Upload
rinieee
View
74
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu kesehatan kerja merupakan ilmu yang mendalami hubungan antara
efek lingkungan kerja dengan kesehatan pekerja serta hubungan antara status
kesehatan pekerja dengan kemampuannya untuk melakukan tugas yang harus
dikerjakannya dengan tujuan untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan
daripada mengobatinya. Pelaksanaannya diterapkan melalui Undang-Undang no.
1 tahun 1970 yang menjelaskan tentang keselamatan kerja.1
Salah satu faktor fisika dilingkungan kerja yang dapat menyebabkan
penyakit akibat kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat
mengakibatkan stress, menyebabkan cedera yang tidak disengaja, mengganggu
konsentrasi, dan gangguan pendengaran hingga terjadinya kehilangan
pendengaran atau tuli yang menetap. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise
Induced Hearing Loss) adalah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh
bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bising dilingkungan kerja. Banyak hal yang mempermudah
sesorang menjadi tuli akibat terpajan bising antara lain intensitas bising yang lebih
tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, dan mendapatkan
pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga (aminoglycoside, diuretika,
kemoterapi, salisilat, kina dan derivat kina dan vancomycine dan erytromycine). 1,2,3
Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising, biasanya sembuh
setelah istirahat beberapa jam (1 – 2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu
yang cukup lama (10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel sel rambut organ
corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi
mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat
mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan
2
degeneratif pada struktur sel sel rambut organ corti. Akibatnya terjadi kehilangan
pendengaran yang permanen. tht andrina
Berdasarkan Kepmenaker 51/MEN/1999, tentang nilai ambang batas fisika
di tempat kerja disebutkan bahwa Nilai Ambang Batas terhadap kebisingan yang
dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari adalah 85 dB untuk waktu tidak lebih dari
8 jam perhari.5
Tedapat peningkatan kebisingan yang bermakna ditempat kerja dengan
adanya industrialisasi. Gangguan pendengaran, terutama kehilangan pendengaran
karena bising (Noise Induced Hearing Loss, NIHL), telah menjadi masalah umum
di sejumlah besar tempat kerja. Tempat kerja yang memiliki masalah kebisingan
memiliki sifat yang berbeda beda meliputi pabrik tekstil, pabrik baja, pabrik
minyak palem, pertambangan, lapangan udara, penggergajian, dan bahkan rumah
sakit.6
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada lesehatan kerja di
berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika
dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih. 7
Efek kebisingan suara pesawat terbang terhadap pendengaran dan jalur
pendengaran di teliti pada 112 pegawai bandara menggunakan audiometri dan
potensial listrik yang ditimbulkan pangkal otak menunjukkan pola NIHL yang
khas berupa cekungan pada frekuensi 3 atau 4 kHz dan tuli sedang pada frekuensi
6 – 8 kHz. Diantara pegawai ini, angka prevalensi tuli pada frakuensi tinggi secara
keseluruhan adalah 41,9 % dengan prevalensi tertinggi sebesar 65,2 % pada
pekerja bagian pemeliharaan yang terus menerus terpajang suara bising (Chen,
1992). 6
Pada penelitian ini penulis meneliti tentang hubungan masa kerja dan
penggunaan APD terhadap gangguan pendengaran pada pekerja ground handling
di Bandara Polonia Medan. Dari survei awal yang dilakukan oleh peneliti, kondisi
lingkungan kerja mempunyai intensitas kebisingan yang cukup tinggi. Jenis
3
kebisingannya termasuk kebisingan intermitten atau kebisingan terputus-putus.
Terdapat 2 shift kerja, yaitu shift pagi dan shift siang.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Hubungan Masa Kerja dan Penggunaan APD dengan Gangguan
Pendengaran pada Pekerja Ground Handling Bagian Lapangan di Bandara
Polonia Medan tahun 2013”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah : “ Adakah hubungan masa kerja dan penggunaan APD
dengan gangguan pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan di
Bandara Polonia Medan tahun 2013”.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan masa kerja dan penggunaan APD dengan
gangguan pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan di Bandara
Polonia Medan tahun 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan masa kerja terhadap gangguan pendengaran
pada pekerja ground handling di area lapangan terbang (apron) Bandara
Polonia Medan.
2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pekerja ground handling dalam
penggunaan alat pelindung diri terhadap gangguan pendengaran pekerja
ground handling Bandara Polonia Medan.
4
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan terutama mengenai risiko masa
waktu kerja terhadap pendengaran pekerja, sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan dan penanggulangan.
2. Masukan bagi pekerja untuk mengetahui risiko akibat dari kebisingan
terhadap pendengaran, sehingga pekerja lebih menyadari pentingnya
menggunakan alat pelindung diri.
3. Bagi peneliti bermanfaat sebagai sarana memperdalam ilmu pengetahuan.
4. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan lmu
pengetahuan dan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian
selanjutnya.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebisingan
2.1.1. Bunyi dan Sifatnya
Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel syaraf pendengar
dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber
bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau
penghantar lainnya. Adapun sifat bunyi ditentukan terutama oleh frekuensi dan
intensitasnya. Frekuensi bunyi yang penting adalah 250 Hz, 500 Hz, 1.000 Hz,
2.000 Hz, 4.000 Hz, 8.000 Hz, dengan perincian sebagai berikut:8
1. Frekuensi antara 20 Hz sampai 20.000 Hz adalah frekuensi yang dapat
ditangkap oleh indera pendengaran manusia.
2. Frekuensi 250 Hz sampai 300 Hz, frekuensi ini sangat penting karena
frekuensi ini manusia dapat melaksanakan komunikasi atau percakapan
dengan baik.
3. Frekuensi 4.000 Hz yaitu frekuensi yang paling peka ditangkap oleh
indera pendengaran manusia, biasanya ketulian akibat pemaparan
kebisingan terjadi pada frekuensi ini.
2.1.2 Definisi Kebisingan
Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki atau diinginkan yang
melebihi ambang batas pendengaran. Predikat tidak dikehendaki ini sebenarnya
tergantung ada pandangan subjektif masing-masing orang.. Suara yang
dikehendaki seseorang mungkin tidak disenangi atau dikehendaki oleh orang
lain.2,9
Dalam kesehatan kerja, bising diartikan suara yang dapat menurunkan
pendengaran baik secara kualitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun
secara kuantitatif (penyempitan spektrum pendengaran), berkaitan dengan faktor
6
intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Bising pada frekuensi antara 31,5 Hz
sampai 8000 Hz terutama penting karena efeknya terhadap pendengaran. Bising
pada frekuensi antara 300 sampai 3.000 Hz mengganggu percakapan harian. 6
Berdasarkan Kepmenaker No 51. tahun 1999, kebisingan adalah semua
suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan
atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan
pendengaran. 5
2.1.3. Jenis Kebisingan
Secara umum, jenis kebisingan dikelompokkan berdasarkan kontinuitas,
intensitas dan spectrum frekuensi suara antara lain:10
1. Steady state & Narrow band noise
Kebisingan yang terus-menerus dengan spectrum suara yang sempit
seperti suara mesin, kipas angin, dll.
2. Non-steady state & Narrow band noise
Kebisingan yang tidak terus menerus dengan spectrum suara yang sempit
seperti mesin gergaji, katup uap, dll.
3. Kebisingan intermiten
Kebisingan yang terjadi sewaktu-waktu dan terputus seperti suara pesawat
terbang, kereta api, dll.
4. Kebisingan impulsif
Kebisingan yang berintensitas tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan
pada alat pendengaran, seperti suara ledakan bom.
2.1.4. Frekuensi dan Intensitas Kebisingan
Frekuensi menjelaskan rata-rata getaran yang dihasilkan oleh perubahan
energi. Semakin cepat getara, semakin tinggi frekuensi gelombang bunyi yang
dihasilkan. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik yang disebut
‘Hertz (Hz)’ yaitu jumlah gelombang-gelombang yang sampai ditelinga setiap
7
detiknya. Pada umumnya suatu kebisingan terdiri atas campuran sejumlah
gelombang dari berbagai macam frekuensi. Frekuensi suara paling rendah yang
dapat didengar manusia adalah sekitar 20 Hz dan yang paling tinggi 18 kHz.
Sedangkan intensitas mengacu pada volume suara dan dinyatakan dalam ‘desibel’
(dB).1,2,9
Tabel 2.1. Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya
Intensitas (desibel) Sumber kebisingan
Kerusakan alat pendengar (batas dengar tertinggi)
Menyebabkan tuli Halilintar
Meriam
Mesin uap
Sangat hiruk Jalan hiruk pikuk
Perusahaan sangat gaduh
Peluit polisi
Kuat Kantor bising
Jalan pada umumnya
Radio
Perusahaan
Sedang Rumah gaduh
Kantor pada umumnya
Percakapan kuat
Radio perlahan
Tenang Rumah tenang
Kantor perorangan
Auditorium
Percakapan
Sangat tenang Suara daun
Berbisik
(batas dengar terendah)
Sumber: Suma’mur, 2009
120
100
80
110
90
70
60
50
40
30
20
10
0
8
Tabel 2.2. Tingkat kebisingan
Desibel (dB)
Ambang pendengaran
Kantor yang sunyi
Weker yang berbunyi pada jarak 1 meter
Ruangan mesin kapal
Mesin turbo jet pada jarak 25 meter
0
40
80
120
140
(Sumber: buku saku kesehatan kerja, 2005)
2.1.5. Nilai Ambang Batas
Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar
faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan
penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak
melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Kepmenaker No 51. tahun 1999).
Di Indonesia, Nilai Ambang batas (NAB) kebisingan adalah 85 dB yang
secara terus-menerus dinilai oleh Panitia Teknik Nasional NAB.10
WAKTU PEMAJANAN PERHARI INTENSITAS KEBISINGAN DALAM dB
JAM
MENIT
8
4
2
1
30
15
85
88
91
94
97
100
9
DETIK
7,5
3,75
1,88
0,94
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11
103
106
109
112
115
118
121
124
127
130
133
136
139
Tabel 2.3. Nilai Ambang Batas Kebisingan
2.1.6. Telinga Manusia
Menurut anatomi dan fungsi, telinga dapat dibagi menjadi telinga luar,
telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi menangkap bunyi,
menghantarkannya, dan memperkuat kira-kira 15 dB pada sekitar 2,5 kHz dan
menentukan arah datangnya bunyi. Telinga tengah mengubah getaran –suara
menjadi gelombang cairan. Kemudian telinga dalam mengubah getaran cairan
menjadi rangsang syaraf. 11
1. Telinga bagian luar
(Sumber: Kepmenaker No. 51,1999)
10
Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga (meatus akustikus
eksternus), dan selaput gendang telinga (membrane timpani) yang merupakan
dinding pemisah antara liang telinga dengan telinga tengah. Bagian daun
telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga
dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks pada
telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah
liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang
dilapisi kulit tipis. 6,11
2. Telinga bagian tengah
Bagian ini merupakan rongga yang berisi udara untuk menjaga
tekanan udara agar seimbang. Di dalamnya terdapat saluran Eustachio yang
menghubungkan telinga tengah dengan faring. Rongga telinga tengah
berhubungan dengan telinga luar melalui membran timpani. Hubungan telinga
tengah dengan bagian telinga dalam melalui jendela oval dan jendela bundar
yang keduanya dilapisi dengan membran yang transparan.
Selain itu terdapat pula tiga tulang pendengaran yang tersusun seperti
rantai yang menghubungkan gendang telinga dengan jendela oval. Ketiga
tulang tersebut adalah tulang martil (maleus) menempel pada gendang telinga
dan tulang landasan (inkus). Kedua tulang ini terikat erat oleh ligamentum
sehingga mereka bergerak sebagai satu tulang. Tulang yang ketiga adalah
tulang sanggurdi (stapes) yang berhubungan dengan jendela oval. Ketiga
Gambar 2.1. Anatomi telinga
11
tulang tersebut dapat juga disebut oksikula. Antara tulang landasan dan tulang
sanggurdi terdapat sendi yang memungkinkan gerakan bebas.
Fungsi rangkaian tulang dengar adalah untuk mengirimkan getaran
suara dari gendang telinga (membran timpani) menyeberangi rongga telinga
tengah ke jendela oval. 3,6
3. Telinga bagian dalam
Juga disebut cochlea dan berbentuk rumah siput. Cochlea
mengandung cairan yang didalamnya terdapat membrane basiler dan organ
corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran.
Getaran dari jendela oval akan diteruskan oleh cairan didalam cochlea dan
mengantarkannya ke membran basiler. Getaran ini merupakan impuls bagi
organ corti yang selanjutnya akan dihantarkan ke otak melalui syaraf
pendengaran (nervus cochlearis). 6,11
Cara Kerja Indra Pendengaran :
Gelombang bunyi yang masuk ke dalam telinga luar menggetarkan
gendang telinga. Getaran ini akan diteruskan oleh ketiga tulang dengar ke
jendela oval. Getaran Struktur koklea pada jendela oval diteruskan ke cairan
limfa yang ada di dalam saluran vestibulum. Getaran cairan tadi akan
menggerakkan membran Reissmer dan menggetarkan cairan limfa dalam
saluran tengah.
Perpindahan getaran cairan limfa di dalam saluran tengah
menggerakkan membran basher yang dengan sendirinya akan menggetarkan
cairan dalam saluran timpani. Perpindahan ini menyebabkan melebarnya
membran pada jendela bundar. Getaran dengan frekuensi tertentu akan
menggetarkan selaput-selaput basiler, yang akan menggerakkan sel-sel rambut
ke atas dan ke bawah. Ketika rambut-rambut sel menyentuh membran tektorial,
terjadilah rangsangan (impuls). Getaran membran tektorial dan membran
12
basiler akan menekan sel sensori pada organ Korti dan kemudian menghasilkan
impuls yang akan dikirim ke pusat pendengar di dalam otak melalui saraf
pendengaran. 6
2.1.7. Gangguan Akibat Kebisingan
Gangguan akibat kebisingan pada pekerja secara umum dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
2.1.7.1. Gangguan Kebisingan Auditori
1. Trauma Akustik.12
Melalui pajanan terhadap bising akut atau berkepanjangan,
kerusakan dapat terjadi di telinga dalam pada sel-sel sensorik melalui
proses metabolic (kekurangan oksigen) atau kerusakan mekanis langsung.
Pada kurva ambang pendengaran, biasanya terdapat penurunan pada 4 kHz
serta gangguan pendengaran untuk nada tinggi.
a. Trauma akibat letupan bunyi keras mendadak: pajanan akut terhadap
intensitas bunyi diatas 140 dB selama kurun waktu dibawah 2
milidetik. Pajanan ini menyebabkan tuli sesaat yang disertai nyeri
menusuk di telinga, dan terjadi perbaikan dalam hari-hari pertama
setelah kejadian.
b. Trauma akibat bunyi ledakan: pajanan terjadi pada intensitas bunyi
diatas 140 dB dalam kurun waktu lebih lama dari 2 milidetik.
Membran timpani mengalami kerobekan, dan bahkan telingan tengah
dengan osikulanya dapat ikut terkena.
c. Trauma bising kronik: terjadi akibat pajanan terhadap bising
berkepanjangan (di tempat kerja) dengan intensitas di atas 85-90 dB.
d. Trauma bising akut : pajanan bising yang sangat keras dan mendadak.
Misalnya konser music rock yang diperparah dengan kelainan posisi
vertebra servikal dengan iskemia transien.
13
2. Temporary Treshold Shift (TTS)
Adalah efek jangka pendek dari pemaparan bising, berupa kenaikan
ambang sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan
terhadap bising akan kembali normal. Faktor yang mempengaruhi
terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama waktu
pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan
kepekaan individual.6
3. Permanent Treshold Shift (PTS)
Biasanya terjadi akibat waktu paparan yang lama (kronis).
Biasanya PTS dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 13
a. Tingginya level suara
b. Lamanya paparan
c. Spektrum suara
d. Temporal pattern, bila kebisingan yang berkelanjutan maka
kemungkinan terkena TTS akan semakin besar
e. Pengaruh obat-obatan.
2.1.7.2. Gangguan Kebisingan Non Auditori. 6
Meningkatnya kadar kebisingan juga menimbulkan reaksi stress dengan
variasi detak jantung, tekanan darah, pernapasan, gula darah, dan kadar lemak
darah. Bertambahnya motilitas saluran pencernaan dan tukak lambung juga
dilaporkan. Penelitian mengemukakan bahwa tingkat kebisingan di atas 55 dBA
menyebabkan timbulnya rasa terganggu maupun berkurangnya efisiensi.
2.1.8. Pengukuran Kebisingan
Maksud pengukuran kebisingan adalah: 8
a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di
perusahaan atau dimana saja
14
b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi
intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan
dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau
perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam
kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.
Pemilihan alat ukur kebisingan ditentukan oleh jenis kebisingan yang akan
diukur. Macam-macam alat pengukur kebisingan: 8
1. Sound level meter. Alat ini merupakan alat utama dalam pengukuran
kebisingan. Alat ini mengukur kebisingan diantara 30-130 dB dan dari
frekuensi 20-20.000 Hz.
2. Narrow band analyzer (alat analisis spektrum tipis) alat ini dipakai untuk
menganalisis kebisingan lebih lanjut.
3. Impact noise analyzer alat ini dipakai untuk kebisingan impulsif. Penggunaan
alat ini dibantu suatu alat perekam suara yang mampu mencatat frekuensi dari
20-20.000 Hz. Alat ini harus mempunyai sifat perbandingan antara sinyal
terhadap kebisingan yang tinggi, dan bekerjanya perekaman berlangsung
dengan kecepatan yang menetap.
4. Personal noise dose meter alat ini digunakan untuk mengukur dosis
kebisingan seluruh waktu perseorangan. Alat ini menunjukkan dosis
kumulatif paparan seorang tenga kerja dalam seluruh waktu kerjanya.
2.1.9. Pengendalian kebisingan
Kebisingan dapat dikendalikan dengan: 8
a. Pengurangan kebisingan pada sumbernya
Pengurangan kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan misalnya dengan
menempatkan peredam pada sumber getaran, tetapi umumnya hal ini
dilakukan dengan melakukan riset dan membuat perencanaan mesin atau
peralatan kerja yang baru. Selain unpaya menurunkan kebisingan pada mesin
atau peralatan kerja, juga instalasi mesin atau peralatan kerja pada kedudukan
15
yang meredam getaran ke lantai atau dinding sangat membantu menurunkan
tingkat kebisingan ditempat kerja.
b. Penempatan penghalang pada jalan transmisi
Isolasi tenaga kerja atau mesin atau unit operasi adalah upaya segera dan baik
dalam upaya mengurangi kebisingan. Penutup atau pintu keruang isolasi
harus mempunyai bobot yang cukup berat, menutup pas betul lobang yang
ditutupnya dan lapisan dalamnya terbuat dari bahan yang menyerap suara
agar tidak terjadi getaran yang lebih hebat sehingga merupakan sumber
kebisingan.
c. Proteksi dengan sumbat atau penutup telinga
Perlindungan pendengaran diselenggarakan untuk melengkapi tindakan
pengendalian kebisingan. Tujuan utama pemakaian pelindung pendengaran
adalah secara ekonomis mengurangi pajanan yang berbahaya hingga pada
tingkat aman bagi telinga pegawai untuk mencegah kehilangan pendengaran.
Alat pelindung pendengaran harus disediakan gratis bagi semua pekerja yang
terpajan bising di atas 85 dB. Pegawai harus dapat memilih pelindung
pendengaran dan diberi pelatihan mengenai cara pemakaian dan
pemeliharaannya. Pengepasan pelindung pendengaran yang sesuai adalah
penting karena terdapat variasi diameter dan bentuk kanal telinga. Jenis
pelindung pendengaran yang dipakai akan bergantung pada faktor pelemahan
(angka pengurangan bising) dan ciri spektrum lingkungan bising tempat
pegawai bekerja. 6
Ada 3 jenis alat pelindung pendengaran yaitu: 13
1. Sumbat telinga (ear plug), dapat mengurangi kebisingan 8 – 30 dB.
Biasanya digunakan untuk proteksi sampai dengan 100 dB.
Beberapa tipe dari sumbat telinga antara lain: Formable type,
Costum-molded type, Premolded type.
16
2. Tutup telinga (ear muff), dapat menurunkan kebisingan 25-40 dB.
Digunakan untuk proteksi sampai dengan 110 dB.
3. Helm (helmet), mengurangi kebisingan 40-50 dB.
Sumbat telinga biasanya dipakai apabila: 8
i. Sumbat telinga benar-benar diperlukan, yaitu adanya kebisingan
lebih dari 100 dB (A)
ii. Tenaga kerja dapat membiasakan diri untuk memakainya, yang
biasanya pemakaiannya dicoba dalam periode waktu 3-4 minggu
pertama.
Problematik utama pemakaian alat proteksi pelindung pendengaran adalah
mendidik tenaga kerja agar konsisten patuh menggunakannya.
d. Pelaksanaan waktu paparan bagi intensitas di atas NAB
Untuk intensitas kebisingan yang melebihi NAB nya telah ada standar waktu
paparan yang diperkenankan sehingga masalahnya adalah pelaksanaan dari
pengaturan waktu kerja sehingga memenuhi ketentuan tersebut.
2.2. Gangguan Pendengaran
Manusia yang mengalami gangguan pendengaran (hearing loss) umumnya
mengalami kesulitan (ringan sampai berat) untuk membedakan kata-kata yang
memiliki kemiripan atau mengandung konsonan-konsonan pada rentang frekuensi
agak tinggi, seperti konsonan S, F, SH, CH, H dan C lembut. 3
Tingkat kemampuan pendengaran dibagi dalam beberapa tingkatan seperti
pada tabel berikut: 3
Tabel 2.4. Derajat Ketulian menurut ISO
Rentang batas kekuatan suara yang dapat didengar
Klasifikasi tingkat keparahan gangguan sistem pendengaran
-20 dB – 25 dB Rentang normal
17
26 dB – 40 dB Tuli ringan 41 dB – 55 dB Tuli sedang 56 dB – 70 dB Tuli sedang berat 71 dB – 90 dB Tuli berat
> 90 dB Tuli sangat berat (sumber: ISO)
2.2.1. Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup
keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja.
Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi
pada kedua telinga. Bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat
mengakibatkan kerusakan pada reseptor pada pendengaran corti di telinga dalam.
Yang sering mengalami kerusakan adalah alat corti untuk reseptor bunyi yang
berfrekuensi 3000 Hz – 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat corti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan
bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih
lama terpapar bising, dan mendapat pengobatan yang bersifat merusak terhadap
telinga seperti streptomisin, kanamisin, garamisin, kina, asetosal, dan lain-lain. 3
Patofisiologi
Meknisme yang mendasari NIHL diduga berupa adanya stres mekanis dan
metabolik pada organ sensorik auditorik bersamaan dengan kerusakan sel sensorik
atau bahkan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti di
dalam koklea. Kehilangan sel sensorik pada daerah yang sesuai dengan frekuensi
yang terlibat adalah penyebab NIHL yang paling penting. Kepekaan terhadap
stres pada sel rambut luar ini berada dala, kisaran 0-50 dB. Biasanya dengan
18
terjadinya TTS, ada kerusakan bermakna pada sel rambut luar. Frekuensi yang
sangat tinggi lebih dari 8 kHz memengaruhi dasar koklea. 6
Gejala Klinis
Adapun gejala-gejala gangguan pendengaran akibat bising adalah
kurangnya pendengaran disertai telinga berdenging atau tidak. Bila sudah cukup
berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa, dan
bila sudah lebih berat percakapan yang keras sukar dimengerti.
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan:3
1. Reaksi adaptasi
Merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan
intensitas 70 dB atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis
pada saraf telinga yang terpajan bising.
2. Peningkatan ambang dengar sementara.
Merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat
pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat
terjadi dalam beberapa menit atau jam, jarang terjadi pemulihan dalam
satuan hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap.
Merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap
akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat
atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan berbagai struktur
koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis
dan lain-lain.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 3,6
a. Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam
jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih.
19
b. Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemui kelainan.
c. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil rinne positif,
weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik, dan
scwabach memendek. Kesan jenis ketulian adalah tuli sensorineural.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep
Hubungan gangguan
pendengaran pada pekerja
berdasarkan:
a. Masa kerja
> 2 tahun
≤ 2 tahun
b. Penggunaan APD
Ya/Tidak
Gangguan Pendengaran
1. Tidak ada gangguan
pendengaran
2. Tuli sensorineural
20
Variabel Bebas Variabel Terikat
3. 2. Definisi Operasional
Variabel Definisi operasionalAlat dan cara pengukuran
Hasil pengukuran
Skala pengukuran
Masa kerja
Lamanya waktu bekerja
yang dihitung dari awal
masuk sebagai pegawai
hingga sekarang yang
ditentukan dalam
hitungan tahun
Angket a. > 2 tahun
b. ≤ 2 tahun
Nominal
Penggunaan APD
penggunaan alat
pelindung diri berupa
ear muff atau ear plug
untuk mencegah
terjadinya gangguan
kesehatan khususnya
gangguan pendengaran
akibat kerja.
Angket a. Ya
b. Tidak
Nominal
Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran
yang disebabkan akibat
terpajan oleh bising
yang cukup keras dalam
jangka waktu yang
cukup lama dan
biasanya diakibatkan
oleh bising lingkungan
Angket a. Tidak ada gangguan pendengaran
b. Tuli sensorineural
Nominal
21
kerja.
3.3. Hipotesis Penelitian
Ho : Tidak ada hubungan masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja
ground handling bagian lapangan di Bandara Polonia Medan tahun 2013
Ho : Tidak ada hubungan penggunaan APD gangguan pendengaran pekerja
ground handling bagian lapangan di Bandara Polonia Medan tahun 2013
3. 4. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara masa kerja dan penggunaan alat pelindung diri dengan gangguan
pendengaran pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan
tahun 2013. Desain penelitian yang dipakai adalah cross sectional.
3. 5. Lokasi dan Waktu Penelitian
3. 5. 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bandara Polonia Medan tepatnya pada pekerja
ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan.
Adapun alasan dilakukan penelitian di tempat tersebut yaitu :
1. Adanya intensitas kebisingan yang tinggi pada tempat tersebut.
2. Adanya dukungan dan kemudahan dari pihak bandara untuk melakukan
penelitian di tempat tersebut
22
3. 5. 2. Waktu Penelitian
Penelitan ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013.
3. 6. Populasi dan Sampel
3. 6. 1 Populasi
Populasi adalah seluruh tenaga kerja ground handling bagian lapangan
Bandara Polonia Medan mencakup porter, operator, operation, dan AVSEC
sebanyak 51 orang.
3. 6. 2. Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil secara total sampling
yaitu seluruh populasi, yaitu seluruh tenaga kerja ground handling bagian
lapangan Bandara Polonia Medan.
3. 7. Metode Pengumpulan Data
3. 7. 1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan angket dan
dengan melakukan tes pendengaran menggunakan garpu tala 512 Hz.
3. 7. 2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari bagian engineering dan bagian
kesekretariatan PT. Jasa Angkasa Semesta Bandara Polonia Medan
23
3. 8. Aspek Pengukuran
Gangguan pendengaran diukur dengan tes pendengaran menggunakan
garpu tala 512 Hz. Tes pendengaran yang dilakukan adalah tes Rinne, tes Weber
dan tes Scwabach.
Adapun cara pengukurannya adalah:
1. Tes Rinne
Penala digetarkan, tangkai diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak
terdengar penala di pegang didepan telinga kira kira 2,5 cm. Bila masih
terdengar di sebut rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut rinne
negatif (-)
2. Tes Weber
Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala
(vertex, dahi, panggal hidung, ditengah tengah gigi seri atau di dagu).
Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
waber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat di bedakan kearah
telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada
lateralisasi.
3. Tes Schwabach
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi, kemudian tangkai penala segera di
pindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira kira sama sama mendengarnya disebut dengan schwabach
sama dengan pemeriksa. 3
Tabel 3.1. Interpretasi Diagnosa Tes Rinne, Tes Weber dam Tes Schwabach. 3
24
Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosa
PositifTidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa
Normal
NegatifLateralisasi ke telinga yang sakit
Memanjang Tuli Konduktif
PositifLateralisasi ke telinga yang sehat
MemendekTuli Sensorineural
3. 9. Pengolahan dan Analisa Data
3. 9. 1. Pengolahan Data
Pengolahan data menggunakan program komputer melalui tahap – tahap
editing, coding, processing (data entry) dan cleaning dan disajikan dalam bentuk
tabel.
1. Editing
Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan
penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah
merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
kuesioner tersebut.
2. Coding
Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan
peng”kodean”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka atau bilangan.
3. Processing ( Data Entry )
Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam
bentuk kode dimasukkan ke dalam program atau software komputer.
Dalam penelitian ini digunakan program SPSS versi 18.0
4. Pembersihan Data ( Cleaning )
Merupakan pengecekan kembali data yang sudah di entry , apakah ada
kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut mungkin terjadi pada saat
meng’entry’ ke komputer. 13
3. 9. 2. Analisa Data
25
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan : 13
1. Analisa Univariat
Menganalisa data dari variable-variabel yang diperoleh dan
menggambarkannya dengan statistik deskriptif yang disajikan pada tabel
distribusi frekuensi.
2. Analisa Bivariat
Mendapatkan keadaan hubungan antara dua variabel yang diteliti
berdasarkan uji chi-square menggunakan Statistical Product and Service
Solutions (SPSS) 18.00 for window.
3. Rasio Prevalens
Perbandingan antara jumlah subjek dengan penyakit pada satu saat dengan
seluruh subjek yang ada. Rasio prevalens dihitung dengan menggunakan
tabel 2 x 2 yang selanjutnya akan dijelaskan pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2 Tabel Pengamatan Cross Sectional
Ya Tidak Jumlah
Ya a B a + b
Tidak c D c + d
Jumlah a + c b + d a + b + c + d
Keterangan:
a = subjek dengan faktor resiko yang mengalami efek
b = subjek dengan faktor resiko yang tidak mengalami efek
c = subjek tanpa faktor resiko yang mengalami efek
d = subjek tanpa faktor resiko yang tidak mengalami efek
Uji
Efek
26
Rasio prevalens dihitung dengan membagi prevalens efek pada kelompok
dengan faktor resiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa faktor resiko.
RP =
3. Pengujian hipotesis
4. Penafsiran dan penyimpulan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Perusahaan
PT Jasa Angkasa Semesta Tbk. didirikan pada tahun 1984 sebagai penyedia
layanan ground handling di bawah merek JAS Layanan Bandara. Perusahaan ini
mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1985 di Bandara Internasional
Soekarno Hatta di Jakarta melayani Cathay Pacific, Malaysia Airlines, Lufthansa
dan Singapore Airlines sebagai pelanggan pertama. Pada tahun 2000 perusahaan
ini mulai menangani kargo dan bisnis pergudangan setelah PT Cardig Air
menyerahkan bisnisnya ke JAS.
27
JAS telah didaftarkan di Bursa Efek Surabaya (BES) sehingga menjadi
perusahaan ground handling pertama di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek
pada tahun 2004, JAS bekerja sama dengan Singapore Airport Terminal Services
(SATS).
Pada saat lebih ini PT. JAS memiliki lebih dari 1.700 karyawan, JAS Airport
Services telah berkembang dan kini melayani lebih dari 30 maskapai penerbangan
internasional dan domestik di 10 bandara di Indonesia.
4.2. Ruang Lingkup Batas Pekerjaan Ground Handling
Ruang lingkup batas pekerjaan ground handling yaitu pada fase atau tahap
Pre Flight dan Post Flight, yaitu penanganan penumpang dan pesawat selama
berada di bandara. Secara teknis operasional, aktivitas ground handling dimulai
pada saat pesawat taxi (parking stand), mesin pesawat sudah dimatikan, roda
pesawat sudah diganjal (block on) dan pintu pesawat sudah dibuka (open the
door) dan para penumpang sudah dipersilakan untuk turun atau keluar dari
pesawat, maka pada saat itu para staf darat sudah memiliki kewenangan untuk
mengambil alih pekerjaan dari Pilot In Command (PIC) beserta cabin crewnya.
4.3. Jumlah Pekerja Ground Handling Bandara Polonia Medan
Tabel 4.1. Jumlah Pekerja Ground Handling Bandara Polonia Medan Tahun 2013
NO POSISI RUANG LINGKUP KERJA JUMLAH
1. Terminal
Non – Lapangan
15
2. Maintenance 23. Cargo Staff 4
4. Porter
Lapangan
37
5. Operator 5
6. Operation 6
7. Avsec 3
28
Sumber : Bandara Polonia Medan
Catatan:
1. Operator : Tenaga kerja yang bertugas mengoperasikan GSE
(Ground Spot Equipment)
2. Porter : Tenaga kerja yang bertugas untuk memasukkan /
mengeluarkan barang dari pesawat.
3. Operation : Tenaga kerja yang bertugas mengatur pesawat pada saat
parkir.
4. AVSEC : Tenaga kerja yang bertugas mengawasi kerja operator,
porter, dan operation.
4.4. Jam Kerja
Jam kerja yang berlaku bagi pekerja ground handling bagian lapangan
Bandara Polonia Medan terbagi atas dua shift.
1. Shift pagi ( pukul 05.00 – 14.00 WIB )
2. Shift siang (pukul 14.00 – 23.00 WIB )
Diberikan waktu istirahat 1 jam untuk tiap shift kerja. Waktu lembur
tergantung dari tertunda atau tidaknya penerbangan dari suatu maskapai.
4.5. Analisa Univariat
4.5.1. Umur Sampel
Tabel 4.2. Distribusi Sampel Menurut Umur Tenaga Kerja Ground Handling
Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
No Umur ( Tahun ) Jumlah Persen1. 18-32 37 orang 72,5 %2. 33-46 14 orang 27,5 %Total 51 orang 100 %
Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut umur yang terbanyak
pada kelompok 18-32 tahun tahun sebanyak 37 orang (72,5%).
29
4.5.2. Masa Kerja Sampel
Tabel 4.3. Distribusi Sampel Menurut Masa Kerja Tenaga Kerja Ground
Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
No Masa Kerja ( Tahun ) Jumlah Persen1. > 2 tahun 18 orang 35,3 %2. ≤ 2 tahun 33 orang 64,7 %Total 51 orang 100 %
Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut masa kerja yang
terbanyak pada kelompok ≤ 2 tahun sebanyak 33 orang (64,7%).
4.5.3. Lama Kerja Sampel
Tabel 4.4. Distribusi Sampel Menurut Lama Kerja Tenaga Kerja Ground
Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
No. Lama Kerja (Jam/hari) Jumlah Persen1. > 8 jam/hari 22 orang 43,1 %2. ≤ 8 jam/hari 29 orang 56,9 %Total 51 orang 100 %
Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut lama kerja yang
terbanyak pada kelompok ≤ 8 jam/hari sebanyak 29 orang (56,9 %).
4.5.4. Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Tabel 4.5. Distribusi sampel menurut pemakaian alat pelindung Telinga Tenaga
Kerja Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
NoPenggunaan Alat Pelindung
TelingaJumlah Persen
1. Ya 50 orang 98,0 %2. Tidak 1 orang 2,0 %Total 51 orang 100 %
30
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar sampel memakai alat
pelindung telinga saat bekerja yaitu sebanyak 50 orang (98,0%).
Pekerja juga diberikan alat pelindung diri berupa safety shoes yaitu sepatu yang
dilindungi besi pada bagian ujung kaki yang berguna untuuk melindungi kaki dari
terjatuhnya benda-benda berat.
4.5.5. Gangguan Pendengaran
Tabel 4.6. Distribusi sampel menurut Gangguan Pendengaran Tenaga Kerja
Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
No. Gangguan PendengaranTelinga Kanan Telinga Kiri
N % N %
1. Tidak ada gangguan (Normal) 42 93 % 44 98 %2. Tuli Sensorineural 3 7 % 1 2 %Jumlah 45 100 % 45 100 %
Dari tabel diatas dapat dilihat untuk telinga kanan sampel yang
pendengarannya normal sebanyak 42 orang (93 %), tuli sensorineural sebanyak 3
orang (7 %). Untuk telinga kiri sampel yang pendengarannya normal sebanyak 44
orang (98%), tuli sensorineural sebanyak 1 orang (2%).
4.6. Analisa Bivariat
4.6.1. Hubungan Masa Kerja (Tahun) dengan Gangguan Pendengaran
Tabel 4.7. Hubungan Masa Kerja (Tahun) dengan Gangguan Pendengaran pada
Pekerja Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
Masa Kerja
(Tahun)
Gangguan Pendengaran
TotalYa Tidak
N % N %
> 2 tahun 1 25,0% 17 36,2% 18
≤ 2 tahun 3 75,0% 30 63,8% 33
31
Total 4 100% 47 100% 51
Dari tabel di atas didapatkan pekerja ground handling yang bekerja > 2
tahun mengalami gangguan pendengaran sebanyak 1 orang (25%) dan yang
bekerja ≤ 2 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 3 orang
(75%). Pekerja ground handling yang bekerja > 2 tahun yang tidak mengalami
gangguan pendengaran sebanyak 17 orang (36,2%) dan yang bekerja ≤ 2 tahun
yang tidak mengalami gangguan pendengaran sebanyak 30 orang (63,8%).
Rasio prevalens yang didapatkan bernilai 0,62 dan nilai interval
kepercayaan (confidence interval) 95% rasio prevalensi tersebut berada diantara
0,057 dan 6,107. Maka, Masa kerja (tahun) belum dapat dikatakan bermakna
sebagai faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja
ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan.
Selanjutnya, hasil uji chi-square antara masa waktu kerja dengan
terjadinya gangguan pendengaran memperlihatkan bahwa nilai X2-hitung = 0,201
dan nilai sig-p= 0,654. Jika dibandingkan dengan nilai X2-tabel = 3,481 (yang
diperoleh dari daftar nilai kritis uji chi-square untuk df=1) dan nilai sig-α = 0,05,
terbukti bahwa nilai X2hitung (0,201) < X2-tabel (3,481) dan nilai sig-p (0,654) >
sig-α (0,05). Hasil analisis ini menunjukkan Ho diterima yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara lama waktu kerja dengan terjadinya gangguan
pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia
Medan.
4.6.2. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Pendengaran
Tabel 4.8. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Pendengaran pada
Pekerja Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013
Penggunaan APD
Gangguan Pendengaran
TotalYa Tidak
N % N %
32
Ya 4 100% 46 97,9% 50
Tidak 0 0% 1 2,1% 1
Total 4 100% 47 100% 51
Dari tabel di atas didapatkan pekerja yang menggunakan APD yang
mengalami gangguan pendengaran sebanyak 4 orang (100%) dan yang tidak
mengalami gangguan pendengaran sebanyak 46 orang (97,9%). Pekerja yang
tidak menggunakan APD yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 0
orang (0%) dan yang tidak mengalami gangguan pendengaran sebanyak 1 orang
(2,1%).
Dikarenakan terdapat satu sel yang bernilai 0, maka hubungan dan rasio
prevalensi untuk mengetahui faktor resiko antara penggunaan APD dengan
terjadinya gangguan pendengaran tidak dapat ditentukan.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Hubungan Masa kerja dengan gangguan pendengaran
Salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat
kerja adalah kebisingan. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced
Hearing Loss) adalah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh
bising dilingkungan kerja.1,2,3
33
Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising, biasanya sembuh
setelah istirahat beberapa jam (1 – 2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu
yang cukup lama (10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel sel rambut organ
corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi
mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat
mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan
degeneratif pada struktur sel sel rambut organ corti. Akibatnya terjadi kehilangan
pendengaran yang permanen. 4
Berdasarkan Kepmenaker 51/MEN/1999, tentang nilai ambang batas fisika
di tempat kerja disebutkan bahwa Nilai Ambang Batas terhadap kebisingan yang
dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari adalah 85 dB untuk waktu tidak lebih dari
8 jam perhari. 5
Berdasarkan penelitian M. Chairan (2008) di Bandara Ahmad Yani
Semarang, mendapatkan pengaruh kebisingan terhadap kesehatan umumnya
kurang pendengaran presentasinya 60% dan tidak dilengkapi ear plug
presentasinya 94% menyebabkan terganggunya kenyamanan kerja. 14
Dari tabel 4.7. Rasio prevalens yang didapatkan bernilai 0,62 dan nilai
interval kepercayaan (confidence interval) 95% rasio prevalensi tersebut berada
diantara 0,057 dan 6,107. Maka, Masa kerja (tahun) belum dapat dikatakan
bermakna sebagai faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran pada
pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan.
Selanjutnya, hasil uji chi-square antara masa waktu kerja dengan
terjadinya gangguan pendengaran memperlihatkan bahwa nilai X2-hitung = 0,201
dan nilai sig-p= 0,654. Jika dibandingkan dengan nilai X2-tabel = 3,481 (yang
diperoleh dari daftar nilai kritis uji chi-square untuk df=1) dan nilai sig-α = 0,05,
terbukti bahwa nilai X2hitung (0,201) < X2-tabel (3,481) dan nilai sig-p (0,654) >
sig-α (0,05). Hasil analisis ini menunjukkan Ho diterima yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara lama waktu kerja dengan terjadinya gangguan
pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia
Medan.
34
Hal ini dapat dikarenakan tingginya kesadaran pekerja dalam penggunaan
APD. Seperti yang terlihat pada tabel 4.5. bahwa sebagian besar sampel memakai
alat pelindung telinga saat bekerja yaitu sebanyak 50 orang (98,0%) dari
keseluruhan jumlah sampel yang berjumlah 51 orang.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Dari 51 pekerja yang menjadi sampel, sebagian besar sampel yaitu
sebanyak 50 orang menggunakan alat pelindung diri saat bekerja. Alat
pelindung diri berupa ear muff dan ear plug yang telah disediakan oleh
perusahaan. Pekerja juga diberikan safety shoes untuk melindungi kaki
dari kecelekaan akibat terjatuhnya benda-benda berat.
35
2. Dari 51 pekerja yang menjadi sampel, sebagian besar sampel yaitu
sebanyak 47 orang tidak mengalami gangguan pendengaran. 4 orang
mengalami gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural.
3. Tidak didapatkan adanya hubungan masa kerja dengan gangguan
pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan Bandara
Polonia Medan.
6.2. Saran
1. Perusahaan agar selalu meningkatkan kesadaran pekerja akan pentingnya
menggunakan alat pelindung diri saat bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrington, J.M. Gill. F.S. Buku Saku Kesehatan Kerja Edisi 3. Jakarta.
EGC. 2005
2. McKenzie, J. Pinger, R.R. Kotecki, J.E. Kesehatan Masyarakat Suatu
Pengantar Edisi 4. Jakarta. EGC. 2003
36
3. Soepardi, E.A. Iskandar, N. Bashiruddin, J. Restuti, R. D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta. FK UI. 2007
4. Yunita, A. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Medan. Fakultas
Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan USU. 2003
5. Departemen Tenaga Kerja RI. Himpunan Peraturan Perundangan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja. Buletin Departemen Tenaga Kerja RI. 2005
6. Jeyaratnam, J. Koh, D. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta.
EGC.2010
7. Satriawan, R. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. RSUD Ahmad Yani.
Lampung. Metro. 2012
8. Suma’mur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta.
Sagung Seto. 2009
9. Notoatmodjo, S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. Rineka
Cipta. 2007
10. Chandra, B. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta. EGC.
2006
11. Den Broek. V, Feenstra. L. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung
dan Telinga Edisi 12. Jakarta. EGC. 2010
12. Nagel, P. Gurkov, R. Dasar – Dasar Ilmu THT Edisi 2. Jakarta. EGC. 2012
13. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
2010
14. Chairan, M. Kajian Kebisingan Akibat Aktifitas di Bandara (Studi Kasus
Bandara Ahmad Yani Semarang). [Tesis]. Semarang. Universitas
Diponegoro. 2008