22
Jakarta, Januari 2018 Pernyataan Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat. ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU RANCANGAN UNDANG-UNDANG KONSERVASI YANG BERKEADILAN GENDER Gender Impact Assessment Report terhadap RUU Konservasi

ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Jakarta, Januari 2018

Pernyataan

Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan

Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan

tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

KONSERVASI YANG BERKEADILAN GENDER

Gender Impact Assessment Report terhadap RUU

Konservasi

Page 2: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Gender Impact Assessment Report Terhadap

RUU Konservasi

Tim Penulis:

Nia Ramdhaniaty (Koordinator)

Malik

Adi T. Bahri

Reviewers

Siti Maemunah

Widodo

Foto sampul: Diskusi kelompok terarah tentang kemitraan konservasi di Taman Nasional Meru

Betiri, Jawa Timur (Syafrizaldi Jpang for LATIN)

Page 4: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Tujuan

BIJAK mendukung penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang revisi Undang-undang

Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (UU

Konservasi No. 5/1990). Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah dengan melakukan

penilaian dampak gender atas RUU tersebut. Penilaian akan melihat isi RUU dan menganalisis

bagaimana isinya akan mempengarahi relasi perempuan dan laki-laki, serta kelompok-kelompok

marginal kelak setelah diberlakukan. Penilaian seperti ini berangkat dari premis bahwa kebijakan

atau undang-undang memiliki dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan di lapangan

meskipun banyak yang berpendapat bahwa kebijakan seperti konservasi keanekaragaman hayati

dan ekosistem sebagai instrumen pengelolaan sumber daya alam yang netral gender dan bebas

nilai.

Belajar dari banyak kasus, hampir tidak ada hal yang netral gender, yang akan menguntungkan

semua anggota masyarakat secara merata, mengingat tertanamnya ketidaksetaraan gender secara

struktural dalam masyarakat kita. Sekalipun undang-undang memperlakukan perempuan dan laki-

laki secara setara, misalnya, perempuan masih tidak memiliki akses dan kontrol yang sama atas

sumber daya dan aset material dan non-material. Karena itu, menangani orang yang didera

ketidaksetaraan dengan cara yang sama, dalam praktiknya, hanya akan melanggengkan

ketidaksetaraan ini. Ini terjadi ketika ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan dan laki-

laki secara ekonomi, politik dan sosial tidak dipertimbangkan. Kebijakan yang kelompok

sasarannya didefinisikan secara luas, tidak membedakan, antara perempuan dan laki-laki, biasanya

tidak netral, tetapi buta gender.

Sebelum RUU tersebut menjadi undang-undang yang seolah-olah atau dianggap netral gender dan

terus melanggengkan ketidaksetaraan gender, BIJAK ingin melakukan penilaian dampak gender

atas RUU revisi UU Konservasi No. 5/1990. Penilaian ini adalah analisis ex-ante dengan

menemukenali kemungkinan-kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan oleh rumusan-rumusan

provisi dalam RUU terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. BIJAK menganggap

analisis seperti ini penting untuk memastikan kebijakan yang sedang dibahas menjunjung tinggi

prinsip-prinsip inklusif, berbasis bukti, dapat diterapkan, dan berdampak. Oleh karena itu, BIJAK

memfasilitasi dilakukannya penilaian dampak RUU Konservasi terhadap kesetaraan gender.

Pertanyaan utama dari penilaian dampak gender ini adalah apakah RUU revisi UU Konservasi

No. 5/1990 ini mengurangi, mempertahankan, atau meningkatkan ketidaksetaraan gender antara

perempuan dan laki-laki. Meneliti pertanyaan ini akan membantu pembuat kebijakan, pelaksana

kebijakan, dan masyarakat umum untuk menganalisis dan memperkirakan dampak gender dari

kebijakan yang sedang dipertimbangkan, sehingga dapat memperbaikinya sejak awal, ketika

sedang dipertimbangkan.

Walaupun mungkin tidak disengaja, kebijakan seringkali memiliki dampak yang berbeda antara

perempuan dan laki-laki, dan bahkan dapat memperkuat ketidaksetaraan gender baik secara

sosial, budaya atau ekonomi. Jika dampak gender yang berbeda tidak diperhitungkan pada tahap

desain atau pembahasannya, kebijakan yang akan dihasilkan dapat diperkirakan akan mengalami

buta gender. Untuk menghindari hal ini, penting untuk mengingatkan para pengambil kebijakan,

dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, agar mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan

yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, serta adanya ketidaksetaraan gender dalam hal

akses dan kontrol sumber daya. Dengan mempertimbangkan dampak yang berbeda terhadap

perempuand an laki-laki dapat disiapkan perangkat antisipasi yang berbeda pada perempuan dan

laki-laki sehingga peraturan yang dibahas mendukung kesetaraan gender.

Page 5: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Dalam konteks ini, penilaian dampak gender adalah langkah pertama untuk menghindari dampak

yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi

terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan kebijakan yang sedang dipertimbangkan, dan

dampak yang diproyeksikan pada perempuan dan laki-laki kelak ketika kebijakan telah

dilaksanakan. Penting untuk ditegaskan bahwa penilaian ini dilakukan terstruktur, yaitu sistematis,

analitis dan terdokumentasi sebagaimana diuraikan di bagian-bagian berikut.

Tujuan utama dari penilaian dampak gender ini untuk mencermati naskah undang-undang yang

ada untuk memastikan bahwa setiap potensi efek diskriminatif di dalamnya dihilangkan atau

dikurangi. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur yang terlewatkan selama

perancangan dan pembahasan. Membuat undang-undang yang lebih baik menyaratkan

dilakukannya identifikasi kesenjangan gender dan pemahaman tentang ketidaksetaraan gender di

lapangan, sehingga prioritas dapat ditentukan dan kelompok sasaran dapat diidentifikasi. Dengan

kata lain, selain menghindari efek negatif, penilaian dampak gender adalah alat transformatif

untuk merumuskan tujuan kesetaraan gender dalam konservasi dan merumuskan kebijakan yang

tepat yang secara proaktif akan mempromosikan kesetaraan gender.

Singkatnya, penilaian dampak gender ini terdiri dari dua tugas. Pertama, proses membandingkan

dan menilai, sesuai dengan kriteria gender yang relevan, situasi saat ini dan tren perkembangan

yang diharapkan dihasilkan dari pengenalan undang-undang yang diusulkan. Kedua, prakiraan efek

yang berbeda (positif, negatif atau netral) dari setiap ketentuan atau tindakan regulasi yang akan

diterapkan pada hal tertentu dalam hal kesetaraan gender. Hasilnya akan digunakan sebagai

proposal atau poin advokasi untuk perbaikan RUU untuk mencegah dampak negatif pada

kesetaraan gender dan untuk memperkuat kesetaraan gender. Karena penilaian akan dilakukan

pada draf akhir undang-undang, temuan-temuan penilaian ini akan tersedia pada saat musyawarah

dimulai, sehingga draf tersebut dapat disempurnakan dalam proses musyawarah karena akan

melalui setiap masalah dalam daftar (daftar isian masalah atau DIM), sehingga pembuat kebijakan

dapat mengubah, memperbaiki, atau bahkan meninggalkan ketentuan apa pun jika perlu.

1.2. Isi Laporan

Bagian berikut laporan ini berisi paparan hasil gender impact assessment atas naskah RUU

Konservasi, dan di bagian kedua berisi pandangan peninjau atas hasil gender impact assessment.

Idealnya, para penulis mengintegrasikan hasil tinjauan para pembaca kritis atas draft mereka,

sehingga menjadi laporan final dan siap dijadikan bahan advokasi. Namun dikarenakan pada saat

proses ini sedang berlangsung, Pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan legislasi ini

sehingga tidak ada lagi alasan perlu untuk melanjutkan pekerjaan ini. Setidaknya laporan ini

membuktikan bahwa Analisa dampak gender sebuah rancnagan peraturan seperti rancangan

undang-undang dapat dilakukan secara efektif.

Page 6: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

BAB 2. MENUJU RANCANGAN UNDANG-UNDANG KONSERVASI

YANG ADIL GENDER; ANALISIS TEKS DAN KONTEKS

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan

Ekosistemnya merupakan kebijakan payung negara Repubik Indonesia dalam upaya menjaga dan

menyelamatkan beragam bentuk keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya; tanah, air, udara,

tingkat kelembaban, dan lain sebagainya. Namun, konservasi bagi masyarakat di dalam dan sekitar

hutan juga memiliki makna lain dalam konteks relasi pada kehidupan manusia. Menjaga dan

mempertahankan keanekaragaman hayati adalah upaya menjaga keberlangsungan hidup manusia,

termasuk perempuan, anak dan kelompok marginal lain, karena konservasi juga bermakna

melestarikan benih lokal, tanaman lokal, tanaman obat, sumber pangan, dan lain-lain.

Upaya konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Masyarakat yang memiliki

interaksi langsung dengan hutan, terutama kelompok perempuan dan kelompok marginal lain

memiliki peran yang sangat besar dalam upaya konservasi sejak lama dan tersebar di 3.300 desa

di dalam dan sekitar kawasan hutan (KLHK, 2016). Sebagai pelaku konservasi yang

sesungguhnya sudah selayaknya masyarakat mendapatkan pengakuan berpartisipasi penuh dalam

upaya konservasi, terutama upaya konservasi yang dilakukan oleh kelompok perempuan dan

kelompok marginal lain. Terlebih Indonesia telah berkomitmen penuh dalam menghapus segala

bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini tertuang di dalam UU Nomor 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang

secara operasional diturunkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam konteks Kehutanan dan

Lingkungan, Menteri Kehutanan baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor

P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender

Bidang Kehutanan dan Lingkungan. Sudah saatnya segala peraturan perundang-undangan di

Indonesia dapat berjalan harmonis yang memiliki perspektif dan berkeadilan gender, termasuk

RUU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem (RUU Konservasi).

Tulisan ini sebagai masukan atas RUU Konservasi yang sedang dalam tahap pembahasan di

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilihat dari perspektif gender atau gender impact assessment. Gender Impact Assessment diperkenalkan oleh European Commission (EC) sebagai

salah satu metode yang digunakan untuk memastikan terjadinya gender mainstreaming. Oleh

karenanya, Gender Impact Assessment (GIA) ini biasanya dilakukan sebagai tahap awal dalam

setiap pembuatan kebijakan untuk mengukur hasil yang diprediksi beserta implikasi yang akan

timbul (2016: 6-7). EC menyebutkan bahwa Gender impact assessment is the process of comparing and assessing, according to gender relevant criteria, the current situation and trend with the expected development resulting from the introduction of the proposed policy (EIGE, 2016:8).

Adapun referensi utama yang digunakan untuk analisis adalah naskah RUU Konservasi yang

disusun oleh Komisi IV (versi 5 Juli 2017) dan melihat pula naskah RUU Konservasi versi bahan

Panja (versi 12 Juni 2017) sebagai bahan komparasi. Adapun tahapan yang dilakukan oleh tim

kerja, yaitu: 1) menemukan tujuan; 2) mengecek relevansi gender dalam setiap pasal; 3)

melakukan analisis sensitive gender; 4) mempertimbangkan gender impact; 5) merumuskan

temuan dan rekomendasi.

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan lembaga legislatif dalam melakukan

afirmasi keadilan gender pada RUU Konservasi yang sedang disusun dan dibahas.

Page 7: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

2.1. Paradigma Konservasi yang Berkeadilan Gender

Kebijakan konservasi keanekaragaman hayati (Kehati) di Indonesia telah mempunyai sejarah

panjang, sebelum kemerdekaan. Peraturan-perundangan tersebut mencakup undang-undang

suaka alam, undang-undang perlindungan binatang liar dan undang-undang perburuan. Peraturan-

perundangan mengenai suaka alam diatur pada Undang-undang (UU) 1941, Ordonansi

Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167),

selanjutnya UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan UU No. 5/1990. Peraturan perlindungan

binatang liar diatur dalam UU 1909 dan disusul dengan tambahan (addendum) pada tahun 1911,

1919, dan 1924 dan diganti dengan UU 1932 selanjutnya pada UU No.5/1990. Pada UU

perburuan diatur pada UU Perburuan 1924. UU tersebut direvisi pada tahun 1931, 1933, 1934

dan terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Kelahiran UU

No.5/1990 berada pada rejim sentralistik, di mana pengelolaan wilayah (dan seisinya) konservasi

berada pada ranah pemerintah pusat.

Pembangunan dan setting up penyusunan UU No.5/1990 mempunyai tiga (3) aspek yang peting

untuk dicermati. Pertama.Corak pengelolaan yang lebih pada sistem pemerintahan sentralistik,

tidak memberikan ruang kelola kepada institusi yang berada pada pemerintah daerah. Pada

Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati (RUU KKH, Draf RUU KKH 5

Juli 2017) baik di dalam pasal-pasal perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan telah melibatkan

cukup penuh dan lebih luas terhadap Pemerintah Daerah, dibandingkan pada UU No.5/1990. Hal

ini berbeda dengan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Draf RUU KSDAHE 12 Juni 2017, menunjukkan bahwa pelibatan Pemerintah

Daerah masih terbatas pada penyusunan rencana konservasi dan membantu pemerintah pusat

dalam upaya konservasi.

Kedua, bersifat hegemoni, corak pengelolaan kawasan konservasi belum mengedepankan

partisipasi setiap pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal, termasuk kelompok

perempuan, kelompok anak muda dan kelompok rentan lainnya. Pada ranah ini, definisi

masyarakat dalam draft RUU KSDAHE tidak ada penejasannya, namun dalam BAB I Ketentuan

Umum disebutkan definisi terkait dengan Masyarakat Hukum Adat (ayat 18) dan definisi setiap

orang (ayat 19). Oleh nya perlu penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan masyarakat

tersebut.

Di sisi lain Draf RUU KSDAHE 12 Juni 2017 menyebutkan bahwa, sumber kekayaan alam

tersurat masih dalam dominasi penguasaan pemerintah pusat dan/atau negara, dimana

masyarakat adat/lokal memperoleh ruang dalam pengelolaan ataupun akses. Dan wilayah

masyarakat selanjutnya dalam RUU ini adalah pada ruang partisipasi.1 Hal ini berbeda dengan

Draf RUU KKH 5 Juli 2017. Pada draf ini, masyarakat memperoleh ruang lebih besar, dan

mempunyai sifat negara mengakui upaya-upaya mayarakat dalam aktivitas konservasi

keanekaragaman hayati dan ekosistem melalui Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).

Tetapi, hal inipun menjadi dillema tersendiri. Berkaca kepada penggunaan terminologi “kawasan

hutan” pada sektor kehutanan, areal berhutan kepemilikan masyarakat pada praktik dan

gilirannya negara memberikan klaim areal tersebut sebagai hutan negara. Sehingga wilayah AKKM

yang diusulkan di dalam draft RUU ini harus dipertegas di dalamnya.

Ketiga, corak pengelolaan masih mencakup perlindungan dan pengawetan sumber kekayaan alam,

belum menyentuh bahkan melarang adanya pemanfaatan akan sumber kekayaan alam

(sebagaimana pada poin ‘menimbang’ pada Rancangan Undang-Undang/RUU Konservasi

Keanekaragaman Hayati, versi Draf RUU KKH 5 Juli 2017). Padahal praktik konservasi yang

1 Lebih detil pada BAB III Hubungan Negara, Masyarakat Hukum Adat, Serta Orang dengan Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, Draf RUU KSDAHE 12 Juni 2017.

Page 8: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

paling berhasil ditunjukkan oleh beberapa masyarakat lokal/adat terhadap sumber kekayaan

alamnya. Bahkan dibeberapa kasus ditunjukkan para perempuan mempunyai andil yang sangat

besar dalam regenerasi beberapa jenis tumbuhan dan konservasi sumberdaya hayati.

Wacana konservasi dalam sejarah kehutanan di Indonesia hanya memberi ruang diskriminasi dan

ekslusi terhadap masyarakat lokal/adat. Wacana pengelolaan sumber kekayaan alam dan

konservasi di Indonesia dimulai pada era kolonial Hindia-Belanda, melalui skala besar untuk

memenuhi kebutuhan pasar (Damayanti 2008). Praktik pengelolaan demikian berlanjut ketika

Indonesia merdeka hingga saat ini. Perijinan konsesi-konsesi, baik di sektor kehutanan melalui Ijin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH); di pertambangan melalui Ijin Usaha Pertambangan

(IUP); di perkebunan dengan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi instrumen penting dalam

pengelolaan alam di Indonesia. Tentunya, pihak-pihak yang mampu ‘mengakses’ (legal) ijin

tersebut adalah pemilik modal yang cukup besar-kuat untuk memperoleh hak kelola yang bahkan

seolah menjadi hak milik. Akibatnya praktik-praktik pengelolaan alam dan upaya perlindungan

keanekaragaman hayati (kehati) yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan/atau adat tidak (begitu)

‘diperhatikan’ dan diberi ruang yang sama oleh pemerintah/negara.

Wajah pengelolaan konservasi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan wajah pengelolaan

sumberdaya alam di Indonesia. Diskursus konservasi adalah memberikan perlindungan dan

melakukan pengawetan sumberdaya alam yang dilaksanakan oleh Negara/Pemerintah. Sedangkan

kerangka eksploitasi terhadap kekayaan alam terus berjalan dengan masif. Ranah konservasi

‘dipisahkkan’ dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam. Akibatnya terdapat kehancuran

terhadap sumberdaya alam. Jika dilihat dari sumber kekayaan alam-hutan, diketahui bahwa

kawasan hutan dan perairan konservasi-lindung mempunyai luasan total mencapai 126an juta ha.

Luas kawasan konservasi hanya mencakup 21.76% atau 27.429.555,99 ha (KLHK 2016).

Selanjutnya, kondisi kawasan hutan konservasi saat ini hanya 17.531.700 ha yang mempunyai

tutupan huta dengan baik (KLHK 2016).

Tabel 2 Luas kawasan hutan dan perairan serta kondisi tutupan hutan

Jenis Kawasan Hutan Luasan

(ha)

Kondisi Tutupan Hutan

(ha)

Kawasan konservasi 27.429.555,99 17.531.700

Hutan lindung (HL) 29.673.382,37 24.042.800

Hutan produksi terbatas (HPT) 26.798.382,01 21.808.800

Hutan produksi tetap (HP) 29.250.783,10 18.448.600

Hutan produksi dapat di konversi (HPK) 12.942.295,24 6.687.500

Luas darat 120.773.441,71

Luas darat dan perairan 126.094.366,71

Sumber: (KLHK 2016)

Diskursus yang dominan berkembang hingga saat ini adalah penyelenggaraan konservasi yang

hanya terfokus pada kawasan hutan. Penyelenggaraan konservasi di luar kawasan hutan seolah

tidak memiliki mandat konservasi, jikapun ada masih mempunyai prasarat yang normatif dan

bersifat pelengkap. Kekayaan ruang, baik plasma nutfah lokal yang dikelola oleh masyarakat

lokal/adat, terutama kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya, belum diakomodir oleh

peraturan-perundangan yang ada. Penyelenggaraan konservasi juga menyangkut ruang dan

sumberdaya lanskap masyarakat lokal/adat. Jika sumber kekayaan alam yang telah diusahakan

lama oleh masyarakat bisa diakomodir sebagai penyelenggaraan konservasi, maka telah juga

memberikan jaminan kelompok paling rentan, perempuan, dalam menjaga keanekaragaman

hayati.

Masyarakat lokal dan/atau adat memanfaatkan sumber kekayaan alam sesuai dengan kebutuhan.

Pemanfaatan sumber kekayaan alam tersebut kecenderungan untuk kebutuhan lokal rumah

Page 9: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

tangga ataupun komunitas. Praktik ini memungkinkan pemanfaatan sesuai dengan keadaan

alamiah sumber alam yang ada ataupun jika berlebihan terdapat mekanisme institusi lokal dalam

perbaikan. Hal ini terjadi karena terdapat makna, alam lingkungan bukan sebagai lapangan

komoditas untuk pasar, tetapi alam sebagai ruang tempat hidup. Sehingga jika masyarakat

lokal/adat melakukan pemanfaatan dan ekstraksi secara berlebih, maka ruang dan lingkungan

hidupnya akan rusak, berujung pada rusaknya kehidupan masyarakat.

Bentuk praktik-praktik yang diterapkan oleh masyarakat merupakan upaya pemenuhan

kebutuhan hidupnya, baik secara individu, rumah tangga, dan komunitas. Praktik pemanfaatan

tersebut ‘dibarengi’ upaya perlindungan dan/atau konservasi alam atau kehati oleh masyarakat

(indigeous peoples and community conserved territories and areas). Sayangnya hal seperti ini

belum menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan negara.

Berdasarkan uraian di atas, maka diusulkan untuk melakukan pendefinisian masyarakat pada Bab I

Ketentuan Umum, penajaman Azas Keadilan yang didalamnya wajib mencantumkan keadilan

Gender, dan tujuan penyelenggaraan konservasi di Indonesia yang tidak membedakan jenis

kelamin dan kelas sosial pada BAB II Asas, Tujuan, dan Lingkup Pengaturan.

2.2. Koneksitas Bentuk-bentuk Konservasi di Indonesia

Ragam upaya konservasi telah dilakukan oleh banyak pihak, diantaranya pemerintah, badan

hukum, maupun masyarakat. Namun faktanya, bentuk konservasi yang dilakukan belum

menunjukkan adanya sinergi di antara ketiga pihak tersebut. Ketidaksinergian tersebut

berpotensi memunculkan konflik yang terjadi di lapangan yang berimplikasi pada ketidak

tercapaian tujuan penyelenggaraan konservasi sebagaimana yang dimaksud di dalam Bab II naskah

akademik.

Bentuk Konservasi Pemerintah

Berdasarkan surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tata Lingungan dan surat Direktur

Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam No.366/PIKA/IIKA/KSA.016/2016 tanggal 28 Juni 2016,

kawasan konservasi daratan dan laut di Indonesia mencapai luas 27.502.019,16 ha yang meliputi

51 unit Taman Nasional, 220 unit Cagar Alam, 123 unit Taman Wisata Alam, 77 unit Taman

Suaka Margasatwa, 27 unit Taman Hutan Raya (Tahura), 11 unit Taman Buru dan 49 unit

merupakan Kawasan Suaka Alam Kawasan Pelestarian Alam (KSA-KPA) dengan total jumlah

kawasannya 558 unit.2

Sementara dari 27.502.019,16 ha kawasan konservasi daratan dan laut, 1.686.148,96 ha areal

konservasi atau 22,56% berada di dalam wilayah adat (BRWA, 2016). Angka itu menunjukkan

masih tingginya potensi konfik yang terjadi antara masyarakat adat atau masyarakat lokal yang

tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Untuk meredam potensi konflik itu, melalui

RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu memberikan pengakuan

areal konservasi kelola masyarakat (AKKM), baik yang berada di dalam kawasan konservasi

maupun di luar kawasan ekosistem penting lainnya. Dengan demikian RUU Konservasi ini dapat

melindungi masyarakat, tidak terkecuali kelompok perempuan maupun kelompok rentan lainnya.

Bentuk Konservasi Badan Hukum

Kementerian Kehutanan melalui SK.5040/MENHUT-VI/BRPUK/2013 tanggal 21 Oktober 2013

telah mencanangkan areal hutan produksi yang akan di restorasi seluas 2.695.026 hektar.

Berdasarkan data Ditjen Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan (BRPUK) hingga akhir

Desember 2013 terdapat 47 pemohon yang telah memasukkan permohonan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Namun, baru sekitar 12

2 Lihat Statistik Direktorat Jenderal KSDAE, 2015.

Page 10: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

pemohon telah mendapatkan ijin dengan total areal 480.093 ha. Dari dua ua belas IUPHHK-RE

itu, di Provinsi Riau terdapat empat unit seluas 114,665 hektar, menyusul Sumatera Selatan dua

unit seluas 60,435 hektar dan Kalimantan Tengah dua unit seluas 145,406 hektar. Sementara

masing-masing satu unit Provinsi Jambi 46,358 hektar, Bengkulu 12,672 hektar, Kalimantan Barat

14,080 hektar, dan Kalimantan Timur 86,450 hektar dengan total 480,093 hektar.

Pemegang izin IUPHHK-RE untuk region Sumatera seluas 307.999 hektar dan Kalimantan seluas

245.936 hektar atau 24%. Sementara alokasi pemanfaatan Restorasi Ekosistem wilayah Papua

seluas 270.590 hektar, Maluku 245.235 hektar, Sulawesi 379.375 hektar, Kalimantan 480.310

hektar, Nusa Tenggara 103.960 hektar, dan Sumatera 312.210 hektar atau 74%. Total pemegang

IUPHHK-RE sampai tahun 2015, sebagai berikut:

No Nama Perusahaan Provinsi Luas (ha)

1 PT Restorasi Ekosistem Indonesia Sumatera Selatan 52,170

2 PT Restorasi Ekosistem Indonesia Jambi 46,385

3 PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia Kalimantan Timur 86,450

4 PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari Kalimantan Barat 14,080

5 PT Gemilang Cipta Nusantara Riau 20,265

6 PT Rimba Raya Conservation Kalimantan Tengah 37,151

7 PT Sipef Biodiversity Indonesia Bengkulu 12,672

8 PT Rimba Makmur Utama Kalimantan Tengah 108,255

9 PT Gemilang Cipta Nusantara Riau 20,450

10 PT Karawang Ekawana Nugraha Sumatera Selatan 8,300

11 PT Sinar Mutiara Nusantara Riau 32,830

12 PT Global Alam Nusantara Riau 36,850

13 PT The Best One Unitimber Riau 39,412

14 PT Alam Bukit Tigapuluh Jambi 38,665

Total 553,935

Sumber: Ditjen Usaha Jasa Lingkungan HP & HHBK, 20153

Bentuk Konservasi Masyarakat

Dalam perkembangan sekarang, masyarakat adat maupun masyarakat lokal memiliki berbagai

macam konservasi. Namun, hingga saat ini konservasi ala masyarakat adat maupun masyarakat

lokal itu, belum sepenuhnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya UU

Konservasi maupun RUU Konservasi yang menjadi inisiatif DPR sekarang. Sehingga, perlindungan

terhadap kearifan lokal sangat penting, karena pemanfaatan kehati pada umumnya berakar dari

kebiasaan masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Hal ini merupakan bagian dari Areal

Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).

Bentuk AKKM oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal, juga terdapat pada kawasan

ekosistem hutan. Kawasan ini merupakan kawasan di mana mayoritas masyarakat hukum adat

atau masyarakat lokal beraktifitas. Masyarakat lokal banyak melakukan kegiatan sehari hari di

hutan adat yang mereka miliki dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak

sebatas menggunakan, namun juga memiliki pola tata ruang yang digunakan untuk membagi

ruang-ruang hutan yang terdapat wilayah adatnya. Inilah yang dikatakan sebagai bagian dari

proses konservasi yang selama bertahun tahun dilakukan oleh masyarakat (Bima: 6).4 Selain itu,

3 Lihat dalam http://www.mongabay.co.id/2015/09/22/restorasi-ekosistem-skema-sembuhkan-hutan-

indonesia-yang-makin-diminati/ diakses tanggal, 9 Agustus 2017.

4 Lihat publikasi WGII tahun 2017.

Page 11: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

bentuk AKKM oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya terdapat di kawasan

ekosistem laut maupun perairan.

Ombo5 merupakan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan permukiman, hewan dan

tanaman tertentu, hutan, laut, mata air dan daerah aliran sungai, kelestarian lahan publik maupun

lahan adat, serta menjaga agar tidak terjangkit wabah penyakit yang ditata dan dikelola oleh

masyarakat Kalili. Dengan demikian, kearifan dalam mengelola alam yang tercermin dalam Ombo

itu menunjukkan bahwa pada zaman dahulu masyarakat adat Kaili telah memiliki konsep yang

jelas manajemen alam dan lingkungannya guna mewujudkan kedamaian, kesehatan, dan

kesejahteraan mereka secara rohani maupun jasmani. Contoh lain konservasi versi masyarakat,

seperti di Maluku dikenal dengan sasi atau larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam

jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada flora dan fauna untuk

memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak populasi sumberdaya alam

tersebut.6 Di Nusa Tenggara Timur dikenal dengan tatacara penangkapan ikan hiu, di Bali penyu

untuk upacara adat, di Papua dikenal dengan hutan keramat, dan Lebak dikenal dengan babagi leuweung di masyarakat adat Kasepuhan. Potret konservasi masyarakat ini merupakan bagian

kecil dari sekian banyak konservasi yang dimiliki oleh masyarakat di nusantara.

Sementara AKKM merupakan contoh tata kelola konservasi yang baik, efektif dan adil.

Pendekatan AKKM mengakui bahwa nilai-nilai budaya dan alam sangat terkait erat, dan bahwa

masyarakat setempat adalah kunci atau pelaku utama dalam mempertahankan hal tersebut.

AKKM bisa menyeimbangkan kebutuhan untuk melindungi ekosistem yang penting sekaligus

menjamin hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai pengelola wilayahnya, termasuk

perempuan di dalamnya. Dalam menghadapi beratnya tantangan perubahan iklim, dan kerentanan

banyak masyarakat adat dan miskin yang terkena risiko, AKKM menawarkan peluang baru untuk

melibatkan masyarakat untuk melestarikan dan mengelola aset dan jasa sumber daya alam secara

lestari.7

Pasal 4 pada UU No 5/1990 Tentang KSDAHE menyebutkan bahwa Konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta

masyarakat. Bab Penjelasan Pasal 4 bahwa “Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan

manusia, maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan

konservasi”. Selain itu, UU 5/1990 juga menyebutkan tentang kawasan suaka alam terdiri dari

cagar alam dan suaka margasatwa. Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai

kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi

sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.8

Paradigma ini menunjukan bahwa setiap kawasan konservasi tidak dapat dikelola, sementara jauh

sebelum penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah, masyarakat adat maupun masyarakat

lokal sudah berada di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi tersebut. Aturan ini sangat

membatasi ruang gerak masyarakat, dan tidak jarang masyarakat menjadi korban kriminalisasi.

Dengan adanya Putusan MK 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari

hutan Negara, kemudian disusul dengan penetapan sembilan hutan adat oleh Kementerian

5 Lihat I Wayan Nitayadnya, Ombo Sebagai Wujud Kearifan Lokal Masyarakat Kaili dalam Menjaga

Harmonisasi Alam. Lebih lengkap lihat majalah WALASUJI, Vol. 5 No. 1, Juni 2014.

6 Lihat http://jikti.bakti.or.id/maluku/sasi-kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-lingkungan-di-seram-barat diakses

tanggal, 12 Agustus 2017.

7 Lihat Cristina Eghenter, catatan AKKM dan Jasa Ekosistem, WGII, 2016 hal 13.

8 Pasal 14 huruf a, b. Pasal 15, Pasal 19 ayat (1).

Page 12: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal, 28 Desember 2016 yang diserahkan langsung

oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 30 Desember 2016. Dari sembilan hutan adat

itu, tiga diantaranya berada di kawasan konservasi, yaitu hutan adat Tau Taa Wana berada di

Cagar Alam di Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah seluas 3.988 hektar, hutan

adat Marga Serampas di Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi

seluas 24 hektar, dan hutan adat Kasepuhan Karang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak,

Kabupaten Lebak, Provinsi Banten seluas 462 hektar dengan total 4.474 hektar. Berdasarkan

fakta ini, tidak ada alasan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif yang merupakan

perpanjangan tangan masyarakat untuk mengatur sekaligus mengakomodir konservasi

masyarakat ke dalam RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini.

Bedasarkan pada perkembangan penetapan hutan adat sekarang, baik di dalam maupun di luar

kawasan konservasi, maka bunyi Pasal 78 dan Pasal 79 pada RUU KSDAHE versi 5 Juli 2017

perlu dirubah.

Pasal 78:

Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi … berupa:

a. daerah penyangga kawasan Konservasi; b. koridor ekologis atau Ekosistem penghubung; c. areal dengan nilai Konservasi tinggi; dan d. areal Konservasi kelola Masyarakat.

perlu dirubah menjadi: Ekosistem penting di dalam dan di luar Kawasan Konservasi … berupa:

e. daerah penyangga kawasan Konservasi; f. koridor ekologis atau Ekosistem penghubung; g. areal dengan nilai Konservasi tinggi; dan h. areal Konservasi kelola Masyarakat.

Penambahan kata “di dalam dan” juga untuk mengakomodir AKKM terlebih pada penetapan

hutan adat yang berada di areal konservasi. Penambahan kata “di dalam dan” juga dimaksudkan

untuk menghindari terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal

lainnya, terlebih pada perempuan dan kelompok rentan lainnya yang juga melakukan upaya

konservasi. Karena perempuan memiliki kedekatan terhadap sumber daya alam dan sumber-

sumber penghidupan lainnya, maka subjek pelaku konservasi tidak bisa dibedakan berdasarkan

jenis kelamin maupun kelas sosial tertentu.

Pasal 79 Ayat (2):

“Hutan adat dan/atau areal lain yang telah ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat dan berada di wilayah hutan Negara, tidak dapat diubah menjadi penggunaan lain dan dilindungi dari rencana perubahan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan penetapannya”.

Perlu dirubah menjadi:

“Hutan adat dan/atau areal lain yang telah ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat tidak dapat diubah menjadi penggunaan lain dan dilindungi dari rencana perubahan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan penetapannya”.

Page 13: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Bunyi Pasal 79 ayat (2) kata “dan berada di wilayah hutan Negara” di hapus, sehingga tidak

bertentangan dengan Putusan MK 35/2012. Kedua RUU Konservasi itu baik versi Badan Legislasi

tanggal 20 Juni 2017 maupun versi Komisi IV tanggal 5 Juli 2017 memberikan pengakuan AKKM

di luar kawasan penting lainnya, namun belum mengakui AKKM yang berada di dalam kawasan

konservasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip Asas Keadilan seperti yang tertuang di dalam

Bab II, termasuk prinsip keadilan sosial dan keadilan gender dalam upaya pembangunan nasional

yang berkelanjutan.

2.3. Perempuan dan Ragam Bentuk Konservasi

Ibu Bumi menjadi siloka yang tak pernah lekang oleh zaman dan selalu didengungkan dalam untuk

menjaga keberlanjutan alam dan lingkungan. Siloka ini menggambarkan adanya pengakuan

kedekatan perempuan (ibu) dengan alam, bahkan Warren (1996) menyebutnya sebagai twin domination. Kedekatan inilah yang kemudian menjadikan perempuan memiliki tanggung jawab

yang besar untuk mengkonservasi, merawat dan menjaga alam dengan baik demi

keberlangsungan hidup generasi mendatang. Interaksi yang cukup sering membuat perempuan

memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam menjaga dan merawat keberlangsung dan

keberlanjutan alam.

Seperti yang terjadi di Jawa Barat dan Banten, perempuan Kasepuhan Banten Kidul dan

perempuan Baduy melakukan upaya konservasi dengan beragam cara, diantaranya ngahuma

sebagai sumber penghidupan warga Kasepuhan yang dikelola dengan menggunakan sistem tanam

gilir balik. Hanafi, dkk menyebut huma sebagai manifestasi jati diri bagi masyarakat Kanekes dan

Kasepuhan Banten Kidul (2004:22), khususnya perempuan Kasepuhan dan Baduy/Kanekes yang

secara keseharian menjadi penjamin kebutuhan keluarga sekaligus menjamin keberlanjutannya.

Melalui sistem gilir balik yang dilakukan, perempuan Kasepuhan dan Baduy juga sekaligus menjaga

ketersediaan varietas bibit padi dan tanaman lokal lain, keberadaan tanaman obat, ketersediaan

air (kualitas maupun kuantitas), dan menjaga kualitas tanah.

Begitu pula dengan perempuan Mollo yang melakukan beragam upaya konservasi. Manggala,

menyebutkan upaya konservasi perempuan Mollo dilakukan di tiga tingkatan, yakni pada tingkat

genetik yaitu dalam pengawetan kultivar lokal; pada tingkat spesies yaitu dalam penggunaan

sumberdaya; dan pada tingkat ekosistem yaitu dalam pengetahuan-pengetahuan mengenai

ekosistem itu sendiri dan pendidikan konservasi yang mereka lakukan sebagai ibu (2014:4).

Adapun faktor pendukung yang mendasari gerakan konservasi perempuan Mollo dibagi menjadi

faktor internal yaitu sifat-sifat dasar perempuan dan faktor eksternal yang datang dari lingkungan

mereka, seperti dukungan dari kaum laki-laki, dewan adat, organisasi keagamaan, LSM, dan

masyarakat umum (2014:19). Begitu pula dengan Perempuan Ngata Toro, Perempuan Papua,

dan perempuan lain yang memiliki interaksi intensif dengan hutan, sawah, kebun, sebagai sumber

penghidupan mereka secara langsung.

Keseluruhan bentuk konservasi yang dilakukan oleh perempuan, sebagai bukti adanya

pengetahuan perempuan terhadap konservasi keanekaragaman hayati sebagai sumber

penghidupan dan kehidupan masyarakat. Pengetahuan ini juga memberikan kontribusi besar

pada penurunan emisi gas rumah kaca dan menjaga ketersediaan karbon. Untuk itu pelibatan

perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan konservasi menjadi

penting dilakukan. Sunkar dalam penelitiannya menegaskan bahwa perempuan juga penting

terlibat dalam program pembangunan pemberdayaan masyarakat, yang tak lain adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan lingkungan, ekologis, sosial dan ekonomi (2017:10)

Komitmen pelibatan perempuan belum terlihat di dalam RUU KSDAHE versi 5 Juli 2017. Untuk

itu, diusulkan untuk diejawantahkan di dalam beberapa pasal, diantaranya:

Page 14: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Pasal 1, ayat 19:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”

Diusulkan dilakukan perubahan menjadi:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu”

Penambahan frase “tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” sebagai bentuk

penegasan bahwa kelompok Perempuan, kelompok laki-laki, kelompok anak, kelompok generasi

muda dan kelompok marginal lainnya memiliki kesempatan mendapatkan akses, kontrol,

partisipasi dan manfaat yang sama dalam program pembangunan konservasi

Pasal 2, terkait Azas khususnya azas keadilan

Usulan penegasan terkait asas keadilan ini dapat dimasukkan ke dalam Bab Penjelasan.

Dimana Azas keadilan mengandung azas keadilan lingkungan, sosial, ekonomi dan gender.

Keadilan gender adalah perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan

proses kebijakan pembangunan nasional, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman,

kebutuhan, kesulitan, hambatan dari usaha-usaha pembangunan, untuk ikut beraprtisipasi

dalam pengambilan keputusan (seperti yang berakitan dengan kebutuhan, aspirasi) serta

dalam memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumber daya (seperti dalam

mendapatkan/penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredit, dll). Definisi ini

tercantum di dalam Permenhut LHK No. P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 2017

Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan

Kehutanan.

Pasal 3, ayat (e):

“Meningkatkan dan menjamin keberadaan dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati”

Diusulkan untuk diubah menjadi:

“Meningkatkan dan menjamin keberadaan dan peran serta masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu dalam penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati”

Penambahan frase “tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” merupakan

bentuk penegasan siapa masyarakat yang dimaksud untuk dapat turut serta berpartisipasi di

semua tingkatan.

2.4. Peran Serta Masyarakat

Saat ini, keberadaan kelompok perempuan dan kelompok marginal lain seolah dikemas dalam

kategori masyarakat secara umum di dalam UU No. 5/1990 maupun di dalam RUU Konservasi

yang sedang disusun. Namun faktanya penggunaan istilah masyarakat belum memberikan ruang

bagi kelompok perempuan dan kelompok marginal lain untuk turut serta terlibat dalam setiap

proses pengambilan keputusan pembangunan konservasi kehutanan. Seperti yang dijelaskan

sebelumnya, bahwa pengetahuan perempuan dalam konservasi belum mendapatkan pengakuan

yang seutuhnya.

Page 15: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Peran serta masyarakat di dalam RUU KSDAHE versi 5 Juli 2017 tercantum pada BAB II sebagai

salah satu asas, dan pada BAB XI tentang Peran Serta Masyarakat. Sebagai langkah nyata untuk

menjalankan pengarusutamaan gender dalam setiap pembangunan nasional, sesuai dengan

Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, maka BAB XI perlu untuk ditinjau ulang dan direvisi.

Peran serta yang dimaksud harus meliputi pengakuan praktik konservasi oleh masyarakat,

temasuk pengetahuan perempuan, serta pelibatan perempuan dan kelompok marginal lain dalam

setiap proses perumusan kebijakan

Pasal 167, Ayat (1):

“Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat”

Diusulkan untuk diubah menjadi:

“Penyelenggaraan Konservasi Keanekaragaman Hayati dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat, tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu”

Penambahan frase “tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” memiliki makna

peran serta masyarakat yang dimaksud adalah tidak diwakilkan pada satu kelompok masyarakat

tertentu dan atau pada satu kelas sosial tertentu. Peran serta masyarakat wajib melibatkan

seluruh elemen masyarakat yang turut berperan serta dalam upaya konservasi, termasuk

kelompok perempuan, kelompok anak, kelompok pemuda, dan kelompok rentan lainnya.

2.5. Rekomendasi

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, berikut adalah rekomendasi untuk penerapan RUU

KSDAHE yang berkeadilan gender:

a. Pada Pasal 1 direkomendasikan perlu ada penambahan definisi tentang masyarakat.

Masyarakat yang dimaksud perlu diberi penjelasan siapa masyarakat yang dimaksud dalam

Ketentutan Umum, dimana perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya perlu

disebutkan secara eksplisit sebagai bentuk penegasan pengakuan kepada mereka selaku

pelaku konservasi di lapangan.

b. Pasal 1, Ayat 19 diusulkan untuk ada penegasan “tidak membedakan jenis kelamin dan

kelas sosial tertentu” pada definisi setiap orang

c. Pasal 2, khususnya asas keadilan. Penjelasan asas keadilan yang perlu dilengkapi dengan

asas keadilan gender. Penjelasan ini jika tidak memungkinkan dicantumkan di dalam pasal,

maka dapat dimasukkan ke dalam Bab Penjelasan

d. Pasal 3, ayat (e) perlu ada penegasan jaminan pencapaian tujuan terselenggaranya program

konservasi keanekaragaman hayati ini tanpa membedakan jenis kelamin dan kelas sosial

e. Pasal 78 diusulkan penambahan frasa “……di dalam dan diluar kawasan…..”

f. Pasal 79 diusulkan untuk menghapus frasa “…..dan berada di wilayah hutan negara…….”

g. Pasal 167 Ayat (1) perlu penegasan tanpa membedakan jenis kelamin dak kelas sosial

tertentu.

Perjuangan Perempuan dan kelompok rentan lainnya adalah perjuangan untuk membuat mereka

dilihat, diakui keberadaannya, diakui dan dilindungi hak-haknya, dan dilibatkan secara aktif dalam

pengambilan keputusan di semua tingkatan (keluarga, komunitas, organisasi, negara). Untuk itu,

hal yang dibutuhkan untuk pencapaian kebijakan yang berkeadilan gender adalah:

Page 16: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

1. Menempatkan mereka (perempuan dan kelompok rentan lain) sebagai subyek dalam

pengambilan keputusan pembangunan di berbagai tingkatan.

2. Memperkuat kembali pengetahuan perempuan dalam melakukan upaya konservasi atas

ruang hidupnya.

3. Membangun dan atau memperkuat kesadaran kritis perempuan dan kelomok rentan lain

atas hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, perempuan desa, perempuan

adat, sebagai warga negara, dan lain sebagainya.

Memastikan perempuan sebagai pelaku konservasi yang sesungguhnya dan memastikan terlibat

dalam setiap proses pengambilan keputusan program pembangunan kehutanan dan konservasi di

semua tingkatan, maka akan turut memastikan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan

generasi mendatang.

Page 17: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

BAB 3. PEER REVIEW Dari Konservasi Sentralistik ke Konservasi Berkeadilan Gender:

KEADILAN GENDER SEBAGAI AKSI AFFIRMATIF DALAM RUU

PENGGANTI UU KSDAHE

Oleh: Siti Maimunah, M. Kesos

DPR RI sedang melakukan pembahasan Rancanngan Undang Undang (RUU) pengganti Undang-

Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

(KSDAHE) – yang selanjutnya disebut RUU Konservasi. UU KSDAHE ini sudah diberlakukan

hampir tiga dekade lalu. Dalam naskah akademik yang disusun DPR RI versi Mei 2016, disebutkan

UU KSDAHE diubah karena urgensi berkaitan dengan: a) perluasan paradigma makna

konservasi, b) lingkup pengaturan yang diperluas dalam kontek ruang (darat, laut dan udara

serta di luar kawasan suaka alam dan pelestarian alam) dan subtansi termsuk konten perjanjian

internasional, c) kewenangan Pemerintah dan Pemda, d) data dan info keragaman hayati, e)

keberadaan masyarakat adat dan peran serta masyarakat, f) pendanaan, g) penyelesaian sengketa

dan h) penegakan hukum dan sangsinya.

Sebuah tim kerja koalisi masyarakat sipil telah menyusun kertas kebijakan (policy paper) sebagai

masukan atas RUU Konservasi yang sedang dibahas DPR RI. Kertas kebijakan berjudul "Analisis

Teks dan Konteks: Meninjau RUU Konservasi yang Berkeadilan Gender" ini menggunakan

pendekatan Gender Impact Assessment (GIA). GIA digunakan untuk melakukan analisis RUU

Konservasi yang disusun Komisi IV (versi 5 Juli 2017) – selanjutnya disebut RUU KKH dan

melihat pula RUU Konservasi versi bahan Panja (versi 12 Juni 2017) –yang selanjutnya disebut

RUU KSDAHE sebagai bahan perbandingan. GIA yang diperkenalkan oleh European Commission (EC) sejak 2006 merupakan salah satu metode untuk memastikan terjadinya gender mainstreaming. GIA biasanya dilakukan sebagai tahap awal setiap pembuatan kebijakan untuk

mengukur hasil yang diprediksi beserta implikasi yang akan timbul (2016: 6-7). EC menyebutkan

bahwa Gender impact assessment is the process of comparing and assessing, according to gender relevant criteria, the current situation and trend with the expected development resulting from the introduction of the proposed policy (EIGE, 2016:8).

Naskah ini bermaksud memberikan review atas kertas kebijakan yang disusun oleh koalisi NGO

ini sehingga mampu dengan tajam memperlihatkan kesenjangan gender dalam RUU Konservasi,

mengidentifikasi implikasi gender potensial dan memberikan masukan perbaikan RUU

Konservasi. Review ini akan disusun dalam bentuk point-point yang memberikan tanggapan

terhadap subtansi keadilan gender sebagai berikut:

3.1.1. Maskulinitas Perjalanan UU No. 5/1990 & Misi Pemulihan Keragaman Hayati

dalam RUU Konservasi

Kertas kebijakan ini perlu menunjukkan latar menyejarah penyusunan dan pelaksanaan UU

KSDAHE yang berkarakter maskulin serta urgensi penggantiannya saat ini, dan apa dampak yang

telah dihasilkannya terhadap pengikisian keragaman hayati di Indonesia serta penghormatan

terhadap HAM. UU KSDAHE disusun dan diberlakukan sejak masa rejim otoritarian yang

memperlakukan alam dan keragaman hayati di dalamnya sebagai komoditas pasar. Perlakuan yang

diteruskan oleh rejim-rejim pemerintahan berikutnya, melalui keluarnya konsesi-konsesi

kehutanan, perkebunan, pertambangan dan kelautan untuk korporasi-korporasi skala besar.

Setelah melewati lima rejim pemerintahan dan kini masa rejim keenam – pemerintahan Jokowi,

jelas sekali perbandingannya: sekitar 82 persen, atau 159 juta hektar lahan dikuasai oleh

korporasi dalam bentuk konsesi-konsesi kehutanan, perkebunan dan pertambangan (Walhi,

Page 18: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

2018)9. Penguasaan dan alih fungsi lahan besar-besaran di atas membawa Indonesia menjadi

negara dengan penurunan jenis keragaman hayati tertinggi secara global, mencapai 21% sejak

1996 hingga 2008.

Pada pidato peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017, Presiden Jokowi menegaskan perlunya

dilakukan sebuah koreksi besar (corrective action) dengan melakukan terobosan sehingga

pengelolaan hutan menjadi lebih baik10. Akan sangat baik jika dihubungkan semangat aksi

korektif itu dengan mempertegas tujuan penggantian UU No 5 Tahun 1990 dalam ramgka

memperbaiki “prestasi buruk” Indonesia yang menjadi satu dari 7 negara di dunia dengan

kehilangan keanekaragaman hayati yang tertinggi sepanjang 1996-2008, bahkan laju kehilangan

jenisnya tertinggi di dunia11. Oleh karenanya, kertas kebijakan ini harus menekankan RUU

Konservasi mempunya misi percepatan pemulihan hilangnya keanekaragaman hayati dan

dampaknya bagi alam dan masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok marginal lainnya.

3.1.2. Membalik Krisis Akibat Konservasi sentralistik yang mengeksklusi

masyarakat sekitar hutan dan keragaman hayati yang selama ini mereka kelola

Kertas kebijakan ini berhasil memaparkan dengan kritis pandangan terhadap pembangunan dan

setting up penyusunan UU No.5/1990. Namun perlu lebih tajam menghubungkannya dengan

eksklusi masyarakat sekitar kawasan konservasi, sehingga RUU konservasi mencegahnya tidak

berulang. Kertas kebijakan ini mengkritisi tiga aspek peting UU No.5/1990. Pertama, corak

pengelolaan dalam sistem pemerintahan sentralistik, yang tidak memberikan ruang kelola kepada

institusi yang berada pada pemerintah daerah. Kedua, bersifat hegemoni, membatasi partisipasi

setiap pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal - termasuk kelompok perempuan,

anak muda dan kelompok rentan lainnya. Ketiga, corak pengelolaan masih mencakup

perlindungan dan pengawetan sumber kekayaan alam, belum menyentuh, bahkan melarang

adanya pemanfaatan sumber kekayaan alam. Inilah yang mengakibatkan konflik berkepanjangan

antara negara dengan masyarakat sekitar hutan, termasuk eksklusi masyarakat adat dan

masyatakat lokal dari hutannya.

Namun lebih jauh kertas kebijakan ini penting menekankan semangat aksi korektif terhadap UU

No. 5/1990 sehingga membuka ruang lebih luas bagi : a) sistem desentralisasi dengan

menyertakan pemerintah lokal, b) membuka partisipasi setiap pemangku kepentingan, khususnya

masyarakat lokal - termasuk kelompok perempuan, anak muda dan kelompok rentan lainnya, c)

memperluas ruang pemanfaatan kekayaan alam dalam kerangka konservasi keanekaragaman

hayati dan d) memperluas ruang lingkup konservasi tak hanya dimaknai sebagai kawasan

konservasi tapi juga areal konservasi kelola masyarakat (AKKM). Dengan begitu, RUU ini

memiliki kesempatan membalikkan krisis yang terjadi. Sehingga konservasi keragaman hayati bisa

memberikan harapan perbaikan kualitas hidup bagi 10,2 juta penduduk yang masih belum

sejahtera dan tersebar pada sekitar 25.863 desa yang masuk kawasan hutan (Media Indonesia,

20/12/16).

3.1.3. Affirmative Action: Respon terhadap relasi gender, hilangnya keragaman

hayati & pemiskinan perempuan

Page 19: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Hubungan masyarakat, laki-laki dan perempuan dengan hutan telah terbangun bahkan sebelum

lahirnya negara Republik Indonesia. Saat ini sekitar 25.863 desa berada di dalam kawasan hutan,

dan menggantungkan kehidupannya dari hasil keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem.

Separuh pendapatan perempuan dan sepertiga pendapatan laki-laki pada masyarakat yang tinggal

di sekitar hutan diperoleh dari hutan (Roda, Jean-Marc et al, 2007). Perempuan memiliki peran

konservasi keanekaragaman hayati begitu kuat – seperti yang dipaparkan dalam naskah pada

halaman 11-12. Namun peran-peran itu tak nampak, apalagi diperhitungkan. Di sinilah

ketidakadilan gender bekerja, membuat peran perempuan dalam konservasi keanekaragaman

hayati tidak nampak, bahkan penderitaannya pun tidak tampak. Sebab di saat yang sama,

pembangunan sektor kehutanan pada masa Orde Baru memberikan dampak terhadap

perempuan yang tinggal di sekitar hutan. Hilangnya keanekaragaman hayati meningkat ketika

intensitas eksploitasi meningkat (Kessler 2003). Indonesia menjadi jajaran negara yang memiliki

jumlah jenis terancam punah tertinggi di dunia.

Jelas upaya konservasi keanekaragaman hayati bukan sesuatu yang netral gender. Pun dampak

penurunan keanekaragaman hayati akibat pembangunan juga tidak netral jender. Sebab laki-laki

dan perempuan memainkan peran berbeda dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya

keanekaragaman hayati. Perempuan biasanya melestarikan dan mengelola sumber daya hayati

untuk memenuhi kebutuhan pangan dan obat-obatan keluarga, sementara laki-laki lebih sering

menggunakannya untuk mendapatkan penghasilan. Inkuiri Nasional Masyarakat hukum adat

Komnas HAM (2015) menyebutkan perusakan hutan telah mengakibatkan hilangnya

pengetahuan tradisional yang berdampak pada melemahnya peran perempuan dalam rumah

tangga dan dalam ritual adat. Situasi ini sering kali menyebabkan mereka tidak dilibatkan dalam

proses pengambilan keputusan termasuk dalam proses pengolahan hasil hutan. Belum lagi

hilangnya keragaman hayati dan sumber ekonomi dan sumber pangan, yang sangat berhubungan

dengan peran perempuan dalam menyediakan pangan keluarga. Pada akhirnya perempuan harus

memikul beban ganda dan dimiskinkan.

Penting kertas kebijakan ini tak hanya menunjukkan "kemampuan" tapi juga menunjukkan

hambatan dan tantangan yang dihadapi perempuan yang membuat mereka "tidak nampak" baik

dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, maupun terdampak oleh hilangnya

keanekaragaman hayati. Dengan begitu usulan penambahan frase “tanpa membedakan jenis

kelamin dan kelas sosial tertentu” dalam pasal-pasal RUU Konservasi serta penegasan tentang

Azas keadilan (keadilan lingkungan, sosial, ekonomi dan gender) dalam pasal-pasal penjelasan tak

hanya dimaknai sebagai penegasan, mestinya sebagai tindakan affirmatif untuk memastikan akses,

kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama dalam pembangunan konservasi, sekaligus menghapus

ketidakadilan gender.

3.1.4. Penutup & Rekomendasi: dari Konservasi Sentralistik ke Konservasi

Berkeadilan Gender

Kertas kebijakan ini akan lebih kuat jika menekankan bahwa perubahan UU KSDAHE mestinya

sejalan dengan semangat pemerintah untuk melakukan aksi korektif terhadap sifat sentralistik

UU KSDAHE yang justru menyebabkan Indonesia mengalami pengikisan keanekaragaman hayati

tertinggi di dunia. Sifat-sifat sentralistik UU KSDAHE meliputi: 1) model pengelolaan yang

sentralistik, 2) bersifat hegemoni karena partisipasinya adalah partisipasi semu, belum

mengedepankan semua pemangku kepentingan khususnya masyarakat lokal, termasuk kelompok

perempuan, kelompok anak muda dan kelompok rentan lainnya. 3) Praktek pengelolaan hanya

mencakup perlindungan dan pengawetan sumber kekayaan alam, belum menyentuh, bahkan

melarang adanya pemanfaatan sumber kekayaan alam.

Sifat-sifat sentralistik di atas kemudian membentuk: a) Upaya konservasi dan ekstraksi dijalankan

seiring. Terbukti banyak konsesi-konsesi perusahaan ekstraksif diberikan pada kawasan lindung

Page 20: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

yang kemudian mengeksklusi masyarakat adat dan masyarakat lokal, bahkan merusak pusat-pusat

keragaaman hayati. b) Konservasi keragaman hayati dan upaya pelestariannya memberikan

perhatian sangat besar pada keragaman hayati di dalam hutan, meninggalkan upaya konservasi di

luar hutan – termasuk yang dilakukan masyarakat khususnya oleh perempuan dan masyarakat

adat. c) Konsep konservasi menjadi sempit menghilangkan realitas di masyarakat, khususnya

berkaitan (i) dalam masyarakat terdapat kelompok laki-laki dan perempuan serta kelompok

rentan lainnya dengan kelas sosial beragam; (ii) eksistensi masyarakat adat baik yang

mempraktekkan daur pengelolaan konservasi sumber daya alam termasuk juga upaya

pemanfaatannya. Situasi ini membawa Indonesia pada jajaran negara yang paling besar kehilangan

keanekaragaman hayatinya, dan catatan konflik agraria yang terus meningkat.

Oleh karenanya rekomendasi terhadap perubahan UU KSDAHE yang sentralistik menjadi

berkeadilan gender penting untuk berfokus kepada tiga hal:

Pertama, Upaya pemulihan. Upaya-upaya konservasi yang dilakukan dalam UU pengganti UU

KSDAHE tak cukup memberi pengaturan yang lebih baik ke depan tapi juga membawa mandat

upaya pemulihan. Upaya pemulihan ini sudah terakomodasi pada RUU Konservasi, tapi penting

ditunjukkan tak mungkin dilakukan tanpa mengubah paradigma sentralistik UU KSDAHE,

termasuk tidak adil gender. Pada prakteknya, pemulihan juga tak mungkin terjadi tanpa

melakukan sinergi bentuk-bentuk-bentuk konservasi yang sudah dilakukan oleh para pihak,

termasuk masyarakat – baik laki-laki dan perempuan, serta badan hukum.

Kedua. Upaya afirmasi memastikan asas keadilan tersurat sebagai keadilan lingkungan, sosial,

ekonomi dan keadilan gender . Oleh karenanya penting memperlengkapi dan menegaskan Asas

Keadilan dalam pasal 2 RUU Konservasi yang saat ini hanya dimaknai sebagai keadilan dalam

ekonomi dan teknologi menjadi keadilan yang berdimenasi keadilan lingkungan, sosial, ekonomi

dan keadilan gender. Konsekwensinya adalah penambahan kata "masyarakat" dengan “tanpa

membedakan jenis kelamin dan kelas sosial tertentu” dalam pasal-pasal RUU Konservasi dan

penjelasannya. Upaya ini merupakan sebuah tindakan yang mendesak, tindakan affirmatif untuk

memastikan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama didapat oleh masyarakat dalam

pembangunan konservasi, sekaligus menghapus ketidakadilan gender.

Ketiga. Mengakomodasi Putusan MK 35/2012. Pasal-pasal dan penjelasan dalam RUU Konservasi

ini memastikan mengakomodasi Putusan MK 35/2012 yang menetapkan bahwa hutan adat tidak

lagi bagian hutan negara.

Page 21: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, tanpa tahun. http://digilib.unila.ac.id/8518/11/BAB%20I.pdf

Anonim, tanpa tahun. http://www.forda-mof.org/files/Social%20Forestry.pdf

Anonim, 2017. Mempercepat Reforma Agraria Dalam Rangka Kebijakan Pemerataan Ekonomi.

Kantor Staf Presiden. Bahan Presentasi, Tidak di publikasikan. Jakarta

Anonim, 2016. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Kantor Staf Presiden.

Jakarta

Awang, Sanafri. 2002. Perkembangan Kehutanan Sosial dan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.

Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Metodologi

Partisipasi dalam PSDABM, Ciwidey, Bandung. FKKM, CIFOR dan WN.

Awang, Sanafri, 2005. Negara, Masyarakat Dan Deforestasi (Konstruksi Sosial Atas Pengetahuan

Dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah). Disertasi. Gadjah Mada

University. Yogyakarta.

Carig E.T. 2012. Benefits and Constraints of Community-Based Forest Management in the

Philippines. International Journal of Humanities and Applied Sciences 1 (2): 73-77.

Djadjapertjunda, Sadikin. 2002. Hutan and Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor: IPB

Press.

Do A.T., Nguyen B.N., Vo D.T. and Le T.A. 2011. Enabling Diverse Governance Structures for

Community Forest Management.

Hadjon, P.M., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Harsono, B., 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan pada masa Orde Baru dan

Reformasi. Yayasan Obor. Jakarta

Hakim, Ismatul dkk, 2010. Social Forestry, Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan

Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,

Kementerian Kehutanan. Bogor

Holleman, J.F. (ed.), 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Selections from Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië Vol. I and Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoff.

Malik, Arizona, Y., dan Muhajir, M., 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai

Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.

Nguyen T.Q. and Sikor T. 2011. Forest Land Allocation: An Overview of Policy Framework and

Outcomes. In Sikor T. and Nguyen T.Q. Realizing Forest Rights in Vietnam: Addressing

Issues in Community Forest Management. RECOFTC – The Center for People and

Forests, Bangkok, Thailand.

Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java.

Berkeley: University of California Press.

Pulhin J.M., Inoue M., and Enters Th. 2007. Three decades of community-based forest

management in the Philippines: Emerging lessons for sustainable and equitable forest

management. International Forestry Review 9(4): 865–883.

Pulhin J.M. and Inoue M. 2008. Dynamics of Devolution Process in the Management of the

Philippine Forests. International Journal of Social Forestry 1(1): 1–26.

Rofi’i Ikhwanun, 2015. https://www.kompasiana.com/ikhwan.parkonar/hutan-indonesia-bagian-1-

lahirnya-sebuah-kebijakan-phbm_54f432087455137f2b6c88cf

RECOFTC. 2014. Community forestry adaptation roadmap to 2020 for Vietnam. RECOFTC The

Center for People and Forests. Bangkok, Thailand.

Safitri, M.A. dan Uliyah, L. 2014. Adat di Tangan Pemerintah Daerah: Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta:

Epistema Institute.

Santoso, Hery, dkk, 2015. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Percepatan Proses Pengelolaan

Hutan Berbasis Masyarakat. Partnership Policy Paper. Kemitraan. Jakarta

Page 22: ANALISIS TEKS DAN KONTEKS: MENINJAU ......yang tidak diinginkan tersebut. Penilaian ini melibatkan pendekatan bercabang ganda: posisi terkait gender saat ini dalam kaitannya dengan

Simon, Hasanu. 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Manageemnt): Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Siscawati, Mia dan Muayat Ali Muhshi. 2008. Perjalanan Konsep, Kebijakan dan Praktek

Kehutanan Masyarakat di Indonesia. FKKM. Tidak dipublikasikan.

Soepardi, R. 1974. Hutan dan Kehutanan Dalam Tiga Zaman Vols 1-3. Jakarta: Perum

Perhutani.

Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta:

Kanisius.

Suh J. 2012. The Past and Future of Community-Based Forest Management in the Philippines.

Philippine Studies: Historical and Ethnographic Viewpoints 60 (4): 489–511.

Suraya, Affif. 2017. Percepatan, Penguatan dan Pengembangan Perhutanan Sosial di Masa Depan.

Power Point Presentasi dalam Panel 1 Percepatan Perhutanan Sosial. Tunure

Conference 2017.Jakarta.

Tangketasik, Jansen. 2010. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/130313-D%2000628-

Antara%20negara-Pendahuluan.pdfTaqwaddin, 2012. Sejarah Ringkas Pengaturan

Kehutanan Indonesia.

http://kph.menlhk.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=985:sejar

ahringkaskehutananindonesia-olehtaqwaddinhusein&Itemid=199

Tolo, Emilianus Yakob Sese, 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia.

https://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-

indonesia/

Wiratno, 2017. Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial

di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke 54. Yogyakarta.

Wibowo, A. dkk., 2015. Kertas Kebijakan Perkumpulan HuMa. “Penetapan Hutan Adat menuju

Pengakuan Hak Masyarakat Adat”. Jakarta: HuMa.