Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jakarta, Januari 2018
Pernyataan
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
KONSERVASI YANG BERKEADILAN GENDER
Gender Impact Assessment Report terhadap RUU
Konservasi
Gender Impact Assessment Report Terhadap
RUU Konservasi
Tim Penulis:
Nia Ramdhaniaty (Koordinator)
Malik
Adi T. Bahri
Reviewers
Siti Maemunah
Widodo
Foto sampul: Diskusi kelompok terarah tentang kemitraan konservasi di Taman Nasional Meru
Betiri, Jawa Timur (Syafrizaldi Jpang for LATIN)
DAFTAR ISI


















BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Tujuan
BIJAK mendukung penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang revisi Undang-undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (UU
Konservasi No. 5/1990). Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah dengan melakukan
penilaian dampak gender atas RUU tersebut. Penilaian akan melihat isi RUU dan menganalisis
bagaimana isinya akan mempengarahi relasi perempuan dan laki-laki, serta kelompok-kelompok
marginal kelak setelah diberlakukan. Penilaian seperti ini berangkat dari premis bahwa kebijakan
atau undang-undang memiliki dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan di lapangan
meskipun banyak yang berpendapat bahwa kebijakan seperti konservasi keanekaragaman hayati
dan ekosistem sebagai instrumen pengelolaan sumber daya alam yang netral gender dan bebas
nilai.
Belajar dari banyak kasus, hampir tidak ada hal yang netral gender, yang akan menguntungkan
semua anggota masyarakat secara merata, mengingat tertanamnya ketidaksetaraan gender secara
struktural dalam masyarakat kita. Sekalipun undang-undang memperlakukan perempuan dan laki-
laki secara setara, misalnya, perempuan masih tidak memiliki akses dan kontrol yang sama atas
sumber daya dan aset material dan non-material. Karena itu, menangani orang yang didera
ketidaksetaraan dengan cara yang sama, dalam praktiknya, hanya akan melanggengkan
ketidaksetaraan ini. Ini terjadi ketika ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan dan laki-
laki secara ekonomi, politik dan sosial tidak dipertimbangkan. Kebijakan yang kelompok
sasarannya didefinisikan secara luas, tidak membedakan, antara perempuan dan laki-laki, biasanya
tidak netral, tetapi buta gender.
Sebelum RUU tersebut menjadi undang-undang yang seolah-olah atau dianggap netral gender dan
terus melanggengkan ketidaksetaraan gender, BIJAK ingin melakukan penilaian dampak gender
atas RUU revisi UU Konservasi No. 5/1990. Penilaian ini adalah analisis ex-ante dengan
menemukenali kemungkinan-kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan oleh rumusan-rumusan
provisi dalam RUU terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. BIJAK menganggap
analisis seperti ini penting untuk memastikan kebijakan yang sedang dibahas menjunjung tinggi
prinsip-prinsip inklusif, berbasis bukti, dapat diterapkan, dan berdampak. Oleh karena itu, BIJAK
memfasilitasi dilakukannya penilaian dampak RUU Konservasi terhadap kesetaraan gender.
Pertanyaan utama dari penilaian dampak gender ini adalah apakah RUU revisi UU Konservasi
No. 5/1990 ini mengurangi, mempertahankan, atau meningkatkan ketidaksetaraan gender antara
perempuan dan laki-laki. Meneliti pertanyaan ini akan membantu pembuat kebijakan, pelaksana
kebijakan, dan masyarakat umum untuk menganalisis dan memperkirakan dampak gender dari
kebijakan yang sedang dipertimbangkan, sehingga dapat memperbaikinya sejak awal, ketika
sedang dipertimbangkan.
Walaupun mungkin tidak disengaja, kebijakan seringkali memiliki dampak yang berbeda antara
perempuan dan laki-laki, dan bahkan dapat memperkuat ketidaksetaraan gender baik secara
sosial, budaya atau ekonomi. Jika dampak gender yang berbeda tidak diperhitungkan pada tahap
desain atau pembahasannya, kebijakan yang akan dihasilkan dapat diperkirakan akan mengalami
buta gender. Untuk menghindari hal ini, penting untuk mengingatkan para pengambil kebijakan,
dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, agar mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan
yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, serta adanya ketidaksetaraan gender dalam hal
akses dan kontrol sumber daya. Dengan mempertimbangkan dampak yang berbeda terhadap
perempuand an laki-laki dapat disiapkan perangkat antisipasi yang berbeda pada perempuan dan
laki-laki sehingga peraturan yang dibahas mendukung kesetaraan gender.
Dalam konteks ini, penilaian dampak gender adalah langkah pertama untuk menghindari dampak
yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi
terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan kebijakan yang sedang dipertimbangkan, dan
dampak yang diproyeksikan pada perempuan dan laki-laki kelak ketika kebijakan telah
dilaksanakan. Penting untuk ditegaskan bahwa penilaian ini dilakukan terstruktur, yaitu sistematis,
analitis dan terdokumentasi sebagaimana diuraikan di bagian-bagian berikut.
Tujuan utama dari penilaian dampak gender ini untuk mencermati naskah undang-undang yang
ada untuk memastikan bahwa setiap potensi efek diskriminatif di dalamnya dihilangkan atau
dikurangi. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur yang terlewatkan selama
perancangan dan pembahasan. Membuat undang-undang yang lebih baik menyaratkan
dilakukannya identifikasi kesenjangan gender dan pemahaman tentang ketidaksetaraan gender di
lapangan, sehingga prioritas dapat ditentukan dan kelompok sasaran dapat diidentifikasi. Dengan
kata lain, selain menghindari efek negatif, penilaian dampak gender adalah alat transformatif
untuk merumuskan tujuan kesetaraan gender dalam konservasi dan merumuskan kebijakan yang
tepat yang secara proaktif akan mempromosikan kesetaraan gender.
Singkatnya, penilaian dampak gender ini terdiri dari dua tugas. Pertama, proses membandingkan
dan menilai, sesuai dengan kriteria gender yang relevan, situasi saat ini dan tren perkembangan
yang diharapkan dihasilkan dari pengenalan undang-undang yang diusulkan. Kedua, prakiraan efek
yang berbeda (positif, negatif atau netral) dari setiap ketentuan atau tindakan regulasi yang akan
diterapkan pada hal tertentu dalam hal kesetaraan gender. Hasilnya akan digunakan sebagai
proposal atau poin advokasi untuk perbaikan RUU untuk mencegah dampak negatif pada
kesetaraan gender dan untuk memperkuat kesetaraan gender. Karena penilaian akan dilakukan
pada draf akhir undang-undang, temuan-temuan penilaian ini akan tersedia pada saat musyawarah
dimulai, sehingga draf tersebut dapat disempurnakan dalam proses musyawarah karena akan
melalui setiap masalah dalam daftar (daftar isian masalah atau DIM), sehingga pembuat kebijakan
dapat mengubah, memperbaiki, atau bahkan meninggalkan ketentuan apa pun jika perlu.
1.2. Isi Laporan
Bagian berikut laporan ini berisi paparan hasil gender impact assessment atas naskah RUU
Konservasi, dan di bagian kedua berisi pandangan peninjau atas hasil gender impact assessment.
Idealnya, para penulis mengintegrasikan hasil tinjauan para pembaca kritis atas draft mereka,
sehingga menjadi laporan final dan siap dijadikan bahan advokasi. Namun dikarenakan pada saat
proses ini sedang berlangsung, Pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan legislasi ini
sehingga tidak ada lagi alasan perlu untuk melanjutkan pekerjaan ini. Setidaknya laporan ini
membuktikan bahwa Analisa dampak gender sebuah rancnagan peraturan seperti rancangan
undang-undang dapat dilakukan secara efektif.
BAB 2. MENUJU RANCANGAN UNDANG-UNDANG KONSERVASI
YANG ADIL GENDER; ANALISIS TEKS DAN KONTEKS
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya merupakan kebijakan payung negara Repubik Indonesia dalam upaya menjaga dan
menyelamatkan beragam bentuk keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya; tanah, air, udara,
tingkat kelembaban, dan lain sebagainya. Namun, konservasi bagi masyarakat di dalam dan sekitar
hutan juga memiliki makna lain dalam konteks relasi pada kehidupan manusia. Menjaga dan
mempertahankan keanekaragaman hayati adalah upaya menjaga keberlangsungan hidup manusia,
termasuk perempuan, anak dan kelompok marginal lain, karena konservasi juga bermakna
melestarikan benih lokal, tanaman lokal, tanaman obat, sumber pangan, dan lain-lain.
Upaya konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Masyarakat yang memiliki
interaksi langsung dengan hutan, terutama kelompok perempuan dan kelompok marginal lain
memiliki peran yang sangat besar dalam upaya konservasi sejak lama dan tersebar di 3.300 desa
di dalam dan sekitar kawasan hutan (KLHK, 2016). Sebagai pelaku konservasi yang
sesungguhnya sudah selayaknya masyarakat mendapatkan pengakuan berpartisipasi penuh dalam
upaya konservasi, terutama upaya konservasi yang dilakukan oleh kelompok perempuan dan
kelompok marginal lain. Terlebih Indonesia telah berkomitmen penuh dalam menghapus segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini tertuang di dalam UU Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang
secara operasional diturunkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam konteks Kehutanan dan
Lingkungan, Menteri Kehutanan baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor
P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
Bidang Kehutanan dan Lingkungan. Sudah saatnya segala peraturan perundang-undangan di
Indonesia dapat berjalan harmonis yang memiliki perspektif dan berkeadilan gender, termasuk
RUU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem (RUU Konservasi).
Tulisan ini sebagai masukan atas RUU Konservasi yang sedang dalam tahap pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilihat dari perspektif gender atau gender impact assessment. Gender Impact Assessment diperkenalkan oleh European Commission (EC) sebagai
salah satu metode yang digunakan untuk memastikan terjadinya gender mainstreaming. Oleh
karenanya, Gender Impact Assessment (GIA) ini biasanya dilakukan sebagai tahap awal dalam
setiap pembuatan kebijakan untuk mengukur hasil yang diprediksi beserta implikasi yang akan
timbul (2016: 6-7). EC menyebutkan bahwa Gender impact assessment is the process of comparing and assessing, according to gender relevant criteria, the current situation and trend with the expected development resulting from the introduction of the proposed policy (EIGE, 2016:8).
Adapun referensi utama yang digunakan untuk analisis adalah naskah RUU Konservasi yang
disusun oleh Komisi IV (versi 5 Juli 2017) dan melihat pula naskah RUU Konservasi versi bahan
Panja (versi 12 Juni 2017) sebagai bahan komparasi. Adapun tahapan yang dilakukan oleh tim
kerja, yaitu: 1) menemukan tujuan; 2) mengecek relevansi gender dalam setiap pasal; 3)
melakukan analisis sensitive gender; 4) mempertimbangkan gender impact; 5) merumuskan
temuan dan rekomendasi.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan lembaga legislatif dalam melakukan
afirmasi keadilan gender pada RUU Konservasi yang sedang disusun dan dibahas.
2.1. Paradigma Konservasi yang Berkeadilan Gender
Kebijakan konservasi keanekaragaman hayati (Kehati) di Indonesia telah mempunyai sejarah
panjang, sebelum kemerdekaan. Peraturan-perundangan tersebut mencakup undang-undang
suaka alam, undang-undang perlindungan binatang liar dan undang-undang perburuan. Peraturan-
perundangan mengenai suaka alam diatur pada Undang-undang (UU) 1941, Ordonansi
Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167),
selanjutnya UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan UU No. 5/1990. Peraturan perlindungan
binatang liar diatur dalam UU 1909 dan disusul dengan tambahan (addendum) pada tahun 1911,
1919, dan 1924 dan diganti dengan UU 1932 selanjutnya pada UU No.5/1990. Pada UU
perburuan diatur pada UU Perburuan 1924. UU tersebut direvisi pada tahun 1931, 1933, 1934
dan terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Kelahiran UU
No.5/1990 berada pada rejim sentralistik, di mana pengelolaan wilayah (dan seisinya) konservasi
berada pada ranah pemerintah pusat.
Pembangunan dan setting up penyusunan UU No.5/1990 mempunyai tiga (3) aspek yang peting
untuk dicermati. Pertama.Corak pengelolaan yang lebih pada sistem pemerintahan sentralistik,
tidak memberikan ruang kelola kepada institusi yang berada pada pemerintah daerah. Pada
Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati (RUU KKH, Draf RUU KKH 5
Juli 2017) baik di dalam pasal-pasal perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan telah melibatkan
cukup penuh dan lebih luas terhadap Pemerintah Daerah, dibandingkan pada UU No.5/1990. Hal
ini berbeda dengan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Draf RUU KSDAHE 12 Juni 2017, menunjukkan bahwa pelibatan Pemerintah
Daerah masih terbatas pada penyusunan rencana konservasi dan membantu pemerintah pusat
dalam upaya konservasi.
Kedua, bersifat hegemoni, corak pengelolaan kawasan konservasi belum mengedepankan
partisipasi setiap pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal, termasuk kelompok
perempuan, kelompok anak muda dan kelompok rentan lainnya. Pada ranah ini, definisi
masyarakat dalam draft RUU KSDAHE tidak ada penejasannya, namun dalam BAB I Ketentuan
Umum disebutkan definisi terkait dengan Masyarakat Hukum Adat (ayat 18) dan definisi setiap
orang (ayat 19). Oleh nya perlu penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan masyarakat
tersebut.
Di sisi lain Draf RUU KSDAHE 12 Juni 2017 menyebutkan bahwa, sumber kekayaan alam
tersurat masih dalam dominasi penguasaan pemerintah pusat dan/atau negara, dimana
masyarakat adat/lokal memperoleh ruang dalam pengelolaan ataupun akses. Dan wilayah
masyarakat selanjutnya dalam RUU ini adalah pada ruang partisipasi.1 Hal ini berbeda dengan
Draf RUU KKH 5 Juli 2017. Pada draf ini, masyarakat memperoleh ruang lebih besar, dan
mempunyai sifat negara mengakui upaya-upaya mayarakat dalam aktivitas konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistem melalui Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).
Tetapi, hal inipun menjadi dillema tersendiri. Berkaca kepada penggunaan terminologi “kawasan
hutan” pada sektor kehutanan, areal berhutan kepemilikan masyarakat pada praktik dan
gilirannya negara memberikan klaim areal tersebut sebagai hutan negara. Sehingga wilayah AKKM
yang diusulkan di dalam draft RUU ini harus dipertegas di dalamnya.
Ketiga, corak pengelolaan masih mencakup perlindungan dan pengawetan sumber kekayaan alam,
belum menyentuh bahkan melarang adanya pemanfaatan akan sumber kekayaan alam
(sebagaimana pada poin ‘menimbang’ pada Rancangan Undang-Undang/RUU Konservasi
Keanekaragaman Hayati, versi Draf RUU KKH 5 Juli 2017). Padahal praktik konservasi yang
1 Lebih detil pada BAB III Hubungan Negara, Masyarakat Hukum Adat, Serta Orang dengan Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Draf RUU KSDAHE 12 Juni 2017.
paling berhasil ditunjukkan oleh beberapa masyarakat lokal/adat terhadap sumber kekayaan
alamnya. Bahkan dibeberapa kasus ditunjukkan para perempuan mempunyai andil yang sangat
besar dalam regenerasi beberapa jenis tumbuhan dan konservasi sumberdaya hayati.
Wacana konservasi dalam sejarah kehutanan di Indonesia hanya memberi ruang diskriminasi dan
ekslusi terhadap masyarakat lokal/adat. Wacana pengelolaan sumber kekayaan alam dan
konservasi di Indonesia dimulai pada era kolonial Hindia-Belanda, melalui skala besar untuk
memenuhi kebutuhan pasar (Damayanti 2008). Praktik pengelolaan demikian berlanjut ketika
Indonesia merdeka hingga saat ini. Perijinan konsesi-konsesi, baik di sektor kehutanan melalui Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH); di pertambangan melalui Ijin Usaha Pertambangan
(IUP); di perkebunan dengan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi instrumen penting dalam
pengelolaan alam di Indonesia. Tentunya, pihak-pihak yang mampu ‘mengakses’ (legal) ijin
tersebut adalah pemilik modal yang cukup besar-kuat untuk memperoleh hak kelola yang bahkan
seolah menjadi hak milik. Akibatnya praktik-praktik pengelolaan alam dan upaya perlindungan
keanekaragaman hayati (kehati) yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan/atau adat tidak (begitu)
‘diperhatikan’ dan diberi ruang yang sama oleh pemerintah/negara.
Wajah pengelolaan konservasi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan wajah pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia. Diskursus konservasi adalah memberikan perlindungan dan
melakukan pengawetan sumberdaya alam yang dilaksanakan oleh Negara/Pemerintah. Sedangkan
kerangka eksploitasi terhadap kekayaan alam terus berjalan dengan masif. Ranah konservasi
‘dipisahkkan’ dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam. Akibatnya terdapat kehancuran
terhadap sumberdaya alam. Jika dilihat dari sumber kekayaan alam-hutan, diketahui bahwa
kawasan hutan dan perairan konservasi-lindung mempunyai luasan total mencapai 126an juta ha.
Luas kawasan konservasi hanya mencakup 21.76% atau 27.429.555,99 ha (KLHK 2016).
Selanjutnya, kondisi kawasan hutan konservasi saat ini hanya 17.531.700 ha yang mempunyai
tutupan huta dengan baik (KLHK 2016).
Tabel 2 Luas kawasan hutan dan perairan serta kondisi tutupan hutan
Jenis Kawasan Hutan Luasan
(ha)
Kondisi Tutupan Hutan
(ha)
Kawasan konservasi 27.429.555,99 17.531.700
Hutan lindung (HL) 29.673.382,37 24.042.800
Hutan produksi terbatas (HPT) 26.798.382,01 21.808.800
Hutan produksi tetap (HP) 29.250.783,10 18.448.600
Hutan produksi dapat di konversi (HPK) 12.942.295,24 6.687.500
Luas darat 120.773.441,71
Luas darat dan perairan 126.094.366,71
Sumber: (KLHK 2016)
Diskursus yang dominan berkembang hingga saat ini adalah penyelenggaraan konservasi yang
hanya terfokus pada kawasan hutan. Penyelenggaraan konservasi di luar kawasan hutan seolah
tidak memiliki mandat konservasi, jikapun ada masih mempunyai prasarat yang normatif dan
bersifat pelengkap. Kekayaan ruang, baik plasma nutfah lokal yang dikelola oleh masyarakat
lokal/adat, terutama kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya, belum diakomodir oleh
peraturan-perundangan yang ada. Penyelenggaraan konservasi juga menyangkut ruang dan
sumberdaya lanskap masyarakat lokal/adat. Jika sumber kekayaan alam yang telah diusahakan
lama oleh masyarakat bisa diakomodir sebagai penyelenggaraan konservasi, maka telah juga
memberikan jaminan kelompok paling rentan, perempuan, dalam menjaga keanekaragaman
hayati.
Masyarakat lokal dan/atau adat memanfaatkan sumber kekayaan alam sesuai dengan kebutuhan.
Pemanfaatan sumber kekayaan alam tersebut kecenderungan untuk kebutuhan lokal rumah
tangga ataupun komunitas. Praktik ini memungkinkan pemanfaatan sesuai dengan keadaan
alamiah sumber alam yang ada ataupun jika berlebihan terdapat mekanisme institusi lokal dalam
perbaikan. Hal ini terjadi karena terdapat makna, alam lingkungan bukan sebagai lapangan
komoditas untuk pasar, tetapi alam sebagai ruang tempat hidup. Sehingga jika masyarakat
lokal/adat melakukan pemanfaatan dan ekstraksi secara berlebih, maka ruang dan lingkungan
hidupnya akan rusak, berujung pada rusaknya kehidupan masyarakat.
Bentuk praktik-praktik yang diterapkan oleh masyarakat merupakan upaya pemenuhan
kebutuhan hidupnya, baik secara individu, rumah tangga, dan komunitas. Praktik pemanfaatan
tersebut ‘dibarengi’ upaya perlindungan dan/atau konservasi alam atau kehati oleh masyarakat
(indigeous peoples and community conserved territories and areas). Sayangnya hal seperti ini
belum menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka diusulkan untuk melakukan pendefinisian masyarakat pada Bab I
Ketentuan Umum, penajaman Azas Keadilan yang didalamnya wajib mencantumkan keadilan
Gender, dan tujuan penyelenggaraan konservasi di Indonesia yang tidak membedakan jenis
kelamin dan kelas sosial pada BAB II Asas, Tujuan, dan Lingkup Pengaturan.
2.2. Koneksitas Bentuk-bentuk Konservasi di Indonesia
Ragam upaya konservasi telah dilakukan oleh banyak pihak, diantaranya pemerintah, badan
hukum, maupun masyarakat. Namun faktanya, bentuk konservasi yang dilakukan belum
menunjukkan adanya sinergi di antara ketiga pihak tersebut. Ketidaksinergian tersebut
berpotensi memunculkan konflik yang terjadi di lapangan yang berimplikasi pada ketidak
tercapaian tujuan penyelenggaraan konservasi sebagaimana yang dimaksud di dalam Bab II naskah
akademik.
Bentuk Konservasi Pemerintah
Berdasarkan surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tata Lingungan dan surat Direktur
Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam No.366/PIKA/IIKA/KSA.016/2016 tanggal 28 Juni 2016,
kawasan konservasi daratan dan laut di Indonesia mencapai luas 27.502.019,16 ha yang meliputi
51 unit Taman Nasional, 220 unit Cagar Alam, 123 unit Taman Wisata Alam, 77 unit Taman
Suaka Margasatwa, 27 unit Taman Hutan Raya (Tahura), 11 unit Taman Buru dan 49 unit
merupakan Kawasan Suaka Alam Kawasan Pelestarian Alam (KSA-KPA) dengan total jumlah
kawasannya 558 unit.2
Sementara dari 27.502.019,16 ha kawasan konservasi daratan dan laut, 1.686.148,96 ha areal
konservasi atau 22,56% berada di dalam wilayah adat (BRWA, 2016). Angka itu menunjukkan
masih tingginya potensi konfik yang terjadi antara masyarakat adat atau masyarakat lokal yang
tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Untuk meredam potensi konflik itu, melalui
RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu memberikan pengakuan
areal konservasi kelola masyarakat (AKKM), baik yang berada di dalam kawasan konservasi
maupun di luar kawasan ekosistem penting lainnya. Dengan demikian RUU Konservasi ini dapat
melindungi masyarakat, tidak terkecuali kelompok perempuan maupun kelompok rentan lainnya.
Bentuk Konservasi Badan Hukum
Kementerian Kehutanan melalui SK.5040/MENHUT-VI/BRPUK/2013 tanggal 21 Oktober 2013
telah mencanangkan areal hutan produksi yang akan di restorasi seluas 2.695.026 hektar.
Berdasarkan data Ditjen Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan (BRPUK) hingga akhir
Desember 2013 terdapat 47 pemohon yang telah memasukkan permohonan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Namun, baru sekitar 12
2 Lihat Statistik Direktorat Jenderal KSDAE, 2015.
pemohon telah mendapatkan ijin dengan total areal 480.093 ha. Dari dua ua belas IUPHHK-RE
itu, di Provinsi Riau terdapat empat unit seluas 114,665 hektar, menyusul Sumatera Selatan dua
unit seluas 60,435 hektar dan Kalimantan Tengah dua unit seluas 145,406 hektar. Sementara
masing-masing satu unit Provinsi Jambi 46,358 hektar, Bengkulu 12,672 hektar, Kalimantan Barat
14,080 hektar, dan Kalimantan Timur 86,450 hektar dengan total 480,093 hektar.
Pemegang izin IUPHHK-RE untuk region Sumatera seluas 307.999 hektar dan Kalimantan seluas
245.936 hektar atau 24%. Sementara alokasi pemanfaatan Restorasi Ekosistem wilayah Papua
seluas 270.590 hektar, Maluku 245.235 hektar, Sulawesi 379.375 hektar, Kalimantan 480.310
hektar, Nusa Tenggara 103.960 hektar, dan Sumatera 312.210 hektar atau 74%. Total pemegang
IUPHHK-RE sampai tahun 2015, sebagai berikut:
No Nama Perusahaan Provinsi Luas (ha)
1 PT Restorasi Ekosistem Indonesia Sumatera Selatan 52,170
2 PT Restorasi Ekosistem Indonesia Jambi 46,385
3 PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia Kalimantan Timur 86,450
4 PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari Kalimantan Barat 14,080
5 PT Gemilang Cipta Nusantara Riau 20,265
6 PT Rimba Raya Conservation Kalimantan Tengah 37,151
7 PT Sipef Biodiversity Indonesia Bengkulu 12,672
8 PT Rimba Makmur Utama Kalimantan Tengah 108,255
9 PT Gemilang Cipta Nusantara Riau 20,450
10 PT Karawang Ekawana Nugraha Sumatera Selatan 8,300
11 PT Sinar Mutiara Nusantara Riau 32,830
12 PT Global Alam Nusantara Riau 36,850
13 PT The Best One Unitimber Riau 39,412
14 PT Alam Bukit Tigapuluh Jambi 38,665
Total 553,935
Sumber: Ditjen Usaha Jasa Lingkungan HP & HHBK, 20153
Bentuk Konservasi Masyarakat
Dalam perkembangan sekarang, masyarakat adat maupun masyarakat lokal memiliki berbagai
macam konservasi. Namun, hingga saat ini konservasi ala masyarakat adat maupun masyarakat
lokal itu, belum sepenuhnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya UU
Konservasi maupun RUU Konservasi yang menjadi inisiatif DPR sekarang. Sehingga, perlindungan
terhadap kearifan lokal sangat penting, karena pemanfaatan kehati pada umumnya berakar dari
kebiasaan masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Hal ini merupakan bagian dari Areal
Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).
Bentuk AKKM oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal, juga terdapat pada kawasan
ekosistem hutan. Kawasan ini merupakan kawasan di mana mayoritas masyarakat hukum adat
atau masyarakat lokal beraktifitas. Masyarakat lokal banyak melakukan kegiatan sehari hari di
hutan adat yang mereka miliki dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak
sebatas menggunakan, namun juga memiliki pola tata ruang yang digunakan untuk membagi
ruang-ruang hutan yang terdapat wilayah adatnya. Inilah yang dikatakan sebagai bagian dari
proses konservasi yang selama bertahun tahun dilakukan oleh masyarakat (Bima: 6).4 Selain itu,
3 Lihat dalam http://www.mongabay.co.id/2015/09/22/restorasi-ekosistem-skema-sembuhkan-hutan-
indonesia-yang-makin-diminati/ diakses tanggal, 9 Agustus 2017.
4 Lihat publikasi WGII tahun 2017.
bentuk AKKM oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya terdapat di kawasan
ekosistem laut maupun perairan.
Ombo5 merupakan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan permukiman, hewan dan
tanaman tertentu, hutan, laut, mata air dan daerah aliran sungai, kelestarian lahan publik maupun
lahan adat, serta menjaga agar tidak terjangkit wabah penyakit yang ditata dan dikelola oleh
masyarakat Kalili. Dengan demikian, kearifan dalam mengelola alam yang tercermin dalam Ombo
itu menunjukkan bahwa pada zaman dahulu masyarakat adat Kaili telah memiliki konsep yang
jelas manajemen alam dan lingkungannya guna mewujudkan kedamaian, kesehatan, dan
kesejahteraan mereka secara rohani maupun jasmani. Contoh lain konservasi versi masyarakat,
seperti di Maluku dikenal dengan sasi atau larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam
jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada flora dan fauna untuk
memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak populasi sumberdaya alam
tersebut.6 Di Nusa Tenggara Timur dikenal dengan tatacara penangkapan ikan hiu, di Bali penyu
untuk upacara adat, di Papua dikenal dengan hutan keramat, dan Lebak dikenal dengan babagi leuweung di masyarakat adat Kasepuhan. Potret konservasi masyarakat ini merupakan bagian
kecil dari sekian banyak konservasi yang dimiliki oleh masyarakat di nusantara.
Sementara AKKM merupakan contoh tata kelola konservasi yang baik, efektif dan adil.
Pendekatan AKKM mengakui bahwa nilai-nilai budaya dan alam sangat terkait erat, dan bahwa
masyarakat setempat adalah kunci atau pelaku utama dalam mempertahankan hal tersebut.
AKKM bisa menyeimbangkan kebutuhan untuk melindungi ekosistem yang penting sekaligus
menjamin hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai pengelola wilayahnya, termasuk
perempuan di dalamnya. Dalam menghadapi beratnya tantangan perubahan iklim, dan kerentanan
banyak masyarakat adat dan miskin yang terkena risiko, AKKM menawarkan peluang baru untuk
melibatkan masyarakat untuk melestarikan dan mengelola aset dan jasa sumber daya alam secara
lestari.7
Pasal 4 pada UU No 5/1990 Tentang KSDAHE menyebutkan bahwa Konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta
masyarakat. Bab Penjelasan Pasal 4 bahwa “Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia, maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan
konservasi”. Selain itu, UU 5/1990 juga menyebutkan tentang kawasan suaka alam terdiri dari
cagar alam dan suaka margasatwa. Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi
sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.8
Paradigma ini menunjukan bahwa setiap kawasan konservasi tidak dapat dikelola, sementara jauh
sebelum penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah, masyarakat adat maupun masyarakat
lokal sudah berada di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi tersebut. Aturan ini sangat
membatasi ruang gerak masyarakat, dan tidak jarang masyarakat menjadi korban kriminalisasi.
Dengan adanya Putusan MK 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari
hutan Negara, kemudian disusul dengan penetapan sembilan hutan adat oleh Kementerian
5 Lihat I Wayan Nitayadnya, Ombo Sebagai Wujud Kearifan Lokal Masyarakat Kaili dalam Menjaga
Harmonisasi Alam. Lebih lengkap lihat majalah WALASUJI, Vol. 5 No. 1, Juni 2014.
6 Lihat http://jikti.bakti.or.id/maluku/sasi-kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-lingkungan-di-seram-barat diakses
tanggal, 12 Agustus 2017.
7 Lihat Cristina Eghenter, catatan AKKM dan Jasa Ekosistem, WGII, 2016 hal 13.
8 Pasal 14 huruf a, b. Pasal 15, Pasal 19 ayat (1).
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal, 28 Desember 2016 yang diserahkan langsung
oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 30 Desember 2016. Dari sembilan hutan adat
itu, tiga diantaranya berada di kawasan konservasi, yaitu hutan adat Tau Taa Wana berada di
Cagar Alam di Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah seluas 3.988 hektar, hutan
adat Marga Serampas di Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi
seluas 24 hektar, dan hutan adat Kasepuhan Karang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten seluas 462 hektar dengan total 4.474 hektar. Berdasarkan
fakta ini, tidak ada alasan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif yang merupakan
perpanjangan tangan masyarakat untuk mengatur sekaligus mengakomodir konservasi
masyarakat ke dalam RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini.
Bedasarkan pada perkembangan penetapan hutan adat sekarang, baik di dalam maupun di luar
kawasan konservasi, maka bunyi Pasal 78 dan Pasal 79 pada RUU KSDAHE versi 5 Juli 2017
perlu dirubah.
Pasal 78:
Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi … berupa:
a. daerah penyangga kawasan Konservasi; b. koridor ekologis atau Ekosistem penghubung; c. areal dengan nilai Konservasi tinggi; dan d. areal Konservasi kelola Masyarakat.
perlu dirubah menjadi: Ekosistem penting di dalam dan di luar Kawasan Konservasi … berupa:
e. daerah penyangga kawasan Konservasi; f. koridor ekologis atau Ekosistem penghubung; g. areal dengan nilai Konservasi tinggi; dan h. areal Konservasi kelola Masyarakat.
Penambahan kata “di dalam dan” juga untuk mengakomodir AKKM terlebih pada penetapan
hutan adat yang berada di areal konservasi. Penambahan kata “di dalam dan” juga dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal
lainnya, terlebih pada perempuan dan kelompok rentan lainnya yang juga melakukan upaya
konservasi. Karena perempuan memiliki kedekatan terhadap sumber daya alam dan sumber-
sumber penghidupan lainnya, maka subjek pelaku konservasi tidak bisa dibedakan berdasarkan
jenis kelamin maupun kelas sosial tertentu.
Pasal 79 Ayat (2):
“Hutan adat dan/atau areal lain yang telah ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat dan berada di wilayah hutan Negara, tidak dapat diubah menjadi penggunaan lain dan dilindungi dari rencana perubahan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan penetapannya”.
Perlu dirubah menjadi:
“Hutan adat dan/atau areal lain yang telah ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat tidak dapat diubah menjadi penggunaan lain dan dilindungi dari rencana perubahan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan penetapannya”.
Bunyi Pasal 79 ayat (2) kata “dan berada di wilayah hutan Negara” di hapus, sehingga tidak
bertentangan dengan Putusan MK 35/2012. Kedua RUU Konservasi itu baik versi Badan Legislasi
tanggal 20 Juni 2017 maupun versi Komisi IV tanggal 5 Juli 2017 memberikan pengakuan AKKM
di luar kawasan penting lainnya, namun belum mengakui AKKM yang berada di dalam kawasan
konservasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip Asas Keadilan seperti yang tertuang di dalam
Bab II, termasuk prinsip keadilan sosial dan keadilan gender dalam upaya pembangunan nasional
yang berkelanjutan.
2.3. Perempuan dan Ragam Bentuk Konservasi
Ibu Bumi menjadi siloka yang tak pernah lekang oleh zaman dan selalu didengungkan dalam untuk
menjaga keberlanjutan alam dan lingkungan. Siloka ini menggambarkan adanya pengakuan
kedekatan perempuan (ibu) dengan alam, bahkan Warren (1996) menyebutnya sebagai twin domination. Kedekatan inilah yang kemudian menjadikan perempuan memiliki tanggung jawab
yang besar untuk mengkonservasi, merawat dan menjaga alam dengan baik demi
keberlangsungan hidup generasi mendatang. Interaksi yang cukup sering membuat perempuan
memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam menjaga dan merawat keberlangsung dan
keberlanjutan alam.
Seperti yang terjadi di Jawa Barat dan Banten, perempuan Kasepuhan Banten Kidul dan
perempuan Baduy melakukan upaya konservasi dengan beragam cara, diantaranya ngahuma
sebagai sumber penghidupan warga Kasepuhan yang dikelola dengan menggunakan sistem tanam
gilir balik. Hanafi, dkk menyebut huma sebagai manifestasi jati diri bagi masyarakat Kanekes dan
Kasepuhan Banten Kidul (2004:22), khususnya perempuan Kasepuhan dan Baduy/Kanekes yang
secara keseharian menjadi penjamin kebutuhan keluarga sekaligus menjamin keberlanjutannya.
Melalui sistem gilir balik yang dilakukan, perempuan Kasepuhan dan Baduy juga sekaligus menjaga
ketersediaan varietas bibit padi dan tanaman lokal lain, keberadaan tanaman obat, ketersediaan
air (kualitas maupun kuantitas), dan menjaga kualitas tanah.
Begitu pula dengan perempuan Mollo yang melakukan beragam upaya konservasi. Manggala,
menyebutkan upaya konservasi perempuan Mollo dilakukan di tiga tingkatan, yakni pada tingkat
genetik yaitu dalam pengawetan kultivar lokal; pada tingkat spesies yaitu dalam penggunaan
sumberdaya; dan pada tingkat ekosistem yaitu dalam pengetahuan-pengetahuan mengenai
ekosistem itu sendiri dan pendidikan konservasi yang mereka lakukan sebagai ibu (2014:4).
Adapun faktor pendukung yang mendasari gerakan konservasi perempuan Mollo dibagi menjadi
faktor internal yaitu sifat-sifat dasar perempuan dan faktor eksternal yang datang dari lingkungan
mereka, seperti dukungan dari kaum laki-laki, dewan adat, organisasi keagamaan, LSM, dan
masyarakat umum (2014:19). Begitu pula dengan Perempuan Ngata Toro, Perempuan Papua,
dan perempuan lain yang memiliki interaksi intensif dengan hutan, sawah, kebun, sebagai sumber
penghidupan mereka secara langsung.
Keseluruhan bentuk konservasi yang dilakukan oleh perempuan, sebagai bukti adanya
pengetahuan perempuan terhadap konservasi keanekaragaman hayati sebagai sumber
penghidupan dan kehidupan masyarakat. Pengetahuan ini juga memberikan kontribusi besar
pada penurunan emisi gas rumah kaca dan menjaga ketersediaan karbon. Untuk itu pelibatan
perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan konservasi menjadi
penting dilakukan. Sunkar dalam penelitiannya menegaskan bahwa perempuan juga penting
terlibat dalam program pembangunan pemberdayaan masyarakat, yang tak lain adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan lingkungan, ekologis, sosial dan ekonomi (2017:10)
Komitmen pelibatan perempuan belum terlihat di dalam RUU KSDAHE versi 5 Juli 2017. Untuk
itu, diusulkan untuk diejawantahkan di dalam beberapa pasal, diantaranya:
Pasal 1, ayat 19:
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”
Diusulkan dilakukan perubahan menjadi:
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu”
Penambahan frase “tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” sebagai bentuk
penegasan bahwa kelompok Perempuan, kelompok laki-laki, kelompok anak, kelompok generasi
muda dan kelompok marginal lainnya memiliki kesempatan mendapatkan akses, kontrol,
partisipasi dan manfaat yang sama dalam program pembangunan konservasi
Pasal 2, terkait Azas khususnya azas keadilan
Usulan penegasan terkait asas keadilan ini dapat dimasukkan ke dalam Bab Penjelasan.
Dimana Azas keadilan mengandung azas keadilan lingkungan, sosial, ekonomi dan gender.
Keadilan gender adalah perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan
proses kebijakan pembangunan nasional, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman,
kebutuhan, kesulitan, hambatan dari usaha-usaha pembangunan, untuk ikut beraprtisipasi
dalam pengambilan keputusan (seperti yang berakitan dengan kebutuhan, aspirasi) serta
dalam memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumber daya (seperti dalam
mendapatkan/penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredit, dll). Definisi ini
tercantum di dalam Permenhut LHK No. P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 2017
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Pasal 3, ayat (e):
“Meningkatkan dan menjamin keberadaan dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati”
Diusulkan untuk diubah menjadi:
“Meningkatkan dan menjamin keberadaan dan peran serta masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati”
Penambahan frase “tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” merupakan
bentuk penegasan siapa masyarakat yang dimaksud untuk dapat turut serta berpartisipasi di
semua tingkatan.
2.4. Peran Serta Masyarakat
Saat ini, keberadaan kelompok perempuan dan kelompok marginal lain seolah dikemas dalam
kategori masyarakat secara umum di dalam UU No. 5/1990 maupun di dalam RUU Konservasi
yang sedang disusun. Namun faktanya penggunaan istilah masyarakat belum memberikan ruang
bagi kelompok perempuan dan kelompok marginal lain untuk turut serta terlibat dalam setiap
proses pengambilan keputusan pembangunan konservasi kehutanan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa pengetahuan perempuan dalam konservasi belum mendapatkan pengakuan
yang seutuhnya.
Peran serta masyarakat di dalam RUU KSDAHE versi 5 Juli 2017 tercantum pada BAB II sebagai
salah satu asas, dan pada BAB XI tentang Peran Serta Masyarakat. Sebagai langkah nyata untuk
menjalankan pengarusutamaan gender dalam setiap pembangunan nasional, sesuai dengan
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, maka BAB XI perlu untuk ditinjau ulang dan direvisi.
Peran serta yang dimaksud harus meliputi pengakuan praktik konservasi oleh masyarakat,
temasuk pengetahuan perempuan, serta pelibatan perempuan dan kelompok marginal lain dalam
setiap proses perumusan kebijakan
Pasal 167, Ayat (1):
“Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat”
Diusulkan untuk diubah menjadi:
“Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat, tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu”
Penambahan frase “tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” memiliki makna
peran serta masyarakat yang dimaksud adalah tidak diwakilkan pada satu kelompok masyarakat
tertentu dan atau pada satu kelas sosial tertentu. Peran serta masyarakat wajib melibatkan
seluruh elemen masyarakat yang turut berperan serta dalam upaya konservasi, termasuk
kelompok perempuan, kelompok anak, kelompok pemuda, dan kelompok rentan lainnya.
2.5. Rekomendasi
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, berikut adalah rekomendasi untuk penerapan RUU
KSDAHE yang berkeadilan gender:
a. Pada Pasal 1 direkomendasikan perlu ada penambahan definisi tentang masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud perlu diberi penjelasan siapa masyarakat yang dimaksud dalam
Ketentutan Umum, dimana perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya perlu
disebutkan secara eksplisit sebagai bentuk penegasan pengakuan kepada mereka selaku
pelaku konservasi di lapangan.
b. Pasal 1, Ayat 19 diusulkan untuk ada penegasan “tidak membedakan jenis kelamin dan
kelas sosial tertentu” pada definisi setiap orang
c. Pasal 2, khususnya asas keadilan. Penjelasan asas keadilan yang perlu dilengkapi dengan
asas keadilan gender. Penjelasan ini jika tidak memungkinkan dicantumkan di dalam pasal,
maka dapat dimasukkan ke dalam Bab Penjelasan
d. Pasal 3, ayat (e) perlu ada penegasan jaminan pencapaian tujuan terselenggaranya program
konservasi keanekaragaman hayati ini tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial
e. Pasal 78 diusulkan penambahan frasa “……di dalam dan diluar kawasan…..”
f. Pasal 79 diusulkan untuk menghapus frasa “…..dan berada di wilayah hutan negara…….”
g. Pasal 167 Ayat (1) perlu penegasan tanpa membedakan jenis kelamin dak kelas sosial
tertentu.
Perjuangan Perempuan dan kelompok rentan lainnya adalah perjuangan untuk membuat mereka
dilihat, diakui keberadaannya, diakui dan dilindungi hak-haknya, dan dilibatkan secara aktif dalam
pengambilan keputusan di semua tingkatan (keluarga, komunitas, organisasi, negara). Untuk itu,
hal yang dibutuhkan untuk pencapaian kebijakan yang berkeadilan gender adalah:
1. Menempatkan mereka (perempuan dan kelompok rentan lain) sebagai subyek dalam
pengambilan keputusan pembangunan di berbagai tingkatan.
2. Memperkuat kembali pengetahuan perempuan dalam melakukan upaya konservasi atas
ruang hidupnya.
3. Membangun dan atau memperkuat kesadaran kritis perempuan dan kelomok rentan lain
atas hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, perempuan desa, perempuan
adat, sebagai warga negara, dan lain sebagainya.
Memastikan perempuan sebagai pelaku konservasi yang sesungguhnya dan memastikan terlibat
dalam setiap proses pengambilan keputusan program pembangunan kehutanan dan konservasi di
semua tingkatan, maka akan turut memastikan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan
generasi mendatang.
BAB 3. PEER REVIEW Dari Konservasi Sentralistik ke Konservasi Berkeadilan Gender:
KEADILAN GENDER SEBAGAI AKSI AFFIRMATIF DALAM RUU
PENGGANTI UU KSDAHE
Oleh: Siti Maimunah, M. Kesos
DPR RI sedang melakukan pembahasan Rancanngan Undang Undang (RUU) pengganti Undang-
Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(KSDAHE) – yang selanjutnya disebut RUU Konservasi. UU KSDAHE ini sudah diberlakukan
hampir tiga dekade lalu. Dalam naskah akademik yang disusun DPR RI versi Mei 2016, disebutkan
UU KSDAHE diubah karena urgensi berkaitan dengan: a) perluasan paradigma makna
konservasi, b) lingkup pengaturan yang diperluas dalam kontek ruang (darat, laut dan udara
serta di luar kawasan suaka alam dan pelestarian alam) dan subtansi termsuk konten perjanjian
internasional, c) kewenangan Pemerintah dan Pemda, d) data dan info keragaman hayati, e)
keberadaan masyarakat adat dan peran serta masyarakat, f) pendanaan, g) penyelesaian sengketa
dan h) penegakan hukum dan sangsinya.
Sebuah tim kerja koalisi masyarakat sipil telah menyusun kertas kebijakan (policy paper) sebagai
masukan atas RUU Konservasi yang sedang dibahas DPR RI. Kertas kebijakan berjudul "Analisis
Teks dan Konteks: Meninjau RUU Konservasi yang Berkeadilan Gender" ini menggunakan
pendekatan Gender Impact Assessment (GIA). GIA digunakan untuk melakukan analisis RUU
Konservasi yang disusun Komisi IV (versi 5 Juli 2017) – selanjutnya disebut RUU KKH dan
melihat pula RUU Konservasi versi bahan Panja (versi 12 Juni 2017) –yang selanjutnya disebut
RUU KSDAHE sebagai bahan perbandingan. GIA yang diperkenalkan oleh European Commission (EC) sejak 2006 merupakan salah satu metode untuk memastikan terjadinya gender mainstreaming. GIA biasanya dilakukan sebagai tahap awal setiap pembuatan kebijakan untuk
mengukur hasil yang diprediksi beserta implikasi yang akan timbul (2016: 6-7). EC menyebutkan
bahwa Gender impact assessment is the process of comparing and assessing, according to gender relevant criteria, the current situation and trend with the expected development resulting from the introduction of the proposed policy (EIGE, 2016:8).
Naskah ini bermaksud memberikan review atas kertas kebijakan yang disusun oleh koalisi NGO
ini sehingga mampu dengan tajam memperlihatkan kesenjangan gender dalam RUU Konservasi,
mengidentifikasi implikasi gender potensial dan memberikan masukan perbaikan RUU
Konservasi. Review ini akan disusun dalam bentuk point-point yang memberikan tanggapan
terhadap subtansi keadilan gender sebagai berikut:
3.1.1. Maskulinitas Perjalanan UU No. 5/1990 & Misi Pemulihan Keragaman Hayati
dalam RUU Konservasi
Kertas kebijakan ini perlu menunjukkan latar menyejarah penyusunan dan pelaksanaan UU
KSDAHE yang berkarakter maskulin serta urgensi penggantiannya saat ini, dan apa dampak yang
telah dihasilkannya terhadap pengikisian keragaman hayati di Indonesia serta penghormatan
terhadap HAM. UU KSDAHE disusun dan diberlakukan sejak masa rejim otoritarian yang
memperlakukan alam dan keragaman hayati di dalamnya sebagai komoditas pasar. Perlakuan yang
diteruskan oleh rejim-rejim pemerintahan berikutnya, melalui keluarnya konsesi-konsesi
kehutanan, perkebunan, pertambangan dan kelautan untuk korporasi-korporasi skala besar.
Setelah melewati lima rejim pemerintahan dan kini masa rejim keenam – pemerintahan Jokowi,
jelas sekali perbandingannya: sekitar 82 persen, atau 159 juta hektar lahan dikuasai oleh
korporasi dalam bentuk konsesi-konsesi kehutanan, perkebunan dan pertambangan (Walhi,
2018)9. Penguasaan dan alih fungsi lahan besar-besaran di atas membawa Indonesia menjadi
negara dengan penurunan jenis keragaman hayati tertinggi secara global, mencapai 21% sejak
1996 hingga 2008.
Pada pidato peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017, Presiden Jokowi menegaskan perlunya
dilakukan sebuah koreksi besar (corrective action) dengan melakukan terobosan sehingga
pengelolaan hutan menjadi lebih baik10. Akan sangat baik jika dihubungkan semangat aksi
korektif itu dengan mempertegas tujuan penggantian UU No 5 Tahun 1990 dalam ramgka
memperbaiki “prestasi buruk” Indonesia yang menjadi satu dari 7 negara di dunia dengan
kehilangan keanekaragaman hayati yang tertinggi sepanjang 1996-2008, bahkan laju kehilangan
jenisnya tertinggi di dunia11. Oleh karenanya, kertas kebijakan ini harus menekankan RUU
Konservasi mempunya misi percepatan pemulihan hilangnya keanekaragaman hayati dan
dampaknya bagi alam dan masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok marginal lainnya.
3.1.2. Membalik Krisis Akibat Konservasi sentralistik yang mengeksklusi
masyarakat sekitar hutan dan keragaman hayati yang selama ini mereka kelola
Kertas kebijakan ini berhasil memaparkan dengan kritis pandangan terhadap pembangunan dan
setting up penyusunan UU No.5/1990. Namun perlu lebih tajam menghubungkannya dengan
eksklusi masyarakat sekitar kawasan konservasi, sehingga RUU konservasi mencegahnya tidak
berulang. Kertas kebijakan ini mengkritisi tiga aspek peting UU No.5/1990. Pertama, corak
pengelolaan dalam sistem pemerintahan sentralistik, yang tidak memberikan ruang kelola kepada
institusi yang berada pada pemerintah daerah. Kedua, bersifat hegemoni, membatasi partisipasi
setiap pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal - termasuk kelompok perempuan,
anak muda dan kelompok rentan lainnya. Ketiga, corak pengelolaan masih mencakup
perlindungan dan pengawetan sumber kekayaan alam, belum menyentuh, bahkan melarang
adanya pemanfaatan sumber kekayaan alam. Inilah yang mengakibatkan konflik berkepanjangan
antara negara dengan masyarakat sekitar hutan, termasuk eksklusi masyarakat adat dan
masyatakat lokal dari hutannya.
Namun lebih jauh kertas kebijakan ini penting menekankan semangat aksi korektif terhadap UU
No. 5/1990 sehingga membuka ruang lebih luas bagi : a) sistem desentralisasi dengan
menyertakan pemerintah lokal, b) membuka partisipasi setiap pemangku kepentingan, khususnya
masyarakat lokal - termasuk kelompok perempuan, anak muda dan kelompok rentan lainnya, c)
memperluas ruang pemanfaatan kekayaan alam dalam kerangka konservasi keanekaragaman
hayati dan d) memperluas ruang lingkup konservasi tak hanya dimaknai sebagai kawasan
konservasi tapi juga areal konservasi kelola masyarakat (AKKM). Dengan begitu, RUU ini
memiliki kesempatan membalikkan krisis yang terjadi. Sehingga konservasi keragaman hayati bisa
memberikan harapan perbaikan kualitas hidup bagi 10,2 juta penduduk yang masih belum
sejahtera dan tersebar pada sekitar 25.863 desa yang masuk kawasan hutan (Media Indonesia,
20/12/16).
3.1.3. Affirmative Action: Respon terhadap relasi gender, hilangnya keragaman
hayati & pemiskinan perempuan
Hubungan masyarakat, laki-laki dan perempuan dengan hutan telah terbangun bahkan sebelum
lahirnya negara Republik Indonesia. Saat ini sekitar 25.863 desa berada di dalam kawasan hutan,
dan menggantungkan kehidupannya dari hasil keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem.
Separuh pendapatan perempuan dan sepertiga pendapatan laki-laki pada masyarakat yang tinggal
di sekitar hutan diperoleh dari hutan (Roda, Jean-Marc et al, 2007). Perempuan memiliki peran
konservasi keanekaragaman hayati begitu kuat – seperti yang dipaparkan dalam naskah pada
halaman 11-12. Namun peran-peran itu tak nampak, apalagi diperhitungkan. Di sinilah
ketidakadilan gender bekerja, membuat peran perempuan dalam konservasi keanekaragaman
hayati tidak nampak, bahkan penderitaannya pun tidak tampak. Sebab di saat yang sama,
pembangunan sektor kehutanan pada masa Orde Baru memberikan dampak terhadap
perempuan yang tinggal di sekitar hutan. Hilangnya keanekaragaman hayati meningkat ketika
intensitas eksploitasi meningkat (Kessler 2003). Indonesia menjadi jajaran negara yang memiliki
jumlah jenis terancam punah tertinggi di dunia.
Jelas upaya konservasi keanekaragaman hayati bukan sesuatu yang netral gender. Pun dampak
penurunan keanekaragaman hayati akibat pembangunan juga tidak netral jender. Sebab laki-laki
dan perempuan memainkan peran berbeda dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya
keanekaragaman hayati. Perempuan biasanya melestarikan dan mengelola sumber daya hayati
untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat-obatan keluarga, sementara laki-laki lebih sering
menggunakannya untuk mendapatkan penghasilan. Inkuiri Nasional Masyarakat hukum adat
Komnas HAM (2015) menyebutkan perusakan hutan telah mengakibatkan hilangnya
pengetahuan tradisional yang berdampak pada melemahnya peran perempuan dalam rumah
tangga dan dalam ritual adat. Situasi ini sering kali menyebabkan mereka tidak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan termasuk dalam proses pengolahan hasil hutan. Belum lagi
hilangnya keragaman hayati dan sumber ekonomi dan sumber pangan, yang sangat berhubungan
dengan peran perempuan dalam menyediakan pangan keluarga. Pada akhirnya perempuan harus
memikul beban ganda dan dimiskinkan.
Penting kertas kebijakan ini tak hanya menunjukkan "kemampuan" tapi juga menunjukkan
hambatan dan tantangan yang dihadapi perempuan yang membuat mereka "tidak nampak" baik
dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, maupun terdampak oleh hilangnya
keanekaragaman hayati. Dengan begitu usulan penambahan frase “tanpa membedakan jenis
kelamin dan kelas sosial tertentu” dalam pasal-pasal RUU Konservasi serta penegasan tentang
Azas keadilan (keadilan lingkungan, sosial, ekonomi dan gender) dalam pasal-pasal penjelasan tak
hanya dimaknai sebagai penegasan, mestinya sebagai tindakan affirmatif untuk memastikan akses,
kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama dalam pembangunan konservasi, sekaligus menghapus
ketidakadilan gender.
3.1.4. Penutup & Rekomendasi: dari Konservasi Sentralistik ke Konservasi
Berkeadilan Gender
Kertas kebijakan ini akan lebih kuat jika menekankan bahwa perubahan UU KSDAHE mestinya
sejalan dengan semangat pemerintah untuk melakukan aksi korektif terhadap sifat sentralistik
UU KSDAHE yang justru menyebabkan Indonesia mengalami pengikisan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Sifat-sifat sentralistik UU KSDAHE meliputi: 1) model pengelolaan yang
sentralistik, 2) bersifat hegemoni karena partisipasinya adalah partisipasi semu, belum
mengedepankan semua pemangku kepentingan khususnya masyarakat lokal, termasuk kelompok
perempuan, kelompok anak muda dan kelompok rentan lainnya. 3) Praktek pengelolaan hanya
mencakup perlindungan dan pengawetan sumber kekayaan alam, belum menyentuh, bahkan
melarang adanya pemanfaatan sumber kekayaan alam.
Sifat-sifat sentralistik di atas kemudian membentuk: a) Upaya konservasi dan ekstraksi dijalankan
seiring. Terbukti banyak konsesi-konsesi perusahaan ekstraksif diberikan pada kawasan lindung
yang kemudian mengeksklusi masyarakat adat dan masyarakat lokal, bahkan merusak pusat-pusat
keragaaman hayati. b) Konservasi keragaman hayati dan upaya pelestariannya memberikan
perhatian sangat besar pada keragaman hayati di dalam hutan, meninggalkan upaya konservasi di
luar hutan – termasuk yang dilakukan masyarakat khususnya oleh perempuan dan masyarakat
adat. c) Konsep konservasi menjadi sempit menghilangkan realitas di masyarakat, khususnya
berkaitan (i) dalam masyarakat terdapat kelompok laki-laki dan perempuan serta kelompok
rentan lainnya dengan kelas sosial beragam; (ii) eksistensi masyarakat adat baik yang
mempraktekkan daur pengelolaan konservasi sumber daya alam termasuk juga upaya
pemanfaatannya. Situasi ini membawa Indonesia pada jajaran negara yang paling besar kehilangan
keanekaragaman hayatinya, dan catatan konflik agraria yang terus meningkat.
Oleh karenanya rekomendasi terhadap perubahan UU KSDAHE yang sentralistik menjadi
berkeadilan gender penting untuk berfokus kepada tiga hal:
Pertama, Upaya pemulihan. Upaya-upaya konservasi yang dilakukan dalam UU pengganti UU
KSDAHE tak cukup memberi pengaturan yang lebih baik ke depan tapi juga membawa mandat
upaya pemulihan. Upaya pemulihan ini sudah terakomodasi pada RUU Konservasi, tapi penting
ditunjukkan tak mungkin dilakukan tanpa mengubah paradigma sentralistik UU KSDAHE,
termasuk tidak adil gender. Pada prakteknya, pemulihan juga tak mungkin terjadi tanpa
melakukan sinergi bentuk-bentuk-bentuk konservasi yang sudah dilakukan oleh para pihak,
termasuk masyarakat – baik laki-laki dan perempuan, serta badan hukum.
Kedua. Upaya afirmasi memastikan asas keadilan tersurat sebagai keadilan lingkungan, sosial,
ekonomi dan keadilan gender . Oleh karenanya penting memperlengkapi dan menegaskan Asas
Keadilan dalam pasal 2 RUU Konservasi yang saat ini hanya dimaknai sebagai keadilan dalam
ekonomi dan teknologi menjadi keadilan yang berdimenasi keadilan lingkungan, sosial, ekonomi
dan keadilan gender. Konsekwensinya adalah penambahan kata "masyarakat" dengan “tanpa
membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” dalam pasal-pasal RUU Konservasi dan
penjelasannya. Upaya ini merupakan sebuah tindakan yang mendesak, tindakan affirmatif untuk
memastikan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama didapat oleh masyarakat dalam
pembangunan konservasi, sekaligus menghapus ketidakadilan gender.
Ketiga. Mengakomodasi Putusan MK 35/2012. Pasal-pasal dan penjelasan dalam RUU Konservasi
ini memastikan mengakomodasi Putusan MK 35/2012 yang menetapkan bahwa hutan adat tidak
lagi bagian hutan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, tanpa tahun. http://digilib.unila.ac.id/8518/11/BAB%20I.pdf
Anonim, tanpa tahun. http://www.forda-mof.org/files/Social%20Forestry.pdf
Anonim, 2017. Mempercepat Reforma Agraria Dalam Rangka Kebijakan Pemerataan Ekonomi.
Kantor Staf Presiden. Bahan Presentasi, Tidak di publikasikan. Jakarta
Anonim, 2016. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Kantor Staf Presiden.
Jakarta
Awang, Sanafri. 2002. Perkembangan Kehutanan Sosial dan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Metodologi
Partisipasi dalam PSDABM, Ciwidey, Bandung. FKKM, CIFOR dan WN.
Awang, Sanafri, 2005. Negara, Masyarakat Dan Deforestasi (Konstruksi Sosial Atas Pengetahuan
Dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah). Disertasi. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Carig E.T. 2012. Benefits and Constraints of Community-Based Forest Management in the
Philippines. International Journal of Humanities and Applied Sciences 1 (2): 73-77.
Djadjapertjunda, Sadikin. 2002. Hutan and Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor: IPB
Press.
Do A.T., Nguyen B.N., Vo D.T. and Le T.A. 2011. Enabling Diverse Governance Structures for
Community Forest Management.
Hadjon, P.M., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Harsono, B., 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan
Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan pada masa Orde Baru dan
Reformasi. Yayasan Obor. Jakarta
Hakim, Ismatul dkk, 2010. Social Forestry, Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,
Kementerian Kehutanan. Bogor
Holleman, J.F. (ed.), 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Selections from Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië Vol. I and Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoff.
Malik, Arizona, Y., dan Muhajir, M., 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai
Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
Nguyen T.Q. and Sikor T. 2011. Forest Land Allocation: An Overview of Policy Framework and
Outcomes. In Sikor T. and Nguyen T.Q. Realizing Forest Rights in Vietnam: Addressing
Issues in Community Forest Management. RECOFTC – The Center for People and
Forests, Bangkok, Thailand.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java.
Berkeley: University of California Press.
Pulhin J.M., Inoue M., and Enters Th. 2007. Three decades of community-based forest
management in the Philippines: Emerging lessons for sustainable and equitable forest
management. International Forestry Review 9(4): 865–883.
Pulhin J.M. and Inoue M. 2008. Dynamics of Devolution Process in the Management of the
Philippine Forests. International Journal of Social Forestry 1(1): 1–26.
Rofi’i Ikhwanun, 2015. https://www.kompasiana.com/ikhwan.parkonar/hutan-indonesia-bagian-1-
lahirnya-sebuah-kebijakan-phbm_54f432087455137f2b6c88cf
RECOFTC. 2014. Community forestry adaptation roadmap to 2020 for Vietnam. RECOFTC The
Center for People and Forests. Bangkok, Thailand.
Safitri, M.A. dan Uliyah, L. 2014. Adat di Tangan Pemerintah Daerah: Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta:
Epistema Institute.
Santoso, Hery, dkk, 2015. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Percepatan Proses Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat. Partnership Policy Paper. Kemitraan. Jakarta
Simon, Hasanu. 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Manageemnt): Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Siscawati, Mia dan Muayat Ali Muhshi. 2008. Perjalanan Konsep, Kebijakan dan Praktek
Kehutanan Masyarakat di Indonesia. FKKM. Tidak dipublikasikan.
Soepardi, R. 1974. Hutan dan Kehutanan Dalam Tiga Zaman Vols 1-3. Jakarta: Perum
Perhutani.
Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta:
Kanisius.
Suh J. 2012. The Past and Future of Community-Based Forest Management in the Philippines.
Philippine Studies: Historical and Ethnographic Viewpoints 60 (4): 489–511.
Suraya, Affif. 2017. Percepatan, Penguatan dan Pengembangan Perhutanan Sosial di Masa Depan.
Power Point Presentasi dalam Panel 1 Percepatan Perhutanan Sosial. Tunure
Conference 2017.Jakarta.
Tangketasik, Jansen. 2010. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/130313-D%2000628-
Antara%20negara-Pendahuluan.pdfTaqwaddin, 2012. Sejarah Ringkas Pengaturan
Kehutanan Indonesia.
http://kph.menlhk.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=985:sejar
ahringkaskehutananindonesia-olehtaqwaddinhusein&Itemid=199
Tolo, Emilianus Yakob Sese, 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia.
https://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-
indonesia/
Wiratno, 2017. Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial
di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke 54. Yogyakarta.
Wibowo, A. dkk., 2015. Kertas Kebijakan Perkumpulan HuMa. “Penetapan Hutan Adat menuju
Pengakuan Hak Masyarakat Adat”. Jakarta: HuMa.