37
TUGAS KELOMPOK PSIKOPATOLOGI ANAK AUTISM DIBUAT OLEH: Natania Chrisantine 2006-070-069 Emilia Novianti 2006-070-099 Sherly 2006-070-130

Autism

  • Upload
    talenta

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Autism

TUGAS KELOMPOK

PSIKOPATOLOGI ANAK

AUTISM

DIBUAT OLEH:

Natania Chrisantine 2006-070-069

Emilia Novianti 2006-070-099

Sherly 2006-070-130

Autisme merupakan salah satu dari Pervasive developmental disorders

(PDDs) yang paling sering ditemui. Karakteristik dari PDDs adalah kerusakan yang

Page 2: Autism

parah dan menyebar pada interaksi sosial dan kemampuan berkomunikasi, dan pola

perilaku, ketertarikan dan aktifitas tertentu dan khusus.

Autisme merupakan salah satu gangguan yang cukup parah yang bercirikan

keabnormalan di dalam fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, dan dengan ketertarikan

dan perilaku yang tidak biasa. Gangguan ini mengakibatkan aspek-aspek interaksi

anak dengan lingkungan di sekitarnya turut terganggu.

SEJARAH AUTISME

Istilah autisme pertama kali dikemukakan oleh seorang psikiater yang berasal

dari Swiss, bernama Eugen Bleuler pada tahun 1911. Saat itu istilah autisme

digunakan untuk mendeskripsikan pasien-pasien yang menderita schizophrenia,

namun masih memiliki kontak dengan realitas.

Pada awal tahun 1940an dua orang psikiater, Leo Kanner dan Hans Asperger,

secara terpisah menggambarkan anak-anak yang memunculkan kerusakan sosial,

keanehan berbahasa dan ketertarikan kepada hal yang tidak biasa. Anak-anak tersebut

juga kehilangan kontak dengan realitas, namun tidak menderita schizophrenia.

Kanner menggambarkan 11 orang anak-anak, yang di tahun-tahun awal

kehidupannya, menghindari kontak mata, kekurangan kesadaran sosial, memiliki

keterlambatan bahkan tidak memiliki bahasa, dan menunjukkan kekhususan aktifitas

motorik, termasuk obsesi untuk memaksakan preservation of sameness. Para orang

tua menyebutkan keluhan bahwa anak mereka berada di dalam “dunia lain”.

Kanner menyebut gangguan ini dengan sebutan early infantile autism (autism

= ‘within oneself’). Menurut Kanner, anak-anak yang menderita gangguan ini tidak

dapat menghubungkan dirinya secara normal dengan orang lain dan lingkungan

sekitarnya sejak saat awal kehidupan. Kanner juga menyebutkan bahwa terdapat

sebuah “extreme autistic aloneness”, dimana anak-anak yang menderita gangguan ini

seperti menutup diri secara utuh dari dunia luar. Gangguan ini biasanya dimunculkan

oleh anak sejak saat lahir dengan ciri-ciri tidak mampu untuk membentuk hubungan

cinta kasih dengan orang lain (termasuk orang tua).

Kanner juga menggambarkan para orang tua yang memiliki anak autis bahwa

mereka adalah orang-orang yang sangat cerdas dan terobsesi. Di samping itu mereka

juga dingin, mekanis dan memisahkan diri dari sebuah hubungan. Kanner menyebut

para orang tua tersebut dengan sebutan “refrigerator parents”. Oleh karena itu,

Page 3: Autism

walaupun autisme merupakan seubah kekurangan sejak lahir, namun gangguan ini

sudah tertanam dalam diri penderitanya secara genetik, dimana para orang tua tidak

menginginkan keberadaan anaknya. Namun pernyataan Kanner mengenai hal ini tidak

didukung oleh bukti-bukti nyata.

Kenyataannya, autisme bukanlah merupakan akibat dari orang tua yang tidak

menginginkan kehadiran anaknya, melainkan akibat ketidakberhasilan anak dalam

memasuki realitas karena terganggunya tahap perkembangan secara serius. Karena

tulisan asli Kanner mengenai gangguan ini sudah berumur lebih dari 50 tahun, pada

perkembangannya autisme dikenal sebagai gangguan yang didasari oleh gangguan

biologis sehingga menyebabkan gangguan perkembangan pada tahun pertama

kehidupan anak.

KARAKTERISTIK UTAMA AUTISME

Karakteristik utama yang terdapat di dalam gangguan autisme bukan

merupakan karakter yang terpisah, melainkan berkaitan satu dengan yang lain. Atau

dengan kata lain karakter yang satu mempengaruhi karakter yang lainnya. Karakter

utama tersebut antara lain kerusakan sosial, kerusakan komunikasi dan perilaku dan

ketertarikan yang berulang.

Kerusakan Sosial

Anak-anak yang menderita autisme memiliki kesulitan dalam berhubungan

dengan orang lain. Sejak usia yang sangat belia, mereka menunjukan banyak

kekurangan di dalam kemampuan yang sangat penting untuk awal perkembanan

sosial, seperti mengimitasi orang lain, berorientasi pada stimulus sosial, membagi

gokus atensi dengan orang lain, memahami emosi orang lain, dan terlibat di dalam

sebuah permainan yang mengasah kepercayaan kepada orang lain. Seiring dengan

pertumbuhannya, anak-anak penderita autisme hanya memiliki perilaku sosial yang

sangat minim dan terlihat tidak responsif terhadap perasaan orang lain. Ekspresi sosial

dan kesensitifan terhadap petunjuk sosial dari orang lain sangant terbatas dan rasa

berbagi perasaan ataupun pengalaman yang ada di dalam diri anak sangat sedikit.

Anak-anak penderita autisme pada umumnya memiliki tingkat kesulitan yang tinggi

dalam berintegrasi sosial, berkomunikasi dan mengekspresikan perilaku emosional,

yang sangat dibutuhkan untuk menyambut orang lain yang memasuki ruangan tempat

Page 4: Autism

dirinya berada. Oleh karena itu mereka memperlakukan orang lain sebagai sebuah

objek, bukan manusia.

Anak-anak penderita autisme memunculkan kerusakan di semua aspek “joint

social attention”, yaitu kemampuan untuk mengkoordinasikan fokus perhatian kepada

orang lain dan sebuah objek sebagai ketertarikan yang saling menguntungkan. Joint

social attention biasanya sudah terbentuk saat usia 12 sampai 15 bulan, termasuk

menunjukkan perhatian terhadap objek ataupun orang dengan cara menunjuk,

memperlihatkan, melihat dan berkomunikasi untuk berbagi ketertarikan. Walaupun

para penderita autisme dapat membawakan sebuah benda kepada orang lain ataupun

menunjuk sebuah objek ketika mereka menginginkan orang lain untuk melakukan

sesuatu, mereka hanya menunjukkan sedikit ketertarikan dan kesenangan ketika

melakukan hal-hal tersebut.

Anak-anak yang menderita autisme memproses informasi sosial dengan cara

yang tidak biasa. Di usia muda, mereka memiliki kesulitan yang melebihi anak-anak

lain dalam hal mengimitasi gerakan tubuh maupun mainan, atau mengorientasikan

stimulus sosial atau stimulus non sosial. Selain itu, di dalam memproses informasi

mengenai wajah manusia, mereka lebuh terfokus kepada bagian-bagian tertentu dari

wajah, seperti hidung, mulut, mata; daripada melihatnya sebagai satu kesatuan.

Walaupun demikian, kebanyakan anak-anak yang menderita autisme masih

dapat memberikan respon yang berbeda terhadap orang yang merawatnya dengan

orang asing. Oleh karenanya anak-anak yang menderita autisme tidak mengalami

defisit dalam membentuk sebuah kedekatan atau attachment melainkan kurang

mampu memahami dan merespon suatu informasi sosial.

Ketidak mampuan memproses suatu informasi sosial mengakibatkan anak-

anak penderita autisme juga memiliki masalah dalam memproses informasi emosional

yang terdiri dari bahasa tubuh, gesture, ekspresi wajah maupun suara. Hal ini

membuat anak-anak penderita autisme memiliki ekspresi emosi yang berbeda dengan

anak-anak normal, seperti terbatasnya gerakan-gerakan spontan, bizarre, kaku

ataupun ekspresi wajah yang mekanis. Walaupun demikian, masih belum diketahui

apakah para penderita autisme mengalami sebuah emosi secara berbeda dibandingkan

anak-anak lain.

Kesulitan-kesulitan di atas biasanya akan terus dialami oleh para penderita

autisme seiring dengan bertambahnya usia.

Page 5: Autism

Kerusakan Komunikasi

Anak-anak yang menderita autisme menunjukkan abnormalitas yang serius di

dalam komunikasi dan bahasa yang muncul di awal kehidupan dan berlanjut dari

waktu ke waktu. Hal ini turut dipengaruhi oleh kerusakan sosial yang dialami oleh

penderita autisme.

Salah satu tanda awal dari kerusakan bahasa yang dialami anak-anak penderita

autisme adalah ketidak konsistenan mereka dalam menggunakan komunikasi

preverbal awal. Contohnya, seorang anak penderita autisme dapat menunjuk seekor

binatang yang ia inginkan, namun berada di luar jangkauannya. Dengan melakukan

hal tersebut, anak tersebut sudah menunjukkan penggunaan protoimperative gestures,

yaitu vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah kebutuhan. Namun,

anak ini tidak akan berhasil melakukan protodeclarative gestures, yaitu vokalisasi

yang digunakan untuk menunjukkan atensi visual dari orang lain terhadap sebuah

objek ataupun berbagi ketertarikan. Tujuan utama dari protodeclarative gestures

adalah untuk melibatkan orang lain di dalam sebuah interaksi. Penggunaan

protodeclarative gestures membutuhkan rasa ingin berbagi dalam hal atensi sosial dan

pemahaman yang implisit tentang apa yang dipikirkan orang lain. Kemampuan ini

kurang dimiliki oleh anak-anak penderita autisme. Selain itu, anak-anak penderita

autisme juga kurang mampu menggunakan showing gesture, yang biasa digunakan

anak-anak untuk mengungkapkan ketertarikan terhadap suatu hal, seperti saat

menerima mainan baru.

Anak-anak yang menderita autisme juga biasanya jarang menggunakan bahasa

untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan. Mereka biasanya menggunakan bahasa

primitif seperti instrumental gesture untuk membuat orang lain untuk melakukan

sesuatu. Selain itu, mereka juga biasanya tidak menggunakan espressive gestures

dalam mengungkapkan perasaan mereka. Hal ini bisa dikaitkan dengan kelainan pada

gerakan motorik yang terdapat di wajah, khususnya mulut serta intelegensi verbal

yang kurang memadai pada anak-anak penderita autisme. Biasanya kesulitan

berbahasa ini terjadi hingga usia 5 tahun. Oleh karenanya, anak-anak penderita

autisme memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Walaupun hampir seluruh penderita autisme mengalami keterlambatan

bahasa, penggunaan bahasa-bahasa “menyimpang”lah yang paling sering dikeluhkan

oleh orang tua. Anak-anak penderita autisme umumnya menggunakan kata-kata yang

kurang relevan dengan konteks pembicaraan dan kata-kata tersebut sulit dikonfirmasi

Page 6: Autism

apa maksudnya. Mereka menggunakan bahasa yang konkret dan spesifik, namun

berdasarkan pengalaman pribadi sehingga maksudnya pun sangat personal.

Akibat pemakaian bahasa verbal yang tidak biasa tersebut, biasanya anak-anak

yang menderita autisme juga mengalami pronoun reverals dan echolalia. Pronoun

reverals terjadi saat anak mengulang personal pronouns tepat seperti apa yang ia

dengar. Contohnya, “Siapa nama kamu?” anak-anak autisme akan menjawab

pertanyaan ini dengan, “Nama kamu Jen”. Sedangkan echolalia merujuk kepada

jawaban anak yang seperti “membeo” ketika ditanya. Contohnya, “Apakah kamu

sudah makan?” anak tersebut akan menjawab, “Apakah kamu sudah makan?” Di

samping itu, anak-anak penderita autisme juga dapat memunculkan perseverative

speech, yaitu membicarakan topik yang sama secara terus menerus.

Para anak pengidap autisme menunjukkan kerusakan pada kemampuan

pragmatics, yaitu kemampuan menggunakan bahasa yang tepat di dalam sebuah

konteks komunikasi dan sosial. Contohnya, ketika ada telepon yang sedang berdering,

anak autisme diminta untuk mengangkat telepon tersebut. Namun ternyata anak

tersebut hanya menjawab “oke” tanpa mengangkat telepon. Hal ini disebabkan karena

anak tersebut tidak memahami konteks sosial di mana jika telepon berdering, maka

telepon tersebut perlu untuk diangkat. Bahkan anak-anak penderita autisme yang

sudah menguasai tata bahasa dan memiliki vocabulary yang baik, kesulitan dalam

kemampuan pragmatics tetap muncul.

Selain itu, anak-anak penderita autisme juga gagal untuk berbicara dengan

intonasi ataupun kualitas suara yang tepat. Hasilnya, mereka tidak dapat membedakan

kapan harus menggunakan intonasi suara dengan keras, dan kapan harus

menggunakan intonasi suara dengan lembut. Hal ini mungkin berkaitan dengan

sedikitnya ketertarikan mereka untuk mendengarkan orang-orang yang berada di

sekitarnya.

Perilaku dan Ketertarikan yang Berulang

Anak-anak yang menderita autisme memiliki self-stimulatory behaviors, yaitu

gerakan atau pergerakan badan yang berulang terhadap sebuah atau beberapa objek.

Walaupun perilaku ini juga muncul pada anak-anak yang menderita gangguan mental

lainnya, pada penderita autisme, perilaku ini bersifat menetap (dari kecil hingga

dewasa).

Page 7: Autism

Berikut adalah bentuk self-stimulatory behaviors yang sering ditemui pada

anak-anak yang menderita autisme:

o Visual: kedipan mata yang berulang, menatap pada cahaya (lampu),

bertepuk tangan, menggerakkan jari di depan mata.

o Auditory: menjentikkan jari, membuat suara vokal, tapping ears, memutar

benda di meja.

o Tactile: menggaruk, mengusap kulit dengan tangan atau benda lain.

o Vestibular: berguling dari depan ke belakang, berguling dari sisi ke sisi.

o Taste: menempatkan bagian tubuh atau benda lain ke dalam mulut,

menjliat benda.

o Smell: mencium benda, mengendus orang lain.

Penyebab dari perikau dan ketertarikan yang berulang pada anak-anak

penderita autisme sampai sekarang masih belum diketahui. Beberapa ahli menyebut

bahwa alasan anak-anak autisme berperilaku demikian adalah untuk menstimulasi diri

mereka sendiri untuk menarik sistem saraf mereka (kurangnya stimulus dari

lingkungan). Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penyebab perilaku berulang

tersebut adalah untuk mengatasi stimulus lingkungan yang berlebih.

KARAKTER-KARAKTER YANG BERHUBUNGAN DENGAN AUTISME

Intelectual Deficits and Strengths

Anak-anak yang menderita autisme memiliki rentang intelegensi yang

bervariasi, dari retardasi mental sampai superior. Walaupun anak-anak yang memiliki

kemampuan superior seringkali disorot oleh media masa, namun pada kenyataannya

sekitar 80% anak-anak penderita autisme juga memiliki retardasi mental. 60% dari

mereka memiliki IQ kurang dari 50% dan 20% memiliki IQ antara 50 sampai 70.

Sedangkan 20% memiliki IQ rata-rata dan di atas rata-rata.

Kerusakan sosial yang dialami oleh anak-anak penderita autisme lebih sering

dialami oleh mereka yang memiliki level terendah dari fungsi intelektual. Namun,

tidak seperti anak-anak penderita retardasi mental yang memperlihatkan

keterlambatan di hampir seluruh area dari fungsi mental, anak-anak penderita autisme

yang memiliki IQ kurang dari 70 yang menjalani tes intelegensi menunjukkan bahwa

mereka memiliki kemampuan yang baik di beberapa subtes. Namun, rata-rata

Page 8: Autism

penderita autisme memiliki skor yang rendah pada subtes social comprehension dan

rata-rata memiliki skor relatif tinggi pada nonverbal Digit Span dan Block Design

(subtes yang dimiliki oleh Weschler Intelligence Scale).

Kemampuan intelektual yang rendah pada anak-anak penderita autisme pada

umumnya berhubungan dengan hasil jangka panjang yang rendah dan hanya mereka

yang memiliki kemampuan intelegensi rata-rata atau lebih yang dapat mencapai status

mandiri pada saat dewasa. Skor IQ pada anak-anak penderita autisme biasanya

bersifat stabil dari waktu ke waktu dan merupakan prediktor yang baik bagi tingkat

pencapaian hasil pendidikan. Namun, intervensi awal dapat meningkatkan

kemampuan intelegensi pada anak-anak penderita autisme.

Di samping kemampuan intelegensi yang kurang, anak-anak penderita autisme

memiliki splinter skill atau islets of ability. Kemampuan spesial mereka antara lain

mengeja, membaca, aritmatika, musik atau menggambar. Kemampuan ini tidak

dimiliki oleh setiap anak penderita autisme, namun sering ditemui pada anak

penderita autisme.

Selain itu, sekitar 5% anak penderita autisme memiliki autistic savants, yaitu

kemampuan supernormal di dalam beberapa area, seperti kalkulasi, memori, jigsaw

puzzles, musik ataupun menggambar, melebihi ana-anak normal sekalipun.

Kemampuan ini tidak terbatas pada penderita autisme yang memiliki IQ rata-rata atau

lebih namun juga dimiliki oleh penderita yang memiliki IQ di bawah 70. Hal ini

dipengaruhi oleh salah satu karakter khusus yang dimiliki oleh anak-anak penderita

autisme, yaitu kebiasaan dan ketertarikan yang berulang. Selain itu, perlu diingat

bahwa para penderita autisme memiliki kecenderungan untuk menerima informasi

secara segmentasi (per bagian) daripada secara keseluruhan. Hal ini membawa

mereka memiliki kemampuan yang bersifat pengecualian di beberapa domain. Selain

itu anak-anak penderita autisme juga lebih berpikir berdasarkan gambar (image)

dibandingkan dengan ide abstrak sehingga membuat mereka dapat mengingat materi

secara sistem kamera atau recorderlike fashion. Sayangnya, kemampuan ini jarang

sekali dimanfaatkan oleh para penderita autisme untuk kehidupannya sehari-hari.

Sensory and Perceptual Impairments

Kebanyakan pengliahtan, suara, bau ataupun tekstur yang tidak mengganggu

kebanyakan anak normal dapat menjadi membingungkan bahkan menyakitkan bagi

anak-anak penderita autisme. Seorang anak penderita autisme dapat menyadari bahwa

Page 9: Autism

bereaksi terhadap suara seseorang yang spesifik sekeras teriakan, sentuhan tangan

yang lembut dapat menimbulkan rasa sakit ataupun suara dering telepon dapat

menjadi suara yang memekakkan telinga. Hal ini berkaitan dengan kemampuan yang

terlalu sensitif pada anak-anak penderita autisme terhadap stimulus tertentu,

overselective dan kerusakan pergantian atensi terhadap input sensori dan kerusakan

terhadap mixing across sensory modalities, contohnya secara terus menerus melihat

sebuah pergerakan dan mendengarkan suara tepuk tangan seseorang.

Teori awal mengenai sutisme terhadap keterkaitan dengan sensory and

perceptual deficit antara lain sensory dominance dan stimulus overselectivity. Sensory

dominance adalah kecenderungan untuk fokus terhadap tipe-tipe input sensori tertentu

daripada orang lain. Contohnya, lebih fokus terhadap suara daripada penglihatan.

Sedangkan stimulus overselctivity adalah kecenderungan untuk fokus terhadap fitur-

fitur dari sebuah objek atau kejadian di dalam lingkungan, namun pada saat yang

bersamaan mengabaikan fitur-fitur penting lainnya. Contohnya, pada saat ibu berkata,

“Ayo ke sini…” anak penderita autis bisa hanya terfokus kepada gerakan bibir dari

ibunya tanpa mendengarkan suara perintah ibunya. Hal ini juga dapat berpengaruh

terhadap proses belajar pada anak. Misalnya, ketika dihadapkan pada pelajaran

membedakan mobil merah dan truk biru, anak penderita autisme akan menghadapi

kesulitan untuk membedakan warna dan jenis mobil sekaligus. Anak tersebut

mungkin dapat membedakan warna, namun pada saat yang bersamaan ia tidak dapat

membedakan bentuk dari mobil dan truk. Hal ini tentu dapat menyulitkan anak-anak

untuk menghadapi kehidupannya di luar rumah, terutama ketika ia harus

menggunakan kendaraan umum.

Cognitive Deficits

Selain kedua karakter di atas, anak-anak penderita autisme juga memiliki

keterbatasan kognisi.

o Specific Deficits

Proses pemahaman sosial, emosi, informasi personal seperti ekspresi emosi, facial

cues, dan internal mental states pada anak-anak penderita autisme memang

kurang jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Hal ini dapat menjelaskan

perilaku sosial yang aneh pada anak-anak yang menderita autisme. Mereka

Page 10: Autism

memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam memahami keadaan sosial sehingga

terjadi “kerusakan” interaksi sosial dalam diri mereka.

Selain itu, anak-anak penderita autisme tidak dapat memahami permainan yang

bersifat “pura-pura”. Contohnya, pada saat bermain boneka, anak yang normal

mengerti cara menyuapi bonekanya yaitu dengan menggunakan sendok mainan

dan “makanan bohongan” ke dalam mulut boneka, namun anak penderita autisme

tidak memahami hal ini, bahkan anak tersebut dapat memutar-mutar sendok

mainan secara berulang tanpa menggubris keberadaan si boneka. Hal ini berkaitan

dengan sebuah hipotesis bahwa anak-anak penderita autisme memiliki kerusakan

pemahaman terhadap mental states dirinya dan orang lain yang tidak dapat dilihat

secara langsung, seperti kepercayaan dan keinginan. Hal ini didukung oleh theory

of mind (ToM) yang memiliki premis kemampuan manusia membaca intensi,

kepercayaan, perasaan dan keinginan orang lain berdasarkan perilaku eksternal

mereka memiliki dampak besar untuk bertahan hidup dari sebuah evolusi. ToM

menyatakan bahwa semua orang, secara alami adalah pembaca pikiran (mind

readers). Dan manusia melakukan hal ini secara otomatis dan mengeluarkan

sedikit usaha. Anak-anak yang menderita autisme kurang memiliki premis yang

dinyatakan oleh ToM sehingga mereka kurang dan bahkan tidak dapat membaca

pikiran orang lain. Dan hal ini dapat menjadi sangat membingungkan, misterius,

bahkan menakutkan bagi anak-anak penderita autisme. Anak-anak dengan ToM

deficits dapat mempelajari, mengingat dan mengetahui hal-hal tentang dunia

sosial, namun kurang dapat memahami pengertian dunia sosial tersebut. Namun

perlu diingat bahwa ToM deficits tidak dialami oleh semua anak-anak penderita

autisme, namun sering dijumpai pada anak-anak penderita autisme.

o General Deficits

Pada umumnya, anak-anak penderita autisme memiliki kekurangan pada higher

order planning dan regulatoru behavior atau yang biasa disebut sebagai

sexecutive functions yang berlokasi di bagian frontal otak. Fungsi eksekutif

berfungsi untuk melakukan problen-solving framework yang efektif dengan cara

mengelminir perliaku yang tidak sesuai, terlibat di dalam aksi yang telah

dipikirkan matang-matang, mempertahankan bahkan meningkatkan task

performance, self-monitoring, menggunakan umpan balik, dan fleksibel dalam

Page 11: Autism

memindahkan perhatian dari satu tugas ke tugas lainnya. Anak-anak penderita

autisme memiliki kesulitan di dalam membuat rencana dan mengorganisir,

berpindah atau berubah ke sebuah set kognitif yang baru, tidak terlibat dalam

sebuah stimulus penting, memproses informasi secara berbeda, lingkungan yang

tidak dapat diprediksi dan menggeneralisasikan informasi yang telah dipelajari

sebelumnya ke dalam situasi baru.

Selain itu, anak-anak penderita autisme juga memiliki keinginan yang lemah

untuk central coherence, yang mengacu kepada keinginan kuat manusia untuk

menginterpretasi stimulus dengan cara yang relatif umum yang melibatkan

konteks yang lebih luas ke dalam sebuah cara yang spesifik. Dengan melakukan

central coherence kita dimungkinkan untuk membuat sebuat makna dari berbagai

macam set informasi yang kompleks serta mengingat nilai-nilai utamanya

daripada detailnya secara tepat. Hal ini juga dapat menyebabkan kerusakan

komunikasi bagi anak-anak penderita autisme.

Physical Characteristics

Sekitar 20% hingga 30% dari anak-anak autisme juga menderita epilepsy.

Kebalikannya, individu yang menerita retardasi mental, dimana epilepsi biasanya

terjadi pada usia muda, individu yang menderita autisme memperlihatkan kemunculan

epilepsi yang relatif tinggi pada usia remaja akhir hingga dewasa muda.

Di samping itu, penderita autisme memiliki penampilan fisik yang normal

bahkan memikat. Hal ini menjelaskan bahwa anak-anak penderita autisme tidak

memiliki deviasi pada penampilan fisik seperti pada penderita retardasi mendal yang

tidak berhubungan dengan autisme. Anak-anak yang menderita autisme lebih

memperlihatkan minor physical anomalies seperti wajah yang asimetris. Hal ini

dipengaruhi oleh sifat genetis atau faktor-faktor prenatal lainnya di dalam autisme.

Kanner (1943) mencatat bahwa 5 dari 11 anak yang telah ia observasi

memiliki kepala yang relatif besar. Observasi ini konsisten dengan beberapa laporan

yang menyatakan bahwa 25% individu penderita autisme memiliki lingkar kepala

yang lebih besar dibandingkan dengan orang biasa hingga 3% besarnya.

Characteristics of Family Members

Kanner mengobservasi bahwa orang tua dari seluruh anak penderita autisme

yang ia pelajari (11 orang) adalah individu yang memiliki intelegensi yang cukup

Page 12: Autism

tinggi. Namun hal ini tidak apat digeneralisasikan ke dalam populasi yang besar,

sebab ternyata sampel yang digunakan Kanner tidak merepresentasikan populasi.

Selain itu, ada anggapan yang populer bahwa autisme biasanya diderita oleh anak-

anak dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas, namun hal ini tidak terbukti

secara signifikan, terutama apabila penelitian menggunakan kriteria kontemporer

dalam membuat diagnosa.

Similar Deficits in Relatives

Kembar identik, saudara kandung dan orang tua yang tidak menderita autisme,

khususnya pria, yang dimiliki oleh individu penderita autisme biasanya memiliki

kekurangan di dalam komprehensi verbal dan kognisi, namun tidak separah penderita

autisme. Hal ini menjadi resiko tersendiri untuk menghasilkan individu autistik

sebagai akibat dari keturunan atau genetik.

Affective Disorder in Relatives

Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara

kelainan afeksi pada keluarga dengan penderita autisme. Selain itu gangguan yang

sering terdapat di dalam keluarga individu penderita autisme yang tidak memiliki

retardasi mental adalah fobia sosial. Selain itu, kesiapan dan prioritas memiliki anak

diperkirakan juga terkait dengan gangguan autisme. Hal ini berhubungan dengan

afeksi yang diberikan orang tua terhadap anak mereka. Namun, hal ini masih perlu

diteliti lebih lanjut lagi.

Stress in Home

Kehidupan bagi orang tua yang memiliki anak yang menderita autisme dapat

sangat kacau dan melelahkan. Hal ini dapat menjadi stressor tersendiri bagi orang tua

sehingga orang tua kesulitan untuk mengendalikan diri sendiri dan anak mereka yang

menderita autisme. Mereka juga seringkali malu dan kurang dapat menerima keadaan

anak mereka sehingga tidak jarang mereka menghindari untuk bersosialisasi dengan

lingkungan sekitar.

SUBTIPE AUTISME

Lorna Wing mengkategorikan autisme ke dalam 3 buah subtype, antara lain:

Page 13: Autism

1. Aloof.

Anak jarang memunculkan kedekatan sosial secara spontan terhadap orang lain,

kecuali untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan, dan cenderung untuk

menolak kontak fisik dan sosial secara sukarela.

2. Passive.

Anak memunculkan kekurangan kedekatan sosial secara spontan, tetapi mau

terlibat dengan orang lain saat didekati dengan cara yang khusus, namun

memerlukan interaksi terstruktur dengan orang lain.

3. Active-but-odd.

Anak menunjukkan kemauan untuk mendekati orang lain, tetapi dengan cara yang

aneh, naif atau one-sided manner.

ACCOMPANYING DISORDERS AND SYMPTOMS

Gangguan yang biasanya menyertai autisme adalah epilepsi dan retardasi

mental. Gejala-gejala psikiatrik dari anak-anak penderita autisme meliputi

hiperaktifitas, obsesi ritual, perilaku yang bersifat stereotipe, kecemasan, ketakutan

dan perilaku kompulsi. Beberapa anak yang mendertia autisme juga terlibat di dalam

self-injurious behavior (SIB) yang ekstrim dan bahkan membahayakan, yaitu

perbuatan yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh anak itu sendiri. Bentuk

SIB yang sering dijumpai adalah membenturkan kepala, menggigit tangan atau

lengan, dan excessive scratching and rubbing.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS AND OTHER PERVASIVE

DEVELOPMENTAL DISORDERS

o Asperger’s Disorder

Gangguan ini diungkapkan oleh Hans Asperger pada tahun 1944, yang menyebut

gangguan ini dengan sebutan “autistic psychopathy”.

Perbedaan mendasar antara gangguan Asperger dengan autisme adalah anak-anak

yang menderita gangguan ini memiliki verbal mental age yang lebih tinggi,

keterlambatan bahasa yang lebih rendah, serta lebih menunjukkan ketertarikan

kontak sosial dibandingkan dengan penderita autisme. Selain itu, gangguan ini

biasanya muncul pada usia yang lebih tua dibandingkan dengan autisme.

Page 14: Autism

Namun, terdapat beberapa persamaan gejala antara gangguan Asperger dengan

autisme, antara lain sulit berinteraksi sosial, memiliki pola perilaku dan

ketertarikan yang tidak biasa dengan kognisi dan kemampuan komunikasi yang

cukup baik.

o Rett’s Disorder

Gangguan ini ditemukan oleh Andreas Rett di Vienna, Austria pada tahun1974.

Karakter dari gangguan ini antara lain:

- pertumbuhan otak melambat antara usia 5 hingga 48 bulan.

- Kehilangan kemampuan tangan yang telah dipelajari antara 5 hingga

30 bulan dengan perkembangan pergerakan tangan yang stereotipe dan

subsequent.

- Kehilangan keterlibatan sosial pada awal kemunculan (walaupun

kebanyakan interaksi sosial terbentuk nantinya)

- Menunjukkan coordinated gair or trunk movement yang buruk

- Kerusakan ekspresi dan penerimaan perkembangan bahasa yang parah

dengan retardasi psikomotor yang parah.

Gangguan ini lebih jarang dijumpai jika dibandingkan dengan autisme dan

merupakan gangguan perkembangan neurologis yang parah. Selain itu, gangguan

ini lebih sering ditemui pada anak perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

o Childhood Disintegrative Disorder

Gangguan ini sering disebut sebagai Heller’s Disease, yaitu anak-anak yang

kehilangan kemampuan utama yang telah dikuasai sebelumnya pada usia 10

tahun. Berikut adalah karakter dari gangguan ini:

- Kerusakan interaksi sosial secara kualitatif

- Kerusakan komunikasi secara kualitatif

- Memiliki pola perilaku, ketertarikan dan aktifitas yang terbatas,

berulang dan stereotipe, termasuk stereotipe motorik dan mannerisms

o Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (NOS)

PDD-NOS adalah kategori terakhir apabila anak tidak menunjukkan gejala PDD,

skizofrenia atau gangguan lainnya. PDD-NOS lebih baik disebut sebagai autisme

atipikal, sejak kategori ini biasa digunakan bagi anak-anak yang tidak dapat

mencapai kriteria autisme karena muncul pada usia yang cukup tua, gejala

atipikal, subthreshold symptoms, atau kombinasi dari gejala-gejala lainnya.

Page 15: Autism

PREVALANSI

Autisme merupakan sebuah gangguan yang cukup jarang ditemui dengan

perbandingan 15 hingga 20 orang penderita berbanding 10.000. Namun, penderita

autisme mungkin akan bertambah lebih banyak mengingat diagnosis gangguan ini

terus diperbaharui dan diperbanyak, terutama mengenai gangguan autisme yang

ringan.

Autisme lebih banyak diderita oleh anak laki-laki hingga 3 sampai 4 kali lebih

besar daripada perempuan. Selain itu, IQ pada anak-anak tersebut kebanyakan

berkisar pada interval normal daripada mereka yang memiliki IQ mental retardation.

AGE ONSET

Usia dimana gejala autisme pertama kali muncul hingga sekarang belum dapat

dipastikan. Kebanyakan orang tua dari individu yang menderita autisme baru

menyadari gangguan ini secara serius ketika anak kedua mereka lahir. Pada saat itu,

orang tua baru menyadari perbedaan perkembangan yang signifikan dari dua orang

anak yang memiliki usia berdekatan. Walaupun gangguan autisme dapat disadari

dengan jelas pada usia 2 tahun, gangguan ini juga mulai dapat diidentifikasi pada usia

1 tahun, tergantung kepekaan dari orang tua terhadap ekspresi anak.

COURSE AND OUTCOME

Anak-anak yang menderita gangguan autisme memliki perkembangan yang

berbeda satu dengan yang lainnya. Seiring dengan pertambahan usia, anak tersebut

ada yang berkembang menjadi seperti anak-anak normal lainnya, namun ada juga

yang masih kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri. Hal ini tergantung dari tingkat

intelegensi serta treatment yang diterima dari anak tersebut.

Penelitian menyatakan bahwa hanya 1% hingga 2% anak-anak penderita

autisme yang tidak mendapatkan pertolongan ahli bisa berkembang menjadi seperti

anak-anak normal. Dan hanya 10% dari anak-anak penderita autisme yang memiliki

hasil yang baik, maksudnya mencapai hampir normal di dalam fungsi sosial dan

komunikasi. 20% lainnya mencapai hasil yang biasa saja, artinya mau terlibat dalam

lingkungan sosial dan menerima pendidikan yang baik, namun masih kurang dapat

Page 16: Autism

berkomunikasi dengan baik. Sisanya (sekitar 70 %) menunjukkan hasil yang buruk,

artinya mereka tidak dapat berfungsi secara normal dan mandiri.

PENYEBAB AUTISME

Penyebab autisme pada setiap anak berbeda-beda, namun, secara keseluruhan,

berikut penyebab terjadinya gangguan autisme pada anak:

Masalah selama kehamilan dan kelahiran

Anak-anak penderita autisme mengalami lebih banyak masalah kesehatan

pada saat masa kehamilan hingga kelahiran, bahkan setelah kelahiran dibandingkan

dengan anak-anak normal. Faktor-faktor berbahaya seperti usia ibu saat hamil,

kelahiran prematur, pendarahan saat kehamilan, toksemia (keracunan darah), infeksi

viral atau exposure dan kekurangan vigor setelah kelahiran diidentifikasi sebanyak

25% merupakan penyebab gangguan autisme. Namun, tidak selamanya hal ini berlaku

bagi anak-anak yang menderita gangguan autisme.

Kontribusi genetik

~ Specific disorders

Sekitar 10% anak-anak yang menderita autisme memiliki kondisi medis yang

teridentifikasi. Ditemukan bahwa fragile-X anomaly berpengaruh terhadap

gangguan autisme. Selain itu, terdapat kelainan kromosom yang ditemukan pada

penderita gangguan ini.

Di samping itu, laporan kilinis memperkirakan penyebab autisme berhubungan

dengan single-gene disorders seperti tuberous sclerosis, sebuah kondisi yang

diderita oleh 1 dari 7000 individu. Sekitar 25% anak-anak yang menderita

tuberous sclerosis juga menderita autisme dan 19% lainnya menunjukkan gejala

seperti autisme.. Namun, seiring berjalannya waktu, ditemukan bahwa kelainan

otak pada penderita tuberous sclerosislah yang menyebabkan munculnya

gangguan autisme.

~ Family risk

Ditemukan bahwa 3% hingga 7% individu yang menderita autisme memiliki

saudara kandung atau anggota keluarga yang juga menderita autisme. Bahkan

Page 17: Autism

anak kembar yang berasal dari zigot yang sama memiliki kemungkinan dari 40%

hingga 90% menderita autisme jika saudara kembarnya menderita gangguan ini.

Penemuan Nauropsikologis

Berikut adalah tabel yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa kerusakan di otak

pada anak-anak penderita autisme:

Domain Impaired Function Spared Function

Intelegensi Verbal, abstrak, sequential

processing

Organisasi visuospasial

Atensi Orientasi, atensi selektif,

shifting/disengaging

Sustained Attention

Memori

(Higher functioning)

Mild Long Term Memory,

terutama untuk informasi

kompleks

Strategi untuk encoding

informasi kompleks

Informasi abstrak,

sequential

Paired associate learning

Auditory rote memory

Cued recall

Memori

(Lower functioning)

Short dan Long term

memory

Declarative memory

Disrimination Learning

Operant Learning

Bahasa

(Higher functioning)

Pragmatics

Intonasi, penekanan, ritme

Comprehension of complex

verbal information

Fonologi

Syntax

Bahasa

(Lower functioning)

Severe expressive and

receptive language (e.g.,

mutism)

Fungsi eksekutif Working Memory

Inhibisi

Planning/organization

Flexibility/set shifting

Page 18: Autism

Faktor Neurobiologis

Anak-anak yang menderita autisme ternyata memiliki keabnormalan pada

otak, terutama pada bagian cerebellum dan medial temproal lobe yang berhubungan

dengan sistem limbik.

Penemuan neuropsikologi dan neurochemical

Terdapat keabnormalan penyampaian neurotransmitter pada bagian-bagian

tertentu di otak yang mengakibatkan terjadinya gangguan autisme. Sampai sekarang

belum ditemukan penyebab utama mengapa terjadi ketidaknormalan ini.

Autism as a Disorder of Brain Development

Pada dasarnya, penyebab utama terjadinya gangguan autisme adalah akibat

terganggunya proses perkembangan pada otak. Hal ini menyebabkan terganggunya

proses pengolahan informasi di otak. Ditengarai bahwa kerusakan sosial dan

komunikasi para penderita autisme disebabkan akibat perkembangan otak yang tidak

normal.

TREATMENT

Setiap anak yang menderita autisme bereaksi secara berbeda terhadap setiap

treatment yang diberikan, terutama antara anak yang memiliki low-functioning

dengan anak yang memiliki high fucntioning, sehingga pemberi treatment harus jeli

dan pintar dalam menerapkan teknik treatment kepada anak.

Treatment for Low Functioning Children

Anak-anak penderita gangguan autisme dan memiliki retardasi mental (dari

ringan hingga parah) biasanya membutuhkan supervisi yang menetap untuk

kehidupan kerja dan sehari-hari. Prognosis bagi anak-anak dalam kategori ini sangat

buruh, terutama bagi mereka yang pada usia 5 tahun belum dapat bercakap-cakap

bahkan berbicara, memiliki kerusakan sosial, dan menunjukkan petunjuk masalah

neurologis yang jelas, memiliki kelainan kromosom, atau memiliki keterlambatan

yang signifikan pada perkembangan motoriknya. Treatment untuk anak-anak yang

memiliki low functioning secara umum meliputi mengeliminasi tindakan berbahaya

dan mmbantu perkembangan kemampuan anak, membantu anak mengikuti peraturan

Page 19: Autism

dan permintaan orang lain, perilaku emosional dan sosial yang dasar,

mengkomunikasikan kebutuhan, dan bermain dengan baik dan benar. Jika anak

tersebut telah beranjak dewasa, maka treatment selanjutnya adalah mengajarkan

individu untuk dapat menguasai kemampuan yang dibutuhkan untuk kehidupan

sehari-hari dan pekerjaan.

Treatment for High Functioning Children

Tidak seperti pada low functioning children, tingkat prognosis pada high

functioning children jauh lebih baik. Bahkan tidak jarang anak tersebut dapat hidup

dalam kondisi yang normal, terutama apabila mereka diintervensi sejak dini.

Treatment yang diberikan bagi anak-anak yang memiliki high functioning antara lain

bertujuan untuk memperlancar kemampuan bahasa anak, interaksi sosial yang sesuai

dengan usianya dengan kelompok yang terdiri dari anak normal dan perilaku serta

kemampuan yang dibutuhkan pada TK ataupun SD. Selain itu, keterlibatan orang tua

di dalam pemberian treatment bagi anak adalah hal yang wajar. Hal ini dikarenakan

keterlibatan orang tua, lingkungan sekitar, dan kualitas pemberian treatment sangat

menentukan keberhasilan treatment tersebut.

Berikut adalah urutan treatment yang baik bagi anak-anak penderita autisme:

Initial Stages of Treatment

Membangun rapport yang baik dengan anak.

Hal ini sangat dibutuhkan untuk menentukan keberhasilan dari treatment yang

diberikan.

Mengajarkan kemampuan kesiapan belajar pada anak

Tahap ini dapat dilakukan dengan langkah kecil, seperti meminta anak untuk

menatap pemberi treatment.

Menghilangkan atau menurunkan disruptive behavior pada anak

Anak-anak penderita autisme seringkali menunjukkan sikap yang dapat

mengganggu bahkan membahayakan keselamatan dirinya sendiri, seperti

berteriak, yelling, tantrum, melempar atau menghancurkan barang,

menstimulasi diri sendiri, menunjukkan agresi, serta melukai diri sendiri.

Perilaku ini perlu dihilangkan agar anak tersebut terhindar dari hal-hal yang

tidak diinginkan. Teknik yang digunakan untuk tahap ini bermacam-macam,

Page 20: Autism

seperti memberikan reward bagi perilaku yang baik, mengabaikan perilaku

anak, hingga memberikan hukuman ringan pada anak.

Teaching Appropriate Social Behavior

Mengajarkan imitasi dan pelajaran observasi

Mengekspresikan afeksi

Permainan sosial dan kemampuan sosial kelompok

Peer-mediated interventions

Peer initiated procedures

Child initiated procedures

Sibling mediated procedures

Teaching Appropriate Communication Skills

Pelatihan percakapan operan

Imitasi verbal

Receptive labeling

Expressive labeling

Incidental teaching

Sign language traning

Family Intervention

Behavioral parent training

Konseling orang tua

Kesulitan emosional

Kesulitan interpersonal

Intervensi awal

Preschool programs

Home-based programs

Educational Interventions

Psychopharmachological/Somatic Interventions

Page 21: Autism

CONTOH KASUS

Nama : Ken-Ken

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 3 tahun

Ken-Ken mulai bersekolah sejak berumur 2 tahun lebih (hampir 3 tahun),

setelah beberapa lama bersekolah terlihat perbedaan Ken-Ken dibandingkan teman-

teman seumurannya. Ken-Ken tidak dapat berinteraksi secara normal dengan teman-

temannya. Ketika waktu bermain di luar kelas, Ken-Ken cenderung lebih memilih

untuk kembali ke dalam kelas dan membaca buku favoritnya atau mendengarkan

musik, dan jika dipaksa untuk bermain keluar, ia akan seperti melamun (diam dan

melihat ke suatu tempat dengan pandangan kosong). Selain itu, Ken-Ken juga sulit

diajak berbicara, selain minimnya kontak mata ketika diajak berbicara, Ken-Ken

sering terlihat sulit merangkai kata-kata, hal ini mungkin disebabkan minimnya

jumlah kosa kata yang dimiliki atau mungkin Ken-Ken sulit merangata-kata.

Ken-Ken tidak memiliki masalah dalam bidang akademis, karena dirumahnya,

Ken-Ken diberikan banyak stmulasi melalui mainan, buku bacaan yang disediakan

oleh ibunya, bahkan Ken-Ken dapat membuka internet (YOU TUBE) hanya untuk

mendengarkan lagu anak-anak dan ia dapat mengulangi lagu –lagu tersebut. Ken-Ken

juga sangat menyukai mengulangi alfabet dari A-Z dan diulang lagi dari A, ketika

sedang mengucapkan urutan alfabet, Ken-Ken tidak dapat diganggu atau

diberhentikan.

Ken-Ken yang semakin hari semakin terlihat kurangnya kemampuan sosial

dengan teman-temannya, sedangkan teman-temannya sudah mulai saling mengenal

dan bermain bersama, sedangkan Ken-Ken masih tetap terlihat sulit berinteraksi,

bahkan dengan guru (aunty dan uncle). Guru-guru di sekolah menganjurkan Ken-Ken

untuk diperiksa, karena ada seorang psikolog di sekolah tersebut menduga bahwa ada

gejala autis yang muncul, dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata memang Ken-

Ken memiliki kemungkinan untuk menjadi autis. Kemudian Ken-Ken menjalani

speech teraphy, dan setelah beberapa bulan menjalani terapi, Ken-Ken mulai

Page 22: Autism

membaik dan memiliki kosa kata yang lebih banyak, namun ia mulai mengulangi

setiap perkataan orang atau jika ia diajak bicara atau ditanyakan tentang sesuatu.

Kemampuan interaksi Ken-Ken juga sudah lebih baik akibat stimulasi setiap

hari disekolah, sekarang ini Ken-Ken sudah mulai bisa memanggil aunty dan uncle

nya, dia juga dapat memanggil nama temannya, namun tanpa ada arti yang jelas

(hanya memanggil saja, jika tidak dihiraukan oleh teman yang bersangkutan, Ken-

Ken juga tidak peduli). Jika Ken-Ken membuat temannya menangis, Ken-Ken hanya

melihat teman yang menangis tanpa ada ekspresi apapun yang terlihat pada wajahnya.

Ken-Ken juga beberapa kali terlihat melihat ke arah atas dengan pandangan

kosong, dan jari telunjuk ditempelkan pada ujung bibir, kemudian mulutnya akan

dibuka dan ditutup beberapa kali sampai ia ’disadarkan’ oleh aunty dan uncle nya.

Ken-Ken juga melakukan beberapa rutinitas seperti harus meletakkan sendok

disebelah kanan piring dan garpu disebelah kiri piring sebelum makan, dan jika

peralatan makan tersebut tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan, ia tidak akan

makan. Sebelum pulang juga Ken-Ken akan menghampiri aunty dan uncle nya satu

per satu untuk ’pamit’, dan jika belum bertemu dengan aunty dan uncle nya, Ken-Ken

sulit diajak pulang.

Ibu Ken-Ken (S) bercerita bahwa sebenarnya saat ia sedang hamil, ia tidak

merencanakannya, karena ia masih ingin bekerja, dan jika ia sudah memiliki anak ia

akan berhenti bekerja dan mengurus anaknya. Padahal ketika sedang hamil Ken-Ken,

ibu S sedang menikmati pekerjaannya, dan merasa agak berat untuk meninggalkan

pekerjaannya, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya ketika ia

hamil 8 bulan. Setelah melahirkan Ken-Ken, S hanya mengurus anaknya dirumah. S

terlihat sangat menyayangi dan memperhatikan Ken-Ken, namun ketika S sedang

melakukan sesuatu, ia seakan tidak peduli terhadap anaknya. Namun berdasarkan

hasil observasi kami, ketika S sedang berbincang-bincang dengan orang tua murid

lainnya, dan Ken-Ken terjatuh didalam jarak pandang S, dan S seolah-olah tidak

melihat dan tidak peduli, sampai seorang orang tua murid lain yang menghampiri dan

mengangkat Ken-Ken.

Sekarang ini teman-teman Ken-Ken sudah terlanjur menganggap Ken-Ken

sebagai ’anak aneh’, sehingga tidak ada teman yang mau bermain atau dipasangkan

dengan Ken-Ken saat bermain, padahal menurut guru-guru disekolah, Ken-Ken sudah

lebih baik dalam berinteraksi dengan teman dan guru-gurunya.

Page 23: Autism

Diagnosis DSM IV

Axis I : 299.00 Autistic disorder

Axis II : V71.09 No diagnosis

Axis III : V71.09 None

Axis IV : Problems related to social environment

Educational problems

Axis V : GAF = 51-60 (Current)

Page 24: Autism

DAFTAR PUSTAKA

Mash, E.J, Wolfe, D.A. 1999. Abnormal Child Psychology. USA: Wadsworth

Publishing Company.