39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. (Sodikin, 2011) Insidens penyakit Hirschsprung di dunia adalah 1 : 5.000 kelahiran hidup. Di Amerika dan Afrika dilaporkan penyakit Hirschsprung terjadi pada satu kasus setiap 5.400-7.200 kelahiran hidup. Di Eropa Utara, insidens penyakit ini adalah 1,5 dari 10.000 kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8 per 10.000 kelahiran hidup. Angka kematian untuk penyakit Hirschsprung berkisar antara 1-10%. Pada tahun 1993-2010 di Genoa, Italia mencatat ada 8 orang dari 313 penderita penyakit Hirschsprung yang meninggal (CFR= 2,56%). Penyakit Hirschsprung yang 1

ASKEP HISPRUNG

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ASKEP HISPRUNG

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick

Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald

Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863.

Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas.

Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa

megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan

peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. (Sodikin, 2011)

Insidens penyakit Hirschsprung di dunia adalah 1 : 5.000 kelahiran hidup. Di

Amerika dan Afrika dilaporkan penyakit Hirschsprung terjadi pada satu kasus

setiap 5.400-7.200 kelahiran hidup. Di Eropa Utara, insidens penyakit ini

adalah 1,5 dari 10.000 kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8

per 10.000 kelahiran hidup. Angka kematian untuk penyakit Hirschsprung

berkisar antara 1-10%. Pada tahun 1993-2010 di Genoa, Italia mencatat ada 8

orang dari 313 penderita penyakit Hirschsprung yang meninggal (CFR=

2,56%). Penyakit Hirschsprung yang tidak segera ditangani atau diobati dapat

menyebabkan kematian sebesar 80% yang terutama akibat terjadinya

enterokolitis dan perforasi usus. Penanganan penyakit Hirschsprung yang

dilakukan lebih dini efektif menurunkan kejadian enterokolitis menjadi 30%.

Pada tahun 1976-1993 di Ankara, Turki menunjukkan ada sebanyak 302

penderita penyakit Hirschsprung. (Wiknjosastro, 2006)

Insidensi hisprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Dengan jumlah

penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka

diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.

Laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya,

penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur.

Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom

1

down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. Aganglionik

megacolon kongenital, atau Hirschsprung's disease, merupakan penyebab

tersering dari obstruksi usus pada neonatus (DepKes RI, 2008).

Kelainan lainnya yang terkait terjadi pada sekitar 20% pasien, yang tersering

adalah Down syndrome, terjadi antara 8 dan 16% pasien. Pasien dengan

Down syndrome memiliki prognosis yang lebih buruk setelah pengobatan

karena adanya peningkatan enterokolitis terkait Hirschsprung's (pada sekitar

50%), hasil fungsional yang lebih buruk dengan berlanjutnya kontinensia

feces, dan peningkatan mortalitas (sampai dengan 38%).

Kelainan lainnya yang terkait termasuk defek jantung kongenital pada 7,8%,

kelainan genitourinaria pada 5.6%, dan kelainan gastrointestinal lainnya pada

3.9% pasien. Salah satu kondisi lainnya yang jarang terjadi, disebut dengan

‘neurocristopathy', adalah hubungan antara Hirschsprung's disease (biasanya

dengan keterlibatan keseluruhan kolon) dengan sindroma hipoventilasi sentral

(Ondine's curse) dan neuroblastoma.

Diharapkan perawat dapat ikut serta dalam upaya penurunan angka insiden

penyakit hisprung melalui pemberian askep, edukator, konsultan dan edukator.

Peran edukator dilakukan dengan memberikan penyuluhan kesehatan terkait

penyakit yang diderita oleh pasien, baik kepada pasien maupun keluarga yang

mendampingi pasien.

Peran koordinator dilaksankan dengan mengarahkan, mrencanakan serta

mengorganisasikan pelayanan kesehatan dan tim kesehatan sehingga

pemberian pelayana kesehatan dapat terarah.

Peran kolaborator dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan

lainnya dengan berupaya mengidentifikasikan pelayanan keperawatan yang

2

diperlukan termasuk diskusi/tukar pendapat dalam penentuan bentuk

pelayanan selanjutnya.

Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat untuk berkonsultasi

terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.

Dari data diatas penulis tertarik untuk membahas Asuhan Keperawatan Pada

Anak dengan Penyakit Hisprung.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini agar mahasiswa/i mampu memahami teori

dan memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit

hisprung.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari makalah ini, yaitu mahasiswa/i mampu :

a. Melakukan pengkajian pada anak dengan penyakit hisprung.

b. Menegakkan diagnosa keperawatan pada anak dengan penyakit

hisprung.

c. Menyusun intervensi keperawatan pada anak dengan penyakit

hisprung.

C. Metode penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan

melakukan studi pustaka melalui pengumpulan literatur dari berbagai sumber.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari permasalahan dalam makalah ini ialah segala sesuatu

yang berkenaan dengan konsep dasar dan asuhan keperawatan pada anak

dengan penyakit hisprung.

3

E. Sistematika Penulisan

BAB I. PENDAHULUAN: Terdiri dari latar belakang masalah, tujuan

penulisan, metode penulisan, ruang lingkup, dan sistematika penulisan. BAB

II. TINJAUAN TEORI: Terdiri dari pengertian, klasifikasi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, pemeriksaan

penunjang, konsep tumbuh kembang anak, konsep hospitalisasi, asuhan

keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi

keperawatan. BAB III. PENUTUP: Terdiri dari kesimpulan dan saran.

Daftar pustaka. Lampiran.

4

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Hirschsprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali

kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan

motalitas sebagian usus. (Ngastiyah, 2005)

Penyakit hirschsprung merupakan ketiadaan saraf ganglion parasimpatik pada

pleksus meinterikus kolon distal. Daerah yang terkena di kenal sebagai

segmen aganglionik. (Sodikin, 2011)

Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion

dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon. Dan ketidakadaan ini menimbulkan

keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan.

(Yongki, dkk. 2012)

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit

ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan

(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah

atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi

“kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus

menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-

beda untuk setiap individu.

B. Etiologi

Penyebab penyakit Hirschprung belum diketahui (Greaf, 1994).

Kemungkinan terdapat keterlibatan faktor genetik, sering terjadi pada anak

dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam

dinding usus, gagal ekstensi kraniokaudal myenterik dan submukosa dinding

plexus. Anak laki-laki lebih banyak terkena penyakit Hirschprung

5

dibandingkan anak perempuan (4:1). (Suriadi dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan

Keperawatan Pada Anak).

C. Klasifikasi

Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996), Hirschprung

dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena, Hirschprung

dibedakan menjadi dua tipe berikut :

1. Segmen Pendek

Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, terjadi

pada sekitar 70% kasus penyakit hirschprung dan tipe ini lebih sering

ditemukan pada laki-laki di bandingkan anak perempuan. Pada tipe

segmen pendek yang umum, insiden 5 kali lebih besar pada laki-laki

dibanding wanita.

2. Segmen Panjang

Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat

mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan

memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa

membedakan jenis kelamin. (Sodikin. 2011. Keperawatan Anak

Gangguan Pencernaan)

D. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic mega colon menggambarkan adanya kerusakan

primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon

distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian

proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan

atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya

evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga

mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya

akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal

sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,

2002:197). 

6

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol

kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke

segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan

terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi

obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar (Price, S &

Wilson, 1995 : 141).

Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding

usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang

bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan

perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang

agangloinik terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh

kolonnya tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf

pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi.

Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan

ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi

asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada

submukosa.

Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian

usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat

mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan

defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang

tertimbun, membentuk megakolon. (Suriadi dan Rita Yuliani. 2010).

E. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia

gejala klinis mulai terlihat :

1. Pada Bayi Baru Lahir (Neonatal)

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni :

a. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)

7

b. Muntah hijau

c. Distensi abdomen.

2. Pada Bayi dan Anak-Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan

peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok

dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid

dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur,

sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi, penderita

tidak dapat meningkatkan berat badan, pembesaran perut (perut menjadi

buncit), demam dan kelelahan. (Suriadi dan Rita Yuliani.2010. Asuhan

Keperawatan Pada Anak).

F. Komplikasi

1. Kebocoran Anastomose

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan

yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat

pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose

serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan

terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat

kebocoran anastomose ini beragam. Kebocoran anastomosis ringan

menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses

rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi,

pelvioperitonitis atau peritonitis umum, sepsis.

2. Stenosis

Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan

penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan

terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.

Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,

distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang

8

dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari

businasi hingga sfinkterektomi posterior.

3. Enterokolitis

Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus

halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus

makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi.

(Sodikin. 2011. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan)

G. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis dan Bedah

Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan alternative adalah operasi

berupa pengangkatan segmen usus aganglion diikutii dengan

pengembalian kontinuitas usus. Tetapi belum dapat di lakukan operasi

biasanya merupakan tindakan sementara di pasnag pipa rectum dengan

atau tanpa di lakukan pembilasan dengan air garam fisiologis secara

teratur.

Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di

usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan

motilitas usus besar dan juga fungsi spingter ani internal.

Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :

a. Temporary ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik

untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan

terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.

b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat

berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan

setelah operasi pertama.

Ada beberapa prosedur pembedahan yang di lakukan seperti :

a. Prosedur duhamel yaitu dengan cara penarikan kolon normal kearah

bawah dan menganastomosisnya di belakang usus aganglionik,

membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian

posterior kolon normal yang telah ditarik.

9

b. Prosedur Swenson yaitu membuang bagian aganglionik kemudian

menganastomoskan end to end pada kolon yang berganglion dengan

saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter dilakukan pada

bagian posterior.

c. Prosedur Soave yaitu dengan cara membiarkan dinding otot dari

segmen tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik

sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal

dan jaringan otot rectosigmoid yang tersisa.

Terapi farmakologi :

a. Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga

modifikasi diet dan wujud feses adalah efektif.

b. Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam

megakolon toksik. Tidak memadatkan dan tidak menekan feses

menggunakan tuba.

2. Penatalaksanaan Keperawatan

Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya

bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan

utama antara lain :

a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital

pada anak secara dini.

b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.

c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis

(pembedahan).

d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana

pulang

Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak –

anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai

status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan

simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat,

tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi

parenteral total.

10

H. Pemeriksaaan Penunjang

1. Pemeriksaan Colok Dubur

Pada pasien Hirschprung, pemeriksaan colok dubur sangat penting

dilakukan. Pada pemeriksaan ini, jari pemeriksa merasakan jepitan karena

lumen rektum yang sempit dan pada waktu ditarik diikuti dengan

keluarnya udara dan mekonium (feses) yang menyemprot.

2. Pemeriksaan Lain

a. Pemeriksaan laboratorium

Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal.

Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai

elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering

didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau

strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38%-50% obstruksi strangulasi

dibandingkan 27%-44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit

yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat

ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin

terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan

metabolik asidosis bila tedapattanda-tanda shock.

b. Pada foto polos abdomen tegak menunjukkan usus yang melebar atau

terdapat gambaran obstruksi usus rendah.

c. Barium enema

1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi.

2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan

ke arah daerah dilatasi.

3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

d. Pemeriksaan radiologis menemukan kelainan pada kolon setelah

enema barium. Radiografi biasa memperlihatkan dilatasi kolon di atas

segmen aganglionik.

11

e. Biopsi rektum

Biopsi merupakan tes paling akurat untuk penyakit Hirschsprung.

Pemeriksaan ini memberikan diagnosa definitif dan digunakan untuk

mendeteksi ketiadaan ganglion. Tidak adanya sel-sel ganglion

menunjukkan penyakit Hirschsprung.

f. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari hasil biosi isap.

Pada penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim

asetilkolin enterase.

g. Manometri anorektal (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur

tekanan dalam rektum)

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif

mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan

spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal

dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis

dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2

komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti

balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat

seperti poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal

yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :

1) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.

2)  Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada

segmen usus aganglionik.

3) Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi

spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces.

Tidak dijumpai relaksasi spontan. (Ngastiyah. 2005. Perawatan

Anak Sakit)

I. Konsep Tumbuh Kembang Anak

1. Neonatus (bayi lahir sampai usia 28 hari)

Dalam tahap neonatus ini bayi memiliki kemungkinan yang sangat

besar tumbuh dan kembang sesuai dengan tindakan yang dilakukan

oleh orang tuanya. Sedangkan perawat membantu orang tua dalam

12

memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi yang masih belum

diketahui oleh orang tuanya.

2. Bayi (1 bulan sampai 1 tahun)

Dalam tahap ini bayi memiliki kemajuan tumbuh kembang yang

sangat pesat. Bayi pada usia 1-3 bulan mulai bisa mengangkat

kepala,mengikuti objek pada mata, melihat dengan tersenyum dll. Bayi

pada usia 3-6 bulan mulai bisa mengangkat kepala 90°, mulai bisa

mencari benda-benda yang ada di depan mata dll. Bayi usia 6-9 bulan

mulai bisa duduk tanpa di topang, bisa tengkurap dan berbalik sendiri

bahkan bisa berpartisipasi dalam bertepuk tangan dll. Bayi usia 9-12

bulan mulai bisa berdiri sendiri tanpa dibantu, berjalan dengan

dtuntun, menirukan suara dll. Perawat disini membantu orang tua

dalam memberikan pengetahuan dalam mengontrol perkembangan

lingkungan sekitar bayi agar pertumbuhan psikologis dan sosialnya

bisa berkembang dengan baik.

3. Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 – 3

tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur

2 – 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa

masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia

luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap

merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu

menggunakan simbol melalui kata – kata, mengingat sekarang dan

akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek

dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan

egosenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama

berkaitan dengan masalah–masalah secara logis, tetapi dalam situasi

bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan

berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya. Pada

pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2

Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira – kira 7,5 cm/ tahun.

Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat

dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis

13

kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok.

Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior

menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua

serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).

4. Usia sekolah (6-12 tahun)

Kelompok usia sekolah  sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya.

Perkembangan fisik, psikososial, mental anak meningkat. Perawat

disini membantu memberikan waktu dan energi agar anak dapat

mengejar hoby yang sesuai dengan bakat yang ada dalam diri anak

tersebut.

5. Remaja ( 12-18)

Perawat membantu para remaja untuk pengendalian emosi dan

pengendalian koping pada jiwa mereka saat ini dalam menghadapi

konflik.

J. Konsep Hospitalisasi

Reaksi  anak terhadap hospitalisasi :

1. Masa bayi(0-1 th)

a. Pembentukan rasa percaya diri dan kasih saying

b.  Usia anak > 6 bln terjadi stanger anxiety /cemas

c. Menangis keras

d. Pergerakan tubuh yang banyak

e. Ekspresi wajah yang tak menyenangkan

2. Masa todler (2-3 th)

a. Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan .Disini respon perilaku

anak dengan tahapnya.

b. Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain.

c. Putus asa menangis berkurang,anak tak aktif,kurang menunjukkan

minat bermain, sedih, apatis.

d. Pengingkaran/ denial.

e. Mulai menerima perpisahan.

f. Membina hubungan secara dangkal

14

g. Anak mulai menyukai lingkungannya

Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan

prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar,

bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau

gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman. Pada usia ini

juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering

menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana

menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang

peralatan ) menggunakan permainan. Pada usia ini menjadikan hubungan

yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan

ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan

pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit

mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004).

3. Masa prasekolah ( 3 sampai 6 tahun )

a. Menolak makan

b. Sering bertanya

c. Menangis perlahan

d. Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan

e. Perawatan di rumah sakit : kehilangan control, pembatasan aktivitas

f. Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman. Sehingga

ada perasaan malu, takut, menimbulkan reaksi agresif, marah,

berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat.

4. Masa sekolah 6 sampai 12 tahun

Perawatan di rumah sakit memaksakan meninggalkan lingkungan yang

dicintai , keluarga, kelompok sosial sehingga menimbulkan kecemasan.

Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran dalam keluarga,

kehilangan kelompok sosial,perasaan takut mati,kelemahan fisik. Reaksi

nyeri bisa digambarkan dengan verbal dan non verbal.

5. Masa remaja (12 sampai 18 tahun )

a. Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya.

b. Pembatasan aktifitas menyebabkan kehilangan kontrol

Reaksi yang muncul :

15

1) Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan

2) Tidak kooperatif dengan petugas

3) Perasaan sakit akibat perlukaan menimbulkan respon :

a)  Bertanya-tanya

b)  Menarik diri

c) Menolak kehadiran orang lain

K. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas

Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan

merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau

bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis

dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki

dibandingkan anak perempuan.  Sedangkan kelainan yang melebihi

sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama

banyak pada anak laki-laki dan perempuan.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir.

Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat

keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan

muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.

2) Riwayat penyakit sekarang

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional.

Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen

dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami

konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa

konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti

dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi

ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan

demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.

16

3) Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat

kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang

lain yang menderita Hirschsprung.

5) Riwayat tumbuh kembang

Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.

6) Riwayat kebiasaan sehari-hari

Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

c. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis.

Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa

didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan

terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda

dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau

sepsis.

Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha,

dan rectum akan didapatkan

Inspeksi :Tanda khas didapatkan adanya distensi

abnormal. Pemeriksaan rectum dan feseS akan

didapatkan adanya perubahan feses seperti pita

dan berbau busuk.

Auskultasi :Pada fase awal didapatkan penurunan bising

usus, dan berlanjut dengan hilangnya bisng usus.

Perkusi :Timpani akibat abdominal mengalami

kembung.

Palpasi :Teraba dilatasi kolon abdominal.

1) Sistem kardiovaskuler :  Takikardia.

2) Sistem pernapasan :  Sesak napas, distres pernapasan.

3) Sistem pencernaan          :  Umumnya obstipasi. Perut

kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau.  Pada anak yang

17

lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan

merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan

keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.

4) Sistem saraf : Tidak ada kelainan.

5) Sistem muskuloskeletal : Nyeri.

6) Sistem endokrin : Tidak ada kelainan.

7) Sistem integument : Akral hangat, hipertermi.

8) Sistem pendengaran : Tidak ada kelainan.

d. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan

Anak : Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme

koping yang digunakan.

Keluarga : Respon emosional keluarga, koping yang digunakan

keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi

penyakit anaknya.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pre Operasi

1) Konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, obstruksi

mekanik (megakolon).

2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan mual, muntah.

3) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang

tidak adekuat.

b. Post Operasi

1) Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan (pembedahan).

2) Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan

a. Pre Operasi

1) Konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, obstruksi

mekanik (megakolon).

18

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, pola eliminasi

normal/konstipasi dapat teratasi.

Kriteria Hasil : a) Mempertahankan defekasi setiap hari

b) BAB lancar

c) Feses lunak

d) Bau feses tidak menyengat

e) Warna feses kuning kecoklatan

Intervensi :

a) Auskultasi bising usus dan periksa adanya distensi abdomen

pasien. Pantau dan catat frekuensi dan karakteristik feses.

Rasional : untuk menyusun rencana penanganan yang efektif

dalam mencegah konstipasi dan impaksi fekal.

b) Catat asupan haluaran secara akurat.

Rasional : untuk meyakinkan terapi penggantian cairan yang

adekuat.

c) Dorong pasien untuk mengonsumsi cairan 2,5 L setiap hari,

bila tidak ada kontraindikasi.

Rasional :  untuk meningkatkan terapi penggantian cairan dan

hidrasi.

d) Lakukan program defekasi. Letakkan pasien di atas pispot atau

commode pada saat tertentu setiap hari, sedekat mungkin

sewaktu biasa defekasi (bila diketahui).

Rasional : untuk membantu adaptasi terhadap fungsi fisiologis

normal.

e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian laksatif, enema

atau supositoria sesuai instruksi.

Rasional : untuk membantu memperlancar BAB.

2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan mual, muntah.

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, kebutuhan

nutrisi terpenuhi.

19

Kriteria Hasil : a) BB pasien sesuai umurnya

b) Nafsu makan meningkat

c) Tidak ada mual dan muntah

Intervensi :

a) Kaji riwayat makanan yang biasa dimakan dan kebiasaan

makan.

Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan pasien.

b) Monitor mual dan muntah.

Rasional : untuk untuk mengetahui keseimbangan

c) Monitor intake nutrisi.

Rasional : untuk mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai

kebutuhan.

d) Timbang berat badan.

Rasional : untuk mengetahui perubahan berat badan.

e) Anjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI rutin.

Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

f)  Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah

kalori dan nutrisi yang dibutuhkan.

Rasional : penentuan diit yang tepat dapat membantu

meningkatkan kebutuhan nutrisi pasien.

3) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake

yang tidak adekuat.

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, kekurangan

volume cairan tidak terjadi.

Kriteria Hasil :

a) Tidak di temukan tanda-tanda kekurangan volume cairan.

b) Keseimbangan intake dan out put 24 jam.

c) Berat badan stabil.

d) Mata tidak cekung.

e) Membran mukosa lembab

f) Kelembaban kulit normal

20

Intervensi :

a) Timbang popok jika diperlukan.

Rasional : untuk mengetahui haluaran cairan.

b) Pertahankan intake dan output yang akurat.

Rasional : untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh.

c) Monitor status hidrasi

Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda kekurangan cairan.

d) Dorong masukan oral seperti ASI

Rasional : mencegah terjadinya dehidrasi.

e) Kolaborasikan pemberian cairan IV

Rasional : untuk membantu memenuhi kebutuhan cairan

pasien.

b. Post Operasi

1) Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan (pembedahan).

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, nyeri

berkurang/teratasi.

Kriteria Hasil :

a) Skala nyeri berkurang dari 3-2 atau 2-1

b) anak tidak rewel

c) ekspresi wajah dan sikap tubuh rileks

Intervensi :

a) Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

beratnya nyeri dan faktor – faktor presipitasi.

Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri dan langkah

selanjutnya.

b) Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,

khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara

efektif.

Rasional : reaksi non verbal merupakan indikator yang penting

untuk mengetahui rasa nyeri dan ketidaknyamanan pasien.

21

c) Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon pasien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur

ruangan , penyinaran)

Rasional : untuk membantu mengurangi rasa nyeri.

d) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya :

relaksasi, guided imagery, distraksi, terapi bermain, terapi

aktivitas)

Rasional : untuk membantu mengurangi atau mengatasi nyeri.

e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.

Rasional : pemberian analgetik yang tepat dapat membantu

mengurangi nyeri.

2) Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, infeksi tidak

terjadi.

Kriteria Hasil :

a) Tidak di temukannya tanda-tanda infeksi

b) Suhu dalam batas normal.

c) Hasil lab normal (leukosit).

Intervensi :

a) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.

Rasional : merupakan indikator yang penting untuk

menentukan intervensi selanjutnya.

b) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,

panas dan drainase.

Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.

c) Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah.

Rasional : untuk mengetahui baik atau tidaknya proses

penyembuhan luka.

d) Dorong masukan nutrisi yang cukup.

Rasional : untuk membantu proses penyembuhan luka.

22

e) Minimalkan risiko infeksi dengan : mencuci tangan sebelum

dan setelah memberikan perawatan, menggunakan sarung

tangan untuk mempertahankan asepsis pada saat memberikan

perawatan langsung.

Rasional :  Mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik

untuk mencegah patogen, sarung tangan dapat melindungi

tangan pada saat memegang luka yang dibalut atau melakukan

berbagai tindakan.

f) Kolaborasi pemberian antibiotik dalam penatalaksanaan

pengobatan terhadap mikroorganisme.

Rasional : Antibiotik menurunkan resiko infeksi yang

menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan dapat memperlama

proses penyembuhan pasca funduplikasi lambung. (Sodikin.

2011. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan)

23

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hirschsprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali

kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan

motalitas sebagian usus. Penyebab penyakit Hirschprung belum diketahui

(Greaf, 1994). Kemungkinan terdapat keterlibatan faktor genetik, sering

terjadi pada anak dengan Down syndrom.

Klasifikasi hisprung terdiri dari segmen pendek dan segmen panjang. Pada

penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian usus

yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat

mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan

defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang

tertimbun, membentuk megakolon. Ada trias gejala klinis yang sering

dijumpai, yakni : pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam

pertama), muntah hijau, distensi abdomen.

Komplikasi penyakit hisprung yaitu kebocoran anastomose, stenosis, dan

enterokolitis. Penatalaksanaan penyakit hisprung terdiri dari penatalaksanaan

medis dan bedah serta keperawatan, penatalaksanaan medis biasanya

menggunakan tiga prosedur yaitu duhamel, swenson dan soave. Pemeriksaan

penunjangnya terdiri dari pemeriksaan colok dubur, laboratorium, barium

enem dan foto polos abdomen. Konsep tumbuh kembang anak di mulai pada

saat neonatus sampai dengan usia 18 tahun. Dampak hospitalisasi terhadap

anak tentunya berbeda-beda mulai dari bayi sampai remaja.

Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hisprung berpusat pada

mengatasi konstipasi, ketidakseimbangan nutrisi, risiko kekurangan volume

cairan, nyeri serta risiko infeksi.

24

B. Saran

a. Bagi mahasiswa

Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam

pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang baik dan benar.

b. Bagi pendidikan

Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih

baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.

c. Bagi kesehatan

Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya untuk

mahasiswa keperawatan agar mengetahui pada anak dengan penyakit

hisprung dalam hal ini meliputi pengertian, etiologi, klasifikasi,

patofisologi, menifestasi klinis, penatalaksanaan, pemeriksaan penunjang,

konsep tumbuh kembang, konsep hospitalisasi, beserta asuhan

keperawatan pada anak dengan penyakit hisprung.

25