aplikasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

xszz

Citation preview

2.4.1 Pengolahan Efluen Uranium dengan Cara PengeringanPercobaan terhadap efluen proses kimia yang ada di 6 jeligen yang mengandung uranium berkisar 0,19 s/d 1 g/l dengan cara pengeringan. Tujuannya adalah pemungutan uranium dari efluen dan filtratnya dikeringkan untuk disimpan sementara dalam bentuk padatan kering. Cara yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode gravimetri. Mula-mula 50 ml efluen uranium dengan keasaman 2,71 s/d 5,94 N dinetralkan dengan natrium hidroksida teknis sampai dengan pH = 7, disaring dan filtratnya panaskan sampai kering, hasilnya ditimbang dan disimpan dalam keadaan kering. Dari hasil pengeringan dapat dihitung berat efluen uranium kering yang dihasilkan dan natrium hidroksida teknis yang dibutuhkan untuk memproses efluen uranium yang ada di ruang HR 24A gedung 65 B3N - PTBN. Dari percobaan diperoleh hasil bahwa dari 6 varian efluen uranium (masing - masing 50 ml) yang dikeringkan menghasilkan efluen uranium kering berkisar antara 7,88 s/d 21,34 g dan membutuhkan natrium hidroksida berkisar antara 4,78 s/d 10,91g. Dari data percobaan ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengeringkan efluen uranium sebanyak 120 L dihasilkan padatan kering sebanyak 28,69 kg dan dibutuhkan 16,67 kg natrium hidroksida teknis (kristal) (Yudhi, dkk., 2009).

Mulai

Penetralan dengan NaOH

Filtrasi

Filtratnya dipanaskan hingga kering

Penimbangan Filtrat

Disimpan dalam keadaan kering

Selesai

2.1 Aplikasi Kromatografi Kertas Identifikasi Zat Warna Sintetis pada Agar-Agar Tidak Bermerk yang Dijual di Pasar Doro Pekalongan dengan Metode Kromatografi KertasMakanan agar-agar merupakan salah satu produk makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat terutama anak-anak. Dalam perkembangannya, makanan telah banyak diproduksi dengan beraneka ragam warna dan rasa yang enak, salah satunya adalah makanan agar-agar yang dijual di Pasar Doro Pekalongan.Makanan agar-agar yang diambil untuk penelitian diambil langsung dari pasar yang ada di Doro Pekalongan. Sampel diambil empat macam warna diantaranya merah, hijau, kuning dan orange dari lima jumlah warna.Prosedur pemeriksaan secara kualitatif dengan metode kromatografi kertas adalah sebagai berikut :1. Sejumlah 3 buah agar-agar dimasukkan dalam beaker glass dan diasamkan dengan CH3COOH 6 % dengan pH 4. 2. Bulu domba di cuci dengan rinso kemudian direndam selama 24 jam, di kering anginkan sampai benar-benar kering dan dijenuhkan dengan eter.3. Sampel dipanaskan sampai zat warnanya dapat terserap pada bulu domba.4. Benang wol diambil, dirnasukkan cawan porselen kemudian dicuci berulang-ulang dengan air hingga bersih.5. Ditambahkan ammonium hidroksida l2,5 % dan dipanaskan hingga zat wama pada benang wol luntur.6. Benang wol diambil dan lunturan dipekatkan.7. Hasil pekatan ditotolkan pada kertas kromatografi dan ditotolkan juga baku pewarna yang sesuai dengan warna sampel. Dieluasikan dengan jarak rambat eluasi 12 cm, penotolan contoh 2 cm dari tepi bawah kertas kromatografi.8. Diencerkan 5 ml amoniak pekat dengan aquades hingga 100 ml dan ditambahkan 2 gr trinatrium sitrat untuk larutan pengembang, lalu lakukan metode kromatografi kertas terhadap sampel.(Susilowati, 2006)2.5.1 Flowchart Aplikasi Identifikasi Zat Warna Sintetis pada Agar-Agar Tidak Bermerk yang Dijual di Pasar Doro Pekalongan dengan Metode Kromatografi KertasMulai

Dimasukkan agar agar ke dalam beaker glass

Diasamkan dengan CH3COOH 6% dengan pH 4

Bulu domba direndam selama 24 jamdikeringkan hingga benar benar kering

Dijenuhkan dengan eter

Benang wol dimasukkan ke dalam cawanporselen, dicuci berulang ulang dengan air

Ditambahkan amonium hidroksida 12,5 %

Dipanaskan hingga zat warna wol luntur

Benang wol diambil dan lunturan dipekatkan

Diencerkan 5 ml amoniak pekat dengan aquades hingga 100 ml dan ditambahkan 2 gr trinatrium sitrat untuk larutan pengembang

Dilakukan kromatografi kertas

Selesai

NITRASISintesis dan Karakteristisasi Poli (eter-sulfon) dan Poli ( eter sulfon) Ternitrasi sebagai Material Membran untuk Imobilisasi LipaseEnzim merupakan katalis yang potensial digunakan dalam skala laboratorium maupun skala industri karena sifatnya yang menguntungkan. Akan tetapi, penggunaan enzim juga memiliki berbagai keterbatasan seperti tidak dapat digunakan kembali setelah digunakan, biaya operasional yang mahal, serta ketidakstabilannya terhadap suhu yang tinggi, pelarut organik, asam, basa, maupun pengocokan secara mekanik. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan imobilisasi enzim pada solid support yang sesuai. Salah satu polimer yang potensial untuk dijadikan solid support bagi enzim seperti lipase adalah poli(eter sulfon) yang memiliki stabilitas termal yang tinggi, ketahanan mekanik yang baik, serta resistan terhadap berbagai zat kimia. Modifikasi terhadap PES dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya sebagai solid support bagi lipase. Salah satu modifikasi yang perlu dilakukan dan dioptimasi lebih lanjut adalah dengan menambahkan gugus nitro pada PES. Sehingga menghasilkan PES dan PES ternitrasi sebagai starting material untuk imobilisasi lipase. Pertama-tama dilakukan sintesis poli (eter-sulfon) dengan tiga cara yang berbeda. Selanjutnya dilakukan sintesis nitrohidrokuinon. Kemudian dilakukan sintesis PES ternitrasi. Dan langkah terakhir adalah penentuan massa molekul dan viskositas intrinsik polimer (Handayani, dkk, 2010).

Dilakukan Sintesis Poli (eter-sulfon) dengan prosedur keitokoMulai

Disintesis Poli (eter-sulfon) dengan polimerisasi kondensasi tanpa toluena

Disintesis Poli (eter-sulfon) dengan polimerisasi melalui bantuan microwave

Dilakukan Sintesis Hidrokuinon

Dilakukan Sintesis PES ternitrasi

Ditentukan Massa Molekul dan Viskositas Intrinsik Polimer

Selesai

ISOLASI ZAT WARNAPROFIL KROMATOGRAM DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN KEMUNING (Murraya paniculata (L.) Jack.) TERHADAP BAKTERI Escherichia Coli IN VITRODaun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack) mengandung senyawa kimia yang merupakan metabolit sekunder seperti minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, saponin, damar, dan tanin. Untuk mengetahui kandungan senyawa kimia dalam suatu tanaman dapat digunakan metode KLT (kromatografi lapis tipis).Ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack.) diperoleh dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 40 %. Direndam dan didiamkan selama 1 hari. Disaring dengan kain flanel ke dalam mangkuk porselain. Sisa ampas direndam lagi dengan etanol dan diperlakukan sama dengan sebelumnya. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan diatas tangas air dengan suhu 55 oC hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh dilakukan uji profil kromatogram.Untuk profil kromatogram, sebanyak 5 mg ekstrak kental dilarutkan dalam alkohol absolut kemudian ditotolkan pada lempeng KLT Silikagel GF 254 (eMerck) Masukkan ke dalam bejana pengembang yang berisi cairan pengembang yaitu eluen etil asetat. Kemudian dieluasi sampai batas 10 cm dari titik pusat awal penotolan. Setelah sampai batas, lempeng KLT diangkat dan dibiarkan mengering. Kemudian diamati dibawah lampu UV Spectroline model ENF - 280 C/FE dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Bercak yang nampak dihitung jumlah dan lihat warna fluoresensi yang nampak. Setelah itu diukur harga Rf-nya. Jumlah bercak menggambarkan banyaknya komponen senyawa yang ada didalamnya, harga Rf dan warna bercak dicocokkan dengan pustaka untuk mengetahui golongan senyawanya (Dwi, 2007).

Mulai

Ditimbang daun kemuning kering sebanyak 200 gram

Diekstrak dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 40 %

Direndam dan didiamkan selama 1 hari

Disaring dengan kain flanel ke dalam mangkuk porselain

Residu direndam lagi dengan etanol dan diperlakukan sama dengan sebelumnya

Ekstrak diuapkan di atas tangan air dengan suhu 55 oC hingga kental

Sebanyak 5 mg ekstrak kental dilarutkan dalam alkohol absolut

Larutan ditotolkan pada lempeng KLT Silikagel GF 254 (eMerck)

Masukkan ke dalam bejana pengembang berisi eluen etil asetat

Dieluasi sampai batas 10 cm dari titik pusat awal penotolan

Lempeng KLT diangkat dan dibiarkan mengering

Diamati di bawah lampu UV Spectroline model ENF 280 C/FE dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm

A

A

Dihitung jumlah bercak yang nampak dan lihat warna fluorensi yang nampak

Diukur harga Rf-nya

Uji aktivitas antibakteri

Selesai

SABUNPembuatan Sabun Mandi Gel Alami dengan Bahan Aktif Mikroalga dan Minyak AtsiriDewasa ini, sabun mandi sudah menjadi kebutuhan primer untuk semua manusia. Banyak jenis sabun mandi yang ada di pasaran, salah satunya adalah sabun mandi gel yang kebanyakan menggunakan bahan sintetik sebagai komponen penyusunnya sehingga berbahaya bagi kulit manusia. Oleh karena itu, diperlukan inovasi baru menggunakan bahan aktif alami sebagai komponen penyusunnya seperti serbuk Chlorella pyrenoidosa dan minyak atsiri yang memiliki sifat anti bakteri.Metode pembuatan sabun mandi gel alami dibagi menjadi dua tahap yaitu pembuatan sabun mandi cair terlebih dahulu dilanjutkan dengan proses perubahan sabun mandi cair menjadi sabun mandi gel. Cara pembuatan sabun mandi gel alami berawal dari pencampuran minyak-minyak yang digunakan ke dalam crock pot sambil dipanaskan, lalu pencampuran larutan alkali (KOH dan K2CO3) dengan aquadest pada wadah yang lain. Lalu, larutan alkali dituangkan ke dalam campuran minyak sambil diaduk hingga mencapai tahap trace (menyusut, mengental membentuk padatan). Dilakukan pengadukan dengan interval waktu 20 menit selama 2,5-3 jam. Ketika telah padat dan lunak, pasta sabun didilusikan dengan air agar menjadi sabun cair. Selanjutnya sabun cair dirubah menjadi sabun gel. Pertama, mendispersikan sepimax zen dengan aquadest panas lalu diaduk hingga rata. Sabun cair yang sudah dingin dimasukkan ke dalam campuran tersebut sedikit demi sedikit sambil terus diaduk perlahan. Ditunggu sabun hingga dingin, dimasukkan bahan aktif alami. Sabun mandi gel alami selesai dibuat (Nurhadi, 2012).

Mulai

Dimasukkan minyak - minyak ke dalam crock pot

Campuran minyak dipanaskan

Dicampurkan KOH dan K2CO3 dengan aquadest dalam wadah lain

Dituang larutan alkali ke dalam campuran minyak sambil diaduk

Pasta sabun didilusikan dengan air membentuk sabun cair

Didispersikan sepimax zen dengan aquadest panas pada wadah lain lalu diaduk

Sabun cair yang sudah dingin dimasukkan ke dalam campuran tersebut sedikit demi sedikit

Ditunggu hingga sabun dingin

Dimasukkan bahan aktif alami

Selesai

Kajian Penggunaan Selulosa Mikrobial Sebagai Bahan Baku Pembuatan KertasSelulosa mikrobial merupakan jenis selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti genus Acetobacter, Agrobacterium, Rhizobium, Sarcina, dan Valonia. Namun, Penghasil selulosa mikrobial yang paling efisisen adalah dari genus Acetobacter terutama bakteri Acetobacter xylinum. Selulosa mikrobial mempunyai karakteristik yang unik dan relatif lebih unggul dari selulosa kayu terutama tingkat kemurniaannya. Proses pembuatan media untuk starter diawali dengan penyaringan air kelapa. Air kelapa yang telah disaring kemudian dimasak selama 2 jam setelah itu ditambahkan gula dan asam asetat. Dengan komposisi dalam 1 litter air kelapa, membutuhkan 40 gram gula dan 6 ml asam asetat. Setelah itu, media diletakan dalam wadah berukuran 30 x 30 cm untuk didinginkan selama 1 hari. Media yang telah dingin dicampurkan dengan starter dan difermentasi. Perbedaan media untuk starter dan produksi selulosa mikrobial terdapat pada jumlah gula dan asam asetat yang ditambahkan. Proses purifikasi dilakukan dengan pemasakan selulosa mikrobial menggunakan NaOH 1 % pada 60 oC selama 20 menit.Menurut Scramm dan Hestrin (1954) sintesis selulosa dari glukosa dalam suspensi bakteri yang berkembang biak merupakan pengaruh dari fungsi oksigen. Produksi selulosa tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh nitrogen. Kecepatan produksi selulosa dapat disebabkan karena konsentrasi sel pada pertumbuhan kultur dalam zona permukaan yang diaerasi. Gas CO2 dihasilkan bersamaan dengan pertumbuhan kultur ditandai dengan munculnya gas CO2 yang mengangkat jaringan ke permukaan (Hardiyanti, 2010).Mulai

Disaring 1 liter air kelapa

Ditambahkan Gula 26,67 g dan Asam asetat 4,8 ml

Dilakukan pemasakan 2 jam

Didinginkan selama 1 malam

Inokulasi dengan Acetobacter xylinum48 %

Dihasilkan selulosa mikrobial

Selulosa mikrobial dipanaskan dengan suhu 60 oC

Ditambahkan NaOH 1%2.2.1 Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kelarutan Kukurmin dari Tepung Kunyit (Cucurma domestica Val ) pada Berbagai Suhu AirBahan yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang kunyit yang diperoleh dari pasar tradisional dengan jenis rimpang adalah rimpang jari (fingers) dan diupayakan untuk jenis serta ukuran yang relatif sama. Di samping rimpang kunyit, bahan lainnya adalah aquadest. Adapun alat yang digunakan adalah pisau stainless steel, timbangan analitik dan triple beam balance, panci perebusan, kompor gas, beaker glass, erlenmeyer, gelas ukur, stirrer dan magnetik, pengaduk, kertas saring, oven biasa, baskom, blander, saringan, alu dan mortal, label, tissue, sendok, plastik kemasan, packing plastik, Lovibond.2.2.1.1 Penyediaan Bahan Rimpang kunyit dengan jenis rimpang jari (fingers) yang diperoleh dari pasar tradisional, terlebih dahulu disortasi dengan tujuan memisahkan rimpang yang benar-benar berkualitas baik dengan jenis rimpang yang kisut, rusak, serta dari bahan lain yang mungkin sebagai bahan kontaminasi. Selanjutnya dicuci bersih untuk membuang kotoran yang mungkin melekat, kemudian ditiriskan untuk mendapatkan kondisi yang kering. 2.2.1.2 Pembuatan Bubuk Kunyit A. Peeling dan Trimming Perlakuan peeling ditujukan untuk membuang kulit rimpang kunyit dan trimming adalah tindakan untuk membuang bagian sisa (material waste). Setelah peeling dan trimming, dilakukan pencucian ulang untuk memperoleh kondisi yang lebih bersih. B. Blanching Rimpang kunyit diblanching dengan uap air yaitu dengan cara mengkukus rimpang pada suhu 82 oC-85 oC selama 4-5 menit. Alasan penggunaan uap air adalah untuk menghindari / mengurangi kemungkinan terlarutnya warna kuning dalam air saat blanching. C. Perolehan Bubur Kunyit Rimpang kunyit yang telah diblanching selanjutnya diblander untuk mendapatkan fase bubur yang relatif halus. Diupayakan agar saat pemblanderan, penambahan air tidak terlalu banyak sehingga bubur yang diperoleh tidak mengandung air yang berlebih dan mudah untuk dikeringkan. D. Pengeringan Bubur Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven biasa pada suhu yang berbeda, sesuai dengan perlakuan yang diinginkan dan lamanya waktu yang diperlukan. Pada saat pengeringan, secara pasti bubur akan memadat atau membatu. Di kala kondisi seperti ini dapat dilakukan upaya penggilingan ulang dengan mortal, selanjutnya hasil gilingan dapat diovenkan kembali. Jika dibutuhkan, penggilingan dengan mortal dapat dilakukan untuk kedua kalinya. Kondisi bubuk kering yang diinginkan, jika bahan yang dikeringkan telah memberikan penampakan gembur-gersang sebagaimana kondisi tepung kering. Proses pengeringan dapat dihentikan bila bahan yang dimaksud sudah memberikan penampakan yang benar-benar gembur-gersang sebagaimana kondisi tepung diterima oleh masyarakat secara umum Kelarutan kurkumin atau daya pewarnaan tepung kunyit : - Ditimbang masing-masing sampel tepung kunyit yang telah diperoleh melalui pengeringan pada suhu yang berbeda sebanyak 0,2 gr. - Kemudian dimasukkan dalam air pelarut sesuai dengan suhu air pelarut yang diinginkan yaitu suhu air kran, 40 oC, 55oC, 70 oC, 85 oC dan 100 oC.- Dikocok selama 1 menit, setelah itu disaring dan diamati dalam Tintometer-Lovibond. - Data yang diperoleh dari Lovibond (dengan derajat kemerahan dan kekuningan) dikonversi dalam rumus : D = 10R + Y Di mana; R = Red/merah Y= Yellow/kuning - Sehingga diperoleh suatu angka mutlak Misalkan : dari pengamatan Lovibond diperoleh merah 6,7 dan kuning 63,2 Maka; D = 10R + Y = 10(6,7) + 63,2 = 130,2 = angka mutlakDari hasil penelitian yang telah dilakukan, secara umum dapat diketahui bahwa suhu pengeringan dan suhu air pelarut memberi pengaruh terhadap kelarutan senyawa kurkumin atau kurkuminoid. Pengaruh dari kedua factor tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1Tabel 2.1 Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kelarutan KurkuminTaraf Suhu Pengeringan Kelarutan Kurkumin

B1 ( 50 oC) B2 ( 60 oC) B3 (70 oC) 5,63 5,65 5,44

Setelah dilakukan analisa statistik, diketahui bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kelarutan kurkumin. Untuk mendapatkan tingkat kelarutan kurkumin yang tertinggi maka suhu pengeringan yang baik adalah 60 0C.

Tabel 2.2 Pengaruh Suhu Air Pelarut Terhadap Kelarutan KurkuminTaraf Suhu Air Pelarut Kelarutan Kurkumin

P1 (air keran) P2 (40 0C) P3 (55 0C) P4 (70 0C)P5 (85 0C) P6 (100 0C) 1,83 2,84 3,00 4,83 7,79 13,14

MulaiDari Tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa tingkat kelarutan kurkumin yang tertinggi ditunjukkan oleh P6 (100 0C) sebesar 13,14 dan yang terendah adalah P1 (air kran)sebesar 1,83. Kelarutan kurkumin yang diujikan pada beberapa taraf suhu air suhu maksimum 100 oC artinya, suhu air yang semakin meningkat maka jumlah kurkumin yang dapat larut akan semakin besar (Naibaho & Sinambela, 2011).

Rimpang kunyit disortasi lalu dicuci bersih kemudian ditiriskan

Kulit dan bagian sisa rimpang kunyit dibuang lalu dicuci ulang

Rimpang kunyit dikukus pada suhu 82 oC-85 oC selama 4-5 menitmengkukus rimpang pada suhu 82 oC-85 oC selama 4-5 menitmengkukus rimpang pada suhu 82 oC-85 oC selama 4-5 menit

Rimpang kunyit diblander

Rimpang kunyit dikeringkan dengan menggunakan oven biasa pada suhu yang berbeda (50 oC, 60 oC, 70 oC)

Bubur kunyit yang memadat atau membatu digiling ulang dengan mortal dan diovenkan kembali

Bubur kunyit disaringTidak

Apakah bubuk kunyit sudah kering seperti tepung? Ya

Dilakukan uji kelarutan kurkumin pada berbagai suhu airYa

Selesai

Aplikasi Kenaikan Titik Didih Pemisahan Kardanol dari Minyak Kulit Biji Mete dengan Metode Destilasi VakumPotensi jambu mete (Anacardium occidentale) di Indonesia cukup besar. Produksi jambu mete dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1999produksi jambu mete mencapai 88.658 ton gelondong, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 94.439 ton. Produksi ini akan terus meningkat, mengingat Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan telah melaksanakan berbagai program untuk memacu perluasan dan peningkatan produksi jambu mete, khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Tanaman jambu mete memiliki keunggulan karena dapat dikembangkan pada daerah yang memiliki kondisi agroekologi marginal dan beriklim kering, sehingga merupakan komoditas andalan di Kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Produk utama tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) adalah kacang mete, sedangkan produk ikutannya buah semu dan minyak kulit biji mete (CNSL). Sampai saat ini, baik buah semu maupun kulit mete belum dimanfaatkan secara maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Potensi produksi CNSL di Indonesia cukup besar. Menurut Muljohardjo, persentase kulit mete di dalam gelondong sekitar 45 - 50%, dan kandungnan CNSL di dalam kulit sekitar 18 - 23%.Komponen utama penyusun CNSL terdiri atas asam anakardat, kardanol dan kardol. Komponen-komponen ini merupakan senyawa fenolik yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai cabangnya. Senyawa kardanol mempunyai struktur kimia yang mirip dengan fenol, sehingga berpeluang mensubstitusi senyawa fenol. Perbedaannya, senyawa kardanol memiliki rantai cabang tak jenuh (C15) pada posisi meta dari inti fenolnya. CNSL dan kardanol memiliki kegunaan yang luas dalam industri kimia. Resin berbasis kardanol banyak digunakan untuk kanvas rem kendaraan sebagai pengikat atau bubuk friksi, pelapis permukaan seperti cat anti karat, vernis dan laminating. Kardanol juga dapat digunakan sebagai bahan pengikat bata, beton, baja dan kayu lapis, dan memiliki sifat tahan terhadap kelembaban, asam dan alkali. Produk kardanol lainnya yang telah dimanfaatkan diantaranya sulphonated ether cardanol sebagai wetting agent pada industri tekstil, dan amino cardanol ether sebagai aditif pada minyak mineral karena dapat memperbaiki viksositas minyak mineral, menghambat pembentukan endapan dan memiliki sifat antioksidan. Wax dengan titik lebur yang tinggi dapat dibuat dari resin kardanol, dengan mereaksikan kardanol (3 pentadecyl phenol) dengan Dichlorobutane. Wax tersebut lebih murah dan memiliki titik lebur 90-93 oC (Risfaheri, dkk, 2004).

2.1 Aplikasi Fermentasi (Pembuatan Tempe)Pembuatan Ragi Tempe dari Beras Ragi tempe merupakan bibit yang dipergunakan untuk pembuatan tempe. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai starter tempe. Ragi tempe mengandung jamur Rhizopus sp. yang dikenal pula sebagai jamur tempe. Secara tradisional, jamur untuk starter pembuatan tempe biasanya diambil dari daun pisang bekas pembungkus tempe pada waktu pembuatan, atau daun aru atau jati yang dikenal dengan sebutan usar. Namun demikian, penggunaan daun pisang atau usar ini sangat terbatas dan hanya untuk produksi kecil-kecilan. Untuk produksi yang lebih besar, starter tempe dibuat dengan memperbanyak jamur tempe (Rhizopus sp.) pada media tertentu. Selanjutnya, spora yang dihasilkannya diawetkan dalam keadaam kering bersama medium tempat tumbuh jamur tempe tersebut. Dengan teknik seperti ini kualitas tempe yang diproduksi akan terjamin, karena dosis penggunaan starter dapat diatur.Proses pembuatannya adalah, pertama beras dicuci sampai bersih, kemudian ditanak hingga menjadi nasi dan didinginkan. Pada nasi tersebut kemudian ditaburkan tepung tempe sebanyak 1% dari berat beras yang digunakan dan diaduk sampai merata. Simpan nasi yang telah ditaburi bubuk tempe di atas tampahbambu yang bersih dan diatasnya ditutupi dengan lembaran plastik atau daun pisang. Simpanlah tampah yang berisi nasi tadi di tempat pemeraman yang bersih hingga seluruh nasi ditumbuhi dengan jamur tempe. Jamur tempe yang telah menghasilkan spora akan tampak berwarna hitam. Tutup plastik atau daun pisang sewaktu-waktu harus dibuka. Jemurlah nasi yang telah ditumbuhi jamur tadi di bawah terik matahari hingga kering merata. Tumbuk atau giling nasi yang telah kering sampai halus dan selanjutnya diayak. Bagian yang halus dari hasil saringan ini merupakan starter tempe. Encerkan starter tempe ini dengan tepung beras yang telah digoreng sangan. Untuk setiap 10 gram starter tempe tambahkan 50-100 gram tepung beras. Simpanlah starter yang telah diencerkan dalam kantong-kantong plastik (Rochintaniawati, 2010).

Mulai

Beras dicuci sampai bersih

Ditanak hingga menjadi nasi

Ditambahkan tepung tempe sebanay 1%dari berat beras

Diaduk sampai rata

Simpan ditempat yang bersih hingga nasiditumbuhi jamur

Jemur dibawah sinar matahari hingga kering

Tumbuk nasi yang telah kering kemudiandiayak

Bagian halus hasil saringan adalah starter temep

Selesai

ALKOHOL Sakarifikasi Simultan dan Fermentasi Tongkol Jagung menjadi Bio-Etanol oleh Aspergillus Niger dan Saccharomyces CerevisiaeProduksi bio - etanol dari jagung adalah teknologi yang tidak membuat penurunan yang signifikan dalam biaya produksi. Pengurangan biaya besar mungkin jika selulosa berbasis limbah pertanian seperti tongkol jagung digunakan sebagai pengganti jagung. Dalam studi ini, tongkol jagung yang berada di kelimpahan dan tidak mengganggu ketahanan pangan disakarifikasi simultan dan difermentasi dengan Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae selama 7 hari. Tongkol jagung yang dikeringkan, digiling menjadi bubuk menggunakan palu penggilingan dan disimpan pada suhu kamar (25 oC) sebelum digunakan. Media tumbuh yang digunakan untuk kultur Aspergilus niger dan Saccharomyces cerevisiae inokulum yang disiapkan masing-masing. Parameter seperti hasil biomassa, berat kering, konsentrasi gula pereduksi, pH fermentasi menengah dan hasil etanol ditentukan pada interval 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragi dan biomassa kapang hasil yang diperoleh dari tongkol jagung hari ke-7 adalah 0,59 ( OD ), sedangkan berat kering sel mikroba diperoleh pada hari yang sama adalah 0,88 mg/cm3. Substrat dihidrolisis untuk menghasilkan 0,63 mg/cm3 konsentrasi gula pereduksi. Nilai pH dari medium fermentasi bervariasi antara 3,05 dan 7,58. Hasil etanol yang optimal dari 10.08 v / v diperoleh setelah 7 hari fermentasi. Hasil ini menunjukkan bahwa limbah pertanian yang mengandung gula difermentasi tidak bisa lagi dibuang ke dalam lingkungan kita, tetapi harus dikonversi ke produk yang bermanfaat seperti bio - etanol (Itelima, dkk., 2013).

70 120 gran tongkol jagung dikeringkan Tongkol jagung yang sudah kering ditumbuk dan disaring dengan saringan halus45 gram bubuk tongkol jagung ditambahkan 500 ml airMulai

Diautoklaf pada suhu 121 oC

Didinginkan pada suhu ruangan

Diinokulasi dengan 0,11 (OD) spora A. Niger

Diinkubasi pada shaker dengan kecepatan pengadukan 300 rpm selama 5 hari

Dianalisa etanol yang dihasilkan

Selesai