Upload
evan-folamauk
View
23
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli
masih belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut, dari waktu ke waktu
definisi asma terus mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak
mempermudah membuat diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli
berpendapat : 1). Obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap
pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dalam pengobatan, 2).
Inflamasi saluran napas; 3). Peningkatan respon saluran napas terhadap
berbagai rangsangan (hiperreaktivitas).1
Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala asma seperti batuk,
mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi
secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi
dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang
akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas,
dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan
hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan
respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.1,2
Laporan Kasus II Page 1
1.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit umum, dengan angka prevalensi
diperkirakan sekitar 5% dari populasi orang dewasa. Penyakit ini cenderung
mengelompok dalam keluarga. Penelitian ini menunjukan bahwa angka
kejadian lebih tinggi pada populasi di pusat kota, dan asma pada pada orang
dewasa lebih sering terjadi pada wanita. Penduduk Afrika-Amerika di pusat
kota memiliki angka kematian karena asma lebih tinggi, dibandingkan dengan
kulit putih. Pekerjaan tertentu juga merupakan predisposisi untuk asma.3
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis
kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan.
Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak
perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama, pada masa monopouse perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya
prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan
prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara
satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi
asma berkisar antara 5-7%.1
Laporan Kasus II Page 2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SBK
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 41 Tahun
Tempat/Tanggal Lahir : 31 desember 1959
Alamat : Semau. Kab Kupang
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Status Pernikahan : Menikah Syah (Anak 4 orang)
Ruangan : Komodo (B3)
No. MR : 296716
MRS : 21 september 2012
Dikasuskan : 25 september 2012
Laporan Kasus II Page 3
2.2 PERJALANAN PASIEN
Pasien datang ke IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes pada tanggal 21
september 2012 pukul 08.15 WITA. Masuk Ruangan Teratai komodo B3 pada
tanggal 21 Juli 2012 pukul 19.00 WITA
2.3 ANAMNESIS
Dilakukan pada tanggal 25 september 2012 Pukul. 17.00 WITA
a. Keluhan Utama : Sesak napas sejak 1 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh sesak napas sejak ± 3 hari SMRS, sifatnya terus
menerus, hingga dada pasien terasa sakit. Menurut pasien sesak napasnya
tidak depnegruhi oleh aktifitas, dalam keadaan duduk, berdiri ataupun bekerja
pasien tetap merasakan sesak napas yang sama. Sesak napas disertai dengan
napas berbunyi seperti kucing. Pada saat serangan 1 hari sebelumnya pasien
sempat ke puskesmas dan mendapt obat minum tetapi eluhan sesak napas
tetap dirasakan pasien sehingga pasien ke IGD RSU. Sesak napas berlangsung
hampir setiap hari tetapi kadang-kadang dalam 1 minggu serangannya bisa
terjadi 2-3 x dan sangat memberat. Pada saat serangan pasien sulit untuk
berbicara, biasanya hanya beberapa kalimat yang diucapkan. Selain itu,
keadaan ini juga memperberat pasien terutama dalam hal makan maupun
minum.
Laporan Kasus II Page 4
Sesak napas juga disertai batuk dan pilek sejak 3 hari SMRS. Batuk ini
sering terjadi di malam hari, bersifat hilang timbul, tidak berdahak. Untuk
keluhan penyerta lainnya, demam (-). Sakit kepala (-), nyeri menelan (-), nyeri
dada (-), mual (-), muntah (-), sakit perut (-), Buang air besar dan buang air
kecil normal.
c. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit asma yang dideritanya sejak 5 tahun terakhir dan
sering masuk RS dengan keluhan yang sama.
d. Riwayat kebiasaan :
Merokok (-)
e. Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien di dalam
keluarga.
f. Riwayat sosial ekonomi :
Pasien bekerja sebagai PNS, Istri bekerja sebagai IRT, Anak 4 orang. 2
anak telah berkeluarga sedangkan 2 yang lainnya dalam masa pendidikan.
Biaya perawatan dengan JAMKESMAS.
g. Riwayat pengobatan sebelumnya :
Pasien sering mengunakan obat semprot (inhalasi) berupa combivent
setiap kali mendapat serangan sesak napas. Pasien mendapat pengobatan
di puskesmas, tetapi pasien lupa nama obatnya. Obat pil berwarna kuning
kecil dan pasien sudah minum 2 kali.
Laporan Kasus II Page 5
2.4 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 25 september 2012 jam 17.45
WITA.
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Habitus : piknikus
TD : 130/80 mmHg
Suhu : 36,5˚C (axiller)
Nadi : 85x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
Pernapasan : 30x/menit, reguler, abdominothorakal
Kepala Leher
Kulit : Jejas (-), Perdarahan (-)
Wajah : Simetris
Mata :
o Konjungtiva : anemis -/-
o Sklera : ikterik -/-
o Pupil : isokor 3mm/3mm
o Refleks cahaya langsung & tidak langsung :+/+
Mulut :
o Mukosa bibir lembab
o Mukosa gusi merah muda
Laporan Kasus II Page 6
o Tonsil hiperemis (-/-)
o Lidah kotor (-)
Telinga:
o Tanda-tanda peradangan : -/-
o Nyeri tekan mastoid -/-
o Discharge -/-
o Serumen -/-
Leher :
o Pembesaran KGB (-)
o Struma (-)
o Trakea letak di tengah
o JVP : R+2 cm H20
o Retraksi Supraklavikuler (+/+)
Thorax
Cor
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 midclavikula sinistra
o Perkusi :
- Batas jantung kanan : ICS 2 – ICS 4 parasternal dextra
- Batas jantung kiri : ICS 5 midklavikula sinistra
o Auskultasi : S1 – S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Laporan Kasus II Page 7
Pulmo
o Anterior
- Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, sela iga
melebar(-) , otot bantu pernapasan (-), jejas/massa/pelebaran
vena (-), retraksi suprasternal (+/+).
- Palpasi : Nyeri tekan (-),vokal fremitus D = S normal
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi :Suara napas vesikuler (+/+),ekspirasi
memanjang, ronchi (+/+) & wheezing (+/+) dibagian apex oaru.
o Posterior
- Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, jejas/massa(-),
tidak ada kelainan tulang belakang.
- Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus D = S normal
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, ekspirasi memanjang,
ronchi (+/+), wheezing (+/+) dibagian apex paru.
Abdomen
Inspeksi :Abdomen datar, pelebaran vena (-), jejas/massa (-).
Laporan Kasus II Page 8
Auskultasi : Bising usus (15x/menit)
Palpasi :Nyeri tekan (-), Ballontement (-), tidak ada pembesaran
hepar dan lien, massa (-)
Perkusi : Timpani di keempat kuadran, nyeri ketok CVA (-/-)
Extremitas :
Akral hangat
Edema:
Refleks fisiologis : normal
Refleks patologis : Babinski -/-, Chadok (-/-)
Motorik : normal
Sensorik : normal
Laporan Kasus II Page 9
- - - -
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Tanggal : 21 september 2012.
No.
Komponen Hasil SatuanNilai
Rujukan1. WBC 9,40 10 ^3 /ul 5-102. Limph # 1,90 10 ^3 /ul 1,30-4,03. MID 1,03 10 ^3 /ul 0,16-0,704. Gra# 6,45 10 ^3 /ul 2,50-7,50
5. Limph % 21,2 % 25-406. Mid % 3,2 % 3,0-7,07. Gra% 75,0 % 50-75,08. RBC 5,91 10 ^5 /ul 3,5-5,59. HGB 14,2 g/dl 12-17,410. HCT 45,4 % 36-5211. MCV 76,8 Fl 76-9612. MCH 24,2 Pg 27-3213. MCHC 31,5 g/dl 30-3514. RDW-C 16,5 %15. RDW-S 50,8 fl 20-42,016. MPV 8,8 fl 9-1317. PLT 226 10 ^9 /ul 100-30018. MPV 9,3 Fl 4,0-13,019. PCT 0,32 %
2.6 Problem List
Asma Bronkiale Persisten Sedang + infeksi sekuder ( pneumonia atipikal)
2.7 Planning diagnosis
Asma : - Uji Provokasi Bronkus pneumonia : - foto thoraks
- spirometri - DL
- foto thoraks - pemeriksaan sputum
2.8 Planning terapi
- O2 2-3 L/mnt
-IVFD Nacl 0,9% + drip aminofilin 1ampul iv (20 tpm).
Laporan Kasus II Page 10
- Metilprednisolon 2 x 125 mg
- Ceftriakson 2 x1 gr/iv (skin test)
- Salbutamol 3 x2 mg
2.9 Planning monitoring
TTV & keluhan pasien
2.10 Planning edukasi
Hindari faktor pencetus seperti lingkungan yang berdebu
Laporan Kasus II Page 11
2.11 FOLLOW UP
Tanggal 26 september 2012
Keluhan : Sesak napas, batuk,
Pemeriksaan : KU : Pasien tampak sakit sedang
TD : 140/90 mmhg. N : 86x/mnt, RR : 32x/mnt
Retraksi Suprasternal (+/+), retraksi Supraclavikula (+/+)
Paru-paru : Wheezing (+/+), Ronkhi (+/+).
Wheezing : Ronkhi :
Diagnosa : Asma Bronkiale Persisten
Sedang
DD : PPOK
Terapi : - O2 2-3 L/mnt
-IVFD Nacl 0,9% 500 cc + drip aminofilin 1ampul (20 tpm).
- Metilprednisolon 2 x 125 mg/iv
- Ceftriakson 2 x1 gr/iv
- Salbutamol 3 x2 mg
Laporan Kasus II Page 12
+ +
-
+
-
+ +
-
+
-
Tanggal 27 september 2012
Keluhan : Sesak napas, batuk berdahak, warna putih
Pemeriksaan : KU : Pasien tampak sakit sedang
TD : 130/80 mmhg. N : 84x/mnt, RR : 27x/mnt
Paru-paru : Wheezing (+/+), Ronkhi (-/-).
Wheezing : Ronkhi :
Diagnosa : Asma Bronkiale Persisten Sedang
DD : PPOK
Terapi : - IVFD Nacl 0,9% 500 cc + drip aminofilin 1ampul (8 tpm)
- Metilprednisolon 3 x 125 mg/iv
- Ceftriakson 1 x1 gr/iv
- Salbutamol 3 x2 mg
- ambroxol 3x1 tab
- OBH 3 x C I
Laporan Kasus II Page 13
+ +
-
+
-
+ +
-
-
-
Tanggal 17 Juli 2012
Keluhan : Sesak napas dan batuk berkurang
Pemeriksaan : KU : Pasien tampak sakit ringan
TD : 100/60 mmhg. N : 80x/mnt, RR : 24x/mnt
Paru-paru : Wheezing (+/+), Ronkhi (-/-).
Wheezing : Ronkhi :
Diagnosa : Asma Bronkiale Peristen Sedang
Terapi : - IVFD Nacl 0,9 % + drip aminofilin 1 ½ ampul (8 tpm)
- Metilprednisolon 2 x 125 mg/iv
- Ceftriakson stop
- Salbutamol 3 x 4 mg
- Pulang (Metilprednisolon 2 x 4 mg)
Laporan Kasus II Page 14
- -
-
-
-
- -
-
-
-
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Asma bronkiale adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai
dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat
hipereaktivitas bronkus terhadap rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen
seluler. 1,4
3.2 Klasifikasi Asma Bronkiale Menurut GINA Tahun 2008
Klasifikasi asma bronkiale menurut GINA dapat dilihat pada tabel dibawah ini:5
DERAJAT ASMA GEJALA GEJALA
MALAMFUNGSI PARU
INTERMITEN
Mingguan
- Gejala < 1x/minggu - Tanpa gejala di luar
serangan - Serangan singkat - Fungsi paru
asimtomatik dan normal di luar serangan.
< 2 kali sebulan
VEP1 atau APE > 80%
PERSISTEN RINGAN
Mingguan
- Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari
- Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur.
> 2 kali seminggu
VEP1 atau APE > 80% normal
PERSISTEN - Gejala harian > sekali VEP1 atau APE > 60%
Laporan Kasus II Page 15
SEDANG Harian
- Menggunakan obat setiap hari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan 2x/minggu, bisa berhari – hari
seminggu tetapi < 80% normal
PERSISTEN BERAT
Kontinu
- Gejala terus menerus - Aktivitas fisik
terbatas - Sering serangan
Sering VEP1 atau APE < 80% normal
3.3 Patofisiologi
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan
pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukan bahwa dasar gejala asma
adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan.1,6,7
3.3.1 Asma sebagai penyakit inflamasi
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas.
Inflamasi saluran napas ditandai dengan adanya kalor (panas karena
vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi
plasma dan edema), dolor (rangsangan sakit karena rangsangan sensoris),
functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang
harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam
syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik alergik
maupun non-alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-
alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh
karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua kedaan tersebut.
Laporan Kasus II Page 16
Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dengan jalur saraf
autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah APC
(Antigen Presenting Cells =Sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan pada sel Th (T. Penolong). Sel T
penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboxan (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran
sehingga menyebabkan peningkatan dinding permeabilitas vaskuler, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis subepitel
sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-
alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf
autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
3.3.2 Hiperereaktivitas Saluran Napas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran
napas pasien asma sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan
(debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma
alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut diatas juga pasien sangat peka
terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi
sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperreaktivitas
saluran napas.
Laporan Kasus II Page 17
Berbagai keadaan yang dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas
seseorang yaitu :
1. Inflamasi saluran napas
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan
erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa
intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat
HSN dan gejala asma.
2. Kerusakan epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini
akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator
yang dapat bersifat bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan
mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.
3. Mekanisme neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis.
4. Gangguan intrinsik
Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga
berperan pada HSN. Mula-mula akibat kepekaan yan berlebihan dari
serabut-serabut nervus vagus yang akan merangsang bahan-bahan iritan di
dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir melalui satu
Laporan Kasus II Page 18
refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga
langsung menimbulkan refleks konstriksi bronkus.6
5. Obstruksi saluran napas
Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga ikut berperan
pada HSN.7
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Spirometri
Cara yang paling tepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah
melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥ 200 ml)
menunjukan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari ≥ 12% atau (≥ 200 ml)
tidak berarti bukan asma.1,5
3.4.2 Uji Provokasi bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukan adanya hipereaktivitas
bronkus dilakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin
metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin.1
Laporan Kasus II Page 19
3.3.3. Radiologis
Pada gambaran radiologis diluar serangan biasanya hasilnya dalam batas normal.
Selain itu, kadang-kadang juga dapat ditemukan adanya gambaran bronkhitis, hal ini
menunjukkan adanya peradangan pada bronkus. Selain itu, pemeriksaaan ini dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan
terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.1,5
3.3.4. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah biasanya ditemukan peningkatan eosinofil dan Ig E total
tetapi pada umumnya bersifat normal.
3.5. Terapi
Tujuan terapi adalah :
1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma.
2. Mencegah kekambuhan.
3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin.
4. Menghindari efek samping obat asma.
5. Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.
Yang termasuk obat antiasma adalah :
Laporan Kasus II Page 20
1. Bronkodilator
a. Agonis β 2
Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi. Terbutalin, salbutamol, dan
fenoterol memiliki lama kerja 4 – 6 jam, sedangkan agonis β 2 long acting
bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol, dan lain
– lain. Bentuk aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang
sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan
pemberiannya lokal.
b. Metilxantin
Teofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatornya berkaitan
dengan konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan
dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.
c. Antikolinergik
Golongan ini menurunkan tonus vagus intrinsik dari saluran nafas.
2. Antiinflamasi
Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan nafas dan mempunyai efek supresi
dan profilaksis.
a. Kortikosteroid.
b. Natrium kromolin (sodium chromoglycate) merupakan antiinflamasi
nonsteroid.
Terapi awal, yaitu :
1. Oksigen 4 – 6 liter/menit.
2. Agonis β2 (salbutamol 5 mg atau fenoterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg),
inhalasi nebulas dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam.
Pemberian agonis β2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25
mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.
Laporan Kasus II Page 21
3. Aminofilin bolus iv 5 – 6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12
jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100 – 200 mg iv jika tidak ada respons segera atau
pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Terapi pada asma bronkiale menurut klasifikasi GINA dapat dilihat pada
Tabel dibawah ini :
Derajat asma Obat Pengontrol Obat pelegaAsma Persisten Tidak Perlu - Bronkodilator aksi singkat
yaitu inhalasi β2- Intensitas pengobatan
tergantung berat eksaserbasi
- Inhalasi agonis β2 atau kromolin dipakai sebelum aktivitas atau pajanan alergen
Asma Persisten ringan
- Inahalasi kortikosteroid 200-500 mikrogram/kromolin,nedokromolin atau teofilin lepas lamabat
- Bila perlu ditingkatkan sampai 800 mikrogram atau ditambahkan bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol asma malam dapat diberikan agonis β2 aksi lama inhalasi atau oral teofilin lepas lamabat.
Inhalasi agonis β2 aksi singkat bila perlu melebihi 3-4 x sehari
Asma Persisten sedang
- Inhalasi kortikosteroid 800-2000 mikrogram
- Bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol asma malam, berupa agonis β2 aksi lama inhalasi atau oral teofilin lepas lambat
Inhalasi agonis β2 aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 x sehari
Asma Persiten berat
- Inhalasi kortikosteroid 800-2000 mikrogram
- Bronkodilator aksi lama, berupa agonis β2 inhalasi atau oral teofilin lepas lambat
- Kortikosteroid jangka panjang
Inhalasi agonis β2 aksi singkat bila perlu dan tidak melebihi 3-4 x sehari
Laporan Kasus II Page 22
3.6. Tabel Kasus
No. Teori Penemuan Pada Pasien1. Anamnesis :
- Gejala hampir setiap hari - Menggunakan obat setiap
hari - Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur - Serangan 2x/minggu, bisa
berhari – hari. 1,5
- Mengucapkan beberapa kalimat saat serangan
- Gejalanya juga hampir setiap hari dirasakan
- Menggunakan obat neo napacin untuk meredakan gejala
- Serangan memburuk pada saat beraktivitas terutama mengangkut ikan
- Serangannya 2 -3 x/ minggu- Pada saat serangan pasien sulit
berbicara hanya bisa mengucapkan beberapa kalimat
2. Pemeriksaan Fisis :
- Ekspirasi memanjang, - Mengi
- Hiperinflasi dada,
- Pernapasan cepat sampai sianosis
- Pada pasien asma yang derajat sedang sampai berat biasanya ditemukan penggunaan otot bantu pernapasan.1,4,8
- Ekspirasi memanjang- Mengi dan ronki pada kedua
lapangan paru- Hiperinflasi pada dada tidak
ditemukan - Frekuensi pernapasan meningkat
(RR : 32x/menit) tapi tidak sianosis- Penggunaan otot bantu pernapasan
berupa retraksi supraklavikular dan retraksi suprasternal.
- Ronki pada pasien ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi sekunder ( pneumonia atipikal)
3. Pemeriksaan Penunjang :
1. LaboratoriumPemeriksaan darah biasanya ditemukan peningkatan eosinofil dan Ig E total tetapi pada
Pemeriksaan Penunjang yang dijumpai pada pasien, yaitu sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Laboratorium pada pasien dalam batas normal, tidak dilakukan pemeriksaan terhadap eosinofil maupun kadar Ig E total
Laporan Kasus II Page 23
umumnya bersifat normal.1,5
2. SpirometriPada Asma Bronkiale Persisten sedang ditemukan VEP1 atau APE > 60 % tetapi ≤ 80 % normal.1,4,5
3. Foto ToraksPada gambaran radiologis diluar serangan biasanya dalam hasilnya batas normal. Selain itu, kadang-kadang juga dapat ditemukan adanya gambaran bronkhitis, hal ini menunjukkan adanya peradangan pada bronkus. Dapat juga dijumpai adanya komplikasi seperti penumotoraks, pneumediastinum, atelektasis dan lain-lain.1,4,5
4. Uji Provokasi BronkusJika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukan adanya hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan dengan histamin metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin.1,5
Ket: untuk mendiagnosis adanya infeksi sekunder (pneumonia atipikal) diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut1. Foto thoraks2. Pada DL : ditemukan adanya
leukositosis menandai adanya infeksi, lekosit rendah/ normal dapat disebabkan oleh virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon leukosit,orang tua atau lemah.
2. Pada pasien, spirometri tidak dikerjakan
3. Pada pasien, pemeriksaan foto toraks tidak dikerjakan
4. Pada pasien, uji provokasi bronkus tidak dikerjakan
1. Tidak dikerjakan2. Pada pasien ini leukositnya
normal
Laporan Kasus II Page 24
Leukopenia menunjukkan depresi imunitas
3. Kultur kuman (sputum)4. Titer antibodi dan analisis gas
darah3. Tidak dilakukan4. Tidak dilakukan
4. Terapi :
Pada Asma bronkiale persisten sedang diintervensi dengan :1,3,4,5 1. Obat Pengontrol
- Inhalasi kortikosteroid 800- 2000 mikrogram
- Bronkodilator aksi lama terutama untuk mengontrol asma malam, berupa agonis β2aksi lama inhalasi atau oral teofilin lepas lambat
2. Obat PelegaInhalasi β2 aksi singkat bila perlu tidak melebihi 3-4x sehari
Untuk infeksi sekundernya (pneumonia atipikal) dapat diberikan antibiotik
Terapi :Pada pasien ini diterapi dengan :
- IVFD Nacl 0,9 % + drip aminofilin 1 ½ ampul (8 tpm)
- Injeksi metilprednisolon 2 x 125 mg/iv
- Salbutamol 3 x 4 mg
- Ceftriakson 1 x1 gr i.v
BAB IV
PENUTUP
Laporan Kasus II Page 25
Telah saya laporkan sebuah kasus, laki-laki 46 tahun masuk tanggal 25
September 2012 dengan diagnosis Asma Bronkiale Persisten Sedang dengan terapi :
02 2-3 l/mnt
IVFD Nacl 0,9 % + drip aminofilin 1 ½ ampul (8 tpm).
Ceftriakson 1 x1 gr/iv
Salbutamol 3 x 4 mg
Injeksi metilprednisolon 2 x 125 mg/iv
Metilprednisolon 2 x 4 mg (Obat ini diberikan sebagai obat kontrol pada saat
pasien pulang).
Keadaan pasien telah stabil dan diperbolehkan pulang pada tanggal 17 Juli
2012. Selanjutnya pasien diminta untuk kontrol ke Poli Penyakit Dalam guna
mendapat terapi lanjutan dari penyakit yang diderita.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan Kasus II Page 26
1. Heru Sundaro, Sukamto. 2009. Asma Bronkiale dalam Sudoyo Aru W, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 404-13
2. Fauci, Braunwald, Kasper, dkk. 2008. Asma Bronkiale dalam Buku Harrison
Manual Kedokteran Jilid I. Jakarta : Karisma Publishing Group. Hal.305-7
3. Edward Ringel. 2012. Asma dalam Buku Saku Hitam Kedokteran Paru. Jakarta :
EGC. Hal. 147-67
4. Aziz Rani dkk. 2007. Asma Bronkiale dalam Buku Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta : PT. Indeks. Hal. 291-93
5. Iris Rengganis. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkial Dalam
Majalah Kedokteran Indonesia, Volum.58, Nomor : 11, Nopember 2008
6. Herdin Sibuea dkk. 2005. Asma Bronkiale Dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam
Cetakan Kedua. Jakarta : Rhineka Cipta. Hal : 53-65
7. W.M. Lorraine. 1995. Penyakit Pernafasan Obstruktif Dalam A.P Sylvia, dkk,
Patofisiologi, Jilid II, Edisi 4. Jakarta : EGC. Hal 689-91.
8. Lynn Bickley, Peter Szilagyi. 2009. Toraks Dan Paru dalam Buku Ajar
Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan Bates Edisi 8. Jakarta : EGC.
Hal. 246-7
Laporan Kasus II Page 27