Upload
dinhdan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IV-168
PENGEMBANGAN KEDELAI DAN KEBIJAKAN PENELITIAN DI INDONESIA1)
P. Simatupang2), Marwoto3) dan Dewa K.S. Swastika4)
Ringkasan
Tanaman kedelai merupakan tanaman cash crop dibudidayakan di lahan sawah dan di lahan kering. Sekitar 60% areal pertanaman kedelai terdapat di lahan sawah dan 40% lainnya di lahan kering. Luas areal tanam mencapai puncaknya tahun 1992, yaitu 1,67 juta ha. Namun sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 areal tanam terus menurun menjadi 0,53 juta ha. Kebutuhan kedelai pada tahun 2004 sebesar 2,02 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0,71 juta ton, sehingga 1,31 juta ton kekurangannya harus diimpor. Sekitar 35% dari total kebutuhan kedelai dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri Penurunan areal tanam berkaitan erat dengan banjirnya kedelai impor, sehingga nilai kompetitif dan komparatif tanaman kedelai merosot. Mengingat potensi lahan di Indonesia cukup luas dan jumlah penduduk yang cukup besar, dan berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai maka komoditas kedelai perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan agar dapat menekan laju impor.
Upaya untuk menekan laju impor tersebut dapat ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infra struktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha.
Guna mendukung pengembangan kedelai di Indonesia maka fokus penelitian adalah melestarikan dan mendayagunakan plasma nutfah tamanan kedelai guna menopang kegiatan pemuliaan berkelanjutan dan produktif menghasilkan varietas unggul baru (VUB). Untuk meningkatkan potensi komoditas kedelai lahan sawah irigasi dan lahan kering dapat ditempuh melalui sintesis teknik produksi yang terdiri dari VUB kedelai adaptif, hasil tinggi (2,5,3,0 t/ha), berbiji besar, toleran kekeringan dan toleran hama dan penyakit disertai komponen pengelolaan LATO yang efisien pada lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan dan lahan kering.
Diseminasi hasil penelitian dan alih teknologi diarahkan untuk meningkatkan akses pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi agar teknologi yang dihasilkan tersebut cepat diadopsi petani. Strategi pemasyarakatan inovasi teknologi hasil penelitian mengacu pada program Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 2005 yakni melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI)
1) Makalah disampaikan pada: Lokakakarya Pengembangan Kedelai di Lahan sub Optimal di BALITKABI Malang,
Tanggal 26 Juli 2005 2) Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 3) Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 4) Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
IV-169
I. PENDAHULUAN
Saat ini tanaman kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang
penting setelah beras disamping sebagai bahan pakan dan industri olahan.
Karena hampir 90% digunakan sebagai bahan pangan maka ketersediaan kedelai
menjadi faktor yang cukup penting (Anonimous, 2004c). Selain itu, kedelai juga
merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein yang memiliki arti penting
sebagai sumber protein nabati untuk peningkatan gizi dan mengatasi penyakit
kurang gizi seperti busung lapar Perkembangan manfaat kedelai di samping
sebagai sumber protein, makanan berbahan kedelai dapat dipakai juga sebagai
penurun cholesterol darah yang dapat mencegah penyakit jantung. Selain itu,
kedelai dapat berfungsi sebagai antioksidan dan dapat mencegah penyakit
kanker. Oleh karena itu, ke depan proyeksi kebutuhan kedelai akan meningkat
seiring dengan kesadaran masyarakat tentang makanan sehat. Produk kedelai
sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan dalam menumbuh-
kembangkan industri kecil menengah bahkan sebagai komoditas ekspor.
Kebutuhan kedelai pada tahun 2004 sebesar 2,02 juta ton, sedangkan
produksi dalam negeri baru mencapai 0,71 juta ton dan kekurangannya diimpor
sebesar 1,31 juta ton (Anonimous 2005c) Hanya sekitar 35% dari total kebutuhan
dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sendiri. Upaya untuk menekan laju
impor tersebut dapat ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas,
perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelembagaan
petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses
pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infra struktur, serta
pengaturan tataniaga dan insentif usaha (Anonimous, 2004c; 2005c) Mengingat
Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar, dan industri pangan
berbahan baku kedelai berkembang pesat maka komoditas kedelai perlu
mendapat prioritas untuk dikembangkan di dalam negeri untuk menekan laju impor
(Anoniomus, 2005b).
Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran tentang arah
pengembangan produksi kedelai ke depan dan kebijakan penelitian, sebagai
bahan pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pengembangan
komoditas kedelai
IV-170
II. USAHATANI KEDELAI SAAT INI
a. Usahatani
Tanaman kedelai yang merupakan tanaman cash crop dibudidayakan di
lahan sawah dan di lahan kering. Sekitar 60% areal pertanaman kedelai terdapat
di lahan sawah dan 40% lainnya di lahan kering. Areal pertanaman kedelai
tersebar di seluruh Indonesia dengan luas masing-masing seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Penyebaran areal kedelai menurut wilayah (ha)
Wilayah 1992 (%) 2003 (%)
Sumatera 480.714 28,86 40.896 7,76 Jawa 879.650 52,81 374.346 71,06 Kalimantan 23.148 1,39 9.591 1,82 Bali & NTB 152.388 9,15 73.944 14,04 Sulawesi 124.551 7,48 22.987 4,36 Maluku & Papua 5.255 0,32 5.031 0,96
Jumlah 1.665.706 100,00 526.796 100,00
Sumber : Anonimous, 2004b
Tabel 1 menunjukkan bahwa luas areal tanam mencapai puncaknya tahun
1992, yaitu 1,67 juta ha. Namun sejak tahun 2000 areal tanam terus menurun
menjadi 0,53 juta ha pada tahun 2003. Penurunan areal tanam ada kaitannya
dengan banjirnya kedelai impor sehingga nilai kompetitif dan komparatif tanaman
kedelai merosot.
Secara finansial usahatani kedelai di tingkat petani menguntungkan, di
mana pendapatan bersih yang diperoleh sekitar Rp 2.048.500/ha dengan R/C 2,14
(Anonimous, 2005a).
b. Sistem pendukung
Benih bermutu varietas unggul merupakan salah satu faktor yang
menentukan produktivitas pertanaman kedelai. Dalam mendukung penyediaan
benih bermutu industri benih di komoditas kedelai belum berkembang dengan
baik. Produsen benih nasional maupun penangkar lokal masih kurang berperan
(Nugraha, 1996, Siregar, 1999) Berbeda dengan komoditas padi dan jagung,
IV-171
usaha perbenihan untuk tanaman kedelai masih tertinggal, petani lebih banyak
memakai benih asalan atau turunan dari pertanaman sebelumnya. Pemakaian
benih unggul bersertifikat pada tanaman kedelai kurang dari 10% (Anonimous
2004b).
Industri pangan berupa tahu, tempe dan kecap banyak menyerap biji
kedelai. Konsumsi tertinggi adalah untuk bahan industri tahu dan tempe.
Berdasarkan perhitungan, konsumsi kedelai untuk tahu dan tempe pada tahun
2002 mencapai 1,776 juta ton, atau 88% dari total kebutuhan dalam negeri
digunakan sebagai bahan baku olahan tahu dan tempe (BPS, 2002)
Industri pakan ternak (unggas) merupakan kegiatan agribisnis hilir yang
cukup penting dalam agribisnis kedelai. Dalam pembuatan pakan ternak, bungkil
kedelai merupakan bahan terpenting kedua setelah jagung, yaitu sekitar 15–20%
dari komposisi pakan.
Kedelai juga sebagai bahan baku penting industri lain, di antaranya tepung,
olahan pangan, dan pati. Namun kebutuhan industri lain ini hanya menyerap biji
kedelai sekitar 12% dari total kebutuhan konsumsi kedelai.
III. POTENSI, DAN ARAH PENGEMBANGAN KEDELAI
1. Potensi Lahan
Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan kedelai dapat diarahkan ke
provinsi-provinsi yang pernah berhasil menanam kedelai Peta wilayah potensial
sumber pertumbuhan baru produksi kedelai dan Location Quotient (LQ) digunakan
sebagai indikator kesesuaian agroekosistem bagi usaha tani kedelai (Fagi, 2005)
Wilayah sasaran pengembangan intensifikasi terletak di provinsi penghasil kedelai
utama (LQ) tinggi diikuti provinsi penghasil kedelai (LQ sedang).
Peta wilayah potensial sumber pertumbuhan baru produksi kedelai dan
Location Quotient (LQ) digunakan sebagai indikator kesesuaian agroekosistem
bagi usaha tani kedelai. Penjabaran arti dari LQ adalah dari:
LQ = E ir / Ein
di mana Eir adalah sumbangan kedelai (i) terhadap ekonomi provinsi (r), Ein
adalah sumbangan kedelai (i) terhadap ekonomi nasional (n). Nilai LQ
diklasifikasikan sebagai berikut :
IV-172
3,0 > LQ > 2,0 à nilai tinggi 2,0 > LQ > 1,0 à nilai sedang 1,0 > LQ > 0 à nilai rendah
Wilayah sasaran intensifikasi terletak di provinsi penghasil kedelai utama
(LQ) tinggi diikuti provinsi penghasil kedelai (LQ sedang). Skala prioritas
pengembangan kedelai berdasarkan nilai LQ disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Prioritas program peningkatan produksi dan perluasan kedelai
berdasarkan nilai LQ provinsi
Nilai LQ dan Provinsi Peningkatan Produktivitas (PP)
Perluasa Areal Tanam (PAT)
3,0 > LQ > 2,0 NTB, Jawa Timur, Yoyakarta
+++ +
2,0 > LQ >1,0 Aceh, Lampung, Jabar, Jateng, Sulsel
+++ +
1,0 > LQ > 0,5 Bali, Sulut, Sumbar, Sumut
++ +
0,5 > LQ > 0,1 Jambi, Sumsel, Sultra, Bengkulu, Kalsel, Irja
+ +++
Keterangan : +++ Prioritas utama ++ Prioritas sedang + Prioritas rendah
Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa potensi lahan yang sesuai untuk
tanaman kedelai, baik untuk program peningkatan produktivitas maupun perluasan
areal. Namun untuk pengembangan tanaman kedelai masih banyak kendalanya
antara lain nilai komparatif dan kompetitif kedelai paling rendah di antara
komoditas lainnya.
Pengembangan areal tanam kedelai dapat dilakukan pada lahan sawah,
lahan kering (tegalan), lahan bukaan baru dan lahan pasang surut yang telah
direklamasi. Secara rinci peluang penambahan areal panen dapat dilakukan pada:
§ Lahan sawah MK II (Juli – Oktober) yang biasanya diberokan seperti: jalur
pantura Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung,
Sumatera Utara, NTB, dan Kalimantan Selatan
§ Lahan sawah tadah hujan (MK I Maret – Juni) awal musim hujan sebelum
ditanami padi sawah seperti Jawa dan NTB
IV-173
Tabel 3. Daerah Sasaran Peningkatan Produktivitas di Provinsi Ppenghasil Kedelai Utama (LQ Tinggi) dan Provinsi Penghasil Kedelai (LQ sedang)
Nilai LQ Provinsi Kabupaten
1 3,0>LQ>2,0 (Tinggi)
1 Yogyakarta (40.050 ha)
Gunung kidul, Bantul, Wonosari, Slemen
2 Jawa Timur (279.500 ha)
Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep.
3 NTB (139.520 ha) Sumbawa, Dompu, Lombok Tengah, Lombok Barat
2 2,0>LQ>1,0 (Sedang)
1 Aceh (181.390 ha) Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Selatan.
2 Lampung (164.500 ha)
Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara
3 Jawa Barat (327. 500 ha)
Pandeglang, Lebak, Serang, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi
4 Jawa Tengah (379.500 ha)
Purworejo, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Kudus, Jepara, Pati, Blora
5 Sulawesi Selatan (322.100 ha)
Bone Enrekang, Gowa, Majene, Maros, Pangkajene, Poliwali, Selayar, Sidereung, sopeng, Wajo
§ Lahan kering (tegal), kedelai ditanam pada MH I (Oktober – Januari) atau
MH II (Februari – Maret). Pertanaman kedelai ini lebih banyak di Lampung,
Jambi, Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTB, Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
§ Ladang yang belum ditanami
§ Tumpangsari pada lahan peremajaan perhutani
§ Tumpangsari tanaman perkebunan, jagung
§ Lahan bukaan baru, bekas alang-alang.
§ Lahan pasang surut yang telah direklamasi.
Tanah yang sesuai untuk budidaya kedelai adalah tekstur berlempung atau
berliat, solum tanah sedang-dalam, drainase sedang-baik, hara NPK dan unsur
IV-174
mikro sedang-tinggi, pH tanah 5,6 – 6,9. Jenis tanah yang sesuai untuk kedelai
adalah tanah Aluvial, Regosol, Andosol, Latosol, Gromusol, dan Ultisol/Oxisol
dengan amelioran kapur, fosfat dan bahan organik. Lahan gambut yang sudah
direklamasi juga sesuai untuk tanaman kedelai.
2. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi
Data statistik dari FAO menunjukkan bahwa selama periode 1990–1995,
areal panen kedelai masih meningkat dari 1,33 juta ha pada tahun 1990 menjadi
1.48 juta ha pada tahun 1995, atau meningkat rata-rata 2,06 persen per tahun.
Sejak tahun 1995, terjadi penurunan areal panen secara tajam dari sekitar 1,48
juta ha menjadi sekitar 0,83 juta ha pada tahun 2000, atau menurun rata-rata
11,00 persen per tahun. Selama periode 2000–2004, areal panen kedelai masih
terus menurun rata-rata 9,66 persen per tahun.
Tabel 4. Perkembangan areal, produktivitas, produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia, 1990–
2004
Areal Produk-tivitas Prod. Kon-
sumsi Pen-
duduk Kons/ kap Defisit Income/
kap Tahun (000 ha) (t/ha) (000 ton) (ton) (000
jiwa) (kg/kap) (000 ton) (Rp 000/th)
1990 1.334 1,11 1.487 2.028 178170 11,38 541 616,44
1991 1.368 1,14 1.555 2.228 181094 12,30 673 670,57
1992 1.665 1,12 1.870 2.560 184491 13,87 690 715,16
1993 1.470 1,16 1.709 2.431 187589 12,96 723 858,93
1994 1.407 1,11 1.565 2.365 190676 12,40 800 930,96
1995 1.477 1,14 1.680 2.287 193486 11,82 607 979,93
1996 1.273 1,19 1.517 2.263 196807 11,50 746 1046,46
1997 1.119 1,21 1.357 1.973 199837 9,87 616 771,96
1998 1.095 1,19 1.306 1.649 202873 8,13 343 654,97
1999 1.151 1,20 1.383 2.684 205915 13,03 1.301 719,11
2000 825 1,23 1.018 2.294 210033 10,92 1.276 849,11
2001 679 1,22 827 1.960 214234 9,15 1.133 845,48
2002 545 1,24 673 2.017 217747 9,26 1.344 tad
2003 527 1,28 672 2.016 221231 9,11 1.343 tad
2004 550 1,29 707 2.015 224660 8,97 1.307 tad
Pertumb
1990-95 2,06 0,39 2,46 2,43 1,66 0,75 2,33 9,71
1995-00 -11,00 1,65 -9,53 0,06 1,65 -1,57 16,02 -2,83
2000-04 -9,66 1,06 -8,70 -3,19 1,70 -4,81 0,61 -0,43 Rata2 Pertb (%) -6,14 1,03 -5,17 -0,05 1,67 -1,69 6.51 2,91
Sumber FAO. 2004. BPS. 2004, diolah
IV-175
Secara keseluruhan, selama periode 15 tahun terakhir (1990–2004) luas
areal kedelai di Indonesia menurun tajam dari sekitar 1,33 juta ha pada tahun
1990 menjadi 0,55 juta ha pada tahun 2004, atau turun rata-rata 6,14 persen per
tahun, seperti terlihat pada Tabel 4 diatas.
Perkembangan teknologi, baik penggunaan varietas maupun teknologi
budidaya sedikit berhasil meningkatkan produktivitas kedelai dari rata-rata 1,11
ton/ha pada tahun 1990 menjadi rata-rata 1,29 ton/ha pada tahun 2004, atau
meningkat rata-rata 1,03 persen per tahun. Peningkatan produktivitas mencapai
puncaknya pada periode 1995–2000, yaitu mencapai rata-rata 1,65 persen per
tahun. Meskipun produktivitas meningkat, namun peningkatan tersebut jauh lebih
rendah daripada penurunan luas areal, sehingga total produksi pada periode
tersebut turun rata-rata 9,53 persen per tahun.
3. Perkembangan Konsumsi
Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam
bentuk produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai
bentuk makanan ringan (snack). Data statistik FAO menunjukkan bahwa konsumsi
per kapita kedelai selama 1½ dekade terakhir menurun dari sekitar 11,38
kg/kapita pada tahun 1990 menjadi sekitar 8,97 kg/kapita pada tahun 2004, atau
menurun rata-rata 1,69 persen per tahun. Penurunan terjadi sejak tahun 1995.
Selama periode 1995–2000, konsumsi per kapita menurun dari 11,82 kg/kapita
pada tahun 1995 menjadi 10,92 kg/kapita pada tahun 2000, atau turun rata-rata
1,57 persen per tahun. Selanjutnya, penurunan paling tajam terjadi pada periode
2000–2004, yaitu rata-rata 4,81 persen per tahun.
Penurunan total konsumsi jauh lebih rendah daripada penurunan produksi.
Implikasinya ialah bahwa tanpa terobosan yang berarti, Indonesia akan
menghadapi defisit yang makin besar (Swastika, 2003). Artinya, bahwa Indonesia
akan makin tergantung dengan impor untuk menutupi defisit Seperti disajikan
pada Tabel 5, bahwa Indonesia selalu mempunyai net impor yang meningkat dari
sekitar 0,54 juta ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1,31 juta ton pada tahun
2004. Mengingat penurunan produksi kedelai jauh lebih tajam daripada penurunan
total konsumsi, maka ke depan impor untuk menutupi defisit diperkirakan akan
terus meningkat. Padahal Indonesia pernah berswasembada kedelai sebelum
tahun 1976, dengan indeks swasembada lebih besar dari satu (Swastika, 1997).
IV-176
Tabel 5. Neraca produksi, konsumsi dan perdagangan kedelai di Indonesia, tahun 1990–2004
Prod Konsumsi Defisit Impor Ekspor Net impor Tahun (000 ton) (ton) (000 ton) (000 ton) (ton) (000 ton)
1990 1.487 2.028 541 541 0,24 541 1991 1.555 2.228 673 673 0,27 672 1992 1.870 2.560 690 694 3,91 690 1993 1.709 2.431 723 724 0,75 723 1994 1.565 2.365 800 800 0,03 800 1995 1.680 2.287 607 607 0,08 607 1996 1.517 2.263 746 746 0,24 746 1997 1.357 1.973 616 616 0,01 616 1998 1.306 1.649 343 343 0,00 343 1999 1.383 2.684 1.301 1.302 0,02 1.302 2000 1.018 2.294 1.276 1.278 0,52 1.277 2001 827 1.960 1.133 1.136 1,19 1.135 2002 673 2.017 1.344 1.365 0,24 1.365 2003 672 2.016 1.343 1.193 0,43 1.192 2004 707 2.015 1.307 1.307 0,00 1.307
Pertumb (%) -5,17 -0,05 6.51 6,50 - 6.51 Sumber FAO. 2004, diolah.
4. Pasar, Harga dan Daya Saing
Diduga penurunan harga riil menjadi disinsentif yang menyebabkan
terjadinya penurunan areal panen kedelai. Selain itu, persaingan penggunaan
lahan dengan palawija lainnya juga diduga merupakan salah satu penyebab
turunnya areal panen kedelai. Indikatornya ialah kenaikan harga riil jagung.
Secara teoritis, kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam
komoditas tersebut. Konsekuensinya ialah bahwa kenaikan areal tanam jagung
(sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal untuk
kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama. Perkembangan
harga riil kedelai dan jagung sebagai pesaing disajikan pada Tabel 6 Harga yang
digunakan dalam bahasan ini adalah harga riil, yaitu harga nominal dideflasi
dengan indeks harga umum dengan tahun dasar 1983. Berdasarkan data statistik
dari FAO, harga riil kedelai selama periode 1991–2002 berfluktuasi dari tahun ke
tahun. Namun demikian, secara umum mengalami penurunan dari Rp 493/kg
pada tahun 1991 menjadi Rp 344/kg pada tahun 2002, atau turun rata-rata 3,21
persen per tahun. Di lain pihak, harga riil jagung ternyata meningkat rata-rata 0,98
persen per tahun selama periode yang sama. Perkembangan harga kedua
komoditas ini merupakan salah satu indikator adanya persaingan penggunaan
IV-177
lahan. Kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam jagung,
sehingga akan menurunkan areal tanam kedelai.
Tabel 6. Perkembangan harga kedelai dan komoditas pesaingnya di Indonesia,
tahun 1991–2002
Tahun Kedelai 1) (Rp/kg)
Jagung 1) (Rp/kg)
Kedelai Impor 2) (Rp/kg)
1991 493 143 - 1992 454 126 276 1993 484 133 278 1994 515 158 296 1995 472 164 286 1996 476 185 303 1997 337 123 239 1998 330 117 290 1999 321 132 234 2000 277 114 223 2001 324 150 230 2002 344 159 298
-3,21 0,98 0.75
Sumber: 1) FAO, 2004, 2) Ditjentan, 2004.
Dari segi persaingan harga pasar, ternyata harga riil kedelai impor jauh lebih
murah daripada kedelai produksi dalam negeri. Hal ini juga merupakan disinsentif
bagi petani dalam menanam kedelai. Selama harga kedelai impor rendah, maka
arus impor akan makin deras, sehingga harga kedelai produksi dalam negeri akan
turun. Hal ini menyebabkan petani enggan menanam kedelai. Kedua faktor di atas
diduga merupakan penyebab turunnya areal kedelai secara drastis selama
periode 1990–2004. Jika kondisi ini terus berlangsung tanpa ada terobosan
kebijakan dalam pemasaran kedelai, maka prospek pasar untuk pengembangan
kedelai di Indonesia tidak begitu cerah.
a. Pemasaran
Seperti telah diungkapkan di atas, bahwa kedelai pada umumnya
dikonsumsi dalam bentuk produk olahan. Oleh karena itu, pemasarannya mulai
dari daerah sentra produksi ke industri pengolahan melalui pedagang, dan
bermuara ke konsumen akhir. Selain dari petani, kedelai di pasar domestik juga
sebagian berasal dari impor. Kedelai impor umumnya dibeli oleh koperasi
IV-178
pengerajin tahu dan tempe (KOPTI), untuk selanjutnya dipasarkan ke pengerajin
tahu dan tempe.
Dalam pemasaran kedelai, petani umumnya berada dalam posisi tawar
yang lemah, sehingga harga kedelai di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh
pedagang. Oleh karena itu, harga riil di tingkat produsen (petani) selama 15 tahun
terakhir cenderung terus menurun. Dalam pengembangan diperlukan perbaikan
tataniaga kedelai dari produsen hingga konsumen.
b. Daya Saing Usahatani
Seperti telah diungkapkan di atas, bahwa secara finansial usahatani kedelai
di Indonesia menguntungkan (Anonimous, 2004b). Namun demikian, keuntungan
finansial belum dapat menggambarkan tingkat efisiensi ekonomi usahatani, karena
masih banyak terdapat komponen subsidi atau proteksi. Oleh karena itu, untuk
mengevaluasi daya saing suatu komoditas diperlukan evaluasi secara ekonomi.
Studi daya saing yang pernah dilakukan oleh Gonzales (1993) menunjukkan
bahwa secara ekonomi usahatani kedelai di Indonesia belum mempunyai
keunggulan komparatif dan kompetitif, baik yang dilakukan secara tradisional
maupun secara komersial, untuk ketiga rezim pemasaran, yaitu perdagangan
antar wilayah (IRT), substitusi impor (IS), dan promosi ekspor (EP), seperti
disajikan pada Tabel 7.
Seperti terlihat pada Tabel 7, bahwa padi dan jagung mempunyai
keunggulan komparatif jika diproduksi untuk perdagangan antar wilayah dan
substitusi impor. Sedangkan untuk promosi ekspor tidak mempunyai keunggulan
komparatif. Untuk kedelai, tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk ketiga
regim pemasaran. Hal ini diperlihatkan oleh nilai RCR yang lebih besar dari 1,00.
Artinya ialah bahwa untuk memperoleh penerimaan US$ 1.00 memerlukan
korbanan (biaya) melebihi US$ 1.00. Padahal pada tahun 1992–1993 Indonesia
mencapai puncak luas areal tanam kedelai, yang mencerminkan adanya insentif
harga untuk menanam kedelai.
IV-179
Tabel 7. Efisiensi ekonomi dari beberapa tanaman pangan di Indonesia
Komoditas Teknologi Rezim Pasar RCR
Padi Lahan Irigasi IRT IS EP
0,691 0,867 1,127
Jagung
Komposit Hibrida
IRT IS EP IRT IS EP
0,707 0,679 1,335 0,611 0,526 1,182
Kedelai
Tradisional Komersial
IRT IS EP IRT IS EP
1,520 1,428 2,184 1,274 1,183 1,913
Sumber : Gonzales, et al. 1993. Keterangan : IRT: perdagangan antar wilayah, IS: substitusi impor, EP: promosi
ekspor.
Arah pengembangan komoditas kedelai agar memiliki daya saing yang tinggi
adalah dengan meningkatkan produksi, memperbaiki kualitas dan dayaguna
kedelai sebagai produk olahan yang mampu bersaing dengan produk olahan dari
bahan baku non kedelai lainnya. Di samping itu, kebijakan pemerintah yang dapat
melindungi harga kedelai domestik dan kebijakan pemberlakuan tarif impor serta
pembatasan jumlah impor.
c. Kebijakan harga
Harga komoditas kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah.
Harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar, yang ditentukan oleh permintaan
dan persediaan (Demand and Supply). Harga nominal kedelai di tingkat petani
berfluktuasi, disaat panen raya harga jatuh hingga per kilo Rp 2.750,- dan pada
saat ini harga mencapai Rp 3.800,- Belum berlakunya tarif impor pada saat ini
menyebabkan jumlah kedelai impor semakin banyak, sehingga harga kedelai di
dalam negeri jatuh dan petani enggan menanam kedelai. Oleh karena itu
pengendalian impor dan pengamanan pasar dalam negeri perlu ditingkatkan.
IV-180
5. Profil Inovasi Teknologi
Senjang produktivitas kedelai di tingkat petani (rata-rata 1,2 t/ha) dengan
potensi genetik tanaman kedelai masih cukup tinggi (potensi genetik >2 t/ha).
Rendahnya produktivitas disebabkan sebagian besar petani belum menggunakan
benih unggul dan teknik pengelolaan tanaman masih belum optimal (Adisarwanto,
2004;2005) Teknologi produksi kedelai meliputi varietas unggul dan teknik
pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu tanaman (LATO).
Pengelolaan LATO dimaksudkan agar potensi hayati yang dimiliki oleh varietas
dapat terekspresikan secara optimal. Varietas unggul merupakan inovasi teknologi
yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam
meningkatkan produksi (Marwoto dan Hilman, 2005). Varietas unggul memiliki
sifat seperti hasil tinggi, umur genjah, dan tahan/toleran terhadap cekaman biotik
(hama dan penyakit) dan abiotik (lingkungan fisik). Teknik produksi merupakan
sintesis dari varietas unggul dan teknik pengalolaan LATO (lahan, air, tanaman,
dan organisme pengganggu). Inovasi teknologi dengan penggunaan benih
bermutu, pembuatan saluran drainase, pemberian air yang cukup, pengendalian
hama dan penyakit dengan sistem PHT, panen dan pasca panen dengan alsintan
mampu meningkatkan produksi kedelai sesuai dengan potensi genetiknya
(Anonimous, 2004a). Oleh karena itu dukungan penelitian terhadap inovasi
teknologi peningkatan produksi kedelai sangat diperlukan.
6. Proyeksi Konsumsi
Proyeksi konsumsi kedelai dalam bahasan ini dilakukan dengan cara
memproyeksikan konsumsi per kapita dan proyeksi jumlah penduduk. Proyeksi
konsumsi per kapita dilakukan dengan menggunakan elastisitas pendapatan,
elastisitas harga kedelai, dan elastisitas silang harga komoditas lainnya,
berdasarkan hasil penelitian Simatupang et al. (2003).
Pertumbuhan harga masing-masing komoditas menggunakan data FAO
1991–2002, sedangkan pertumbuhan pendapatan per kapita menggunakan BPS,
2002. Proyeksi jumlah penduduk dilakukan dengan menggunakan pertumbuhan
penduduk dengan tingkat yang makin rendah.
Selama periode 1990–2004, pertumbuhan penduduk adalah 1,67 persen per
tahun. Selanjutnya, pertumbuhan penduduk diasumsikan menurun 0,03 persen
per tahun. Dengan menggunakan elastisitas yang ada, maka proyeksi konsumsi
IV-181
per kapita dan total konsumsi kedelai sampai 2025 adalah seperti disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8. Proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia, tahun 2003–2025.
Tahun Konsumsi/cap (Kg/th)
Proy Pddk (000 jiwa)
Grw pddk (%)
Total Konsumsi (000 ton)
2003 9,11 221231 1,67 2.016 2004 9,20 224860 1,64 2.069 2005 9,29 228480 1,61 2.124 2006 9,39 232090 1,58 2.179 2007 9,48 235687 1,55 2.235 2008 9,58 239270 1,52 2.291 2009 9,67 242835 1,49 2.349 2010 9,77 246380 1,46 2.407 2011 9,87 249903 1,43 2.466 2012 9,97 253402 1,40 2.525 2013 10,07 256874 1,37 2.585 2014 10,17 260316 1,34 2.646 2015 10,27 263726 1,31 2.708 2016 10,37 267102 1,28 2.770 2017 10,47 270440 1,25 2.833 2018 10,58 273740 1,22 2.896 2019 10,68 276997 1,19 2.960 2020 10,79 280210 1,16 3.024 2021 10,90 283377 1,13 3.089 2022 11,01 286494 1,10 3.154 2023 11,12 289559 1,07 3.219 2024 11,23 292571 1,04 3.286 2025 11,34 295526 1,01 3.352
Sumber: perhitungan proyeksi penulis
Dari Tabel 8 terlihat bahwa total kebutuhan konsumsi kedelai terus
meningkat dari 2,02 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2,71 juta ton pada tahun
2015 dan 3,35 juta ton pada tahun 2025. Jika sasaran produktivitas rata-rata
nasional 1,5 ton/ha bisa dicapai, maka kebutuhan areal tanam kedelai
diperkirakan sebesar 1,81 juta ha pada tahun 2015, dan 2,24 juta ha pada tahun
2025. Tantangannya adalah bagaimana mencapai areal tanam seluas itu,
sementara lahan yang tersedia terbatas dan digunakan untuk berbagai tanaman
palawija, terutama yang lebih kompetitif.
IV-182
7. Arah Pengembangan Produksi
Strategi peningkatan produksi kedelai nasional ditempuh melalui program:
(a) Peningkatan produktivitas (PP), dan (b) Perluasan areal tanam (PAT).
Program peningkatan produktivitas diprioritaskan di wilayah-wilayah sentra
produksi yang produktivitasnya masih tergolong rendah, di mana tingkat
penerapan teknologi oleh petani masih kurang. Wilayah-wilayah yang sesuai
untuk program ini antara lain adalah beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa
Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Program perluasan areal tanam melalui peningkatan indeks pertanaman (IP)
ditujukan ke wilayah-wilayah yang memiliki potensi sumberdaya lahan cukup baik
di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan
Sulawesi Selatan. Sedang perluasan areal dapat dilakukan pada sawah tadah
hujan/irigasi sederhana, dan lahan kering yang cukup luas, namun belum optimal
dimanfaatkan. Wilayah-wilayah yang tergolong kategori tersebut antara lain
adalah Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Bengkulu, Kalimantan Selatan
Prioritas agroekosistem sasaran pengembangan kedelai perlu mempertim-
bangkan beberapa hal, yaitu kendala produksi yang minimal (tanah dan iklim
sesuai-cukup sesuai), peluang keberhasilan yang cukup tinggi, prasarana
pendukung cukup baik, dan ketersediaan SDM (petani) yang terampil. Untuk itu,
prioritas pertama adalah lahan sawah irigasi, prioritas kedua adalah lahan sawah
tadah hujan, dan prioritas ketiga adalah lahan-lahan kering (sudah pernah
dibudidayakan, iklim/curah hujan mendukung, bukan lahan bukaan baru).
IV. KEBIJAKAN PENELITIAN
Penelitian pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian
yang berperan dalam menyediakan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta memberikan umpan ke depan bagi pembangunan pertanian. Komoditas
kedelai merupakan tanaman pangan ketiga setelah beras dan jagung mempunyai
peran penting dalam ketahanan pangan (Anonimous, 2005c). Kebutuhan kedelai
semakin meningkat, produksi menurun dan impor semakin meningkat. Peluang
dan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia cukup tersedia di dalam
IV-183
negeri dan masih memungkinkan untuk meningkatkan produksi dan menekan laju
impor. Inovasi teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas kedelai. Oleh karena itu pada tahun 2005-2009 penelitian kedelai
diprioritaskan dengan anggaran yang lebih tinggi daripada kacang-kacangan lain
dan umbi-umbian. Arah penelitian untuk memberikan sumbangan bagi ketahanan
pangan, meningkatkan produktivitas, mengembangkan teknologi dan IPTEK
pertanian ramah lingkungan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,
serta kelompok masyarakat yang hidupnya tergantung pada kegiatan yang terkait
dengan pertanian tanaman kedelai (Anonimous 2005c).
Peningkatan kapasitas produksi kedelai yang prospektif adalah dengan
peningkatan produktivitas dan menambah luas panen. Upaya peningkatan
produktivitas dengan peningkatan penerapan inovasi teknologi dapat dilakukan di
lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan dan lahan kering.
Penggunaan varietas unggul dalam skala luas dan terus-menerus terbukti
mendesak eksistensi varietas lokal. Tersingkirnya varietas lokal berpotensi besar
bagi hilangnya gen-gen penting yang terkandung di dalamnya. Karenanya, upaya
penyelamatan, pemeliharaan dan pemberdayaan plasma nutfah tanaman kedelai
lokal perlu diperhatikan. Varietas lokal yang teridentifikasi memiliki keunggulan
dan diterima pasar dapat dilepas sebagai varietas unggul. Varietas unggul lokal
akan lebih cepat berkembang karena benih telah tersedia di tingkat petani dan
pengembangannya didukung oleh pemerintah daerah.
Penelitian pemuliaan kedelai periode tahun 2005-2009 mendatang
diharapkan mampu menghasilkan varietas unggul baru yang adaptif pada lahan
sawah dengan potensi hasil 2,5 – 3,0 t/ha dan kering masam dengan pH 4,0-5,5,
dengan hasil 2,0-2,5 t/ha. Penelitian pengelolaan lahan, air, tanaman dan
organisme pengganggu (LATO) diharapkan mampu memaksimalkan potensi hasil
varietas kedelai di lahan sawah dan kering.
Sintesis teknik produksi kedelai yang terdiri dari VUB dan komponen
pengelolaan LATO untuk lahan sawah dan kering, diharapkan dapat
disosialisasikan kepada petani bekerjasama dengan BPTP setempat dan
Pemerintah Daerah melalui diseminasi hasil penelitian. Diseminasi hasil penelitian
dan alih teknologi diarahkan untuk meningkatkan akses pengguna ilmu
pengetahuan dan teknologi agar teknologi yang dihasilkan tersebut cepat diadopsi
petani. Strategi pemasyarakatan inovasi teknologi hasil penelitian mengacu pada
IV-184
program Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 2005 yakni
melaksanakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi
Teknologi Pertanian (PRIMA TANI) (Simatupang, 2004). Tujuan utama Prima
Tani adalah untuk mempercepat waktu, meningkatkan kadar dan memperluas
prevalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian
serta untuk memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna,
spesifik pengguna dan lokasi, merupakan informasi esensial dalam rangka
mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasikan kebutuhan pengguna.
Prima Tani dirancang berfungsi ganda, sebagai modus diseminasi dan sekaligus
sebagai laboratorium lapang penelitian dan pengembangan. Oleh karena itu
diseminasi dan pemasyarakatan teknologi produksi dan varietas unggul baru perlu
ditingkatkan agar percepatan pengenalan, pemakaian dan produksi varietas
unggul baru perlu ditingkatkan.
Sejalan dengan Visi, Misi dan arah pembangunan pertanian dan fokus
penelitian, maka penelitian kedelai dalam lima tahun mendatang adalah:
A. Tujuan Penelitian
(1) Melestarikan dan mendayagunakan plasma nutfah tamanan kedelai .guna
menopang kegiatan pemuliaan berkelanjutan dan produktif menghasilkan
varietas unggul baru (VUB).
(2) Meningkatkan potensi komoditas kedelai lahan sawah irigasi dan tadah hujan
melalui sintesis teknik produksi yang terdiri dari VUB kedelai adaptif lahan
sawah tadah hujan, hasil tinggi (2,5,3,0 t/ha), berbiji besar, toleran kekeringan
dan toleran hama dan penyakit disertai komponen pengelolaan LATO yang
efisien pada lahan sawah tadah hujan.
(3) Meningkatkan potensi komoditas kedelai lahan kering masam melalui sintesis
teknik produksi yang terdiri dari VUB kedelai lahan masam hasil tinggi (2,0-2,5
t/ha) dan komponen pengelolaan LATO yang efisien pada lahan kering masam
pH 4,0-5.5.
(4) Mengkarakterisasi faktor biofisik lahan sebagai landasan pengembangan
PRIMATANI berbasis tanaman kedelai.
(5) Menyediakan bahan diseminasi dan promosi hasil penelitian berupa prosiding
seminar/lokakarya, brosur teknologi, poster, bahan tayangan dan “pers
IV-185
release”, laporan kegiatan pemasyarakatan teknologi dan distribusi benih
sumber kepada pengguna.
B. Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai adalah:
(1) Berfungsinya sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman kedelai untuk
melayani kebutuhan penelitian, dengan prioritas dapat dilestarikannya 1061
assesi plasma nutfah kedelai, terdokumentasi informasinya dalam katalog
plasma nutfah yang diperbarui setiap dua tahun dan tersedia beberapa
assesi yang dimanfaatkan sebagai sumber gen utama dalam kegiatan
pemuliaan tanaman kedelai.
(2) Tersedia dan berfungsinya sistem dan teknik produksi kedelai lahan sawah
irigasi dan tadah hujan serta lahan kering masam.
(3) Dihasilkannya, tersedianya dan dimanfatkannya benih penjenis VUB kedelai.
(4) Terselenggaranya diseminasi hasil penelitian melalui PRIMATANI, promosi
melalui media cetak dan elektronik, terdistribusinya benih sumber melalui Unit
Produksi Benih Sumber (UPBS) dan Unit Komersialisasi Teknologi (UKT).
(5) Meningkatnya kapasitas dan profesionalisme sumberdaya manusia, kualitas
dan ketersediaan sarana/prasarana serta budaya kerja produktif dan inovatif
V. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan kedelai di dalam negeri diarahkan melalui strategi
peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Peningkatan
produktivitas dicapai dengan penerapan teknologi yang sesuai (spesifik) bagi
agroekologi/wilayah setempat. Perluasan areal tanam diarahkan melalui
peningkatan indeks pertanaman (IP) di lahan sawah irigasi sederhana, sawah
tadah hujan dan lahan kering yang telah diusahakan
2. Sumbangan inovasi teknologi hasil penelitian berupa varietas unggul baru
spesifik lokasi dan pengelolaan LATO merupakan andalan untuk
meningkatkan produksi baik melalui program peningkatan produktivitas
maupun perluasan areal.
IV-186
3. Fokus penelitian melestarikan dan mendayagunakan plasma nutfah tamanan
kedelai guna menopang kegiatan pemuliaan berkelanjutan dan produktif
menghasilkan varietas unggul baru (VUB). Meningkatkan potensi komoditas
kedelai lahan sawah irigasi dan lahan kering melalui sintesis teknik produksi
yang terdiri dari VUB kedelai adaptif, hasil tinggi (2,5,3,0 t/ha), berbiji besar,
toleran kekeringan dan toleran hama dan penyakit disertai komponen
pengelolaan LATO yang efisien Mengkarakterisasi faktor biofisik lahan sebagai
landasan pengembangan PRIMATANI berbasis tanaman kedelai.
4. Menyediakan bahan diseminasi dan promosi hasil penelitian berupa prosiding
seminar/lokakarya, brosur teknologi, poster, bahan tayangan dan “pers
release”, kegiatan pemasyarakatan teknologi dan distribusi benih sumber
kepada pengguna.
5. Agar tujuan dan sasaran penelitian dan pengembangan kedelai yang
dimaksud tercapai, sangat diperlukan dukungan dan partisipasi dari seluruh
stakeholder: (i) Kebijakan pemerintah yang kondusif, mulai dari subsistem hulu
hingga ke subsistem hilir (ii) Komitmen dari stakeholder swasta/pengusaha
dalam berpartisipasi untuk mengurangi ketergantungan pangan kita dari impor,
(iii) Partisipasi aktif Pemerintah Daerah dan aparat pertanian (penyuluh) serta
masyarakat tani dalam pengembangan budidaya tanaman kedelai.
PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2004. Strategi peningkatan produksi kedelai sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi impor. Orasi Pengukuhan APU. Badan Litbang Pertanian. 50 hlm.
______________ 2005. Kedelai, budidaya dengan pemupukan yang efektif dan pengoptimalan peran bintil akar. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. 107 hlm.
Anonimuos, 2004a. Dukungan inovasi teknologi dalam program bangkit kedelai. Puslitbangtan. Makalah disampaikan pada Bangkit Kedelai di Cisarua. Ditjentan. Bogor. 36 hlm.
__________ 2004b. Profil Kedelai (Glycine max). Ditjentan, Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 50 hlm.
__________ 2004c. Roadmap Komoditas Kedelai. Balitkabi. 9 hlm.
__________ 2005a. Program Bangkit Kedelai tahun 2004. Ditjentan, Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 27 hlm.
IV-187
__________ 2005b Makalah Menteri Pertanian dalam Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian. 13 April 2005. 16 hlm.
Anonimous, 2005 c. Renstra Balitkabi 2005-2009, Balitkabi (Proses Publikasi)
__________ 2005c. Rencana Pembangunan Pertanian Jangka Menengah (RPPJM: 2005–2010) Departemen Pertanian.
Gonzales, L.A. , F. Kasryno, N.D. Perez and M.W. Rosegrant. 1993. Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian Food Crop Production. Reseacrh Report 93. Int. Food Polycy. Resch. Inst. Washinton.DC.
Fagi, A.M. 2005. Menurunnya produksi kedelai nasional dan alternatif program peningkatan usaha agribisnis kedelai di Indonesia. Seri AKTP, No 14/2005. 8 hlm.
Hilman. Y., A. Kasno dan N. Saleh. 2004. Kacang-kacangan dan Umbi-umbian: Kontribusi terhadap ketahanan pangan dan perkembangan teknologinya. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. hal 95-132.
Marwoto dan Y. Hilman. 2005. Teknologi kacang-kacangan dan umbi-umbian mendukung ketahanan pangan. Kinerja Balitkabi 2003–2004. Balitkabi. 20 hlm.
Nugraha.U.S. 1996. Produksi benih kedelai bermutu melalui sistem JABAL dan partisipasi petani. XV(2) : 27–35.
Simatupang,P., B. Sayaka, Saktyannu, S. Marianto, M. Ariani dan N.Syafa`at. 2003. Makalah disampaikan pada Prawidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 14–15 Oktober 2003. 67 hlm.
Simatupang, P. 2004. Prima Tani sebagai langkah awal pengembangan sistem dan usaha agribisnis industrial. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Penerapan dan inovasi teknologi dalam agribisnis sebagai upaya pemberdayaan rumah tangga petani. PSE Pertanian.- Universitas Widya Mataram Yogyakarta : 16 hal.
Siregar,M. 1999. Pembenihan Sistem Perbenihan Terpadu. Kasus komoditas Kedelai. (Improvement of Integrated Seed System : Case Study of Soybean) Forum of Agro-Economic Research. Research. Vol 17(1). pp.14–26.
Suryana, A. 2005. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005–2009. Badan Litbang Pertanian. 32 hlm.
Swastika,D.K.S. 1997. Swasembada kedelai antara harapan dan kenyataan.. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol.15(1): 57–66.
Swastika, D.K.S. 2003. Soybean self-sufficiency in Indonesia: Dream or Reality?. Shoert Article. CGPRT-Flash. Vol.1(5): 2 p.
D:\data\data\Anjak-2005\Arah Kebijakan penelitian kedelai
IV-188
Lampiran : Matriks Strategi Pengembangan Komoditas kedelai No. Strategi Kebijakan Program
1 1. Strategi Faktor Produksi § Penyediaan faktor
produksi sesuai dengan: jumlah, mutu, waktu, jenis,harga.
§ Distribusi faktor produksi § Aksesibilitas terhadap
faktor produksi
§ Perbaikan sistem produksi, kualitas, dan distribusi benih, utamanya untuk jenis komposit melalui pembinaan penangkar di pedesaan secara berjenjang.
§ Penyesuaian harga benih hibrida sehingga terjangkau bagi petani.
2. Strategi produksi
§ Peningkatan produktivitas
§ Percepatan pemasyarakan inovasi teknologi (varietas unggul dan pengelolaan lato
§ Pembentukan VUB spesifik lokasi dan pemasyarakatan VUB
§ Penyesuaian teknologi produksi dengan lingkungan (efisiensi produksi)
§ PTT § Perluasan area: 1. Peningkatan IP Pengaturan pola tanam Penerapan SUT kedelai dalam pola
tanam 2. Pemanfaatan Lahan
tidur Pembukaan lahan tidur § Pemanfaatan lahan tidur dengan
teknologi spesifik lokasi 3. Tanaman sela Tumpangsari, Tumpang gilir § Pemanfaatan lahan di antara
tanaman perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kakao, dsb) sampai batas waktu tertentu.
4. Lahan bukaan baru Reklamasi lahan pasang surut
§ Pemanfaatan lahan pasang surut ex PLG
§ Peningkatan stabilitas hasil
§ Pembentukan VUB toleran cekaman biotik dan abiotik
§ Penerapan PHT
§ Sosialisasi penggunaan varietas sesuai lingkungan (toleran kemasaman tanah, toleran kekeringan)
§ Sekolah Lapang PHT § Penekanan senjang hasil
(Potensi vs aktual, antar petani, antar wilayah)
§ Percepatan sosialisasi teknologi produksi
§ Membangun kelembagaan Penyuluhan, pelatihan, sekolah lapang
§ Menekan kehilangan hasil panen
§ Perbaikan pasca panen dengan konsentrasi prosesing, pengeringan
§ Percepatan sosialisasi teknologi pasca panen melalui pelatihan, penyuluhan(Primatani)
3. Strategi Peningkatan nilai
tambah dan daya saing (industri pedesaan)
§ Pengembangan pengolahan dan pemasaran produk olahan kedelai
§ Percepatan pengembangan industri pengolahan kedelai di pedesaan
4. Strategi Distribusi dan Pemasaran § Keunggulan Kompetitif
(Cost and Quality) § Tepat Sasaran dan Waktu
(Timing Know How) § Penguatan Pijakan
(Stronghold) § Prioritas Investasi (Deep
Pocket)
Pemamfaatan informasi pasar input dan output dalam pengembangan agribisnis beras
Pengolahan dan pemasaran hasil
IV-189
Lanjutan Lampiran:
No. Strategi Kebijakan Program
.5. Konsolidasi Manajemen
Usahatani § Pembentukan korporasi
usaha (KUAT) § Peningkatan kapasitas
(SDM litbang, penyuluhan, petani dan pengguna)
§ Pengembangan sistem keuangan mikro (skim kredit, insentif pengguna teknologi, KUM)
§ Penajaman sasaran riset dan pengembangan
§ Pengembangan skim kredit, insentif pengguna teknologi)
§ Revitalisasi penyuluhan pertanian
o Pengembangan kelembagaan o Pembentukan korporasi usaha
dalam bentuk KUAT o Pendidikan, latihan dan
membangan kembali lembaga penyuluhan sebagai institusi pusat
6. Strategi pengembangan sistem pendukung § Insentif investasi (riset
dan pengembangan) § Informasi (aksesibilitas
informasi iptek, pasar) § perbankan
Peningkatan aksesibilitas terhadap informasi terhadap iptek dan pasar kedelai dan produk olahannya
Pengembangan jaringan informasi tentang iptek dan pasar kedelai dan produk olahan
2 Kebijakan § Pembatasan impor § Standarisasi produk § Harga § Tataniaga § Subsidi (output, usaha) § Pembiayaan § Investasi § Fiskal dan moneter § Karantina § Kemitraan § Pewilayahan komoditas
Sumber : Anonimous, 2004c