Ascaris Lumbricoides Dkk

Embed Size (px)

Citation preview

Ascaris Lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu cacing yg termasuk golongan nematode usus. Cacing ini memiliki hospes yaitu pada manusia. Penyakit yg disebabkan nya disebut askariasis. Cacing ascaris merupakan spesies yg ditularkan mll tanah atau soil transmitted helminth. Cacing ascaris ini dapat ditemukan scr kosmopolit, yaitu ditemukan di seluruh dunia. Cacing ascaris merupaka cacing yg memiliki siklus paru.

MorfologiCacing ascaris jantan berukuran lebih kecil dr yg betina. Cacing ascaris jantan berukuran panjang 15-30cm dan lebar 0,2-0,4cm. Sedangkan seekor cacing ascaris betina berukuran panjang 20-35cm, dan lebar 0,3-0,6cm. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga 100.000-200.000 butir dalam sehari, yang berukuran panjang 60-70m dan lebar 40-50m. Cacing ascaris memiliki habitat di usus halus, dan dapat berumur hingga 1-2 tahun. Cacing ascaris memiliki 3 buah bibir yang terdiri dari 2 buah bibir mediodorsal dan 1 bibir lateroventral, diantara ketiganya di tengah terdapat rongga mulut yang disebut sbg triangular bucal cavity.

Telur ascaris dibedakan menjadi 2, yaitu telur fertile dan telur infertile. Telur fertile : merupakan telur yang dibuahi.Memiliki ukuran panjang 45-75m dan lebar 35-50m. Berbentuk bulat simetris atau oval. Memiliki dinding tebal transparan yang terdiri atas 3 lapisan (membrane vitellina, lapisan hialin, dan lapisan albumin). Dan didalamnya berisi embrio. Telur infertile : merupakan telur yg tidak dibuahi. Memiliki ukuran panjang 88-94m dan lebar 44m. Memiliki bentuk yang lebih lonjong. Memiliki dinding yg terdiri atas 2 lapisan(lapisan hialin dan lapisan albumin). Di dalam nya berisi granula kasar (protoplasma yg mati)

Siklus hidupTelur fertile (3 minggu di tanah) infektif tertelan telur menetas di usus halus larva larva menembus dinding usus halus pembuluh darah/limfe jantung paru menembus dinding pembuluh darah menembus dinding alveolus masuk rongga alveolus bronchiolus bronchus trachea faring esophagus menjadi dewasa di usus halus bertelur telur keluar bersama faeces kembali seperti diatas. Siklus ini berlangsung 2-3 bulan lamanya.

Patologi dan Gejala Klinis Gangguan karena larva terjadi pada paru, dapat berupa perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pd paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pd foto rontgen thoraks tampak adanya gambaran infiltrate yg akan hilang dalam 3 minggu. Keadaan seperti ini disebut dg syndrome loeffler. Gangguan oleh cacing dewasa dapat berupa gangguan usus seperti mual, nafsu makan menurun, diare maupun konstipasi. Pada infeksi berat pada anak dapat menyebabkan malabsorbsi dan memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif. Cacing yang menggumpal dalam usus juga dapat menyebabkan terjadinya ileus obstrukstif.

DiagnosisPenegakan diagnosisnya dengan cara pemeriksaan tinja secara langsung dengan menemukan adanya telur cacing, Juga bisa dengan menemukan adanya cacing yang keluar sendiri melalui mulut, hidung maupun dubur bersama muntah maupun faeces.

Pengobatan1. Perorangan: dapat digunakan piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kgBB, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg2. Masal: biasanya dilakukan pada anak SD albendazol 400 mg 2x/tahun

PrognosisBaik, tanpa pengobatan penyakit dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun, dengan pengobatan angka kesembuhan 70-99%.

Epidemiologi Prevalensi tinggi pada anak Frekuensi 60-90% Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Tanah liat, kelembapan tinggi, suhu 25-300C tempat ideal berkembangnya telur ascaris lumbicoides menjadi bentuk infektif.

Sumber : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, ed. 4, FK UI.Oxyuris vermicularis (Enterobius vermicularis)

Cacing Enterobius vermicularis ini memiliki nama lain cacing kremi, pin worm, seatworm atau Oxyuris vermicularis. Cacing ini dapat memiliki hospes/ tempat hidup pd manusia. Apabila ada seseorang yg terkena infeksi cacing ini didiagnosis sbg enterobiasis atau oksiuriasis. Keberadaan cacing ini di dunia menyebar secara kosmopolit, namun lebih banyak ditemukan pd daerah dingin. Hal ini disebabkan krn pd masyarakat yg tinggal di daerah dingin umumnya lbh jarang mandi dan mengganti baju dalam.

MorfologiCacing enterobius betina berukuran 8-13 mm x 0,4mm. Pd ujung anterior nya terdapat pelebaran spt sayap yg disebut alae. Bulbus esophagus Nampak jelas, ekor panjang dan runcing. Uterus cacing yg gravid melebar dan penuh telur. Seekor cacing enterobius dapat bertelur hingga 11.000-15.000 butir telur.

Sedangkan cacing enterobius jantan berukuran 2-5mm. cacing jantan memiliki ekor yg melengkung yg berbentuk spt tanda Tanya (?).

Kopulasi/ pembuahan cacing jantan dan betina terjadi di caecum. Cacing jantan akan mati setelah kopulasi dan cacing betina akan mati setelah bertelur.

Telur cacing oxyuris berbentuk lonjong dan lebih datar pd 1 sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lbh tebal. Telu cacing oxyuris mjd matang setelah 6 jam dikeluarkan dan bersifat resisten thd desinfektan dan udara dingin.

Siklus hidupSetelah mengalami kopulasi di sekum cacing akan bergerak menuju anus bertelur di anus menyebabkan gatal pada anus (pruritus ani) di garuk tidak cuci tangan telur infektif tertelan menetas di duodenum dewasa di jejunum

Dapat juga telur infektif menempel pada pakaian pakaian dijemur telur terbawa angin tertelan

Daur hidup cacing ini berlangsung selama 2 minggu 2 bulan.

Patologi dan Gejala KlinisBeberapa tanda infeksi cacing enterobius antara lain nafsu makan turun, BB turun, anuresis, cepat marah, gigi menggertak, insomnia, gatal pada anus sehingga menyebabkan luka pada anus.

DiagnosisUntuk penegakan diagnosis dari enterobiasis ini dpt dilakukan dg ditemukannya telur atau larva cacing pd pemeriksaan mikroskopik scr 3 hari berturut2. Pengambilan sampel dapat dilakukan dg cara anal swab, yaitu menggunakan alat seperti tongue spatel yang dilekati dengan adhesive tape yang berguna agar telur/larva cacing disekitar anus dapat menempel pada adhesive tape dan dapat dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis dengan reagen tuluol. Pengambilan sampel ini dilakukan waktu pagi hari sebelum anak BAB maupun cebok.

Sumber : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, ed. 4, FK UI.

STRONGYLOIDES STERCORALIS

Latar belakangStrongyloidiasis stercoralis adalah infeksi cacing Strongyloides stercoralis (Strongyloides stercoralis). Strongyloides stercoralis adalah cacing yang hidup daerah hangat, daerah lembab. Cacing masuk ke dalam tubuh ketika seseorang menyentuh tanah yang terkontaminasi cacing.Cacing kecil hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Cacing gelang muda dapat bergerak melalui kulit seseorang dan masuk ke dalam aliran darah ke paru-paru dan saluran udara. Ketika cacing bertambah tua, mereka mengubur diri dalam dinding usus. Kemudian, mereka menghasilkan telur dalam usus. Daerah di mana cacing masuk melalui kulit dapat menjadi merah dan menyakitkan.Strongyloidiasis stercoralis merupakan hospes utama cacing ini, parasit ini dapat mengakibatkan penyakit strongilodiasis. Distribusi Geografik Terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik, sedangkan didaerah yang beriklim dingin jarang ditemukan. Morfologi Dan Daur Hidup Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di virus duodenum, bentuknya filform, halus, tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang-biaknya dengan partenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup : Siklus langsung Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh masuk ke peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang sudah mulai menjadi dewasa menembus alveolus masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk sehingga parasit tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi Siklus tidak langsung Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru atau larva rabditiform tadi dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung terjadi jika keadaan lingkungan sekita optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropik dengan iklim lembab.Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina.

Telur Telur dari bentuk parasitik, sebesar 54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah diberi pencahar yang kuat.

Siklus hidupParasit ini mempunyai 3 macam siklus :1. Siklus langsungSesudah 2 3 hari di tanah, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring reflek batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai diusus halus bagian atas dan menjadi dewasa.

2. Siklus tidak langsungLarva rabditiform berubah menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas, sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menhasilkan larva filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes.

3. Auto infeksi Larva rabditiform menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal) bila larva filariform menembus mukosa atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran perkembangan di dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis yang persisten, mungkin selama 36 tahun, di dalam penderita yang hidup di derah non endemik.

IdentifikasiAdalah infeksi cacing, umumnya tanpa gejala yang menyerang duodenum dan bagian atas jejunum. Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Gejala lain yaitu batuk, ronki, kadang-kadang pneumonitis jika larva masuk ke paru-paru; atau muncul gejala-gejala abdomen yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada mukosa usus. Gejala infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa ringan dan bisa juga berat.

Penyebab:Penyebaran infeksi strongyloides seiring dengan infeksi cacing tambang, tetapi frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat di daerah tropik dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi menguntungkan lingkaran hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota.Nematoda tersebut (gelang) strongyloides stercoralis,. strongyloides lainnya termasuk s, flleborni, yang menginfeksi simpanse dan babun dan dapat menghasilkan infeksi terbatas pada manusia. kehidupan siklus: siklus hidup strongyloides stercoralis strongyloides siklus hidup lebih kompleks dibandingkan dengan nematoda yang paling dengan alternasi yang antara siklus hidup bebas dan parasit, dan potensinya untuk autoinfection dan multiplikasi dalam host. dua jenis ada siklus: siklus hidup bebas: larva rhabditiform lewat di bangku (lihat siklus parasit di bawah) dapat ganti kulit dua kali dan menjadi larva infektif filariform (pengembangan langsung) atau empat kali ganti kulit dan menjadi hidup bebas laki-laki dewasa dan perempuan yang mate dan memproduksi telur yang menetas larva rhabditiform. yang terakhir pada gilirannya dapat berkembang menjadi generasi baru dari orang dewasa yang hidup bebas (yang diwakili dalam), atau menjadi larva infektif filariform. filariform larva menembus kulit manusia tuan rumah untuk memulai siklus parasit (lihat di bawah). siklus parasit: larva filariform dalam tanah yang terkontaminasi menembus kulit manusia, dan diangkut ke paru-paru mereka menembus ruang alveolar, mereka dibawa melalui pohon bronkial ke kerongkongan.

GejalaGejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria; kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, lemah dan konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh. Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat menyebabkan terjadinya strongyloidiasis diseminata, terjadi penurunan berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian. Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada stadium kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedangkan pada strongyloidiasis disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun.

Cara-cara PenularanLarva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-paru. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform.Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahuntahun.

Masa InkubasiWaktu yang diperlukan mulai saat larva infektif filariform menembus kulit sampai ditemukan larva non infektif rhabiditform dalam tinja penderita adalah 2-4 minggu. Sedangkan waktu dari masuknya larva infeksi sampai timbul gejala tidak pasti, bervariasi dari orang ke orang.

Masa penularan:Selama cacing dewasa ada dalam usus dan dapat berlangsung hingga 35 tahun jika terjadi autoinfeksi.

Kerentanan dan kekebalanSetiap orang rentan terhadap penularan cacing ini. Imunitas setelah infeksi cacing tidak terbentuk dalam tubuh manusia, imunitas hanya terbentuk pada percobaan laboratorium. Penderita AIDS dan penderita tumor ganas atau mereka yang mendapatkan pengobatan yang menekan sistem kekebalan tubuh dapat rentan terhadap infeksi cacing ini.

Cara-cara pemberantasan1. Tindakan pencegahan Buanglah tinja di jamban yang saniter. Lakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat untuk benar-benar memperhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan. Gunakan alas kaki di daerah endemis. Sebelum memberikan terapi imunosupresif kepada seseorang, Pastikan bahwa orang tersebut tidak menderita strongyloidiasis. Periksa semua najing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia, obati binatang yang terinfeksi cacing ini.

2. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar Laporan ke Dinas Kesehatan setempat: Penyakit ini tidak wajib dilaporkan, Kelas 5 (lihat tentang laporan penyakit menular). Isolasi: Tidak ada. Tindakan disinfeksi: Membuang feces secara saniter. Karantina: Tidak ada. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Terhadap anggota keluarga penderita dan penghuni asrama dimana ada penderita dilakukan pemeriksaan Kalau-kalau ada yang terinfeksi. Pengobatan spesifik: Karena adanya potensi untuk autoinfeksi dan penularan kepada orang lain, semua penderita tanpa melihat jumlah cacing yang dikandungnya harus dilakukan pengobatan dengan ivermectin (Mectizan), Thiabendazole (Mintezol) atau albendazole (Zentel). Perlu diberikan pengobatan ulang.

Diagnosa LaboratoriumDiagnosa pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada daerah perianal yang diperiksa dengan metoda graham scoth.

Diagnosa lainDibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen tinja segar atau dengan metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau kadang-kadang larva ditemukan pada sputum. Pemeriksaan ulang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa lin. Tinja yang disimpan dalam suhu kamar 24 jam atau lebih, ditemukan parasit yang berkembang dalam berbagai stadium, larva stadium rhabditiform (non infeksius), larva filaform (infektif). Larva filaform ini harus dibedakan dengan larva cacing tambang dan dengan cacing dewasa. Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan pemeriksaan serologis seperti EIA, dengan menggunakan antigen berbagai stadium, biasanya memberikan hasil positif sekitar 80%-85%.

Perawatan Tujuan pengobatan adalah untuk menghilangkan cacing dengan obat anti cacing seperti ivermectin. Dalam beberapa kasus, misalnya di dalam orang-orang yang akan mengambil obat imunosupresif, orang-orang tanpa gejala yang diobatin

PrognosisInfeksi berat dapat menyebabkan kematian.

Gandasuda, Srisasi 2006. Parasit Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaF.Ganong,William.2003.Medical Physiologi.Medical publishing divisionGuyton & Hall.2006.Text Book of Medical Phisiology.Elsevisier Saunders

PLASMODIUM FALCIPARUM

Malaria menular kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. dalam siklus hidupnya. Plasmodium sp berproduksi secara sexual (sporogoni)dan asexual (schizogon) di dalam host yang berbeda, host dimana terjadi reproduksi sexsual, disebut host definitive sedangakn reproduksi asexual terjadi pada host intermediate. Reproduksi sexual hasinya disebut sporozoite sedangkan hasil reproduksi asexual disebut merozoite.Plasmodium falciparum mempunyai sifat sifat tertentu yag berbeda dengan species lainnya, sehingga diklasifikasikan dalam subgenus laveran.

Plasmodium falciparum mempunyai klasifikasi sebagai berikut :Kingdom: HaemosporodiaDivisio: NematodaSubdivisio: LaveranKelas: SpotozoaOrdo: HaemosporidiaGenus: PlasmodiumSpecies: Falcifarum

A.Nama penyakitP.falciparum menyebabkan penyakit malaria falsifarum.

B.HospesManusia merupakan hospes perantara parasit ini dan nyamuk Anopheles betina menjadi hopses definitifnya atau merupakan vektornya.

C.Distribusi geografikParasit ini ditemukan didaerah tropic, terutama di Afrika dan Asia Tenggara. Di Indonesia parasit ini terbesar di seluruh kepulauan.

D.Morfologi dan daur hidupParasit ini merupakan species yang berbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat menjadi berat dan menyebabkan kematian.Perkembangan aseksual dalam hati hanya menyangkut fase preritrosit saja; tidak ada fase ekso-eritrosit. Bentuk dini yang dapat dilihat dalam hati adalah skizom yang berukuran 30 pada hari keempat setelah infeksi.Jumlah morozoit pada skizon matang (matur) kira-kira 40.000 bentuk cacing stadium trofosoit muda plasmodium falciparum sangat kecil dan halus dengan ukuran 1/6 diameter eritrosit. Pada bentuk cincin dapat dilihat dua butir kromatin; bentuk pinggir (marginal) dan bentuk accole sering ditemukan. Beberapa bentuk cincin dapat ditemukan dalam satu eritrosit (infeksi multipel). Walaupun bentuk marginal, accole, cincin dengan kromatin ganda dan infeksi multiple dapat juga ditemukan dalam eritrosit yang di infeksi oleh species plasmodium lain pada manisia, kelainan-kelainan ini lebih sering ditemukan pada Plasmodium Falciparum dan keadaan ini penting untuk membantu diagnosis species.Bentuk cincin Plasmodium falciparum kemudian menjadi lebih besar, berukuran seperempat dan kadang-kadang setengah diameter eitrosit dan mungkin dapat disangka parasit Plasmodium malariae. Sitoplasmanya dapat mengandung satu atau dua butir pigmen. Stadium perkembangan siklus aseksual berikutnya pada umumnya tidak berlangsumg dalam darah tepi, kecuali pada kasus brat (perniseosa).Adanya skizon muda dan matang Plasmodium falciparum dalam sediaan darah tepi berarti keadaan infeksi yang berat sehingga merupakan indikasi untuk tindakan pengobatan cepat.Bentuk skizon muda Plasmodium falciparum dapat dikenal dengan mudah oleh adanya satu atau dua butir pigmen yang menggumpal. Pada species parasit lain pada manusia terdapat 20 atau lebih butir pigmen pada stadium skizon yang lebih tua. Bentuk cincin da tofozoit tua menghilang dari darah tepi setelah 24 jam dan bertahan dikapiler alat-alat dalam, seperti otak, jantung, plasenta, usus atau sumsum tulang; di tempat tempat ini parasit berkembang lebih lanjut.Dalam waktu 24 jam parasit di dalam kapiler berkembang biak secara zkisogoni. Bila skison sudah matang, akan mengisi kira-kira 2/3 eritrosit. Akhirnya membelah-belah dan membentuk 8 24 morozoit, jumlah rata-rata adalah 16. skizon matang Plasmodium falciparum lebih kecil dari skizon matang parasit malaria yang lain. Derajat infeksi pada jenis malaria ini lebih tinggi dari jenis-jenis lainnya, kadang-kadang melebihi 500.000/mm3 darah.Dalam badan manusia parasit tidak tersebar merata dalam alat-alat dalam dan jaringan sehingga gejala klinik pada malaria falciparum dapat berbeda-beda. Sebagian besar kasus berat dan fatal disebabkan oleh karena eritrosit yang dihinggapi parasit menggumpal dan menyumbat kapiler.Pada malaria falciparum eritrosit yang diinfeksi tidak membesar selama stadium perkembangan parasit. Eritrosit yang mengandung trofozoit tua dan skizon mempunyai titik kasar berwarna merah (titik mauror) tersebar pada dua per tiga bagian eritrosit. Pembentukan gametosit berlamgsung dalam alat-alat dalam, tetapi kadang-kadang stadium mudah dapat ditentukan dalam darah tepi. Gametosis muda mempunyai bentuk agak lonjong, kemudian menjadi lebih panjang atau berbentuk elips; akhirnya mencapai bentuk khas seperti sabit atau pisang sebagai gametosis matang. Gametosis untuk pertama k ali tampak dalam darah tepi setelah beberapa generasi mengalami skizogoni biasanya kira-kira 10 hari setelah parasit pertama kali tampak dalam darah. Gametosis betina atau makrogametosis biasanya lebih langsing dan lebih panjang dari gametosit jantang atau mikrogametosit, dan sitoplasmanya lebih biru dengan pulasan Romakonowsky. Intinya lebih lebih kecil dan padat, berwarna merah tua dan butir-butir pigmen tersebar disekitar inti. Mikrogametozit membentuk lebih lebar dan seperti sosis. Sitoplasmanya biru, pucat atau agak kemerah-merahan dan intinya berwarna merah mudah, besar dan tidak padat, butir-butir pign\men disekitan plasma sekitar inti.Jumlah gametosit pada infeksi Falciparum berbeda-beda, kadang-kadang sampai 50.000 150.000/mm3 darah, jumlah ini tidak pernah dicapai oleh species Plasmodium lain pada manusia. Walaupun skizogoni eritrosit pada Plasmodium falciparum selesai dalam waktu 48 jam dan priodisitasnya khas terirana, sering kali pada species ini terdapat 2 atau lebih kelompok-kelokpok parasit, dengan sporolasi yang tidak singkron, sehingga priodesitas gejala pada penderita menjadi tidak teratur, terutama pada stadium permulaan serangan malaria.Siklus seksual Plasmodium falciparum dalam nyamuk sama seperti pada Plasmodium yang lain. Siklus berlangsung 22 hari pada suhu 20o C, 15 17 hari pada suhu 23o C dan 10 11 hari pada suhu 25o C 28o C. pigmen pada obkista berwarna agak hitam dan butir butinya relative besar, membentuk pola pada kista sebagai lingkaran ganda sekitar tepinya, tetapi dapat tersusun sebagai lingkaran kecil dipusat atau sebagai garis lurus ganda. Pada hari ke- 8 pigmen tidak tampak kecuali beberapa butir masih dapat dilihat.

E.Patologi dan gejala-gejala.Masa tunas intrinsic malaria falciparum berlangsung antara 9-14 hari. Penyakitnya mulai dengan sakit kepala, punggung dan ekstremitas, perasaan dingin, mual, muntah atau diare ringan. Demam mungkin tidak ada atau ringan dan penderita tidak tampak sakit; diagnosis pada stadium ini tergantung dari anamosis tentang kepergian penderita ke daerah endemic malaria sebelumnya. Penyakit berlangsung terus, sakit kepala, punggung dan ekstremitas lebih hebat dan keadaan umum memburuk. Pada stadium ini penderita tampak gelisah, pikau mental (mentral cunfuncion). Demam tidak teratur dan tidak menunjukkan perodiditas yang jelas.Ada anemia ringan dan leucopenia dengan monositosis. Pada stadium dini penyakit penyakit dapat didiagnosis dan diobati dengan baik, maka infeksi dapat segera diatasi. Bila pengobatan tidak sempurna, gejala malaria pernisiosa dapat timbul secara mendadak. Istilah ini diberikan untuk penyulit berat yang timbul secara tidak terduga pada setiap saat, bila lebih dari 5 % eritrosit di-infeksi.

Pada malaria Falciparum ada tiga macam penyulit :1. Malaria serebral dapat dimulai secara lambat atau mendadak setelah gejala permulaan.2. Malaria algida menyerupai syok/renjatan waktu pembedahan.3. Gejala gastro-intestinal menyerupai disentri atau kolera.

Malaria falciparum berat adalah penyakit malaria dengam P.falciparum stadium aseksual ditemukan di dalam darahnya, disertai salah satu bentuk gejala klinis tersebut dibawah ini (WHO, 1990) dengan menyingkirkan penyebab lain (infeksi bakteri atau virus):1. Malaria otak dengan koma (unarousable coma)2. Anemia normositik berat3. Gagal ginjal4. Edema paru5. Hipoglikemia6. Syok7. Perdarahan spontan/dic (disseminated intravascular coagulation)8. Kejang umum yang berulang.9. Asidosis10. Malaria hemoglobinuria (backwater fewer)

Manifestasi klinis lainnya (pada kelompok atau daerah didaerah tertentu):1. Gangguan kesadaran (rousable)2. Penderita sangat lemah (prosrated)3. Hiperparasitemia4. Ikterus (jaundice)5. Hiperpireksia

Hemolisis intravascular secara besar-besaran dapat terjadi dan memberikan gambaran klinis khas yang dikenal sebagai blackwater fever atau febris iktero-hemoglobinuria. Gejala dimulai dengan mendadak, urin berwarna merah tua samapi hitam, muntah cairan yang berwarna empedu, ikterus, badan cepat lemah dan morolitasnya tinggi. Pada blackwater parasit sedikit sekali, kadang-kadang tidak ditemukan dalam darah tepi.

F.DiagnosisDiagnosis malaria falcifarum dapat dibuat dengan menemukan parasit trofozoit muda ( bentuk cincin ) tanpa atau dengan stadium gametosit dalam sediaan darah tepi. Pada autopsy dapat ditemukan pigmen dan parasit dalam kapiler otak dan alat-alat dalam.G.Resistensi parasit malaria terhadap obat malaria.Resistensi adalah kemampuan strain parasit untuk tetap hidup, berkembangbiak dan menimbulkan gejala penyakit, walaupun diberi pengobatan terhadap parasit dalam dosis standar atau dosis yang lebih tinggi yang masih dapat ditoleransi. Resistensi P.falciparum terhadap obat malaria golongan 4 aminokuinolin (klorokuin dan amodiakuin untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1960 -1961 di Kolombia dan Brasil. Kemudian secara berturut-turut ditemukan di Asia Tenggara, di Muangthai, Kamboja, Malaysia, Laos, Vietnam, Filifina. Di Indonesia ditemukan di Kalimantan timur (1974), Irian Jaya (1976), Sumatera Selatan (1978), Timor Timur (1974), Jawa Tengah (Jepara, 1981) dan Jawa Barat (1981). Focus resistensi tidak mengcakup semua daerah, parasit masih sensitive dibeberapa tempat di daerah tersebut. Bila resistensi P.Falciparum terhadap klorokuin sudah dapat dipastikan, obat malaria lain dapat diberikan , antara lain:1. Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis tunggal sebanyak 2-3 tablet.2. Kina 3 x 2 tablet selama 7 hari.3. Antibiotik seperti tetrasiklin 4 x 250 mg/hari selama 7-10 hari, minosiklin 2 x 100 mg/hari selama 7 hari.4. Kombinasi kombinasi lain : kina dan tetrasiklin.

Mengapa parasit malaria menjadi resisten terhadap klorokuin, amsih belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa kemungkinan yaitu :1. Mungkin parasit itu tidak mempunyai tempat (site) untuk mengikat klorokuin sehingga obat ini tidak dapat dikonsentrasi dalam sel darah merah,2. Plasmodium yang resisten mempunyai jalur biokimia (biochemical pathway) lain untuk mengadakan sintesis asam amino sehingga dapat menghindarkan pengaruh klorokuin,3. Mutasi spontan dibawah tekanan otot.

Criteria untuk menentukan resistensi parasit malaria terhadap 4-aminokuinolin dilapangan telah ditentukan oleh WHO dengan cara in vivo dan in vitro. Derajat resistensi terhadapobat secara in vivo dapat dibagi menjadi :S: Sensitive dengan parasit yang tetap menghilang setelah pengobatan dan diikuti selama 4 minggu.R I: Resistensi tingkat I dengan rekrusesensi lambat atau dini (pada minggu ke 3 sampai ke 4 atau minggu ke 2)R II: Resistensi tingkat II dengan jumlah parasit menurun pada tingkat I.R III: Resistensi tingkat III dengan jumlah parasit tetap sama atau meninggi pada minggu ke I.

Akhir akhir ini ada laporan dari beberapa Negara (Bombay India, Myanmar, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Brasil) dan dari Indonesia (Pulau nias Sumatera Utara, Florest NTT, Lembe Sulawesi Utara, Irian Jaya) mengenai P.vivax yang resistensi ditentukan dengan cara mengukur konsentrasi klorokuin dalam darah atau serum penderita.

H.Pengobatan Pengobatan dan Pencegahan Penyakit MalariaKlasifikasi biologi obat malariaBerdasarkan suseptibilitas berbagai stadium parasit malaria terhadap obat malaria maka obat malaria di bagi dalam 5 golongan :1. Skizontosida jaringan primer : proguanil, pirimetamin, dapat membasmi parasit pra eritrosit sehingga mencegah masuknya parasit ke dalam eritrosit digunakan sebagai profilaksis kausal.2. Skizontosida jaringan sekunder primakuin, membasmi parasit daur eksoeritrosit atau bentuk-bentuk jaringan P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal infeksi ini sebagai obat anti relaps.3. Skizontosida darah : membasmi parasit stadium eritrosit yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinis.4. Gametositosida : menghancurkan semua bentuk seksual termasuk stadium gametosit P.falcifarum , juga mempengaruhi stadium perkembangan parasit malaria dalam nyamuk Anopheles betina5. Sporontosida : mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk AnophelesObat-obat malaria yang ada dapat dibagi dalam 9 golongan menurut rumus kimianya :1. Alkaloid cinchona (kina)2. 8-aminokuinolin (primakuin)3. 9-aminoakridin (mepakrin)4. 4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin)5. Biguanida(proguanil)6. Diaminopirimidin (pirimetamin, trimetoprim)7. Sulfon dan sulfonamide8. Antibiotic ( tetrasiklin, minosiklin, klindamisin )9. Kuinilinmetanol dan fenantrenmetanol ( meflokuin )

Penggunaan Obat malariaSuatu obat mempunyai beberapa kegunaan yang dapat dipengaruhi beberapa factor, seperti spesies parasit malaria, respon terhadap obat tersebut, adanya kekebalan parsial manusia, risiko efek toksik, ada tidaknya obat tersebut di pasaran, pilihan dan harga obat. Penggunaan obat malaria yang utama ialah sebagai pengobatan pencegahan (profilaksisi ), pengobatan kuratif ( terapeutik ), dan pencegahan transmisi.1. 1.Pengobatan pencegahan (profilaksis). Obat diberikan dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya gejala. Semua skizontisida darah adalah obat profilaksis klinis atau supresif dan ternyata bila pengobatan diteruskan cukup lama , infeksi malaria dapat lenyap.2. 2.Pengobatan terapeutik (kuratif). Obat digunakan untuk pengobatan infeksi yang telah ada, penanggulangan serangan akut dan pengobatan radikal. Pengobatan serangan akut dapat dilakukan dengan skizontosida.3. 3.Pengobatan pencegahan transmisi. Obat yang efektif terhadap gametosit, sehingga dapat mencegah infeksi pada nyamuk atau mempengaruhi perkembangan sporogonik pada nyamuk adalah gametositosida atau sporontosida

Pada pemberantasan penyakit malaria, penggunaan obat secara operasional tergantung pada tujuannya. Bila obat malaria digunakan oleh beberapa individu untuk pencegahan infeksi, maka disebut proteksi individu atau profilaksis individu.Dalam program pemberantasan malaria cara pengobatan yang terpenting adalah pengobatan presumtif, pengobatan radikal, dan pengobatan missal. Pengobatan presumtif adalah pengobatan kasus malaria pada waktu darahnya diambil untuk kemudian dikonfirmasi infeksi malarianya. Pengobatan radikal dilakukan dentgan tujuan membasmi semua parasit yang ada dan mencegah timbulnya relaps.Pengobatan misal dilakukan di daerah dengan endemisitas tinggi. Tiap orang harus mendapat pengobatan secara teratur dengan dosis yang telah ditentukan.

Dosis obat malariaDosis obat malaria tanpa keterangan khusus berarti bahwa dosis tersebut diberikan kepada orang dewasa dengan BB kurang lebih 60 kg. Dosis tersebut dapat disesuaikan BB ( 25 mg/kg BB dosis total.

Pencegahan penyakit malaria Menghindari gigitan nyamuk, misalnya tidur menggunakan kelambu Mengobati semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan Pemberantasan nyamuk dan larvanya

Adam, Sry Amsunir, 1992, mikrobiologi dan parasitologi untuk perawat, Jakarta; EGC.Indan Entjan, 2001, mikrobiologi dan parasit untuk perawat, Bandung; Citra Aditya Bakri.Margono, Sri, 1998, parasitologi kodekteran, Jakarta; FKUIJ.M.Gibson,MD, 1996. Mikrobiologi dan patologi modern untuk perawat, Jakarta, EGCHarold W Brown, 1983, Dasar-dasar parasitologi klinik, Jakarta, PT. Gramedia.