56
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, sehingga menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan, dengan gejala klinis utamanya sesak napas. Penyakit ini berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Penatalaksanaan asma yang baik akan meningkatkan kualitas hidup pasien asma. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan berbagai hal berkenaan dengan penyakit asma, kualitas hidup dan konsep perilaku, serta adherensi pengobatan pasien asma. 2.1 ASMA 2.1.1. Definisi Asma Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya Universitas Sumatera Utara

Asma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

eefs

Citation preview

Page 1: Asma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi

kelenjar, sehingga menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran

pernapasan, dengan gejala klinis utamanya sesak napas. Penyakit ini

berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Penatalaksanaan asma yang baik akan meningkatkan kualitas hidup

pasien asma. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan berbagai hal

berkenaan dengan penyakit asma, kualitas hidup dan konsep perilaku,

serta adherensi pengobatan pasien asma.

2.1 ASMA

2.1.1. Definisi Asma

Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran

pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi

kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif,

sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan

hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di

saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik

berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama

malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Asma

inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara

spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).

Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda

dengan definisi GINA yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya

penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap

reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot

polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran

pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan

berbagai macam rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran

bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran. Penyempitan

saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah, baik

secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya

berupa gangguan imunologi.

2.1.2 Epidemiologi Asma

Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang

tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh

dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun

2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu

setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap

tahunnya.

Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian

epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat

terutama di negara maju. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Asma

prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (GINA, 2011).

Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada kelompok anak

dan cenderung menurun pada kelompok dewasa (Ratnawati, 2011)

Prevalensi asma antar negara sulit dibandingkan karena belum ada

kuesioner baku yang digunakan secara internasional sampai akhirnya

Steering Comitte of International Study Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC) menyusun kuesioner untuk penelitian prevalensi asma yang

dapat digunakan di seluruh dunia baik dengan bahasa maupun kondisi

geografis yang berbeda. Penelitian prevalensi asma menggunakan

kuesioner ISAAC pada tahap awal sudah dilakukan pada 155 pusat asma

di 56 negara termasuk Indonesia. Angka prevalensi asma yang

didapatkan bervariasi antara 2.1-32.2% (Rosmarlina, 2010).

Di Indonesia, diperkirakan jumlah pasien asma 2-5% dari penduduk

Indonesia (Sundaru, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

1986 mengajukan angka sebesar 7.6%. Pada hasil SKRT 1992, asma,

bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan sebagai penyebab kematian ke

4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Tahun 1995, prevalensi asma di

seluruh Indonesia mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan bronkhitis

kronik 11/1000 penduduk dan obstruksi paru 2/1000 penduduk

(Mangunegoro, 2004). Di Bandung terjadi kenaikan prevalensi gejala

asma dari 2.1% pada tahun 1995 menjadi 5.2% pada tahun 2001

(Sundaru, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Asma

Data pasien asma tahun 2001 di Rumah Sakit Persahabatan

Jakarta sebagai rumah sakit pusat rujukan penyakit paru nasional di

Indonesia, terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Data Layanan Asma di RS. Persahabatan Jakarta tahun 1998- 2001. No Layanan Asma 1998 1999 2000 2001 1 Rawat jalan 898 661 329 397 2 Rawat inap 43 138 60 104 3 Gawat darurat 1653 1537 2210 2210 4 ICU 3 6 10 3 5 CFR 2.32% 2.17% 0 2.90%

Sumber: Mangunegoro, 2004

Yunus dkk, pada tahun 2001 melakukan studi prevalensi asma

pada 2234 siswa SLTP se-Jakarta Timur melalui kuesioner International

Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Studi tersebut

menghasilkan prevalensi asma (recent asthma) 8.9% dan prevalensi

kumulatif (riwayat asma) 11.5%. Hasil penelitian ini lebih banyak dijumpai

pada perempuan yaitu 53.8%, laki-laki 46.2%. Tahun 2008 penelitian

serupa kembali dilakukan dengan mendapatkan prevalensi asma sebesar

7.1% dan prevalensi kumulatif 12.2% (Yunus, 2011). Rosmalina (2010)

melakukan penelitian prevalens asma anak pada 2023 siswa SLTP

Jakarta Timur, dengan angka prevalensi 6.3%, dan asma kumulatif 13.4%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa

prevalensi asma di Propinsi Sumatera Utara adalah 3% dengan kisaran

prevalensi sebesar 3-6.4%. Kabupaten dengan prevalensi asma tertinggi

adalah Kabupaten Mandailing Natal. Di kota Medan, prevalensi asma

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Asma

mencapai 3.6% (laki-laki 1.9% dan perempuan 1.7%). Di DKI Jakarta,

prevalensi asma mencapai 2.9% dengan kisaran prevalensi 2.4-6.6%. Di

Jawa Barat prevalensi asma mencapai 4.7% dengan kisaran 1.5-7.7%

sedangkan di Jawa Timur mencapai 3% dengan kisaran 0.7-9.8% (Dinas

Kesehatan, 2007).

2.1.3 Faktor Risiko Asma

Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu

(host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk

predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu

genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti/hiperesponsif bronkus, jenis

kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan

kecenderungan/predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma,

yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang

menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan,

yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,

infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga

(Mangunegoro, 2004). Tabel faktor risiko terjadinya asma, dapat dilihat

pada Tabel 2.2.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Asma

Tabel 2.2. Faktor Risiko pada Asma. Faktor Pejamu Predisposisi genetik Atopi Hiperesponsif saluran pernapasan Jenis kelamin Ras/Etnik Faktor Lingkungan Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma Alergen dalam ruangan Mite domestic Alergen binatang Alergen kecoa Jamur (fungi mold, yeasts) Alergen di luar ruangan Tepung sari bunga Jamur (fungi mold, yeasts) Bahan di lingkungan kerja Asap rokok Polusi udara Infeksi pernafasan Infeksi parasit Status sosioekonomi Besar keluarga Diet dan obat Obesitas Faktor lingkungan Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap Alergen di dalam dan diluar ruangan Polusi di dalam dan di luar ruangan Infeksi pernapasan Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi Perubahan cuaca Sulfur dioksida Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan Ekspresi emosi yang berlebihan Asap rokok Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

Sumber: Mangunegoro, 2004

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Asma

2.1.4. Patogenesis Asma

Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik

pada saluran pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan

menjadi sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011). Asma dalam derajat

apapun merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat sejumlah

penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal.

Inflamasi ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah

terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan

munculnya disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa

gejalapun inflamasi telah ada (Surjanto & Martika, 2009).

Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah

eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T dalam lumen

mukosa saluran pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon

inflamasi melalui penglepasan berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T

subset T helper-2(Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan

mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan

Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF). Sitokin

bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi, sehingga

menimbulkan proses inflamasi yang kompleks, yang menyebabkan

degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai mediator inflamasi dan

berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran pernapasan,

sebagai salah satu penyebab hipereaktiviti saluran pernapasan. Hal ini

diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi otot polos bronkus,

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Asma

sel goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang

menyebabkan penyempitan saluran pernapasan (GINA, 2008).

Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran

pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos

bronkus, edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran

pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan

tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang

berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan

bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi.

Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga

terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra

pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan

yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan

penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko

terjadinya pnemotoraks (Suharto, 2005).

Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi

kelelahan otot pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan

terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula

terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan, produksi laktat oleh otot

pernapasan dan masukan kalori yang berkurang. Hipoksia dan anoksia

dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel

alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan

kemungkinan terjadinya atelektasis (Suharto, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Asma

Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat

inflamasi yang perubahannya bersifat ireversibel disebut proses

remodeling (remodelling process). Proses remodeling saluran pernapasan

merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan

penyambung dan mengubah struktur saluran pernapasan melalui proses

deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro, 2004).

Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi

berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor

(TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast,

diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling. Myofibroblast

yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor pertumbuhan, kemokin

dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran

pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menambah

vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi

matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran

pernapasan dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan

hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit

(Rahmawati, 2003).

Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet,

kelenjar sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada

yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada

pasein asma memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi, yang

dapat menyebabkan penebalan dinding saluran pernapasan. Selama ini

asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran pernapasan yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Asma

reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas yang

menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah

diterapi dengan inhalasi corticosteroid. Beberapa pasien asma mengalami

obstruksi saluran pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien

yang tidak menunjukkan gejala, tetapi hal ini mencerminkan adanya

remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblast berperan penting dalam

terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati, 2003).

2.1.5 Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang

ada (sekarang maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan

aliran udara dalam saluran pernapasan. Asma harus diduga bila muncul

gejala seperti mengi, rasa berat di dada, batuk (dengan atau tanpa dahak)

dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Mengi adalah gejala yang

sering ditemui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 30%

pasien asma, mengi merupakan salah satu keluhan (Mangunegoro, 2004;

Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan

kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan

salah satu faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan

atopi, aktifitas fisik yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas

(Stark, 2000).

Di sisi lain, pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari

gambaran obstruksi jalan napas. Keterbatasan aliran udara di saluran

pernapasan dapat diketahui melalui uji faal paru dengan menggunakan

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Asma

peak flow meter dan spirometer. Pada kesulitan menegakkan diagnosis

asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan uji provokasi

bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktiviti saluran pernapasan,

pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart

and Blood Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk

menentukan asma, yaitu adanya obstruksi saluran pernapasan yang

hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya inflamasi saluran

pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai rangsangan.

2.1.6. Diagnosis Banding

Diagnosis banding asma antara lain (Alsagaff, 2010):

a. Asma Kardial

b. Bronkitis akut ataupun menahun

c. Bronkiektasis

d. Keganasan

e. Infeksi paru

f. Penyakit granuloma

g. Farmer’s lung disease

h. Alergi bahan inhalan industri

i. Hernia diafragmatika atau esophagus

j. Tumor atau pembesaran kelenjar mediastinum

k. Sembab laring

l. Tumor trakeo-bronkial

m. Tumor atau kista laring

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Asma

n. Aneurisma aorta

o. Kecemasan

2.1.7. Penatalaksanaan Asma (Mangunegoro, 2004)

Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen:

a. Edukasi

b. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala

c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

f. Kontrol secara teratur

g. Pola hidup sehat

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka

panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang

terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu:

a. Medikasi (obat-obatan): Obat asma dikelompokkan atas dua golongan

yaitu: obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan

obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.

b. Pemberian medikasi.

c. Penanganan asma mandiri.

a. Medikasi (Obat Asma)

1). Obat Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang

untuk mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Asma

proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat

ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan

asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat

pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol,

antara lain:

a) Corticosteroid inhalasi

b) Corticosteroid sistemik

c) Sodium chromoglicate

d) Nedochromil sodium

e) Methylxanthine

f) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi

g) Leukotriene modifiers

h) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua

2). Obat Pelega (Reliever)

Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan

melalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat

bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi,

rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau

menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu,

penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan

menyelesaikan masalah asma secara tuntas.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Asma

Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah:

a) Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama

b) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-

lain)

c) Xanthine (Aminophylline)

d) Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-lain.

b. Pemberian Obat-obatan

Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi

(diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral

(subkutan, intramuskular, intravena).

Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi)

adalah:

1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran

pernapasan.

2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.

3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak

efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu

mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui

inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.

Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara,

yaitu:

1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI)

2) IDT dengan alat bantu (spacer)

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Asma

3) Breath-actuated MDI

4) Dry powder inhaler (DPI)

5) Turbuhaler

6) Nebulizer

Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan

(menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga

harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. Penggunaan

alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki

penghantaran obat melalui IDT. Spacer lazim digunakan pada

penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit

melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari

inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan

orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan

kandidiasis bila menggunakan inhalasi corticosteroid (meskipun hal ini

sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta

mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di

luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis β2 kerja singkat

dengan IDT dengan menggunakan spacer memberikan efek

bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan

pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti memberikan efek

bronkodilitasi yang lebih baik daripada melalui Dry Powder Inhaler (DPI)

(Mangunegoro, 2004).

Kelebihan DPI adalah karena DPI tidak menggunakan campuran

propelan freon, yang dapat merusak ozon lingkungan dan relatif lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Asma

mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan

kecepatan aliran udara inspirasi minimal. DPI sulit digunakan saat

eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas

obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI

tidak mengandung clorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi

tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi.

Saat ini, Chlorofluorocarbon (CFC) pada IDT, telah diganti dengan

hydrofluoroalkane (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA

adalah equivalen, tetapi pada inhaler yang mengandung corticosteroid,

HFA mengantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru,

sehingga selain meningkatkan efikasi obat, juga akan meningkatkan efek

samping sistemiknya. Dengan DPI, obat lebih banyak dideposit dalam

saluran pernapasan dibanding IDT, tetapi hasil penelitian menunjukkan

bahwa inhalasi corticosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek

yang sama dengan cara pemberian melalui DPI. Karena perbedaan

kemurnian obat dan teknk penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka

perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT

atau sebaliknya.

c. Penanganan Asma Mandiri

Penanganan asma mandiri sering disebut pelangi asma. Khusus

untuk upaya penanganan asma mandiri, para dokter yang merawat pasien

asma harus benar-benar menyadari bahwa pasiennya adalah mitra dalam

usaha pencapaian keberhasilan terapi asma, karena pasien merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Asma

sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk mencapai asma

terkontrol, karena mereka yang langsung merasakan dampak

penatalaksanaan asma yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya.

Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka faktor

edukasi/komunikasi terapeutik di antara dokter dengan pasien asma dan

keluarganya merupakan hal yang sangat mendasar dalam

penatalaksanaan asma. Dokter merencanakan pengobatan jangka

panjang sesuai kondisi penderita, realistik, sehingga memungkinkan

pasien asma mencapai asma terkontrol. Sistem penanganan asma

mandiri mengharuskan pasien asma memahami kondisi kronik dan

bervariasinya keadaan penyakit asma. Penatalaksanaan ini mengajak

pasien memantau kondisinya sendiri, mengidentifikasi perburukan asma

sehari-hari, mengontrol gejala klinis yang terjadi dan mengetahui bila

saatnya pasien asma memerlukan bantuan medis/dokter (Mangunegoro,

2004).

2.1.8. Obat Pengontrol Asma (Mangunegoro, 2004)

a. Corticosteroid Inhalasi.

Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa

mekanisme yaitu:

1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi

produksi leukotriene dan prostaglandin.

2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Asma

3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel

inflamasi

4) Menghambat produksi cytokines

5) Meningkatkan kepekaan reseptor β2 pada otot polos bronkus

Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah:

1) Dosis yang digunakan relatif rendah

2) Efek samping minmal

3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula kerja

obat (onset of action) yang cepat.

4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.

Corticosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan

obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian

menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal

paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi,

frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup (Tabri,

2010). Pada asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis

maksimal yang dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa

penelitian menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah

relatif datar, yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak

selamanya sejalan dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian,

peningkatan dosis inhalasi corticosteroid tidak memberikan efek lebih baik

dibandingkan bila inhalasi corticosteroid dikombinasi dengan agonis β2

kerja lama (LABA) (GINA, 2011). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Asma

pengobatan asma persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi

ditoleransi dengan baik aman pada dosis yang direkomendasikan.

Perkiraan kesamaan potensi beberapa glucocorticosteroid dapat dilihat

pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Dosis Glucocorticosteroid Inhalasi dan Perkiraan Kesamaan Potensi Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi Obat Beclomethasone 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug Dipropionat 22-400 ug 400-800 ug >800 ug Budesonide 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug Flinisolide 100-250 ug 250-500 ug >500 ug Fluticasone 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi Beclomethasone 100-400 ug 400-800 ug >800 ug Dipropionate 100-200 ug 200-400 ug >400 ug Budesonide 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ug Flinisolide 100-200 ug 200-500 ug >500 ug Fluticasone 800-1200 ug 800-1200 ug > 1200 ug Sumber: GINA, 2011, Bateman, 2008

Beberapa glucorticosteroid yang digunakan di sistem pelayanan

kesehatan memberikan potensi dan bioavaibiliti setelah inhalasi yang

berbeda. Pada tabel 2.4 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa

glucorticosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis respons

steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis

steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma

(gejala, faal paru, hiperesponsif saluran pernapasan), bahkan

meningkatkan risiko timbulnya efek samping.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Asma

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti

kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan

atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer,

higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi

corticostreoid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.

b. Corticosteroid Sistemik

Obat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut

bila pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma

akut yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 5–7 hari biasa digunakan

sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai

terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan

penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa

diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu

membeli steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring

ketat terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek

samping obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat

secara sistemik. Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka

panjang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini, untuk

mengurangi kemungkinan efek samping obat yang terjadi:

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Asma

1) Gunakan prednisone atau methylprednisolone, karena mempunyai

efek mineralo-corticoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae

pada otot minimal.

2) Gunakan bentuk oral, bukan parentral.

3) Penggunaan selang sehari (intermitten therapy) atau sekali sehari pagi

hari.

c. Methylxanthine

Theophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine

dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua

golongan bronkodilator lain yaitu agonis β2 dan anticholinergic. Sampai

saat ini, theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi

pemberian theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik

(parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat.

Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga

mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat

pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti

inflamasi seperti corticosteroid, pada pasien asma persisten berat dan

sedang, bila steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang

optimal. Pada pasien asma dengan gejala asma pada malam hari,

pemberiannya pada sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul

pada malam hari.

Theophylline atau aminophylline lepas lambat dapat juga digunakan

sebagai obat pengontrol, meskipun potensinya tidak dapat menyamai

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Asma

corticosteroid. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian

theophylline jangka lama, efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal

paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama,

sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gejala asma pada malam

hari, dikombinasi dengan anti inflamasi yang lazim digunakan. Hasil

penelitian lain menunjukkan bahwa methylxanthine sebagai terapi

tambahan pada pemberian glucocorticosteroid inhalasi dalam berbagai

tingkat dosis adalah efektif untuk mengontrol asma. Namun, sebagai

terapi tambahan, kombinasi ini tidak seefektif inhalasi kombinasi

corticosteroid dengan agonis kerja lama, meskipun masih merupakan obat

pilihan, karena harganya yang jauh lebih murah dari sediaan inhalasi.

d. Agonis β2 Kerja Lama Inhalasi

Obat yang termasuk ke dalam kelompok LABA ini adalah

salmeterol dan formoterol. Kedua obat ini adalah bronkodilator dengan

lama kerja obat mencapai 18 jam yang juga mempunyai sifat anti

inflamasi, sehingga pemberian obat cukup 2 kali sehari. Karena durasi

efek obat yang lama ini, maka LABA lebih sesuai berperan sebagai obat

pelega pada pengobatan pemeliharaan (maintenance therapy). Namun,

formoterol sebagai salah satu LABA, mempunyai keistimewaan, yaitu

mula kerja yang cepat dan durasi kerja obat yang relatif lama. Karena

mula kerjanya yang lebih cepat daripada salmaterol, formoterol juga dapat

digunakan pada serangan asma akut (rescue medication), yang

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Asma

memerlukan pelega dengan mula kerja (onset of action) yang cepat.

Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan corticosteroid, memberikan

hasil yang lebih baik daripada terapi corticosteroid tunggal, meskipun

dosisnya ditingkatkan. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) berbagai

agonis β2 inhalasi dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan

fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi

yang menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap

ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

a. Dosis corticosteroid dan agonis β2 kerja lama (LABA) yang digunakan

pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat ini dipakai

secara terpisah.

b. Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.

c. Pemberian corticosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor agonis

β2 dan menurunkan desensitisasi terhadap agonis β2.

d. Pemberian agonis β2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebih

“siap”, sehingga lebih sedikit corticosteroid yang dibutuhkan untuk

menghasilkan aktivitas yang diharapkan.

Dengan demikian kombinasi kedua obat ini menghasilkan “on and on

phenomena”(GINA, 2011). Bentuk kombinasi tetap ini dapat digunakan

pada penyakit asma persisten ringan, sedang dan berat.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Asma

Tabel 2.4. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis β2

Durasi (lama kerja) Onset Singkat Lama Cepat Fenoterol Formoterol

Prokaterol Salbutamol/albuterol Terbutalin Pirbuterol

Lambat Salmaterol

Sumber: GINA 2011

2.1.9. Obat Pelega/Reliever (Mangunegoro, 2004)

a. Agonis β2 Kerja Singkat

Obat yang termasuk golongan agonis β2 kerja singkat antara lain:

salbutamol, terbutaline, phenoterol, dan procaterol, mempunyai mula kerja

(onset of action) yang cepat. Lazimnya golongan obat ini mempunyai mula

kerja yang cepat dengan durasi kerja obat yang singkat dan dapat

diberikan secara inhalasi atau oral. Pemberian inhalasi memberikan mula

kerja obat yang lebih cepat dengan efek samping minimal/tidak ada.

Mekanisme kerjanya seperti agonis β2 lainnya, yaitu relaksasi otot polos

saluran pernapasan, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan

permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel

mast.

Bentuk aerosol atau inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang

sama atau bahkan lebih baik dari bentuk oral. Sedang efek samping

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Asma

kardiovaskuler, tremor dan hipokalemianya lebih sedikit. Peningkatan

frekuensi penggunaan agonis β2 mencerminkan perburukan asmanya dan

merupakan indikasi untuk pemberian atau peningkatan dosis steroid

inhalasi. Obat golongan agonis β2

kerja singkat juga merupakan pilihan

pada serangan asma akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada

Exercise Induced Asthma.

b. Methylxanthine

Merupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat

dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang

lebih lama daripada agonis β2 kerja singkat. Manfaat aminophylline

adalah untuk respiratory drive dan memperkuat otot-otot pernapasan dan

mempertahankan respon terhadap agonis β2

kerja singkat. Timbulnya

efek samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai

dan melaksanakan pemantauan.

c. Anticholinergic

Anticholinergic inhalasi (ipratropium bromide) menghambat

perangsangan nervus vagus di post ganglion. Obat ini bekerja dengan

cara menurunkan tonus nervus vagus intrinsik saluran pernapasan. Selain

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Asma

itu, obat ini juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang ditimbulkan

oleh inhalasi iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis β2 kerja

singkat. Mula kerjanya lama dan membutuhkan 30-60 menit untuk

mencapai efek maksimal.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ipratropium bromide

mempunyai efek bronkodilatasi yang setara dengan agonis β2 kerja

singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan

risiko perawatan rumah sakit secara bermakna.

d. Adrenaline

Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,

bila tidak tersedia agonis β2, atau tidak respons dengan agonis β2

kerja

singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada

penderita usia lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian

intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan

pengawasan sangat ketat (bedside monitoring).

2.1.10. Tahapan Penatalaksanaan Asma

Penatalaksanaan asma harus dilaksanakan jangka panjang agar

tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal

mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Asma

melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan terrmasuk

pemberian glucocorticosteroid oral dan atau inhalasi kombinasi

glucocorticosteroid dengan agonis β2 kerja lama untuk segera mengontrol

asma, setelah asma terkontrol, dosis diturunkan secara bertahap sampai

seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma

terkontrol Cara itu disebut step-down therapy Pendekatan lain adalah

step-up therapy yaitu meningkatkan terapi secara bertahap jika

dibutuhkan, untuk mencapai asma terkontrol. Kondisi ini dikenal sebagai

adjustable dosing.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan

stepdown therapy untuk penatalaksanaan asma yaitu memulai

pengobatan seoptimal mungkin dengan upaya menekan inflamasi jalan

nafas dan mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin. Setelah

asma terkontrol, penggunaan obat dapat diturunkan sampai seminimal

mungkin, dengan tetap mempertahankan asma terkontrol. Bila terdapat

keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal

tersebut (misalnya setelah satu bulan terapi) maka diperlukan

pertimbangan untuk mengevaluasi kembali diagnosis asma yang telah

ditegakkan, sambil tetap memberikan pengobatan asma sesuai dengan

pedoman standar yang ada.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Asma

2.1.11. Klasifikasi Asma Terkontrol

GINA yang merupakan organisasi kerjasama WHO dengan

National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) Amerika Serikat

memperkenalkan panduan diagnosis dan tata laksana asma. Tidak hanya

itu, GINA juga telah merumuskan tujuan dari pengobatan asma itu sendiri.

Dari 6 tujuan pengobatan asma untuk mendapatkan tatalaksana yang

berhasil, GINA menempatkan ”mencapai dan mempertahankan kontrol

asma di urutan pertama. Hal ini sungguh masuk akal, karena dengan

mencapai kontrol asma yang baik, diharapkan dapat mencegah terjadinya

eksaserbasi, menormalkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang

baik, meningkatkan kualitas hidup dan akhirnya mencegah kematian

karena asma. Oleh karena itulah panduan pengobatan asma yang terbaru

menurut GINA menekankan pentingnya upaya pengobatan mencapai dan

mempertahankankan asma terkontrol..

GINA memberikan batasan tentang

apa yang dimaksud dengan asma terkontrol seperti terlihat pada Tabel 2.5

sebagai revisi batasan edisi lama yang kurang tegas, yang pernyataannya

mengandung multi arti (GINA, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Asma

Tabel 2.5. Tingkat Kontrol Asma

Karakteristik

Terkontrol

Terkontrol sebagian

Tidak terkontrol

(Semua dari tanda-tanda)

Pengukuran pada setiap minggu

Gejala siang Tidak ada > 2 x / minggu Tiga atau lebih gambaran asma terkontrol sebagian ada pada setiap minggu

(< 2 x / minggu) Keterbatasan aktivitas

Tidak ada Ada

Gejala/terbangun malam

Tidak ada Ada

Penggunaan obat pelega/agonis β

Tidak ada 2

> 2 x / minggu

(< 2 x / minggu)

Fungsi Paru Normal < 80 % prediksi atau nilai terbaik individu (APE atau VEP1)

Eksaserbasi Tidak ada 1 atau lebih/tahun Ada dalam 1 minggu

Sumber: GINA, 2011, Batemen, 2008

2.2 Kualitas Hidup Pasien Asma

2.2.1. Definisi

Kualitas hidup adalah tingkat keadaan individu dalam lingkup

kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi

dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa

puas akan peran tersebut. Kualitas hidup dapat dijadikan hasil pengukuran

yang menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan

penampilannya pada beberapa bidang, misalnya kemampuan fisik,

okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi (Hyland, 1997)

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Asma

Patric dan Ericson menyatakan bahwa kualitas hidup adalah suatu

nilai yang diberikan dalam kehidupan yang dimodifikasi oleh adanya

penyakit, status fungsional, serta kesempatan sosial dan kualitas hidup

dipengaruhi oleh penyakit, perawatan, dan kebijakan kesehatan. Bowling

menyimpulkan bahwa kualitas hidup yang berhubungan dengan

kesehatan adalah konsep yang menggambarkan respons individu

terhadap tingkat kepuasan kesehatannya dalam lingkungan kehidupannya

(CDC, 2000). Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individu

mengenai posisinya dalam lingkup budaya dan sistem nilai di tempat

mereka hidup, serta dalam hubungan dengan tujuan, harapan, dan

standard yang dianut. Definisi WHO ini menggambarkan suatu konsep

dengan sebaran yang luas, yang dipengaruhi oleh keadaan kompleks dari

kesehatan fisik individu, psikis, derajat ketergantungan, hubungan sosial

dan hubungan mereka terhadap kondisi lingkungannya.

Menurut Cummins kualitas hidup adalah kumpulan beberapa hal

seperti: kesejahteraan material, kesehatan, produktivitas, keakraban,

keamanan, kesejahteraan masyarakat, dan kesejahteraan emosional yang

dinilai baik secara objektif (menurut nilai-nilai kultural) maupun subyektif

(kepuasan yang diukur secara individu) (CDC, 2000).

Kualitas hidup ditentukan oleh persepsi individu tentang status

mereka dalam hidup, dalam kaitan budaya (sistem nilai) yang dimasuki

berbagai ide atau sesuatu yang berhubungan dengan ide, harapan,

standar dan keraguan, yang dapat berubah dalam memberikan respon

terhadap penyakit. Kualitas hidup juga digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Asma

pengkajian/assessment konvensional penilaian keparahan penyakit

seperti penyakit asma, berkenaan dengan pengujian faal paru, intensitas

dan kehadiran gejala, serta kebutuhan akan pengobatan (Scala, 2005).

Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan berbagai instrumen dan

umumnya dilakukan pada berbagai macam penyakit seperti diabetes,

gangguan ginjal, hipertensi, asma, AIDS, dan kanker. Terdapat beberapa

instrumen untuk menganalisis kualitas hidup yang meliputi persepsi fisik,

psikologi, hubungan sosial pasien seperti: Sickness Impact Profile,

Karnofsky Scales, Kidney Disease Quality of Life (KDQL) kuesioner dan

Medical Outcomes Study 36 item Short-Form Health Survey (SF-36) yang

telah banyak digunakan dalam mengevaluasi kualitas hidup pasien

penyakit kronis. SF 36 adalah salah satu instrumen untuk menilai kualitas

hidup yang sederhana, mudah dan secara luas telah dipakai untuk

mengevaluasi kualitas hidup penyakit kronis (Lina, 2008).

2.2.2. Penilaian Kualitas Hidup Pasien Asma

Kualitas hidup pasien asma merupakan ukuran penting karena

berhubungan dengan keadaan sesak yang akan menyulitkan pasien asma

melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggu status

fungsionalnya seperti merawat diri, mobiliti, makan, berpakaian, dan

aktivitas rumah tangga. Kualitas hidup pasien asma dapat dinilai dengan

menggunakan kuesioner kesehatan Short Form-36 (SF 36) dan Asthma

Quality of Life Questioner (AQLQ).

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Asma

a. Short Form-36 (SF 36)

Short Form-36 (SF 36) merupakan skala untuk mengukur fungsi

kesehatan fisik dan mental. SF 36 terdiri dari 36 butir pertanyaan yang

menggambarkan 8 sub skala (Lina, 2008):

1). Fungsi Fisik (Physical Functioning)

Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas fisik

seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat dan gerak

badan. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas

tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan

melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan berat.

2). Keterbatasan Akibat Masalah Fisik (Role Of Physical)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar

kesehatan fisik dapat mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari

lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik

menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak

dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan

aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan aktivitas. Nilai yang

tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap

pekerjaan ataupun aktivitas sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Asma

3). Perasaan Sakit/Nyeri (Body Pain)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri

dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal, baik di dalam maupun di

luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat

dan sangat membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada

keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri.

4). Persepsi Kesehatan Umum (General Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan saat ini dan

ramalan tentang kesehatan serta daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang

rendah menunjukkan memburuknya perasaan terhadap kesehatan diri

sendiri. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri

sendiri yang sangat baik.

5). Energi/Fatique (Vitality)

Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan,

capek, dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek,

dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh

semangat dan berenergi.

6). Fungsi Sosial (Social Functioning)

Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik

atau masalah emosional yang mengganggu aktivitas sosial normal. Nilai

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Asma

yang rendah menunjukkan gangguan yang sering. Nilai yang tinggi

menunjukkan tidak adanya gangguan.

7). Keterbatasan Akibat Masalah Emosional (Role Emotional)

Terdiri dari 3 pertanyaan atau aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai

yang rendah menunjukkan masalah emosional yang mengganggu

aktivitas, termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas,

pekerjaan menjadi kurang sempurna, bahkan tidak dapat bekerja

sepertinya biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya

gangguan aktivitas karena masalah emosional.

8). Kesejahteraan Mental (Mental Health)

Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental

secara umum termasuk depresi, kecemasan dan kebiasaan mengontrol

emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi

sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan tenang dan

bahagia dan penuh kedamaian.

Skala SF 36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, yaitu: persepsi

kesehatan umum, energi, fungsional sosial dan keterbatasan akibat

masalah emosional disebut sebagai dimensi Kesehatan Mental (Mental

Component Scale), sementara fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah

fisik, perasaan sakit/nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut

sebagai dimensi ”Kesehatan Fisik” (Physical Component Scale).

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Asma

Masing-masing skala dinilai 0-100, dan skor yang lebih tinggi menandakan

kualitas hidup yang lebih baik.

b. Asma Quality of Life Questioner (AQLQ).

Selain SF 36 kuesioner, untuk penilaian kualitas hidup pasien asma

dapat juga digunakan Asma Quality of Life Questioner (AQLQ). AQLQ

dikembangkan untuk mengukur gangguan fungsional yang dialami oleh

orang dewasa ≥17 tahun. Kuesioner ini memiliki 32 item dalam empat

domain (gejala, aktivitas keterbatasan, fungsi emosional dan rangsangan

lingkungan) (Junifer, 2005).

Kuesioner berasal dari Juniper Elisabeth ini dapat lebih spesifik

digunakan pada pasien asma. AQLQ terdiri dari 32 item yang mengukur 4

dimensi kesehatan: 12 item menilai gejala, 5 item mengukur fungsi

emosional, 4 item menilai paparan terhadap rangsangan lingkungan dan

11 item fokus pada pembatasan aktvitas (Spiric, 2004). Pasien memberi

skor item pada suatu skala ordinal 7 butir (point). AQLQ nilai 1

menunjukkan kualitas hidup yang sangat buruk dan 7 tidak ada ganggan

kualitas hidup (Spiric, 2004 dan Scala, 2005). Spiric (2004) mendapatkan

nilai aplha cronbachs 0.93 pada penggunaan kuesioner AQLQ yang

berarti validitas dan reliabilitas kuesioner ini sangat baik untuk digunakan.

Sementara itu di Australia digunakan AQLQ-Sydney. Kuesioner

kualitas hidup yang dikembangkan adalah terdiri dari 20 butir pertanyaan.

Hasil uji validitas dan reliabilitas AQLQ-Sydney dengan nilai alpha

cronbach 0.97 (Miedingera, 2006). Miedingera, 2006, melakukan

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Asma

penelitian hasil validasi AQLQ-Sydney setelah diterjemahkan ke dalam

bahasa Jerman. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan

nilai alpha cronbach adalah 0.94 (sekitar 0.83-0.94).

Juniper (2005) kemudian mengembangkan kuesioner yang

diperuntukkan untuk remaja dan dewasa dengan nama AQLQ (S) yaitu

Asma Quality of Life Questioner (Standard). Namun kuesioner inipun

dimodifikasi dengan nama AQLQ 12+. Hal ini dikarenakan batas usia klinis

penderita asma diturunkan yaitu 12 tahun. Terdapat sedikit perubahan

antara AQLQ (S) dengan AQLQ 12+. Dalam penelitiannya Juniper (2005)

mendapatkan hasil pengukuran yang sama atara usia 12-17 tahun dengan

usia.12 tahun. Hal ini berarti AQLQ 12+ dapat digunakan pada usia 12

tahun ke atas (cocok untuk usia remaja > 12 tahun dan usia dewasa).

Selain kuesioner untuk remaja dan dewasa, Juniper sebelumnya

telah mengembangkan kuesioner pengukuran untuk anak-anak dengan

nama PAQLQ (Paediatric Asma Quality of Life Questioner) (Scala, 2001).

PAQLQ digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien asma usia 7 s.d

17 tahun. Scala (2001) mengembangkan kuesioner PAQLQ-A dengan

menterjemahkan kuesioner PAQLQ ke dalam bahasa Portugis. Hasil

pengujian validitas dan reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach

adalah 0.909.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Asma

2.2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Asma

Faktor utama yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien

asma adalah penatalaksanaannya. Apabila penatalaksanaannya sudah

apropiate dan adekuat tentu akan meningkatkan kualitas hidup pasien

asma. Hasil penelitian Syafiuddin (2007) membuktikan ada perbedaan

kualitas hidup yang dinilai dari aspek kesehatan seperti gejala batuk,

sesak napas dan gangguan tidur antara kelompok pengobatan apropiate

dan adekuat. Studi yang dilakukan oleh Spiric (2004) menghasilkan faktor-

faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma. Adapun

faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah: berat

penyakit, tempat tinggal dan kondisi cuaca (p<0.05). Selain itu Spiric

menemukan tidak adanya hubungan antara jenis penyakit asma, jenis

kelamin dan polusi udara dengan kualitas hidup pasien asma.

2.3. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap

stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem

pelayan kesehatan, makanan minuman serta lingkungan. Faktor-faktor

yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut

determinan perilaku, yaitu:

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat

kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Asma

b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan

fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor

lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai

perilaku seseorang.

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah

totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil

bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik internal maupun

eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks,

dan mempunyai bentangan yang sangat luas.

a. Domain Perilaku

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan

membagi perilaku manusia ke dalam 3 domain/ranah/kawasan yakni

kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya teori Bloom ini

dimodifikasikan untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni

(Notoatmodjo, 2007):

1). Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan datang dari

pengalaman, dan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan

orang lain, buku, surat kabar, media masa, dan media elektronik.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Asma

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui

penyuluhan, baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan

pengetahuan kesehatan, yang bertujuan untuk tercapainya perubahan

perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal.

Pengetahuan mempunyai enam tingkatan (Notoadmodjo, 2007; Maulana,

2009), yaitu:

1) Tahu

Tahu diartikan mengingat suatu materi yang diketahui sebelumnya.

Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

atau rangsangan, antara lain dapat menyebutkan, mendefinisikan dan

mengatakan.

2). Memahami (comprehension)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara

benar. Orang telah memahami suatu objek, dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyampaikan, dan meramalkan objek yang

dipelajari.

3). Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Asma

4). Analisis (analysis)

Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan

ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat

menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan

sebagainya.

5). Sintesis (synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan untuk menghubungkan bagian-

bagian ke dalam bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya dapat

menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya

terhadap teori dan rumusan-rumusan yang telah ada.

6). Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan

kriteria yang telah ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Asma

2). Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Sikap yang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi

terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari adalah

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi dapat ditafsirkan

terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Alport (1954) dalam Notoadtmodjo (2007) menjelaskan bahwa

sikap itu mempunyai 3 komponen pokok:

1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

3) Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Sikap terdiri dari empat tingkatan (Notoatmodjo, 2007; Maulana,

2009), yaitu:

1) Menerima (receiving)

Menerima, diartikan bahwa seorang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Asma

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga

4) Bertanggung Jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala risikonya, dan merupakan sikap yang paling tinggi.

3). Praktik atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata,

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungknkan

seperti fasilitas.

Praktek mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu:

1) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil, dan merupakan praktik tingkat pertama.

2) Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan

sesuai dengan contoh, adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Asma

3) Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka

ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4) Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikan tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

b. Determinan Perilaku

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku secara

umum termasuk adherensi pasien menurut Lawrence Green

(Notoadmodjo, 2007) adalah:

1) Faktor Predisposisi

2) Faktor Enabling/pemungkin

3) Faktor Reinforcing

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya

dari seseorang.

2) Faktor-faktor penunjang (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan

fisik.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Asma

3) Faktor-faktor pendukung (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-petugas lainnya, termasuk di

dalamnya keluarga dan teman sebaya.

4) Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Konsep Perilaku Lawrence Green (Notoadmodjo, 2007)

Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat

tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan,

tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan.

Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas

kesehatan terhadap kesehatan, juga akan mendukung dan memperkuat

terbentuknya perilaku.

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah

pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku

merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai

penunjang program-program kesehatan lainnya.

Predisposing factors

Enabling factors

Reinforcing factors

Behaviour

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Asma

2.4. Adherensi Pengobatan Pasien Asma

Dewasa ini sangat jelas bahwa adherensi merupakan isu yang

penting bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan keberhasilan

pengobatan dan kualitas hidup pasiennya. Dari berbagai literatur

dinyatakan bahwa lebih dari 50% pasien penyakit kronis tidak patuh dan

adheren terhadap regimen pengobatannya (Bauman 2005; Horne, 2005).

Legoretta (1998) dalam Putmann (2004), menemukan kurang dari 50%

dari 5580 pasien asma dewasa yang diteliti, tidak adheren dalam

menggunakan obat inhalasinya setiap hari. Adherensi terhadap

pengobatan merupakan faktor yang utama dalam keberhasilan

penanganan penyakit asma (Bauman, 2005).

2.4.1. Pengertian Adherensi Pengobatan

Adherensi berkaitan dengan perilaku pasien untuk mengikuti

anjuran dokter secara konsisten. Walau memiliki arti sama, adherensi

berbeda dengan kepatuhan (compliance). Dalam penatalaksanaan

penyakit, istilah adherensi lebih sering dipakai karena dalam adherensi

setiap elemen berperan dalam penatalaksanaan penyakit dan merupakan

tanggung jawab bersama dokter dan pasien. Sedangkan pada istilah

kepatuhan (compliance), berhasil tidaknya suatu pengobatan cenderung

mengarah pada pasien. Bila pengobatan gagal, pasienlah yang

disalahkan, karena tidak mematuhi anjuran dokter (Bauman, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Asma

Adapun terminologi adherensi terlihat pada skema berikut ini:

Gambar 2.2.Terminologi Perilaku Pengobatan Asma (Bauman, 2005)

Kepatuhan (compliance) menunjukkan bahwa pasien mengikuti

anjuran dokter, namun komitmen penanganan hanya pada pasien.

Adherensi menunjukkan komitmen pengobatan, dan kontrol pengobatan

terletak pada pasien dan dokter. Sedangkan concordance adalah

tingkatan perilaku pengobatan yang paling tinggi, karena telah adanya

kesamaan dan saling menghargai di antara dokter dan pasien.

Ada beberapa bentuk non-adherensi, seperti halnya derajat

kepatuhan. Peneliti mengembangkan kategori non-adherensi adalah

sebagai berikut:

a. Non adherensi primer

Kategori ini menunjukkan pasien tidak mematuhi penggunaan obat

atau tidak mematuhi petunjuk dokter

b. Non adherensi sekunder

Kategori ini menunjukkan pasien tidak mengambil resep yang

diberikan.

c. Non adherensi intentional

Kategori ini menunjukkan pasien menolak diagnosis atau pengobatan

yang diberikan.

Compliance

Adherence

Concordance

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Asma

2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Adherensi Pengobatan

Saat ini sangat banyak faktor yang mempengaruhi adherensi

pengobatan. Adapun faktor tersebut adalah (Bauman, 2005):

a. Kompleksnya Pengobatan

Kompleksnya pengobatan yang diberikan akan mempengaruhi

adherensi pengobatan pasien. Penggunaan obat asma dengan cara

inhalasi sering dirasakan rumit oleh pasien. Hal ini membuat pasien

cenderung memilih pengobatan yang lebih mudah, walaupun tidak sesuai

standar, seperti penggunaan obat secara oral.

b. Kemampuan Memahami Informasi

Data menunjukkan informasi dan instruksi pengobatan baik dari

dokter maupun dari brosur penjelasan sangat sulit untuk dipahami pasien.

Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pasien, latar belakang

budaya dan ketrampilan penerimaan informasi. Banyak pasien asma

menggunakan obatnya hanya ketika timbul gejala. Untuk alasan yang

sama, penggunaan pelega lebih tinggi dibandingkan dengan obat

pengontrol (pencegah), karena obat pelega secara langsung

menyebabkan bronkodilatasi, maka efeknya lebih cepat dirasakan oleh

pasien.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Asma

c. Kepercayaan Pasien

Pasien pergi berobat sering karena kepercayaan tentang

penyakitnya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan tentang

penyakit, manfaat dan hambatannya, berpengaruh terhadap adherensi

pengobatan pasien asma. Derajat penyakit berpengaruh terhadap

adherensi pengobatan pasien. Penyakit akut/kronis atau penyakit yang

menimbulkan rasa sakit dan mengancam jiwa pasiennya, memerlukan

tingkat adherensi yang lebih tinggi, dibandingkan penyakit yang tidak

berat. Penyakit asma adalah penyakit kronis, yang dalam kondisi ringan

memberikan gejala klinis yang bersifat reversibel, sehingga pasien asma

kadangkala menganggap penyakitnya tidak menimbulkan masalah yang

berat pada dirinya.

Kepercayaan individu terhadap upaya pengobatan dan pelayanan

kesehatan dapat merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh

Rosenstock dalam Sarwono (2004), yaitu tentang model kepercayaan

kesehatan (Health Belief Model). Model kepercayaan kesehatan ini

mencakup lima unsur utama, sebagai berikut:

a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit

(perceived susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit

tersebut akan lebih cepat merasa terancam.

b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived

seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari

penyakit itu.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Asma

c. Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya

bahwa individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan

besar ancamannya (perceived threats). Ancaman ini mendorong individu

untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit.

Namun ancaman yang terlalu besar malah menimbulkan rasa takut dalam

diri individu yang justru malah menghambatnya untuk melakukan tindakan

karena individu tersebut merasa tidak berdaya melawan ancaman

tersebut.

d.Guna mengurangi rasa terancam tersebut, ditawarkanlah suatu alternatif

tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu akan menyetujui

alternatif yang diajukan petugas tergantung pada pandangannya tentang

manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Individu akan

mempertimbangkan apakah alternatif tersebut memang dapat mengurangi

ancaman penyakit dan akibatnya yang merugikan. Namun sebaliknya,

konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut (biaya yang

mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali

menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang

dianjurkan petugas kesehatan. Ini merupakan perceived benefits and

barriers dari model kepercayaan Health Believe Model.

d. Sikap Terhadap Pengobatan

Komunikasi dan pertanyaan terbuka sangat membantu untuk

menemukan sikap pasien terhadap pengobatan. Sikap terhadap

pengobatan berhubungan dengan bahaya pengobatan yang diberikan,

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Asma

”unnaturalness” dari berbagai bentuk pengobatan, bahaya ketergantungan

dan sikap anti terhadap pengobatan.

e. Komunikasi Dokter dan Pasien

Komunikasi dokter dan pasien merupakan peristiwa yang sangat

penting dalam rangka penyembuhan pasien. Dalam komunikasi dokter

pasien, dokter mempunyai posisi yang ”lebih tinggi” daripada pasien Dapat

dikatakan dokter memiliki legitimate power sehingga dengan mudah dapat

mempengaruhi pasien asma (Ali, 2006).

Kualitas dari interaksi dokter dan pasien memberikan pengaruh

utama terhadap perilaku pengobatan pasien. Komunikasi dan kemitraaan,

fleksibilitas, tidak bersikap pragmatik, atau menonjolkan sikap empati,

dapat meningkatkan adherensi pengobatan pasien asma. Pada

penatalaksanaan asma, dokter seringkali kurang memberikan informasi

yang cukup, karena waktu yang tersedia terbatas. Idealnya dokter

menyediakan informasi yang cukup, meskipun singkat, tetapi dapat

mudah dimengerti dan diingat oleh pasien. Informasi yang diberikan juga

jangan terlalu berlebihan, karena pasien sering sekali melupakan separuh

dari informasi yang diberikan, meskipun informasi yang diberikan sudah

jelas (Bauman, 2005).

Jacobs (2001) membuktikan adanya hubungan antara konsultasi

dan edukasi dari dokter umum dengan kualitas hidup pasien asma dan

PPOK. Pada studi ini dokter umum dianjurkan untuk memberikan

konsultasi secara teratur selama 3 bulan kepada pasien asma ringan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Asma

pasien PPOK.

a.

Tepat sehari sebelum konsultasi rutin, pasien diminta untuk

mengisi berupa kuisioner tentang penyakit dan kualitas hidup di ruang

tunggu dan memberikannya kepada dokter umum di awal konsultasi.

Dengan demikian, informasi tentang kualitas hidup pasien diberikan

kepada dokter umum dengan cara yang terstruktur dan ditambahkan ke

sistem pemantauan yang ada. Kuesioner yang terdiri dari 27 pernyataan

dan menjadi lima dimensi kualitas hidup: keluhan fisik, faktor emosi,

keterbatasan fisik dan sosial dan ketidakhadiran (dari tugas-tugas

domestik atau bekerja) disebabkan penyakit. Pada saat konsultasi dokter

mencatat:

b.

Intervensi diagnostic seperti spirometri, tes alergi atau foto thorax.

c.

Terapi obat-obatan yang diberikan, nasihat untuk berhenti merokok,

waktu konsultasi lanjutan.

d.

Edukasi kesehatan tentang penyakit, pemakaian obat, regimen

pengontrol, gaya hidup.

Konseling tentang aspek fisik, emosional, dll.

f. Faktor Psikologi dan Sosial Demografi.

Faktor psikologi dan sosial demografi seperti dorongan keluarga,

faktor umur, jenis kelamin, sosial ekonomi, derajat penyakit berhubungan

dengan adherensi pengobatan pasien. Beberapa penelitian menunjukkan

hubungan yang erat antara faktor sosiodemografi dengan adherensi

pengobatan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Asma

Gamble, (2009) mendapatkan wanita lebih patuh dibandingkan

dengan pria. Hasil penelitian Well, (2008) menyatakan ada hubungan

antara faktor suku dengan adherensi pengobatan yang menggunakan

Inhaled Corticosteroid (ICS). Pada pasien asma dari ras putih terdapat

hubungan antara kebutuhan akan ICS, pengetahuan tentang obat ICS,

perilaku dokter dalam mengontrol pasien asma, dan kesiapan untuk

menggunakan obat dengan kepatuhan pengobatan asma.

2.4.3. Aspek Adherensi Pengobatan

Terminologi adherensi adalah lebih memberikan komitmen dalam

penatalaksanaan penyakit dan melakukan pengawasan penyakit. Hal ini

berarti ada kerjasama dalam penatalaksanaan penyakit antara dokter dan

pasien. Untuk itu perlu dikembangkan komunikasi yang baik dan benar

antara dokter dan pasien. Komunikasi yang baik akan meningkatkan

motivasi pasien untuk adheren terhadap pengobatannya dan rasa percaya

terhadap penatalaksanaan penyakitnya (Bauman, 2005).

Berbagai aspek yang berhubungan dengan adherensi pengobatan

adalah (Bauman, 2005):

a. Konsumsi obat: jenis, frekuensi, lama pengobatan

b. Kontrol pengobatan oleh dokter

c. Menghindari pencetus

d. Tehnik penggunaan obat

e. Pemantauan faal paru dengan menggunakan Peak Flow Meter

f. Pengenalan gejala

Universitas Sumatera Utara

Page 53: Asma

2.4.4. Manfaat Adherensi Pengobatan

Adapun manfaat adherensi pengobatan pasien asma adalah

tercapainya asma terkontrol, sehingga pasien asma tercegah dari

serangan akut dan kematian serta memperoleh kualitas hidup yang prima.

Diharapkan pasien asma dapat hidup seperti orang normal, produktifitas

dalam melaksanakan pekerjaannya terjaga, pengurangan ketidakhadiran

di sekolah dan sekaligus mengurangi biaya yang dibutuhkan, jika pasien

asma harus dirawat di rumah sakit (Bauman, 2005).

2.4.5. Pengukuran Adherensi Pengobatan (WHO, 2003)

Penilaian yang akurat tentang adherensi pengobatan sangat

dibutuhkan. Hal ini bertujuan agar supaya perencanaan pengobatan

menjadi efektif dan efisien, dan juga untuk mengevaluasi perubahan yang

terjadi karena pengobatan yang diberikan. Selain itu, penilaian adherensi

pengobatan diperlukan untuk mengubah keputusan untuk rekomendasi

obat-obatan yang digunakan, dan atau bila memerlukan bentuk

komunikasi dalam rangka meningkatkan partisipasi pasien dalam

pengobatan. Namun tidak ada standar baku emas untuk mengukur

adherensi pengobatan dan sangat bervariasinya strategi adherensi

pengobatan seperti yang sering dilaporkan dalam berbagai literatur.

Salah satu pendekatan pengukuran adherensi pengobatan adalah

meminta dokter dan pasien untuk menilai adherensi pengobatannya

sendiri. Namun kadangkala dokter overestimate terhadap perilaku

adherensi pengobatan pasien dalam mengikuti sarannya. Laporan pasien

Universitas Sumatera Utara

Page 54: Asma

mengenai perilaku adherensi pengobatannya juga cenderung subjektif dan

sering menyatakan pengobatan mereka akurat. Namun, kadangkala

pasien sering menyangkal bahwa kegagalan terapi mereka karena

ketidakpatuhan pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran

adherensi pengobatan yang cenderung hanya berdasarkan pernyataan

pasien, dianggap kurang stabil atau kurang tepat/sesuai. Namun

kuesioner yang spesifik tentang perilaku adherensi, contohnya food

frequency questionnaires yang digunakan untuk mengukur perilaku makan

responden, dapat lebih baik memprediksi perilaku adherensi pengobatan

pasien.

Pendekatan lainnya untuk menilai adherensi pengobatan adalah

dengan menghitung jumlah obat yang telah dikonsumsi, menggunakan

alat elektronik seperti Medication Event Monitoring System (MEMS),

database farmasi (peresepan), dan pengukuran biokimia keberadaan obat

dalam darah dan urine. Namun setiap pendekatan mempunyai kelebihan

dan kekurangannya masing-masing.

Ringkasnya tidak ada strategi pengukuran tunggal yang dianggap

optimal. Oleh karena itu, penilaian adherensi pengobatan perlu dilakukan

dengan berbagai pendekatan (teknik) yang bersifat menyeluruh

(comprehensive), agar hasilnya optimal.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: Asma

2.5. Hubungan Adherensi Pengobatan dengan Kualitas Hidup Pasien Asma

Adherensi terhadap pengobatan merupakan faktor yang utama

dalam keberhasilan penanganan penyakit asma (Bauman, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan antara adherensi

pengobatan dengan kualitas hidup pasien asma. Penelitian Pont (2004)

yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada kelompok

adherensi dengan yang non adherensi terhadap pengobatan asma, dari

aspek aktivitas, gejala klinis, emosional pasien asma paparan lingkungan.

Skor pasien asma yang adheren adalah 5.8 sedangkan pada kelompok

yang non adheren adalah 5.2. Untuk aspek aktivitas skor adheren adalah

5.5 dan non adheren 5.2, aspek gejala skor adheren adalah 5.7 dan non

adheren adalah 5.2, aspek emosional skor adheren adalah 6.0 dan non

adheren adalah 5.7 sedangkan skor aspek paparan lingkungan adalah 5.6

dan non adheren adalah 5.0. Hasil penelitian Syafiuddin Syafiuddin (2007)

telah membuktikan bahwa kualitas hidup pasien asma semakin baik, bila

penerapan konsep adherensi dilaksanakan. Penggunaan pengobatan

inhalasi kombinasi steroid dengan agonis β2 kerja lama (LABA) yang

diberikan secara kontinu selama 1 bulan dengan frekuensi 2 kali sehari,

dibandingkan dengan pemberian bronkodilator saja (salbutamol/SABA).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan ACT (Asthma Control Test)

untuk menentukan kualitas hidup pasien asma. Hasil penelitian terdapat

perbedaan persentase efek pada jumlah batuk, gangguan tidur dan

aktivitas antara kelompok kombinasi steroid dengan agonis β2 kerja lama

(LABA) dengan kelompok salbutamol. Persentase perbaikan batuk pada

Universitas Sumatera Utara

Page 56: Asma

kelompok kombinasi adalah 74.36% dan kelompok salbutamol adalah

13.36%. Pada gangguan tidur terdapat perbaikan 47.98% dan kelompok

salbutamol adalah 14.95%. Pada gangguan aktifitas terdapat perbaikan

51.82% dan kelompok salbutamol adalah 21.87%.

Universitas Sumatera Utara