikasikan

oleh Jose Antonio Cheibub mengenai pentingnya eksekutif untuk memperoleh

koalisi diatas single majority (50%+1) untuk melancarkan agenda-agenda

pemerintah dalam sistem presidensialisme-multipartai.

Penelitian ini menemukan bahwa kegagalan eksekutif dalam membangun

koalisi presidensial menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya divided

government pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal ini ditenggarai oleh

ketidakcapakan PDI-P sebagai partai pemenang pemilu untuk bersikap lebih

terbuka dengan partai-partai lain, yang menurut beberapa narasumber dalam

penelitian ini, partai-partai diluar PDI-P atau Koalisi Indonesia Hebat sudah

berusaha untuk membuka komunikasi namun hal itu diabaikan oleh Megawati

sebagai pemegang otoritas dalam PDI-P sehingga menyebabkan koalisi partai

pemerintahan tidak mencapai single majority (50%+1) atau terjadi divided

Page 153: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

138

government yakni kondisi dimana eksekutif tidak memiliki kekuatan koalisi partai

pemerintahan (the ruling coalition parties) secara mayoritas di legislatif dan

berujung pada dikuasainya kedua lembaga tersebut oleh dua kelompok yang

berbeda.

Namun, sebagaimana yang sudah dianaisis pada bab sebelumnya bahwa

berbeda dengan asumsi teoritik mengenai divided government dalam sistem

presidensialisme-multipartai yang dianggap berpotensi deadlock (Cheibub, 1999;

Elgie, 2001), maka pada periode divided government yang penulis ambil dalam

penelitian ini asumsi teoritik tersebut cenderung tidak terbukti. Pendekatan koalisi

presidensial yang mensyarakatkan kemampuan eksekutif harus mendapatkan

dukungan koalisi kemenangan minimal atau single majority (50%+1) di legislatif

untuk melancarkan agenda dan usulan yang dibawa oleh eksekutif tidak lagi

menjadi tolak ukur atau dengan sendirinya gugur untuk menjelaskan relasi

ekskutif-legislatif yang kooperatif dalam konteks Indonesia. Mengingat, kasus

yang penulis kaji dalam penelitian ini berbeda hal dengan yang terjadi pada

periode Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki koalisi diatas single majority

(50%+1) atau koalisi dengan angka maksimal (maximum winning coalition)

sehingga keberhasilan membangun koalisi presidensial bisa dikatakan menjadi

salah satu faktor yang mampu menghindari deadlock dalam sistem presidensial di

era SBY sebagaimana disimpulkan oleh Djayadi Hanan. Berbeda dengan realitas

tersebut, maka dalam penelitian yang mengkaji periode divided government pada

pemerintahan Joko Widodo ditemukan bahwa sekalipun eksekutif tidak berhasil

membangun kekuatan koalisi presidensial diatas single majority (50%+1) , relasi

Page 154: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

139

antara eksekutif dan legislatif bisa berjalan dengan baik dan tanpa ada potensi

deadlock yang sebagaimana diasumsikan oleh para teoritisi sebelumnya. Sehingga

ini menjadi satu fenomena yang tergolong baru untuk dalam sejarah Indonesia era

reformasi.

Implikasi teoritis dalam penelitian ini adalah dengan sendirinya teori yang

dijabarkan oleh Jose Antonio Cheibub mengenai peluang deadlock dalam sistem

presidensial yang sebagaimana digambarkan pada bab IV gagal untuk

menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia. Begitu juga halnya dengan

penjelasan yang dilakukan oleh Paul Chaisty, Nic Cheseeman, T.J Power

mengenai tesisnya tentang koalisi presidensial juga dipandang kurang mampu

menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia, karena pandangan mereka

ketiganya selalu bermuara pada pendekatan koalisi yang diinisiasi oleh presiden

sebagai jalan alternatif untuk menghindari deadlock dalam sistem presidensial.

Meskipun dalam studi ini pendekatan koalisi juga dilakukan oleh pemerintahan

Joko Widodo – Jusuf Kalla tetapi koalisi yang dibangun tersebut tidak mencapai

batas minimal single majority sebagai satu syarat bagi berlangsungnya sistem

presidensial sebagaimana yang dipaparkan oleh para pendukung tesis koalisi

presidensial. Bertolak belakang dari hal tersebut, dalam penelitian ini relasi

ekskutif-legislatif bisa berjalan dengan baik tanpa adanya deadlock meskipun

eksekutif tidak memiliki angka koalisi presidensial yang mencapai single majority

atau terjadi divided government. Dengan kata lain, divided government dalam

sistem presidensialisme multipartai di Indonesia, terutama pada pemerintahan

Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya terjadi dalam ranah struktural dan sebagai

Page 155: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

140

sesuatu hal yang tidak mumcul dipermukaan dalam proses pengambilan kebijakan

yang berpotensi menimbulkan kegaduhan dan kesulitan dalam membangun

kesepakatan bersama yang sebagaimana diasumsikan oleh para teoritisi

sebelumnya.

Mengapa hal tersebut terjadi? Dalam penelitian ini penulis memiliki analisis

bahwa pendekatan melalui prosedur konstitusi dan pendekatan diluar prosedur

konstitusi dalam sistem presidensial di Indonesia menjadi faktor penting mengapa

divided government di Indonesia tidak berakhir dengan deadlock. Pendekatan

melalui prosedur konstitusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

mekanisme pembahasan bersama antara Presiden dengan DPR dalam proses

perumusan kebijakan yang sebagaimana tercantum dalam pasal 20 (2) UUD 1945

menjadi salah satu faktor penting mengapa deadlock tidak terjadi dalam konteks

divided government dalam relasi eksekutif-legislatif di Indonesia. Mekanisme

yang diatur dalam konstitusi ini menggiring eksekutif dan legislatif ke arah

negosiasi dan kompromi guna meninggalkan ego serta kepentingannya masing-

masing. Sebagaimana yang dikutip dari William Liddle pada bab empat, bahwa

demokrasi sehat harus ada keseimbangan antara budaya konflik dan kompromi.

Dalam politik, konflik akan selalu ada, sebab kelompok kepentingan akan selalu

berusaha untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan, tetapi pada akhirnya

kelompok-kelompok tersebut harus bersedia menerima sesuatu yang kurang dari

ideal dari apa yang sebelumnya diharapkan. Penerimaan terhadap hal yang tidak

idealnya itu adalah wujud perjuangan demi keberlanjutan sistem demokrasi itu

sendiri, atau dalam istilah yang dipopulerkan oleh Robert Dahl sebagai Polyarchy.

Page 156: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

141

Mekanisme yang tertera dalam pasal 20 (2) UUD 1945 dianggap mampu

mendorong apa yang disebut oleh Robert Dahl tersebut.

Lalu, pendekatan diluar prosedur konstitusi yakni adanya mekanisme yang

tidak diatur dalam konstitusi berupa pola interaksi tertutup antara pemerintah dan

oposisi yang terfragmentasi antara eksekutif dan legislatif yang dilakukan secara

informal turut membantu dalam meminimalisir terjadinya deadlock, sekalipun

interaksi ini dilakukan oleh pemerintah dan oposisi. Namun pendekatan ini sangat

berkaitan dengan perilaku aktor, seperti pertemuan antara Jokowi dengan

Prabowo di Istana Bogor pada tanggal 29 Januari 2015 yang kemudian

dilanjutkan dengan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan dukungannya

terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi. Hal ini juga turut membantu

menghindari deadlock antara eksekutif dengan legislatif dalam konteks divided

government. Namun, sebagaimana dijelaskan pada bab IV, pendekatan diluar

prosedur konstitusi ini kerap menjadi sasaran kritik karena memiliki muatan

transaksional untuk menghindari deadlock antara pemerintah dengan oposisi dan

hal tersebut bagi sebagian pihak dianggap tidak kalah bahayanya jika dibanding

dengan resiko deadlock. Mengingat, transaksi politik tersebut kerap kali hanya

menguntungkan sebagian kecil elit-elit politik guna mencapai kepentingan

pribadinya, sehingga, dampak buruk tersebut tidak bisa diabaikan dan perlu

menjadi catatan dalam mengkritisi ketidakadanya deadlock dalam sistem

presidensial yang mengalami divided government. Untuk meminimalisir transaksi

politik sebagai dampak dari pendekatan diluar prosedur konstitusi ini maka sangat

diperlukan kontrol publik serta peran Non-Government Organization (NGO) pro

Page 157: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

142

reformasi dan penegakan hukum guna menjaga agar kepentingan publik bisa

diakomodasi secara maksimal, karena ketika deadlock tersebut bisa dihindari

namun mengorbankan kepentingan publik sebagai dampak dari transaksi politik

tersebut maka tetap saja hal itu tidak kalah bahayanya bagi keberlangsungan

demokrasi. Selain itu, ketidaksolidan koalisi di dalam sistem presidensialisme-

multipartai juga memungkinkan berpindahnya partai politik dari satu koalisi ke

koalisi yang lain berhasil membuat fenomena divided government tidak

berlangsung dalam waktu yang lama dan berdampak pada tidak kuatnya bangunan

divided government yang terjadi di Indonesia serta bisa berujung pada hubungan

saling kerjasama antara eksekutif dan legislatif atau jika boleh dikatakan

hubungan kerjasama antara pemerintah dengan oposisi dalam merumuskan

kebijakan.

Melalui dua pendekatan tersebut yang menurut hemat penulis membuat

divided government yang merupakan fenomena yang paling dikhawatirkan bagi

teoritisi sebelumnya tidak menimbulkan suatu deadlock dalam kombinasi sistem

presidensialisme dan sistem multipartai di Indonesia. Hal ini dengan sendirinya

senada dengan tesis Djayadi Hanan, namun dalam penelitian ini penulis berusaha

meyakinkan bahwa sekalipun mengalami divided government, relasi eksekutif-

legislatif di Indonesia tidak mengalami kebuntuan.

B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya

Sebagai hasil temuan yang menggunakan pendekatan koalisi presidensial,

tentu penelitian ini memiliki tantangan kritik yang datang dari kritikus periode

Page 158: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

143

kedua studi presidensialisme yang sebagaimana sudah dijelaskan pada bab II.

Namun bagi penulis, dalam dunia akademik, proses untuk saling mencari kritik

adalah hal yang lumrah sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis

untuk mempertanggungjawabkan argumentasi yang disimpulkan dalam penelitian

ini. Selain itu, penulis juga menyadari bahwa hasil penelitian ini menjadi

tantangan kritik yang datang dari para pendukung tesis kartel yang menurut logika

penulis memiliki posisi teoritik yang berbeda dengan kerangka teori yang

digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan koalisi presidensial. Disadari

oleh penulis bahwa, kelemahan analisis dalam penelitian ini adalah tidak

mempertimbangkan tesis kartel tersebut, sebagaimana yang sudah disinggung

pada bab II. Tetapi hal tersebut dipandang sebagai sebuah pilihan teoritik, karena

tidak mungkin sebuah penelitian dilakukan dengan kerangka teori yang memiliki

posisi bersebrangan. Sebagai sebuah identitas yang dipakai dalam sebuah

penelitian maka, ketegasan posisi teoritik adalah sebagai keniscayaan.

Selain itu, kesulitan dalam penelitian ini adalah mengenai klasifikasi partai

politik dalam gerbong koalisi, mengingat beberapa partai yakni Golkar dan PPP

terjadi dualisme kepengurusan yang kemudian berdampak pada perbedaan arah

koalisi di masing-masing pimpinan partai, namun penulis menggunakan kerangka

hukum untuk membantu mengklasifikasikan kedua partai tersebut ke dalam peta

arah koalisi. Selain itu kelemahan dalam studi ini adalah terletak pada kajian

perbandingan politik, argumen yang ditemukan dalam penelitian ini tidak bisa

dijadikan rujukan untuk menggeneralisir keberlangsungan sistem presidensialisme

di berbagai negara, mengingat tidak semua negara mengambil jalan konstitusi

Page 159: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

144

mengenai mekanisme pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif

sebagaimana dijelaskan pada pasal 20 (2) UUD 1945. Selain itu, kelemahan

dalam penelitian ini adalah mengenai perilaku aktor yang membuat fenomena

divided government ini tidak menimbulkan deadlock. Penulis memiliki asumsi

bahwa mungkin jika perilaku aktornya tidak memiliki sikap kompromistis dalam

membangun komunikasi dengan pihak oposisi, kesimpulannya akan berbeda.

Sehingga temuan ini hanya berlaku jika perilaku aktor memiliki kriteria

kompromistis dan mudah bernegosiasi dengan oposisi, sehingga divided

government tidak menimbulkan kebuntuan. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya

bisa dilakukan untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut, seperti

perbandingan hasil studi sistem presidensial melalui kerangka tesis kartel dan juga

tesis koalisi presidensial untuk bisa meyakinkan kesimpulan secara metode

perbandingan teoritik. Atau penelitian selanjutnya juga bisa membahas relasi

eksekutif-legislatif dalam konteks unified government untuk membuktikan sejauh

mana produk legislasi yang dihasilkan bila dibandingkan dengan konteks divided

government. Hal tersebut penting, mengingat topik ini masih diwarnai

ketidaksamaan pendapat di kalangan ilmuan politik.

Page 160: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

145

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Disertasi

Adam, Rainer. Masa Depan Ada di Tengah; Toolbox Manajemen Koalisi. Jakarta:

Friedrich Naumann Stiftung Foundation, 2010.

Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem

Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009.

Ames, Barry. The Deadlock of Democracy in Brazil. Michigan: University of

Michigan Press, 2001.

AR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Bowler, Shaun. “Parties in Legislature; Two Competiting in Explanations,” dalam

Russell Dalton dan Martin Wattenberg, ed. “Parties Without Partisans,“

dalam Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang

Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009.

Carey, John. “Presidential versus Parliamentary Government,” dalam C Menard

dan M.M Shirley, ed. Handbook of New Institutional Economic.

Netherlands: Springer, 2005.

Cheibub, Jose Antonio, Adam Przeworski & Sebastian M. Saiegh. “Government

Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and

Parlementarism,” dalam Djayadi Hanan. Menakar Presidensialisme

Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil

dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.

Cheibub, Jose Antonio. “Presidentialism, Parlementarism and Democracy”, dalam

Djayadi Hanan. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya

Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks

Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.

Dahl, Robert. “Pattern of Opposition,” dalam Kuskridho Ambardi, Mengungkap

Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era

Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia – Lembaga Survei

Indonesia, 2009.

Page 161: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

146

Duverger, Maurice. Partai Politik dan Kelompok Penekan. Jakarta: Penerbit

Rineka Cipta, 1994.

Elgie, Robert, ed. Divided Government in Comparative Perspective. New York:

Oxford University Press Inc, 2001.

Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Hanan, Djayadi. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya

Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks

Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.

Haris, Syamsuddin. Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi

Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008).

Disertasi Doktoral di FISIP Universitas Indonesia.

Harris, Syamsuddin. Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia.

Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014.

Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Penerbit Kencana, 2009.

Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran.

Bandung: Penerbit Mizan, 2007.

Lijphart, Arend. Pattern of Democracy: Government Form and Performance in

Thirty Six Countries. New Haven and London: Yale University Press, 1999.

Linz, Juan. “Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a

Difference,” dalam Juan Linz dan Arturo Valenzuela, ed. The Failure of

Presidential Democracy: Comparative perspective. Baltimore, Maryland:

John Hopkins University, 1994.

Mainwaring, Scott dan Mathew Shugart. Presidentialism and Democracy in Latin

America: Rethinking the Term of The Debate. Cambridge: Cambridge

University Press, 1997.

Marsh, David dan Gerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung:

Nusamedia, 2002.

Marsteintredet, Leiv. Political Institutions and Their Effect on Democracy in the

Dominican Republic. Tesis Master di University of Bergen, 2004.

Muhtadi, Burhanuddin. Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu.

Jakarta: Noura Book, 2013.

Page 162: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

147

Nagel, Jack H Nagel. “The Descriptive Analysis of Power,” dalam Pataniari

Siahaan. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen

UUD 1945. Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2012.

Neumann, Lawrence. Social Research Methods; Qualitative and Quantitative

Approaches, 3rd edition. New York: Allyn and Bacon, 1997.

Power, T J, dan Taylor. “Accountability Institutions and Political Corruption in

Brazil,” dalam Djayadi Hanan. Menakar Presidensialisme Multipartai di

Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis

dalam Konteks Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.

Sartori. Giovanni. “Parties and Party System: A Framework of Analysis,” dalam

Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem

Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009.

Siahaan, Pataniari. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca

Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Konpress, 2012.

Subekti, Valina Singka. “Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan

dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945,” dalam A.M Fatwa.

Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Kompas,

2011.

Tsabelis, George. Veto Players: How Political Institutions Work. California: UP

and Russell Sage Foundation. 2001.

Von Mettenheim, Kurt, ed. “Presidential Institutions and Democratic Politics,”

dalam Robert Elgie, ed. Divided Government in Comparative Perspective.

New York: Oxford University Press Inc, 2001.

Jurnal Ilmiah

Altman, David. “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty

Presidential Democraties.” The International Journal for the Study of

Political Parties and Political Organizations, Vol 6, No 3, Sage

Publications. (2000): 259-283.

Chaisty, Paul, Nic Cheeseman dan Timothy Power. “Rethinking The

Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross

Regional Perspective.” Democratization, Routledge, UK, (2012): 1-23.

Cheibub, Jose Antonio, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg. “Beyond

Presidentialism and Parliamentaris.” British Journal of Political Science.

Page 163: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

148

FirstView Article, DOI: 10.1017/S000712341300032X, (14 November

2013): 1-30.

Cheibub, Jose Antonio, Adam Przeworski dan Sebastian M. Saiegh. “Government

Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and

Parlementarism.” British Journal of Political Science, Vol 34, No 04.

(October 2004): 565-587.

Linz, Juan, “The Perils of Presidentialism.” Journal of Democracy, Vol 1, No 1,

(1990): 51-69.

Soberg Shugart, Mathew. “The Electoral Cycleand Institutional Sources of

Divided Presidential Government.” American Political Science Review, Vol

89, No 2. (Juni 1995): 327-343.

Stephan, Alfred dan Cindy Skatch. “Constitutional Framework And Democratic

Consolidation; Parliamentarism Versus Presidentialism.” World Politics

Journal, Vol 46, No 1, (Okt 1993): 1-22.

Strong, C.F. “Modern Political Constitutions,” dalam Sulardi. “Presidensiil

Dengan Sistem Multi Partai.” Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi

Universitas Muhamamdiyah Malang, Vol lll, No 2. (November 2010): 9-24.

Laporan, Paper dan Presentasi

Basri, Muhammad Chatib. “Budget in Brief APBN 2015.” Direktorat Penyusunan

APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. 15 Oktober

2014.

Cheibub, Jose Antonio dan Fernando Limongi. “Democratic Institutions and

Regime Survival; Parliamentary and Presidential Democracies

Reconsidered.” Working Paper Forthcoming in Annual Review of Political

Science. 2002.

Cheibub, Jose Antonio, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the

Survival of Presidential Democracies.” Yale University.

Cheibub, Jose Antonio, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg. “Latin American

Presidentialism in Comparative and Historical Perspective.” University of

Chicago Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 361. 2011.

Cheibub, Jose Antonio. “Divided Government, Deadlock and the Survival of

Presidents and Presidential Regimes.” The Paper for Presented at

Conference ‘Constitutional Design 2000’, Center for Continuing Education,

University of Notre Dame. December 1999.

Page 164: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

149

Elgie, Robert. “From Linz to Tsebelis: Three Waves of Presidential/Parliamentary

Studies?.” Working Papers in International Studies Centre for International

Studies. Dublin City University, 2004.

Feldman, Noah dan Duncan Pickard. “The Risks of Semi-Presidentialism in

Emerging Democracies.” Democracy Reporting International, Right to

Nonviolence’s Tunisia Constitutional e-Forum, 2 October 2012.

Fine, Jeffrey A. “The Problem of Divided Government in an Era of Polarized

Parties.” Clemson, South Carolina: Balance of Power Between Congress

and the President.

Isra, Saldi. “Revisi UU MD3.” Kompas, 26 November 2014.

Kartika, Shanti Dwi. “Kesepakatan KMP-KIH dan Revisi UU MD3.” Info singkat

Hukum, Vol VI, No 22/II/P3DI. November 2014.

Kawamura, Koichi. “Is Indonesian President strong or weak?.” Institute of

Developing Economic (IDE) Disscusion Paper No 235. Japan, Mei 2010.

Linz, Juan. “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a

Difference?.” The paper prepared for the Project ‘The Role of Political

Parties in the Return to Democracy in the Southern Cone, Sponsored by the

Latin America Program of The Wodrow Wilson International Center for

Sholar, and the World Peace Foundation, 1985.

Mainwaring, Scott dan Matthew Shugart. “Juan Linz, Presidentialism and

Democracy: A Critical Appraisal.” The Hellen Kellogg Institute for

International Studies, University of Notre Dame, Working Paper No 200.

Juli, 1993.

Mainwaring, Scott, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult

Equation.” Working Paper 144, September 1990.

Mayhew, David R. “Divided We Govern: Party Control, Lawmaking and

Investigations, 1946-2002.” dalam Jeffrey A. Fine. “The Problem of

Divided Government in an Era of Polarized Parties.” Clemson, South

Carolina: Balance of Power Between Congress and the President.

Morgenstern, Scott dan Pilar Domingo. “The Success of Presidentialism?

Breaking Gridlock in Presidential Regime.” Working Paper, Mexico: CIDE,

1997.

Sollenberger, Mitchel A. “Congressional Overrides of Presidential Vetoes.” CRS

Report for Congress, April 2014.

Page 165: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

150

Dokumen

Laporan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI. Hasil Pembicaraan Tingkat

I/Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2024 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015

Beserta Nota Perubahan. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari

2015.

Laporan Komisi III DPR-RI. Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI.

Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, Kamis, 15 Januari 2015.

Laporan Komisi III DPR-RI. Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI.

Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, Kamis, 16 April 2015.

Laporan Singkat Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI. Pengambilan

Keputusan Harmonisasi RUU Tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun

2015 Tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Serta RUU

Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah Usulan Komisi II. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-

RI, 9 Februari 2015.

Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI. Pembahasan Tingkat II

terhadap RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Sekretariat

Jenderal DPR-RI, Kamis 25 September 2014.

Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat

II/Pengambilan Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014

Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun 2014 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan

Perppu No 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2014

tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat

Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam

rangka Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-

undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)

tahun 2015 beserta Nota Keuangannya. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-

RI, 15 Agustus 2014.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembahasan Tingkat II RUU tentang

Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)

2015. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015.

Page 166: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

151

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Tentang RUU Perubahan atas UU No 1

Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan RUU

Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014

tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

menjadi Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari

2015.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas

Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas

Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 5 Desember 2014.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Hasil Pembahasan Calon Kepala Kepolisian Republik

Indonesia (KAPOLRI). Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Januari

2015.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembahasan Tingkat II RUU tentang

Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)

2015. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015.

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan

Keputusan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan

DPRD. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014.

Indikator Politik Indonesia. Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided

Goverment: Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-

JK. Jakarta: Gedung Joeang 45, 19 Oktober 2014.

Website dan Media Cetak

“Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari KMP dan Dukung Pemerintahan

Jokowi.” Kompas, 10 Maret 2015,

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/15452001/Agung.Laksono.Pas

tikan.Golkar.Keluar.dari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh

pada 3 April 2015.

Page 167: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

152

“Akhirnya KPK Jadikan Budi Gunawan Tersangka.” Tempo, 13 Januari 2015

http://www.tempo.co/read/news/2015/01/13/063634558/Akhirnya-KPK-

Jadikan-Budi-Gunawan-Tersangka Diunduh pada 4 Mei 2015.

“Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat.” Liputan 6, 11 Oktober 2014.

http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-

indonesia-hebat Diunduh pada 5 April 2015.

“Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat.” Liputan 6, 11 Oktober 2014.

http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-

indonesia-hebat Diunduh pada 5 April 2015.

“Banyak Penolakan, Rapat Pengesahan APBN-P Diskors 3 Jam.” Liputan 6, 13

Februari 2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2175383/banyak-penolakan-

rapat-pengesahan-apbn-p-diskors-3-jam Diunduh pada 2 Mei 2015.

“DPR Lumpuh, Pemerintahan Tersandera.” Jawa Post, 31 Oktober 2014

http://www.jawapos.com/baca/artikel/8669/DPR-Lumpuh-Pemerintahan-

Tersandera Diunduh pada 1 Desember 2014.

“F-Golkar: Jika Jokowi Tak Lantik Budi Gunawan, Tamparan Keras bagi DPR.”

Kompas, 6 Februari 2015 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/06

/11314831/F-Golkar.Jika.Jokowi.Tak.Lantik.Budi.Gunawan.Tamparan.Kera

s.bagi.DPR Diunduh pada 4 Mei 2015.

“Gugatan UU Pilpres Dikabulkan, Pemilu Serentak 2019.” Kompas, 23 Januari

2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1504396/Gugatan.UU.Pi

lpres.Dikabulkan.Pemilu.Serentak.2019 Diunduh pada 5 April 2015.

“Hasil Verifikasi Adminstrasi Kelengkapan Syarat Partai Politik Sebagai Calon

Peserta Pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota Tahun

2014.” Komisi Pemilihan Umum Repubik Indonesia,

www.kpu.go.id/dmdocuments/Parpol_Lolos.pdf, Diunduh pada 4 Maret

2015.

“Ini Alasan MK Putuskan Pemilu Serentak 2019.” Kompas, 23 Januari 2014

http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1536382/Ini.Alasan.MK.Putus

kan.Pemilu.Serentak.2019 Diunduh pada 5 April 2015.

“Ini Komposisi Pimpinan AKD DPR Tandingan versi KIH.” Liputan 6, 3

November 2014. http://news.liputan6.com/read/2128524/ini-komposisi-

pimpinan-akd-versi-dpr-tandingan-kih. Diunduh pada 1 Desember 2014.

“Islah DPR Diteken dengan 5 Butir Kesepakatan.” Tempo, 17 November 2014

http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/078622484/Islah-DPR-

Diteken-dengan-5-Butir-Kesepakatan. Diunduh pada 20 April 2015.

Page 168: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

153

“Kasus Lumpur Lapindo, Desmond: Jokowi Sandera Ical.” Tempo, 19 Desember

2014. http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629754/Kasus-

Lumpur-Lapindo-Desmond-Jokowi-Sandera-Ical Diunduh pada 28 Juni

2015.

“Keberanian KPU Menegakkan Peraturan dalam Penetapan Peserta Pemilu.”

Suara KPU. edisi September 2012.

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014

Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014

yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah

Partai Politik Peserta Pemilu Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum

Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_K

PU_412.pdf. Diunduh pada 1 Desember 2014.

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014

Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014

yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah

Partai Politik Peserta Pemilu Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum

Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_

KPU_412.pdf. Diunduh pada 1 Desember 2014.

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014

tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan

Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.” Komisi

Permilihan Umum Republik Indonesia,

http://www.kpu.go.id/koleksigambar/SK_KPU_535_227201 4.pdf. Diunduh

pada 1 Desember 2014.

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 416/kpts/KPU/Tahun 2014

Tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik daan Penetapan Calon

Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pemilihan

Umum 2014.” Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia,

www.kpu.go.id/.../SK_KPU_416_Penetapan_Kursi_Calon_Terpilih_

1452014.pdf Diunduh pada 2 Januari 2015.

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor:

166/kpts/KPU/Tahun 2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta

Pemilihan Umum Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum Republik

Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/Kpts%20166-2013.pdf, Diunduh

pada 4 Maret 2015.

“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor:

5/kpts/KPU/Tahun 2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta

Page 169: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

154

Pemilihan Umum Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum Repubik

Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/(9.1.2013)%2005%20S

K%20Ketua.pdf, Diunduh pada 4 Maret 2015.

“KIH Putuskan Bentuk DPR - RI Tandingan.” Jawa Post, 29 Oktober 2014.

http://www.jpnn.com/read/2014/10/29/266679/KIH-Putuskan-Bentuk-DPR-

RI-Tandingan-. Diunduh pada 30 November 2014.

“KMP Dapat Bonus 41 Suara dalam Pemilihan Pimpinan MPR.” Kompas, 9

Oktober 2014. http://nasional.kompas.com/read/2014/10/08/16394541/Fahr

i.Klaim.KMP.Dapat.Bonus.41.Suara.dalam.Pemilihan.Pimpinan.MPR.

Diunduh pada 5 April 2015.

“KMP Dominan di Parlemen Harus Direspon Dewasa.” Inilah.com, 9 Oktober

2014. http://nasional.inilah.com/read/detail/2143151/kmp-dominan-di-

parlemen-harus-direspon-dewasa. Diunduh pada 1 Desember 2014.

“Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat.” Jawa Post , 6 Oktober 2014

http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/7798/Koalisi-Merah-Putih-vs-

Indonesia-Hebat Diunduh pada 5 April 2015.

“KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu 2014.” Suara KPU. edisi Januari 2013.

“KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu 2014.” Suara KPU. edisi Januari 2013.

“Kronologi Pemilihan Pimpinan DPR yang Tergesa-gesa.” Tempo, 02 Oktober

2014. http://www.tempo.co/read/news/2014/10/02/078611381/Kronologi-

Pemilihan-Pimpinan-DPR- yang-Tergesa-gesa. Diunduh pada 2 Desember

2014.

“Laporan: Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi.” Freedom Institute, 4 Oktober

2014.http://www.freedominstitute.org/index.php?option=com_content&vie

w=article&id=293:laporan-diskusi-publik-membahas-arsitektur-kabinet-

jokowi&catid=52:laporan-diskusi, Diunduh pada 4 Februari 2015.

“Mengapa ARB Akhirnya Dukung Pilkada Langsung?.” Kompas, 10 Desember

2014.

http://nasional.kompas.com/read/2014/12/10/19000021/Mengapa.ARB.Akh

irnya.Dukung.Pilkada.Langsung. Diunduh pada 3 Mei 2015.

“Menkeu: APBN-P Disetujui, Rupiah Bakal Menguat.” Kompas, 14 Desember

2015.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/14/162100126/Menk

eu.APBN-P.Disetujui.Rupiah.Bakal.Menguat Diunduh pada 5 April 2015.

Page 170: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

155

“Nasdem, PDI P, Hanura, PKB "Walk Out.” Kompas, 02 Oktober 2014,

http://nasional.kompas.com/read/2014/10/02/02595871/Nasdem.PDI.P.Han

ura.PKB.Walkout Diunduh pada 16 Februari 2014.

“Partai Demokrat Resmi Dukung Prabowo-Hatta.” Kompas, 30 Juni 2014,

http://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/1659074/partai.demokrat.resm

i.dukung.prabowo- hatta. Diunduh pada 30 November 2014.

“Pemilihan Ketua MPR.” BBC News, 14 Oktober 2014

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/10/141007_mpr_ket

ua. Diunduh pada 30 November 2014.

“Peraturan Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repubik

Indonesia.” Sekretariat Jenderal DPR-RI,

http://www.dpr.go.id/uu/appbills/RUU_PERATURAN_DPR_R

I_TTG_TATA_TERTIB.pdf Diunduh pada 28 Desember 2014.

“PPP Resmi Gabung Koalisi Jokowi-JK.” Okezone, 18 Oktober 2014

http://news.okezone.com/read/2014/10/18/337/1054000/ppp-resmi-gabung-

koalisi-jokowi-jk Diunduh pada 15 April 2015.

“SBY Akan Keluarkan Perppu Pilkada Langsung.” Kompas, 30 September 2014.

http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/18175701/SBY.Akan.Keluark

an.Perppu.Pilkada.Langsung. Diunduh pada 2 Januari 2015.

“SBY Sebut Revisi UU Pilkada dimugknkan dengan satu syarat.” Detik.com, 21

Januari 2015. http://news.detik.com/read/2015/01/21/104131/2809317/

10/sby-sebut-revisi-uu-pilkada-langsung-dimungkinkan-dengan-satu-syarat.

Diunduh pada 3 Mei 2015.

“Selain Menteri, Jokowi Juga Lantik 2 Wakil Menteri.” Metro TV, 27 Oktober

2014 http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/27/310721/selain-

menteri-jokowi-juga-lantik-2-wakil-menteri. Diunduh pada 23 April 2015.

“Setelah Islah, KIH dapat 21 Kursi AKD di DPR.” Kompas, 9 Januari 2015.

http://nasional.kompas.com/read/2015/01/19/15013011/Setelah.Islah.KIH.d

apat.21.Kursi.AKD.di.DPR Diunduh pada 15 April 2015.

“Siang Ini, KMP dan KIH Teken 5 Poin Kesepakatan Damai.” Kompas, 11

November 2015. http://nasional.kompas.com/read/2014/11/17/07225241/Si

ang.Ini.KMP.dan.KIH.Teken.5.Poin.Kesepakatan.Damai. Diunduh pada 15

April 2015.

“Suryadharma Ali Pecat Balik Para Petinggi PPP.” Liputan 6, 26 Oktober 2014

http://news.liputan6.com/read/2104613/suryadharma-ali-pecat-balik-para-

petinggi-ppp, Diunduh pada 21 April 2015.

Page 171: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

156

“Tak Dilayani, KIH Juga Akan Sampaikan Mosi Tidak Percaya Kepada

Sekretariat Jenderal DPR RI.” Kompas, 31 Oktober 2014

http://nasional.kompas.com/read/2014/11/ 04/16592821/Tak.Dilayani.K

IH.Juga.Akan.Sampaikan.Mosi.Tidak.Percaya.kepada.Setjen.DPR Diunduh

pada 12 Januari 2015.

Wawancara

Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari (Politisi PDI-Perjuangan dan mantan

Komisi III DPR-RI 2009-2014), Tanggal 1 Mei 2015.

Wawancara dengan Hamdi Muluk (Guru Besar Psikologi Politik Universitas

Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia), Tanggal

3 Maret 2015.

Wawancara dengan Indra J. Piliang (Ketua DPP Golkar bid. Penelitian dan

Pengembangan dan Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur

Negara), Tanggal 27 Maret 2015.

Wawancara dengan Robert Elgie (Professor bidang Ilmu Pemerintahan dan Studi

Internasional, School of Law and Government, Dublin City University,

Ireland). Tanggal 18 Februari 2015.

Wawancara dengan Sébastien G. Lazardeux (Asisten Professor Ilmu Politik St.

John Fisher College, USA). Tanggal 9 Februari 2015.

Wawancara dengan Thomas Pepinsky (Asisten Professor studi Asia Tenggara dan

Direktur Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, USA),

Tanggal 12 Februari 2015.

Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (Ketua DPP Partai Demokrat bidang

Kajian dan Strategis Kebijakan), Tanggal 5 April 2015.

Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-

2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional) Tanggal 10 Mei 2015.

Wawancara dengan Wandy N Tuturoong (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim

Transisi JKW-JK), Tanggal 31 Maret 2015.

Wawancara dengan William R Liddle (Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State

University, USA), Tanggal 5 Februari 2015.

Wawancara dengan Adian Napitupulu (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota

Komisi III DPR-RI periode 2014-2019), Tanggal 18 Mei 2015.

Page 172: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

157

Lampiran I

Transkip Wawancara

Narasumber : Eva Kusuma Sundari

Status : Politisi PDI-Perjuangan / Komisi III DPR-RI 2009-2014

Hari/Tanggal : Jumat, 1 Mei 2015

Tempat : Melalui WhatsApp Messenger

Hendra: Terimakasih Bu Eva atas kesediannya. Berikut adalah pertanyaan yang ingin

saya ajukan. Menurut tanggapan Ibu, seberapa penting titik kompromi dalam

relasi ekssekutif-legislatif pada pemerintahan JKW-JK? Mengingat secara

matematis, komposisi KMP di DPR sedikit lebih banyak ketimbang KIH,

sebelum adanya konflik di Internal Golkar?

Eva: Tugas DPR adalah mengawasiagar pemerintahan berjalan sesuai prinsip legal

atau tidak melaggar hukum dan legitimate (akuntabilitas, efetif, efisiensi dan

ekonomis) yang dipakai patokan bersama adalah nawacita serta perangkat

teknokratis seperti RPJM, RKP dan APBN dst. Jadi tidak dalam pengertian ada

2 opsi (versi DPR vs versi Pemerintah) sehingga diperlukan kompromi dan jalan

tengah. DPR harus menggunakan nawacita sebagai basis pengawasan dan bukan

platforrm yang dipakai oleh Prabowo misalnya.

Hendra: Betul, tapi dalam tataran ideal harusnya seperti itu. Tetapi kan dalam realitas

yang terjadi antara koalisi pemerintahan dengan oposisi seringkali beda

pendapat. Nah untuk menemukan titik kesepahaman antara keduanya maka

pendekatan komproi ntuk menemukan jalan tengah seringkali dipandang

sebagai keniscayaan. Dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya.

Eva: Ini soal apa? Yang spesifik? Economic Growth? Apa Program? Draft APBN-P

hanya ada satu, yakni dari pemerintah. Perbedaan hanya teknis, tidak substantif.

Misalnya pajak diturunkan atau dinaikan? Debay hanya target 16 atau 14% dan

masing-msing punya argumen dan tenyata angka yang dipakai punya

pemerintah. Ada juyga misalnya economic growth, DPR minta angka tinggi,

tapi pemerintah minta rendah lalu dicapai kesepakatan case by case.

Hendra: Yup, saya kira juga begitu. Salah stau dalam pembahasan Asumsi Dasar

Ekonimi Makro antara RAPBN-P 2015 yang diusul pemrntah mengalami

perubahan setelah pembahasan di komisi-komisi DPR, Misalnya lifting minyak

dalam RAPBN-P 2015 berada pada angka 849 ribu barel namun setelah

pembahasan di komisi VII berubah menjadi 825rb barel dan lain-lain. Dan

dalam rapat paripurna DPR pembahasan APBN-P yang disahkan adalah hasil

pembahasan bersama antara pemerintah dan komisi-komisi di DPR. Disitu yang

saya maksud kompromi sebagai mekanisme pembahasan bersama. Meskipun

pembahasan bersama itu terjadi dalam konteks divided government.

Eva. Ya betul. Kompromi itu soal teknis biasa dan bukan soal fundamental

Page 173: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

158

Hendra: Itu yang saya maksud, berarati kompromi itu sebagai solusi dalam relasi

ekskutif-legislatif? apa bisa dibilang begitu? Terlebih DPR sedikit lebih banyak

diisi oleh orang-orang KMP yang merupakan oposisi pemerintah? Terlepas dari

sah atau tidaknya adanya perspektif koalisid alam sistem presidensial?

Eva: yang kamu maksud itu musyawarah untuk mufakat. Kalau mau oposisi terhadap

nawacita ya itu makar namanya.

Hendra: Oke deh bu. Berarti ibu mengafirmasi bahwa kompromi adalah relatif

diperlukan dalam konteks divided government relasi eksekutif-legislatif?

Eva: Iyaa. Saya kira juga begitu.

Hendra: Okedeh bu, saya kira cukup terimakasih atas waktunya, semoga sehat selalu.

Page 174: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

159

Lampiran II

Transkip Wawancara

Narasumber : William R Liddle

Status : Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State University, USA

Hari/Tanggal : Kamis, 5 Februari 2015

Tempat : Melalui Email ([email protected])

Hendra: Dear Professor R William Liddle My name is Hendra Sunandar, and I am a

student of Political Science from State Islamic University Jakarta in Indonesia.

Now I am writing about my bachelor thesis on "Analysis Presidentialism -

Multipartiism System in Indonesia After General Election 2014". I'd like to

invite you to be interviewed because I knew you were the part a list individuals

important and knowledgeable of the rich perspective on presidentialism theory.

I sincerely hope that you will consider participating in this important effort. If

you agree, I will send you just 3 until 5 short questions by email to hear your

opinion. But if you busy because of your activities, I wish you can answer my 1

primary question then I will submit into my analysis. Please feel free to contact

me as specified below with any questions. Thanks before

Liddle: Hendra yang baik, Saya bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan anda. Bagi

saya, lebih baik dalam bahasa Indonesia saja. Tetapi kalau ada alasan untuk

menjawab dalam bahasa Inggris, tentu saya bersedia juga. Salam.

Hendra: Baiklah, lebih baik menggunakan Bahasa Indonesia saja. Sebelumnya, saya

sangat berterimakasih atas kesediaan Bapak Bill untuk membantu penelitian

saya, saya sangat senang sekali. Ini adalah sesuatu kebangaan buat saya karena

saya bisa melakukan wawancara dengan seseorang yang saya kagumi dalam

tulisan-tulisannya yang tersebar di Indonesia. Terimakasih Pak Bill, salam

hangat dari Ciputat, Indonesia. Judul penelitian saya adalah: "Analisis Sistem

Presidensialisme-Multipartai di Indonesia (Studi Atas Munculnya 'Divided

Government' dan Interaksi Eksekutif-Legislatif pada Pemerintahan Joko

Widodo-Jusuf Kalla)", Pengambilan topik tersebut didasarkan pada fakta bahwa

Indonesia pasca pemilu 2014, komposisi legislatif dan eksekutif dikuasai oleh

dua kelompok yang berbeda. Lembaga eksekutif dikuasai oleh Koalisi Indonesia

Hebat (koalisi pendukung Jokowi-JK) dan lembaga legislatif dikuasai oleh

Koalisi Merah Putih (koalisi pendukung Prabowo-Hatta). Mengingat pemilu

2014 hanya diikuti oleh dua kandidat, dan polarisasi dua kandidat tersebut juga

berdampak pada terbelahnya eksekutif dan legislatif karena dikuasai oleh dua

kubu yang berbeda, atau dalam bahasanya yang lebih populer terjadi divided

government, yakni suatu kondisi dimana antara lembaga eksekutif dan legislatif

dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda (Elgie, 2001) Munculnya divided

government pada dasarnya bisa terjadi dalam sistem presidensialime maupun

parlementer, namun peluang lebih besar bagi munculnya divided government

terjadi dalam sistem presidensial (Elgie, 2001). Studi-studi terdahulu juga

banyak yang mengatakan sistem presidensial adalah sistem yang menyulitkan

Page 175: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

160

bagi efektivitas pemerintahan dan rentan deadlock, (Linz, 1985; Mainwaring,

1993; Stephan & Skach, 1993) Oleh karena itu saya ingin bertanya beberapa hal

kepada Pak Bill diantaranya sebagai berikut: Bagaimana tanggapan Pak Bill,

tentang polarisasi kuat pasca Pilpres 2014 di Indonesia dengan munculnya

Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih? Mengingat polarisasi kuat

tersebut sempat berdampak pada kegaduhan-kegaduhan di parlemen saat proses

pemilihan pimpinan DPR yang sempat juga muncul Pimpinan DPR Tandingan

versi Koalisi Indonesia Hebat? Apa pendapat Pak Bill tentang itu?

Liddle: Pertama, saya ingin jelaskan bahwa jawaban-jawaban saya tidak berdasarkan

literatur ilmu politik yang anda sebutkan, atau setidaknya tidak langsung. Saya

sudah lama tidak membaca dan merenungkan literatur itu. Jadi, dalam hal itu,

anda sebaiknya berpegang kepada apa yang dikatakan oleh Jay Hanan, yang

setahu saya masih bergumul dengan berbagai analisis itu. Bagi saya, dalam

sistem presidensial yang juga multi-partai seperti Indonesia, seorang presiden

memerlukan mayoritas di DPR untuk memerintah secara efektif. Jadi

masalahnya bukan polarisasi antara KIH dan KMP, melainkan bahwa KIH tidak

merupakan mayoritas. Kenyataan itu yang menyebabkan kegaduhan-kegaduhan

yang anda sayangkan. Anda ingat, sepuluh tahun lalu, berkat jasa JK, yang

sempat menguasai Golkar, masa awal pemerintahan SBY/JK lebih mulus.

Hendra: Bagaimana tanggapan Pak Bill tentang adanya koalisi dalam sistem presidensial

di Indonesia? mengingat dalam literatur klasik disebutkan bahwa koalisi adalah

ciri khas dari sistem parlementer?

Liddle: Seingat saya, dan di sini mungkin anda sebaiknya berkonsultasi dengan Jay,

sebetulnya koalisi bisa juga terjadi dalam sistem presidensial, bukan cuma

parlementer.

Hendra: Menurut Bapak, apakah divided government sebagai konsekuensi dari sistem

presidensial-multipartai? Kira-kira menurut Pak Bill apa faktor yang mendasari

munculnya divided government dalam sistem presidensialisme multipartai di

Indonesia?

Liddle: Tidak. Divided government yang dialami sekarang adalah konsekuensi dari

kegagalan Presiden Terpilih Jokowi membuat koalisi mayoritas di DPR. Sekali

lagi, SBY tidak menghadapi divided government, meski parlemennya multi-

partai sebab dia memang mengerti dari awal bahwa dia memerlukan koalisi

mayoritas.

Hendra: Terlepas dari studi terbaru yang mengatakan kombinasi sistem presidensalisme

multipartai di Indonesia dapat berjalan efektif (Djayadi Hanan, 2014), apakah

bapak sepakat dengan itu? Bagaimana bapak memandang kombinasi sistem

presidensialisme multipartai saat era Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014

yang kental dengan nuansa koalisi gendut / koalisi besar?

Liddle: Nampaknya, saya sepakat dengan Jay, mungkin terpengaruh oleh analisis

disertasinya, yang memang meyakinkan! Ttg koalisi gendut era SBY, pada

waktu itu saya tidak mengerti kenapa beliau merasa perlu membuat koalisi yang

sebesar itu. Apalagi, mengingat bahwa berbagai kebijakannya, atau

Page 176: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

161

kegagalannya untuk bertindak, nampaknya disebabkan oleh keterikatannya kpd

partai-partai Islamis. Ada beberapa hipotesa yang mencoba menjelaskannya,

termasuk keinginan pribadinya untuk didukung oleh semua golongan, atau

keputusan taktis berdasarkan kekhawatiran tentang sejumlah partai yang berada

di dalam koalisinya tetapi dukungannya rapuh. Terus terang, saya masih

bingung tentang pilihan itu.

Hendra: Berbeda dengan Djayadi Hanan yang mengkaji sistem presidensialisme-

multipartai di era Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki koalisi besar

diatas single majority (50% + 1), pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla

justru tak memiliki koalisi dengan angka mayoritas di legislatif, dengan kata

lain Joko Widodo adalah salah satu contoh presiden minoritas, menurut anda,

apakah anda memiliki rasa kekhawatiran bagi keberlangsungan pemerintahan

Joko Widodo dalam proses interaksi dengan legislatif?

Liddle: Tentu saya khawatir bahwa tanpa mayoritas Jokowi sulit sekali memerintah

secara efektif. Namun ternyata ada tantangan yang lebih besar atau mendasar

dari itu, setidaknya lebih mendesak, yaitu bahwa Presiden Jokowi sekarang

tidak memiliki dukungan dari partainya sendiri (PDIP) atau dari beberapa partai

lain dalam koalisinya. Hampir mustahil membayangkan sebuah pemerintahan

tanpa dukungan sama sekali di DPR. Pada waktu yang sama, saya tidak tahu

bagaimana dia bisa memulihkan kembali dukungan itu tanpa mengorbankan

cita-citanya sebagai politisi dan calon presiden. Dari segi moralitas politik, dia

harus menarik kembali pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri, sebab

Budi dijadikan tersangka oleh KPK. Tetapi dengan tindakan itu, dia

memutuskan hubungannya dengan PDIP, dan sekarang berada di sebuah impas

yang amat sulit dipecahkan.

Hendra: Baiklah. Untuk sementara itu dulu yang ingin saya tanyakan, Salam hormat

untuk anda yang bersedia berinteraksi dan berdiskusi dengan saya.Terimakasih

banyak saya sampaikan. Saya mohon maaf bila saya menggangu waktu anda.

Liddle: Hendra yg baik, Di AS juga ada perdebatan ttg manfaat/mudaratnya sistem

presidensial. Di bawah saya taruh kolom di Washington Post hari ini oleh

seorang ilmuwan politik yang cukup terkenal. Mirip pendapat Drezner, bagi

saya, salah satu keberuntungan sistem presidensial di Indonesia adalah

stabilitasnya. Anda tentu tahu bahwa pada tahun 1950an, di bawah sistem

parlementer, setiap beberapa bulan ada perdana menteri dan kabinet baru.

Bandingkan dengan keadaan sejak 2004. Bagi saya, hal itu—bertahannya

seorang presiden selama 10 tahun—merupakan suatu prestasi sendiri. Terlepas

dari apakah kita setuju dengan semua kebijakannya. Selain itu, saya juga ingat

baru saja ada artikel di Kompas yang mengutip seorang dosen Inggris, Geoffrey

Till, mengklaim bahwa Tiongkok lebih mungkin berhasil menciptakan Jalur

Sutra Maritimnya ketimbang Indonesia sebab kekuasaan lebih terkonsolidasi,

pemerintah didukung oleh tentara, dan modernisasi sudah berjalan. Sementara

di Indonesia Jokowi menghadapi berbagai rintangan, seperti ―lemahnya

dukungan parlemen, banyak kelompok kepentingan yang menekan, lemahnya

koordinasi antar-kementerian, dan otonomi daerah yang sebagian

mengakibatkan kebijakan pusat kerap ditentang daerah.‖ Jawaban Drezner ttg

Amerika adalah bahwa rintangan seperti itu nampaknya tidak terlalu

Page 177: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

162

mengganggu pertumbuhan ekonomi Amerika selama puluhan tahun, atau

kemampuan kami untuk ke luar dari resesi ekonomi baru-baru ini. AS jelas

lebih berhasil dari EU dan Jepang. Jawaban saya ttg Indonesia adalah bahwa di

bawah berbagai pemerintahan demokratis setelah 1999, ekonomi Indonesia

ternyata maju terus. Laju pertumbuhan yang belakangan ini termasuk yang

paling baik di dunia. Meskipun semua pemerintahan tsb menghadapi hampir

semua rintangan yang kini dihadapi Jokowi. Kenyataan itu tentu tidak berarti

bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa lebih baik, lebih merata misalnya.

Hanya saya kira tidak ada alasan untuk mengharapkan pergantian sistem

pemerintahan, baik parlementer maupun otoriter. Salam.

American democracy, R.I.P.?

Is America's constitutional democracy going to collapse? By: Daniel W.

Drezner

Earlier this week, Matthew Yglesias, continuing his longstanding intellectual

crush on political scientist Juan Linz and longstanding skepticism about the

merits of the American Revolution, wrote a Vox essay modestly titled

―American democracy is doomed.‖ Why? Yglesias argues that presidential

systems are more crisis-prone than parliamentary systems:

Linz offered several reasons why presidential systems are so prone to crisis.

One particularly important one is the nature of the checks and balances system.

Since both the president and the Congress are directly elected by the people,

they can both claim to speak for the people. When they have a serious

disagreement, according to Linz, ―there is no democratic principle on the basis

of which it can be resolved.‖ The constitution offers no help in these cases, he

wrote: ―the mechanisms the constitution might provide are likely to prove too

complicated and aridly legalistic to be of much force in the eyes of the

electorate.‖

In a parliamentary system, deadlocks get resolved. A prime minister who lacks

the backing of a parliamentary majority is replaced by a new one who has it. If

no such majority can be found, a new election is held and the new parliament

picks a leader. It can get a little messy for a period of weeks, but there’s simply

no possibility of a years-long spell in which the legislative and executive

branches glare at each other unproductively.

But within a presidential system, gridlock leads to a constitutional trainwreck

with no resolution. The United States’s recent government shutdowns and

executive action on immigration are small examples of the kind of dynamic

that’s led to coups and putsches abroad….

If we seem to be unsustainably lurching from crisis to crisis, it’s because we are

unsustainably lurching from crisis to crisis. The breakdown may not be next

year or even in the next five years, but over the next 20 or 30 years, will we

really be able to resolve every one of these high-stakes showdowns without

making any major mistakes? Do you really trust Congress that much?

Page 178: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

163

The best we can hope for is that when the crisis does come, Americans will have

the wisdom to do for ourselves what we did in the past for Germany and Japan

and put a better system in place.

While the United States has somehow staggered through this political handicap

for two centuries, Yglesias posits that rising levels of political polarization are

likely to increase constitutional crises and deadlocks akin to the debt-ceiling

showdowns and executive actions of recent years.

This essay has prompted some interesting responses from Dylan Matthews,Ross

Douthat, Jonathan Chait and Ed Kilgore, all of which are also worth reading.

Certainly, Yglesias is onto something. His argument resonates with public

opinion polling that shows an erosion of trust in every public institution except

the military. It also resonates with a theme I’ve been harping on here at Spoiler

Alerts: Obama’s use of executive action on foreign policy to bypass a truculent

Congress, and the congressional response to those executive actions. The

erosion of informal American political norms — which helped to ensure that

basic government functions happened — is certainly another data point for

Yglesias.

That said, the more I think about his argument, however, the sillier it sounds to

me. Yglesias embeds three assumptions into his argument that need to be

seriously unpacked.

First, Yglesias assumes that continued political polarization is a permanent fact

of political life. Now he might be right about that, but I see no reason to take

that as a given. The United States has experienced waves of creedal passion, but

those waves have also receded. And while polarization has undeniably

increased, I still buy Louis Hartz’s observationthat there’s a lot more political

consensus within the American political spectrum than there is in other

advanced industrialized democracies.

Second, Yglesias assumes that there will be continued divided government ad

infinitum. For these constitutional crises to happen, different political parties

have to control different branches of government. And this has certainly been

happening more often than not, recently. But even as political polarization has

increased over the past generation of American politics, there have been periods

of single-party control of both the legislative and executive branches.

This matters from a constitutional perspective because it permits parties to

implement their agendas through legislative as well as executive actions.

Indeed, in this way, the rising ideological cohesion of political parties increases

the likelihood that such periods of unified government will lead to bursts of

active governance. This doesn’t even take into account the ways in which crises

like 9/11 or the 2008 financial crisis tend to generate greater political action.

Finally, Yglesias assumes that parliamentary systems inherently produce better

governance outcomes. Fun exercise: Consider the post-2008 political and

economic performance of the advanced industrialized economies. It turns out

that, comparatively, if one looks at unemployment, economic growth and

deleveraging, the United States has done pretty darned well. Part of that is

Page 179: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

164

obviously due to the large American market and structural strengths of the U.S.

economy. But part of that is due to the political stability that comes with a

presidential system.

Japan, Great Britain and most of the eurozone economies have had weak, short-

lived governments that have implemented some truly horrendous economic

policies. They’ve also seen the rise of extremist parties that are either running

actual governments or are poised to do so. This is not a strong advertisement for

the parliamentary mode of governance. One can attribute part of this to the

peculiarities of the eurozone, but not all of it.

Yglesias wanted to provoke a conversation about the future of American

democracy in a polarized country, and I applaud him for it. The problem is that

one has to consider the alternatives, and in a world of low growth and multiple

parties, the parliamentary system of government can actually be more unstable

than the presidential system. So, to paraphrase Winston Churchill, while

Yglesias is correct to point out the many flaws of the U.S. system of

constitutional government, I’m unconvinced that the alternatives are any better.

Hendra: Baik Pak Bill terimakasih atas jawaban dan masukannya. Saya sangat

berterimakasih bisa ditunjukan artikel yang menarik. Disadari atau tidak

memang kita harus akui bahwa Sistem Presidensial-Multipartai di Indonesia

relatif stabil. Kestabilan tersebut terjadi karena adanya kompromi-kompromi

antara eksekutif-legislatif (Djayadi Hanan, 2014). Lalu pertanyaan selanjutnya,

apakah kompromi tersebut adalah sesuatu hal yang baik? Mengingat hanya

melalui kompromilah kemungkinan terjadi deal-deal politik yang berpotensi

munculnya peluang korupsi. Ini penting untuk dikritisi bahwa meskipun Sistem

Presidensial-Multipartai jika dilihat dari luar cenderung stabil namun jika dilihat

dari dalam memiliki peluang munculnya korupsi kelembagaan. Karena kondisi

parlemen yang multipartai juga mengindikasikan adanya banyak kepentingan

disana yang harus ditampung oleh Presiden untuk melancarkan program

kerjanya. Mengingat dalam banyak hal, Presiden memerlukan persetujuan DPR

dalam menjalankan kebijakannya. Sehingga untuk mendapatkan persetujuan

DPR, seringkali Presiden tersandera oleh beragam kepentingan di DPR.

Bagaimana tanggapan Pak Bill? Salam

Liddle: Sama-sama. Tentang kompromi, Robert Dahl pernah menulis, mungkin antara

lain di Polyarchy, bahwa di dalam demokrasi sehat harus ada keseimbangan

antara budaya konflik dan kompromi. Konflik selalu ada, sebab kelompok

kepentingan selalu berusaha untuk memengaruhi proses pengambilan

keputusan, tetapi pada akhirnya kelompok-kelompok tsb harus bersedia

menerima kurang dari semua yang mereka perjuangkan demi kelanjutan

demokrasi sendiri. Dalam kasus Indonesia masa kini, tentu idealnya adalah

kemenangan telak pada kubu Jokowi/Pratikno/KPK, sebab kubu lawannya

hanya ingin mempertahankan suatu status quo yang memungkinkan korupsi

mereka. Hal itu jelas sekali. Namun, pada akhirnya, mungkin Jokowi harus

menerima sesuatu yang kurang dari yang ideal. Saya tidak tahu persis bentuk

kompromi mana yang dapat diterima, tetapi mungkin yang pokok adalah agar ke

depan KPK tidak menjadi lebih lemah. Hal itu yang kiranya sedang

diperjuangkan oleh Jimly cs, seperti saya baca di Koran Tempo hari ini. Poin

anda bahwa ke depan nasib program-program Jokowi akan bergantung pada

Page 180: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

165

persetujuan sejumlah partai yang merupakan mayoritas di DPR benar saja.

Kalau dia bersitegas melawan korupsi (harapan saya dan saya kira anda) tanpa

partai-partai atau tokoh di DPR yang sepaham, memang payah. Jadi mudah-

mudahan temannya di DPR bertambah sebentar lagi. Salah satu dorongan

penting tentu dari masyarakat, dalam bentuk NGO-NGO pro-reformasi. Salam,

Page 181: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

166

Lampiran III

Transkip Wawancara

Narasumber : Thomas Pepinsky

Status : Associate Professor Government Studies dan Direktur Cornell Modern

Indonesia Project, Cornell University, USA

Hari/Tanggal : Kamis, 12 Februari 2015

Tempat : Melalui Email ([email protected])

Hendra: Dear Dr. Thomas Pepinsky. My name is Hendra Sunandar, and I am a student of

Political Science from State Islamic University Jakarta in Indonesia. Now I am

writing about my bachelor thesis on "Analysis Presidentialism - Multipartiism

System in Indonesia After General Election 2014". I'd like to invite you to be

interviewed because I knew you were the part a list individuals important and

knowledgeable of the rich perspective on political science. I sincerely hope that

you will consider participating in this important effort. If you agree, I will send

you just 3 until 5 short questions by email to hear your opinion. But if you busy

because of your activities, I wish you can answer my 1 primary question then I

will submit into my analysis. Please feel free to contact me as specified below

with any questions. Thanks before

Pepinsky: Mas Hendra-- Saya pasti siap membantu anda dengan penelitian tentang

presidentialisme. Silakan kirimkan pertanyaan2

Hendra: Sebelumnya, saya sangat berterimakasih atas kesediaan Bapak untuk membantu

penelitian saya, saya sangat senang sekali. Judul penelitian saya adalah:

"Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia (Studi Atas

Munculnya 'Divided Government' dan Interaksi Eksekutif-Legislatif pada

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)", Pengambilan topik tersebut

didasarkan pada fakta bahwa Indonesia pasca pemilu 2014, komposisi legislatif

dan eksekutif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Lembaga eksekutif

dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat (koalisi pendukung Jokowi-JK) dan

lembaga legislatif dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (koalisi pendukung

Prabowo-Hatta). Mengingat pemilu 2014 hanya diikuti oleh dua kandidat, dan

polarisasi dua kandidat tersebut juga berdampak pada terbelahnya eksekutif dan

legislatif karena dikuasai oleh dua kubu yang berbeda, atau dalam bahasanya

yang lebih populer terjadi divided government, yakni suatu kondisi dimana

antara lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang

berbeda (Elgie, 2001) Munculnya divided government pada dasarnya bisa

terjadi dalam sistem presidensialime maupun parlementer, namun peluang lebih

besar bagi munculnya divided government terjadi dalam sistem presidensial

(Elgie, 2001). Studi-studi terdahulu juga banyak yang mengatakan sistem

presidensial adalah sistem yang menyulitkan bagi efektivitas pemerintahan dan

rentan deadlock, (Linz, 1985; Mainwaring, 1993; Stephan & Skach, 1993) Oleh

karena itu saya ingin bertanya beberapa hal kepada Bpk Pepinsky diantaranya

sebagai berikut: Menurut Bapak, apakah kombinasi sistem presidensialisme

Page 182: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

167

dengan multipartai di Indonesia adalah salah satu kombinasi yang menyulitkan

bagi terbentuknya pemerintahan yang efektif?

Pepinsky: Menurut pendapat saya, kombinasi ini tidak menyebabkan kesulitan

terbentuknya pemerintahan yang efektif. Kalau partai-partai lebih kuat, dan

lebih punya program yang tepat dan sulit digantikan, ya. Tapi saat ini program

dan ideologi sangat lemah, kurang meng-constrain aksi party elites. Hal ini

sangat ironis: persis lemahnya partai-partai di Indonesia yang memungkinkan

terbentuknya pemerintahan yang cukup efektif.

Hendra: Menurut Bapak, apa salah satu faktor yang mendasari munculnya divided

government, terutama dalam konteks sistem presidensialisme multipartai seperti

layaknya di Indonesia?

Pepinsky: Saat ini, faktor yang mendasari divided government di Indonesia adalah strategi

sekelompok partai untuk melemahkan Jokowi. Padahal, pada umumnya, faktor

yang mendasari divided government adalah keberagaman ideologi dan

kepentingan di masyarakat dalam sistem presidential.

Hendra: Menurut Bapak, apakah dalam kondisi divided government, relasi eksekutif dan

legislatif di Indonesia akan menemui jalan sulit untuk mendapatkan kesepakatan

bersama?

Pepinsky: Ya, pasti begitu. Lihatlah kondisi di Amerika Serikat saat ini. Tidak selalu

begitu, tapi biasanya, ya.

Hendra: Terlepas dari studi terbaru yang mengatakan kombinasi sistem presidensalisme

multipartai di Indonesia dapat berjalan efektif (Djayadi Hanan, 2014), apakah

bapak sepakat dengan itu? Bagaimana bapak memandang kombinasi sistem

presidensialisme multipartai saat era Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014

yang kental dengan nuansa koalisi gendut / koalisi besar?

Pepinsky: Sebetulnya saya belum baca "dengan baik dan benar" studi terbaru Pak Djayadi

Hanan. Maaf sekali.

Hendra: Berbeda dengan Djayadi Hanan yang mengkaji sistem presidensialisme-

multipartai di era Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki koalisi besar

diatas single majority (50% + 1), pemerintahan Joko WIdodo - Jusuf Kalla

justru tak memiliki koalisi dengan angka mayoritas di legislatif, dengan kata

lain Joko Widodo adalah salah satu contoh presiden minoritas, menurut anda,

apakah anda memiliki rasa kekhawatiran bagi keberlangsungan pemerintahan

Joko Widodo dalam proses interaksi dengan legislatif?

Pepinsky: Sedikit lah. Saya kuatir bisa terjadi semacam krisis yang bisa menjatuhkan

pemerintahan Joko Widodo. Tapi kalau krisis itu terjadi, pasti ada banyak

penyebab bersama keminoritasan pemerintahan Jokowi: faktionalisme dalam

PDIP, kelemahan Koalisi Indonesia Hebat, dan seterusnya.

Hendra: Untuk sementara itu dulu yang ingin saya tanyakan, Salam hormat bagi saya

untuk anda yang bersedia berinteraksi dan berdiskusi dengan saya.Terimakasih

Page 183: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

168

banyak saya sampaikan. Saya mohon maaf bila saya menggangu waktu anda.

Terimakasih Pak Pepinsky atas bantuannya. Saya sangat senang. Semoga anda

sehat selalu dan salam hangat untuk keluarga anda. Thanks a lot :)

Page 184: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

169

Lampiran IV

Transkip Wawancara

Narasumber : Robert Elgie

Status : Professor bidang Ilmu Pemerintahan dan Studi Internasional, School of

Law and Government, Dublin City University, Ireland

Hari/Tanggal : Rabu, 18 Februari 2015

Tempat : Melalui Email ([email protected])

Hendra: Dear Professor Robert Elgie. My name is Hendra Sunandar, and I am a student

of Political Science from State Islamic University Jakarta in Indonesia. Now I

am writing about my bachelor thesis on "Analysis Presidentialism -

Multipartiism System in Indonesia After General Election 2014". I'd like to

invite you to be interviewed because I knew you were the part a list individuals

important and knowledgeable of the rich perspective on presidentialism theory.

I sincerely hope that you will consider participating in this important effort. If

you agree, I will send you just 3 until 5 short questions by email to hear your

opinion. But if you busy because of your activities, I wish you can answer my 1

primary question then I will submit into my analysis. Please feel free to contact

me as specified below with any questions. Thanks before

Elgie: Dear Hendra Sunandar, Apologies, but I am very busy and don't really have

time to respond to a set of queries. Send me your one question, but the reply

may be short. Best,

Hendra: Thank you Professor Robert Elgie. Having a direct conversation with you is one

of my best experience during this research. I'd like give one question for you,

but before that, I want to explanation about situation in Indonesian after general

election 2014. Which the legislative and executive the powered by two group in

differences, the other word, the occured of 'divided goverment, because

executive controlled by Koalisi Indonesia Hebat (Coalition Indonesian-Terrific)

and legislative controlled by Koalisi Merah Putih (Coalition Red-White). I

submitted my short resume of my thesis, if you need the complete one actually I

wrote in Indonesia language (Bahasa Indonesia). Here are my questions:

According to your thought, What causes a country experiencing 'divided

government.as happened in Indonesia?

Elgie: Thanks for your question. Briefly, my answer is that divided government has the

potential to occur when there is an institutional structure that allows it.

However, divided government only occurs in practice when people vote in a

way that brings it about. This usually requires party competition to be structured

around two opposing parties or coalitions. So, it occurs because of a

combination of an institutional structure that can lead to a particular outcome

and the action of people who bring about that outcome. Obviously, there are

ways of shaping institutions so that the potential for it to occur is less great e.g.

Page 185: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

170

concurrent presidential and legislative elections, an electoral system that does

not create the potential for two block competition.

Hendra: And whether there is a concern of yourself in a state of 'divided government'

about the relationship between the executive and the legislature will be deadlock

in the policy-making process?

Elgie: The effect of divided government depends on the attitudes of political leaders.

Competition and conflict is normal in politics. Divided government does not

cause that. Deadlock is not necessarily problematic so long as political leaders

compete within the rules of the democratic game. Good luck with your work.

All the best,

Hendra: Finally thank you so much for such favourable reply. Good luck for your special

endeavour and have a sweet day with your family. Warmest regards from me.

Page 186: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

171

Lampiran V

Transkip Wawancara

Narasumber : Sébastien G. Lazardeux

Status : Asisten Professor Ilmu Politik St. John Fisher College, USA.

Hari/Tanggal : Senin, 9 Februari 2015

Tempat : Melalui Email ([email protected])

Hendra: Dear Professor Sebastien G. Lazardeux. My name is Hendra Sunandar, and I

am a student of Political Science from State Islamic University Jakarta in

Indonesia. Now I am writing about my bachelor thesis on "Analysis

Presidentialism - Multipartiism System in Indonesia After General Election

2014" I'd like to invite you to be interviewed because I knew you were the part a

list individuals important and knowledgeable of the rich perspective on

presidentialism theory. I sincerely hope that you will consider participating in

this important effort. If you agree, I will send you just 3 until 5 short questions

by email to hear your opinion. But if you busy because of your activities, I wish

you can answer my 1 primary question then I will submit into my analysis.

Please feel free to contact me as specified below with any questions. Thanks

before.

Sebastien: Dear Hendra, It would be my pleasure to help you with your research. Feel free

to send me your questions at this email address. I do not know if my answers

will prove useful, but I hope they can help you. Sincerely.

Hendra: Thank you Dr. Sebastien Lazardeux. Having a direct conversation with you is

one of my best experience during this research. I'd like give one question for

you, but before that, I want to explanation about situation in Indonesian after

general election 2014. Which the legislative and executive the powered by two

group in differences, the other word, the occured of 'divided goverment, because

executive controlled by Koalisi Indonesia Hebat (Coalition Indonesian-Terrific)

and legislative controlled by Koalisi Merah Putih (Coalition Red-White). I

submitted my short resume of my thesis, if you need the complete one actually I

wrote in Indonesia language (Bahasa Indonesia). Here are my questions:

According to your thought, What causes a country experiencing 'divided

government.as happened in Indonesia? And whether there is a concern of

yourself in a state of 'divided government' about the relationship between the

executive and the legislature will be deadlock in the policy-making process?

Sebastien: On the first part of your question, there are two main reasons that lead to

divided government. First, voters are not as faithful to a political party as they

used to be. It used to be very rare for a voter to vote for one party for president

and another for parliamentary seats. Now they do so. This is called split-ticket

voting and it has become more and more prevalent, at least in the United States

and some European countries. I am guessing this could be true for Indonesia as

well. Second, when the elections for president and parliament take place at

Page 187: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

172

different times, elections can be used by voters to express dissatisfaction with

one or the other. For example, if the president has been elected let’s say in 2010

and citizens are dissatisfied with her/his performance, they can use let’s say

parliamentary elections in 2014 to express this dissatisfaction by voting for the

opposition in parliamentary elections. Overall, the time disconnect between

presidential and parliamentary elections makes divided government more likely.

Finally, another reason for divided government might be the type of people

elected for the presidency. Voters might be tempted to vote for a presidential

candidate for his personal appeal (regardless of his political opinions), but much

less likely to do so for parliamentary elections (voters tend to pay more attention

to local and ideological characteristics in these elections). Therefore, one

president might be from one party and the parliament from another party simply

because people vote based on different priorities. Morris Fiorina, Divided

government (1996) discusses this question at length in the case of the United

States. Concerning deadlock in the policymaking process, an extreme majority

of studies show that divided government does create gridlock. Normal

legislation is still enacted, but important reforms are blocked. Colleagues of

mine and I have written on this in the magazine Governance (article published

in 2014) about France and the USA. Others (Coleman, Binder, both in 1999)

have said the same thing about the United States.

Hendra: According to your thought, Whether 'divided government' is a bad risk

combination multiparty presidential system?

Sebastien: I made the opposite point in my book Cohabitation and Conflict in French

Policymaking (Palgrave 2014). The idea is that when you have a cohesive one

party majority, the prime minister has no incentive to enact reforms as he will

be criticized by the president and lose chances to win the next presidential

contest. His party will let him do what he wants because they want him to be the

next president. But if the prime minister has a multi-party majority, members of

his majority who are not from his party will want him to enact important

reforms as soon as possible, even if it damages the reputation of the prime

minister as they do not care if the prime minister becomes the next president. I

know it sounds counter-intuitive and complex, so ask me questions if you are

unsure about what I mean.

Hendra: According to your thought, How the influence of the lobby in the negotiation

process in a country that happens divided government to agree on public policy?

Sebastien: This is a very good question which, to my knowledge, has not been addressed.

One could assume that divided government gives lobbies better chances to

influence the policy process. But I have no empirical evidence about this. And

as I said, I do not think anyone has looked at this question

Hendra: Finally thank you so much for such favourable reply. Good luck for your special

endeavour and have a sweet day with your family. Warmest regards from me.

Cordially.

Page 188: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

173

Lampiran VI

Transkip Wawancara

Narasumber : Indra J. Piliang

Status : Ketua DPP Golkar Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Ketua

Tim Ahli Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi

Birokrasi

Hari/Tanggal : Jumat, 27 Maret 2015

Tempat : Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (KEMENPAN-RB)

Hendra: Pada saat pemilu 2014 lalu kan, anda mendukung pasangan JKW-JK dan itu

berlawanan dengan arah partai. Apa yang ada di benak bapak saat itu? Mengapa

anda bersebrangan?

Indra: sebetulnya alasan pertama saya adalah seharusnya yang diusung oleh partai

adalah kader Golkar. Dan ini adalah hasil dari penafsiran saya kepada hasil

rampimnas Golkar. Karena kan hasil rampimnas golkar diantaranya: (1)

Mengajukan ARB sebagai capres atau cawapres (2) memberikan mandat kepada

ARB untuk melakukan komunikasi politik guna mencapai acuan diatas (3)

apabila keduanya atak terpenuhi maka hasil rapimnas batal. Nah tafsiran saya

adalah mandat penuh yang diemban oleh ARB adalah menjadi caprres atau

cawapres. Nah ketika ARB tak menjadi capres atau cawapres maka saya tak

perlu lagi mematuhi hasil rapimnas.

Hendra: Berarti itu menjadi hak politik anda secara pribadi untuk bersikap seperti itu?

Indra: yaaa karena saya menafsirkan keputiusan itu ditambah JKW maju bersama JK

yang merupakan kader partai golkar.

Hendra; yaya meskipun tidak berasal dari Golkar?

Indra: iyaaa. Tapi kalau dari secara personal saya tetap berhubungan baik dengan

ARB. Menurut saya ini adalah pertarungan antara ayah dengan bapak. Kalau

ayah dan bapak saya sama sama maju, maka saya akan mundur. Saya gak ikut

jadi juru bicara dan saya hanya urus dapil saja. Nah tapi karena bapak saya maju

dan ayah saya tidak maju, maka saya akan dukung bapak saya. Dan syaa bilang

begini, kalau nanti tahun 2019, ARB mau dan yang lain tak maju. Maka saya

akan dukung ARB. Ini hanya persoalan cara berfikir. Dan memang saya

dipanggil ARB dan diskusi panajng lebar selama 2 jam dan okeee itu memang

tak mengubah apa-apa. Tak mengubah cara pandang saya. Dan terus terang

keputusan itu membuat saya 3 hari 3 malam tak bisa tidur. Karena memang

hubungan syaa dengan ATB sudah cukup dekat.

Hendra Nah, kan tentu ada dampaknya. Mungkin orang diluar akan bertanya-tanya, kok

Partai Golkar ini seperti tidak kompak. Apa anda tidak melihat sisi itu?

Page 189: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

174

Indra: yaa, itu biasaa. Waktu JK-Wiranto kan beberapa kader juga ada yang

mendukung SBY-Boediono. Tapi memang itu menjadi konflik yang besar

seperti sekarang, tapi menurut saya itu pilihan rasional. Ya kan ada kader partai

golkar yang dicalonkan meskipun tak melalui partai golkar itu senidri. Ya

terlepas dari kegagalan negosiasi di dalam proses yang terjadi secara cepat itu.

Yaa saya tahu bahwa ada janji-janji kursi, menteri. Tapi buat saya bukan disitu

poinnya. Poin saya adalah saya ingin memberikan spirit terhadap partai daripada

rebut-rebutan kekuasaan. Toh dahulu juga kan ada beberapa pandangan yang

memperkirakan pasangan JKW-JK bukanlah calon yang menang. Itu kan kejar-

kejaran.

Hendra: Saat ini kan golkar ada di tubuh KMP yang membuat minimnya dukungan

eksekutif di legislatif. nah itu menurut bapak gimana mengenai divided

government ini? Apa ini sebagai konsekuensi dari sistem presidensialisme

multipartai? Menurut bapak? apa ini sebagaui bentuk negosiasi?

Indra: nah ini yang keliru dalam menafsirkan. Justru dalam negosiasi yang terjadi di

Golkar, kental dengan nuansa parlementer. Dalam pembicaraan saya dengan

Bang Ical selama 2 jam. *off the record* dalam penjelasan yang amat panjang

itu, bang Ical sampe bilang begini, “Prabowo sudah menjikan, salah satu

yang dijanjikan jika Prabowo menang adalah salah satu yang menjadi

kepala pemerintahan itu adalah saya, sebagai menteri utama. Prabowo

hanya sebagai kepala negara. Dan Hatta hanya mengawasi.” jujur

dipertemuan 2 jam itu kaget saya. Karena itu kan pemikiran parlementer.

Karena menjelasakn itu justru yang membuat saya semakin tak mau mendukung

Bang Ical.

Hendra: Tapi kalau soal tawaran menteri utama kepada Bang Ical itu benar?

Indra: yaa benar. Sampai bilang sara dan segala macem.

Hendra: berarti sikap Bapak lebih pada wilayah kontruk dan ada proses yang membuat

bapak seperti itu? Atau bukan dari awal antara anda dengan Bang Ical sudah

tidak saling senang?

Indra: ya enggak. Justru saya sayang dengan Bang Ical. Dia sangat rasional, dia adalah

guru saya. Tapi dalam berbagai kesempatan yang sangat padat itu, Bang Ical

terlihat tidak rasional. Saat pertemuan saya dengan Bang Ical sela 2 jam itu,

saya menyimpulkan begini, ―Bang Ical yang saya kenal itu hanya 20% dari yang

saya kenal sebelumnya, 80% yang terjadi saat itu seperti bukan Bang Ical‖.

Waktu saya maju sebagai walikota kan bukan karena saya ingin menjadi

walikota Pariaman. Alasan pertama saat itu adalah, golkar sebagai partai

pemenang pemilu dan bisa mencalonkan kader sendiri justru kok mengajukan

calon dari PKS. Lalu kader golkar jadi wakil wakikota. Padahal Golkar punya 2

kursi sedangkan PKS punya 1 kursi. Menurut saya kalau gini untuk apa kita

berpartai? Oleh karena itu makanya saya maju secara independen. Menurut saya

ini sudah merupakan pelanggaran terhadap PO. Di dalam Peraturan Organisasi

disebutkan bahwa untuk mengajukan calon, baik itu kepala daerah tau yang lain,

yang pertama kali harus diprioritaskan adalah kader. Dan itu yang dilanggar.

Kalau ada kader partai lain yang masuk itu harus dalam aturan main koalisi. Jadi

Page 190: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

175

menurut saya ini konstruksi berfikir saja, makanya saya tegas saat itu bahwa

saya akan maju. Byeee. Tapi kalau golkar macem-macem sama saya, saya juga

akan macem-macem sama golkar. Itu saya bilang waktu di pariaman. Kan

hampir tuh saya diberikan surat pemecatan dari Idrus Marham yang menurutnya

saya melawan partai. Loh menurut saya, partai apa yang saya lawan? Yang saya

lawan adalah kebijakan elit partai, AD/ART tidak saya lawan. PO tidak saya

lawan. Termasuk parlemen sekarang ini. Saya lebih melihat AD/ART.

Hendra: dan ittu berdampak pada berpihaknya anda ke kubu Agung Laksono ?

Indra: iya. Itu sebagai konsekuensi dan alasan. Menurut saya partai juga tak berhak

memecat kader hanya karena perbedaan pandangan politik. Itu sudah

merupakan pelanggaran hak kader.

Hendra: selanjutnya, jika kita bicara duel antara Agung Laksono dan Ical, seringkali kita

mengkaitkan konflik ini sebagai perseteruan lanjutan antara KMP dan KIH.

Menurut anda? Mau dibawa kemana Golkar ini? Apakah tujuan memenagkan

Agung Laksono dari munas untuk memindahkan arah koalisi partai?

Indra: enggak. Menurut saya itu KMP-KIH itu hanya ciptaan elit politik. Bisa kita lihat

waktu pemilu 2009, Golkar dukung siapa? JK-Wirantio kan? Mengapa saat

tahun 2009 golkar justru ada di pemerintahan? Begitu juga sebelumnya waktu

SBY –JK . Golkar dukung siapa? Dukung Wiranto-Gus Sholah kan? Kalah

golkar. Waktu pilpres putaran kedua juga kan golkar dukung pasangan Mega-

Hasyim. Dan ujungnya kalah lagi. Meskipun ada 16 orang golkar yang saat itu

mendukung SBY-JK . dan diakui memang saat itu golkar berada di koalisi

kebangsaan kan. tapi setelah golkar diambil alih oleh JK, dan akhirnya golkar

mendukung pemerintahan dari yang sebelumnya sebagai oposisi. Menurut saya

ini hanya sekadar games saja. Jadi konflik golkar saat ini tujuannya bukan

keesana. Tujuan kita adalah menyelamatkan partai. Dengan bergabungnya

golkar di KMP, membuat golkar tak lagi mandiri. Golkar saat ini keluar dari

KMP tetapi tidak bergabung ke KIH. Kalau golkar bergabung ke KIH, mungkin

saya adalah yang pertama kali menolak dan saya akan mundur dari

kepengurusan.

Hendra: Kalau Golkar gabung ke KIH, Bapak akan keluar dari kepengurusan?

Indra: Iyaa. Karena gak ada caranya itu golkar gabung ke KIH. Apa kita mau balik lagi

ke pemilu 2014? KIH Itu kan mereka yang mengusung pasangan JKW-JK dan

KMP yang mendukung Prabowo-Hatta.

Hendra: Nah tapi kan kalau kita bicara sistem, dalam sistem presidensial multipartai kan

dukungan legislatif terhadap eksekutif kan menjadi penting? Setidaknya untuk

mencapai dukungan 50%+1 untuk emmuluskan program pemerintah?

Indra: Menurut saya itu kan hanya teori aja itu. Tidak ada itu hanya gara-gara eksekutif

tidak didukung legislatif kemudian pemerintahan hancur. Enggak ada. Lihat aja

dulu waktu SBY-JK tahun 2004 hanya didukung 7% gabungan partai. Ini yang

maksud saya sebagai kemandirian partai. Partai harus mandiri. Kalau

pemerintahan mmengeluarkan kebijakan yang buruk, ya hantam. Kalau

Page 191: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

176

kebijakan pemerintah baik, ya tidak usah di hantam. Tapi dengan peforma

dengan KMP dan KIH ini membuat situasi panas. Panas dalam artian seluruh

kebijakan pemerintah harus di hantam. Lihat aja itu omomgannya Fahri, Fadli.

Mereka yang selalu mengkritik pemerintah, tidak pada policy, tapi yang dikritik

hanya omongan-omongan yang belum menjadi policy.itu yang menurut orang-

orang sebagai fungsi oposisi? Itu salah. Oposisi itu adalah saat menghantam

kebijakan pemerintah dengan konsep. Misalnya pemerintah berniat membangun

jembatan jawa-sumatera. Lalu dikritik oleh parlemen. Menurut parlemen itu

tidak benar. Lebih baik dibangun pelabuhan-pelabuhan kecil dsb. Dan maju

dengan konsep. Nah itu yang dimaksud dengan oposisi yang benar. Oposisi

yang melalui konsep. Nah kalau sekarangg ini, oposisinya keliru. Misalnya

pandangan oposisi yang menginginkan pemerintah harus jatuh di tengah jalan.

Nah itu keliru. Karena pengalaman menjatuhkan Soeharto dan Gus Dur itu

masih menimbulkan luka-luka politik. Harusnya kontestasi pemerintah dengan

oposisi itu harus melalui adu gagasan.seperti yang terjadi dalam konteks AS,

ada Republik dan Demokrat. Jadi pandangan oposisi tak musti apakah dia ada

diluar apa di dalam. Jadi kalau oposisi di pandang bila pemerintah A, maka kita

B dst. Itu keliru.

Hendra: Nah problemnya kan masih ada orang yang memiliki pola pikir oposisi tidak

seperti yang anda bilang?

Indra. Iya masih, tapi kan itu yang berusaha sedang saya benerin. Saya berbeda dengan

mereka yang menjadi politisi berasal dari jalanan atau politisi karir. Awalnya

saya kan memang scientist.

Hendra: lalu menurut anda apa masih ada orang-orang di dewan yang memiliki cara

pandang oposisi seperti yang anda bilang keliru itu?

Indra: Oh iyaa masih. PDIP kan dahulu juga seperti itu.

Hendra: nah itu kan bahaya bagi sistem kita?

Indra: Enggak bahaya, makanya kan yang wkatu itu saya kritik kepada PDIP soal

sikap oposisi dirinya. Saya bilang: ―tidak benar anda menyebut diri sebagi partai

oposisi.‖ Buktinya lihat saya sekarang PDIP menjadi gubernur di kalimantan

tengah. Jadi koalisi apa? Ganjar Pranowo jadi gubernur, waktu Jokowi jadi

gubernur. Jadi PDIP itu oposisi apa? Itu kan PDIP menjadi pemerintah. Jadi gak

ada itu konsep oposisi di indonesia. karena kita mengenal kesatuan

pemerintahan atau unilitatian. Pemerintahan di indonesia ya Cuma ada satu,

mulai dari presiden sampai ke tingkat paling bawah. Kayakk PDIP misalnya

yang ada kadernya menadi gubernur atau walikota yang menjadi pemerintah,

dan berkaitan dengan pemerintah pusat. Pandangan oposisi ini yang menurut

saya keliru konteksnya. Sistem kita kan presidensial. Oposisi itu dikenal dalam

parlementer yang mengenal istilah veto dan mosi tidak percaya. Kalau indonesia

menganut fixed term office yang waktu jabatannya jelas, dari 20 oktober sampai

20 oktober. Ini yang menjadi jabatan presiden adalah tetap dan tak bisa

diganggu gugat. Jadi gak ada yang namanya pemerintahan transisi, orang-orang

itu baca buku dimana? tak ada pemerintahan demisioner. Makanya ketika pak

Jokowi bikin Tim Transisi maka saya juga itu yang kritik kan. Kalau mau bikin

Page 192: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

177

tim ya silahkan tapi tidak menyebutnya dengan tim transisi dan menegosiasi

dengan SBY.

Hendra: Seolah tu memisahkan?

Indra: ya. Itu seolah-olah pemerintahan sebelumnya itu demisioner. Kalau ada transisi

maka ada demisoner. Oleh karenanya gak ada sistem itu di indonesia.

Hendra: oke oke. Oh iya sebelumnya anda kan juga bilang oposisi sebagai ciri dari

sistem parlementer. Cuma kan dalam konteks indonesia, partai kan gak mungkin

untuk tidak koalisi?

Indra: Mungkin saja.

Hendra: bagaimana mungkin? Sedangkan eksekutif dan legislatif memutuhkan

kesepakatan bersama.

Indra: ya tetap bisa melalui negosiasi antar partai.

Hendra: Nah, negosiasi kalau tidak diikat dengan koalisi kan kadang sulit. Untuk

membangun disiplin partai saja kadang sulit.

Indra. Oh enggak-enggak. Gak mungkin koalisi itu gimana? Koalisi itu kan permanen

dalam banyak hal. Bagaimana mungkin antarpartai bisa satu pandangan dalam

setiap isu? Kan gak mungkin sama. Dalam isi ISIS misalnya. Kalau gaka da

KMP, pasti berantem itu politisi golkar dengan PKS. Lilhat saja isu-isu

mengenai densus 88. PKS pasti sangat alergi dengan itu. Tapi golkar ya tetap

merah putih. Jadi ide itu tak bisa dikoalisi kan. Dan ideologi partai itu harus

jalan. Dengan adanya koalisi ideologi partai menjadii tak keliatan. Atau ini

hanya proses bagi bagi kekuasaan. Gak ada itu. Coba anda lihat, bagaimana bisa

PPP koalisi dengan PDIP waktu saya kalah kan? Itu ideologi beda. Oleh

karenanya pendekatan koalisi menjadi tak mungkin dalam konteks indonesia.

karena kita kan ada 500 lebih gubernur dan walikota. Di masing-masing daerah

itu kan beda. Tau gak pemenang pemilu di kota Solonto siapa? Dari PKPI coba.

Kalah golkar. Di kota pariaman, hampir saja PBB menjadi pemenang pemilu.

Hampir kalah golkar, dinamika di daerah lalu mau dikoalisikan di pusat? Ya gak

bisa. Jadi bingung saya. Waktu 5 tahun yang lalu jadi pengamat politik syaa kira

gak seperti ni realitas politik kita yang amat hancur. Dalam politik itu kan

idealnya harus ada skema, ideologi, platform. Nah sekarang? Justru yan paling

menarik diamati adalah perilaku. Seperti populisme, kedikenalan, popularitas.

Yang menurut saya itu bukan hal yang penting. Jadi 5 tahun terakhir itu cara

bangsa ini berfikir mengenai sistem politik itu sudah mengadopsi cara cara

ilmuan politik di AS, kalau sebelumnya itu lebih menganut cara berfikir di

eropa. Kalau sekarang ini menurut saya acak-acakan. Sistem presidensial seolah

diadu dengan sistem parlementer. Parlementer kan khas eropa sedangkan

presidensisliem itu kan khas Amerika. Mungkin karena ilmuan politiknya tidak

ada yang dominan juga. Atau tak menjadi rujukan utama. Memang harus ada

ilmuan politik di Indonesia yang menjadi rujukan utama.

Page 193: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

178

Hendra: oke. Lanjut pak. Ini soal APBN-P 2015. Nah dalam kondisi divided government

seperti yang terjadi dalam pemerintahan JKW-JK diprediksi akan mengalami

kedsulitan dalam membangun kesepakatan. Karena legislatif dikuasai oleh

KMP, tapi kenapa kok APBN-P bisa diterima?

Indra: nah itulah, karena sampai pada akhirnya terjadi kompromi. Di AS kan juga

terjadi divided itu.

Hendra: kalau kita bandingkan dengan yang terjadi sebelumnya misalnya, kan KMP dan

KIH terjadi perseteruan yang cukup panas tapi makin kesini kok antara

eksekutif yang dikuasai oleh KIH dan KMP yang menguasai legislatif keduanya

bisa saling menyepakati?

Indra: nah itu lah kan akhirnya juga terjadi kompromi-kompromi. Beda hal yang

terjadi di AS, ketika terjadi divided government maka terjadilah pula

government shut down. Cuma kan dalam konteks AS, divided government itu

diantisipasi dengan adanya pemilu sela. Saya juga pernah itu mengusulkan

adanya pemilu sela di Indoenesia untuk mengatasi konflik politik yang terjadi.

Saya usul diadakan pemilu selama 2,5 tahun untuk mengganti 50% anggota

DPR supaya pemerintahan stabil, untuk bisa menyesuaikan dengan komposisi

yang ada di eksekutif.

Hendra: Oke pak saya kira cukup.

NB: Underline: (Rahasia/off the record)

Page 194: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

179

Lampiran VII

Transkip Wawancara

Narasumber : Hamdi Muluk

Status : Profesor Psikologi Politik Universitas Indonesia

Ketua Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (PERSEPI)

Hari/Tanggal : Selasa, 3 Maret 2015

Tempat : Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Hendra: Seperti yang diketahui bahwa eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kubu

yang berbeda. Eksekutif dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat dan Legislatif

dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Nah kalau dalam literatur ilmu politik, hal

ini disebut dengan divided government. Sedangkan banyak beberapa karya yang

mengulas topik divided government seperti Robert Elgie, dalam bukunya

―Divided Government and Comparative Perspective‖....

Hamdi: Nah terakhir itu ya bukunya Djayadi dalam kasus di Indonesia. selain itu juga

Hanta Yuda.

Hendra: Yaa, tapi kan keduanya membahas periode SBY, sedangkan yang saya amati

adalah periode awal Jokowi.

Hamdi: Okee, tapi apa kesimpulan kamu dari kedua buku itu. Saya ingin kamu

mengkritik kedua buku itu dulu.

Hendra: oke, kalau Hanta itu hanya melihat persoalan eksekutif dan legislatif secara

kelembagaan. Dengan artian lebih banyak berfokus pada kritik sistem

presidensial yang legislative heavy. Seperti layaknya proses pemilihan kapolri,

panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia itu harus melalui restu DPR,

sedangkan dalam literatur klasik studi presidensialisme seharusnya itu menjadi

kewenangan presiden secara penuh. Nah disitulah terjadi tarik menarik

kepentingan antara kedua lembaga tersebut.

Hamdi: okee, nah kalau kamu kerangka teorinya pake punya siapa?

Hendra: Karena fokus yang diambil diriset saya adalah terkait divided government jadi

teori yang digunakan itu yakni koalisi presidensial (Paul Chaisty) dan divided

government (Robert Elgie)

Hamdi: Oke okee, tapi kalau saya mikirnya begini, desain presidensialisme kalau anda

berharap itu kecil kemungkinan terjadi divided ya hanya ideal dalam konsep

biparty atau triparty. Ya kan kalau satu party yaa gak mungkin itu kan komunis.

Seenggaknya kan kalau negara demokratis ya multiparty atau paling enggak

dua. Kenapa biparty? Ini ada penjelasan psikologis sebenarnya, ini mungkin

menjadi alasan kenapa biparty itu menjadi lebih stabil. jadi misalnya begini ya

dalam sistem biparty itu seringkali memiliki spektrum ideologi yang terpecah

Page 195: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

180

menjadi dua. Katakanlah ideologi A dan B. Nah kalau orang menilai ideologi A

tidak sukses dalam memerintah kan bisa berpindah piliham ke ideologi B. Nah

biasanya voters ini akan memilih partai yang sama, baik dalam fungsi eksekusi

ataupun controling. Nah dalam konteks ini kan tidak divided namanya.

Misalnya begini dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Demokrat

menguasai 60% parlemen, kemungkinan dia akan memilih presiden ya dari

demokrat juga. Ya kan. Divided ini kan artinya begini presiden dari denokrat

misalnya, lalu republik menguasai 70% parlemen. Nah ini yan dimaksud

divided government itu. Jadi kalau dianggap memerintah itu adalah kerja

kolaborasi antara eksekutif dan legislatif maka ini yang menjadi persoalan,

karena besar kemungkinan policy di eksekutif akan mendapatkan halangan di

parlemen. Nah selain itu kalau konsepnya parlemen, maka kita tidak relevan

secara filosofis jika bicara divided ini. Karena presiden atau perdana menteri

kan dapet mandat sepenuhnya dari parlemen, kecuali mosinya dicabut.

Pembicaraan divided ini kan hanya relevan dalam konteks sisitem presidensial.

Nah masalahnya secara empiris kemungkinan divided makin besar kalau

desainnya multiparty.Ini yang menjadi complicated. Nah kalau dalam biparty itu

kan tidak sering itu terjadi divided. Yaa karena tadi, ketika orang mulai bosan

dengan partai A dan orang itu akan pindah ke partai B. Seperti yang terjadi di

AS, Inggris dan Australia. Nah kalau di Indonesia, pekerjaan presiden itu

menjadi lebih complicated kalau dia ingin melakukan eksekusi secara lebih

mulus. Karena ada beragam kepentingan yang dia harus tampung. Nah ini yang

menjadi tesis Mainwaring mengenai complicatednya sistem multiparty. Cuma

kan ya Djayadi Hanan punya tesis kebalikan. Yaa namanya juga tesis kan, orang

akan berusaha untuk membalikan. Ya namanya tesis pasti juga akan muncul

anti-tesis. Jadi menurut saya, penjelasan dari era SBY sampai Jokowi itu ya tak

akan berubah, karena kenapa? Desain konstitusinya kan sama. Nah, disini kita

lebih tepay bicara perilaku aktor yang mungkin berubah. Nah, jangan-jangan

tesisnya Djayadi itu hanya relevan apabila perilaku aktornya itu seperti SBY

yang menurut Djayadi itu pintar membuat kompromi-kompromi sehingga bisa

jalan.

Hendra: nah lanjut. Gini Prof, disatu sisi kan sistem presidensialisem bisa dibaca untuk

memperkuat prinsip check and balances?

Hamdi: sebenernya iya, tapi secara filosofis, pembuat sistem presidensialisme memang

untuk memperkuat prinsip check and balances, nah kalau tidak mau ada check

and balances ya sistemnya parlementer. Kalau secara filosofi untuk

memciptakan sistem yang stabil ya sistemnya parlementer, kareena kan yang

berkuasa disini hanya ada satu dan pemerintah sulit untuk mendapatkan mosi

tidak percaya. Tapi yang menjadi masalah dalam sisitem parlemnter apakah,

eksekutif berhasil mensurving partainya sendiri. Seperti yang terjadi di Jepang

misalnya, kalau ada perdana menteri yang di copot maka yang menjadi

penggantinya adalah orang yang berada di dalam partai mayoritas di parlemen

atau partai yang mengangkat perdana menteri sebelumnya yang di copot itu.

Sehingga penggantinya ya orangnya itu-itu juga. Ibaratnya ya seperti resuffle

aja gitu, bukan betul-betul layaknya pergantian rezim. Kalau dalam sistem

presidensial memang betul apa yang anda bilang bahwa tujuannya untuk

memperkuat prinsip check and balances supaya mandat antara eksekutor dan

yang mengontrol itu berasal dari konstituen. Nah kalau dalam sisitem

Page 196: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

181

parlementer kan mandat pemerintahan bukan berasal dari konstituen langsung

tapi berasal dari dukungan di parlemen itu sendiri. Nah kalau perdana menteri

ingin berkomunikasi dengan parlemen jadi kan tidak ada kesuitan, karena kan

ya parlemen itu kan orang-orangnya dia juga, nah kalau konsep ini kan berbeda

dengan sistem presidensial yang memungkinkan terjadinya divided

governement. Jadi tergantung anda yang memaknai divided government itu

seperti apa konsepnya. Kalau dalam konsep check and balances yaa pure seperti

yang terjadi dalam divided government itu ya tidak masalah. Misalnya jika

Obama menguasai eksekutif dan demmokrat tak mencapai kekuatan mayoritas

di legislatif kalau dipandang dalam konsep check and balances ya tidak

masalah. Karena fungsi legislatif itu kan ya untuk controling guna memperkuat

check and balances. Cuma yang menjadi persoalan kan begini, yang menjadi we

and ask dalam perspektif psikologi atau masalah identity, `meskipun partai yang

duduk di parlemen mewakili atau representative rakyat tetaplah partai memiliki

identitiy dan kepentingan serta platform, ciri dan program dan akhirnya tetaplah

terjadi dikotomi antar eksekutif dan legislatif saat terjadi divided government.

Ini yang kemudian banyak analis yang mengatakan bahwa jika presidennya

berasal dari partai A, maka parlemen harusnya dikuasai juga oleh partai A supay

ananti identitynya sama dan tidka terjadi kegaduhan, kalau dalam psikologis

diakui memang kalau seseorang berbeda identitiy menang gampang musuhan,

walaupun tidak dalam sudut pandang objektif. Tetapi kan itu melalui sudut

pandang subjektif. Ibarat: ―dia kan bukan orang kita, lalu kenapa kita harus

dukung dia?‖

Hendra: Oke Prof. Tapi kok kalau soal APBN-P itu kok bisa di terima Prof?

Hamdi: Nah itu dijawab lewat tesisnya Djayadi Hanan itu, tesisnya Djayadi Hanan kalau

kita pandang melalui sudut negatif kan artinya ―kongkalikong‖

Hendra: Tapi kan kembali ke soal identity lagi gitu, antara eksekutif dan legislatif itu kan

dikuasai oleh beda kubu yang beda identity? Nah mengapa kok diantara

keduanya bisa saling berinteraksi dan kompromi gitu? Bagaimana pendekatan

psikologis menjawab itu?

Hamdi: Nah kalau dalam konteks ini kita bisa pahami bahwa aktor politik itu posisinya

terlalu jauh dengan interst of public. Jadi identity tidak menjadi suatu persoalan.

Biasanya perdebatan identity menjadi sengit kalau debat itu on the stage public

policy yang menjadi perdebatan keras di masyarakat. Nah negara yang modern,

jarak atara public issue dan aktor itu tidak begitu jauh, nah kalau di Indonesia,

jarak antara public issue dengan aktor itu sangat jauh. Jadi masyarakat itu tidak

tahu apa debat debat yang terjadi di parlemen. Sehingga ketidaktahuan

masyarakat terhadap isu yang diperdebatkan di parlemen menjadi peluang bagi

aktor partai politik untuk menyelesaikan proses kongkalikong itu sendiri. Nah

disinilah lalu menjadi kepentingan aktor. Sedangkan aktor itu berkaitan dengan

pengusaha, nah kalau aktor-aktor ini berhasil membangun kongkalikong maka

seperti yang disimpulkan oleh Djayadi bahwa stabil kok presidensialisme

mutipartai. Jadi disini bergantung pada kelincahan presiden dalam membangun

lobby lobby itu. Dan itu yang terjadi dalam era SBY yang membuat sistem

presidensial multipartai itu lancar. Meskipun si Hnata juga mengatakan bahwa

―ini sih bukan sistem presidensial murni, tapi semi parlementer‖, karena

parlemen banyak mengganggu. Nah tesisnya Djayadi mengatakan karena

Page 197: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

182

kondisinya suddah begitu atau parlemen yang banyak mengganggu eksekutif

maka SBY tahu caranya, intinya ya kongkalikong sebenarnya. Seperti lobby dsb

yang menurut Djayadi hal itu tak perlu di lihat dari struktur formal, tapi melalui

pendekatan yang informal yang banyak menentukan.

Hendra: oke lanjut, misalnya kalau saya berada di pihak Djayadi gitu. Kalau misalnya

gak ada kompromi lalau bagaimana kebijakan itu bisa diambil?

Hamdi: Masalahnya kan begini, yang lepasa dri diskursus kita selama era SBY ini

adalah tidak ada jaminan bahwa kepentingan publik ini akan maksimal.

Sebenernya kita bisa menerima kompromi alau kepentingan publik ini bisa

diakomodasi secara maksimal yang diambil secara keputusan bersama dan

dieksekusi. Itu artinya kinerja pencapaian publik saat era SBY tidak big

impression. Meskipun secara hubungan eksekutif dan legislatif ya stabil, tetapi

kalau kita memaknai prestasi SBY selama 2 periode ini apa? Ya meskipun

kerusuhan politik pun minim seperti yang dibilangg Djayadi. Antar aktor juga

tak banyak berkelahi, itu juga benar. Dan orang pada tahu akhirnya, ada

permainan anggaran di belakang. Tadi saya dapat SMS daei Mas Rhenald

Kasali, perahkah kita melihat dan mengamati di tingkat mikro manajemen,

seperti kasus Ahok dengan DPRD itu hanyalah fenomena gunung es yang

nampak di permukaan, kasus penggelapan anggaran sebetulnya itu sudah sangat

lama. Jadi pelayanan publik itu ya just less. Jadi ini yang akhirnya penggunaan

anggaran menjadi tidak bertangung jawab. Kita akui bahwa dalam negara ini

harus ada urusan publik yang harus ditangani, misalnya bangun jembatan

distruktur anggaran mencapai 20M, namun dalam pelaksanaannya itu tak

mencapai 20 M. Jadi ujung-ujungnya jembatan yang haruusnya bisa bertahan 5

tahun menjadi ambruk dalam waktu 2 tahun. Ini artinya apa? Ya jadinya

pembangunan tidak berjalan. Ini fenomena hampir semua, jadi kasus Ahok

dengan DPRD ini adalah fenomena gunung es yang terjadi hampir di semua

relasi ekskeutif-legislatif. ini kemudian menjadi peluang corruption, nah

persoalan selanjutnya lalu, karena ini dilakuan berjamaah, kita butuh berapa ribu

KPK? Dan belum nanti tender itu ada yang nakut-nakutin itu. Nah ini sudah

kongkalikong antara eksekutor dengan legislatif yang nanti dimasukin di

struktur anggaran. Nah ini yang disebut dengan kebocoran anggaran. Nah

masalahnya ini kan anggaran ini disepakati oleh 2 belah pihak kan? Nah jadi

kalau Ahok ini gak mau ribut-ribut ya gampang lebih baik kompromi aja. Nah

ini yang kemudian publik tidak tahu dengan apa yang terjadi di belakang. Jadi

pembahasan APBN/APBD itu tidak mencerminkan kebutuhan publik, tapi lebih

kepada kebutuhan dan kepentingan para pengusaha yang ada di belakang para

legislator. Karena memang aparat yang standar juga sudah tak berjalan.

Hendra: Berarti secara garis besar yang menyebabkan semua itu terjadi karena sistem

multipartai?

Hamdi: Ya betul, tapi kan kadang ketakutan ilmuan politik itu begini, kalau misalnya

eksekutif tidak mau melayani legislatif , leguslatif itu kan punya kuasa untuk

instrumen menjatuhkan. Paling tidak kalau dalam konteks parlemen masih ada

mosi tidak percaya. Nah dalam konteks presidensial ada instrumen untuk

legislatif bisa menjatuhkan ekskeutif meskipun lebih sulit desain konstitusinya

ketimbang parlementer. Diakui memang dalam konteks presidensialisme,

Page 198: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

183

eksekutif lebih punya kekuatan untuk menolak usulan legislatif. karena apa?

Mekanisme pemakzulan itu kan dipersulit dalam konteks penggantian presiden

dan jajarannya. Kalau dalam sistem parlementer digunakan istilah pemakzulan

itu sebenernya keliru kan, jadi kalau dalam sistem parlementer itu ya kayak

ressufle aja sebenernya. Kalau dalam sistem parlementer, penggantian rezim itu

sebenernya ya tetep nunggu pemilu. Dalam konteks presidensial, eksekutif ini

kan dirancang kuat sebenarnya, Cuma kan analis politik kebanyakan pada

ketakutan jika legislatif ini tidak di surving dan tak dilayani, eksekutif bisa

diganggu melalui mekanisme pemakzulan. Seperti yang terjadi pada kasus Ahok

ini. Nah kalau nanti parlemen banyak yang mengatakan eksekutif bersalah nanti

bisa dijadikan dasar untuk diajukan ke MK. Walaupun tetap pemakzulan

ekskutif tetap harus melalui mekanisme pengadilan. Seperti yang terjadi pada

kasus Aceng.

Hendra: Nah kalau pendapat Prof soal Gus Dur?

Hamdi: Nah itu beda sistem. Sistem kita sebelum reformasi itu sistem paling sesat. Tapi

kesesatan terbesar itu ada pada jaman soeharto. Bisa dilihat komposisi anggota

MPR itu separuhnya anggota DPR dan separihnya diangkat. Nah kalau yang

diangkat oleh presdien itu kan sama aja bohong. Nah separoh dari yang dipilih

melalui pemilu itu ada Golkar yang dibawah kendali presiden pula. Lalu apa

kontrolnya? Nah ini yang kemudian dijadikan dasar pojakan bahwa presiden

saat orde baru adalah mandataris MPR. Padahal yang duduk di MPR itu orang-

orangnya Soeharto juga. Nah setelah orde baru orang mulai mendirikan bahyak

parpol, sampai berjumlah 43 partai yang ikut pemilu. Karena pada saat era

Soekarno dan Soeharto, Presiden adalah mandataris MPR, shingga MPR bisa

menaikan dan menurunkan. Itu yang terjadi pada saat Gus Dur. Yang kita tahun

bahwa Amin Rais yang menaikan dan menurunkan. Setelah itu baru deh kita

insyaf bahwa presiden bukan lagi mandatais MPR. Selanjutnya yang menjadi

problem adalah wewenang presiden tidak dipagari secara kuat. Legislatif itu

wewenangnya masih besar, masih ada gejala legislative heavy. Dan presiden

juga tak punya hak veto untuk sebuah UU, nah kalau di AS kan presiden punya

hak veto. Meskipun parlemen tidak setuju ya eksekutif bisa jalan terus. Jadi

kuatnya bangunan sistem presidensial itu yang kini menadai perdebatan, nah

dikita apakah kita masih mau memperkuat bangunan sistem presidensilnya atau

tidak? Kalau dalam era Soeharto sebenernya bukan presidensial sebenernya tapi

agak ke parlemen. Nah sekarang kan kita sudah insyaf soal itu, MPR sudah

tidak lagi yang menjadi pemegang mandataris tetapi MPR lebih pada proses

bikameral yang menaungi DPR dan DPD, meskipun DPD itu cuma basa-basi

karena kewenangannya sedikit. Nah kalau di AS kan senator namanya, kalau

DPR namanya kongres, tapi di AS keduanya memiliki wewenang yang sama,

cuma cara memilihnya yang berbeda. Nah saat ini di Indonesia justru DPR ni

yang memiliki kegarangan bila berhadapan dengan eksekutif. Selanjutnya yang

menjadi complicated adalah DPR ini multiparty dan terlalu banyak pihak dan

kepentingan yang harus dilayani eksekutif.

Hendra: Jadi menurut Prof, ini yang menjadi problem dan harus di re-design?

Hamdi: Iya beetul, memang harus di re-design. Harus ada pengerucutan partai memang

menurut saya. Selain itu juga sistem pemilu kita ini terlalu kompleks. Belum

Page 199: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

184

pernah ada masyarakat di dunia ini orang disuruh memilih 1 dari 100 matriks.

Dan dalam teori voting hal ini tidak akademis. Saya ini marah-marah sama ahli

politik itu. ―kalian ahli politik ini seolah-olah tidak pernah bertanya kepada

masyarakat, secara psikologis orang itu sanggupnya memilih berapa?‖ dalam

psikologi ada beberapa alternatif yakni (1) voting behaviour itu adalah prefer

alternative. Atau memberikan pilihan kepada seseorang itu sudah sama-sama

baiknya. Tinggal masyarakat yang memilih satu sesuai preferencenya. (2)

mekanisme HRD (Human Resources Development) selection seperti memilih 3

terbaik dari 100 yang mendaftar. Nah nanti dari 3 terbaik yang harusnya

disodorkan ke publik. Nah kalau pemilu di indonesia ini kebangetan, kita

disuruh memilih 2 dari 100 calon. Ini yang kemudian menjadi kritik saya

kepada Perludem yang selalu membuat jargon ―telitilah sebelum memilih dsb‖.

Laah memangnya masyarakat siapa yang mau meneliti seluruh calon? Kalau

mau bertanggungjawab harusnya melalui mekanisme seleksi untuk

mendapatkan calon terbaik, nah kalau pemilu di Indonesia itu kan tak ada

mekanisme selection. Semua calon yang lolos di partai itu langsung disodorkan

ke publik. Harusnya menganut prinsip ―Who is the best prefer choice?‖.

Problem di Indonesia kan lebih merujuk pada hak orang untuk dicalonkan, kita

tak pernah peduli dengan hak pemilih. Pemilih justru disiksa dengan banyaknya

calon untuk memilih. Kita memang harus punya mekanisme selection. Kalau

gak ada mekanisme itu ujung-ujungya orang akan memlih asal-asalan. Atau

memilih berdasarkan politik uang. Dan akhirnya kita tak mendapat quality. Dan

penyebab awalnya ini adalah multiparty. Saya debat itu sama Djayadi soal ini,

saya bilang aja tetep aja multipaty itu tidak relevan.

Hendra : bagus itu prof kalau dibuat penelitian tandingan gitu.

Hamdi: Yaa nanti saya akan bantahan itu bahwa sebetulnya multiparty itu penyakit

Hendra: Oke Prof. Sudah cukup saya kira.

Page 200: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

185

Lampiran VIII

Transkip Wawancara

Narasumber : Wandy N. Tuturoong

Status : Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK

Hari/Tanggal : Selasa, 31 Maret 2015

Tempat : Gedung Energy, SCBD Jakarta.

Hendra: Oke. Bapak kan waktu itu berada di dalam Tim Transisi JKW-K ya pak? Di

bagian Pokja? Apa pak yang Bapak lakukan disana? Bisa diceritakan?

Wandy: kalau di awal kan saya terlibat disana karena 2 hal. Pertama, saya kan memang

tim perumus visi/misi JKW di bidang ekonomi bersama Sri Adiningsih yang

sekarang ini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Kedua, saya juga

membuat kelompok relawan, Ali Almisbath. Nah setelah JKW terpilih, saya

kebetulan juga dapat di Pokja Lembaga Kepresidenan tim transisi JKW. Nah

pokja Lembaga Kepresidenan itu tugasnya memang untuk membantu Presiden

untuk mendesihn perangkat yang mendukung presiden dalam menjelankan

tugasnya yang menurut kami ini kurang efektif dilakuakn di pemerintahan

sebelumnya. Karena presiden kurang memegang kendali terhadap kementerian

yanga da. Jadi ada menteri yang jalan sendiri tak tak berkoordinasi. Padahal

koordinasi itu penting, sedangkan suatu pemerintahan kan tak mungkin jalan

tanpa adanya koordinasi. Contoh misalnya, kalau kita ingin membangun

pelabuhan, itu kan bisa dikelola oleh kementerian PU, BUMN, lalu kemudian

kita mengusulkan harus ada kontrol dari presiden dan ini harus dirumuskan

melalui lembaga kepresidenan. Jadi ada fungsi pengendalian dan kontrol gitu.

Supaya memungkinkan kalau ada yang macet itu bisa diatasi. Begitu juga

halnya dalam UU, karena sebelumnya seringkali presiden ini hanya sebagai

orang yang menandatangani UU. Atau kalau dari inisiatif pemerintah datangnya

justru dari kementerian. Padahal idealnya hal itu berasal dari presiden, yang

mana ide dan gagasannya dari presiden, lalu untuk segala teknis diserahkan

kepada kementerian. Nah itu yang kita susun supaya presiden memiliki kontrol

dan pengendalian terhadap kementerian.

Hendra: nah kalau sebelumnya kan ada UKP4 ya? Lalu menurut bapak apa bedanya?

Wandy: UKP4 saya baca memang ada juga fungsi pengendalian. UKP4 lebih banyak

memonitor menteri tapi tidak punya kontrol. Jadi hanya bikin raport menteri tapi

kalau raport menterinya merah itu tak bisa diatasi. Dan ketika dibuat juga hanya

dibuat saja. Saya tak tahu apakah dia mengikuti rapat tiap saat. Tapi itu bisa

tanya ke orang UKP4. Tapi idealnya kan menteri ini di bawah konrol presiden.

Menterilah yang menjaga visi misi presiden. Supaya dijalankan. Nah itu yang

kita maksudkan dalam ide lembaga kepresidenan yang dinamakan kantor staff

presiden.

Page 201: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

186

Hendra: oke. Diluar konteks lembaga kepresidenan. Kalau kit abicara arsitektur kabinet

JKW-JK, posisi tim transisi itu sebetulnya ada dimana terkait keputusan

terhadap posisi-posisi menteri?

Wandy: kalau di Tim Transisi, kita tak berbicara orang. Kita bicara sistem. Kalau terkait

perseorang kita Cuma mendiskusikan beberapa kriteria-kriteria orang yang tepat

untuk di posisi menteri dan merekomendasikan itu kepada presiden.

Hendra: merekomendasikan?

Wandy: iyaa, merekomendasikan sistem. Bukan merekomendasikan orang. Kalau untuk

orang per orang itu ya hak prerogatif presiden.

Hendra: ya, yaa presiden bersama partai ya? Hehee

Wandy: yaaa, secara politk dimana proses terpilihnya orang-orang itu tentu melibatkan

partai pendukung.

Hendra: Okee, berarti hanya bicara perangkat sistem ya. Nah trus, fungsi legislasi pak,

menurut bapak gimana? Yang melekat dalam lembaga kepresidenan. Karena

kan saat ini terjadi divided government. Dari perspektif bapak apa ada

kekhawatiran eksekutif dalam membangun interaksi dengan legislatif dalam

perumusan UU?

Wandy: adaaa. Ya kan udah terjadi.

Hendra: Tapi dalam konteks relasi eksekutif-legislatif yang terdivided, itu kan banyak

literatur yang mengatakan akan sulitnya dan potensi deadlock antara eksekutif

dan legislatif. tapi nyatanya dalam kasus APBN-P keduanya bisa saling

menyepakati. Tanggapan bapak?

Wandy: okee, kamu diajarin sama burhan? Ya saya sepakat dengan burhan ya. Kalau

menurut saya sih belum ada keberhasilan sistem presidensial yang

dikombinasikan dengan multipartai eksektrem. Multipartai ini yang secara

otomatis mengurangi kewenangan dia. Karena presiden tak akan bisa menang

besar secara sendiri. Otomatis kan partai presiden harus melakukan bargaining

guna dapat dukungan. Menurut saya itu yang membuat potensi divided itu selalu

ada, jadi ada 2 hal mengenai jalan keluarnya. Satu presiden harus punya tim

yang kuat untuk legislasi.

Hendra: Maksudnya kuat itu seperti apa?

Wandy: yang dimaksud kuat itu yakni, saat ini kan tidak koheren antara visi misi dengan

substansi yang mau disampaikan lewat legislasi. Karena dalam era SBY, ide-ide

itu datang dari menteri kan. Bukan visi presiden, dan presiden harus punya itu.

Ketika presiden harus menghadapi public discource dan harus berdebat dengan

parlemen, maka idealnya presidennya kuat karena memiliki tim yang kuat juga.

Kedua, presiden juga harus punya komunikasi politik yang baik terhadap

banyak partai. Jadi presiden harus melakukan lobby lobby politik supaya

Page 202: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

187

pembahasannya itu bisa berjalan dan tidak bberlarut larut. Itu bagian dari

komunikasi politik.

Hendra: Nah kalau begitu kan ujung-ujungnya harus koalisi.

Wandy: itu karena sistemnya kan.

Hendra; nah kalau koalisi itu kan seringkali memangkas wewenang presiden?

Wandy: iya betul, makanya kan tadi saya bilang saya setuju dengan burhan bahwa

sistem ini tidak ideal. Tapi bagi saya yang penting adalah dalam kondisi yang

tidak ideal ini apa yang seharusnya bisa kita maksimalkan? Kalau menurut saya

ya melalui 2 itu.

Hendra: meskipun saat ini belum maksimal ya?

Wandy: ya betul memang belum maksimal. Karena kan seperti yang kamu bilang itu

Hendra: nah saat ini kita bicara koalisi. Kalau koalisi era SBY kan angkanya di atas 50%

dukungan partai dilegislatif atau koalisi gendut katakanlah ya. Nah ini yang

membuat orang-orang yang ada di DPR kan itu menjadi bagian dari orang-

orangnya presiden juga. Jadi dalam proses legislasi terlihat tak ada masalah.

Kalau kita lihat angka RUU yang disahkan cukup banyak.

Wandy: masa sih?

Hendra: ya kalau kita lihat dari usulan-usulan yang diajukan oleh kedua lembaga baik

ekssekutif dan legislatif persentase diiterimanya lebih besar ketimbang yang

tidak. Kecuali RUU Rahasia Negara. Nah disitu kan gak ada deadlocknya.

Wandy: ya tidak deadlock tapi kan produktivitas dari segi kuantitasnya rendah kan.

Hendra: Yaa tapi kan jarang deadlock?

Wandy: Ya gimana. Sama aja. Kalau isu-isu substansial tidak banyak diproduksii?

Hendra: okelah. Maksud saya kita tidak usah terlalu jauh membahas isu substansi dulu.

Karena kan menurut saya indonesia ini masih dalam proses mencari bentuk. Era

reformasi kan juga masih belum tergolong lama. Kalau kita lihat pengalaman di

Brazil tentang sistem presidensialisme di sana ya sangat gaduh sekali. Indonesia

saat ini, sistem presidensialisme syukur-syukur tidak deadlock. Kita tidak usah

terlalu jauh membahas isu substansi. Karena menurut saya ketiadaan deadlock

ini merupakan suatu prestasi dan mengenai kegaduhan-kegaduhan yang menurut

asumsi pada teoritik sebelumnya seperti Mainwaring soal bahaya sistem

presidesialisme multipartai tidak banyak terjadi di Indonesia. memang ada

konflik, Cuma kan deadlock tidak terjadi. Nah era Jokowi ini kan jumlah

koalisinya dibawah 50% atau presiden minoritas lah ya. Nah sebetulnya kenapa

sampai pada akhirnya, JKW dan orang-orang di PDIP tidak berupaya mencari

dukungan koalisi yang maksimal? Mungkin bapak tau atau sempat mendengar

curhatan orang-orang disana gitu? Atau pilihan untuk membangun meritokrasi

Page 203: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

188

kabinet? ya itu okelah tapi kan konsekuensinya akan emendapatkan dukungan di

parlemen yang sedikit?

Wandy: itu kan proses yang tidak sepenuhnya JKW yang menentukan. Itu proses

dientukan oleh partainya dan partai yang mendukungnya sejak awal. Dan

juga ada reaksi dari KMP kan. KMP ini kan agak susah membaca arah

politiknya saat dipermukaan dan yang tidak dipermukaan.. kalau di

permukaan kan mereka kumpul terus seperti menunjukan loyalitas.

Walaupun sebelumnya saya tahu dibalik itu bahwa orang-orang KMP itu

secara masing-masing juga ikut menghubungi Jokowi.

Hendra: Itu asumsi bapak?

Wandy: Enggak, itu fakta!

Hendra: Siapa yang dimaksud itu pak?

Wandy: Ya enggak. Kan seperti yang saya bilang diawal. Ada sikap yang dipermukaan

dan sikap yang dibalik permukaan.

Hendra: Nah yang dibalik permukaan itu siapa pak?

Wandy: Waduh, saya tidak bisa kasih tau namanya. Tapi saya tahu. Ada itu.

Hendra: hehehe apa itu sebagai bentuk komunikasi untuk supaya KIH bisa menampung

orang-orang KMP dalam pemerintahan?

Wandy: ya panggung kekuasaan itu kan banyak. Coba kamu lihat aja itu komposisi

BUMN. Siapa aja sih itu yang duduk disana? Nah itu kan bisa dilihat orang-

orang yang duduk disana itu dulunya timnya siapa. Itu kan analisis aktor. Kamu

bisa lakukan sendiri. Atau kan politik ini kan gak Cuma di eksekutif legislatif

atau jabatan formal. Tapi uga ada wilayah kekuasaan lain yang tersebar yang

mengeola resource.

Hendra: berarti kalau gitu idealisme oposisi dari KMP itu tidak ada? Atau hanya muncul

di pidato-pidato?

Wandy: Ya kalau politik itu kan susah untuk menguji idealisme antar keduanya.

Menurut saya politik itu adalah pilihan untuk menentukan mana yang jahatnya

paling sedikit.

Hendra: hahahaha

Wandy: ya iya kan? Maksud saya ukuran moral apa yang mau mereka pakai? Penelitian

kamu masuk ke dalam analisis aktor ya?

Hendra: ya salah satunya.

Wandy: oh. Yaa salah satunya kan politik itu tak bisa dari resourcesnya kan. Nah itu kan

tidak berjalan sendiri tapi kan terkait. Kamu apa temanya?

Page 204: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

189

Hendra: tentang divided government dalam sistem presidensialisme multipartai era JKW

Oke deh.. next, kemarin kan dalam relasi eksekutif legislatif sempat dalam

pembahasa APBN-P 2015? Tanggapan Bapak kok KMP dan KIH yang awalnya

ribut-ribut tapi kok makin kesini kedua kubu masih bisa bersatu dan

berkompromo dalam pembahasan APBN-P? Karena kan APBN-P ini kan

penting dan perkaitan dengan rencana program kerja pemerintah. Bapak tau gak

sih bagaimana lobby-lobby yang dilakukan oleh KIH atau pemerintah dalam

pembahasan ini?

Wandy: Ya ini kan masih ada komuniaksi-komunikasi. Tapi kalau siapa-siapanya yang

melakukan komunikasi itu saya idak tahu. Tadi kan saya sudah bilang itu yang

off the record bahwa diantara petingginya pemerintah dengan KMP saja masih

ada komunikasi. Apalagi yang terjadi di jajaran bawahnya pasti ada

komuniaksi-komuniaksi. Tapi untuk siapa aktornya saja tidak tahu. Tapi yang

pasti ya ada lobby-lobby politik. Karena kan saya yakin bahwa tidak smeua

usulan pemerintah itu pasti di tolak, dinegara mana sih yang ada bahwa setiap

usulan pemerintah selalu ditolak? Pasti akan ada yang diterima kan? Cuma yang

perlu kita lihat itu frekuensinya lebih banyak mana usulan yang diterima dengan

yang ditolak? Kan gak mungkin semua usulan pemrintah pasti ditolak. Pasti ada

lobby lobby.

Hendra: heheh meskipun lobby-lobby itu dilakukan oleh orang yang dulunya musuhan?

Wandy: yaa dalam teori negosiasi itu kan pasti ada dinamika dan endingnya.

Hendra: Okee deh saya kira cukup.

Page 205: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

190

Lampiran IX

Transkip Wawancara

Narasumber : Ulil Abshar Abdalla

Status : Ketua Dewan Pimpinan Partai (DPP) Demokrat bid. Kajian Strategis

dan Kebijakan

Hari/Tanggal : Kamis, 9 April 2015

Tempat : Freedom Institute, Wisma Proklamasi, Jakarta

Hendra: Baik, mas terimakasih atas waktunya. Mungkin pertanyaan yang saya ajukan

disini adalah pertanyaan yang mungkin sudah dijawab oleh sebagian besar

media, tetapi karena untuk keperluan peelitian, maka saya akan

memeprtanyakan lagi supaya bisa mendapatkan data yang bisa

dipertanggungjawabkan. Pertanyaan pertama sebagai pengantar. Sebenrnya,

posisi Partai Demokrat ini ada di mana sih mas? KMP atau KIH?

Ulil: Tidak dikedua-duanya. Meskipun disadari bahwa banyak masyarakat yang tidak

percaya bahwa Demokrat itu betul betul menempuh jalan ketiga. Karena

sebagian besar masyarakat berfikir bahwa Partai Demokarat ada di sebrang KIH

maka otomatis berada di KMP. Nah itu logika yang saya lihat banyak orang,

sehingga banyak yang tak percaya. Nah sebetulnya Demokrat bener-bener

berada di jalan ketiga atau tengah. Kenapa Demokrat mengambil jalan ketiga?

Mungkin ini adalah penjelasan yang sifatnya formal ataupun yang tidak formal.

Penjelasan formalnya adalah PD tidak mau menjadi bagian dari oposisi yang

selalu mengatakan tidak pada semua kebijakan JKW. Karena memang SBY

sudah menenggarai bahwa nada-nadanya KMP akan selalu bilang tidak kepada

kebijakan JKW. Tapi dari awal SBY sudah melihat perseteruan antara JKW dan

Prabowo yang sangat keras. Nah SBY menenggarai KMP akan terus

mengganjal kebijakan JKW. Dan itu tidak sehat. Ya kalau JKW menghadapi

koalisi yang seperti itu kan tidak bagus untuk JKW dan untuk Indonesia juga.

Karena pemerintah tidak jalan. Kalau pemerintah tidak jalan kan dampaknya

kesemua orang juga. Kita gak mau pemerintahan tidak berjalan hanya gara-gara

koalisi yang mix seens atau tidak waras dan tidak memakai pertimbangan

rasional. Oleh karena itu SBY menggagas itu karena harus ada kekuatan yang

seimbang. Kalau JKW salah ya dikritik, kalau benar ya didukung. Itu adalah

sikap formal yang sering diucapkan oleh pak Syarif Hasan dan pak SBY sendiri

di rapat-rapat internal. Nah tapi ada juga penjelasan-penjelasan lain yang saya

kira juga bisa memberikan penjelasan lebih mendalam. Begini, SBY itu kan

pada awalnya memang setuju dengan JKW dan ingin sekali koalisi dengan

PDIP.

Hendra: Bener itu mas?

Ulil: iyaa, SBY itu pengen banget jalan bareng dengan PDIP dan mendukung

pemerintahan JKW. Dan SBY itu sebenernya tidak suka dengan Prabowo.

Page 206: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

191

Hendra: Tapi dukungan Demokrat waktu pilpres kemarin kok ke Prabowo? Itu gimana

penjelasannya?

Ulil: Demokrat kan tidak pernah dukung Prabowo. Kamu ingat waktu Prabowo

mengumpulkan partai-partai koalisinya waktu di tugu proklamasi?

Demokratnya itu diajak ikut, tapi yang datangkan Nahrawi Ramli, ketua DPD

DKI. Bukan pak Syarif Hasannya. Karena memang sejak awal SBY sudah tidak

bersemangat untuk mendukung Prabowo. SBY tau kalau Prabowo itu

bermasalah. Kalau ditanya jujur, SBY itu memang tak suka dengan Prabowo.

SBY menghormati Prabowo. Saat Prabowo datang saja diterima. Tapi kalau

ditanya, SBY itu tak terlalu suka dengan Prabowo. Itu SBY secara pribadi loh

ya. Tapi teman-teman Pengurus Demokrat itu sebagian banyak yang

mendukung Prabowo, secara personal. Tapi karena SBY tak mau menunjukan

dukungan terhadap Prabowo secara formal, maka teman-teman juga tak mau

menunjukan itu secara keliatan banget. Nah jadi begitu duduk perkaranya. SBY

itu sebenernya sangat ingin bergandengan dengan JKW dan PDIP.

Hendra: Lalu kenapa itu gak terwujud?

Ulil: Tidak terwujud karena ada faktor Megawati. SBY sangat ingin untuk damai

dengan Megawati dan mengakhiri perseteruan implisit diantara kedua tokoh ini.

Lagipula SBY juga realistis. SBY punya watak yang realitis, begini, kalau

misalnya ada tokoh yang tak mungkin untuk dikalahkan. Maka ya sebaiknya

kau bergabung disitu. Kan menurut survey publik JKW yang paling unggul.

Karena memang selain masalah faktor pribadi SBY yang tak suka dengan

Prabowo. Dan melihat fakta survey JKW yang unggul. Kalau bermain politik

kan ya harus membaca peluang-peluang itu. Tapi pengurus Demokrat pada

umumnya tercermin dalam Rapimnas menjelang Pilpres di Hotel Sultan bahwa

mereka sangat ingin mendukung Prabowo. Alasannya bukan karena

Prabowonya, tapi PDIP umumnya melihat Demokrat dengan kacamata yang

mencibirkan, melecehkan atau kata-kata politiknya yang tidak bersahabat, sikap

megawati juga begitu dan mereka jengkel dan yasudah mereka dukung Prabowo

saja. Dan ketika Rapimnas itu disodori satu kertas yang berisi pilihan ―Apakah

Demokrat ;ebih baik mendukung Prabowo atau JKW atau netral‖? semuanya

tanpa kecuali memilih netral. Saya ikut dalam Rapimnas itu dan memilih netral.

Hendra: Apa itu murni pendapat para anggota Partai?

Ulil: Gini, murni atau tidak ....

Hendra: Apa itu ada pengaruh dari sikap SBY?

Ulil: Oh iya tentu, dalam sikap-sikap politik itu tentu ada pengaruh dari sikap aktor-

aktor yang juga ketua umumnya. Saya menduga, penjelasannya begini. Itu

semua yang datang di Rapimnas. Temen-temen itu jengkel dengan PDIP karena

sikap yang tak bersahabat tapi juga melihat sikap SBY yang jengkel kepada

Prabowo. Jadi kalau ditanya satu-satu ya mereka akan jawab netral. Tetapi saya

tahu bahwa pengurus Demokrat yang bekerja untuk Prabowo ya banyak sekali.

Yang paling gigih mendukung Prabowo itu ya salah satunya Pakde Karwo.

Page 207: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

192

Hendra: Pakde Karwo?

Ulil: Oh iyaa, pakde Karwo itu di Jatim menggerakan seluruh DPC untuk mendukung

Prabowo. Makanya kan, suara Prabowo dan Jokowi di Jatim itu beda sedikit

suaranya, JKW sedikit diatas. Ketat sekali suaranya, tapi saya tahu bahwa Pakde

Karwo itu kerja habis-habisan. Jadi itu penjelasan informalnya yang hanya

diketahui oleh orang dalam. Jadi ya begitu, SBY sebetulnya sangat tak suka

dengan Prabowo.

Hendra; Nah terus ada gak pembicaraan dibalik layar antara SBY dengan JKW atau

PDIP? Pembicaraan dalam upaya membangun komunikasi dan rekonsiliasi?

Ulil: oh itu berkali-kali. Terutama dengan pak Pramono Edhi. Pak Pramono itu kan

dekat dengan Mega.

Hendra: Tapi sama Mega didiamkan saja?

Ulil: ya diabaikan. Karena itu menimbulkan kejengkelan.dari temen-temen

Demokrat. Sebetulnya kalau sikap itu tidak ada, ya temen-temen Demokrat itu

suka dengan PDIP. JKW itu kan populer dan arus yang tak terbentung. Nah jadi

begitu sebenarnya. Cuma ya itu tadi PDIP mengabaikan tawaran kita.

Hendra: Oke berarti itu ada peran SBY yang besar ya?

Ulil; Oh iya tentu. Pasti itu peran SBY sangat besar. Kalau kamu ingin lihat temen-

temen Demokrat. Gini, kayak saya misalnya, saya juga tak suka dengan

Prabowo, tapi saja juga gak terlalu tertarik dengan JKW. Seperti teman saya,

Rahlan As Siddiq misalnya, dia golput. Kalau saya ya tetap memberikan pilihan

tapi personal. Tapi ya saya juga tak begitu tertarik dengan keduanya, karena kan

sejak awal saya memang mendukung Gita Wirjawan. Saya menganggap Gita

Wirjawan jauh lebih layak dari keduanya.

Hendra: Berarti Demokrat dipihak ketiga ya?

Ulil: Yaa, dan itu bukan sikap yang dibuat-buat tapi naluriah.

Hendra: Nah kalau begitu kan dalam relasi ekskeutif-legislatif dikenal konsep koalisi-

oposisi dalam proses perumusan UU. Nah itu penjelasannya gimana terkait

poisisi Demokrat?

Ulil: Nah saya itu sebelum dan setelah Pilpres itu sebetulnya saya sendiri agak

skeptis apakah pilihan ketiga ini menguntungkan atau tidak. Kalau tidak ke KIH

dan KMP ya gak dapet apa-apa. Saya khawatir nanti Demokrat dicibir kanan

kiri. Temen temen yang lain juga begitu pikirannya, waktu rapat di internal. Nah

ternyata menurut saya sikap itu adalah benar dan tepat.

Hendra: Maksudnya tepat itu seperti apa?

Page 208: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

193

Ulil: Ya tepat karena kan , pertama, Demokrat ternyata tidak kehilangan daya tawar

tapi tak kehilangan keuntungan politik saat pemilihan pimpinan DPR.

Hendra: Lah kan waktu itu Demokrat merapat ke KMP?

Ulil: Nah jadi gini, dari awal karena mereka sadar akan memilih jalan ketiga. Di

parlemen Demokrat akan mengkritik jika kebijakan pemerintah salah dan akan

mendukung jika pemerintah benar. Tapi politik internal DPR sendiri, Demokrat

harus mementingkan keuntungan politik bagi dirinya sendiri. Kalau

kepentingannya adalah untuk mendapatkan post pimpinan DPR dan bisa

dijamin kepentingannya bersama KMP ya, Demokrat ikut. Tapi tidak semua

kasus akan bersama KMP. Waktu pemilihan pimpinan DPR, Demokrat bersama

KMP kan dan itu mendapatkan jatah yang sangat baik, meskipun kita tidak

secara formal mendukung KMP sesungguhnya. Menurut yang saya dengar,

sebetulnya jatah Demokrat saat itu adalah wakil ketua DPR dan ketua MPR

kalau Demokrat mau mendukung secara sungguh-sungguh di KMP. Sebetulnya

menurut saya Demokrat ini diuntungkan karena perbedaan angka antara KMP

dan KIH hanya sedikit. Begitu Demokrat kabur dari KMP maka KMP juga akan

oleng dan tidak mendapat jatah apa-apa. Jadi Demokrat saat ini sangat

dibutuhkan dikedua sisi. Karena margin diantara keduanya sangat tipis, dan

kalau ada satu yang membelot maka koalisi itu akan kalah. Dan Demokrat

dengan cerdik menggunakan kesempatan ini pada saat rapat pemilihan pimpinan

DPR kita bersama KMP. Komisi kita juga dapet lumayan. Dan waktu pemilihan

kapolri, Demokrat tidak setuju dengan KMP. Waktu pembahasan di Komisi III

Demokrat sudah menolak. Meskipun sikap secara keseluruhan fraksi saat itu

menerima Budi Gunawan. Secara otomatis ya Demokrat kalah. Tapi sikap kita

ya seperi itu.

Hendra: Kembali ke awal, pada saat pimpinan DPR dikuasai KMP banyak analis yang

khawatir soal relasi eksekutif-legislatif. dan banyak yang pesimis soal itu.

Ketika dalam posisi divided, kesulitan dalam proses pengambilan kebijakan

adalah kenisyaan. Dalam revisi UU no 22 tahun 2009 menjadi UU no 17 Tahun

2014 misalnya, itu kan terjadi perdebatan keras antara KMP dan KIH. Tetapi

makin kesini dan kesini, relasi antara eksekutif dan legislatif atau KMP dan KIH

bisa berjalan dengan kesepakatan. Revisi UU No 1 Tahun 2015 misalnya. Atau

pembahasan APBN-P 2015 misalnya. Antara KMP dan KIH bisa sama sama

saling menunjukan ksepakatan. Kira-kira sejauh mana lobby-lobby yang

dilakukan?

Ulil: Saya kira begini, kenapa pada akhirnya, orang-orang banyak yang khawatir soal

ketegangan antara eksekutif dan legislatif seperti yang terjadi sejak awal, kenapa

saat ini persaingan itu tidak begitu nyata di DPR. Menurut saya KMP sendiri,

masalah JKW itu bukan berada di lawan koalisinya tetapi masalahnya ada di

internal PDIP sendiri. Pendapat teman-teman KMP sendiri sebetulnya punya

pikiran bahwa tanpa kami ganggu pun, JKW juga sudah goncang dan

bermasalah. Bahkan saat ini, meskipun divided government, KMP juga tak

menganggu usulan JKW kan? Dalam usulan Kapolri misalnya. KMP kan

mendukung itu. Jadi sebetulnya KMP tidak ingin mengganggu pemerintahan

JKW karena ya pemerintah JKW sudah memiliki masalah di internal. Yang

kedua menurut saya adalah, ya pada akhirnya politisi akan bertindak rasional.

Karena belum ada kebijakan JKW yang melakukan pelanggaran secara luar

Page 209: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

194

biasa, beda dengan hal GusDur dahulu yang mana ada keingingan dari istana

untuk membubarkan DPR, itu kan ancaman. Dan kalau sekarang juga tidak.

DPR kan pada umumnya memandang JKW sebagai orang yang gampang diajak

jalan dan kompromi, Setya Novanto juga datang ke istana. Nah salah satu

faktornya saya kira juga ketua DPR kita stylenya sangat kompromi dan tidak

keras kepala seperti Fahri Hamzah atau Fadli Zon. Karena kalau ketua DPR nya

diantara dua orang itu mungkin hasilnya akan lain. Karena gaya personal yang

menduduki posisi puncak dalam sebuah lembaga itu menentukan hasil juga.

JKW juga orangnya kompromistis, diundang ke DPR dateng. Tapi menurut saya

kalau pembicarannya sudah sampai seperti ini, Ndra. Penjelasan utamanya

bukan berada pada level kelembagaan, tapi juga pada kultur politik. Kultur

politik di Indonesia kan umumnya kompromistis.

Hendra: Tapi kan dalam teori-teori umum, ketika terjadi divided government seringkali

berpotensi deadlock. Tapi dalam divided government di Indonesia hal tersebut

tidak terjadi?

Ulil: gak terjadi. Saya kira contoh perbandingan yang bagus adalah Ahok dengan

DPRD DKI Jakarta. Karena kan sebenarnya dukungan parlemen terhadap Ahok

kan tidak banyak. Tapi kenapa ada deadlock? Setelah Orde Baru belum pernah

ada APBN ditolak oleh DPR. Baru sekarang ini ada kasus DPRD menolak

APBD yang diajukan pemda. Ini menurut saya aneh. Menurut saya APBD kalau

tidak macem macem pasti diterima. Karena apa? Ini menurut saya berkaitan

dengan aktor yang bertindak. Ahok menurut saya memiliki sikap yang keras

dan kurang kompromi dan sikap DPRD yang juga mengimbangu sikap Ahok.

Hendra: Jadi lebih pada pengaruh personalitynya ya?

Ulil: Iya betul. Menurut saya kalau begini ya bukan faktor kelembagaan saya rasa

tetapi ya faktor personality atau aktor politik yang berhasil menyiasati

framework kelembagaan yang ada.

Hendra: Lalu, masalah lobby. Mas dapet info tidak sih terkait model lobby-lobby dalam

relasi eksekutif-legislatif? kalau dalam pandangan Hamdi Muluk kan kompromi

dan lobby-lobby dipandang secara kacamata negatif dan kental dengan nuansa

transaksi gelap. Menurut Mas?

Ulil: Gini, kalau soal APBN-P tidak ada persoalan yang cukup serius. Dan tak ada isu

yang cukup serius dalam APBN-P. Lobby pasti ada dalam APBN-P. Entah itu

lobby dalam artian positif atau lobby dalam artian negatif. Nah lobby dalam

artian negatif itu ya pasti ada juga. Seperti yang terjadi di Banggar, itu kan pasti

ada kepentingan. Tetapi lobby pasti ada.

Hendra: dan dibalik lobby-lobby itu ada gak semacam transaksi yang dalam artian

negatif?

Ulil: Ya memang, lobby-lobby itu pasti ada. Ya sama Pak Ical kan juga melakukan

lobby-lobby kepada JKW. Dia datang juga kan ke istana. Cuma lobby yang

terjadi sekarang ini sebetulnya lobby yang tidak diharuskan karena ada masalah

besar yang harus diselesaikan bersama. Pak Ical juga dateng ke JKW untuk

masalah pribadi dia. Menurut saya lobby-lobby yang terjadi saat ini tidak ada

Page 210: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

195

kaitanya mengenai isu substantif antara eksekutif dan legislatif dalam usulan

kebijakan supaya tidak ada deadlock. Kalau misalnya lobby yang dilakukan

terkait masalah eksekutif-legislatif dalam hal isu substantif agar kebijakan

eksekutif tidak diganjal oleh DPR ya menurut saya itu lobby positif. Itu lobby

postif agar kedua belah pihak tidak saling mengganjal. Itu menurut saya penting

yang membuat sistem presidensialisme kita bisa berjalan. Tapi kan yang terjadi

saat ini bukan begitu.

Hendra: Dengan lobby ya?

Ulil: Iya menurut saya, selain lobby juga memang kultur politik kita cukup toleran.

Meskipun berseteru saat pilpres tapi ya setelah pilpres the end ya enak enak aja.

Hendra: Mungkin beda hal kalau ideologi partai di Indonesia kuat ya. Hehehe

Ulil: Nah disini yang menurut saya, saya tidak sepakat dengan beberapa

Indonesianist seperti Hefner, Aspinall. Kan mereka punya asumsi bahwa

demokrasi akan berjalan sehat dan membawa maslahat bagi publik kalau tidak

terjadi politik kartel. Kalau terjadi politik kartel maka tidak ada mekanisme

penghukuman bagi partai yang salah karena semua orang dijanjikan akan dapet

jatah dan semua senang. Nah sistem yang semacam itu tidak ada reward and

punishment dan tak ada periode untuk mengkoreksi diri. Mungkin sebagian

besar benar teori itu tapi tidak seluruhnya tepat juga. Karena kalau , andaian

teroi politik kartel adalah bahwa kekuasaan itu jangan dibagi secara merata

untuk menyenangkan semua pihak. Ketika kekuasaan didapat oleh satu

kelompok maka kekuasaan itu berhak dilakukan sepenuhnya dengan

mengeluarkan dan mengeliminasi kelompok yang kalah, kalau mereka di

eliminasi dari pemerintahan maka akan menjadi oposisi. Kalau menjadi oposisi

maka akan mengkontro. Dan kontrol itu akan mendukung check and balances

dan memuaskan publik, itu asumsinya. Menurut saya ini sangat barat banget.

Dan teori kartel ini datang dari kultur politik yang ditenggarai oleh kompetisi

yang keras. Kalau menang ya the winner takes all. Karena memang teori kartel

ini kan datangnya dari eropa. Itu kan sebetulnya bias sistem parlementer. Kalau

menang ya the winen takes all. Kalau kalah ya jadi oposisi. Tapi kan sistem

presidensial kita tidak begitu. Di Indonesia karena partainya banyak tapi

presidensial. Kalau menang ya belum tentu menang dengan margin yang tinggi

sehingga membutuhkan dukungan partai yang kalah. Kalau dalam konteks

begini kan presidensialisme multipartai memerlukan dukungan dan reward

terhadap partai yang kalah.

Hendra; Itu kan kritiknya Hanta Yuda juga. (KRITIK KARTEL)

Ulil: Oh begitu ya?

Hendra: Iya menurutnya presidensialisme setengah hati.

Ulil: eh tapi saya tidak mengkritik itu. Menurut saya itu wajar. Buat saya ini adalah

konsekuensi aja bahwa kita ini menganut presidensialisme multipartai.

Hendra: Dan itu seringkali memangkas kewenangan presiden?

Page 211: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

196

Ulil: Maksud saya begini, kalau Dodi dkk, menurut mereka memandang bahwa

periode SBY ada contoh periode politik kartel di Indoensia. Partai Demokrat

hanya menang 7% dan itu sedikit karena sistem kita multipartai. Ketika disebut

kartel konotasinya negatif. Lalu anda mau gimana? Wong partai kita suaranya

sedikit. Dan itu tak mungkin anda tak mengajak partai lain untuk bergabung

dalam pemerintahan. Nah kalau ngajak partai lain kan otomatis harus dibagi

kekuasaannya. Memang SBY menang secara pribadi 60% tapi partainya di

parlemen hanya 7%. Ya mau gimana? Dukungan dari parlemen kan tetap

penting juga.

Hendra: Jadi menurut Mas, bagi-bagi kekuasaan adalah hal wajar?

Ulil: Wajar karena sistem presidensialisme kita ya multipartai. Selalu ada

kemungkinan partai kecil yang memiliki tokoh populer untuk menang. Ketika

partai kecil itu menang maka butuh koalisi untuk mendapatkan dukungan di

parlemen. Nah ketika koalisi maka kan otomatis kekuasan itu akan dibagi.

Cuma seringkali ilmuan-ilmuan memandang konotasi kartel dengan sudut

negatif. Buat saya ini gak negatif. Karena kalau tidak mengajak koalisi, ini

berimplikasi pada relasi eksekutif-legislatif yang mana eksekutif hanya

mendapatkan dukungan sedikit di legislatif dan itu berdampak pada berjalan

atau tidaknya sistem presidensial. Karena memang logika yang dipakai dalam

tesis kartel dengan tesis presidensial itu berbeda. Dan keduanya membawa

asumsi politik dan implikasi yang berbeda. Dan teori ini tidak bisa jalan

bersama. Saya juga pada dasarnya kurang terlalu suka dengan analisis yang

dibawa oleh Dodi. Kelemahan tesis Dodi adalah dia tak memperhitungkan hal

yang given mengapa ada tesis kartel di Indonesia yang menjadi titik kritik? ya

karena sistem nya adalah presidensialisme multipartai.

Hendra: Oke deh terakhir. Menurut Mas, apakah sistem presidensialisme-multipartai di

Indonesia efektif atau complicated?

Ulil: Menurut saya, sistem ini memang cenderung comlicated tapi ini adalah jalan

tengah yang bisa memuaskan banyak pihak. Karena kalau kita memakai sistem

distrik ya waduh itu potensi destabilisasinya lebih besar.

Hendra: Oke deh saya kira cukup.

Page 212: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

197

Lampiran X

Transkip Wawancara

Narasumber : Viva Yoga Mauladi

Status : Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat

Nasional (PAN)

Hari/Tanggal : Kamis, 10 Mei 2015

Tempat : Melalui Email ([email protected])

Hendra: Terimakasih atas kesediannya. Sebelumnya saya minta maaf karena saya

mendapatkan kontak Bapak dari Mbak Imelda (DPP PAN). Berikut adalah

pertanyaan yang ingin saya ajukan. Apa yang menyebabkan PAN masih tetap

kokoh di Koalisi Merah Putih dan bertindak sebagai oposisi pemerintah?

Viva Yoga: Istilah oposisi dalam ketatanegaraan kita tidak ada karena Indonesia menganut

sistem pemerintahan presidensial, bukan sistem parlemen. Di samping itu,

pembagian kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif tidak menganut Faham

Trias Politica murni, karena fungsi legislasi dan budgeting ada di DPR dan

Pemerintah. Istilah yang tepat adalah berada di luar pemerintahan. PAN sesuai

dengan platformnya menyatakan, "Berada di dalam pemerintahan atau di luar

pemerintahan adalah sama-sama mulianya, untuk kemajuan bangsa dan negara".

Hendra: Keputusan PAN untuk menjadi bagian dari KMP bagian dari keputusan

collective collegial atau keputusan dari salah satu petinggi PAN?

Viva Yoga: Keputusan kolektif kolegial yang ditetapkan di rapat DPP PAN.

Hendra: Menurut pendapat pribadi anda, apa tanggapan anda tentang polarisasi DPR

yang terjadi pasca pemilu 2014? Terutama mengenai rivalitas antara KMP dan

KIH dalam beberapa sidang paripurna seperti revisi UU MD3, revisi Tatib DPR,

Pemilihan Pimpinan DPR/MPR dll? Apakah itu sebagai sesuatu yang wajar

dalam kombinasi sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia?

Viva Yoga: Awalnya, itu dampak dari pengelompokan parpol di Pilpres. Ada KMP dan

KIH, sedang posisi PD berada di luar kelompok itu, meski dari sisi personal

SBY lebih dekat ke KMP. Saat ini, yang saya rasakan di DPR, konflik KMP -

KIH sudah turun tensinya. Sebab para setiap anggota DPR harus menjalankan 3

fungsi komstitusionalnya di komisi, yaitu legislasi, budgetting, dan pengawan.

Bahkan seringkali anggota DPR yang parpolnya di pemerintahan bersuara keras

mengkritik kebijakan pemerintah. itu menandakan bahwa hubungan di parlemen

relatif cair. Di samping itu, konfigurasi politik daerah berbeda dengan

konfigurasi politik nasional. Di daerah mozaik politiknya beragam. Ada dari

KMP hang menguasai eksekutifnya, sedang KIH di kuar eksekutif. Juga

sebaliknya.

Page 213: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

198

Hendra: Apa tanggapan anda tentang proses perumusan APBN-P 2015? Meskipun

sebelumnya, KMP-KIH mengalami rivalitas yang cukup kuat, namun dalam

pembahasan APBN-P 2015 keduanya bisa saling duduk bersama untuk

menyepakati? Apa yang faktor yang menyebabkan KMP dan KIH bisa saling

menyepakati APBN-P 2015? Sejauh apa lobby-lobby berhasil di lakukan?

Viva Yoga: Itu sebagai tanda bahwa ketika menjalankan fungsi budgetting, tidak lagi

berporos pada kepentingan KMP vs KIH, namun berorientasi pada national

interest. APBN harus ditetapkan dalam UU. Setelah ditetapkan dalam UU,

maka pemerintah harus menjalankan UU APBNP, dan DPR melakukan fungsi

pengawasan, baik di KMP atau di KIH. Secara personal, hubungan anggota

DPR dari KMP dan KIH relatif cair. Perbedaan di DPR sekarang tergantung

topik yang tematik. Misalnya soal BBM, subsidi nelayan dan petani, dan

sejumlah kebijakan kementrian masing-masing.

Hendra: Baik pak. Terimakasih, saya kira cukup. Terimakasih atas responnya.

Page 214: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral

199

Lampiran XI

Transkip Wawancara

Narasumber : Adian Napitupulu

Status : Anggota Komisi III DPR-RI periode 2014-2019 / Fraksi PDI-Perjuangan

Hari/Tanggal : Senin 18 Mei 2015

Tempat : Melalui Blackberry Messenger (BBM)

Hendra: Bang besok ada waktu kosong gak? Mau nanya 1-2 pertanyaan bang buat data

skripsi. Apa bisa?

Adian: kalo via BBM aja bagaimana?

Hendra: Okeh deh. Lewat BBM aja tidak apa-apa. Sekarang bisa?

Adian: Besok aja bagaimana?

Hendra: Oke deh siap, besok pagi ya bang.

Adian: Iyeeee

Hendra: Bang. Soal semalem, bisa saya tanya sekarang gak?

Adian: Apa?

Hendra: Menurut Bang Adian, seberap penting kompromi dalam relasi ekskeutif-

legislatif pemerintahan JKW-JK? Mengingat secara matematis, kursi KMP

sedikit lebih banyak dari KIH, sebelum ada konflik internal Golkar?

Adian: Yaa. Penting, karena politik itu kan negosiasi.

Hendra: Termasuk bisa bernegosiasi antara KIH dengan KMP?

Adian: Yap. Simpelnya kan begini, Perang itu adalah politik dengan darah, sedangkan

politik itu perang tanpa berdarah.

Hendra: Oke, berarti ada kompromi ya. Tapi bukankah kompromi itu beda dengan

negosiasi bang?

Adian: Apa bedanya? Menurut saya sama. Negosiasi itu prosesnya sedangkan komprmi

itu adalah hasilnya.

Hendra; Oh oke deh bang. Saya kira cukup, saya sudah menangkap. Maaf mengganggu

waktunya.

Page 215: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 216: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 217: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral
Page 218: ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28225/1/HENDRA... · Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hendra Sunandar ... Zamiral