Upload
lethuy
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia menjamin penduduknya untuk memeluk agamanya
masing-masing tanpa ada unsur paksaan dari pihak mana pun, karena Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Negara menjamin tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agama dapat ditafsirkan Negara Indonesia wajib
menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam, dan wajib menjalankan syari’at
agama lain bagi umat agama lain. Mayoritas penduduk Indonesia menganut ajaran
agama Islam, bagi pemeluk agama Islam wajib hukumnya mentaati syariat-syariat
Islam (hukum Islam). Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan
merupakan bagian agama Islam.2 Ajaran Islam yang mulanya dibawa oleh para
saudagar Arab dan lambat laun dapat diterima bangsa Indonesia, ajaran dan
syariat-syariatnya pun dilaksanakan terus menerus dari satu keturunan ke
keturunan selanjutnya yang seakan seperti suatu kebiasaan bagi penganut agama
Islam. Disebutkan seakan suatu kebiasaan karena Hukum (syariat) Islam bukan
hanya lahir dari suatu perbuatan manusia belaka. Hukum (syariat) Islam dasarnya
ditetapkan oleh Allah melalui wahyuNya yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad
sebagai RasulNya Melalui sunnah beliau.3 Hukum (syariat) Islam bersumber dari
Al-Qur’an, Hadits dan Sunnah Rasul serta Ijtihad.
Menurut para ahli, pada garis-garis besarnya Al Qur’an memuat soal-soal
yang berkenaan dengan (1)akidah, (2)syari’ah baik ibadah maupun muamallah,
(3)akhlak (4)kisah-kisah umat manusia di masa lalu, (5)berita-berita tentang
zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), (6) benih atau prinsip-prinsip ilmu
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Psl. 29 ayat (1). 2 Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain Marzuki, Gemala Dewi (Ed. Gemala Dewi), Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Edisi I, Cet.2 Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hlm. 13.
3 Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
2
pengetahuan, dasar-dasar hukum, yang berlaku bagi alam semesta termasuk
manusia di dalamnya.4 Al Qur’an berisi 30 juz, 114 surat, dan 6666 ayat diawali
surah al-Fatihah dan diakhiri surah an-Nas yang merupakan syari’at Islam. Setelah
Al-Qur’an, Hadits dan Sunnah Rasul merupakan sumber hukum Islam yang ke-
dua. Sebagaimana disebutkan dalam Surah An Nisa ayat 59 (QS.4: 59) yang
artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ullil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”5
Sunnah Rasul berupa sunnah qauliyah (perkataan Rasul), sunnah fi’liyah
(perbuatan Rasul) dan Sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah (sikap diam
Rasulullah).6 Selain Al Qur’an dan Hadits, sumber hukum Islam yang ketiga
adalah Ijtihad yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk merumuskan garis
hukum dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul.7
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penganut agama Islam,
khusunya penganut agama Islam di Indonesia menjalankan hukum (syariat) Islam
sebagaimana diatur dalam sumber-sumber hukum Islam. Salah satu yang diatur
dalam Hukum Islam adalah mengenai Hukum Perkawinan, di mana perkawinan
merupakan peristiwa hukum. Hukum perkawinan termasuk hukum kekeluargaan
diatur dalam ayat-ayat Al Qur’an yang turun di Madinah, surahnya cenderung
lebih panjang dibanding surah Makiyah karena lebih mengandung muamalah.
4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 84-85.
5 Al Qur’an dan Terjemahan., (Depok:Al Huda, 2002), QS:IV:59. 6 Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hecca Publishing, 2005), hlm 15. 7 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet. 5. (Jakarta: UI-Press. 1986), hlm.
17.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
3
Ayat-ayat Al Qur’an yang turun di Madinah mengandung hukum-hukum
(syari’ah) antara lain hukum pemerintahan, hukum hubungan antara orang-orang
muslim dan non muslim mengenai perjanjian dan perdamaian.8
Sebagai manusia mahluk pribadi kodrati, kodratnya hidup berkeluarga,
Allah berfirman dalam Surah Ar-Rum ayat 21 yang artinya:
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Manusia dibolehkan menikah sebagai pelaksanaan ibadah atas perintah
Allah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Sakinah adalah suasana kehidupan dalam rumah tangga suami-isteri itu
terdapat keadaan yang aman dan tenteram, gemah ripah looh jinawi, tidak terjadi
silih sengketa atau pertentangan pendapat yang prinsipil.9 Mawadah adalah
hubungan antara suami isteri harus selalu dijamin akan tetap saling cinta-
mencintai, sayang menyayangi, seia sekata, ke lurah sama menurun ke gunung
sama mendaki, seciok bak ayam sedancing bagai besi, terendam sama basah,
terapung sama hanyut. Rahmah sendiri diartikan rasa saling membela, saling
memerlukan di masa tua.10
Dalam Hukum Islam perkawinan adalah pernikahan yakni akad yang
sangat kuat. Menurut pendapat sebagian ulama, asal hukum melakukan
perkawinan adalah kebolehan atau ibahah. Dasar dari pendapat ini adalah QS An
Nisa: 1, 3 dan 24 serta hadist Rasul, salah satunya adalah Hadist riwayat Jama’ah
ahli hadist.
8 Djubaedah, Op.Cit., hlm. 14. 9 M. Idris Ramulyo, Masalah Harta Bersama dalam Proses Pemutusan Hubungan
Perkawinan, Hukum dan Pembangunan 1 (Jakarta, 1984) hlm. 42. 10 Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
4
Hai pemuda-pemuda, barang siapa di antara kamu mampu dan berkeinginan menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memelihara dari godaan syahwat. Dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.11
Dapat ditarik sebuah pandangan umum, perkawinan merupakan salah satu
perbuatan hukum yang dapat dilakukan mukallaf yang memenuhi syarat di
antaranya adalah mampu. Perkawinan sebagai sarana untuk menjaga kesucian dan
membentengi diri dari perbuatan yang diharamkan, yang memerintahkan umat
Islam untuk memudahkan cara-cara menuju perkawinan, serta menjanjikan
kekayaan dan kelapangan rezeki bagi orang-orang yang ingin menjaga diri dari
perbuatan haram, Allah berfirman dalam Surat An Nur: 32 yang artinya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha halus (pemberianNya), Maha Mengetahui.
Islam mengajarkan betapa indahnya pernikahan, dilandasi dengan cinta
kasih untuk dapat saling menyayangi. Untuk itu Allah tidak menyukai perceraian,
kendati perceraian dibolehkan Islam. Allah menghalalkan cerai, walaupun
perceraian adalah suatu perbuatan yang paling dibenci Allah. Akhir-akhir ini
semakin banyak pasangan suami isteri yang menempuh jalan sendiri dengan kata
lain mereka memilih untuk bercerai, ketika apa yang diharapkan tidak terlaksana.
Mereka menganggap perceraian adalah penyelesaian yang terbaik dari
11 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Hukum Islam Lengkap, cet. 29, (Bandung: Sinar Baru
Algenasindo, 1996), hlm. 374-375.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
5
ketidakharmonisan mahligai perkawinan mereka. Pada kenyataannya, perceraian
bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah, justru akan menambah
persoalan baru yakni perebutan kuasa atas anak, serta pembagian harta bersama
(gono-gini). Betapa tidak, baik dari pihak suami maupun pihak isteri
mempertahankan keegoisannya masing-masing.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Negara menjamin tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agama dapat ditafsirkan wajib menjalankan syari’at
agama lain bagi umat agama lain, mengingat Indonesia adalah Negara yang plural
dengan diakuinya berbagai ajaran agama. Bagi penganut agama Islam, hukum
perkawinan tunduk pada Hukum Islam, sedangkan bagi penganut agama selain
Islam hukum perkawinan tunduk kepada UU No. 1 tahun 1974 secara khusus
diatur bahwa ketentuan mengenai perkawinan sesuai dengan syariat agama
masing-masing. Selain itu, ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU No. 3 tahun
2006 Tentang Perubahan atas Peradilan Agama, dinyatakan bahwa Umat Islam
tunduk di bawah kompetensi Pengadilan Agama, tidak ada lagi pilihan hukum
bagi Umat Islam. Khusus masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan bagi
pemeluk agama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Di
mana Kompilasi Hukum Islam tersebut merupakan hasil ijma’ para ulama demi
menjamin kepastian hukum dan kemaslahatan umat Islam.
Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, menurut Hazairin juga
dapat ditafsirkan kekuasaan negara diperlukan untuk melaksanakan syari’at bagi
pemeluk agama yang bersangkutan jika memang diperlukan bantuan. Ini berarti
bahwa negara wajib mengatur dan menjalankan hukum yang berasal dari ajaran
agama untuk kepentingan bangsa Indonesia. Negara berkewajiban menjalankan
syari’at agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya
dalam Negara Republik Indonesia.12 Atas dasar penafsiran tersebut, dibentuklah
sebuah Peradilan Agama untuk menegakkan norma hukum yang berasal dari
agama Islam. Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan
Agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
ekonomi syariah. Ternyata dengan dibentuknya Peradilan Agama tak lantas
12 Lubis, Loc. Cit. Hlm. 15.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
6
semua persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari’at) Islam di
Indonesia selesai, hakim-hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan keputusan
hukum tidaklah seragam, hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum
Islam yang sama. Pengadilan Agama merujuk pada buku-buku fiqh yang berbeda-
beda. Materi-materi yang ada di dalam buku-buku fiqh tidak atau belum
disistematisasikan sehingga bisa disesuaikan dengan masa sekarang. Banyak
masalah baru yang belum ada padanannya pada masa Rasulullah dan pada masa
para mujtahid di masa madzhab-madzhab terbentuk, oleh karena itu ijtihad perlu
digalakkan kembali. Dengan demikian dibutuhkanlah pembentukan “kitab hukum
Islam” atau yang lebih dikenal sebagai Kompilasi Hukum Islam.
Salah satu pertimbangan menurut Busthanul Arifin Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainnya.13
Tidak seperti pengaturan nasional mengenai Perkawinan yakni Undang-
Undang No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari III buku;
Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang
Perwakafan tidak diundangkan lewat Undang-Undang dengan alasan Indonesia
sangat plural dari sisi agama dan ideologi. Indonesia bukanlah sebuah Negara
Islam, tapi sebuah Negara Nasional tidak memberi tempat hanya pada umat Islam
untuk melaksanakan Hukum Islam, tapi juga memberi tempat pada umat-umat
penganut agama lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.
Dalam sebuah perkawinan, pada umumnya baik dari pihak isteri maupun
pihak suami membawa harta masing-masing yang telah dimiliki masing-masing
pihak sebelum kawin disebut juga sebagai harta bawaan. Selain harta yang berasal
13 Aminur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI”. (Jakarta: Kencana, 1993), hlm. 30.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
7
dari harta bawaan, dalam perkawinan juga dikenal harta masing-masing suami
isteri yang diperoleh selama perkawinan yang diperoleh dari usaha sendiri-sendiri.
Ada pula harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan
atas usaha bersama yang dikenal sebagai harta pencaharian dan selanjutnya
disebut sebagai harta bersama (syirkah) yakni penggabungan harta kekayaan
seseorang dengan harta orang lain.14 Awalnya syirkah diatur dalam kitab dagang,
namun saat ini masuk dalam hukum perkawinan. Antara suami dan isteri dapat
terjadi syirkah. Harta kekayaan tersebut disebut dengan harta bersama. Baik Al
Qur’an, hadits maupun kitab-kitab fiqh tidak ada yang menyebutkan mengenai
harta bersama ini. Sebelumnya harta bersama dikenal oleh Hukum Adat dengan
nama harta gono-gini, kemudian diatur lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum
Islam. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 huruf f. Adanya harta bersama
dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami atau isteri.
Masalah harta bersama inilah yang juga merupakan salah satu faktor
terjadinya keretakan, perselisihan memperebutkan harta bersama. Masalah harta
kadang tidak ada habisnya menjadi alasan retaknya sebuah mahligai rumah
tangga, karena harta ibarat pedang bermata dua, bisa menghubungkan silaturahmi
bisa juga sebagai pemutus tali silaturahmi.
Berdasarkan pasal 88 Kompilasi Hukum Islam, bila terjadi perselisihan
antara suami-isteri mengenai harta bersama dapat diselesaikan di Pengadilan
Agama. Harta bersama inilah yang akan dijamin dengan sita jaminan atas harta
bersama oleh Pengadilan Agama. Tujuan diletakkannnya sita jaminan atas harta
bersama adalah untuk mencegah terjadinya segala sesuatu yang tidak diinginkan
atas harta yang dapat merugikan dan membahayakan keluarga. Permohonan ini
dapat diajukan tanpa perlu berkaitan dengan gugatan cerai bila salah satu pihak
baik suami maupun isteri melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk-mabukan, boros, dan
sebagainya sebagaimana diatur secara khusus dalam Pasal 95 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam.
14 Djubaedah, Op. Cit., hlm. 127.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
8
Sita jaminan harta bersama ini, berdasarkan ketentuan perorangan dan
kekeluargaan perdata Barat disebut sebagai sita marital, karena sita ini diajukan
saat perkawinan masih dilangsungkan. Sita marital awalnya diatur dalam Pasal
186 kitab undang-undang Hukum Perdata, yang kemudian diadopsi ke dalam
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam:
”Di luar gugatan perceraian isteri atau suami dapat mengajukan pemisahan harta
perkawinan yang masih utuh ke Pengadilan” Tindakan ini salah satunya adalah
tuntutan akan pemisahan harta kekayaan. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa hanya
istrilah yang dapat mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan persatuan,
karena hukum perdata barat mengenal harta persatuan bulat, sebagaimana diatur
dalam pasal 119, ”Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah
persatuan bulat antara harta kekayaan suami-isteri, jika tidak diatur dalam
perjanjian kawin.” Suami sendirilah yang harus mengatur harta persatuan. Isteri
tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta
persatuan dalam perkawinan walaupun harta persatuan terdiri atas harta kekayaan
isteri yang lebih banyak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1330 KUH Perdata
yang menyatakan perempuan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Untuk mencegah penyalahgunaan harta ini, isteri dapat mengajukan tuntutan
pemisahan harta persatuan.
Hukum berkembang seiring dengan berkembangnya zaman, pasal 190
kitab undang-undang hukum perdata tidak berlaku lagi karena ketentuan tersebut
sudah digantikan dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974. Sita marital lebih
lanjut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dengan istilah sita jaminan atas harta
bersama. Pihak Pengadilan yang yang paling berwenang untuk melanjutkan
permohonan sita marital salah satu pasangan baik suami maupun isteri meskipun
salah satu pihak tidak setuju, pengadilan tetap dapat memprosesnya. Sita marital
baru dianggap berakhir bila salah satu pihak mengajukan permohonan
pengangkatan atau pembatalan penyitaan harta baik seluruh atau sebagian pada
pengadilan.
Sita marital dapat diletakkan oleh Pengadilan Agama jika terjadi
perselisihan mengenai harta bersama agar segala sesuatu yang dapat merugikan
dan membahayakan harta bersama bagi keluarga dapat dicegah. Peletakan sita
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
9
marital atas barang bergerak atau tidak bergerak tidak menghalangi suami isteri
untuk memanfaatkan apa-apa yang dihasilkan barang tersebut, namun
pemanfaatannya tidak boleh mengurangi pemenuhan fungsi dan kewajiban yang
ditentukan undang-undang seperti membayar biaya pendidikan, kesejahteraan
keluarga dan anak-anak.
Sita marital harus diletakkan terhadap harta bersama secara keseluruhan.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya
harta bersama namun tetap juga mengakui adanya harta kekayaan masing-masing
suami isteri. Harta kekayaan tidak bercampur secara mutlak dengan adanya
perkawinan, harta isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai penuh olehnya,
begitu pula dengan harta kekayaan suami. Harta yang demikian tersebut
merupakan harta bawaan/ harta pribadi, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain, dan terhadap harta bawaan/harta pribadi masing-masing pihak perbuatan
hukum dapat dilakukan sesuai dengan kewenangannya, untuk itu harta bawaan/
harta pribadi tidak dapat diletakkan sita marital, kecuali harta bawaan/pribadi
milik penggugat yang ada pada tergugat juga bisa diletakkan sita marital.
Dalam skripsi ini akan dikaji Permohonan sita marital dengan Nomor
Perkara 549/Pdt. G/ 2007/ PA.JP yang diajukan oleh isteri secara terpisah, berdiri
sendiri. Permohonan sita marital ini tidak bergantung (asessoir) terhadap perkara
cerai thalak yang diajukan suaminya dan sampai saat ini belum berkekuatan
hukum tetap (in kracht). Permohonan ini diajukan karena isteri khawatir harta
bersama selama perkawinannya akan dipindahtangankan ke pihak lain, terlebih
pihak suami memiliki istri sirry. Untuk itu isteri meminta Pengadilan Agama
untuk menetapkan sita marital agar seluruh harta bersamanya dapat dibekukan
sehingga tidak bisa dialihkan kepada pihak lain. Permohonan sita marital ini
sesuai dengan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam.
1.2 Pokok Permasalahan
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas. Dapat ditarik pokok-
pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana Hukum Islam mengatur harta bersama dan pembagiannya
khususnya dalam perkara No. 549/Pdt. G/ 2007/ PA.JP?
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
10
2. Bagaimana kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum
Islam, dan Hukum Nasional Indonesia?
3. Apa alasan suami atau isteri mengajukan sita marital (maritale beslaag)
dan akibat hukumnya terhadap putusnya perkawinan menurut Hukum
Islam? Apakah sita marital bersifat asesoir atau independen terhadap
putusnya perkawinan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan hukum Islam dalam mengatur masalah perkawinan.
2. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi selama perkawinan
berlangsung khususnya mengenai masalah harta dalam perkawinan
menurut Hukum Islam.
Tujuan khusus dari penelitian adalah:
1. Menjelaskan Hukum Islam mengatur harta bersama khususnya dalam
perkara No. 549/Pdt. G/ 2007/ PA.JP.
2. Menjelaskan kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum
Islam, dan hukum Nasional Indonesia.
3. Mengidentifikasi alasan suami atau isteri mengajukan sita marital
(maritale beslaag) dan akibat hukumnya terhadap putusnya perkawinan
menurut Kompilasi Hukum Islam.
1.4. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, penulis mengkonsepkan beberapa istilah, di
antaranya:
1. Perkawinan menurut ajaran Islam
merupakan suatu perjanjian yang langsung antara laki-laki dan perempuan yang langsung antara laki-laki dan perempuan yang
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
11
akan kawin itu.15 Perkawinan adalah suatu perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.16 Nikah adalah perkawinan dalam Islam. Dalam Islam nikah adalah suatu perjanjian suci bagi tiap-tiap orang Islam yang harus dilakukannya, merupakan pertalian seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan turunan bahkan antara dua keluarga, yang menjaga ketentraman jiwa dan mencegah perzinahan.17
2. Thalak adalah “melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan
secara sukarela ucapan thalak kepada isterinya, dengan kata-kata yang
jelas/sharih ataupun dengan kata-kata sindiran/kisanah.”18
3. Sita marital adalah
salah satu jenis sita jaminan (Conservatoire Beslaag), oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada Conservatoire Beslaag berlaku sepenuhnya pada sita marital.19 Menurut Sudikno Mertokusumo, sita marital adalah sita untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya dengan menyimpan atau membekukan barang yang akan disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Pasal 78 huruf c UU No. 7/89, menyebutkan bahwa sita marital adalah Tindakan dari Pengadilan Agama untuk menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat.
15 Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Tintamas Indonesia, 1983), hlm. 33 16 Thalib, Op. Cit., hlm. 47.
17 Siddik, Op. Cit. 18 Shodiq, Shalahuddin Chaery, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Sientarma, 1994), hlm.
258. 19 M. Yahya Harahap Hukum Acara Perdata Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslaag (Sita Jaminan). Cet.1 (Jakarta: 1987), hlm. 276.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
12
4. Harta kekayaan dalam perkawinan adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.”20. Harta bersama adalah Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka atau disebut harta pencaharian.21 Sedangkan menurut H. Ismuha harta bersama adalah pencaharian bersama suami-isteri, gono-gini atau sihareukat dan lain-lainnya termasuk golongan syirkah abdan/mufawadah. Karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia bersama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk mendapatkan nafkah sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, dan selanjutnya untuk sekedar peninggalan kepada anak-anak mereka kelak sesudah mereka meninggal dunia.22
5. Harta adalah “pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat
mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya”23
6. Syirkah atau syarikah adalah “penyatuan atau penggabungan harta
kekayaan seseorang dengan harta kekayaan orang lain”24
7. Fiqh menurut istilah adalah
20 Indonesia, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, psl.1
21 Thalib, Op.Cit., hlm. 90. 22 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafindo, 1977), hlm. 78.
23 Ali, Op.Cit., hlm. 23. 24 Thalib, Op.Cit., hlm. 79.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
13
pemikiran mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan mahluk Tuhan lain selain manusia, hubungan manusia dengan manusia di mana tersangkut di dalamnya benda, hubungan manusia dengan benda, sekedar pemikiran itu dapat melahirkan suatu norma (atau hukum).”25
Fiqh berarti pengetahuan mengenai hukum agama atau hukum syar’i.
8. Kompilasi Hukum Islam adalah
kumpulan pendapat-pendapat dalam masalah fikih yang selama ini dianut oleh umat Islam Indonesia diwujudkan dengan bentuk kitab hukum dengan bahasa Undang-Undang. Berasal dari kata Kompilasi yaitu “rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih yang biasa digunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun.26
9. Syariat adalah
jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap Muslim. Memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasulnya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi ilmu hukum, Syariat merupakan norma hukum Dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak.27
25 Hazairin, Hukum Kewarisan Islam Bilateral, menurut Qur’an dan Hadits. Cet. 5,
(Jakarta: Tintamas, 1991), hlm. 2. 26 Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2004), hlm. 17. 27 Ibid., hlm. 46-47
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
14
10. Pengadilan Agama adalah “suatu badan peradilan agama pada tingkat
pertama. Pengadilan itu sendiri berarti suatu lembaga (instansi) tempat
mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan
kehakiman, yang mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan.”28
1.5. Kegunaan Teoritis dan Praktis
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dimaksudkan agar bermanfaat bagi pengembangan
pengetahuan dan keilmuan mengenai aspek-aspek hukum dari masalah harta
bersama dalam perkawinan ditinjau dari Hukum Islam. Penelitian ini juga
diharapkan juga bermanfaat bagi para akademisi dan masyarakat umum yang
ingin mempelajari sekaligus mengetahui lebih dalam mengenai hukum
perkawinan Islam, yang diatur dalam ajaran-ajaran Islam itu sendiri, seperti yang
diketahui, bukan hanya mengatur urusan akhirat saja tapi juga mengatur mengenai
keduniawian.
Tingginya angka perceraian salah satu sebabnya karena masyarakat
khususnya masyarakat Indonesia kurang mengerti hukum perkawinan. Dengan
demikian penelitian ini sekurang-kurangnya dapat menambah acuan bagi
akademisi, calon pasangan suami-isteri atau bahkan suami isteri itu sendiri untuk
menambah wawasan. Dengan wawasan yang semakin luas mengenai hukum
perkawinan khususnya perkawinan Islam, diharapkan paradigma masyarakat
Indonesia mengenai cerai, kawin serta harta bersama dapat berubah ke arah yang
lebih positif.
Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan agar tingkat perceraian akibat adanya selisih
harta bersama dapat diminimalisir. Masalah harta kadang tidak ada habisnya
menjadi alasan retaknya sebuah mahligai rumah tangga. Hukum Islam
membolehkan terjadinya perceraian, karena cerai merupakan perbuatan halal
28 Lubis, Op. Cit., Hlm. 3.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
15
namun dibenci Allah. Hukum Islam yang ada di Indonesia memungkinkan adanya
penyelesaian harta bersama tanpa harus diselesaikan dengan jalan cerai.
Pengaturan-pengaturan seperti itu yang jarang digunakan oleh para praktisi
hukum. Akibatnya paradigma hubungan antara harta bersama dengan perceraian
menjadi kian sempit. Penelitian ini bermanfaat agar ke depannya pengaturan
tersebut dapat digunakan sebaik mungkin.
1. 6. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan-normatif yang
sifatnya deskriptif dan eksplanatoris, untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang keadaan tertentu. Peneliti memilih tipe penelitian deskriptif dan
eksplanatoris karena peneliti ingin mengembangkan konsep perkawinan dalam
Islam, serta menghimpun fakta-fakta tentang segala sesuatu yang berhubungan
erat dengan perkawinan Islam seperti mengenai harta bersama (syirkah)
khususnya mengenai sita marital atas harta bersama yang sedang muncul ke
permukaan akhir-akhir ini.
Tehnik pengumpulan data adalah kepustakaan, dengan alat pengumpul
data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa wawancara kepada
hakim Pengadilan Agama. Data sekunder berupa studi dokumen yang terdiri dari
Bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer berupa Al
Qur’an, Hadits, Peraturan perundang-undangan dan putusan sebagai
yurisprudensi. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal hukum,
artikel, majalah dan sumber lain yang mendukung penelitian khususnya mengenai
hukum perkawinan Islam, harta bersama, penyitaan dan penjelasan mengenai
Hukum Islam itu sendiri. Bahan hukum tersier berupa kamus-kamus. Alat
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kasus terkait dengan pokok
pembahasan penelitian. Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif.
1.7. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima Bab. Bab 1 adalah Pendahuluan, Bab 2 dan Bab
3 merupakan Landasan Teori, Bab 4 merupakan studi kasus putusan Pengadilan
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
16
Agama mengenai sita marital, dan terakhir adalah Bab 5 yang merupakan
Penutup.
Bab 1 berjudul PENDAHULUAN terdiri dari tujuh sub pokok bahasan
yakni Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan Penelitian, Kerangka Konsep,
Kegunaan Teoritis dan Praktis, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Latar Belakang berisi hal-hal terkait yang menjadi kaca mata umum penulis
terhadap masalah yang akan dibahas. Bagian Pokok masalah merupakan batasan
masalah yang akan dijawab pada kesimpulan Penelitian ini, penulis merumuskan
3 pokok masalah. Tujuan Penelitian terdiri dari tujuan penelitian umum dan
khusus. Istilah-istilah yang akan dibahas dalam penelitian ini didefinisikan dalam
bagian kerangka konsep. Penulis pun memaparkan kegunaan teoritis dan praktis
dari penelitian ini agar penelitian ini bermanfaat.
Bab 2 dalam skripsi ini berjudul SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
terdiri dari tiga sub pokok bahasan. Sub pokok tersebut adalah: Sumber-Sumber
dan Garis Hukum dalam Al Qur’an, dan Hadits, Fiqh dan Ushl Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam. Dalam bagian Sumber-sumber dan garis hukum terdiri
dari pembahasan mengenai Al Qur’an, Sunnah Rasul/hadits, dan ijtihad ulil amri.
Dalam sub pokok bahasan Fiqh dan Ushl Fiqh dibagi dalam 2 sub pokok bahasan
lebih rinci yaitu Syariat dan Fiqh Islam serta Hubungan Fiqh dan Ushl Fiqh. Sub
pokok bahasan mengenai Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdiri dari sub-
subpokok bahasan yang lebih rinci lagi yakni mengenai Latar Belakang
Pembentukan, Metode Pembentukan serta Landasan dan Kedudukan Kompilasi
Hukum Islam.
Bab 3 dalam skripsi ini berjudul KEDUDUKAN HARTA BERSAMA
DALAM HAL PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITALE BESLAAG)
terdiri dari dua sub pokok bahasan. Sub pokok tersebut adalah: Harta Kekayaan
dalam Perkawinan Islam Indonesia dan Pengaturan dan Pelaksanaan Sita Marital
di Indonesia. Dalam bagian Harta Kekayaan dalam Perkawinan Islam Indonesia
dibagi dalam tiga sub-sub pokok bahasan yaitu Harta Kekayaan dengan Syirkah,
Harta Bersama (syirkah) Suami-Isteri serta Pembagian Harta Bersama Suami-
Isteri. Mengenai Harta Bersama ada dua pendapat, untuk itu Penulis
mengkhususkannnya dalam dua hal yang lebih khusus yaitu Pendapat yang
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009
17
Mengatakan Bahwa Tidak Dikenal Harta Bersama dalam Lembaga Islam serta
Pendapat yang Mengatakan Bahwa Dikenal Harta Bersama dalam Lembaga
Islam. Dalam sub pokok bahasan Pengaturan dan Pelaksanaan Sita Marital di
Indonesia penulis membagi dalam 4 sub pokok bahasan lebih rinci yaitu
Pengertian dan Tujuan Penyitaan Secara Umum, Sita Jaminan (Conservatoire
Beslaag) dan Sita Marital (Maritale Beslaag), Alasan diajukannya Sita Marital,
serta Sita Marital Terhadap Harta Bersama bukan Harta Bawaan.
Bab 4 dalam skripsi ini berjudul ANALISA PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA NOMOR: 549/Pdt.G/2007/PA.JP MENGENAI SITA MARITAL,
terdiri dari dua sub pokok bahasan. Sub pokok tersebut adalah: Pokok Perkara
dalam putusan No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP dan Analisa Data. Dalam Analisa Data
dibagi dalam enam sub-sub pokok bahasan yaitu Kedudukan Kompilasi Hukum
Islam Sebagai Ijtihad Ulama dan Peraturan Perundang-undangan Nasional,
Kedudukan Harta Bersama Terhadap Suami-Isteri, Kedudukan Harta Bersama
Terkait dengan Pihak Lain (Pihak Ketiga), Alasan Sita Marital PEMOHON
Terhadap TERMOHON, Akibat Sita Marital Terhadap Status Perkawinan dan
Sita Marital Atau Sita Jaminan atas Harta Bersama.
Bab 5 dari Skripsi ini berjudul PENUTUP. Terdiri dari dua sub pokok
bahasan yaitu Kesimpulan dan Saran.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Sylli Meliora Sterigma, FHUI, 2009