4
Bukan Charlie Hebdo, Saya Ahmad Oleh Shofwan Karim Apapun alasannya, pembataian kru media syarat sindiran Majalah Charlie Hebdo, Paris, Rabu 7 Januari 2015 lalu, adalah tindakan tidak masuk akal. Semua negara dan semua orang mengutuk. Tetapi mengapa terjadi, bagi sebagian opini tidak lagi penting. Sehingga begitu terfokus dan prihatinnya terhadap peristiwa itu, ribuan warga Prancis mengidentifikasi diri sebagai Charlie Hebdo. “Je Suis Charlie”. “Saya adalah Charlie”, kata mereka pada sepanduk dan banner yang dikibarkan. Akan tetapi tetap saja muncul kontroversi, polemik, perbantahan, perdebatan, perselisihan dan silang pendapat. Misalnya, sehari setelah kejadian, pada tanggal 8 Januari 2015, di Koran The New York Time, seorang penulis opini mengatakan, “I am not Charlie Hebdo”. “Saya bukan Charlie Hebdo”. David Brooks, penulis opini itu di dalam intro paragraf pertama tulisannya mengatakan begini (terjemahan bebas), “Para wartawan di Charlie Hebdo kini telah dirayakan sebagai martir atas nama kebebasan berekspresi, tetapi mari kita hadapi itu: Jika mereka mencoba menerbitkan koran satire mereka pada setiap kampus universitas Amerika selama dua dekade terakhir ini tidak akan berlangsung 30 detik. Mahasiswa dan kelompok fakultas akan menuduh mereka mengkampanyekan kebencian. Pihak rektorat akan menghapus beasiswa mereka dan akan memberhentikan mereka.” Selebihnya, David Brooks, alih-alih dari mengkaitkan peristiwa itu kepada aksi teroris, banyak mengoreksi prilaku kelompok kritis kampungnya sendiri. Di Amerika yang bebas mengeluarkan ekspresi, tetapi bila menyangkut sindiran terhadap lembaga suci, agama dan kelompok serta orang-orang tertentu, tetap diberangus dan dilawan oleh mereka yang tidak senang. Hanya tentu tidak sampai membantai seperti yang terjadi di Paris kemarin lalu itu.

Aritkel. Sgl.Konversi. Charlie H. 11.1.15.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Aritkel. Sgl.Konversi. Charlie H. 11.1.15.doc

Bukan Charlie Hebdo, Saya Ahmad Oleh Shofwan KarimApapun alasannya, pembataian kru media syarat sindiran Majalah Charlie Hebdo, Paris, Rabu 7 Januari 2015 lalu, adalah tindakan tidak masuk akal. Semua negara dan semua orang mengutuk.

Tetapi mengapa terjadi, bagi sebagian opini tidak lagi penting. Sehingga begitu terfokus dan prihatinnya terhadap peristiwa itu, ribuan warga Prancis mengidentifikasi diri sebagai Charlie Hebdo. “Je Suis Charlie”. “Saya adalah Charlie”, kata mereka pada sepanduk dan banner yang dikibarkan.

Akan tetapi tetap saja muncul kontroversi, polemik, perbantahan, perdebatan, perselisihan dan silang pendapat. Misalnya, sehari setelah kejadian, pada tanggal 8 Januari 2015, di Koran The New York Time, seorang penulis opini mengatakan, “I am not Charlie Hebdo”. “Saya bukan Charlie Hebdo”.

David Brooks, penulis opini itu di dalam intro paragraf pertama tulisannya mengatakan begini (terjemahan bebas),

“Para wartawan di Charlie Hebdo kini telah dirayakan sebagai martir atas nama kebebasan berekspresi, tetapi mari kita hadapi itu: Jika mereka mencoba menerbitkan koran satire mereka pada setiap kampus universitas Amerika selama dua dekade terakhir ini tidak akan berlangsung 30 detik. Mahasiswa dan kelompok fakultas akan menuduh mereka mengkampanyekan kebencian. Pihak rektorat akan menghapus beasiswa mereka dan akan memberhentikan mereka.”

Selebihnya, David Brooks, alih-alih dari mengkaitkan peristiwa itu kepada aksi teroris, banyak mengoreksi prilaku kelompok kritis kampungnya sendiri. Di Amerika yang bebas mengeluarkan ekspresi, tetapi bila menyangkut sindiran terhadap lembaga suci, agama dan kelompok serta orang-orang tertentu, tetap diberangus dan dilawan oleh mereka yang tidak senang. Hanya tentu tidak sampai membantai seperti yang terjadi di Paris kemarin lalu itu.

Kata David, “Reaksi masyarakat terhadap serangan di Paris mengungkapkan bahwa ada banyak orang yang cepat untuk memperlakukan seperti orang penting dan menyinggung pandangan teroris Islam di Perancis. Tetapi jauh lebih sedikit toleran terhadap mereka yang menyinggung pandangan mereka sendiri di negeri mereka.”

Selanjutnya penulis ini berkata, “lihat saja semua orang yang telah bereaksi berlebihan ke kampus mikro-agresi. The University of Illinois memberhentikan seorang profesor yang mengajar pandangan Katolik Roma tentang homoseksualitas.”

Kembali ke Eropa, opini lain berprasangka bahwa yang melakukan serangan teror itu ada yang menyetelnya dari belakang. Dan itu sudah jelas dengan adanya pengakuan dari ISIS di Yaman. Namun, teori konspirasi tetap subur. Tetapi di balik itu masih ada yang tidak percaya dengan pengakuan dari Yaman itu. Bahkan menuduh ada bendera lain yang bersembunyi di belakang.

Page 2: Aritkel. Sgl.Konversi. Charlie H. 11.1.15.doc

Gilad Atzmon kolumnis Inggris di dalam tulisannya di dalam gilad.co.uk (9/1) mempertanyakan. Apakah benar pengakuan itu?. Siapa dan kelompok mana yang sebenarnya bermain? Tetap pertanyaan besar. Bahkan ada yang curiga, para teoris kali ini bukanlah kelompok profesional.

Mengapa seorang pemuda tanggung usia 18, Hamyd Mour, yang dicurigai dari 3 pelaku dengan tenangnya setelah namanya disebut di muka polisi, mengaku bahwa dia tidak ada hubungan dengan peristiwa itu.

Keanehan lain, sementara menganggap pembataian itu dilakuan oleh teroris profesional. Tetapi mengapa mereka meninggalkan identitas pribadi (ID), Padahal menurut para ahli, hampir mustahil seorang atau para teroris membawa ID. Telepas dari itu, bagi kaum minoritas Muslim di Eropa, apapun alasannya peristiwa berdarah di Paris pastilah sangat memprihatinkan. Bahkan membuat mereka ketakutan. Bahwa perbuatan itu terkutuk dan tidak pernah diajarkan oleh Islam dan itu bukanlah dari kaum muslimin, semua sepakat. Akan tetapi tetap saja berakibat memperkokoh pencitraan buruk dan menyuburkan terus Islamopobhia.

Muhammad Elvandi dari Manchester, menulis dalam islamicgeo (7/1/15), tragedy Paris tanpa sadar telah mengkhianati Nabi. Di sini diulas betapa tidak Islami perbuatan itu, meskipun menghadapi orang yang mencaci dan menghina Nabi. Karena di dalam sejarah, tidak pernah Nabi membalas penghinaan terhadap orang yang mencaci dan menghinanya.

Yang paling dikhawatiri penulis ini adalah, akibatnya terhadap pemeluk Islam minoritas di Eropa. Puluhan tahun, da’i, ilmuwan, sastrawan, seniman muslim berusaha menampilkan wajah rahmatan lil ‘alamin Islam, mulai dari kesantunan, intelektualitas, produktivitas, dan keterbukaan mengajarkan Islam dengan semua cara yang elegan. Ia bukan tugas ringan, apalagi di Perancis, dimana Islamophobia sangat kental, tidak seperti di Inggeris yang ramah.

Kita salut dengan upaya dan kerja keras selama ini. Mereka sudah bersusah payah meletakkan dasar dan kerangka pikir Islam yang tepat sehingga banyak orang Eropa yang memeluk Islam terutama dari kalangan ilmuan, kalangan elit dan kelompok atas.

Pada sisi lain ada lagi yang patut direnungkan tentang korban kematian seorang Polisi Muslim Prancis korban peristiwa ini. Surat kabar the Daily Mail, BBC, The Guardian dan Washington Times (8 , 9, 10 & 11/1) melaporkan, Ahmed Merabet (42) sudah 20 tahun bangga menjadi polisi di Perancis. Almarhum menghidupi ibu dan saudara-saudaranya setelah ayah mereka wafat. Malik Merabet mengatakan kematian adiknya Ahmad Merabet sia-sia jika masih banyak orang beranggapan Islam itu sama dengan ekstremis. Pembunuh itu adalah ‘orang gila’ dan ‘tak beragama’. Mereka adalah teoris, katanya.

Page 3: Aritkel. Sgl.Konversi. Charlie H. 11.1.15.doc

Ahmad Merabet berasal dari pinggiran utara-timur Paris, dulunya adalah imigran muslim dari Afrika Utara. Dia ditembak saat tengah bertugas, berpatroli di depan jalan kantor Charlie Hebdo. Ahmad dihabisi oleh pelaku meski sudah mengangkat tangan. Dia ditembak di bagian kepala.

Malik mengatakan sangat bangga pada adiknya telah mengabdi pada kepolisian Prancis dan berguna di mata masyarakat Ibu Kota Paris.

"Dia tulang punggung keluarga. Dia seorang ayah, saudara, dan satu lagi, saya mengatakan ini untuk para rasis, baik yang anti-Muslim atau anti-Semit. Kalian tidak bisa mencampur adukkan ekstremis dengan Muslim. Orang sinting pelaku penembakan ini tidak punya agama. Jadi hentikan merusak, membakar, dan menyerang masjid atau sinagog," ujar Malik.

Ajaibnya, kematian Ahmad, entah kebetulan atau memang takdir-Nya, secara tersirat telah juga mengundang kampanye dukungan terhadap muslim. Teriakan dan slogan pada banner dan yang semula hanya 'Je Suis Charlie' (Saya Charlie), kini muncul ungkapan baru 'Je Suis Ahmed' (Saya Ahmad). Selanjutnya mereka meneriakkan anti rasisme dan anti fasisme. Mereka mau bersatu. ***