Upload
arif-endotel
View
701
Download
32
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fgffgfj
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sialolithiasis adalah penyakit yang paling umum dari kelenjar ludah.
Diperkirakan bahwa hal ini mempengaruhi 12 dari 1000 populasi orang dewasa. Pria
lebih banyak dua kali lipat dari perempuan. Anak-anak jarang terkena tetapi dari
beberapa literatur mengungkapkan 100 kasus submandibula pada anak usia 3 minggu
sampai 15 tahun. Penyakit ini biasanya mempengaruhi pasien usia menengah, dengan
rentang usia antara 42 sampai 58,4 tahun.
Kelenjar submandibula yang paling sering terlibat diikuti oleh kelenjar
parotid, sublingual dan kelenjar ludah minor. Batu intraductal lebih umum
dibandingkan dengan batu intraglandular. Kelenjar submandibular adalah yang paling
sering terlibat disebabkan karena lokasi anatominya, panjangnya, berliku-liku dengan
lubang saluran yang sempit dibandingkan dengan bagian utama dari saluran. Seiring
dengan faktor-faktor ini, cairan alkali yang kaya dengan kandungan musin juga
berkontribusi terhadap pembentukan batu.
40% dari parotis dan 20% dari batu submandibular tidak menampakkan
gambaran radiopak dan mungkin diperlukan sialography untuk menemukan
lokasinya. Lokasi saliva biasanya unilateral dan bukan merupakan penyebab dari
mulut kering. Gambaran klinisnya bulat atau bulat telur, kasar atau halus dan
warnanya kekuningan. Kandungannya terutama terdiri dari kalsium fosfat dengan
sedikit jumlah karbonat dalam bentuk hidroksiapatit, dengan jumlah magnesium,
kalium dan amonia yang lebih sedikit. Kandungan tersebut terdistribusi secara
merata. Batu submandibular 82% anorganik dan 18% bahan organik sedangkan batu
parotis terdiri dari 49% anorganik dan 51% organik. Bahan organik terdiri dari
berbagai karbohidrat dan asam amino. unsur bakteri belum diidentifikasi dari inti
sialolith.
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana mengetahui etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, serta
penatalaksanaan dari sialolithiasis.
1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, serta
penatalaksanaan dari sialolithiasis.
1.4 MANFAAT
Adapun manfaat yang didapat adalah menambah wawasan mengenai ilmu
kedokteran pada umumnya, serta ilmu gigi dan mulut khususnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ABSTRACK
Sialolithiasis tercatat sebagai penyebab terbanyak dari obstruksi kelenjar
ludah yang mengarah ke pembengkakan yang menyakitkan yang sifatnya berulang
dari kelenjar yang sering memperparah saat makan. Batu mungkin ditemui di salah
satu kelenjar ludah, tetapi paling sering di kelenjar submandibular dan duktusnya.
Laporan kasus ini menyajikan kasus pasien wanita dengan usia 55 tahun yang
memiliki sialolith submandibular. Sialolith telah dihapus dengan Pendekatan intraoral
dan tidak ada komplikasi pasca operasi. Artikel tersebut juga menelaah berbagai
modalitas diagnostik yang tersedia dan pilihan pengobatan.
2.2 CASE REPORT
Seorang pasien berusia 55 tahun perempuan dilaporkan ke OPD gigi, dengan
keluhan nyeri kepala dan bengkak di ekstraoral pada daerah posterior kiri bawah
dalam 6 hari (Gambar-1) Pasien mengeluhkan munculnya pembengkakan di
ekstraoral kiri daerah kelenjar sub-mandibula sudah lebih dari 6 bulan. Bengkak
disertai nyeri dan muncul dengan sendirinya. Tidak ada hubungan terkait dengan
pembengkakan baik intra-oral atau ekstra-oral. Namun, pasien merasakan sulit
menelan karena pembengkakan tersebut. Dia datang ke dokter dan diberikan obat
setelah itu bengkaknya hilang dengan sendirinya. Rincian tentang obat yang
diberikan ke pasien tidak tercantum. Namun 6 hari yang lalu pasien mengalami
bengkak yang disertai nyeri di daerah yang sama. pembengkakan dan nyeri dirasakan
semakin parah pada saat pasien makan ataupun menelan apa pun dan akhirnya
mereda.
Dia juga mengalami sakit parah di daerah submandibular kiri waktu pagi hari.
Riwayat kesehatan pasien dan gigi juga tidak signifikan. Dari pemeriksaan klinis
menunjukkan tidak asimetris pada atas atau bagian tengah dari wajah. Namun
3
sepertiga dari bagian wajah di daerah mandibula kiri menunjukkan adanya
pembengkakan. Pembengkakan bentuknya kira-kira oval dan memanjang kedepan
sampai rahang bawah di daerah parasymphyseal, posterior sampai sudut mandibula,
batas superior dan inferior daerah kelenjar submanibular tidak melewati garis tengah
(Gambar-1). Daerah submental tampak normal. Kulit di atasnya tampak normal dan
teregang. Pada palpasi, tidak ada peningkatan suhu dari pembengkakan dan
pembengkakan teraba seperti tulang, lembut dan bisa digerakkan. Pembengkakan
tidak melekat pada struktur di bawahnya. Kulit di atasnya tampak tidak terhubung
dengan bagian bawah dari pembengkakan. Tidak ada rasa kesemutan didaerah
tersebut. Batas bawah mandibula tampak utuh. TMJ tidak ada bunyi atau
penyimpangan gerakan, tidak ada mobilitas berlebihan atau pembengkakan yang
berkaitan dengan sendi. Pembukaan mulut tidak ada kelainan. Bagian submandibular
kiri membesar, teraba, dan konsistensinya lembut. Pembukaan duktus Stenson
tampak normal dengan ekspresi saliva normal.
Gambar-1: menunjukkan bengkak extra-oral dibagian kiri dari mandibular
4
Namun, pembukaan dari duktus wharton’s menampakkan gambaran kering
dengan ekspresi dari saliva sedikit. Palpasi bimanual dari kelenjar submandibula kiri
menunjukkan peningkatan didaerah kelenjar. Dari palpasi kelenjar intraoral teraba
lembut.
Gambar-2 Gambar-3
Gambar-4
Gambar-5
Keterangan Gambar:
Gambar-2: menunjukkan pembukaan duktus wharton dengan tanpa adanya saliva.Gambar-3: Oklusal mandibula menunjukkan sialolith di sisi kiri
5
Gambar-4: eksisi bedah dengan pendekatan Intra-oralGambar-5: menampilkan potongan sialolith
2.3 DISCUSSION
Sebagian besar kasus dari sialoliths submandibular asimtomatik. Nyeri dan
pembengkakan mungkin menjadi tanda-tanda dan gejala yang lebih jelas pada
antisipasi makanan karena obstruksi dari cairan saliva. Hipotesis mengenai
patogenesis menyarankan bahwa, ada sebuah nodus organik yang semakin tumbuh
oleh pengendapan dari zat anorganik dan organik atau microcalculi intraseluler yang
diekskresikan dalam kanal dan berperan sebagai nodus untuk kalsifikasi lebih lanjut.
Dalam beberapa kasus, adanya plug mukosa berperan sebagai nodus dalam sistem
duktus telah dilaporkan. Kemungkinan debris, bakteri atau zat yang bermigrasi di
saluran saliva terisolasi dirongga juga telah dilaporkan.
Kunci dalam diagnosis sialolithiasis adalah penjelasan dari riwayat secara
menyeluruh dan pemeriksaan klinis. Berbagai metode klinis dan pencitraan tersedia
untuk mendiagnosis sialolith, Skenario dari gejala pasien dengan dokter dapat
menetapkan algoritma dari gambaran kelenjar saliva. Teknik radiografi adalah yang
paling umum digunakan untuk mendiagnosa sialolith. Semua batu saliva tidak dapat
divisualisasikan melalui radiografi konvensional karena beberapa dari batu tersebut
ada yang hypominelarized dan dilapisi jaringan radiodense. Dalam kasus ini
modalitas pencitraan yang canggih harus dipertimbangkan. Pemeriksaan
ultrasonografi (US) dianggap sebagai pemeriksaan sederhana dan modalitas non
invasif untuk mengevaluasi sialoliths terutama selama infeksi akut. Yoshimura Y et
al. menemukan dalam penelitian mereka bahwa tingkat deteksi dari sialoliths dengan
menggunakan ultrasonagraphic lebih tinggi bila dibandingkan dengan sialography.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi dianggap kurang akurat dibandingkan dengan
computed tomography (CT) dalam membedakan beberapa batu. Ini juga telah
dilaporkan bahwa sialoliths yang lebih kecil dari 3 mm mungkin tidak terdeteksi
selama pemeriksaan dengan US, karena mereka tidak akan menghasilkan bayangan
yang halus. Digital sialography dan pengurangan sialography telah meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas dari teknik konvensional sialographic yang dianggap
6
standard. Keuntungan utama dari teknik baru ini adalah menghasilkan suatu gambar
tanpa superimposisi yang berlebihan dari struktur anatomi. Kerugiannya adalah
kebutuhan menggunakan bahan kontras yang mensimulasikan sialography
konvensional. Alat ini dapat mengekspos pasien untuk radiasi bahaya, menyebabkan
rasa sakit selama prosedur pelaksanaan, melubangi dinding saluran dan mungkin akan
menjadi kontraindikasi selama infections akut.
Algoritma untuk pengobatan sialolithiasis tergantung pada lokasi dan ukuran
dari sialolith tersebut. Pasien dengan sialolithiasis dapat mengambil manfaat dari uji
coba dengan manajemen konservatif, terutama jika batunya ukuran kecil. Sementara
sialogogues digunakan untuk mempromosikan produksi air liur dan mengeluarkan
batu dari saluran. Dengan pembengkakan kelenjar dan sialolithiasis, infeksi harus
ditegakkan dan diresepkan antibiotik penisilinase resistance anti – staphylococcal.
Sebagian besar batu akan merespon rejimen tersebut, dikombinasikan dengan
sialolithotomy sederhana ketika dibutuhkan.
Zenk KJ et al. menemukan bahwa pembuangan transoral adalah pengobatan
pilihan untuk sialoliths submandibula yang dapat dilakukan dengan palpasi bimanual
dan dilokalisir oleh ultrasonography. Sialodochoplasty dapat dilakukan untuk
menghilangkan sialoliths submandibula yang yang terletak dekat dengan lubang dari
duktus Warthin. Untuk membuang batu distal ke punctum, sayatan melintang dapat
dibuat pada bagian distal batu untuk tidak melukai saraf lingual. Dalam pengelolaan
sialoliths besar yang terletak di dekat duktus proksimal, extracorporeal shock wave
lithotripsy (ESWL) dapat dipertimbangkan. Endoskopi intracorporeal shock wave
lithotripsy (EISWL) juga semakin penting karena mengurangi kerusakan jaringan
yang berdekatan selama procedure tersebut. Sialadenoscopy, yang merupakan teknik
non invasif dapat digunakan untuk mengelola sialoliths yang besar serta obliterasi
duktus. Laser CO2, karena sifatnya terjadi perdarahan minimal, membersihkan
jaringan parut, penglihatan jelas dan minim komplikasi operasi, adalah keunggulan
dari pengobatan sialolithiasis.
7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 DEFINISI
Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada
kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus
kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena
penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami
proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.
Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula
(warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari
sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada
duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar
saliva, diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian pada
laki-laki dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara
25 tahun sampai 50 tahun. 80-90% sialolithiasis ditemukan pada kelenjar
submandibula, 6% pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2%
ditemukan pada kelenjar liur minor. Terdapat dua faktor penting yang menjadi alasan
tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar submandibula. Pertama, sifat saliva
yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung banyak mucin, bahan
organik, enzim fosfatase, kalsium, fosfat, pH alkalin, karbon dioksida rendah. Kedua,
faktor anatomi dimana warthon’s duct panjang dan berkelok, posisi orifisium lebih
tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya.
8
3.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu
saliva mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus ,
Streptococcus viridans) dari kelenjar, Sjögren's sindrom dan atau peningkatan
kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan berkurang,
yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau obat yang menurunkan produksi
saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretic) dan anti psikotik,
tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara idiopatik.
Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik
di permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan
debris sel. Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.
Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang
menyusunnya antara lain mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit
[Ca3(PO4)]. Pengamatan dengan menggunakan transmisi mikroskop elektron dan
mikroanalisis X – ray.
Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai struktur
mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah
satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula. Etiologi
sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan
untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intracellular
microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan
adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus
salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus
organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan
inorganik.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya
batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan
9
menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran
sel akibat proses penuaan.
3.4 DIAGNOSIS KLINIS
Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala
apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten
merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan
dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi
saliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehingga
terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar. Stagnasi
yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai sekret yang
supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul gejala
infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva
yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis. Palpasi
bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan calculi pada
duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan kelenjar. Perabaan
ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva (hypofunctional atau non-
functional gland). Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis sialolithiasis,
radiografi oklusal berguna dalam menunjukkan batu radiopaque.
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Radiologis Imaging
Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva
antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan),
Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan
Nuclear Scintigraphy. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu
dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang
berkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.
1. Plain - Film Radiography
Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plainfoto
masih dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini
10
banyak memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi
sialolithiasis submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit
untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu yang kecil. Hanya 20% sialolith yang
radiotransparent sehingga metode ini hanya digunakan untuk skreening bila metode
lainnya tidak tersedia. Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan film dari
berbagai sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting untuk
mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh tulang
mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan regio
submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau
anteroposterior view tulang mandibula.
2. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya pada
tahun 1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia sering digunakan,
karena cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis dengan potongan tiap
milimeter. Akan tetapi CT scan tidak bisa menentukan lokasi batu yang kecil secara
tepat, kadang kala irisannya tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran
hyperdense.
3. Ultrasonography (USG)
Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan dan
hasil yang didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dipendent) dan
image yang dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali dia
mengerjakan sendiri. USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis.
Untuk memperjelas hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan
tranducer linier dan kontak permukaan yang kecil. Gambar diperoleh terutama
menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan oblique untuk menentukan
letak lesi dan menelusuri pembuluh darah. Penekanan seminimal mungkin untuk
menghindari distorsi anatomis.
4. Sialography (Sebagai Gold Standar)
Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque
(opacification) pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa
11
water soluble radiopaque dye secara retrograde intracanular. Cara ini dianggap
sebagai gold standar karena dapat memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu,
tapi juga struktur morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses
inflamasi, dan penyakit obstruktif lainnya. Keuntungan sialografi bisa bersifat
terapeutik, dimana cairan dye menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong
keluar melalui orifisium duktus (caruncula sublingualis). Kerugian metode ini antara
lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik shock, dan perforasi dinding
duktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi caruncula. Oleh karena itu,
sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi infeksi akut karena akan memicu
meningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik
pengembangan tanpa kontras, cukup dengan merangsang saliva sebagai pengganti
fungsi kontras (yaitu Magnetic Resonance Sialography).
5. Magnetic Resonance (MR) Sialography
MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif baru
dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91% spesifisitas 94% nilai
pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal ini lebih baik dari sialografi
konvensional. Secara teknis fungsi bahan kontras digantikan oleh saliva (natural
contras) yang dirangsang produksinya dengan orange juice, dan menggunakan
imaging T2-Weighted turbo spin-echo slides bidang sagital dan axial..8,12,13
Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak menggunakan bahan kontras, tidak ada
radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga bisa mengevaluasi kelainan fungsi
kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan teknik ini membutuhkan waktu
yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai kontras alami, menimbulkan
rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.
b. Endoskopis
Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedur
noninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk
cabang sekunder dan tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat
jalan dengan menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi
atau setengah berbaring. Fungsi utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus
12
diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan sialolith. Pada
prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke
intraluminar duktus melalui caruncula sublingualis. Diameter Sialendoskop yang
sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisi
patologis dapat diamati secara langsung. Selain diagnostik, metode ini bisa
melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan
pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation.
Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada
kelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi
mutlak termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif
Sialendoskopi hanya membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja. Pada
keadaan tertentu Sialendoskopi dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang
menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan
kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).
3.6 PENATALAKSANAAN
1. Tanpa pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan
antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara
spontan. pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan
NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria
diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875mg
amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu
minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam
termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan
batu lebih lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang
Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar.
Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan
tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama
13
bila berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering
diterapkan.
2. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk
mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,
terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10
mm), atau lokasi yang sulit. Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa
dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk
mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan
diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa
dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat
post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada
gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat
kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.
3. Minimal invasiv
3.1 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif
pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan
pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai
tahun 1990an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang
kecil sehingga tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan
juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.
Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula
maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis.
Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan
merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic
diathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan
kontraindikasi umum ESWL. Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak
membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position).
14
Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga
lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan
batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts
per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar
1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.
Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography,
echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi
fragmen. 5,17 Beberapa penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas
keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus
dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun,
Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom
setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL.
3.2 Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar
saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk
diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi,
striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi
merupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang
sekunder dan tersier. Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi adalah
semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya. Koch
et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk :
1) deteksi sialolith yang samar,
2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan
profilaksis pembentukan batu,
3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang
melibatkan kelenjar saliva,
6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.
15
Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive
yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-
anak, dewasa maupun usia lanjut. Teknik Intervensi Sialendoskopi. Sialendoskopi
dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan
bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan
bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter
sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva
diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini
dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini
diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa
masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Bila
didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya.
Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau <
3 mm pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita
masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan
diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan
sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya .
Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser
helium ke dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-
kecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama.
Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan
pembilasan dan penghisapan.
Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus
submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu
dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar
orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva.
Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah
striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.
4. Decision Tree
16
Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik
maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi
pada saluran kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada
kelenjar saliva yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan
sialendoskopi atau MR sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi
merupakan pilihan utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada
kasus kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk
melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.
Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm
parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan
ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi
bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan
dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup
dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan balloon
catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun
minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:
1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus
17
Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen Sislolithiasis
2) perdarahan post operative,
3) striktur sistem duktal,
4) pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal
therapy, dan
6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih
memungkinkan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Meskipun berbagai diagnostik yang canggih dan modalitas pengobatan telah
muncul dalam pengelolaan sialoliths, teknik konvensional tetap dipertahankan sampai
saat ini. Dilaporkan dari kasus submandibula sialolith yang didiagnosis secara klinis
dan radiografi serta diberi pengobatan namun tidak ditemukan komplikasi pasca
operasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Leung AK, Choi MC, Wagner GA Multiple sialolths and a sialolith of unusual
size in the submandibular duct. Oral Surg, Oral Med, Oral Path, Oral Radiol,
Endo 1999; 87: 331–333.
2. Cawson RA, Odell EW Essentials of oral pathology and oral medicine 6 th ed
pp239–240 Edinburgh: Churchill Livingstone 1998.
3. Steiner M, Gould AR, Kushner GM, Weber R, Pesto A Sialolithiasis of the
submandibular gland in an 8-year-old child. Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol,
Oral Radiol, Endod 1997; 83: 188.
4. Alcure ML, Vargas PA, Junior JJ, Junior O, Lopes MA. Clinical and
histopathological findings of sialoliths. Braz J Oral Sci. 2005 Mar; 4(15):899-
903.
5. Thierbach V, Privman V, Orlian AI. Submandibular gland sialolithiasis: a
case report. Gen Dent. 2000 Sep-Oct; 48(5):606-8.
6. Williams MF Sialolithisis Otolaryngologic Clinics of North America 1999;
32: 819–834.
7. Zenk J, Benzel W, Iro H New modalities in the management of human
sialolithiasis. Minimally invasive therapy 1994; 3: 275–284. 8. Dalkiz M,
Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (salivary stone). Turk J Med Sci. 2001;
31:177-179.
8. Alkurt MT, Peker I. Unusually large submandibular sialoliths: report of two
cases. Eur J Dent. 2009 Apr; 3(2):135-9.
9. Marchal F, Kurt AM, Dulguerov P, Lehmann W. Retrograde theory in
sialolithiasis formation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001 Jan;
127(1):66-8.
10. Yoshimura Y, Inoue Y, Odagawa T. Sonographic examination of
sialolithiasis. J Oral Maxillofac Surg. 1989 Sep;47(9):907-12.
11. Yousem DM, Kraut MA, Chalian AA. Major salivary gland imaging.
Radiology. 2000 Jul; 216(1):19-29.
20
12. Jäger L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M.
Sialolithiasis: MR sialography of the submandibular duct--an alternative to
conventional sialography and US? Radiology. 2000 Sep;216(3):665-71
13. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis management: the state of the art. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 2003 Sep; 129(9):951-6.
14. Pietz DM, Bach DE Submandibular sialolithisis. General Dentistry 1987; 35:
494–496.
15. Zenk J, Constantinidis J, Al-Kadah B, Iro H. Transoral removal of
submandibular stones. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001 Apr;
127(4):432-6.
16. Bodner L. Giant salivary gland calculi: diagnostic imaging and surgical
management. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2002 Sep;
94(3):320-3.
17. Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. Possible Etiology
of Calculi Formation in Salivary Glands: Biophysical Analisys of Calculus.
Med Mol Morphol 2005; 38: 189-95.
18. Graney DO, Jacobs JR, Kern RC. Salivary Glands. In: Cumming CJ, editor.
Otolangology – Head and Neck Surgery. 3rd ed. Mosby; 1999. p.1220.
19. Escudier MP, McGurk M. Symptomatic Sialoadenitis and Sialolithiasis in the
English Population, an Estimate of the Cost of Hospital Traetment. Br Dent J
1999 Mei; 186 (9): 463-6.
20. Siddiqui SJ. Sialolithiasis : An Unusually Submandibular Salivary Stone. Br
Dent J 2002 July; 193: 89-91.
21. Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A. Current Opinion in
Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngol Ital2005;
25:145-9.
22. Rosen FS, Byron BJ. Anatomy and Physiology of Salivary Glands Source.
Otolaryngol 2001 Jan 24.
23. Ching ASC, Ahuja AT. High-Resolution Sonography of the Submandibular
Space: Anatomy and Abnormalities. AJR 2002;179:703-8.
21
24. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis Management. Arch Otolaryngol-Head
and Neck Surg 2003 Sep; 129: 951-6.
25. Becker TS. Salivary Glands Imaging. In: Byron J, Bailey Md, editors. Head
and Neck Surgery - Otolangology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins
Publishers; 2001.
26. Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (Salivary Stone). Turk J Med
Sci 2001;31: 177-9.
27. Bar T, Zagury A, London D, Shacham R, Nahlieli O. Calcifications
Simulating Sialolithiasis of Major Salivary Glands. Dentomaxillofacial
Radiology 2007; 36: 59-62.
28. Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M.
Sialolithiasis: MR Sialography of the Submandibular Duct – An Alternative to
Conventional Sialography and US. RSNA Radiology 2000;216: 665-71
22