23
MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010 ISSN 1979 6239 Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L) 91 APLIKASI AGENSIA HAYATI ATAU INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KUBIS (Brassica oleracea L.) Oleh: Liliek Mulyaningsih Fakultas Pertanian Universitas Soerjo Ngawi ABSTRACT The aim of the research was to study the effectiveness of biological control agents to the population of two most popular pests on cabbage. The experiment was conducted by Randomized Complete Block Design with five replications. The treatments were Control as P0, Entomophatogen Nematode Steinernema carpocapsae (All Strain) as P1, Bacillus thuringiensis var Kurstaki as P2, Bacillus thuringiensis var Aizawai as P3 and Insectiside Profenofos as P4. The experiment was carried out at Mount Lawu Slope area, in the village of Hargomulyo, Ngrambe District, Ngawi Regency, East Java (+ 700 m asl). Application of biological agents or insecticide was conducted once per week (P2,P3,P4) and per two weeks (P1) until 7 days before harvest. Experimental plots were 6m x 5m with 0,5m distance among plots. Observations were: (1) Population Plutella xylostella Linn and Crocidolomia binotalis Zell, (2) Gross weight of crop on harvest period, (3) Percentage of Crop damage, and (4) Percentage of plants which was no crop. The result showed that Profenofos was the most effective agent to control population of Plutella xylostella Linn and Crocidolomia binotalis Zell followed by Nematode Steinernema carpocapsae (All Strain),Bacillus thuringiensis var Aizawai respectively. On the other hand, application of biological agents by Bacillus thuringiensis var Kurstaki was the worst. Application of biological agents was not effective for Crocidolomia binotalis Zell. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tanaman kubis (Brassica olera- cea L.) sangat penting bagi kehidupan manusia, karena bisa menyediakan 25% vitamin yang diperlukan tubuh. Pada ta- naman kubis, bagian y6ang mengan- dung vitamin diantaranya adalah daun sebanyak 100 gram terkandung vitamin A sejumlah 80 mg, vitamin B sejumlah 0,06 mg, Vitamin C sejumlah 50mg, protein sejumlah 1,4 gr, lemak sejum- lah 0,2 gr, karbohidrat sejumlah 5,3 gr, Ca sejumlah 46 gr dan phospor sejum- lah 31 mg. Disamping itu tanaman ku- bis juga membamtu pencernaan, mene- tralkan zat asam dan banyak mengan- dung serat serta dapat mencegah penyakit sariawan (Pracaya, 1993). Sampai saat ini tingkat produksi tanaman kubis secara kuantitas maupun kualitas masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan antara lain tanah sudah miskin unsure hara, pemupukan yang tidak berimbang, organisme pengganggu tanaman, cuaca dan iklim (Setiawati, 1996) Tanaman kubis merupakan salah satu komoditi hortikultura yang penting bagi masyarakat khususnya konsumen dan petani kubis. Upaya untuk meningkatkan produksi kubis sampai saat ini masih mengalami kendala akibat serangan hama utama kubis yaitu Plutella

APLIKASI AGENSIA HAYATI ATAU INSEKTISIDA DALAM ... fileMEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010 ISSN 1979 – 6239 Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

  • Upload
    dinhtu

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

91

APLIKASI AGENSIA HAYATI ATAU INSEKTISIDA DALAM

PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell

UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KUBIS (Brassica oleracea L.)

Oleh:

Liliek Mulyaningsih

Fakultas Pertanian

Universitas Soerjo Ngawi

ABSTRACT

The aim of the research was to study the effectiveness of biological control agents

to the population of two most popular pests on cabbage.

The experiment was conducted by Randomized Complete Block Design with five

replications. The treatments were Control as P0, Entomophatogen Nematode

Steinernema carpocapsae (All Strain) as P1, Bacillus thuringiensis var Kurstaki as P2,

Bacillus thuringiensis var Aizawai as P3 and Insectiside Profenofos as P4. The

experiment was carried out at Mount Lawu Slope area, in the village of Hargomulyo,

Ngrambe District, Ngawi Regency, East Java (+ 700 m asl). Application of biological

agents or insecticide was conducted once per week (P2,P3,P4) and per two weeks (P1)

until 7 days before harvest. Experimental plots were 6m x 5m with 0,5m distance among

plots. Observations were: (1) Population Plutella xylostella Linn and Crocidolomia

binotalis Zell, (2) Gross weight of crop on harvest period, (3) Percentage of Crop

damage, and (4) Percentage of plants which was no crop.

The result showed that Profenofos was the most effective agent to control

population of Plutella xylostella Linn and Crocidolomia binotalis Zell followed by

Nematode Steinernema carpocapsae (All Strain),Bacillus thuringiensis var Aizawai

respectively. On the other hand, application of biological agents by Bacillus

thuringiensis var Kurstaki was the worst. Application of biological agents was not

effective for Crocidolomia binotalis Zell.

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Tanaman kubis (Brassica olera-

cea L.) sangat penting bagi kehidupan

manusia, karena bisa menyediakan 25%

vitamin yang diperlukan tubuh. Pada ta-

naman kubis, bagian y6ang mengan-

dung vitamin diantaranya adalah daun

sebanyak 100 gram terkandung vitamin

A sejumlah 80 mg, vitamin B sejumlah

0,06 mg, Vitamin C sejumlah 50mg,

protein sejumlah 1,4 gr, lemak sejum-

lah 0,2 gr, karbohidrat sejumlah 5,3 gr,

Ca sejumlah 46 gr dan phospor sejum-

lah 31 mg. Disamping itu tanaman ku-

bis juga membamtu pencernaan, mene-

tralkan zat asam dan banyak mengan-

dung serat serta dapat mencegah penyakit

sariawan (Pracaya, 1993).

Sampai saat ini tingkat produksi

tanaman kubis secara kuantitas maupun

kualitas masih tergolong rendah. Hal ini

disebabkan antara lain tanah sudah

miskin unsure hara, pemupukan yang

tidak berimbang, organisme pengganggu

tanaman, cuaca dan iklim (Setiawati,

1996)

Tanaman kubis merupakan salah

satu komoditi hortikultura yang penting

bagi masyarakat khususnya konsumen

dan petani kubis. Upaya untuk

meningkatkan produksi kubis sampai saat

ini masih mengalami kendala akibat

serangan hama utama kubis yaitu Plutella

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

92

xylostella Linn dan Crocidolomia

binotalis Zell. Kedua hama tersebut

dapat menyerang secara bersama-

sama dan saling bergantian

(Ashari,1995).

Apabila tidak dilakukan pengen-

dalian dapat mengakibatkan kehilangan

hasil mencapai 100 persen pada musim

kemarau. Upaya pengendalian hama

kubis yang biasa dilakukan petani de-

ngan menggunakan insektisida sintetik

yang dilakukan secara terjadwal, berle-

bihan dan secara terus menerus, banyak

menimbulkan dampak negatif yang

serius. Alternatif pengendalian yang

berwawasan lingkungan dengan me-

manfaatkan agensia hayati perlu di

terapkan dan dikembangkan, sehingga

dapat menjaga keberadaan musuh alami

(Permadi,1993).

Hama Plutella xylostella Linn

dan Crocidolomia binotalis Zell meru-

pakan hama utama yang sulit di kenda-

likan secara kimiawi, karena jika secara

terus menerus dikendalikan dengan

insektisida sintetik, hama utama kubis

tersebut semakin resisten terhadap in-

sektisida yang umum digunakan petani

(Tang, et al, 1988). Menurut Mau dan

Kessing (1992), penggunaan insektisida

terutama golongan organofosfat, ben-

zoil Urea dan piretroid menimbulkan

resistensi terhadap hama Plutella xylos-

tella Linn Strain Lembang.

Sampai saat ini upaya pengenda-

lian secara konvensional sering di laku-

kan oleh kebanyakan petani Indonesia

yang lebih menekankan penggunaan

insektisida kimiawi dengan frekuensi

penyemprotan yang tinggi (Setiawati,

1996). Penggunaan insektisida kimiawi

jika tidak bijaksana akan menimbulkan

dampak negatif baik secara ekonomi,

kesehatan maupun ekologi. Selain

mempunyai spektrum luas yang tidak

hanya membunuh hama sasaran, in-

sektisida kimiawi juga dapat membu-

nuh parasitoid, predator danhama bu-

kan sasaran yang berarti dapat meng-

ganggu keseimbangan alami serta dapat

menyebabkan timbulnya strain-strain

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

yang tahan (Untung, 1996).

Konsep perlindungan tanaman

ditujukan kepada Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) yang bertujuan untuk

mengurangi penggunaan pestisida dan

pupuk kimia sehingga dapat meng-

hasilkan produk pertanian yang bebas

bahan kimia seperti pestisida dan pupuk

kimia. Pengendalian Hama Terpadu

(PHT) pada hakekatnya dititik beratkan

pada pengendalian secara biologi dan

cara lain yang tidak atau sedikit meng-

ganggu keseimbangan alami yaitu pada

ekosistem pertanian terjaga keseimba-

ngan antara populasi hama dan populasi

musuh alaminya (Permadi, 1993).

Pengendalian hayati memberikan

keuntungan yang paling utama yakni

tidak mencemari lingkungan dan biaya

yang dikeluarkan lebih murah hanya

tingkat keberhasilannya memang masih

lebih rendah dibandingkan dengan

pengendalian secara kimiawi. Sheiton et

al (1995) mengemukakan bahwa

penggunaan bioinsektisida sebagai

agensia hayati makin memperoleh per-

hatian besar karena bahaya penggunaan

pestisida kimiawi yang kurang tepat

dapat menimbulkan resistensi, resurjensi

dan peledakan hama kedua.

Agensia hayati bakteri yang banyak

dikembangkan dan digunakan saat ini

untuk mengendalikan hama adalah

bakteri Bacillus thuringiensis.

Keunggulan pemakaian bakteri ini karena

selektivitasnya yang tinggi. Setiap strain

hanya layak dipakai untuk me-

ngendalikan kelompok serangga tertentu

dan pengaruhnya sebagai racun baru bisa

terlihat jika termakan oleh serangga

perusak tanaman, sehingga relatif aman

terhadap serangga lain yang tidak

memakan bagian tanaman (Novizan,

2002). Menurut Mau dan Kessing (1992)

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

93

Bacillus thuringiensis adalah

mikroorganisme yang bersifat patogen

terhadap jenis serangga hama dari ordo

Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera.

Namun yang menjadi masalah bahwa

Bacillus thuringiensis di laporkan telah

menimbulkan resistensi. Menurut

Glaugler dan Kaya, (1993), resistensi

hama utama kubis terhadap serangan

Bacillus thuringiensis akibat petani

secara terus menerus menggunakan

insektisida yang sejenis, dengan dosis

dan frekuensi yang semakin meningkat.

Bertumpu pada kejadian-kejadian

tersebut, maka dilakukan pengem-

bangan perlakuan terhadap jenis bioin-

sektisida lain yang memiliki patoge-

nesitas tinggi terhadap inangnya. Salah

satunya adalah nematoda entomopato-

gen. Jenis-jenis nematoda entomopato-

gen yang umumnya digunakan sebagai

pengendali serangga hama adalah

Steinernema spp dan Heterorhabditis

spp. Kedua jenis entomopatogen terse-

but sangat potensial untuk mengenda-

likan serangga hama ordo Lepidoptera,

Coleoptera dan Diptera (Chaerani et al,

1995). Glaugler dan Kaya (1993), me-

ngatakan bahwa nematoda entomopato-

gen mempunyai beberapa kelebihan,

yaitu bersifat virulen terhadap inang-

nya, membunuh serangga inang dengan

cepat, mempunyai kisaran inang yang

luas, tidak berbahaya bagi serangga

bukan sasaran dan mudah dibiakkan se-

cara in vivo maupun in vitro (media

buatan di Laboratorium).

Saat ini telah banyak biopestisida

yang dijual secara komersial untuk

mengendalikan berbagai hama dan

penyakit pada tanaman hortikultura.

Pada umumnya bahan aktif patogen

serangga atau antagonis patogen tana-

man dari biopestisida ini mempunyai

kisaran inang yang luas. Oleh karena

itu pengaruh negatif terhadap hama bu-

kan sasaran termasuk musuh alami per-

lu dikaji lebih dahulu sebelum di guna-

kan pada suatu areal yang luas (Anonim,

2003). Pemanfaatan agensia hayati dan

musuh alami merupakan salah satu

pengendalian alternatif yang dapat di

berdayakan dan dikembangkan di Indo-

nesia, karena tidak menimbulkan dampak

yang negatif terhadap organisme bukan

sasaran dan lingkungan, dan mudah

penggunaannya dengan biaya yang lebih

murah dibanding dengan insektisida

sintetik. Peran musuh alami di lapang

perlu dilestarikan dan di tingkatkan

aktivitasnya. Salah satu pendekatan yang

dapat dilakukan yaitu penggunaan

insektisida selektif dalam hal penggu-

naannya maupun sifat bahannya yang

spesifik terhadap sasaran.

Penggunaan formulasi terhadap

nematoda entomopatogen untuk me-

ngendalikan hama dilakukan dengan cara

penyemprotan formulasi tersebut ke

permukaan daun tanaman secara merata.

Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya

pelapisan pada permukaan daun. Adanya

pelapisan dari bahan formulasi nematoda

entomopatogen dan bahan perekat pada

permukaan daun akan berpengaruh

terhadap masuknya cahaya matahari dan

pertukaran gas kedalam sel daun,

sehingga hal tersebut akan berpengaruh

pula terhadap aktivitas stomata, jaringan

di bawah lapisan epidermis daun dan

hasil fotosintesanya. Dengan demikian

daun akan terlindung jika ada hama yang

menyerang (Chaerani et al, 1995).

2. Perumusan Masalah Selama ini pengendalian hama

utama pada tanaman kubis dengan

menggunakan pestisida sintetik yang

dilakukan petani pada umumnya secara

terjadwal, berlebihan dan terus menerus

menyebabkan hama menjadi resisten.

Hal tersebut juga terjadi di daerah sekitar

lereng Gunung Lawu, khususnya di desa

Hargomulyo Kecamatan Ngrambe

Kabupaten Ngawi.

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

94

Berdasarkan permasalahan yang

ada dalam budidaya tanaman kubis di

lapang, hal yang ingin diketahui dari

penelitian yang dilakukan adalah :

Apakah upaya pengendalian hama

utama pada tanaman kubis dengan me-

manfaatkan agensia hayati dapat di ja-

dikan prioritas pilihan dalam penerapan

teknologi Pengendalian Hama Terpadu

(PHT). Hal ini disebabkan karena pe-

manfaatan agensia hayati dapat membe-

rikan hasil yang optimal tanpa membe-

rikan efek yang negatif pada tanaman,

manusia dan lingkungan.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

- Untuk mengetahui pengaruh aplikasi

agensia hayati atau insektisida

pada hama utama tanaman kubis di

lapang.

- Untuk mengetahui pengaruh aplikasi

agensia hayati atau insektisida

terhadap produksi kubis.

4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan

membantu memecahkan permasalahan

petani dalam usaha mengembangkan

usaha taninya, khususnya dalam upaya

peningkatan produksi tanaman kubis

sekaligus sebagai dasar memilih teknik

pengendalian hayati alternatif yang

tepat dan efisien.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Karakteristik Tanaman Kubis

Tanaman kubis (brassica oleracea

L.) merupakan tanaman semusim yang

mempunyai akar tunggang. Makin tua

umurnya percabangan akar makin

banyak, sehingga akar tunggang sulit

dibedakan dengan akar lainnya. Garis

tengah akar serabut umumnya kurang

dari 0,5 mm, tetapi ada beberapa yang

mencapai 1 cm. Akar serabut pan-

jangnya dapat mencapai 1 m, sesudah

berumur 1 – 3 bulan akar serabut mem-

belok ke bawah, apabila tanah gembur

beberapa akar dapat mencapai kedalaman

1,5 sampai 2 m. Pada umumnya 70 –

80% akar tumbuh di bagian atas tanah

sedalam 20 – 30 cm (Pracaya, 1993).

Kubis yang baru tumbuh mem-

punyai hipokotil yang berwarna agak

kemerahan, panjangnya beberapa centi-

meter dengan dua buah kotiledon dan

berakar tunggang dan beberapa akar

serabut. Daun-daun pertamanya mem-

punyai tangkai daun (petiole) yang agak

panjang dan kemudian daun-daun

berikutnya tangkai daun memendek,

akhirnya menjadi daun duduk (sessilis).

Jarak antara daun pertama dengan daun

berikutnya semakin memendek dan

menjelang pembentukan krop antara

duduk daun-daun sudah rapat sekali

(roset). Pembentukan premodial daun

terus berlangsung sementara duduk daun

sebelumnya mulai melengkung ke dalam

sehingga mencegah daun – daun

berikutnya untuk membuka, demikian

seterusnya sehingga akhirnya terbentuk

krop (Permadi, 1993).

Krop kubis digambarkan sebagai

tunas akhir tunggal yang besar, yang

terdiri atas daun yang saling bertumpang

tindih secara ketat, yang menempel dan

melingkupi batang pendek tidak

bercabang. Tinggi tanaman pada

umumnya berkisar antara 40 dan 60 cm.

Pada sebagian besar kultivar, per-

tumbuhan daun awal menunjang dan

tiarap. Daun berikutbya secara progresif

lebih pendek, lebih lebar dan lebih tegak

dan mulai tertindih daun yang lebih

muda. Pembentukan daun yang terus

berlangsung dan pertumbuhan daun yang

saling bertumpang tindih meningkatkan

kepadatan kepala yang berkembang.

Bersamaan dengan pertumbuhan daun,

batang juga lambat laun memanjang dan

melebar. Pertumbuhan kepala bagian

dalam yang terus berlangsung hingga

melewati fase matang (keras) dapat

menyebabkan pecahnya kepala. Variabel

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

95

komoditas yang penting adalah ukuran

krop, kerapatan, bentuk, warna, tekstur

daun dan periode kematangan. Bentuk

kepala berkisar dari elips meruncing

hingga gepeng (lirdrum), dengan

bentuk yang paling disukai adalah

bundar atau hamper bundar. Warna

daun dengan atau tanpa lapisan lilin,

beragam dari hijau muda hingga hijau

biru tua, dan juga ungu kemerahan.

Tekstur daun licin atau kusut

(Matsumura, 1995).

Kekerasan krop berwariasi dari

lunak sampai keras tergantung pada

varietasnya. Kadang-kadang karena te-

kanan daun-daun muda yang terbentuk

didalam sedemikian besarnya dan tidak

diimbangi dengan mengembangnya

daun disebelah luar, krop akan retak

dibagian atas. Hal ini juga terjadi jika

tanaman akan berbunga. Bentuk krop

bermacam-macam mulai dari bulat, pi-

pih, sampai bulat lonjong dan men-

cirikan varietasnya (Pracaya, 1993).

Tanaman kubis diperbanyak

dengan biji yang ditanam langsung ke

lapang atau dipindah tanam sebagai

bibit. Ukuran biji beragam, mulai dari

220 hingga 350 butir per gram. Biji

biasanya ditanam sedalam 1-2 cm, de-

ngan perkecambahan berlangsung cepat

pada suhu tanah 15-20°C (Rukmana,

1997).

Pertumbuhan dan perkembangan

tanaman dipengaruhi oleh jarak tanam.

Jarak tanam digunakan untuk mengatur

ukuran produk yang di inginkan. Untuk

memenuhi perubahan kesukaan pasar,

kubis konsumsi segar ditanam pada

populasi tanaman tinggi untuk

memperoleh kepala kecil yang lebih

disukai pasar, sedangkan kubis untuk

sauerkraut (cacahan kubis yang

digarami dan dibiarkan terfermentasi

hingga masam) ditanam dengan jarak

tanam lebar untuk memperoleh kepala

berukuran besar. Suhu pertumbuhan

optimum pertumbuhan optimum seba-

gian besar tanaman kubis adalah antara

15ºC dan 20ºC, dan kwalitas produk

terbaik tercapai ketika tanaman matang

selama suhu dingin hingga sedang. Suhu

yang lebih tinggi dari 30ºC umumnya

menekan pertumbuhan, dan untuk

tanaman tertentu, suhu 25ºC sudah dapat

membatasi pertumbuhan. Pada suhu

10ºC, pertumbuhan tanaman berlangsung

lambat, sekalipun pada suhu 5ºC

pertumbuhan masih dapat terjadi

(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Kubis biasanya dipanen ketika

kekerasan kepala yang diinginkan telah

tercapai. Panen yang tertunda berakibat

pada pemanjangan batang yang berlebi-

han, kemerosotan kwalitas tekstur, dan

kemungkinan pecahnya kepala daun

terluar yang kasar dibuang. Berbagai

pasar segar di Eropa dan Amerika Serikat

cenderung menyukai kepala yang

berbobot 1-2 kg. Penurunan kepala ini

dicapai dengan pemilihan kultivar dan

penggunaan jarak tanam yang rapat

(Ashari, 1995).

Di Indonesia tanaman kubis

tumbuh baik di daerah-daerah yang ter-

letak antara 600-2000 dpl. Ada beberapa

jenis yang hidup di dataran rendah tetapi

jumlahnya tidak begitu banyak (Anonim,

2003). Hasil-hasil penelitian yang

dilakukan Balai Penelitian Hortikultura

Lembang, mengungkapkan bahwa

beberapa varietas kubis dapat di tanam di

dataran rendah sampai ketinggian

beberapa meter (4m dpl).

Dalam upaya meningkatkan

produksi kubis, pemerintah telah mela-

kukan program intensifikasi. Namun

demikian pada kenyataannya tidak

berjalan sesuai yang diharapkan antara

lain disebabkan kurangnya penyediaan

dan kwalitas benih unggul, teknologi

bercocok tanam yang belum dikuasai

oleh petani dan terutama adanya serangan

hama dan penyakit (Pracaya, 1993).

Kehilangan hasil kubis karena

serangan hama ditentukan oleh beberapa

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

96

factor antara lain tinggi rendahnya

populasi, bagian tanaman yang rusak,

intensitas serangan, tanggap tanaman

terhadap gangguan kerusakan, fase

pertumbuhan tanaman, jenis hama yang

hadir dan menyerang fase pertumbuhan

tertentu sangat penting diketahui untuk

mendukung keberhasilan pelaksanaan

pengendalian (Ashari, 1995).

2. Biologi dan Siklus Hidup Hama

Plutella xylostella Linn. Hama Plutella xylostella Linn.

(Lepidoptera, Plutellidae) merupakan

hama utama pada tanaman kubis di In-

donesia (Setiawati, 1996). Ulat ini se-

ring disebut hama bodas, hama kra-

cang, hama wayang (Rukmana, 1997)

dan juga disebut ulat tritip (Pracaya,

1993). Hama ini bersifat polifag, khu-

susnya pada famili Cruciferae, dianta-

ranya kubis, lobak, kubis bunga dan

kubis tunas. Siklus hidup pada Plutella

xylostella Linn. tergolong sempurna,

yaitu : telur – larva – pupa – imago.

Telur, larva dan pupa hidup pada inang,

sedangkan imagonya hidup pada inang

atau tanaman lain yang berdekatan

dengan inang (Mau dan Kessing, 1992).

Plutella xylostella Linn mempu-

nyai siklus hidup yang sempurna se-

hingga disebut juga holometabola. Te-

lur diletakkan di balik daun secara ter-

pisah satu persatu, kadang-kadang dua-

dua atau tiga-tiga butir perkelompok

(Rukmana,1997). Telur berbentukoval

dengan ukuran lebar 0,26 mm, panjang

0,49 mm dan berwarna kuning cerah

saat baru diletakkan dan berwarna lebih

tua saat menjelang menetas (Setia-

wati,1996). Stadium telur berkisar anta-

ra 2 sampai 8 hari (Mau dan Kessing,

1992; Shelton et al.,1995).

Larva terdiri dari empat instar

(Mau dan Kessing,1992). Ukuran pan-

jang larva instar 1 kurang lebih 2 mm

dan saat mencapai instar IV berkisar

antara 8 – 12 mm. Kepala instar I dan II

berwarna hitam, sedangkan kepala larva

instar II dan IV berwarna hijau sampai

coklat. Instar pertama (yang baru

menetas) berwarna hijau pucat cenderung

pasif, makan daun kubis dengan cara

membuat lubang galian ke dalam jaringan

permukaan bawah daun dan membuat

liang-liang korokan ke dalam jaringan

parenkim sambil makam daun. Larva

instar kedua berwarna hijau tua dengan

kepala berbintik-bintik atau garis coklat,

kemudian larva ke luar dari liang-liang

korokan yang transparan dan makan

jaringan permukaan bawah daun. Instar

ketiga dan keempat makam bagian bawah

daun lebih banyak dari instar-instar

sebelumnya (Pracaya,1993).

Larva selalu berada di bawah

permukaan daun dan diantara vena daun.

Selanjutnya larva memakan jaringan

bawah daun dengan membentuk seperti

jendela pada bagian bawah daun, tetapi

tidak memakan vena daun. Larva ini

lebih suka memakan daun yang masih

muda, dan lebih banyak ditemukan

bergerombol di sekitar titik tumbuh.

(Shelton et al ,1993). Lama periode larva

bervariasi antara 6 sampai 30 hari (Mau

dan Kessing,1992).

Jika serangan parah, tanaman tidak

dapat membentuk krop dan akhirnya

tanaman mati. Instar dua sampai empat

berperilaku lincah dan jika terganggu

menjatuhkan diri dengan menggunakan

benang atau ramat (Rukmana, 1997).

Panjang larva berkisar 9-10 mm, lebar 1-

1,5 mm. Larva instar akhir membentuk

benang seperti benang sutra putih di

bawah permukaan bawah daun yang

terlindung untuk menghindari sinar

matahari. (Permadi, 1993). Pada

ketinggian 1100-2000 m dpl stadia larva

lebih panjang yaitu 12 hari dan di bawah

ketinggian 250 dpl lebih pendek yaitu 9

hari (Rukmana, 1997).

Ciri khas lain adalah apabila

tersentuh akan menggeliat jatuh dengan

cepat dan menggantungkan diri dengan

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

97

benang sutera. Larva tersebut akan naik

kembali npada daun melalui benang

sutranya apabila keadaan bahaya sudah

berlalu. Umumnya pada instar larva sa-

ngat rakus dalam hal makanan sebab di

butuhkan energi yang cukup banyak

untuk pertumbuhan, bergerak dan cada-

ngan makanan sewaktu pembentukan

pupa Mau dan Kessing( 1992).

Pembentukan pupa mula-mula

dibuat dari bagian dasar, bagian sisinya,

kemudian tutupnya yang masih terbuka

pada bagian ujung untuk keperluan

pernafasan. Pupa muda berwarna hijau

dan setelah 24 jam berubah menjadi

coklat kehitaman (Suyanto,1994). Pupa

berukuran panjang 5-6 mm dengan

diameter 1,2-1,5 mm. Pupa terselubu-

ngi kokon dengan stadium pupa 6-7

hari pada ketinggian 1100-1200 m dpl

dan 4 hari di bawah ketinggian 250 m

dpl (Rukmana,1997).

Imago berwarna coklat keabu-

abuan, imago jantan berukuran lebih

kecil dibandingkan imago betina de-

ngan warna lebih cerah, warna sayap

betina agak pucat dan aktif pada malam

hari (Ashari,1995). Imago berupa nge-

ngat kecil dengan ukuran panjang 8-10

mm. Ketika sayapnya menutup (saat

tidak terbang), sepanjang bagian pung-

gung ngengat terdapat satu cirri ter-

tentu, yaitu 3 bentuk segi empat

“diamond back moth” (Mau dan

Kessing,1992). Imago betina mampu

bertelur 180-320 butir yang diletakkan

di bawah permukaan daun, mengelom-

pok atau terpisah pada tanaman lain.

Satu imago betina dapat meletakkan

telur pada bermacam-macam tanaman

Cruciferae (Pracaya,1993). Cara penye-

barannya berpindah-pindah dari satu

tanaman ke tanaman lain atau antar

daerah yang berdistribusi sangat jauh

dengan bantuan hembusan angina

(Rukmana,1997). Ngengat kecil lebih

suka beristirahat di bawah permukaan

daun, pada bagian tanaman yang “pro-

tective” baginya Shelton et al.,1995).

Lama hidup ngengat betina berkisar

antara 7-47 hari, rata-rata 16,2 hari dan

ngengat jantan antara 3-58 hari, dengan

rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang

diletakkan tiap ngengat betina antara 18-

356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah

telur yang diproduksi setiap ngengat

betina dipengaruhi oleh perbedaan

temperature, foto periode, umur dan

kondisi makan larva (Mau dan

Kessing,1992).

Ngengat aktif pada malam hari,

kemampuan terbang 1 sampai 1,5 m

diatas permukaan tanah, jarak terbang 3

sampai 4 m. Ngengat ini mencari nectar

dari bunga kubis sebagai makanannya

saat menjelang senja. Ngengat terbang di

sekitar tanaman mencari tempat untuk

meletakkan telu. Ngengat jantan tertarik

pada pheromone yang di produksi oleh

ngengat betin. Ngengat jantan mampu

berkopulasi sebanyak tiga kali,

sedangkan ngengat betina hanya berko-

pulasi satu l kali (Shelton et al.,1995).

Siklus hidup hama Plutella

xylostella Linn. dipengaruhi di antaranya

oleh suhu lingkungan. Pada suhu 16°C-

25°C siklus hidupnyamencapai 15 hari

(Permadi, 1993). Selain itu juga

ketinggian tempat juga berpengaruh ter-

hadap siklus hidup Plutella xylostella

Linn. pada ketinggian 250 m da atas

permukaan laut, siklus hidup hama

tersebut 12-15 hari, sedangkan pada

ketinggian 1100 m (dimana sebagian

besar kubis ditanam) siklus hidupnya

selama 20-25 hari.

3. Gejala Serangan Hama Plutella xy-

lostella Linn.

Hama ini memakan daun-daun

kubis, baik pada tanaman yang masih

muda maupun tanaman yang sudah tua

(Trizelia, 2002). Bagian bawah daun ku-

bis rusak, epidermis bagian atas terlihat

putih transparan. Setelah daun tersebut

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

98

tumbuh dan melebar, lapisan epidermis

akan robek sehingga daun tampak

berlubang (Mau dan Kessing, 1992).

Gejala serangan oleh hama ini

khas dan tergantung pada instar larva

yang menyerang. Larva instar pertama

(yang baru menetas) memakan daun

kubis dengan jalan membuat lubang ga-

lian pada permukaan bawah daun,

selanjutnya larva membuat lorong (ge-

rekan) ke dalam jaringan parenkim

sambil memakan daun. Larva instar

dua, keluar dari liang gerekan yang

transparan dan makan jaringan daun

pada permukaan bawah daun. Demi-

kian juga larva instar ketiga dan ke-

empat. Larva instar ketiga dan keempat

memakan seluruh bagian daun sehingga

meninggalkan cirri yang khas, yaitu

tinggal epidermis bagian atas daun atau

bahkan tinggal tulang daunnya saja

(Mau dan Kessing, 1992; Shelton et al.,

1995).

Tingkat populasi larva Plutella

xylostella Linn. tertinggi terjadi pada

tanaman kubis ysng berumur 6 sampai

8 minggu setelah tanam. Tingkat popu-

lasi larva yang tinggi dapat mengaki-

batkan serangan yang sangat berat pada

tanaman kubis. Serangan larva ini

terjadi secara eksplosif pada musim ke-

marau, sehingga kerugian yang di tim-

bulkan dapat mencapat seratus persen

(Pracaya, 1993).

4. Biologi Hama Crocidolomia bino-

talis Zell Crocidolomia binotalis Zell me-

rupakan salah satu jenis hama yang

menimbulkan masalah penting pada

pertanian kubis. Hama ini dikenal seba-

gai hama yang sangat rakus, terutama

larva memakan daun-daun yang masih

muda, tetapi juga dapat menyerang

daun yang agak tua dan kemudian me-

nuju kebagian titik tumbuh habis, aki-

batnya pembentukan krop akan terham-

bat atau terhenti. Kerusakan yang di

timbulkannya dapat menurunkan hasil

sampai seratus persen (Trizelia. 2002).

Crocidolomia binotalis Zell me-

ngalami metamorfosis sempurna (Holo-

metabola) yaitu : telur – larva – pupa –

imago. Crocidolomia binotalis Zell ber-

sembunyi dibalik daun untuk meng-

hindari sinar matahari. Larva memakan

daun yang masih muda kemudian menu-

juntitik tumbuh, bila serangan parah

tanaman tidak dapat membentuk tunas

dan akhirnya mati (Setiawati, 1996).

Telur diletakkan di bawah per-

mukaan daun muda secara berkelompok

masing-masing terdiri dari 30-80 butir.

Jumlah telur yang dihasilkan rata-rata 11-

18 telur (Permadi, 1993). Menurut Mau

dan Kessing (1992) telur Crocidolomia

binotalis Zell berwarna hijau dan selalu

diletakkan dibagian bawah daun kubis.

Sebelum menetas telur akan berubah

menjadi jingga, kemudian coklat

kekuningan dan akhirnya berwarna coklat

gelap.

Lama stadia telur berlangsung 4-8

hari yang bervariasi tergantung kondisi

setempat, persentase telur yang menetas

92,4% (Mau dan Kessing, 1992).

Persentase imago yang muncul rata-rata

67,8%. Sementara pada suhu 26-32,2 ºC

persentase penetasan telur adalah 69,2-

100% dengan rata-rata 92,4% (Ashari,

1995). Menurut Rukmana (1997) telur-

telur dalam satu kelompok menetas pada

hari yang sama meskipun tidak

bersamaan waktunya.

Larva telur Crocidolomia binotalis

Zell berwarna hijau muda, kelihatan

bergaris pada punggungnya dan berwarna

hijautua pada kanan dan kirinya. Pada sisi

tubuhnya terdapat rambut dan chitine

berwarna hitam. Pada sisi perut berwarna

kuning, ada juga yang berambut hijau,

panjang larva + 18 mm. Setelah menetas

larva akan memakan daun kubis,

terutama bagian dalam kubis (krop)

karena larva tersebut takut terhadap sinar

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

99

matahari. Jika serangan parah ulat dapat

mencapai titik tumbuh (Pracaya,1993).

Stadia larva terdiri dari empat

instar dengan lama stadia larva berkisar

7 – 14 hari. Instar pertama 2-3 hari

hidup di bawah daun dengan kepala

berwarna hitam dan badan berwarna

hijau terang serta terdapat bercak hitam.

Instar kedua 1-3hari dengan cirri ber-

warna hijau dengan panjang tubuh anta-

ra 11-13 mm. Instar keempat 3-6 hari

dengan cirri warna tubuh lebih jelas

yaitu terdapat garis memanjang berwar-

na keputihan dengan tiga garis pada ba-

gian dorsal dan satu garis masing-ma-

sing pada bagian lateral. Umumnya lar-

va setelah pergantian kulit (molting)

warna bagian dorsal berubah menjadi

coklat. Kemudian berlanjut dengan pe-

rubahan tingkah laku menjadi pasif,

pertanda larva akan menjadi pupa

(Permadi, 1993).

Kepompong terbentuk dalam

tanah dengan kokon yang tipis dan ber-

warna coklat kekuningan dan akan

menjadi gelap pada akhir stadia pupa.

Umumnya pupa ditutupi oleh kokon

yang terbuat dari butir-butir tanah (Kal-

shoven, 1981). Panjang pupa mencapai

10,5 mm dan lebar 2-3 mm. Lama sta-

dium pupa 10-14 hari (Chaerani et al,

1995).

Imago tidak tertarik pada cahaya.

Imago betina berwarna kelabu keco-

klatan dan sepanjang pinggiran sayap

depan berwarna sedikit lebih gelap.

Rentangan sayap mencapai 20-25 mm.

Sayap depan tertutup oleh warna coklat

yang ditandai oleh beberapa garis me-

lintang dengan bagian tepi berwarna

putih kelabu. Sayap belakang berwarna

kekuningan agak terang (Novizan,

2002).

Imago betina muncul lebih awal

dari imago jantan. Imago betina dan

jantan dapat dibedakan dengan adanya

seberkas rambut hitam pada tepi anten-

na, dekat pangkal pada sayap depan

(Permadi, 1993). Ukuran tubuh imago

jantan 11-14 mm sedang imago betina 8-

11 mm. Rentangan sayap jantan 22-

25mm dan imago betina sedikit lebih

panjang 24-26 mm (Glaugler dan Kaya,

1993). Periode hidup ngengat jantan 24-

29 hari dengan rata0rata hidup 25,1 hari,

sedang ngengat betina mempunyai

periode hidup 24-29 hari dengan rata-rata

24,8 hari dengan kondisi suhu 25-38ºC

serta kelembaban relatif 50-70% (Mau

dan Kessing, 1992). Ngengat aktif pada

malam hari, tidak tertarik pada cahaya

dan siang hari versembunyi dicelah-celah

daun kubis.

5. Biologi dan Siklus Hidup Steiner-

nema carpocapsae (All Strain)

Terdapat banyak spesies nematoda

yang bersifat parasitic terhadap serangga

baik yang bersifat parasit obligat maupun

fakultatif, sekitar 19 famili nematoda

bersifat patogenik terhadap serangga.

Mermithidae merupakan salah satu famili

terpenting dan terbesar, yang terdiri dari

50 genera dan 200 spesies (Untung,

1996).

Steinernema carpocapsae dewasa

berukuran lebih besar dan mampu

menghasilkan 10000 telur (Ashari, 1995).

Nematoda ini mempunyai kulit tubuh

yang halus, bentuk kepala tumpul, enam

bibir masing-masing memiliki paila dan

stomata yang dangkal. Steinernema

carpocapsae betina memiliki ovari

bertipe amphidelphie yang tumbuh dari

arah anterior ke posterior. Vulva terletak

pada bagian tengah panjang tubuhnya

Steinernema carpocapsae jantan

mempunyai testis tunggal terefleksi,

spikula sepasang dengan bentuk kurva

simetris ataupun ramping. Kepala spikula

lebih lebar dibandingkan panjangnya,

ventral dan tajam. Pada pandangan

ventral, gubernaculum tampak lonjong

dengan bagian anterior membentuk

bagian yang pendek dan sempit, dan tidak

mempunyai bursa copolatrix. Daerah

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

100

anterior nematode jantan memiliki

penampakan yang sangat mirip dengan

nematoda betina (Gaugler dan Kaya,

1993). Juvenil 3 masih berada dalam

kutikula juvenil2. Pada kutikula

terdapat 4-8 striasi longitudinal

(Novizan, 2002).

Di dalam perkembangannya, ne-

matode entomopatogen Steinernema

carpocapsae mempunyai siklus hidup

sebagai berikut : telur – juvenil – de-

wasa. Nematoda muda meninggalkan

telur dan masuk kedalam haemocoel.

Setelah mengalami empat kali ganti ku-

lit, baik yang terjadi di dalam telur,

dalam lingkungan atau di dalam tubuh

serangga untuk kawin dan menyebar.

Serangga inang mati sebelum atau sesu-

dah nematode menunggalkan tubuh

inangnya (Untung,1996). Infektif Ju-

venil (IJ) S. carpocapsae berkembang

ke amphimiktif, dewasa jantan atau be-

tina. Dua sampai tiga minggu setelah

verkembang di dalam tubuh inang, IJ

meninggalkan bangkai inang dan men-

cari inang yang baru (Ehlers et

al.,2001).

Suhu dan makanan sangat ver-

pengaruh selama perkembangbiakan In-

fektif Juvenil dari S. carpocapsae. Suhu

dan makanan yang kurang bmendukung

bagi perkembangbiakan nematode akan

mempercepat berlangsungnya fase pada

masing-masing stadia (Glaugler dan

Kaya, 1993). Stadia infektif juga dapat

terbentuk apabila nematode mengalami

kekurangan makanan. Di dalam kondisi

ini nematode infektif dapat terbentuk

tanpa melalui stadia juvenile 1 atau 2.

Setelah stadia juvenile 4 terlampaui,

maka nematode akan berkembang men-

jadi nematode dewasa jantan atau

betina, dan setelah dua atau tiga

minggu nematode dewasa ini sangat

memerlukan inang baru sebagai peme-

nuhan kebutuhan makanannya (Ashari,

1995).

6. Bakteri Simbion Steinerma carpo-

capsae (All Strain) Xenorhabdus

nematophillus

Nematoda entomopatogen S.

carpocapsae berasosiasi dengan bakteri

simbion Xenorhabdus spp yang termasuk

dalam famili Enterobacteriaceae

(Chaerani et al.,1995). Nematoda ento-

mopatogen ini mampu menyimpan I

sampai250 sel bakteri simbion (Sulis-

tyanto, 1999). S. Carpocapsae mampu

menyimpan bakteri Xenorhabdus spp.

Dalam intensial lumen (Vesikel) dari

juvenile infektif (Rukmana, 1997).

Bakteri Xenorhabdus spp meng-

hasilkan. enzim Lechitinase, Protease dan

entomotoksin yang mempengaruhi proses

kematian serangga (Chaerani et al.,1995).

Entomotoksin yang di hasilkan oleh

bakteri berupa hydrocyl-dan acetoxyl-

yang merupakan turunan senyawa indol,

4-ethyl-dan 4-iso phrophyl-3,5-

dihydroxy-transitive stilbenes

(Permadi,1993).

Proses kematian serangga berawal

dari pelepasan bakteri simbion oleh

nematode dalam haemolimph setelah

nematode masuk kedalam tubuh se-

rangga, yaitu melalui lubang alami se-

perti mulut, anus, spirakel atau me-

nembus langsung kutikula serangga. Di

dalam tubuh serangga bakteri berepro-

duksi dan menghasilkan kondisi yang

sesuai untuk pertumbuhan dan perkem-

bangan nematode. Nematoda memakan

sel bakteri dan jaringan inangnya (Ehlers

et al, 2001).

Dalam fase primer, bakteri simbion

menghasilkan senyawa antibiotic,

lechitinase, bioluminescens (Glaugler dan

Kaya, 1993), serta menyerap bahan

tertentu dari media pertumbuhan. Seba-

liknya bakteri fase sekunder mempunyai

bentuk morfologi koloni dan karakteristik

yang berbeda dengan bakteri fase primer.

Bakteri fase primer (fase I) tidak dapat

bertahan lama dan akan segera berubah

ke fase sekunder (fase II) yang

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

101

mempunyai kecenderungan stabil dan

sel bakteri berbentuk batang panjang.

Secara umum bentuk primer

morfologi koloni bakteri Xenorhandus

spp. yaitu berbentuk bulat mengkilat

menyerupai lendir, cembung, tepi agak

rata dengan struktur dalam meneruskan

cahaya. Bentuk sekunder bakteri me-

nunjukkan karakteristik koloni ver-

bentuk bulat, agak cembung, tepi agak

rata, struktur dalam menyerupai pasir

halus dengan meneruskan sinar meski-

pun benda di bawahnya tidak semua

terlihat dengan jelas (Matsumura,

1995).

7. Patogenesitas Steinernema carpo-

capsae (All Strain)

Nematoda entomopatogen Ste-

inernema carpocapsae mampu mem-

parasit serangga melalui dua cara, yaitu

penetrasi secara langsung melalui kuti-

kula ke dalam haemocoel serangga

inang dan melalui lubang alami serang-

ga seperti mulut, anus, spirakel dan

stigma (Glaugler dan Kaya, 1993). Se-

telah masuk dalam tubuh serangga,

nematoda melepaskan bakteri ke dalam

haemolymph. Di dalam tubuh serangga,

bakteri bereproduksi dan menghasilkan

kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan

dan perkembangan nematoda. Tanpa

bakteri simbion dalam serangga inang,

nematode tidak akan dapat bereproduk-

si, karena bakteri simbion ini berfungsi

sebagai makanan yang sangat di perlu-

kan oleh nematoda (Ehlers et al, 2001).

Demikian juga sebaliknya bakteri

tidak akan dapat masuk ke dalam tubuh

serangga apabila tanpa bantuan

nematoda entomopatogen, yang mem-

penetrasi tubuh serangga inang. Dengan

demikian simbiose antara bakteri sim-

bion dan nematoda entomopatogen ti-

dak dapat dipisahkan dan merupakan

syarat mutlak antara keduanya (Sulis-

tyanto, 1999).

Setelah masuk ke dalam tubuh

inang nematoda entomopatogen mele-

paskan bakteri simbion kedalam hae-

molymph, setelah 24-48 jam serangga

inang akan mati, namun nematoda ento-

mopatogen terus berkembang dengan

cepat dan memakan sel bakteri dan jari-

ngan tubuh inang, sehingga tubuh inang

kelihatan utuh tetapi dalamnya sudah

kosong. Baik dan tidaknya perkembangan

nematoda entomopatogen tergantung

pada bakteri simbion di dalam tubuh

inangnya (Rukmana, 1997).

Mekanisme infeksi dan pato-

genesitas nematoda entomopatogen da-

lam serangga iang merupakan factor-

faktor yang menunjukkan spesifikasi iang

dari nematode ini. Invasi dan evasi

terhadap ketahanan inang merupakan

tahapan penting dalam proses patogenik.

Kemampuan nematoda untuk melakukan

penetrasi ke dalam Haemocoel serangga

dengan pelepasan enzim proteolitik

merupakan salah satu factor spesifik

dalam hubungan timbale balik nematoda

serangga. Faktor spesifik lain adalah

kemampuan nematoda untuk melawan

ketahanan internal serangga yang berupa

senyawa anti bakteri. Toksin dan enzim

ekstraseluler merupakan senyawa yang

dilepas oleh nematoda untuk menyerang

serangga inang (Mau dan Kessing, 1992).

Mekanisme patogenesitas nema-

toda entomopatogen secara umum me-

lalui beberapa tahap yaitu : invasi, evasi

dan toksigenesis. Invasi merupakan suatu

proses terjadinya penetrasi nematoda

entomopatogen ke dalam tubuh serangga

inang melalui kutikula dan lubang-lubang

alami, seperti mulut, anus, spirakeldan

stigma. Tahap selanjutnya adalah evasi

yaitu tahap dimana nematoda

entomopatogen mengeluarkan bakteri

simbion di dalam tubuh serangga inang.

Setelah melalui tahap invasi dan evasi,

selanjutnya terjadi proses toksikogenesis

yaitu tahapan dimana nematoda

entomopatogen mengeluarkan bakteri

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

102

simbion di dalam tubuh serangga inang.

Setelah melalui tahap invasi dan evasi,

selanjutnya terjadi proses

toksikogenesis ysitu tahapan dimana

bakteri simbion menghasilkan toksin

sehingga dapat menyebabkan kematian

pada serangga inang (Sulistyanto,

1999).

Gejala yang timbul pada serangga

akibat adanya entomotoksin yang

dihasilkan oleh bakteri simbion ne-

matoda, yaitu terjadi perilaku yang hi-

peraktif (bergerak lebih aktif) verlanjut

dengan kelumpuhan dan kejang-kejang

otot selama tujuh menit sebelum

serangga mati. Setelah serangga inang

mati terjadi perubahan warna pada

tubuh serangga, tubuh menjadi lunak,

dan apabila dibedah konstitusi jaringan

menjadi cair tetapi tidak berbau busuk

(Glaugler dan Kaya, 1993; Mau dan

Kessing, 1992).

Dengan perbesaran 100x karakte-

ristik morfologi dari nematoda S. Car-

pocapsae (All Strain) secara lengkap

disajikan pada Gambar 1.

8. Karakteristik Bakteri Entomo-

patogen Bacillus thuringiensis

Kelompok bakteri yang ver-

potensi untuk pengendalian hayati yaitu

bakteri pembentuk spora kristal protein

(Untung, 1996). Sulistyanto, 1999) me-

laporkan bahwa tubuh parasporal be-

rupa protein yang terdiri dari 17 asam

amino dan angus yang merupakan sum-

ber toksin.

Bakteri menginfeksi serangga

melalui alat mulut (melalui makanan) dan

saluran pencernaan dimana bakteri

memproduksi enzim (Lecithinase, Protei-

nase, Chitinase) dan Exo atau endotoksin.

Cara menginfeksi bakteri dapat

diklasifikasikan dalam Bakterimia,

Septicemia dan Toxemia. (Ruk-

mana,1997).

Gejala serangga hama yang terin-

feksi Bacillus thuringiensis yaitu ak-

tivitas makan serangga menurun, tubuh

menjadi lemah dan lembek. Setelah mati

larva berwarna hitam kecoklatan, kering

dan berkerut, masa inkubasi selama 4-5

hari setelah infeksi (Untung, 1996).

Dari sekian banyak spesies (150

sub spesies) salah satu bakteri yang

berpotensi untuk mengendalikan hama

kubis yaitu : Bacillus thuringiensis var.

Kurstaki yang efektif terhadap larva-larva

Lepidoptera (Rukmana, 1997). Menurut

Ashari, (1995) Bacillus thuringiensis

berdasarkan pengujian di laboratorium

efektif untuk menimbulkan mortalitas

larva Plutella xylostella Linn. yang

isolatnya diperoleh dari Steinhausse dan

uji aplikasi lapang di Lembang dan Bali

dengan angka kematian sampai 50

persen. Hal ini didukung oleh penelitian

Novizan (2002) dan Trizelia (2002)

melaporkan bahwa Bacillus thuringiensis

efektif terhadap hama Plutella xylostella

Linn pada tanaman kubis. Produk

komersial Bacillus thuringiensis telah

banyak di gunakan untuk mengendalikan

Plutella xylostella Linn. di lapang dan

bersifat spesifik target khususnya untuk

membunuh ulat dari ordo Lepidoptera

(Pracaya, 1993).

Bacillus thuringiensis merupakan

salah satu bakteri pathogen pada

serangga. Bakteri ini tergolong kelas Sch-

izomycetes ordo eubakteriales. Bacillus

thuringiensis adalah bakteri yang

mempunyai sel vegetatif berbentuk

batang dengan ukuran panjang 3-5 um

dan lebar 1,0-1,2 um, mempunyai flagella

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

103

dan membentuk spora. Sel-sel vegetatif

dapat membentuk suatu rantai yang

terdiri dari lima sampai enam sel

(Trizelia,2002).

Ciri khas yang terdapat pada

Bacillus thuringiensis adalah kemam-

puannya untuk membentuk kristal ver-

samaan dengan pembentukan spora

yaitu pada waktu sel mengalami spo-

rulasi. Kristal tersebut merupakan kom-

plek protein yang mengandung toksin

yang terbentuk di dalam sel, kurang

lebih 2-3 jam setelah akhir fase eks-

ponensial dan baru keluar dari sel pada

waktu sel mengalami autolisis setelah

sporulasi sempurna. Sembilan puluh li-

ma persen kristal terdiri dari protein de-

ngan asam amino terbanyak terdiri dari

asam glutamate, asam aspartat dan

arginin, sedangkan lima persen terdiri

dari karbohidrat yaitu mannose dan

glukosa (Chaerani et al., 1993).

Seluruh kristal protein dari Bacil-

lus thuringiensis bersifat toksik apabila

termakan oleh larva serangga yaitu

setelah terurai oleh enzim protease

menjadi molekul-molekul kecil yang

toksik (Trizelia, 2002).

Beberapa menit setelah masuk ke

dalam pencernaan serangga toksin

melewati membrane tropic dan kemu-

dian akan terikat pada reseptor khusus

yang terdapat pada mikrovili sel

epithelium mesenteron. Setelah

berikatan toksin akan membentuk pori-

pori kecil berukuran 0,5-1,0 um.

Akibatnya keseimbangan osmotic dari

sel menjadi terganggu, sehingga ion

dan air mudah masuk ke dalam sel yang

menyebabkan sel mengembang dan

pecah sehingga akhrnya menyebabkan

kehancuran (Anonim, 2003).

Sel epithelium yang telah hancur

tersebut akan terpisah dari membrane

dasar dan terlepas ke dalam lumen.

Sebagai akibat adanya kerusakan dan

kehancuran dari sel-sel epithelium

menyebabkan membrane dasar mudah

rusak oleh Bacillus thuringiensis. Toksin

juga menghambat pembentukan ATP,

merusak transportasi ion dan glukosa dan

menghambat kontraksi otot-otot

mesenteron (Trizelia, 2002).

Akibat kerusakan pada struktur dan

fungsi mesenteron, zat-zat metabolic

seperti ion akan keluar dari lumen dan

masuk ked ala hemolimfa yang

menimbulkan paralysis dan akhirnya

kematian pada larva. Kematian akan

terjadi satu jam hingga 4-5 hari setelah

intoksikasi, tergantung pada konsentrasi

bakteri, ukuran dan jenis larva dan

varietas bakteri yang digunakan

(Sulistyanto, 1999).

9. InsektisidaProfenofos Insektisida dengan bahan aktif

Profenofos adalah insektisida yang

termasuk golongan organofosfat.

Organofosfat disebut juga fosfor organic

atau fosfat organic merupakan 30 persen

dari seluruh insektisida yang ada dewasa

ini. Insektisida dari golongan

organofosfat adalah derivate dari asam

fosfat (Ashari, 1995).

Rumus kimia dari organofosfat

adalah sebagai berikut :

Daya kerja dari insektisida

organofosfat terhadap serangga sangat

tergantung pada sifat fifik dan kimia dari

senyawa itu sendiri. Pada dasarnya

insektisida ini bekerja sebagai

penghambat sistim enzim tertentu, seperti

enzim khotinesterase yang merupakan

enzim penhidrotion ester yang bekerja

dalam transmisi normal rangsangan pada

jaringan urat syaraf. Penghambatan

rangsangan dengan menghambat kerja

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

104

enzim khotinesterase akan

mengakibatkan terjadinya penimbunan

asetikholin pada setiap synaps,

sehingga transmisi terhambat (Anonim

2003).

Dalam hubungannya dengan

toksisitas, asetilkhotinesterase

berfungsi sebagai pemecah asetikholin

yang dikeluarkan oleh ujung syaraf

pada synaps akan dihambat daya

kerjanya untuk memecahkan

asetikholin dalam proses transmisi

(Matsumura, 1995)

10. Dampak Negatif Penggunaan In-

sektisida Sintetik

Menurut Pracaya (1993),

pengendalian sintetik adalah usaha

pengendalian serangga hama dengan

menggunakan bahan kimia beracun.

Bahan kimia tersebut diberikan

langsung kepada tanaman, umpan atau

dikenakan langsung kepada serangga

hama sasaran. Bahan kimia beracun

yang digunakan untuk mengendalikan

serangga hama disebut insektisida.

Kebanyakan petani beranggapan,

bahwa pengendalian dengan

menggunakan insektisida sintetik

dianggap paling mudah dan cepat untuk

mengendalikan maha, jika

dibandingkan dengan pengendalian

yang lainnya. Petani juga beranggapan

bahwa setiap serangga yang terdapat

pada pertanamannya adalah hama yang

merugikan sehingga petani melakukan

penyemprotan insektisida secara

intensif, terjadwal dan berlebihan, tanpa

memperhatikan peran dan fungsi

serangga tersebut di pertanamannya

(Anonim, 2003).

Jika populasi hama menjadi

resisten terhadap insektisida, maka

insektisida tersebut tidak lagi efisien

untuk mengendalikan hama. Jika

insektisida tersebut tetap digunakan,

dosis atau frekuensi penggunaannya

perlu ditingkatkan, sehingga secara

ekonomi memerlukan penambahan biaya

pengendalian, meningkatnya mortalitas

organisme bukan sasaran dan dapat

menurunkan kwalitas lingkungan

(Matsumura, 1995).

Di Indonesia resistensi hama kubis

diketahui sejak tahun 1973, yaitu adanya

laporan bahwa hama ulat daun kubis

resisten terhadap Dikloro Difenol

Trikloroetana (DDT) (Pracaya, 1993).

Rukmana (1997) melaporkan bahwa dari

hasil survai di Jawa, Bali dan Sumatra

kebanyakan petani kubis menggunakan

insektisida 2 – 3 kali / minggu atau 22

kali / musim, sehingga menimbulkan

resistensi dan resurjensi hama Plutella

xylostella Linn. dan Corcidolomia

binotalis. Jenis insektisida yang sering

digunakan yaitu dari golongan

organofosfat dan piretroid sintetik.

Timbulnya resurjensi hama

disebabkan oleh butiran semprot tidak

mencapai sasaran, kurangnya pengaruh

residu pestisida untuk membunuh nimfa

dan larva yang menetas setelah

penyemprotan, pengaruh fisiologis

insektisida terhadap kesuburan hama

sehingga hidup hama lebih subur,

serangga bertelur lebih banyak dengan

angka mortalitas berkurang, pengaruh

fisiologis insektisida terhadap tanaman

dan terbunuhnya musuh alami (Shelton et

al, 1995)

Penggunaan insektisida sintetik

dianjurkan apabila populasi hama telah

melampui batas ambang ekonomi.

Penerapan cara ini apabila cara-cara

penggunaan varietas tahan, teknik

budidaya dan sanitasi tidak lagi

menunjukkan gejala menurunkan

populasi hama. Penyemprotan hendaknya

dilakukian secara terjadwal dengan

konsentrasi yang rendah. Penyemprotan

insektisida sebaiknya diarahkan pada

stadium mana serangga sangat lemah.

Penyemprotan berikutnya dilakukan

apabila penyemprotan pertama tidak

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

105

menunjukkan tanda-tanda penurunan

populasi hama (Sulistyanto, 1999)

11. Hipotesis

- Agensia hayati atau insektisida yang

diaplikasi mempunyai efektivitas

yang berbeda terhadap hama P.

xylostella dan C. binotalis.

- Penggunaan agensia hayati atau

insektisida

dapat meningkatkan produksi kubis.

C. METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan

percobaan pertanaman kubis (Brassica

oleracea L. var capitata L. f. Alba DC)

di lereng Gunung Lawu Desa

Hargomulyo, Kecamatan Ngrambe,

kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur

( dengan ketinggian + 700 m dari

permukaan laut/dpl).

2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah:

Bibit tanaman kubis varietas Summer

Autumn, Agensia hayati nematoda

Steirnenema. Carpocapsae (All Strain),

Agensia hayati Bacillus thuringiensis

var Kurstaki, Agensia hayati Bacillus

thuringiensis var Aizawai, Insektisida

sintetik (Profenofos), Fungisida

Dithane M-45 (80 WP), Bahan perata

dan perekat Agristik, Pupuk Urea,

Pupuk SP 36 dan Pupuk kandang

Alat yang digunakan adalah:

tangki sprayer ukuran 14 liter sebanyak

3 buah, alat tulis, lembar pengamatan,

petridis, tabung reaksi, erlenmeyer,

selang plastik, jaring serangga, papan

nama untuk plot-plot perlakuan, kuas

kecil dan kertas label.

3. Metode Percobaan

Penelitian ini dirancang dengan

menggunakan metode Rancangan Acak

Kelompok (RAK) terdiri atas lima

perlakuan dan lima ulangan. Terdiri dari

:

P0 : Kontrol

P1 : Perlakuan nematoda S. Carpo-

capsae dengan dosis 300.000 IJ/m² P2 : Perlakuan B. thuringiensis var

Kurstaki 1 gr/l

P3 : Perlakuan B. thuringiensis var

Aizawai 1 gr/l

P4 : Perlakuan Insektisida sintetik

(Profenofos) 1 ml/l

4. Pelaksanaan Penelitian Menyiapkan lahan seluas + 800 m²

dan dilakukan pengolahan lahan dengan

menggunakan pupuk kandang. Ploting

lahan perlakuan 5m x 6m = 30m² (75

tanaman/plot). Terdiri dari 5 plot

(perlakuan) dan 5 blok (ulangan). Jarak

antar blok 50cm, jarak antar plot 50cm

dengan jumlah total plot 25 petak.

Penanaman kubis dilakukan dengan jarak

50cmx50cm.

Pemindahan bibit ke lapang

pertanaman dilakukan pada sore hari,

satu bibit terpilih untuk setiap lubang

tanam. Sebelum ditanam bibit dicelup

kedalam larutan Dithane M-45 (80 WP).

Selesai pemindahan bibit dilakukan

penyiraman.

Penyemprotan agensia hayati

dilakukan secara terjadwal sesuai

perlakuan dengan menggunakan

Kapsack. Interval penyemprotan adalh

satu minggu sekali untuk perlakuan P2,

P3 dan P4, sedangkan untuk perlakuan P1

dua minggu sekali.

Pemupukan dilakukan setelah

tanaman berumur dua minggu setelah

tanam dengan pupuk Urea 2 gr/tanaman

dengan jarak 3cm dari tanaman serta

disiram agar lekas larut. Pemupukan

selanjutnya ketika tanaman berumur

empat minggu dengan pupuk Urea dan

SP 36 dengan dosis 5 gr/tanaman dengan

jarak 8cm dari tanaman.

Pemeliharaan tanaman yang

dilakukan meliputi : pemupukan,

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

106

penyiangan gulma, penggemburan

tanah dan pembubunan.

5. Aplikasi Agensia Hayati Aplikasi agensia hayati B.

thuringiensis satu minggu sekali setelah

tanam, dimana untuk B. thuringiensis

var Kurstaki dan B. thuringiensis var

Aizawai masing-masing 1gr/l.

Sedangkan aplikasi agensia hayati

nematoda S. Carpocapsae dengan dosis

300.000 IJ/m² dua minggu sekali

setelah tanam.

6. Aplikasi Insektisida Aplikasi insektisida dilakukan

satu minggu sekali setelah tanam

dengan interval penyemprotan seming-

gu sekali, menggunakan tangki sprayer

punggung semi otomatis ukuran 14 l

dengan volume penyemprotan rata-rata

10 l /m².

7. Pengamatan Pengamatan terdiri dari :

a. Populasi serangga hama Plutella

xylostella Linn dan Crocidolomia

binotalis Zell pada 15 tanaman

contoh yang telah ditentukan secara

acak sistemik (U-shape) pada

setiap plot. Pengamatan dilakukan

dua kali seminggu.

Pengamatan pertama dilakukan

pada 7 hari setelah tanam sebelum

dilakukan aplikasi, Pengamatan ke

dua pada hari ke 10 setelah tanam

sebagai evaluasi perlakuan. Begitu

seterusnya sampai panen.

Aplikasi agensia hayati dan

insektisida diulang 1 minggu sekali

kecuali aplikasi nematoda

Steirnenema Carpocapsae (All

Strain) dilakukan dua minggu sekali.

b. Persentase tanaman kubis yang

tidak mampu membentuk krop/plot

pada saat panen.

c. Bobot basah krop/plot saat panen

d. Persentase tanaman rusak akibat

serangan hama Plutellaxylostella Linn

dan Crocidolomia binotalis Zell/plot

pada saat panen.

8. Analisa Data Nilai rata-rata perlakuan pada

setiap parameter percobaan dianalisa

dengan sidik ragam, apabila hasilnya

berbeda nyata pada

selang kepercayaan 5% dan 1 %, maka

diuji dengan menggunakan uji jarak

(Duncan).

Untuk melihat efektivitas perlakuan

dalam menurunkan populasi hama, data

dianalisa dengan menggunakan uji t

berpasangan dengan program SPSS 11.5

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengaruh Aplikasi Perlakuan

Terhadap Populasi Hama Plutella

xylostella Linn Pengaruh aplikasi selama musim

tanam antar perlakuan terhadap

penurunan polulasi hama tidak berbeda

secara signifikan. Efek positif dari

perlakuan terjadi pada masa

pembentukan krop pada tanaman kubis

(Tabel 1).

Pada penelitian ini masa

pembentukan krop pada 52 hari setelah

tanam, dimana tanaman kubis

menginginkan bebas dari serangan hama.

Apabila serangan berat maka tanaman

kubis tidak mampu membentuk krop

karena hama ini menyerang sampai titik

tumbuh. Jika membentuk krop, maka

krop kubis akan terlihat berlubang dan

krop sudah tidak dapat dikonsumsi lagi.

Yang memberikan efek positif pada masa

kritis dimana keadaan populasi hama

berkurang yaitu pada perlakuan nematoda

S. Carpocapsae (All Strain), disusul

dengan B. thuringiensis var Kurstaki,

insektisida profenofos dan B.

thuringiensis var Aizawai. Hal ini terus

berlangsung hingga panen. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan agensia

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

107

hayati masih efektif mengendalikan

hama Plutella xylostella Linn

Secara statistik perbedaan

pengaruh masing-masing perlakuan

terhadap populasi hama Plutella

xylostella Linn terbukti nyata.

Efektifitas nematoda S.

Carpocapsae (All Strain) terhadap

pengendalian P.xylostella Linn

termasuk tinggi dibanding dengan B.

thuringiensis var Aizawai dan B.

thuringiensis var Kurstaki. Hal ini

mengingat penyemprotan nematoda S.

Carpocapsae (All Strain) dilakukan

hanya dua minggu sekali namun justru

memberikan persentase penurunan

aplikasi hama yang jauh lebih tinggi dari

pada B. thuringiensis var Aizawai dan B.

thuringiensis var Kurstaki yang

diaplikasi seminggu sekali. Hal ini

membuktikan bahwa nematoda S.

Carpocapsae (All Strain) mempunyai

daya bunuh yang tinggi dari pada agensia

hayati yang lain.

Hasilpenelitian ini berbeda dengan

laporan Oka (1998) yang menyatakan

bahwa B. thuringiensis berdasarkan

pengujian di laboratorium efektif untuk

menimbulkan mortalitas larva hama

P.xylostella Linn dengan

angka kematian sampai 50 persen.

Rendahnya efektifitas agensia

hayati B. thuringiensis var Aizawai dan

B. thuringiensis var Kurstaki dalam

percobaan ini kemungkinan disebabkan

oleh pengaruh lingkungan yang tidak

sesuai untuk kehidupan organisme

tersebut. Insektisida dalam bentuk

mikroorganisme memang lebih sensitif

terhadap lingkungan setelah diaplikasi

di lapang. Sinar ultra violet, perubahan

suhu dan kelembaban bisa menurunkan

aktifitas mikroorganisme tersebut,

bahkan dapat menimbulkan kematian

(Novizan, 2002).

Tingginya efektifitas Profenofos

dalam menekan populasi hama

P.xylostella Linn pada percobaan ini

membuktikan bahwa di daerah

penelitian belum terjadi resistensi

P.xylostella Linn terhadap jenis

insektisida kimiawi tersebut. Hal ini

dimungkinkan karena petani di daerah

tersebut menggunakan insektisida jenis

lain hingga belum timbul resistensi

terhadap insektisida Profenofos.

Secara statistik pengaruh masing-

masing perlakuan terhadap populasi

hama P.xylostella Linn juga terbukti

berbeda. Perlakuan insektisida

Profenofos memberikan efektifitas

yang paling tinggi, disusul perlakuan

nematoda S Carpocapsae (All Strain).

Sementara perlakuan B. thuringiensis

var Aizawai dan B. thuringiensis var

Kurstakitidak memberikan pengaruh

yang berbeda bila dibandingkan dengan

kontrol.

2. Pengaruh Aplikasi Perlakuan

Terhadap Populasi Hama

Crocidolomia binotalis Zell Pengaruh aplikasi selama musim

tanam antar perlakuan terhadap

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

108

penurunan populasi hama tidak berbeda

nyata secara signifikan (Tabel 2).

Populasi hama pada perlakuan kontrol

dan nematoda S. Carpocapsae

memberikan efek yang negatif pada

masa pembentukan krop. Sedang pada

perlakuan B. thuringiensis var Aizawai

dan B. thuringiensis var Kurstaki dan

insektisida Profenofos menunjukkan

aplikasi perlakuan mengurangi populasi

Crocidolomia binotalis Zell.

Pada awal hingga akhir

pengamatan menunjukkan bahwa

aplikasi perlakuan tidak memberikan

pengaruh. Hal ini membuktikan bahwa

aplikasi agensia hayati tidak efektif

untuk mengendalikan hama C. binotalis

Zell.

Pada masa ini tanaman kubis

banyak yamg tidak mampu membentuk

krop. Messkipun tanaman kubis

mampu membentuk krop namun

kropnya akan berlubang, karena

serangan hama C. binotalis Zell dan P.

.xylostella Linn menyerang bersama-

sama sehingga merusak krop kubis

sampai ke titik tumbuh.

Rendahnya efektifitas

pengendalian disebabkan karena cara

hidup larva C. binotalis Zell yang

cenderung berada di dalam lipatan krop

hingga tidak terjangkau oleh bahan

yang disemprotkan. Menurut

Matsumura (1995) larva C. binotalis

Zell bersembunyi di balik daun untuk

menghindari sinar matahari. Laeva

memakan daun yang masih muda

kemudian menuju titik tumbuh. Bila

serangan parah tanaman tidak dapat

membentuk tunas dan akhirnya mati.

Pracaya (1993) melaporkan bahwa

setelah menetas larva C. binotalis Zell

akan memakan daun kubis, terutama

bagian dalam kubis (krop) karena larva

tersebut takut terhadap sinar matahari.

Dengan memperhatikan

kebiasaan hidup larva C. binotalis Zell

di atas, maka cara penyemprotan

perlakuan seharusnya diutamakan agar

menjangkau bagian dalam daun yang

berupa daun muda dan titik tumbuh.

Bila cara penyemprotan tidak tepat,

maka efektifitas pengendalian akan

menurun.

Demikian pula tingkat

konsentrasi agensia hayati dalam

larutan yang disemprotkan akan

sangatmempengaruhi

efektifitaspengendalian. Konsentrasi

yang terlalu rendah menyebabkan

pengembangan kehidupan agensia

hayati makin mengecil.

Nama C. binotalis Zell telah

mengalami penurunan kerentanannya

terhadap bahan pengendali yang

diperlukan. Hal ini dimungkinkan strain

yang ada telah melakukan modifikasi

organ dalam tubuhnya melalui proses

mutasi, sehingga C. binotalis Zell

menjadi lebih tahan terhadap serangan

agensia hayati yang masuk ke tubuhnya.

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

109

Insektisida Profenofos merupa-

kan insektisida kimiawi yang sangat

beracun bagi serangga yang bersifat

sebagai racun kontak maupun racun

perut, efektif dalam mengendalikan

hama P. Xylostella Linn maupun hama

C. binotalis Zell. Hal ini disebabkan

karena insektisida Profenofos

menghambat bekerjanya enzim

asetilkolinesterase yang berakibat

terjadinya penumpukan asetikolin dan

terjadilah kekacauan pada sistim

penghantaran impuls ke sel-sel otot.

Keadaan ini akan menyebabkan pesan-

pesan berikutnya tidak dapat

diteruskan, otot kejang-kejang dan

akhirnya terjadi kelumpuhan (paralysis)

dan kematian.

Nematoda S. Carpocapsae tidak

efektif dalam mengendalikan hama C.

binotalis Zell, disebabkan karena

interval aplikasi yang terlalu lama yaitu

dua minggu sekali dan pengaruh sinar

ultra violet pada hari berikutnya setelah

aplikasi yang dapat mempengaruhi

kemampuan nematoda untuk bertahan

pada permukaan daun.

Menurut Glaugler dan Kaya

(1993), nematoda untuk bergerak dan

menemukan inangnya dalam

lingkungan merupakan bagian yang

sangat penting bagi efektifitas

nematoda patogen. Banyak penelitian

mengenai kesuksesan penggunaan

nematoda S. Carpocapsae untuk

mengendalikan serangan hama yang

hidup di dalam tanah, akan tetapi

penggunaan nematoda S. Carpocapsae

pada permukaan daun sedikit sekali

dilaporkan, karena faktor lingkungan

fisik menjadi hambatan utama. Infektif

Juvenil (IJ) adalah stadia untuk mencari

dan menemukan inang, sangat rentan

terhadap kondisi fisik yang ekstrim

terutama sinar matahari, suhu yang

tinggi dan kelembaban yang rendah.

Meskipun petani di daerah sekitar

penelitian belum menggunakan agensia

hayati, akan tetapi penggunaan agensia

hayati tersebut tidak efektif dalam

mengendalikan hama P. Xylostella Linn

maupun hama C. binotalis Zell.

3. Pengaruh Aplkikasi Perlakuan

Terhadap Peningkatan Produksi

Kubis

Besarnya produksi hasil panen serta

beberapa nilai kondisi tanaman yang

disebabkan serangan hama disajikan pada

Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui rerata

perlakuan dengan nematoda S.

Carpocapsae dan profenofos. Demikian

pula dari persentase tanaman yang tidak

membentuk krop terbanyak pada kontrol,

sementara agensia hayati S.

Carpocapsae, B. thuringiensis var

Aizawai dan B. thuringiensis var

Kurstaki memberikan penurunan yang

signifikan namun nilai terendah diperoleh

pada kelompok perlakuan B.

thuringiensis var Aizawai, nematoda S.

Carpocapsae maupun insektisida

Profenofos.

Perlakuan insektisida Profenofos

sebaiknya tidak usah dilakukan, cukup

dengan pengendalian hayati

menggunakan nematoda S. Carpocapsae,

dan B. thuringiensis var Kurstaki

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

110

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan

pembahasan pada penelitian ini dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Insektisida Profenofos paling efektif

dibanding dengan perlakuan agensia

hayati dalam pengendalian populasi

hama tanaman kubis P. Xylostella

Linn maupun hama C. binotalis Zell

b. Efektifitas agensia hayati dalam

mengendalikan hama tanaman kubis

P. Xylostella Linn paling tinggi

adalah dengan nematoda S.

Carpocapsae (All Strain),diikuti

oleh B. thuringiensis var Aizawai

dan B. thuringiensis var Kurstaki

c. Aplikasi agensia hayati atau

insektisida tidak efektif dalam

mengendalikan hama C. binotalis

Zell.

d. Perlakuan agensia hayati atau

insektisida memberi pengaruh yang

sama terhadap bobot panen

tanaman.

2. Saran

a. Waktu aplikasi agensia hayati

nematoda S. Carpocapsae (All

Strain) dapat disesuaikan dengan

pengamatan nilai ambang ekonomi

hama, sehingga tidak menimbulkan

kerusakan tanaman kubis.

b. Pada penelitian lebih lanjut tentang

frekuensi penyemprotan penggu-

naan dengan nematoda S.

Carpocapsae (All Strain) terhadap

tanaman kubis pada interval setiap

minggu sekali.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Pengendalian Hama

dan Penyakit Tanaman Ramah

Lingkungan. Report of Practical

Stage in Garden of Lembaga

Penelitian Hortikultura. Pasar

Minggu Jakarta 49p.

Ashari, S. 1995. Hortikultura aspek

Budidaya Universitas Indonesia.

Jakarta. 485p.

Chaerani, Finegan, M.M., Downes, M.J.

dan Griffin, C.T. 1995. Pembiakan

massal Nematoda Entomopathogen

Steinernema Serangga

Heterorhabditis Isolat Indonesia

Secara in Vitro Untuk

Mengendalikan Hama Penggerek

Padi Secara Hayati. Poster Ilmiah

Pada Pekan Ilmu Pengetahuan Dan

Teknologi Pospitek Serpong 28-29

Nopember 1995. 11p.

Ehlers R.U. and A. Peter. 2001.

Entomophatogenic Nematodes in

Biological Control, Feasibility,

Perspective and P Risks, In

Biological Control: Nenefit and

Risks (H.M.T. Hokkanen and J.M.

Lynch, eds). Cambridge University

Press. Cambridge. 119-136.

Glaugler. R. dan Kaya, H.K. 1993.

Entomopathogenic Nematodes in

Biological Control. CRC. Press

Boca raton Florida.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops

in Indonesia. Revisid and

Translated by P.A. Van Der Laan.

Ichtiar Baru. Jakarta. 627p

Mau, R.F.L. dan J.L.M. kessing. 1992.

Plutella xylostella Linn. Dept. Of

Entomology. Honolulu Hawai http:

//www. Extento Hawai.

Edu/base/crop/Type/Plutella Htm.

Matsumura, F. 1995. Toxycology of

Insectisiden. Plehum Press. New

York. 503p.

Novizan. 2002 Membuat dan

Memanfaatkan Pestisida Ramah

Lingkungan.. Agro Media Pustaka.

Jakarta:50-60pp.

Oka, I.N. 1998. Pengendalian Hama

Terpadu dan Implementasinya di

Indonesia. Gajah Mada University

Press. Yogyakarta. 255p

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

111

Permadi, A.H. 1993. Kubis. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Balai Penelitian

Hortikultura Lembang. 155 hal.

Pracaya. 1993. Hama dan Penyakit

Tumbuhan. Penebar Swadaya.

Jakarta. 103p.

Rukmana. R. 1997. Teknik

Pengendalian Hama dan Penyakit

Tanaman. Kanisus. Yogyakarta

76-77p.

Setiawati. W. 1996. Status Resistensi

Plutella xylostella Linn Strain

Lembang, Pengalengan dan Garut

Terhadap Pestisida Bacillus

thuringiensis. Jurnal Hortikultura

(3) 367-391.

Shelton. A. N. Turner, D. Giga, D.

Wilkinson P., Zitzaanza, W. Dan

Utete. D. 1995. Diamond Back

Month. Zimbabwe. Horticultural

Crop Past Management.

NYSAES. Genewa. 2pp.

Sulistyanto. D. 1999. Pemanfaatan

Nematoda Entomopatogen

Steirnenema carpocapsae dan

Nematoda Entomopatogen

Heterorhabditis spp. Isolat

Sebagai Pengendalian Hayati

Serangga Hama Hortikultura.

Kumpulan Materi Crash Course

Sekolah Lapang Pengendalian

Hama Terpadu Pemandu Lapang

di Jember oktober 1999.

Trizelia. 2002. Pemanfaatan Bacillus

thuringiensis Untuk

Mengendalikan Hama Plutella

xylostella Linn. Sumber :

http;/rudyct, Tripod com/sem 1-

612/trizelia.htm.

Tang, Z.; H. Gong and Z. P. You.

1988. Present Status and Control

Measuring of Insectiside

Resistance in Agricultura Pset in

China. Bull Pestic. Sci. 23: 189-

198pp.

Untung. K. 1996. Pengantar

Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah

Mada University

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

112

MEDIA SOERJO Vol. 7 No. 2 Oktober 2010

ISSN 1979 – 6239

Liliek Mulyaningsih, Aplikasi Agensia Hayati Atau Insektisida Dalam

Pengendalian Hama Plutella Linn Crocidolomia Binatalis Zell

Untuk Peningkatan produksi Kubis (Brassica Oleracea L)

113