25
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jerawat adalah penyakit kulit kronis akibat abnormalitas produksi sebum pada kelenjar sebasea yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif (Kumar, 2008). Jerawat dapat terjadi pada usia muda atau tua dengan persentase kejadian pada wanita sebanyak 27% dan 34% pada pria (Klaus, 2005). Walaupun tidak termasuk penyakit serius yang dapat menyebabkan kematian, jerawat jika tidak ditangani dapat menimbulkan depresi dan krisis kepercayaan diri penderitanya (Purvis dkk., 2006). Obat jerawat topikal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu obat jerawat tanpa resep dokter yang dijual bebas di pasaran dan obat jerawat dengan resep dokter. Obat jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan parakeratolitik. Selain itu dokter pun tak jarang meresepkan antibiotik seperti klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Murini, 2003), dimana penggunaan antibiotik dalam jangka panjang selain dapat menimbulkan resistensi mikroba juga dapat menimbulkan kerusakan organ dan imunohipersensitivitas (Wasitaatmaja, 1997).

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63679/potongan/S1-2013...Keberadaan keringat, 8 debu, dan kotoran lain akan meneyebabkan timbunan lemak

  • Upload
    vudieu

  • View
    214

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jerawat adalah penyakit kulit kronis akibat abnormalitas produksi sebum

pada kelenjar sebasea yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit terlalu

aktif (Kumar, 2008). Jerawat dapat terjadi pada usia muda atau tua dengan

persentase kejadian pada wanita sebanyak 27% dan 34% pada pria (Klaus, 2005).

Walaupun tidak termasuk penyakit serius yang dapat menyebabkan kematian,

jerawat jika tidak ditangani dapat menimbulkan depresi dan krisis kepercayaan

diri penderitanya (Purvis dkk., 2006).

Obat jerawat topikal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu obat jerawat

tanpa resep dokter yang dijual bebas di pasaran dan obat jerawat dengan resep

dokter. Obat jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan

asam salisilat memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan

parakeratolitik. Selain itu dokter pun tak jarang meresepkan antibiotik seperti

klindamisin, eritromisin, dan tetrasiklin (Murini, 2003), dimana penggunaan

antibiotik dalam jangka panjang selain dapat menimbulkan resistensi mikroba

juga dapat menimbulkan kerusakan organ dan imunohipersensitivitas

(Wasitaatmaja, 1997).

2

Kulit buah manggis berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen anti

jerawat. Chomnawang dkk. (2005) menyatakan bahwa ekstrak diklorometana kulit

buah manggis memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes dan

Staphylococcus epidermidis, 2 bakteri utama timbulnya jerawat. Kadar hambat

minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) terhadap P. acnes sebesar 0,039

mg/mL, sedangkan terhadap S. epidermidis mempunyai nilai KHM sebesar 0,039

mg/mL dan nilai KBM sebesar 0,156 mg/mL. Werayut dkk. (2009) melaporkan

bahwa senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri ini adalah α

mangostin, yang merupakan senyawa turunan xanthon.

Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak kulit

buah manggis, namun belum banyak penelitian mengenai formulasi ekstrak etanolik

kulit buah manggis dalam basis krim. Pemakaian kulit buah manggis dalam

pengobatan sebagian besar adalah dengan mengkonsumsinya secara per oral, baik

dengan mengkonsumsi rebusan kulit buah manggis, dalam bentuk ekstrak, maupun

yang sudah dibuat dalam sediaan seperti tablet atau kapsul. Salah satu tujuan

penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif pengobatan jerawat dengan kulit

buah manggis secara topikal, yaitu dalam bentuk sediaan krim.

Pemilihan krim sebagai bentuk sediaan karena krim memiliki sifat umum

mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama

sebelum sediaan tersebut dicuci atau dihilangkan (Lachman dkk., 1994). Selain itu

krim lebih mudah dioleskan dan tidak berlemak layaknya sediaan salep, dimana pada

penderita jerawat sediaan berlemak dan berminyak sangat dihindari. Pada terapi

3

jerawat umumnya menggunakan krim tipe o/w (minyak dalam air) karena tipe krim

tersebut memperlambat proses pengeringan dan tidak mengiritasi kulit sehingga

cocok digunakan untuk penderita kulit sensitif atau kering Selain itu krim tipe o/w

memiliki sifat penyebaran pada kulit yang baik, memiliki efek dingin, serta sifatnya

lentur-lembut (Murini, 2003).

Pemilihan jenis dan konsentrasi emulgator mempengaruhi stabilitas fisik krim

(Singh, 2006). Penelitian Yuniaty (2010) menyebutkan bahwa konsentrasi xanthan

gum mempengaruhi stabilitas fisik krim ekstrak etanol biji kemiri, dimana setelah 5

minggu penyimpanan krim mengalami penurunan stabilitas fisik. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi xanthan gum terhadap sifat fisik

dan aktivitas krim o/w ekstrak kulit buah manggis, sehingga diharapkan dapat

mendukung pengembangan formulasi sediaan antijerawat dan menambah informasi

baru pengaruh konsentrasi xanthan gum terhadap sifat fisik krim ekstrak kulit buah

manggis sebagai antijerawat.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana pengaruh konsentrasi xanthan gum terhadap sifat fisik krim

ekstrak etanol kulit buah manggis yang meliputi organoleptis, pH, homogenitas,

viskositas, daya sebar, dan daya lekat, serta aktivitas antibakteri terhadap P. acnes

dan S. epidermidis sebagai penyebab jerawat?

4

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi xanthan

gum terhadap sifat fisik krim ekstrak etanol kulit buah manggis yang meliputi

organoleptis, pH, homogenitas, viskositas, daya sebar, dan daya lekat, serta aktivitas

antibakteri terhadap P. acnes dan S. epidermidis sebagai penyebab jerawat.

D. Tinjauan Pustaka

1. Manggis

a. Sistematika tanaman

Kedudukan manggis dalam sistem taksonomi tumbuhan (Backer & Van den

Brink, 1965) adalah :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Clusiaceales

Suku : Clusiaceae

Marga : Garcinia

Jenis : Garcinia mangostana L.

5

b. Morfologi tanaman

Tanaman manggis merupakan pohon besar, berdaun rapat (rimbun), tinggi

mencapai 6-25 m, berbatang lurus dengan cabang simetris membentuk piramid ke

arah ujung tanaman dan berdaun tebal, permukaan daun bagian atas berwarna

hijau kekuningan sedangkan permukaan daun bagian bawah berwarna kuning

kehijauan. Buah manggis berdiameter 4-8 cm, berbentuk bulat, berwarna

kekuningan hingga berwarna ungu kehitaman pada saat masak dan beratnya

berkisar 30-180 g. Daging buah manggis terdiri atas 5-7 segmen berwarna putih,

rasanya manis dan hanya mengandung 1-2 biji (Nakasone & Paull, 1998).

Kulit buah (perikarp) manggis mempunyai ketebalan 0,8-10 cm,

berdaging dan bergetah kuning. Pada awal pertumbuhan, kulit luar berwarna hijau

yang sangat muda dan pada tingkat kematangan berikutnya, warnanya menjadi

lebih pekat, kemudian timbul bercak coklat hingga merah, yang pada akhirnya

menjadi ungu kehitaman pada seluruh permukaan kulit apabila telah matang

(Lodh & Selvaraj, 1972).

Gambar 1. Kulit buah manggis (Dokumentasi pribadi, 2013)

6

c. Kandungan

Kulit manggis mengandung berbagai senyawa xanthon seperti

mangostin, yang merupakan komponen utamanya dan senyawa bioaktif lain

seperti tannin, flavonoid, dan polifenol (Pedraza dkk., 2008), mangostenol,

mangostenon A, dan mangostenon B, trapezifolixanton, tovofilin B, α-mangostin,

β-mangostin, garsinon B, mangostinon, mangostanol, flavonoid epikatekin

(Suksamram dkk., 2002). Walker (2007) mengisolasi kurang lebih enam puluh

xanthon dari buah manggis yaitu β-mangostin, 1-isomangostin, 3-isomangostin,

9-hidroksicalabaxanton, 8-deoksigartanin, dimetilcalabaxanton, garsinon B,

garsinon D, garsinon E, gartanin, mangostanol, mangostanin, dan mangostinon.

Huang dkk. (2001) berhasil mengisolasi 4 senyawa dari kulit buah manggis yaitu

garcimangoson A, garcimangoson B, garcimangoson C dan garcimangoson D.

Gambar 2. Struktur Kimia Senyawa α-mangostin (Werayut dkk., 2009)

d. Manfaat tanaman

Penelitian membuktikan bahwa kandungan yang terdapat dalam kulit buah

manggis memiliki aktivitas farmakologis seperti mengobati infeksi kulit, luka,

diare, ulcer, gonorrhea (Pedraza dkk., 2008), antioksidan (Márquez, 2009),

antiinflamasi (Lin, 1996), dan menghambat HIV (Chen, 1996). Xanton dalam

7

kulit buah manggis dapat digunakan sebagai anti jerawat, antioksidan,

antiinflamasi, antimalaria, dan antimikroba (Walker, 2007)

Ekstrak kulit buah manggis mempunyai nilai KBM 0,039 mg/mL terhadap

P. acnes dan S. epidermidis. Harga KBM ini lebih rendah jika dibandingkan

dengan nilai KBM dari ekstrak tanaman lain seperti sambiloto, kirinyuh, amis-

amisan, sena (Chomnawang dkk., 2005). Ekstrak etanol buah manggis dapat

mengurangi produksi dari sel TNF-α dari sel mononuklear perifer darah secara

signifikan oleh stimulan P. acnes (Chomnawang dkk., 2007). Selain itu

berdasarkan penelitian Sukatta & Rugthaworn (2008) gel anti jerawat dari ekstrak

kulit buah manggis dengan kadar 0,50% tidak menunjukkan iritasi yang berarti

pada responden.

2. Jerawat

Jerawat merupakan penyakit kulit yang terjadi akibat tersumbatnya folikel

pilosebacea, sehingga menyebabkan sebum tidak dapat keluar dan menimbulkan

peradangan. Peradangan ini menyebabkan komedo yang merupakan permulaan

terjadinya jerawat (Wasitaatmadja, 1997). Faktor utama penyebab terjadinya jerawat

adalah peningkatan produksi sebum, peluruhan keratinosit, pertumbuhan bakteri, dan

inflamasi (Athikomkulchai dkk., 2008).

a. Patogenesis

Jerawat terbentuk ketika kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif, sehingga

menyebabkan pori kulit tersumbat oleh timbunan lemak. Keberadaan keringat,

8

debu, dan kotoran lain akan meneyebabkan timbunan lemak menjadi kehitaman

yang lebih dikenal dengan komedo. Komedo yang disertai dengan infeksi bakteri

akan menimbulkan peradangan yang dikenal dengan jerawat, dimana ukurannya

bervariasi mulai dari kecil hingga besar serta berwarna merah, kadang bernanah

serta menimbulkan rasa nyeri (Jung dkk., 2004). Selain itu jerawat juga dapat

dipengaruhi oleh hormon-hormon androgenik seperti testosteron yang

mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea yang akhirnya meningkatkan

produksi sebum (Odom, 2000).

b. Pengobatan

Tujuan pengobatan jerawat adalah mencegah timbulnya jaringan parut

akibat jerawat, mengurangi proses peradangan kelenjar polisebasea dan frekuensi

eksaserbasi jerawat, serta memperbaiki penampilan pasien. Ada tiga hal yang

penting pada pengobatan jerawat (Price & Lorraine, 2006), yaitu:

1) Mencegah timbulnya komedo, biasanya digunakan bahan pengelupas kulit.

2) Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan.

3) Mempercepat resolusi lesi peradangan

Pengobatan terhadap jerawat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu

pengobatan yang diberikan dengan resep dokter dan tanpa resep dokter. Obat

jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat

memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan parakeratolitik.

Pengobatan dengan resep dokter pun tak jarang menggunakan antibiotik seperti

klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, asam azeloat, tretinoin, dan adapalen .

9

Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang dapat menimbulkan

resistensi, fotosensitivitas, kerusakan organ dan imunohipersensitivitas

(Wasitaatmaja, 1997; Murini, 2003).

3. Bakteri Penyebab Jerawat

Bakteri utama yang menjadi penyebab timbulnya jerawat adalah :

a. Propionibacterium acnes

Sistematika dari P. acnes (Salle, 1961) adalah :

Kerajaan : Bacteria

Divisi : Actinobacteria

Kelas : Actinobacteridae

Bangsa : Actinomycetales

Suku : Propionibacteriaceae

Marga : Propionibacterium

Jenis : Propionibacterium acnes

Gambar 3. Proppionibacterium acnes (Anonim, 2012)

Propionibacterium acnes merupakan bakteri anaerob Gram positif yang

toleran terhadap udara. Sel berbentuk batang yang tidak teratur, bercabang atau

10

campuran antara bentuk batang dengan bentuk kokoid. Propionibacterium acnes

dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Beberapa endospora

bersifat patogen untuk hewan dan tanaman. Propionibacterium acnes termasuk ke

dalam kelompok bakteri corynebakteria anaerob yang biasanya menetap pada

kulit normal (Jawetz dkk., 2001).

Pada proses patogenesis jerawat, P. acnes menghasilkan lipid dengan

memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak yang dihasilkan

menimbulkan radang jaringan dan menyebabkan jerawat (Jawetz dkk., 1996).

b. Staphylococcus epidermidis

Sistematika dari S. epidermidis (Salle, 1961) adalah :

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Micrococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri aerob Gram positif

pembentuk spora yang banyak terdapat di udara, air, dan tanah. Sel berbentuk

bola dengan diameter 1 μm yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur,

dan tampak sebagai kokus tunggal, berpasangan, tetrad dan berbentuk rantai

dalam biakan cair. Koloni biasanya berwarna putih atau kuning dan bersifat

11

anaerob fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit

manusia (Jawetz dkk., 2001).

Aktivitas S. epidermidis adalah menginfeksi kulit terluar sampai unit

sebasea (Burkhart dkk., 1999). Enzim lipase yang dimiliki S. epidermidis telah

diketahui dapat menghidrolisis trigliserida di unit sebasea menjadi asam lemak

bebas yang dapat menyebabkan terjadinya keratinisasi dan inflamasi. Inflamasi

dan keratinisasi yang berlebihan inilah yang akan menimbulkan jerawat

(Kligman, 1994).

Gambar 4. Staphylococcus epidermidis (Anonim, 2000)

4. Uji Aktivitas Antibakteri

Aktivitas antibakteri diukur secara in vitro untuk menentukan potensi zat

antibakteri dalam larutan, konsentrasi dalam cairan tubuh dan jaringan, serta

kepekaan mikroorganisme terhadap obat pada konsentrasi tertentu. Stabilitas obat, pH

lingkungan, komponen-komponen pembenihan, besarnya inokulum, masa

pengeraman, dan aktivitas metabolik mikroorganisme merupakan faktor penting

12

yang dapat mempengaruhi aktivitas antibakteri in vitro sehingga harus diperhatikan

(Jawetz dkk., 2001). Metode pengukuran daya antibakteri ada dua macam, yaitu :

a. Dilusi

Metode dilusi digunakan untuk menghitung konsentrasi minimal

antibakteri yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme.

Prinsipnya adalah antibakteri diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi.

Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi sampel ditambah suspensi bakteri

dalam media. Konsentrasi terendah dimana terjadi penghambatan pertumbuhan

bakteri yang ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan disebut Kadar Hambat

Minimal (KHM). Pada dilusi padat tiap konsentrasi sampel dicampur dengan

media agar lalu ditanami bakteri. Konsentrasi yang mempunyai hambatan

masing-masing digores pada media padat dan diinkubasi hingga didapat Kadar

Bunuh minimal (KBM) (Anonim, 1993).

b. Difusi

Metode difusi digunakan untuk menentukan sifat suatu bakteri uji yaitu

peka, resisten atau intermediet terhadap suatu antibakteri (Murray dkk., 1995).

Prinsipnya yaitu uji aktivitas berdasarkan pengamatan luas daerah hambatan

pertumbuhan bakteri dari titik awal pemberian ke daerah difusi (Warsa, 1993).

Pada metode difusi ini dikenal beberapa metode, yaitu metode Kirby-Bauer (disk

diffusion) dan metode sumuran. Terdapat dua macam zona dalam pembacaan

hasil pengukuran daya antibakteri dengan metode difusi, yaitu :

13

1) Zona radikal adalah daerah di sekitar disk dimana tidak ditemukan adanya

pertumbuhan bakteri sama sekali

2) Zona irradikal adalah daerah di sekitar disk dimana hanya terjadi

penghambatan pertumbuhan bakteri tetapi bakteri tersebut tidak mati.

Pengukuran aktivitas antibakteri dilakukan dengan mengukur diameter zona

tersebut (Anonim, 1993).

5. Krim

a. Definisi krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi dengan

kandungan air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.

Berdasarkan fase internalnya, krim dibagi menjadi 2 yaitu krim minyak dalam air

(o/w) dan krim air dalam minyak (w/o). Krim w/o mengandung air kurang dari

25% dengan minyak sebagai medium pendispersi. Krim o/w mengandung air

lebih dari 31%. Krim o/w merupakan bentuk yang paling sering dipilih dalam

dermatoterapi karena mudah diaplikasikan pada kulit, mudah dicuci, kurang

berminyak, dan relatif lebih mudah dibersihkan (Bergstorm & Strobber, 2008),

dan memiliki daya pendingin lebih baik. Krim w/o kurang disukai secara

kosmetik karena komponen minyak yang lama tertinggal di permukaan kulit

dengan daya emolien lebih besar dari krim o/w (Sharma, 2008)

b. Metode pembuatan

Pada pembuatan krim perlu digunakan zat pengemulsi atau emulgator.

14

Emulgator didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menurunkan tegangan

permukaan (surface tension) antar cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem

karena mempunyai aktivitas permukaan (surface active agent). Kemampuan

menurunkan tegangan permukaan yang dimiliki emulgator terkait dengan struktur

kimianya yang mampu menyatukan dua senyawa dengan polaritas yang berbeda

(Ansel, 1989).

Menurunnya tegangan permukaan antar permukaan akan meningkatkan

dispersi cairan yang satu ke dalam cairan yang lain. Emulsi yang stabil didapatkan

jika emulgator membentuk lapisan tipis (film) antar permukaan, yaitu lapisan

yang menjaga agar butiran-butiran tidak bergabung kembali dengan butiran

lainnya dengan cara mengelilingi tiap butiran yang terdispersi (Lachman dkk.,

1994).

Salah satu komponen yang berpengaruh terhadap stabilitas fisik krim

adalah emulgator. Pemilihan jenis dan konsentrasi emulgator akan menentukan

kestabilan emulsi yang terbentuk (Swarbrick dkk., 2000). Xanthan gum termasuk

emulgator hidrokoloid yang membentuk emulsi tipe o/w. Yuniaty (2010)

melaporkan bahwa konsentrasi xanthan gum mempengaruhi stabilitas fisik krim

ekstrak etanol biji kemiri. Emulgator ini mempunyai stabilitas dan viskositas yang

baik pada rentang pH dan suhu yang luas (Singh, 2006). Penstabilan emulsi oleh

emulgator hidrokoloid termasuk xanthan gum dilakukan dengan pembentukan

lapisan kaku-viskoelastik pada permukaan minyak-air dan peningkatan viskositas

krim yang terbentuk (Swarbrick dkk., 2000).

15

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan krim adalah seleksi

terhadap basis yang cocok karena basis dapat mempengaruhi efek terapi krim.

Basis tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi obat dan dapat melepas

obat pada daerah yang diinginkan. Basis harus dapat campur secara fisika dan

kimia dengan obat. Basis yang digunakan tidak boleh merusak kestabilan krim

selama masih digunakan, stabil pada suhu kamar dan kelembaban udara, serta

tidak inkompatibilitas dengan bahan lain (Joenoes, 1998).

c. Kontrol sifat fisik krim

1) pH

Uji pH digunakan untuk mengetahui pH krim apakah sesuai dengan

pH kulit yang akan mempengaruhi kenyamanan dan keamanan

penggunannya. Selain itu pH dapat mempengaruhi difusi obat dari sediaan

(Astuti dkk., 2012)

2) Viskositas

Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui besarnya tahanan

suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas maka akan semakin

besar tahanannya. Viskositas dipengaruhi oleh suhu, yang untuk cairan akan

menurun bila suhu dinaikkan (Sinko, 2006). Viskositas dapat dijadikan

kontrol kualitas fisik krim yang bersifat kuantitatif (Betageri & Prabhu, 2002).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi adalah viskositas

medium dispers. Peningkatan viskositas medium dispers dapat menghambat

gerakan droplet, sehingga dapat mencegah terjadinya ketidakstabilan fisik

16

krim (Friberg dkk., 1996). Selain itu, peningkatan viskositas akan

menyebabkan penurunan jumlah dan laju difusi (Baines & Morris, 1987).

3) Daya sebar

Daya sebar suatu krim dilakukan untuk mengetahui kecepatan

penyebaran krim pada kulit yang sedang diobati dan untuk mengetahui

kelunakan dari sediaan tersebut untuk dioleskan pada kulit. Uji ini

menggambarkan kemampuan menyebar pada kulit. Penentuannya dilakukan

dengan ekstensometer. Sejumlah tertentu krim dengan volume tertentu

diletakkan di antara dua lempeng kaca dan dalam interval waktu tertentu

dibebani oleh anak timbangan. Penyebaran yang dihasilkan dapat dilihat dari

kenaikan pembebanan yang menggambarkan karakteristik daya sebar krim

tersebut (Voigt, 1984).

4) Daya lekat

Pengujian tehadap daya lekat dilakukan untuk mengetahui

kemampuan krim melekat pada kulit. Waktu kontak yang cukup

memungkinkan krim telah bekerja dengan efektif terhadap kulit sehingga

kegunaan krim dapat dirasakan sebagaimana seharusnya (Betageri & Prabhu,

2002).

5) Organoleptis

Uji organoleptis meliputi warna, bau, dan konsistensi dapat digunakan

sebagai indikator kualitatif ketidakstabilan fisik sediaan yang berhubungan

dengan kenyamanan sediaan oleh konsumen.

17

6. Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang merupakan pembatas terhadap lingkungan luar

tubuh manusia, baik fisik maupun kimia dan berperan penting dalam pertahanan

tubuh. Kulit berfungsi menjaga bagian dalam tubuh, membatasi keluar masuknya zat-

zat kimia dari tubuh, menjaga tekanan darah, suhu, dan sebagai mediator panas,

dingin, sentuhan dan luka (Lachman dkk., 1994).

a. Anatomi dan fisiologi kulit

Kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:

1) Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas :

a) Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan

terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan

protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

b) Stratum lusidium terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan

lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi

protein yang disebut eleidin.

Gambar 5. Struktur kulit (Wasitatmadja, 1997)

18

c) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel

gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya.

Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.

d) Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula pricle cell layer

(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal

yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Sel-sel spinosum

mengandung banyak glikogen.

e) Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang

tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar

(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah.

2) Lapisan dermis

Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat

dengan elemen-elemen seluler dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi

menjadi dua bagian, yaitu:

a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

b) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan.

3) Lapisan subkutan

Lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar

berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,

dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah.

19

b. Fungsi kulit

Kulit memiliki beberapa fungsi, ada pun fungsinya yaitu :

1) Fungsi proteksi. Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis

atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi,

misalnya zat- zat kimia terutama yang bersifat iritan.

2) Fungsi absorpsi. Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan, atau

benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu

pun yang larut lemak.

3) Fungsi ekskresi. Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak

berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat,

dan amonia.

4) Fungsi persepsi. Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan

subkutan terhadap rangsang panas yang terletak di dermis dan subkutis serta

rangsang dingin yang terletak di dermis.

5) Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi). Kulit melakukan peranan ini

dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)

pembuluh darah kulit.

6) Fungsi pembentukan pigmen. Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di

lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal

dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya

butiran pigmen (melanosom) menentukan warna kulit ras maupun individu.

20

7) Fungsi keratinisasi. Kulit memberi perlindungan terhadap infeksi secara

mekanis maupun fisiologik.

8) Fungsi pembentukan vitamin D. Perubahan dihidroksi kolesterol dengan

pertolongan sinar matahari memungkinkan terlaksananya fungsi ini

(Wasitaatmadja, 1997).

7. Monografi bahan

a. Asam stearat

Asam stearat berupa hablur padat, keras, mengkilap, warna putih atau

kekuningan, pucat atau serbuk berwarna putih kekuningan. Bau dan rasa lemah

mirip lemak. Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol (95%), mudah larut

dalam kloroform P, dan dalam eter (Anonim, 1980). Pada formula topikal, asam

stearat digunakan sebagai emulsifying agent dan solubilizing agent. Konsentrasi

yang digunakan adalah 1-20% (Allen, 2006)

Gambar 6. Stuktur kimia asam stearat (Allen, 2006)

b. Lanolin

Lanolin adalah zat seperti lemak dari bulu domba Ovis aries L. yang

telah dimurnikan. Lanolin memiliki warna kuning pucat, bau lemah, dan khas.

Lanolin sangat mudah larut dalam eter P dan kloroform P, dan agak sukar larut

dalam etanol (95%) P (Anonim, 1980). Lanolin dalam sediaan topikal,

21

digunakan sebagai emulsifying agent dan basis salep dan krim o/w (Winfield,

2006).

c. Trietanolamin

Trietanolamin merupakan campuran dari trietanolamina, dietanolamina,

dan monoetanolamina, berupa cairan jernih, kental, tidak berwarna hingga

kuning pucat, memiliki bau amoniak lemah dan higroskopis. Trietanolamin

mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, dan larut dalam kloroform P

(Anonim, 1979). Trietanolamin digunakan sebagai alkalizing agent dan

emulsifying agent (Goskonda & Lee, 2005)

Gambar 7. Stuktur kimia trietanolamina (Anonim, 1979)

d. Xanthan gum

Xanthan gum merupakan suatu gum yang dihasilkan melalui fermentasi

karbohidrat oleh Xanthomonas campestris dan dimurnikan. Serbuk berwarna

putih atau putih kekuningan, free flowing, larut dalam air panas dan dingin,

praktis tidak larut dalam pelarut organik (Parfitt, 1999). Xanthan gum digunakan

sebagai bahan pensuspensi, penstabil, pengental, dan emulgator. Xanthan gum

stabil pada rentang pH 3-12 dan rentang suhu yang lebar (Singh, 2006).

22

Gambar 8. Stuktur kimia xanthan gum (Friberg dkk., 1996)

e. Metil paraben

Metil paraben atau nipagin berupa serbuk hablur halus berwarna putih,

hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, agak membakar diikuti rasa tebal.

Nipagin mudah larut dalam air, benzen P, dan karbontetraklorida P, serta praktis

tidak larut dalam minyak mineral. Nipagin digunakan sebagai pengawet

antimikroba sediaan kosmetika, makanan, maupun formulasi farmasetik. Nipagin

dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan pengawet paraben yang lain.

Konsentrasi nipagin yang biasa digunakan dalam sediaan topikal adalah 0,02%-

0,3% (Johnson & Steer, 2006a)

Gambar 9. Stuktur kimia metil paraben (Johnson & Steer, 2006a)

f. Propil paraben

Propil paraben memiliki nama lain nipasol, merupakan serbuk putih atau

hablur kecil, tidak berwarna, tidak berasa. Nipasol sangat sukar larut dalam air,

23

sukar larut dalam air mendidih, mudah larut dalam etanol, aseton, dan dalam eter.

Nipasol digunakan sebagai pengawet antimikroba pada sediaan kosmetika,

makanan maupun formulasi farmasetika baik sendiri maupun dikombinasikan

dengan pengawet lain. Konsentrasi nipasol yang umumnya digunakan pada

sediaan topikal adalah 0,01-0,6% (Johnson & Steer, 2006b)

Gambar 10. Stuktur kimia propil paraben (Johnson & Steer, 2006b)

g. Gliserin

Gliserin merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, kental,

dan higroskopis. Gliserin praktis tidak larut dalam benzena, kloroform, minyak,

sedikit larut dalam aseton, larut dalam etanol, metanol, dan air. Pada sediaan

topikal dan kosmetik gliserin digunakan sebagai humectant dan emollient (Price,

2006)

h. Air murni (Aqua purificata)

Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi,

perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik, atau proses lain yang sesuai.

Gambar 11. Stuktur kimia gliserin (Price, 2006)

24

Berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak memiliki rasa (Anonim,

1995).

E. Landasan Teori

Salah satu tanaman yang berkhasiat untuk mengobati jerawat adalah manggis,

terutama bagian kulit buahnya. Chomnawang dkk. (2005) melaporkan bahwa pada

konsentrasi 0,039 mg/ml ekstrak kulit buah manggis memiliki aktivitas menghambat

dan membunuh bakteri P. acnes serta pada konsentrasi 0,039 mg/ml dan 0,156 mg/ml

memiliki aktivitas menghambat dan membunuh bakteri S. epidermidis, 2 bakteri

utama penyebab timbulnya jerawat. α-mangostin, senyawa turunan xanthon yang

banyak terkandung dalam kulit buah manggis pun diketahui memiliki aktivitas

antibakteri terhadap P. acnes dan S. epidermidis (Werayut dkk., 2009).

Pemilihan sediaan yang tepat memiliki peran penting terhadap efektivitas

terapi. Pada terapi jerawat, krim merupakan sediaan yang tepat karena lebih mudah

dioleskan dan tidak berlemak layaknya sediaan salep, dimana pada penderita jerawat

sediaan berlemak dan berminyak sangat dihindari. Bahan pembawa pada formulasi

suatu sediaan akan mempengaruhi jumlah dan kecepatan difusi zat aktif hingga dapat

diabsorpsi kemudian memberikan efek (Wyatt dkk., 2001).

Salah satu komponen yang berpengaruh terhadap stabilitas krim adalah

emulgator. Pemilihan jenis dan konsentrasi emulgator akan menentukan kestabilan

krim yang terbentuk (Swarbrick dkk., 2000). Xanthan gum termasuk emulgator

hidrokoloid yang membentuk emulsi tipe o/w. Stabilisasi oleh emulgator hidrokoloid

25

termasuk xanthan gum dilakukan dengan pembentukan lapisan kaku-viskoelastik

pada permukaan minyak-air dan peningkatan viskositas krim yang terbentuk

(Swarbrick dkk., 2000).

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat fisik krim adalah

organoleptis, homogenitas, viskositas, daya sebar, dan daya lekat. Parameter tersebut

dapat dipengaruhi oleh konsentrasi xanthan gum yang digunakan. Selain itu,

peningkatan viskositas akibat peningkatan konsentrasi xanthan gum yang digunakan

akan menyebabkan penurunan difusi (Baines & Morris, 1987). Penurunan jumlah dan

laju difusi ini akan menyebabkan penurunan luas senyawa obat yang kontak dengan

media yang berisi bakteri, sehingga diameter hambat yang diberikan akan semakin

kecil.

F. Hipotesis

Variasi konsentrasi xanthan gum pada sediaan krim ekstrak etanolik kulit

buah manggis dapat mempengaruhi sifat fisik dan aktivitas antibakteri krim.

Peningkatan konsentrasi xanthan gum pada rentang konsentrasi 0,50 hingga 1,00%

dapat meningkatkan viskositas krim, daya sebar krim menurun, dan daya lekatnya

semakin lama. Peningkatan konsentrasi xanthan gum akan menurunkan daya

antibakterinya terhadap bakteri P. acnes dan S. epidermidis.