Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 1
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Ketut Wiradnyana*
Abstrak. Hinga kini peninggalan artefak masa neolitik di Indonesia bagian barat sangat sulit ditemukan, sehingga
sejumlah ahli arkeologi meragukan adanya aktivitas pendukung budaya Austronesia di kawasan ini. Namun, kapak
batu yang ditemukan di situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang menunjukkan karakteristik morfologis dan
teknologi alat batu neolitik. Berdasarkan jenisnya yang berupa kapak lonjong, kapak persegi dan belincung
menunjukkan aktivitas kebudayaan prasejarah Austronesia pernah berlangsung di Pulau Weh. Fakta tersebut
menguatkan asumsi adanya migrasi masyarakat pendukung budaya Austronesia ke Pulau Weh. Oleh karena
masih terbatasnya data pembabakan kronologis prasejarah di Pulau Weh, maka penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan karakteristik kapak batu yang ditemukan di kawasan Indonesia bagian barat lainnya. Hasil kajian
ini menunjukkan bahwa Pulau Weh memiliki posisi geografis strategis yang potential sebagai daerah kunjungan dan
lingkungan yang menguntungkan untuk lokasi pemukiman. Di lain pihak, kapak batu Pulau Weh menunjukkan
karakteristik yang khas berupa perkawinan morfologi dan teknologi antara kapak lonjong dan kapak persegi.
Kata kunci: kapak lonjong, kapak persegi, belincung, teknologi neolitik, Austronesia, migrasi, pemukiman
Abstract. ARTEFACTS OF WEH ISLAND: THE EVIDENCE OF PREHISTORIC-AUSTRONESIAN-CULTURE
IN WESTERN INDONESIA. Until today, it is hard to find neolithic artefacts in the western region of Indonesia;
therefore, a number of archaeologists doubt that Austronesian cultural activities had occurred in this region.
However, stone adzes found in Loyang Loyang Mendale and Loyang Ujung Karang indicates morphological and
technological characteristics of neolithic stone tools. The stone tools were identified as rectangular adze, hand
adze and ‘belincung’ type adze, which proved that Austronesian-prehistoric-culture was practiced in Pulau Weh.
This fact strengthens the assumption on the migration of Austronesian people to Pulau Weh. The present study
is carried out by comparing the characteristics of stone adzes found in other regions of western Indonesia, since
Pulau Weh lacks data on prehistoric chronological stages. The result indicates that Pulau Weh has a strategic
geographical position potential visit destination and favorable environment for settlement locations. On the other
hand, the stone adze of Pulau Weh shows a particular characteristic of a morphological and technological
marriage between rectangular adze and hand adze.
Keywords: rectangular adze, hand adze, ‘belincung’ type adze, neolithic technology, Austronesian, migration,
settlement
Artikel selesai disunting pada 18 Maret 2012
Balai Arkeologi Medan, Jalan Seroja Raya, Gg Arkeologi, Medan Tuntungan, Medan 20134Telepon: +62 61 8224363, 8224365
Artikel masuk pada 18 Januari 2012
* Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Medan, email: [email protected]
ARTEFAK NEOLITIK DI PULAU WEH: BUKTI KEBERADAANAUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA BAGIAN BARAT
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin2
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Pulau Weh merupakan salah satupulau yang terletak di ujung barat wilayahIndonesia. Pulau ini berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia dan sekaligusmerupakan mulut bagian barat dari SelatMalaka. Letak Pulau Weh yang sangatstrategis menjadikan pulau ini sangat mudahuntuk dijangkau ketika ada aktivitas pelayaran
di sekitar Selat Malaka atau SamuderaIndonesia. Kondisi itu dengan sendirinyamenjadikan Pulau Weh dimungkinkan
sebagai salah satu wilayah migrasi masaprasejarah. Pada masa sejarah, dalamkonteks perdagangan dan pertahanan wilayah
pulau ini justru dijadikan salah satu wilayahtujuan. Keberadaan Pulau Weh sebagai salah
satu pulau yang memegang peran pentingdalam lintasan aktivitas masa lalu dibuktikandari berbagai tinggalan arkeologisnya.
Tinggalan arkeologis yang dapat diidentifikasisebagai sisa aktivitas masa lalu merupakan
artefak dari periode prasejarah, klasik dankolonial. Dengan demikian, dapat dikatakanbahwa Pulau Weh merupakan salah satu
pulau yang dijadikan areal aktivitas dari masake masa.
Informasi migrasi Austronesiaprasejarah ataupun migrasi Austronesia
protosejarah di Indonesia bagian barat,khususnyan di Pulau Weh, tidak ada. Denganditemukannya peralatan batu yang telah
diupam di Pulau Weh, barulah mulai adaindikasi akan adanya aktivitas masa neolitik.Budaya materi yang mencirikan adanyaaktivitas pendukung Austronesia tersebutditemukan berupa kapak lonjong dan kapakpersegi, sedangkan untuk aktivitas lainnyabelum ditemukan mengingat eksplorasi
Keterbatasan informasi berkaitan
dengan migrasi Austronesia di Indonesiabagian barat menjadikan wilayah ini jarang
dibicarakan dalam berbagai paparanarkeologis. Adanya temuan alat batu yang telahdiupam menguatkan akan adanya aktivitas
Austronesia di wilayah Indonesia bagian barat.Dalam upaya menjelaskan keberadaan
Austronesia di antaranya dapat dilakukanmelalui deskripsi artefak yang ditemukan diwilayah ini. Namun, keterbatas artefak yang
ditemukan memunculkan permasalahan lain,di antaranya identifikasi aspek teknologi dan
morfologi hasil budaya materi secarakeseluruhan tidak dapat dilakukan. Namun
A. Pendahuluan1. Latar Belakang
arkeologis yang berkaitan denganpembabakan masa prasejarah di pulau Ini
masih sangat terbatas. Temuan kapak batutersebut juga mengindikasikan keberadaanbudaya Austronesia di Indonesia bagian barat,sehingga dapat dikatakan bahwa bukti adanyamigrasi Austronesia makin lengkap,
khususnya di kawasan pesisir. Sebelumnya,bukti adanya migrasi Austronesia prasejarahdi Indonesia bagian barat didasarkan atasberbagai temuan di situs Loyang (Gua)Mendale dan Loyang Ujung Karang yang
merupakan situs dataran tinggi di Kabupaten
Aceh Tengah. Secara umum, dapat dikatakanbahwa selama ini kajian migrasi Austronesia
prasejarah ataupun protosejarah hanyadiketahui di Indonesia bagian timur. Olehkarena itu, temuan material yang merupakan
salah satu ciri dari budaya Austronesia tersebutdengan serangkaian analisis yang dilakukan
akan sangat membantu di dalam mendukungadanya migrasi di Indonesia bagian barat.
2. Permasalahan, Tujuan, dan RuangLingkup Penelitian
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 3
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
demikian, artefak yang ada tersebut dapatmemberikan indikasi awal akan adanya
aktivitas masa lalu terlebih dengan posisiPulau Weh yang sangat strategis, baik dalamkonteks keletakannya maupun ketersediansumber air. Alat batu merupakan bagian dari
bentuk kebudayaan, seperti halnya budayamateri dalam bentuk berabagai peralatanhidup lainnya. Upaya memahami sebuahkebudayaan yang telah berlangsung di PulauWeh dilakukan dengan pemahaman alat batu,baik dalam aspek teknologi maupunmorfologinya, yang kemudian dilakukanperbandingan dengan artefak yang sejenis.Kesamaan bentuk sebuah budaya materitentu dihasilkan oleh konsep yang diantaranya adalah tahapan pembentukan alatbatu. Tahapan pembentukan alat batu telahada pada konsep yang terdapat dalam diripembuatnya, yang kemudian disebut denganpengetahuan. Konsep yang ada padapembuatnya (pengetahuan) itulah yangdimaksud dengan kebudayaan. Oleh karenaitu, sebuah kebudayaan dapat dilihat dariaspek teknologi yang pada akhirnyamenghasilkan bentuk sebuah budaya materi.Hal ini juga sesuai dengan yang diuraikanEdward B. Taylor (Saifuddin 2005, 82) bahwakebudayaan merupakan keseluruhankompleks yang meliputi pengetahuan,keyakinan, seni, moral hukum, adat-istiadat,kapabilitas, dan kebiasaan-kebiasaan lainnyayang dimiliki oleh manusia sebagai anggotamasyarakat. Mengingat aspek teknologi yangmenjadi acuan dalam kaitanya dengan alatbatu yang ditemukan di Pulau Weh, makakonsep kebudayaan yang diacu adalahkonsep pengetahuan.
Pembahasan melalui deskripsiteknologi dan morfologi artefak batu bertujuanuntuk menggambarkan budaya materi padapembabakan prasejarah yang pernah
berkembang di Pulau Weh. Sejalan denganitu, juga akan dilakukan peribandingandengan artefak sejenis di Indonesia bagian
barat lainnya. Setelah itu, artefak alat batutersebut dapat diposisikan dalampembabakan budaya dalam arkeologi. Hasil
deskripsinya dapat digunakan untukmenggambarkan aktivitas masa lalu
khususnya budaya Austronesia prasejarah diIndonesia bagian barat. Pada kesempatan inihanya akan dibahas tinggalan arkeologis
berupa artefak batu yang dikenali sebagai alatbatu pada pembabakan masa neolitik yang
ditemukan di Pulau Weh.
3. Kerangka Pikir dan Metode PenelitianSitus prasejarah yang diindikasikan
sebagai hunian masa lalu selalu dekat dengansumber makanan. Dapat diduga bahwa
hunian sangat berkaitan dengan sumbermakanan dan lingkungannya. Situs-situsarkeologis masa prasejarah yang berada
dekat dengan sungai, t inggalannyadidominasi oleh ekofaktual dari fauna yang
hidup di air atau sekitarnya, sedangkan situsyang berada di pegunungan cenderungdidominasi oleh tulang binatang yang hidupdi darat. Berdasarkan hal tersebut, dapatdiduga bahwa sumber dan jenis makanan
manusia masa prasejarah berkaitan erat
dengan lokasi huniannya. Hal tersebut terjadikemungkinan berkaitan erat dengan asas-
asas mentalitas manusia yang padahakikatnya sama di mana-mana(Koentjaraningrat 1990, 174)
Kebiasaan yang merupakan prilakuakan selalu terulang, baik yang pada akhirnyamenghasilkan benda budaya yang sama
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin4
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Upaya pengungkapan berbagai
aspek yang terkandung dalam artefak batuyang ditemukan di Pulau Weh dilakukandengan pengamatan atas teknologi dan
morfologinya, serta dilakukan untuk kemudiandapat mengacu kepada fungsinya.Pengungkapan atas alat batu juga dilakukandengan perbandingan morfologi danteknologinya dengan alat sejenis (terpilihberdasarkan morfologi yang serupa) di situslainnya yang sejaman. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa studi ini bersifat
kualitatif yang menggunakan metodedeskriptif-eksplanatif yang mendeskripsikan
persamaan atau perbedaan teknologi danmorfologi alat batu-alat batu, sehingga dapatmenjelaskan adanya variabilitas pengerjaandan bentuknya.
B. Hasil dan Bahasan
maupun perilaku pemilihan hunian yangsama. Hal ini juga diuraikan oleh Subroto(1985) yang menyatakan bahwa adanyahubungan antara pola pemukiman dengangejala-gejala geografis seperti halnyakeadaan topografis, tanah, vegetasi, dan zonacurah hujan. Hubungan tersebut ditunjukkandengan sistem distribusi situs-situs, sehinggadapat dikatakan persebaran situs-situsberhubungan erat dengan faktor-faktor fisik.Dalam konteks yang luas, geografi jugamemegang peran yang sangat penting dalamdistribusi situs. Selain itu, dalam lingkunganmikro seperti areal yang masih menyediakanbahan pangan yang mencukupi, pemukimakan tetap tinggal di situs tersebut. Faktor-faktorlain yang mendukung pemilihan lokasi-lokasipemukiman, antara lain berhubungan dengancara hidup, selain faktor-faktor lain yangtentunya menunjang seperti ketersedianbahan baku perlatan. Dalam konteks temuankapak lonjong, kapak persegi, dan belincungdi Pulau Weh, tampaknya posisi geografispulau yang strategis memegang peranandalam keberadaan budaya Austronesia.Keberadaan artefak batu yang selaluberdekatan dengan air (danau dan sungai)juga tampaknya menjadi pertimbangan laindalam pemilihan lokasi hunian.
1. Austronesia di Indonesia BagianBarat
Simanjuntak (2011, 8-9)menguraikan bahwa dari perspektif waktu,budaya Austronesia ada terhitung sejakkemunculan penutur Austronesia awal hinggasekarang. Berpatokan pada model peristiwabesar (big events), studi Austronesia dapatdibagi paling tidak dalam tiga kelompokberdasarkan periodisasi perkembanganbudayanya, yaitu:
a. Austronesia prasejarah, yang dimulaisejak kehadiran penutur Austronesiaawal di Asia kepulauan hingga 2000tahun yang lalu (Before Present; BP).Budaya penandanya adalah neolitikdengan inovasi-inovasi yangmembawa perubahan besar diberbagai bidang kehidupan;
b. Austronesia protosejarah,berkembang sekitar 2000 BP sampaiabad ke-4 atau ke-5 Masehi. Budayapenandanya adalah kemajuanbidang pelayaran dan perdaganganregional atau global, penguburantenpayan, budaya pengaruh Dong-son dan megalitik;
c. Austronesia masa kini, dengancakupan waktu dari masakemerdekaan hingga sekarang,dengan fokus studi pada tradisi-tradisi budaya asli.
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 5
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Periodisasi perkembangan budayatersebut menunjukkan bahwa Austronesia,baik sebagai budaya maupun dengan raspendukungnya, berkiprah sudah cukup lama,sehingga memegang peranan yang sangatpenting bagi eksistentsi budaya tradisonalsekarang ini di Indonesia.
Hasil berbagai penelitian arkeologisdi Indonesia bagian barat selama inimenunjukkan keberadaan Austronesia dariketiga periode tersebut masih sangat terbatas,sehingga eksistensi budaya Austronesiadengan budaya-budaya besar lainnya kurangjelas. Seperti halnya hubungan antara budayaIndia dengan Austronesia di Indonesia bagianbarat masih sangat gelap penjelasannya.Beberapa tinggalan budaya Austronesia yangmasih tampak kental hingga kini adalahkeberadaan budaya megalitik dan beberapaartefak logam yang ditemukan di Pulau Niasdan di wilayah sekitar Danau Toba (SumateraUtara). Selain itu, berbagai pola hiasmasyarakat tradisional di Indonesia bagianbarat juga mencirikan pola hias masa-masalogam (Dong-son; Wiradnyana 2010, 31-41;2011, 146-260).
Sekitar tahun 2009 dilakukanekskavasi di situs Loyang Mendale dan LoyangUjung Karang, yang berhasil menemukan
beberapa peralatan yang berteknologi dalampembabakan budaya neolitik berupa kapak
persegi dan kapak lonjong. Kapak persegi disitus Loyang Mendale cenderung berukuranpendek, dengan dua jenis tajaman, yaitu
tajaman yang lurus (mendekati setengahlingkaran) dan tajaman yang lonjong.Tajaman kapak persegi–kapak persegitersebut berkarakter bifasial, yang dibentukdengan lebih mengintensifkan pengupamanpada bagian ventral, sehingga bagian tersebutlebih terjal dibandingkan dengan bagian
dorsalnya. Alat batu-alat batu tersebuttampaknya digunakan dengan dilengkapi
tangkai yang diposisikan menjepit bagianproksimal; untuk itu bagian proksimal sengajatidak diupam untuk mendapatkan bagian yangkasar, sehingga akan menghasilkan jepitanyang lebih kuat (Wiradnyana dan Setiawan
2011, 36). Sebuah kapak lonjong yangditemukan di situs Loyang Putri Pukesdigunakan sebagai bekal kubur. Bagianproksimal kapak lonjong tersebut runcing danmelebar pada bagian tajaman; bagian
tajaman diasah dari dua arah, yaitu pada
bagian dorsal dan ventral, yang dibuat landai,sehingga menghasilkan tajaman bifasial yang
simetris. Bentuk penampang lintang kapaklonjong tersebut cenderung setengahlingkaran, mengingat bagian ventralnya dibuat
datar. Selain temuan kapak batu, di ketiga situstersebut ditemukan juga fragmen gerabah
dengan pola hias berwarna merah yangsering disebut dengan gerabah poles merah.
Indikasi keberadaan awal pendukungbudaya Austronesia di Loyang Mendale,Loyang Ujung Karang, dan Loyang Putri Pukes(Aceh Tengah) diperkuat dengan hasilanalisis radiokarbon yang bertarikhkan 4400(cal. 3285-2937 Sebelum Masehi; SM) - 3580BP (cal. 2087-1799 SM; Wiradnyana danSetiawan 2011). Pentarikhan tersebutmenunjukkan masa yang tidak terlalu jauhberbeda dengan berbagai tinggalan arkeologiyang dianggap sebagai awal persebaranAustronesia ke bagian selatan dari wilayahasal pendukung budaya ini.
2. Pulau Weh dan PeninggalanArkeologisnya
Pulau Weh merupakan pulau
terbesar di gugusan barat daya PulauSumatera. Pulau-pulau kecil yang
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin6
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
mengelilingi Pulau Weh adalah Pulau Rubiah,Rondo, Klah, dan Seulako. Luas Pulau Wehberkisar 156,3 kilometer persegi denganwilayahnya yang bergunung–gunung danpuncaknya yang tertinggi berupa gunung
fumarolik. Perekonomian di Pulau Wehumumnya dalam bidang agrikultur denganhasil utamanya berupa cengkeh dan kelapa.Keberadaan pulau yang menghadap lautlepas dan merupakan pulau yang menjadi
batas terdepan wilayah Indonesia menjadisangat penting di masa-masa lalu. Hal tersebutdibuktikan dengan keberadaan tinggalan
arkeologis yang kondisinya masih baik. Secaraumum, pulau ini didominasi denganpeninggalan arkeologis masa kolonial,
sedangkan untuk masa klasik hanya sedikitsekali artefak yang ditemukan. Peninggalan
monumental yang mengindikasikanpembabakan kolonial adalah berbagaibangunan pertahanan (bunker), baik yang
dibuat pada masa pendudukan Belandamaupun Jepang. Selain itu, pada
pembabakan masa kolonial, bangunanmonumental yang sangat penting dalamkonteks pelayaran dan perdagangan adalah
dermaga dan bangunan pendukung lain disekitarnya.
Artefak dari masa klasik hanyadiindikasikan dari fragmen keramik yang
ditemukan di sekitar wilayah Paya Kenekai.Fragmen keramik yang ditemukan di wilayahitu berasal dari masa Sung (kisaran abad ke-
12 Masehi) dan Qing (kisaran abad ke18-19Masehi). Artefak masa prasejarah yangditemukan penduduk dalam aktivitasnya diPulau Weh berupa tiga buah kapak batu yang
3. Deskripsi Alat Batu
Temuan arkeologis pada arealterbuka yang diidentifikasi sebagai artefakmasa prasejarah ada tiga buah dengan uraian
sebagai berikut,
a. Alat Batu Krueng Raya
Dua buah kapak batu yang
ditemukan oleh Mahgrib Hutagalung (66tahun) di Perumahan Tsunami1, ketikasedang menggali tanah untuk keperluansaluran air Perusahaan Air Minum (PAM).Lokasi temuan kapak batu tersebut adalahdataran yang agak tinggi dan pada bagianlembahnya mengalir sungai. Satu di antarakedua kapak batu berbahan obsidian denganbentuk dasar persegi, dan bagian dorsalhingga lateralnya cembung, proksimalnyamembulat dan datar pada bagian ventralnya.Penampang lintangnya cenderung membulat.Tajaman pada alat ini bifasial, yang dihasilkandari bentuk dorsal yang melandai ke arahdistal, dan pengasahan yang intensif padabagian ventral ke arah distal sepanjang 3,5centimeter (cm). Oleh karena bentuktajamannya yang simetris tersebut, makakapak ini dapat digolongkan kedalam kapaklonjong (Foto 1). Kapak lonjong ini memilikiukuran panjang 13 cm, bagian distal lebarnyaberkisar 6 cm, dan bagian proksimal lebarnya4 cm. Ujung distal mengalami kerusakan,begitu pula bagian lateralnya yang mendekatidistal, yang mungkin berkaitan denganpemasangan tangkai (penjepit tangkai),sehingga kapak ini lebih mudah untuk diikat
masing-masing diidentifikasi sebagai kapaklonjong, kapak persegi dan belincung
(Koestoro 2011).
1 Kampung Krueng Raya, Skundur, Kelurahan Krueng Raya, Kecamatan Suka Karya, Kota Sabang
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 7
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Kapak yang satunya berbahan
obsidian pula dengan ukuran panjang 11,5cm dan lebar yang cenderung sama, berkisarantara 4-4,5 cm. Kapak persegi (Foto 2) inimemiliki dorsal yang agak datar dibandingkandengan temuan kapak lonjong. Beberapa
bagian dari kapak persegi ini mengalamikerusakan di bagian proksimal dan bagianlateral mendekati distal. Kerusakan ini diduga
dibuat dengan sengaja dalam upayamendapatkan ikatan tangkai yang kuat,sedangkan kerusakan pada bagian distal
relatif baru, yang disebabkan oleh benturancangkul, ketika si penemu menggali tanah.
Kapak persegi ini berpenampang lintangsegitiga dan memiliki tajaman bifasial denganpengasahan pada bagian ventral yang lebih
intensif ke arah distal sepanjang 2,5 cm,sedangkan bagian tajaman di bagian dorsal
didapatkan dari bentuknya yang melandai.
Melihat bentuk tajaman tersebut diasumsikankapak persegi ini memiliki tajaman yangsimetris. Kedua bagian lateral dari alat ini
cenderung datar, yang dibuat denganpengupaman yang intensif bagian tersebut.
dalam upaya pemasangan tangkai.Penampakan bagian samping kapak lonjongini menyerupai ‘kapak batu tipe setrika’dengan lateral yang melandai.
b. Alat Batu Paya KenekaiSebuah kapak persegi dari bahan
obsidian ditemukan oleh orang tua dari
Adman Kamaruddin (40 tahun) pada tahun1990an di daerah Pasir Putih, Paya Kenekai,berkisar 100 meter dari jalan raya ke arahbukit. Kapak persegi ini berukuran panjang6,5 cm dengan lebar bagian distal 3,7 cm dan
lebar bagian proksimalnya 2 cm. Secaramorfologis, kapak persegi ini memiliki bentukyang serupa dengan kapak lonjong dengan
Foto 1. Kapak lonjong dari Situs Krueng Raya(dok. Balai Arkeologi Medan, 2011)
Foto 2. Kapak persegi dari Situs Krueng Raya(dok. Balai Arkeologi Medan, 2011)
bentuk ‘kapak tipe setrika’, yaitu bagiandorsalnya cenderung cembung dan bagianventralnya datar. Model kapak persegi denganpunggung yang tinggi dapat disebut dengan
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin8
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Austronesia merupakan terminologiyang mengacu pada bahasa, namun dalam
perkembangannya juga mengacu kepadamanusia pendukung dan budayanya. ManusiaAustronesia awal yang menyebrang dari Cina
daratan ke Taiwan lebih banyak mempunyaihubungan budaya dengan komunitas yang
ada di Asia daratan. Bahasa Austronesia itudikatakan bersumber dari bahasa Austro-Tai(Benedict 1975) atau Austrik (Schmidt 1906),yang didasarkan atas hubungan genetikbahasa. Namun, dalam perkembangannya
persamaan bahasa Austronesia denganbahasa Austro-Tai dianggap sebagaipeminjaman sementara, sehingga banyakyang mengikuti Austrik sebagai cikal-bakal
belincung (Foto 3). Belincung ini memilikitajaman bifasial, namun pengupaman yang
intensif tetap berada pada bagian ventral kearah distal, sedangkan bagian dorsal hanyadiupam dan tidak seintensif bagian ventralnya.Lateralnya dibuat datar, yang dihasilkan daripengupaman yang intensif. Bagian dorsal
mendekati ke bagian distal hingga sampaibagian lateral kanan, kondisinya relatif lebihhalus dan landai, yang dimungkinkan akibatpenggunaan dari kapak. Menilik bentukkeausan bagian tersebut yang cenderung
pada bagian salah satu sudut distal, maka
dimungkinkan kapak ini digunakan sepertisebuah kapak dengan memanfaatkan salah
satu sudut dari distalnya saja. Mengingat kapakini berukuran relatif kecil, maka dimungkinkanalat ini dilengkapi dengan tangkai, sehingga
aktivitas pemanfaatan secara intensif hanyapada salah satu sudut distal mungkin terjadi.
4. Austronesia di Pulau Weh dalamKonteks Austronesia IndonesiaBagian Barat
Foto 3. Belincung dari Situs Kaya Penekai(dok. Balai Arkeologi Medan, 2011)
Foto 4. Kapak lonjong dari situs Loyang
Ujung Karang, Aceh Tengah (dok. Balai
Arkeologi Medan, 2011)
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 9
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Bahasa Austronesia tersebar luas dari
Madagaskar sampai Pulau Paskah, hinggake wilayah Asia Tenggara dan sebagian Asia
Daratan. Dalam arkeologi, budaya Austronesiadikaitkan dengan pembabakan budayaneolitik, sehingga berbagai hasil kebudayaan
neolitik tersebut dijadikan dasar bagi telahterjadinya migrasi kelompok pengusung
budaya Austronesia. Peninggalan budayayang sering dijadikan dasar keberadaanbudaya Austronesia adalah kapak batu yang
telah diupam (kapak persegi dan kapaklonjong), pertanian, domestikasi hewan
(anjing, babi), rumah panggung, dan gerabah.Selain itu, pada pembabakan selanjutnya
dicirikan dengan adanya penggunaan logam(besi dan perunggu).
Keberadaan sebuah kapak lonjong,kapak persegi dan belincung di Pulau Wehtersebut menunjukkan adanya migrasiAustronesia ke Indonesia bagian barat, yangdiasumsikan berlangsung dari pesisir baratThailand atau Malaysia. Lokasi-lokasi temuankapak batu di Pulau Weh sangat erat denganposisi geografis Pulau Weh yang dekat denganwilayah Thailand dan Malaysia, sehingga
bahasa Austronesia. Dasar dijadikannyaTaiwan sebagai Proto-Austronesia adalah
bukti arkeologis yang agak terbatas danpemukiman Austronesia yang paling awal diTaiwan yang bertarikh antara 4000 dan 3000SM. Selain itu, tembikar sebagai bendabudaya, kosakatanya ditemukan pada Bahasa
Melayu-Polinesia awal di Taiwan sekitar kurunwaktu tersebut; artinya ciri budaya dan bahasaini telah ada di Taiwan sejak 1000 tahunsebelum muncul di Asia kepulauan, dandengan migrasi yang cukup cepat di
Kalimantan dan Sulawesi menjelang 2000
SM (Bellwood 2000, 161-174).
diasumsikan migrasi masa itu berlangsungdari kedua negara tersebut. Hal itu jugadikaitkan dengan banyaknya situs arkeologisyang sejaman dengan peninggalan yangditemukan di Pulau Weh; selain kedua wilayahtersebut memiliki persamaan sebagai wilayahsebaran kapak persegi dan belincung. Olehkarena posisi geografis wilayah Pulau Wehrelatif dekat dengan bagian barat pesisir Thai-land dan Malaysia, terdapat kemungkinanbahwa migrasi terjadi dengan menggunakantransportasi air. Penggunaan transportasi airmemudahkan pelayaran dari wilayah Thai-land dan Malaysia ke bagian barat Indonesia.Berdasarkan sistem angin musim yangberlangsung di wilayah ini, menjadikan PulauWeh sangat ideal bagi persinggahan. Anginmusim yang dimaksud, yaitu angin pasat yangumumnya berhembus pada bulan Novemberhingga April dari arah timur laut, menjadikanpulau-pulau yang ada di sebelah selatanSemenanjung Malaysia atau Thailand bagianbarat akan lebih mudah dijangkau (Groslier2002, 31). Kemungkinan lain adalah padawaktu angin pasat timur laut berhembus, jikaberlayar dari wilayah pesisir Thailand bagianbarat ataupun pesisir barat Semenajung Ma-laysia, maka secara tidak sengaja perahuakan terbawa ke arah Pulau Weh. Di Pulauini, lokasi yang paling ideal untuk menghindarihembusan angin dan ombak adalah di bagiantimur dari pulau itu, yaitu di kawasan PayaKenekai. Oleh karena itu, pemilihan lokasihunian dan juga akses areal yang mudahdicapai merupakan salah satu indikasi tujuanmigrasi pendukung budaya Austronesia masaneolitik. Adanya migrasi ke bagian baratwilayah Indonesia juga diperkuat denganditemukannya budaya neolitik di situs LoyangMendale, Loyang Putri Pukes, dan LoyangUjung Karang, di Kabupaten Aceh Tengah.
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin10
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Pemilihan lokasi hunian pada masalalu juga tidak lepas dari keberadaan air tawar,
baik itu berupa danau maupun sungai.Pemilihan lokasi hunian yang dekat dengansumber air merupakan salah satu strategiadapatasi yang sangat logis. Selain manusiamemerlukan air dalam keberlanjutan
hidupnya, hewan-hewan yang merupakanbinatang buruan juga memerlukan air.Dengan demikian, kalau dekat dengansumber air tidak hanya memudahkan dalampemenuhan kebutuhan hidup, juga lebih
mudah mendapatkan sumber bahan pangan
hewani, baik ikan, kepiting, kerang-keranganmaupun binatang lainnya yang hidup di darat.
Pada masa neolitik, kelompok pendukungbudaya Austronesia telah mengenal sistembercocok tanam, sehingga keberadaan
hunian yang dekat dengan air juga merupakanbagian yang sangat penting untuk
berlangsungnya sistem bercocok tanam.Temuan kapak lonjong, kapak persegi, danbelincung di Pulau Weh yang dekat dengan
sumber air, kemungkinan berkaitan eratdengan pemilihan lahan untuk aktivitas yang
dekat dengan sumber pangan, yaitu air tawardan hewan buruan. Oleh karena temuankapak batu masih sangat terbatas jumlahnya,
dan bukan merupakan hasil ekskavasiarkeologis, maka berbagai kemungkinanmasih sangat terbuka untuk diperdebatkan.
Morfologi alat batu di Pulau Wehmemiliki kesamaan morfologi dengan alatbatu yang ditemukan di situs Loyang Mendale
dan Loyang Putri Pukes, Aceh Tengah yangmasuk dalam pembabakan masa neolitiksekitar 3580 tahun yang lalu (Foto 4).
Persamaan bentuk alat batu di ketiga situs diAceh Tengah adalah temuan kapak lonjong,
yang kerap dianggap persebarannya hanyadi Indonesia bagian timur. Selain itu, jugaadanya temuan kapak persegi di keduawilayah tersebut. Morfologi kapak persegi yang
ditemukan di Pulau Weh memiliki ukuranproksimal yang cenderung lebih kecildibandingkan dengan bagian distal. Olehkarena itu, bagian tajamannya cenderungmelebar; tajamannya dibuat dengan
mengasah bagian ventral di bagian ujungdistal, sehingga menghasilkan tajaman yangbifasial dan simetris. Tajaman yang bifasial
dengan bentuk setangkup seperti itu biasanyahanya ditemukan pada kapak-kapak lonjong.
Kapak lonjong dan kapak persegiyang ditemukan di Indonesia pada umumnyatelah diasah dan kerap digunakan sebagaipetunjuk akan adanya aktivitas bercocoktanam. Daerah penemuan kapak persegihampir di seluruh wilayah Indonesia bagianbarat. Secara umum, kapak persegi berbentukmemanjang dengan penampang lintangpersegi. Seluruh bagiannya diupam, kecuali
bagian pangkal yang digunakan sebagaitempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuatdengan mengasah bagian ujung permukaanbawah, landai ke arah pinggir ujungpermukaan atas. Dengan cara itu diperolehtajaman yang miring seperti tajaman pahatmasa kini. Ada beberapa variasi dari kapakpersegi, yang paling umum adalah belincung.Belincung dicirikan dengan punggungnyayang tinggi, sehingga penampang lintangberbentuk segitiga, segilima atau setengahlingkaran. Kapak lonjong bentuknya secaraumum memiliki pangkal agak runcing danmelebar pada bagian tajaman. Bagiantajaman diasah dari dua arah danmenghasilkan bentuk tajaman yang simetris.Bentuk penampang lintang kapak lonjongseperti lensa, lonjong atau kebulat-bulatan(Soejono dan Leirissa 2007, 207-218).
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 11
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Rangkaian teknik pembuatan alatbatu masa neolitik yang mungkin dilakukanpada artefak di Pulau Weh adalah menyiapkan
bahan baku (raw material) pada tahap awal,kemudian dipangkas sesuai dengan bentuk
yang dikehendaki, atau memilih bahan bakuyang sesuai dengan jenis kapak yangdikehendaki. Bentuk persegi biasanya
didapatkan dengan cara memangkaskeempat sisiya dengan proksimal yang
cenderung berbentuk persegi. Setelah bentukdasar alat terwujud, lalu dilakukanpengupaman. Pada kapak batu yang memiliki
dorsal cembung, pembentukan cenderungdilakukan dengan menyiapkan bagian ventralyang datar melalui pemangkasan, sedangkan
bagian dorsalnya didapatkan darimemanfaatkan bentuk asli batuan.Simanjuntak (1983, 67) membagi tahapanpembuatan kapak persegi dengan empat,yaitu a) tahapan pengadaan bahan baku; b)
tahap pembentukan, yang menghasilkanbentuk persegi; c) tahap pengerjaan yangdicirikan adanya tatal yang kecil; dan d) tahappengerjaan akhir yang meliputi pengupaman
Begitu juga dengan belincung di Pulau Wehyang memiliki tajaman bifasial yang dihasilkan
dari pengasahan di bagian ventral dan dorsalke arah distal. Jadi, kapak persegi danbelincung yang ditemukan di Pulau Weh,dengan tajaman bifasial yang simetris,merupakan teknologi yang dianggap khas.
Begitu juga dengan tajaman kapak persegi disitus Loyang Mendale yang menujukkan tipebifasial, sehingga dapat dikatakan bahwakapak persegi dan belincung di Pulau Wehdan situs Loyang Mendale memiliki teknologi
dan morfologi yang khas, yang merupakan
percampuran antara tekno-morfologis kapaklonjong dan kapak persegi.
dan penajaman. Jadi, tampaknya pembuatantajaman pada sebuah alat batu pada masa
neolitik dilakukan pada tahapan akhir dariseluruh proses pengerjaan. Bagian tajamanyang dimiliki kapak persegi dan belincungyang ditemukan di Pulau Weh berbedadengan bentuk tajaman yang ditemukan pada
umumnya. Hal tersebut terjadi, karenatajamannya juga dibuat belakangan, yangdisesuaikan dengan kebutuhannya. Kalaudiperhatikan, tajaman kapak lonjong di bagianventral yang jauh lebih landai dibandingkan
bagian ventral lainnya, mengindikasikan
pemangkasan bagian ventral dilakukansebelum dilakukan pengupaman bagian itu
untuk tajaman.Berdasarkan kerusakan-kerusakan
yang terdapat pada semua artefak batutersebut di atas, maka diasumsikan bahwasemua artefak batu sangat aktif digunakan.
Beberapa di antara alat batu tersebutdisiapkan dengan tangkai, sehingga akan
lebih mudah dalam penggunaannya. Haltersebut mengarahkan dugaan bahwa alatbatu tersebut dibuat dalam kaitannya dengan
pemenuhan kebutuhan ekonomis. Beberapaartefak yang ditemukan di situs-situs dengan
karakteristik budaya Austronesia menunjukkanbahwa sebagian dari artefak batunya, baik
kapak lonjong maupun kapak persegi,difungsikan sebagai bekal kubur atau kegiatanreligi lainnya, sehingga kondisinya cenderungmasih baik (Callenfels 1974, 18). Kapak batuyang telah diupam yang dikaitkan dengan
aspek religi juga ditemukan di Eropa. Selainitu, penggunaan kapak batu yang telah diupamjuga masih ditemukan pada beberapa
kelompok masyarakat tradisional di dunia(Oakley 1972, 31-32). Di situs Loyang PutriPukes juga ditemukan kapak lonjong pada
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin12
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
kerangka manusia yang dikuburkan di dalamgua. Keberadaan artefak batu tersebut
dikaitkan dengan bekal kubur bagi orang yangmeninggal. Namun, kapak lonjong yangditemukan sebagai bekal kubur tersebutkondisinya tidak begitu sempurna.Ketidaksempurnaan tesebut tampak pada
pengerjaan pengupaman yang tidak dilakukanpada seluruh bagian permukaannya (bagianventral kondisinya kasar). Pada bagian distalterdapat perimping, yang mungkin merupakanbekas penggunaan alat. Dengan demikian,
berarti t idak semua artefak batu yang
digunakan sebagai bekal kubur memilikikondisi yang masih baik.
Dengan adanya ciri-ciri penggunaan
pada alat-alat batu tersebut menunjukkanbahwa alat batu itu dijadikan bagian dariaktivitas masa lalu oleh pendungkung budaya
Austronesia. Aktivitas lainnya yang mungkinberkaitan dengan keberadaan peralatan batu
adalah pengupaman. Hal tersebutdimungkinkan kalau kita bandingkan denganartefak-artefak yang semasa di Jawa Tengah
yang pada umumnya menghasilkan kapakpersegi yang belum jadi. Alat-alat ini di
perjualbelikan dan pengupaman sepenuhnyadilakukan oleh si pemakai (Simanjuntak 1983,68). Kalau hal tersebut juga berlaku sama,
maka telah ada kontak antara pengusungbudaya Austronesia di Pulau Weh dengan
pengusung budaya yang sama di tempatlainnya. Hal lain yang mungkin terjadi adalahperalatan batu tersebut dibuat oleh kelompokitu sendiri, namun perbengkelannya belumditemukan. Kemungkinan peralatan batu itu
dibuat oleh kelompok itu sendiri juga dapatdibandingkan dengan calon kapak persegi disitus Loyang Mendale dengan temuan lainnyaberupa tatal dengan jenis batu yang sama yang
berjumlah banyak. Kemungkinan lainnya,yaitu ketika kelompok pendukung budaya ini
bermigrasi ke Pulau Weh telah membawakapak persegi dan kapak lonjong, baik yangtelah diupam maupun yang belum diupam.
Migrasi yang didasarkan atas
persebaran kapak persegi yang dikemukakanoleh van Heine Geldern berpusat di ChinaSelatan, lalu menyebar ke Malaysia barat,Sumatera, Jawa, Bali, dan terus ke timur,Sebagian arus migrasi kapak persegi tersebut
ke arah Kalimantan barat laut, dari sinimenyebar ke Filipina, Formosa, dan Jepang.Sebaran kapak persegi ini sesuai dengan hasil
penelitian H. Kern yang menyatakan bahwawilayah-wilayah yang dilalui sebaran kapakpersegi tersebut merupakan kawasan penutur
Austronesia. Di lain pihak, berdasarkanpersebaran kapak lonjong, disebutkan berasal
dari daerah yang sama lalu ke Filipina,Sulawesi, dan sebagian ke Maluku, ke arahtimur (Soekmono 1988, 57-58). Adanya alur
yang berbeda di dalam penyebaran kedua tipekapak tersebut juga diungkapkan olehSoejono dan Leirissa (2007, 207-221) bahwa
kapak persegi berkembang di Indonesiabagian barat dan kapak lonjong berkembang
di Indonesia bagian timur. Jika teori tersebutditerapkan pada temuan kapak persegi di situsLoyang Mendale, Loyang Putri Pukes, dan
Pulau Weh, tampaknya hipotesis itu benar.Jadi, sebenarnya memang ada persebarankapak persegi di Indonesia bagian barat.Namun, kalau dibandingkan dengan hasilpenelitian situs-situs dengan karakteristik
Austronesia yang terdapat di Indonesia bagianbarat, hasilnya menunjukkan adanyaketidaksesuaian dengan pernyataan tersebut.Kapak lonjong yang ditemukan di situs LoyangMendale, Loyang Putri Pukes, dan Pulau Weh
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 13
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
mengindikasikan bahwa kapak lonjong jugaberkembang di Indonesia bagian barat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwakedua jenis kapak batu tersebut berkembangdi Indonesia bagian barat. Oleh karena itu,hipotesis tentang persebaran kapak persegiyang hanya berkembang di Indonesia bagian
barat kurang tepat.Keberadaan kapak persegi dan
kapak lonjong di Indonesia bagian baratmemunculkan berbagai permasalahan diantaranya: “apakah hal ini menggambarkan
migrasi yang telah berlangsung di Indonesiabagian barat, ketika kelompoknya telahmengenal morfologi dan teknologi kedua tipe
alat batu tersebut?” Atau, “apakah terdapat duakelompok migrasi yang membawa kedua
budaya tersebut?” (Callenfels 1974, 20). Untukmenjawab hal tersebut tentu memerlukanpendalaman yang lebih intensif. Namun, kalau
kita bandingkan dengan temuan budayaAustronesia di situs Loyang Ujung Karang yang
bertarikh 4400 BP (cal. 3285-2937 SM), makadapat dikatakan bahwa migrasi kelompokAustronesia yang datang ke Indonesia bagian
barat terjadi awal-awal migrasi kelompoktersebut ke bagian selatan dari daerah asalnya
(Cina bagian selatan atau Formosa). Olehkarena itu, sangat mungkin jika konsep budaya
yang berkembang pada awal-awal migrasitersebut merupakan konsep dasar daribudaya pembuatan kapak batu (kapak lonjongdan kapak persegi). Namun, kalaudibandingkan dengan persebaran budaya
Austronesia di Indonesia pada umumnya,maka diketahui bahwa migrasi budaya ituberlangsung berkali-kali (Simanjuntak 2011).
Oleh karena itu, mungkin juga migrasi kePulau Weh berlangsung paling tidak dalamdua gelombang, yaitu gelombang yang
membawa budaya materi kapak lonjongterlebih dulu, kemudian diikuti dengan migrasi
yang membawa budaya kapak persegi.Asumsi tersebut dilandasi oleh temuan kapaklonjong pada lapisan budaya yang ditarikh8000 BP di Gua Niah (Serawak), dan secaratekno-morfologis kronologi kapak persegi
lebih muda (Soejono dan Leirissa 2007, 218).Berdasakan tekno-morfologis tersebut adakemungkinan juga komunitas migrasi keduadi Pulau Weh memanfaatkan teknologi yangtelah dikenal lebih awal, sehingga teknik
penajaman kapak persegi dan belincung
menggunakan teknik untuk penajaman kapaklonjong.
C. Penutup
Keberadaan kapak persegi dan kapak
lonjong di Pulau Weh mengasumsikan bahwapulau tersebut memiliki keletakan yang
strategis dengan lingkungan yang memadaiuntuk hunian. Kondisi tersebut menjadikanwilayah ini sangat penting dalam
perekonstruksian sejarah budaya padapembabakan neolitik (Austronesia) di
Indonesia bagian barat.
Morfologi dan teknologi temuan
kapak dengan pembabakan budaya neolitikdi Pulau Weh menunjukkan kesamaandengan artefak yang ditemukan di situsLoyang Mendale dan Loyang Putri Pukes
(Aceh Tengah), yaitu kapak persegi dan kapaklonjong. Kedua tipe kapak tersebut merupakanciri dari budaya materi Austronesia. Kapakpersegi dan belincung di Pulau Weh
menunjukkan karakteristik teknologi danmorfologi yang bercampur antara kapaklonjong dan kapak persegi, sehingga dapatdikatakan memiliki kekhasan. Keberadaan
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin14
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
budaya Austronesia di Pulau Weh, situs LoyangMendale, dan Loyang Ujung Karang juga
menunjukkan adanya aktivitas migrasikelompok pendukung budaya tersebut keIndonesia bagian barat pada pembabakanAustronesia prasejarah.
Keberadaan kapak lonjong di situsloyang Putri Pukes dan juga di Pulau Weh
tersebut merupakan bukti kurang tepatnyahipotesis yang dianut selama ini bahwa kapakpersegi berkembang di Indonesia bagianbarat dan kapak lonjong berkembang diIndonesia bagian timur.
Referensi
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan
Indo-Malaysia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Callenfels, van Stein. 1974. Pedoman singkat
koleksi prasejarah MuseumPusat Lembaga Kebudayaan
Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.
Groslier, Bernard Phillipe. 2002. Indocina:
persilangan kebudayaan.Jakarta: KPG
Koentjaraningrat. 1990. Sejarah teoriantropologi II. Jakarta:Universitas Indonesia, 170–
196.Koestoro, Lucas P. 2011. Survei arkeologi di
Pulau Weh. Laporan PenelitianArkeologi. Medan: Balai
Arkeologi Medan. belumditerbitkan.
Oakley, Kenneth P. 1972. Man the tool maker.London: The University ofChicago Press.
Saifuddin, Achamd Fedyani. 2005. Antropologi
kontemporer, suatu pengantarkritis mengenai paradigma.Jakarta: Prenada Media, 82-84
Subroto, PH. 1995. Pola zonal situs-situsarkeologi. Berkala Arkeologi
Tahun XV- Edisi Khusus,Manusia dalam ruang: studikawasan dalam arkeologi, 133-
138.Simanjuntak, Truman. 1983. Situs
perbengkelan Limbasari,Purbalingga. Rapat EvaluasiHasil Penelitian Arkeologi I.
Jakarta: Pusat Penelit ianArkeologi Nasional.
___________. 2011. Austronesia prasejarahdi Indonesia. Austronesia dan
Melanesia di Indonesia.Yogyakarta: Ombak.
Soejono, R. P. dan R.Z. Leirissa. 2007. Sejarah
Nasional Indonesia I, Zamanprasejarah di Indonesia (edisipemuktakhiran). Jakarta: BalaiPustaka.
Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 15
Artefak Neolitik di Pulau Weh: BuktiKeberadaan Austronesia Prasejarah di Indonesia Bagian Barat 1-15
Soekmono, R. 1988. Pengantar sejarahkebudayaan Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi
kekuasaan pada budaya Nias.Jakarta: Yayasan OborIndonesia.
____________. 2011. Prasejarah Sumaterabagian utara: kontribusinyapada kebudayaan kini. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Wiradnyana, Ketut dan Taufiqurrahman. 2011.Gayo marangkai identitas.Jakarta: Yayasan OborIndonesia.