23
Autisme Merupakan suatu kelainan dengan karakteristik berupa masing-masing dari 3 kategori gejala yaitu: gangguan interaksi social secara kualitatif, gangguan berkomunikasi, pola tingkah laku atau ketertarikan repetitive terbatas dan stereotipik . Epidemiologi Angka kejadiannya sekitar 8 dalam 10.000 anak atau sekitar 0,08%. Kelainan ini terjadi lebih sering pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 5:1, namun diketahui anak perempuan dengan autis lebih cenderung memiliki kemungkinan mengalami retardasi mental yang berat dibanding penderita autis laki-laki. Angka kejadian autis lebih sering terjadi pada kondisi sosioekonomi yang tinggi. Etiologi dan Patogenesis Faktor psikodinamika dan keluarga. Dalam laporan awalnya Kanner menulis bahwa beberapa orangtua dengan anak-anak autistik adalah benar-benar peramah dan, untuk sebagian besamya, orang tua dan anggota keluarganya memiliki preokupasi dengan abstraksi intelektual dan cenderung sedikit mengekspresikan perhatian yang murni terhadap anak-anaknya. Tetapi, temuan tersebut tidak ditiru selama 50 tahun terakhir. Teori lain, seperti kekerasan dan penolakan orangtua yang mendorong gejala autistik, juga tidak jelas. Penelitian terakhir yang membandingkan orangtua dan anak-anak autistik dengan orangtua dan anak-anak yang normal tidak rnenunjukkan perbedaan yang bermakna dalam kemampuan membesarkan anak. Tidak ada bukti memuaskan yang menyatakan bahwa jenis tertentu fungsi keluarga yang menyimpang atau kumpulan faktor psikodinarnika yang menyebabkan perkembangan gangguan autistik. Namun demikian, beberapa anak autistik berespons terhadap stresor psikososial, seperti, kelahiran seorang adik atau pindah ke rumah baru, dengan eksaserbasi gejala. Kelainan organik-neurologis-biologis. Gangguan autistik dan gejala autistik berhubungan dengan kondisi yang memiliki lesi neurologis, teru tama rubella kongenital, fenilketonuria (PKU), sklerosis tuberosus, dan gangguan Rett. Anak autistik menunjukkan lebih banyak tanda

Autism e

Embed Size (px)

DESCRIPTION

autism

Citation preview

Autisme

Merupakan suatu kelainan dengan karakteristik berupa masing-masing dari 3 kategori gejala

yaitu: gangguan interaksi social secara kualitatif, gangguan berkomunikasi, pola tingkah laku

atau ketertarikan repetitive terbatas dan stereotipik .

Epidemiologi

Angka kejadiannya sekitar 8 dalam 10.000 anak atau sekitar 0,08%. Kelainan ini terjadi lebih

sering pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 5:1, namun diketahui

anak perempuan dengan autis lebih cenderung memiliki kemungkinan mengalami retardasi

mental yang berat dibanding penderita autis laki-laki. Angka kejadian autis lebih sering terjadi

pada kondisi sosioekonomi yang tinggi.

Etiologi dan Patogenesis

Faktor psikodinamika dan keluarga. Dalam laporan awalnya Kanner menulis bahwa beberapa

orangtua dengan anak-anak autistik adalah benar-benar peramah dan, untuk sebagian besamya,

orang tua dan anggota keluarganya memiliki preokupasi dengan abstraksi intelektual dan

cenderung sedikit mengekspresikan perhatian yang murni terhadap anak-anaknya. Tetapi,

temuan tersebut tidak ditiru selama 50 tahun terakhir. Teori lain, seperti kekerasan dan

penolakan orangtua yang mendorong gejala autistik, juga tidak jelas. Penelitian terakhir yang

membandingkan orangtua dan anak-anak autistik dengan orangtua dan anak-anak yang normal

tidak rnenunjukkan perbedaan yang bermakna dalam kemampuan membesarkan anak. Tidak ada

bukti memuaskan yang menyatakan bahwa jenis tertentu fungsi keluarga yang menyimpang atau

kumpulan faktor psikodinarnika yang menyebabkan perkembangan gangguan autistik. Namun

demikian, beberapa anak autistik berespons terhadap stresor psikososial, seperti, kelahiran

seorang adik atau pindah ke rumah baru, dengan eksaserbasi gejala.

Kelainan organik-neurologis-biologis. Gangguan autistik dan gejala autistik berhubungan

dengan kondisi yang memiliki lesi neurologis, teru tama rubella kongenital, fenilketonuria

(PKU), sklerosis tuberosus, dan gangguan Rett. Anak autistik menunjukkan lebih banyak tanda

komplikasi perinatal dibandingkan kelompok pembanding dan anak-anak normal dan anak-anak

dengan gangguan lain.

Temuan bahwa anak autistik secara bermakna memiliki lebih banyak anomali fisik kongenital

yang ringan dibandingkan sanak saudaranya dan kontrol normal menyatakan bahwa komplikasi

kehamilan dalarn trimester pertama adalah bermakna. Empat sampai 32 persen orang autistik

memiliki kejang grand mal pada suatu saat dalam kehidupannya, dan kira-kira 20 sampai 25

persen orang autistik menunjukkan pembesaran ventrikular pada pemeriksaan tomograti

komputer. Berbagai kelainan elektroensefalogram (EEG) ditemukan pada 10 sampai 83 persen

anak autistik, dan, walaupun tidak ada temuan EEG yang spesifik untuk gangguan autistik,

terdapat indikasi kegagalan lateralisasi serebral. Belakangan ini, satu pemeriksaan pencitraan

resonansi magnetik (MRI; magnetic resonance imaging) menemukan hipoplasia pada lobulus

vermal VI dan VII serebelar, dan penelitian MRI lain menemukan abnormalitas kortikal,

terutama polimikrogria, pada beberapa pasien autistik. Kelainan tersebut mungkin

mencerminkan migrasi sel yang abnormal dalam enam bulan pertama gestasi. Suatu pemeriksaan

otopsi menernukan penurunan hitung sel Purkinje, dan pada penelitian lain terdapat peningkatan

metabolisme kortikal difus selama pemeriksaan tomografi elmisi positron (PET; positron

emission tomography).

Faktor genetika. Dalam beberapa penelitian, antara 2 dan 4 persen sanak saudara orang autistik

ditemukan terkena gangguan austistik, suatu angka yang 50 persen lebih besar dibandingkan

pada populasi umum. Angka kesesuaian gangguan austistik pada dua penelitian besar terhadap

anak kembar adalah 3 persen pada pasangan zigotik dibaudingkan 0 persen pada pasangan

dizigotik pada salah satu penelitian dan kira-kira 96 persen pada pasangan monozigotik

dibandingkan kira-kira 27 persen pada pasangan dizigotik pada penelitian yang kedua. Tetapi,

pada penelitian kedua, zigositas ditegakkan hanya pada kira-kira separuh sampel. Laporan klinis

dan penelitian menyatakan bahwa anggota keluarga nonautistik memiliki berbagai masalah

bahasa atau kognitif lainnya yang sama dengan orang autistik tetapi mereka memilikinya dalam

bentuk yang kurang parah. Sindrom X rapuh tampaknya herhubungan dengan gangguan autistik,

tetapi jumlah orang dengan kedua gangguan autistik dan sindrom X rapuh adalah tidak jelas.

Faktor fisiologis. Beberapa bukti menyatakan bahwa inkompatibilitas imunologi antara ibu dan

embrio atau janin dapat menyebabkan gangguan autistik. Limfosit beberapa anak autistik

bereaksi dengan antibodi maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan neural

embrional atau ekstraembrional mungkin mengalami kerusakan selama kehamilan.

Faktor perinatal. Tingginya insidensi berbagai komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada

anak-anak dengan gangguan autistik, walaupun tidak ada komplikasi yang secara langsung

dinyatakan sebagai penyebabnya. Selama gestasi, perdarahan maternal setelah trimester pertama

dan mekonium dalam cairan amnion telah dilaporkan lebih sering ditemukan pada anak autistik

dibandingkan populasi umurn. Dalam periode neonatus, anak autistik memiliki insidensi tinggi

sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa bukti

menyatakan tingginya insidensi pemakaian medikasi selama kehamilan oleh ibu dan anak

autistik.

Temuan neuroanatomi. Lobus temporalis telah diperkirakan sebagai bagian penting dalarn otak

yang mungkin abnormal dalam gangguan autistik. Perkiraan tersebut didasarkan pada laporan

sindroma mirip autistik pada beberapa orang yang mengalami kerusakan lobus temporalis. Jika

daerah temporalis binatang dirusak, perilaku sosial yang diharapkan menghilang, dan

kegelisahan, perilaku motorik berulang, dan kumpulan perilaku terbatas ditemukan. Temuan lain

pada gangguan autistik adalah penurunan sel Purkinje di serebelum, kemungkinan menyebabkan

ke1ainan atensi, kesadaran, dan proses sensorik.

Temuan biokimiawi. Sekurangnya sepertiga pasien dengan gangguan autistik mengalami

peningkatan serotonin plasma. Temuan itu tidak spesifik untuk gangguan autistik, karena orang

dengan retardasi mental tanpa gangguan autistik juga memiliki kecenderungan tersebut. Pasien

dengan gangguan autistik tanpa retardasi mental juga inemiliki insidensi tinggi hiperserotonemia.

Peningkatan homovanillic acid (suatu metabolit utama dopamin) dalam cairan serebrospinalis

adalah disertai dengan peningkatan penarikan diri dan stereotipik. Beberapa bukti menyatakan

bahwa keparahan gejala menurun saat rasio 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA, metabolit

serotonin) cairan serebrospinalis terhadap homovanillic acid cairan serebrospinalis meningkat. 5-

HIAA cairan serebrospinalis mungkin berbanding secara terbalik dengan kadar serotonin darah;

kadar tersebut meningkat pada sepertiga pasien dengan gangguan autistik, suatu temuan

nonspesifik yang juga ditemukan pada pasien dengan retardasi mental.

Gluten/Casein Teori Dan Hubungan Penyakit Celiac. Teori ini mengatakan bahwa pencernaan

anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai

polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan

menimbulkan <efek morfin> di otak anak. Di membran saluran cerna kebanyakan pasien autis

ditemukan pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknya peptida ke dalam darah.

Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid

C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas

gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada

beberapa anak. Dengan demikian implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk

memperoleh kesembuhan pasien. Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa

dipakai dalam pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukan

mempunyai aktivitas opiod saat protein tidak dapat dipecah.

Bayi yang mengalami gangguan pencernaan sebaiknya juga harus menghindari monosodium

glutamat (MSG), amines, tartarzine (zat warna makanan), Bila gangguan pencernaan dicurigai

sebagai Celiac Disease atau Intoleransi Casein dan Gluten maka diet harus bebas casein dan

Gluten.

IgA urine

Teori Gamma Interferon

Teori Metabolisme Sulfat

Seperti pada penderita intoleransi makanan, mungkin juga pada alergi makanan terdapat

gangguan metabolisme sulfat pada tubuh. Gangguan Metabolisme sulfat juga diduga sebagai

penyebab gangguan ke otak. Bahan makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui

konjugasi fenol dirubah menjadi sulfat dibuang melalui urine. Pada penderita alergi yang

mengganggu saluran cerna diduga juga terjadi proses gangguan metabolisme sulfur. Gangguan

ini mengakibatkan gangguan pengeluaran sulfat melalui urine, metabolisme sulfur tersebut

berubah menjadi sulfit. Sulfit inilah yang menggakibatkan gangguan kulit (gatal) pada penderita.

Diduga sulfit dan beberapa zat toksin inilah yang dapat menganggu fungsi otak. Gangguan

tersebut mengakibatkan zat kimiawi dan beracun tertentu yang tidak dapat dikeluarkan tubuh

sehingga dapat mengganggu otak.

Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan. Mekanisme bagaimana alergi mengganggu

system susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada

beberapa teori mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah teori gangguan organ

sasaran, pengaruh metabolisme sulfat, teori gangguan perut dan otak (Gut Brain Axis) dan

pengaruh reaksi hormonal pada alergi.

Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi. Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada

kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi MMR (Mumps, Measles, Rubella). Banyak

orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi MMR dapat

mengakibatkan Autisme. Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan

bahwa autism tidak berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi terdapat penelitian yang

menunjukkan bahwa Autis dan imunisasi MMR berhubungan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak

Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16

bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan

secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi.

Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah

dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan

Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.

Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan Autis mungkin

berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan, pernah

dilaporkan kasus meningoensfalitis pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa

tempat lainnya. Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat,

kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak dapat dijelaskan,

defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual atau bicara yang serupa dengan

gejala pada anak autism.

Teori Sekretin. Secretin adalah sejenis hormon peptida yang dihasilkan oleh kelenjar S di

duodenum. Gluten ternyata dapat menurunkan kadar hormon Secretin, sehingga penting

menambah kadar hormon tersebut. Saat ini sedang dikembangkan preparat secretin dosis tunggal

untuk memperbaiki problem gastrointestinal pada pasien autis. Saat ini secretin sudah disetujui

FDA untuk tujuan menstimulasi pancreas termasuk bikarbonat pada disfungsi kelenjar pankreas,

contohnya pada pankreatitis kronik; selain itu juga untuk memfasilitasi dan kanulasi papilla serta

membuka saluran pankreas untuk mengeluarkan hasil produksinya ke dalam duodenum melalui

prosedur tertentu. Juga dapat dipakai untuk menstimulasi gastrin pada sindrom Zollinger-Ellison

dan membantu mendiagnosis gastrinoma. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Secretin

mengaktivasi proses metabolisme dopamin susunan saraf pusat melalui kadar BH(4), sehingga

mempengaruhi berbagai gejala.

Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut).Teori ini juga yang

menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui

Hipermeabilitas Intestinal atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Secara patofisiologi

kelainan Leaky Gut Syndrome tersebut salah satunya disebabkan karena alergi makanan.

Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi .Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada

kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi MMR (Mumps, Measles, Rubella). Banyak

orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi MMR dapat

mengakibatkan Autisme. Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan

bahwa autism tidak berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi terdapat penelitian yang

menunjukkan bahwa Autis dan imunisasi MMR berhubungan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak

Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16

bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan

secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi.

Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah

dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan

Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.

Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan Autis mungkin

berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan, pernah

dilaporkan kasus meningoensfalitis pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa

tempat lainnya. Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat,

kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak dapat dijelaskan,

defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual atau bicara yang serupa dengan

gejala pada anak autism.

Kriteria Diagnosis Menurut DSM IV

KRITERIA DIAGNOSTIK MENURUT DSM IV

A. Salah satu (1) atau (2) :

1. Inatensi : enam (atau lebih) gejala inatensi berikut ini telah menetap selama sekurangnya

enam bulan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat

perkembangan:

a) Sering gagal memberikan perhatian terhadap perincian atau melakukan kesalahan

yang tidak berhati-hati dalam tugas sekolah, pekerjaan, atau aktivitas lain.

b) Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan atensi terhadap tugas atau

aktivitas permainan

c) Sering tidak tampak mendengarkan jika berbicara langsung

d) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, pekerjaan,

atau kewajiban di tempat kerja( bukan karena perilaku oposisional atau tidak dapat

mengerti instruksi)

e) Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas

f) Sering menghindari, membenci, atau enggan, untuk terlibat dalam tugas yang

memerlukan usaha mental yang lama (seperti tugas sekolah atau pekerjaan rumah)

g) Sering menghindari hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas (misalnya, tugas

sekolah, pensil, buku, atau peralatan)

h) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuli luar

i) Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari

2. Hiperaktivitas-impulsivitas: enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas-impulsivitas berikut

ini telah menetap selama sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptive dan

tidak konsisten dengan tingkat perkembangan:

Hiperaktivitas

a) Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau mengeliat-geliat di tempat duduk

b) Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain di mana

diharapkan tetap duduk

c) Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak tepat

(pada remaja atau dewasa, mungkin terbatas pada perasaan subjektif kegelisahan)

d) Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu luang secara

tenang.

e) Sering” siap-siap pergi” atau bertindak seakan-akan “ didorong oleh sebuah motor”

f) Sering bicara berlebihan

Impulsivitas

a) Sering menjawab tanpa piker terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan selesai

b) Sering sulit menunggu gilirannya

c) Sering memutus atau menganggu orang lain (misalnya, memotong masuk ke

percakapan atau permainan)

B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah ada

sebelum usia 7 tahun

C. Beberapa gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebig situasi ( misalnya di sekolah, dan

di rumah)

D. Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi social,

akademik, atau fungsi pekerjaan.

E. Gejala tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan pervasive,

skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan

mental lain (misalnya, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif, atau

gangguan kepribadian).

Penulisan didasarkan pada tipe:

Gangguan deficit-atensi/hiperaktivitas, tipe kombinasi : jika memenuhi baik criteria A1 dan A2

selama enam bulan terakhir

Gangguan deficit-atensi/hiperaktivitas, predominan tipe inatentif : jika memenuhi criteria A1

tetapi tidak criteria A2 selama 6 bulan terakhir

Gangguan deficit-atensi/hiperaktivitas, predominan tipe hiperaktif-impulsif: jika memenuhi

criteria A2 tetapi tidak kriteria A1 selama 6 bulan terakhir.

Catatan penulisan : untuk individu (terutama remaja dan dewasa) yang sekarang memiliki

gejala yang tidak lagi memenuhi kriteria lengkap, harus dituliskan “ dalam remisi parsial”

Manifestasi Klinis

Karakteristik fisik

Penampilan. Kanner tertarik oleh kecerdasan anak autistik dan penampilan yang menarik. Antara

usia 2 dan 7 tahun, mereka juga cenderung lebih pendek dibandingkan populasi normal.

Tangan dominan. Banyak anak autistik mengalami kegagalan lateralisasi. Yaitu, mereka tetap

ambidekstrosus pada suatu usia saat dominansi serebral ditegakkan pada anak normal. Anak

autistik juga memiliki insidensi tinggi dermatoglifik yang abnormal (sebagai contoh, sidik jari)

dibandingkan populasi umum, yang mungkin mengarahkan gangguan pada perkernbangn

neuroektodermal.

Penyakit fisik penyerta. Anak-anak gangguan autistik yang muda memiliki insidensi yang agak

lebih tinggi mengalami infeksi saluran pernapasan bagian atas, bersendawa yang berlebihan,

kejang demam, konstipasi, dan gerakan usus yang kendur dibandingkan kontrol. Banyak anak

autistik bereaksi secara berbeda terhadap penyakit dibandingkan anak-anak normal, yang

mungkin mencerminkan sistem saraf otonom yang abnormal atau imatur. Anak-anak autistik

mungkin tidak mengalaini peningkatan temperatur pada penyakit infeksi, mungkin tidak

mengeluh sakit secara verbal atau dengan isyarat, dan mungkin tidak menunjukkan malaise pada

anak yang sakit. Perilaku dan keakrabannya mungkin membaik dengan derajat yang jelas jika

mereka sakit, dan pada beberapa kasus hal tersebut adalah petunjuk adanya penyakit fisik.

Karakteristik perilaku

Gangguan Kualitatif pada interaksi sosial. Semua anak autistik gagal menunjukkan keakraban

yang lazimnya terhadap orangtua mereka dan orang lain. Saat bayi, banyak yang tidak memiliki

senyum sosial dan sikap tidak mau digendong jika seorang dewasa mendekati. Kontak mata yang

abnormal adalah temuan yang sering. Perkembangan sosial anak autistik ditandai oleh tidak

adanya (tetapi tidak selalu tidak ada sama sekali) perilaku melekat dan kegagalan yang relatif

awal pada pertalian terhadap orang tertentu. Anak autistik sering kali tidak terlihat mengenali

atau membedakan orang-orang yang paling penting dalam kehidupannya-orangtua, sanak

saudara, dan guru. Dan mereka mungkin hampir tidak menunjukkan cemas perpisahan saat

ditinggal di dalam lingkungan yang asing dengan orang asing.

Jika anak autistik telah mencapai usia sekolah, penarikan diri mereka mungkin telah menghilang

atau tidak begitu jelas, terutama pada anak-anak yang berfungsi lebih baik. Malahan, terlihat

kegagalan mereka untuk bermain dengan teman sebaya dan membuat persahabatan, kejanggalan

dan ketidaksesuaian sosial mereka, dan, terutama, kegagalan mereka untuk mengembangkan

empati.

Pada masa remaja akhir, orang autistik tersebut yang paling berkembang sering kali memiliki

keinginan untuk bersahabat. Tetapi, kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan

mereka untuk berespons terhadap minat, emosi, dan pera saan orang lain adalah hambatan yang

utama dalam mengembangkan persahabatan. Remaja dan dewasa autistik memiliki perasaan

seksual, tetapi tidak adanya kompetensi dan keterampilan sosial menghalangi sebagian besar dari

mereka untuk mengembangkan hubungan seksual. Sangat jarang bagi orang autistik untuk

menikah.

Gangguan komunikasi dan bahasa. Defisit dan penyimpangan yang jelas dalam perkembangan

bahasa adalah salah satu kriteria utama untuk mendiagnosis gangguan autistik. Anak-anak

autistik bukan hanya enggan untuk berbicara, dan kelainan bicara mereka bukan karena tidak

adanya motivasi. Penyimpangan bahasa, seperti keterlambatan bahasa, adalah karakteristik untuk

gangguan autistik. Berbeda dengan anak normal dan anak retardasi mental, anak autistik sedikit

menggunakan arti dalam daya ingat dan proses berpikir mereka. Jika orang autistik memang

belajar untuk bercakap dengan fasih, mereka tidak memiliki kompetensi sosial, dan percakapan

mereka tidak ditandai oleh saling tukar yang responsif dan timbal balik.

Dalam tahun pertama kehidupan, banyaknya dan frekuensi celoteh anak autistik mungkin

menurun atau abnormal. Beberapa anak mengeluarkan bunyi— bunyi klik, suara, pekikan, dan

suku kata tanpa arti — dalam cara yang stereotipik tanpa terlihat minat untuk berkomunikasi.

Tidak seperti anak normal, yang selalu memiliki keterampilan bahasa reseptif yang lebih baik

dan lebih banyak mengerti sebelum mereka dapat berbicara, anak autistik verbal mungkin lebih

banyak berkata dibandingkan yang dimengertinya. Kata-kata dan bahkan hampir seharuh kalimat

mungkin di dalam dan di luar perbendaharaan kata anak. Anak autistik mungkin menggunakan

suatu kata satu kali dan tidak menggunakannya lagi selama seminggu, sebulan, atau beberapa

tahun. Pembicaraan mereka mengandung ekolalia, baik segera atau terlambat atau frasa

stereotipik di luar konteks. Kelainan tersebut sering disertai dengan pembalikan kata sebutan;

yaitu seorang anak perempuan berkata, “Kamu ingan mainan? saat ia bermaksud menginginkan

mainan. Kesulitan dalam artikulasi juga ditemukan. Pemakaian kualitas dan irama suara yang

aneh terlihat secara klinis pada banyak kasus. Kira-kira 50 persen dan semua anak autistik tidak

pernah menggunakan pembicaraan yang berguna. Beberapa anak yang paling cerdas

menunjukkan daya tarik yang sangat kuat tertentu terhadap huruf dan angka. Beberapa anak

benar-benar belajar membaca sendiri pada usia prasekolah (hiperleksia), senng kali berhasil

dengan baik. Tetapi, hampir pada semua kasus anak-anak membaca tanpa pernah mengerti.

Perilaku stereotipik. Dalam tahun-tahun pertama kehidupan anak autistik, sebagian besar

permainan eksplorasi anak normal adalah tidak ada atau minimal. Mainan dan benda-benda

seringkali dimanipulasi dalam cara yang tidak seharusnya, dengan sedikit variasi, kreativitas, dan

imaginasi dan sedikit ciri simbolik. Anak-anak autistik tidak dapat meniru atau menggunakan

pantomim abstrak. Aktivitas dan permainan anak autistik, jika ada, adalah kaku, berulang, dan

monoton. Fenomena ritualistik dan kompulsif adalah sering ditemukan pada masa anak-anak

awal dan pertengahan. Anak autistik seringkali memutarkan, membanting, dan membariskan

benda-benda dan menjadi terlekat pada benda mati. Di samping itu, banyak anak autistik,

terutama mereka dengan intelektual yang paling terganggu, menunjukkan berbagai kelainan

gerakan. Stereotipik, manerisme, dan seringai adalah paling sering terlihat jika anak ditinggalkan

sendiri dan dapat menurun pada situasi yang terstruktur. Anak autistik tahan terhadap transisi dan

perubahan. Pindah ke rumah baru, memindahkan perabotan di dalam ruangan, dan makan pagi

sebelum mandi jika merupakan kebalikan dan rutinitas mungkin menyebabkan panik atau temper

tantrum.

Ketidakstabilan mood dan afek. Beberapa anak dengan gangguan autistik menunjukkan

perubahan emosional yang tiba-tiba, dengan ledakan tertawa atau tangisan tanpa terlihat alasan

dan tidak mengekspresikan pikiran yang sesuai dengan afek.

Respon terhadap stimuli sensorik. Anak-anak autistik mungkin responsif secara berlebihan atau

kurang responsif terhadap stimuli sensorik (sebagai contoh, suara dan nyeri). Mereka mungkin

secara selektif mengabaikan ucapan yang diarahkan pada dirinya, dan sehingga mereka sering

disangka tuli. Tetapi, mereka mungkin menunjukkan minat yang tidak lazim terhadap bunyi

detik jam tangan. Banyak yang memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan respons

terhadap nyeri. Malahan, anak autistik mungkin melukai dirinya sendiri secara parah dan tidak

menangis.

Banyak anak autistik tampak menikmati musik. Mereka sering kali bersenandung atau

menyanyikan suatu lagu atau jingle iklan sebelum mengucapkan kata atau berbicara. Beberapa

anak secara khusus menikmati stimulasi vestibular — berputar-putar, berayun-ayun, dan

bergerak naik dan turun.

Gejala prilaku lain. Hiperkinesis adalah masaiah perilaku yang sering pada anak autistik yang

muda. Hipokinesis lebih jarang; jika ada, sering kali berganti-ganti dengan hiperaktivitas.

Agresivitas dan temper tantrum terlihat., sering kali dengan alasan yang tidak jelas, atau

disebabkan oieh perubahan atau tuntutan. Perilaku melukai diri sendiri adalah berupa

membenturkan kepala, menggigit, mencakar, dan menarik rambut. Rentang perhatian yang

pendek, ketidakmampuan sama sekali untuk memusatkan pada pekerjaan, insomnia, masalah

pemberian makanan dan makan, enuresis, dan enkopresis juga sering ditemukan.

Fungsi intelektual. Kira-kira 40 persen anak-anak dengan autisme infantil memiliki nilai

inteligensia (I.Q.) di bawah 50 sampai 55 (retardasi mental sedang, berat, atau sangat berat); 30

persen memiliki nilai 50 sampai kira-kira 70 (retardasi mental ringan); dan 30 persen memiliki

nilai 70 atau lebih. Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukan bahwa risiko untuk

gangguan autistik meningkat saat I.Q. menurun. Kira-kira seperlima dan semua anak autistik

memiliki kecerdasan nonverbal yang normal. Nilai IQ anak autistik cenderung mencerminkan

masalah dengan keterampilan verbal dan abstraksi, bukannya dengan keterampilan visuospasial

dan daya ingat jauh, yang mengesankan kepentingan defek dalam fungsi yang berhubungan

dengan bahasa.

Kemampuan kognitif atau visuornotorik yang tidak lazim atau lebih cepat ditemukan pada

beberapa anak autistik. Kemampuan tersebut mungkin terlihat walaupun dalam fungsi yang

seluruhnya teretardasi dan dinamakan sebagai fungsi terpecah atau pulau-pulau prekoksitas.

Kemungkinan contoh yang paling jelas adalah sarjana idiot yang merniliki kemampuan daya

ingat jauh dan berhitung yang luar biasa. Kemampuan khusus mereka biasanya tetap di belakang

kemampuan kemampuan teman sebayanya yang normal. Kemampuan terlalu cepat lainnya pada

anak autistik yang masih kecil adalah hiperleksia, suatu kemampuan yang dini untuk membaca

dengan baik (walaupun mereka tidak dapat mengerti apa yang dibacanya), mengingat dan

menceritakan, dan kemampuan musikal (menyanyikan irama atau mengenali alat-alat musik).

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Gangguan autistik memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan prognosis yang terbatas.

Beberapa anak-anak autistik menderita kehilangan semua atau beberapa bicara yang ada

sebelumnya. Hal tersebut paling sering terjadi antara usia 12 dan 24 bulan. Sebagai aturan

umum, anak-anak autistik dengan I.Q. di atas 70 dan mereka yang menggunakan bahasa

komunikatif pada usia 5 sampai 7 tahun memiliki prognosis yang terbaik. Penelitian pada orang

dewasa menunjukkan bahwa kira-kira dua pertiga orang dewasa autistik tetap mengalami

kecacatan parah dan hidup dalam ketergantungan penuh atau setengah tergantung, baik dengan

sanak saudara atau dalam institusi jangka panjang. Hanya 1 atau 2 persen yang mencapai status

normal dan mandiri dengan pekerjaan yang mencukupi, dan 5 sarnpai 10 persen mencapai status

normal ambang. Prognosis membaik jika lingkungan atau rumah adalah suportif dan mampu

memenuhi kebutuhan anak tersebut yang sangat banyak.

Walaupun ditemukan penurunan gejala pada banyak kasus, mutilasi diri yang parah atau

agresivitas dan regresi dapat berkembang pada kasus lain. Kira-kira 4 sampai 32 persen memiliki

kejang grand mal pada masa anak-anak akhir atau masa remaja, dan kejang memiliki pengaruh

buruk untuk prognosis.

Terapi

Tujuan terapi adalah menurunkan gejala perilaku dan membantu perkembangan fungsi yang

terlambat, rudimenter, atau tidak ada, seperti keterampilan bahasa dan merawat diri sendiri. Di

samping itu, orang-tua, yang sering kecewa, memerlukan bantuan dan konseling.

Autisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan (not curable) tetapi masih dapat diterapi

(treatable). Menyembuhkan berarti “memulihkan kesehatan, kondisi semula, normalitas”. Dari

segi medis, tidak ada obat untuk menyembuhkan gangguan fungsi otak yang menyebabkan

autisme. Beberapa simptom autisme berkurang seiring dengan pertambahan usia anak, bahkan

ada yang hilang sama sekali.

Dengan intervensi yang tepat, perilaku-perilaku yang tak diharapkan dari pengidap autisme dapat

dirubah. Namun, sebagian besar individu autistik dalam hidupnya akan tetap menampakkan

gejala-gejala autisme pada tingkat tertentu. Sebenarnya pada penanganan yang tepat, dini,

intensif dan optimal, penyandang autisme bisa normal. Mereka masuk ke dalam mainstream

yang berarti bisa sekolah di sekolah biasa, dapat berkembang dan mandiri di masyarakat, serta

tidak tampak ”gejala sisa”. Kemungkinan normal bagi pengidap autisme tergantung dari berat

tidaknya gangguan yang ada.

Terapi dengan Pendekatan Psikodinamis

Pendekatan terapi berorientasi psikodinamis terhadap individu autistik berdasarkan asumsi

bahwa penyebab autisme adalah adanya penolakan dan sikap orang tua yang “dingin” dalam

mengasuh anak. Terapi Bettelheim dilakukan dengan menjauhkan anak dari kediaman dan

pengawasan orang tua. Kini terapi dengan pendekatan psikodinamis tidak begitu lazim

digunakan karena asumsi dasar dari pendekatan ini telah disangkal oleh bukti-bukti yang

menyatakan bahwa autisme bukanlah akibat salah asuhan melainkan disebabkan oleh gangguan

fungsi otak.. Pendekatan yang berorientasi Psiko-dinamis didominasi oleh teori-teori awal yang

memandang autisme sebagai suatu masalah ketidakteraturan emosional.

Terapi Dengan Intervensi Behavioral

Pendekatan Behavioral telah terbukti dapat memperbaiki perilaku individu autistik. Pendekatan

ini merupakan variasi dan pengembangan teori belajar yang semula hanya terbatas pada sistem

pengelolaan ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Prinsipnya adalah mengajarkan

perilaku yang sesuai dan diharapkan serta mengurangi/mengeliminir perilaku-perilaku yang

salah pada individu autistik. Pendekatan ini juga menekankan pada pendidikan khusus yang

difokuskan pada pengembangan kemampuan akademik dan keahlian-keahlian yang berhubungan

dengan pendidikan. Saat ini ada beberapa sistem behavioral yang diterapkan pada individu

dengan kebutuhan khusus seperti autisme:

Operant Conditioning (konsep belajar operan). Pendekatan operan merupakan penerapan

prinsip-prinsip teori belajar secara langsung. Prinsip pemberian ganjaran dan hukuman: perilaku

yang positif akan mendapatkan konsekuensi positif (reward), sebaliknya perilaku negatif akan

mendapat konsekuensi negatif (punishment). Dengan demikian diharapkan inti dan tujuan utama

dari pendekatan ini yaitu mengembangkan dan meningkatkan perilaku positif, serta mengurangi

perilaku negatif yang tidak produktif.

Cognitive Learning (konsep belajar kognitif).Struktur pengajaran pada pendekatan ini

sedikit berbeda dengan konsep belajar operan. Fokusnya lebih kepada seberapa baik pemahaman

individu autistik terhadap apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pendekatan ini menggunakan

ganjaran dan hukuman untuk lebih menegaskan apa yang diharapkan lingkungan terhadap anak

autistik. Fokusnya adalah pada seberapa baik seorang penderita autistik dapat memahami

lingkungan disekitarnya dan apa yang diharapkan oleh lingkungan tersebut terhadap dirinya.

Latihan relaksasi merupakan bentuk lain dari pendekatan kognitif. Latihan ini difokuskan pada

kesadaran dengan menggunakan tarikan napas panjang, pelemasan otot-otot, dan perumpamaan

visual untuk menetralisir kegelisahan.

Social Learning (konsep belajar sosial). Ketidakmampuan dalam menjalin interaksi sosial

merupakan masalah utama dalam autisme, karena itu pendekatan ini menekankan pada

pentingnya pelatihan keterampilan sosial (social skills training). Teknik yang sering digunakan

dalam mengajarkan perilaku sosial positif antara lain: modelling (pemberian contoh), role

playing (permainan peran), dan rehearsal (latihan/pengulangan). Pendekatan belajar sosial

mengkaji perilaku dalam hal konteks sosial dan implikasinya dalam fungsi personal.

Salah satu bentuk modifikasi dari intervensi behavioral yang banyak di terapkan di pusat-pusat

terapi di Indonesia adalah teknik modifikasi tatalaksana perilaku oleh Ivar Lovaas. Terapi ini

menggunakan prinsip belajar-mengajar untuk mengajarkan sesuatu yang kurang atau tidak

dimiliki anak autis. Misalnya anak diajar berperhatian, meniru suara, menggunakan kata-kata,

bagaimana bermain. Hal yang secara alami bisa dilakukan anak-anak biasa, tetapi tidak dimiliki

anak penyandang autisme. Semua keterampilan yang ingin diajarkan kepada penyandang

autisme diberikan secara berulang-ulang dengan memberi imbalan bila anak memberi respons

yang baik. awalnya imbalan bisa berbentuk konkret seperti mainan, makanan atau minuman.

Tetapi sedikit demi sedikit imbalan atas keberhasilan anak itu diganti dengan imbalan sosial,

misalnya pujian, pelukan dan senyuman.

Bentuk-bentuk psikoterapi menggunakan pendekatan behavioral (behavior therapy) kepada

anak/individu dengan ASD, bersumber pada teori belajar, khususnya pengondisian operan

Skinner. Perspektif behaviorisme Skinner memandang individu sebagai organisme yang

perbendaharaan tingkah lakunya di peroleh melalui belajar.

Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku: responden dan operan (operant). Respons

(tingkah laku) selalu didahului oleh stimulus dan tingkah laku responden diperoleh melalui

belajar serta bisa dikondisikan. Skinner yakin kecenderungan organisme untuk mengulang

ataupun menghentikan tingkah lakunya di masa datang tergantung pada hasil atau konsekuensi

(pemerkuat/positive dan negative reinforcer) yang diperoleh oleh organisme/individu dari

tingkah lakunya tersebut. Para ahli teori belajar membagi pemerkuat (reinforcer) menjadi dua:

(1) pemerkuat primer (unconditioned reinforcer), adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat

memperkuat secara inheren tanpa melalui proses belajar seperti: makanan bagi yang lapar;

sedangkan (2) pemerkuat sekunder (pemerkuat sosial) merupakan hal, kejadian, atau objek

memperkuat respons melalui pengalaman pengondisian atau proses belajar pada organisme.

Meskipun menurut Skinner nilai pemerkuat sekunder belum tentu sama pada setiap orang,

namun pemerkuat sekunder memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian

tingkah laku.

Thorndike dan Watson memandang bahwa "organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau

psikologis; perilaku adalah hasil dari pengalaman; dan perilaku di gerakkan atau dimotivasi oleh

kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan". Behavioris melalui

beberapa eksperimen seperti: metode pelaziman klasik (classical conditioning), operant

conditioning, dan konsep belajar sosial (social learning) menyimpulkan bahwa manusia sangat

plastis sehingga dapat dengan mudah di bentuk oleh lingkungan.

Intervensi Biologis

Intervensi biologis mencakup pemberian obat dan vitamin kepada individu autistik. Pemberian

obat tidak telalu membantu bagi sebagian besar anak autistik. Secara farmakologis hanya sekitar

10-15% pengidap autisme yang cocok dan terbantu oleh pemberian obat-obatan dan vitamin.

Terapi Makanan

Terapi Diet pada Gangguan Autisme

Sampai saat ini belum ada obat atau diet khusus yang dapat memperbaiki struktur otak atau

jaringan syaraf yang kelihatannya mendasari gangguan autisme. Seperti diketahui gejala yang

timbul pada anak dengan gangguan autisme sangat bervariasi, oleh karena itu terapinya sangat

individual tergantung keadaan dan gejala yang timbul, tidak bisa diseragamkan. Namun akan

sulit sekali membuat pedoman diet yang sifatnya sangat individual. Perlu diperhatikan bahwa

anak dengan gangguan autisme umumnya sangat alergi terhadap beberapa makanan. Pengalaman

dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat

makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi selanjutnya. Terapi diet disesuaikan dengan

gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa contoh diet anak autisme.

1) Diet tanpa gluten dan tanpa kasein

Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme. Pada umumnya,

orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan

minuman yang mengandung gluten dan kasein.

Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput” seperti

gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada

tepung terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang sehat,

mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu

timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang

Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten. Beberapa contoh resep masakan yang

terdapat pada situs Autis.info ini diutamakan pada menu diet tanpa gluten dan tanpa kasein. Bila

anak ternyata ada gangguan lain, maka tinggal menyesuaikan resep masakan tersebut dengan

mengganti bahan makanan yang dianjurkan. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet

khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan

menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat

diberi makanan seperti sebelumnya.

Makanan yang dihindari adalah :

Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang dibuat dari terigu,

havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni,

spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.

Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan saus lainnya,

serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan campuran. Jadi, perlu

hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada kemasannya.

Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, mentega, yogurt,

dan makanan yang menggunakan campuran susu.

Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget, hotdog, sarden,

daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang

alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi. Buah dan sayur

yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.

Makanan yang dianjurkan adalah :

Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya beras, singkong,

ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun, soun, dan sebagainya.

Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu kedelai, daging,

dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang, cumi, tahu, kacang hijau, kacang

merah, kacang tolo, kacang mede, kacang kapri dan kacang-kacangan lainnya.

Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat, wortel, timun,

dan sebagainya. Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk,

semangka, dan sebagainya.

2) Diet anti-yeast/ragi/jamur

Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti telah dijelaskan

sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula, maka makanan yang

diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.

Makanan yang perlu dihindari adalah :

Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang menggunakan gula dan yeast.

Semua jenis keju. Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet, dan

lain-lain.

Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard, monosodium glutamate,

macam-macam kecap, macam-macam acar (timun, bawang, zaitun) atau makanan yang

menggunakan cuka, mayonnaise, atau salad dressing.

Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur merang, dan lain-lain.

Buah yang dikeringkan misalnya kismis, aprokot, kurma, pisang, prune, dan lain-lain.

Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua minuman yang manis.

Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh dengan cepat pada sisa

makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari es.

Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk mencobanya

biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti dapat dikonsumsi.

Makanan yang dianjurkan adalah :

Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi, singkong, jagung, dan tales.

Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat dari tepaung yang bukan tepung terigu.

Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut lain yang segar.

Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete, kacang kedelai, kacang

hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun, kacang tanah tidak dianjurkan karena sering

berjamur.

Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli, kol, kembang kol, bit,

wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi, tomat, buncis, kacang panjang, kangkung, tomat,

dan lain-lain. Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.

3) Diet untuk alergi dan inteloransi makanan

Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering menimbulkan alergi adalah

ikan, udang, telur, susu, cokelat, gandum/terigu, dan bias lebih banyak lagi. Cara mengatur

makanan untuk anak alergi dan intoleransi makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber

penyebabnya. Makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan.

Misalnya, jika anak alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus

dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur

anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

Cara mengatur makanan secara umum

Berikan makanan seimbang untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang

dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.

Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat

digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding

gula/sukrosa.

Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji

bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive. Bila perlu menambah

konsumsi lemak, makanan dapat digoreng.

Cukup mengonsumsi serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar.

Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.

Pilih makanan yang tidak menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat pewarna, zat

pengawet). Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan pemberian

suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium).

Membaca label makanan untuk mengetahui komposisi makanan secara lengkap dan tanggal

kadaluwarsanya. Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak

akan bosan. Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan sayuran

segar.

10 Jenis Terapi Autisme

Akhir-akhir ini bermunculan berbagai cara / obat / suplemen yang ditawarkan dengan iming-

iming bisa menyembuhkan autisme. Kadang-kadang secara gencar dipromosikan oleh si penjual,

ada pula cara-cara mengiklankan diri di televisi / radio / tulisan-tulisan.

Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai

kelinci percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh , dan setelah mengeluarkan banyak

uang menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.

Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan memang

bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu

gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan

waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak

membutuhkan jenis terapi yang berbeda.

1. Applied Behavioral Analysis (ABA)

ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus

untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak

dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur

kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

2. Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya

hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan

bicaranya sangat kurang.

Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai

bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.

3. Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.

Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang

benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain

sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot

halusnya dengan benar.

4. Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik

mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.

Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya

kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk

menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5. Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan

interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2

arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu

dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan

mengajari cara2nya.

6. Terapi Bermain

Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar

bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi

social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

7. Terapi Perilaku.

Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka,

mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap

suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku

terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan

merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki

perilakunya,

8. Terapi Perkembangan

Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi

perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya,

kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan

berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih

spesifik.

9. Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah

yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-

gambar, misalnya dengan metode PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa

video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.

10. Terapi Biomedik

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat

Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih

melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan

metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini

diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang

ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak

mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari

dalam tubuh sendiri (biomedis).