Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein, mengarahkan ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Diabetes
mellitus (DM) terkadang dirujuk sebagai “gula tinggi”, baik oleh klien maupun
penyediaan pelayanan kesehatan (Black, 2014).
DM merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya (Brunner & Suddarth, 2016). Berdasarkan
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan penyakit kronis, yang
biasa disebut dengan “gula manis”, biasanya DM ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein, mengarahkan ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi).
11
2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat status klinis
berbeda meliputi Tipe 1, Tipe 2, gestasional, atau tipe DM spesifik lainnya (Black,
2014).
a. Diabetes tipe 1
DM Tipe 1, sebelumnya disebut IDDM, atau diabetes melitus onset-anak-anak,
ditandai dengan destruksi sel beta pankreas, mengakibatkan defisiensi insulin absolut.
DM tipe 1 diturunkan sebagai heterogen, sifat multigenik (Black, 2014).
b. Diabetes tipe 2
DM Tipe 2 dulunya disebut dengan diabetes Melitus tak-tergantungan insulin
(Brunner & Black, 2016).
c. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional ditandai dengan setiap derajat intoleransi glukosa yang muncul
selama kehamilan (trimester kedua atau ketiga). Resiko diabetes gestasional,
glikosuria, atau riwayat kuat keluarga pernah mengalami disbetes. (Brunner &
Suddarth, 2016).
d. Diabetes melitus tipe khusus
Diabetes melitus tipe spesifik lain ditandai dengan kelainan genetik pada sel beta,
kelainan genetik pada kinerja insulin, penyakit pankreas esokrin, gangguan endokrin,
diinduksi obat atau bahan kimia, infeksi (LeMone, 2016).
12
2.1.3 Patofisiologi
DM adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat
kerusakan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya. Ada empat tipe utama DM.
DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe spesifik lain (LeMone, 2016).
DM tipe 1 biasanya ditandai oleh defisiensi insulin absolut karena kerusakan sel betha
pankreas akibat serangan autoimun. Diabetes ini sering berkembang pada anak-anak,
bermanifestasi pada pubertas dan memburuk sejalan dengan bertambahnya usia. Untuk
bertahan hidup diabetes tipe ini memerlukan insulin eksogen seumur hidup (Deni
Yasmara, et al, 2016).
DM tipe 2 adalah resistensi terhadap aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun
dijaringan perifer. Keadaan ini disebub dengan resistensi insulin. Orang dengan DM tipe
2 memiliki penurunan sensivitas insulin terhadap kadar glukosa, yang mengakibatkan
produksi glukosa darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot dan
jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa. (Black, 2014). Diabetes tipe II
disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer terhadap kerja insulin dan respons
sekresi insulin yang tidak adekuat oleh sel beta pankreas (defisiensi insulin relatif).
Kondisi tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya genetik, gaya hidup,
dan diet yang mengarah pada obesitas. Resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
akan menyebabkan toleransi glukosa terganggu yang akan mengawali kondisi DM tipe
13
II dengan manifestasi hiperglikemia (Ozougwo, Obimba, Belonwo & Unkalamba, 2013
dalam LeMone, 2016).
Kondisi hiperglikemia pada pasien DM tersebut bermanifestasi pada tiga gejala klasik
diabetes yaitu 3P (poliuria, polidipsia, dan polifagia). Puliuria (sering buang air kecil),
akibat kondisi hiperglikemia melampaui ambang reabsorpsi ginjal sehingga
menimbulkan glukosuria. Kondisi glukosuria selanjutnya menyebabkan diuresis
osmotik sehingga timbul manifestasi banyak buang air kecil (Deni Yasmara, et al,
2016).
2.1.4 Manifestasi Klinis
a. Diabetes Tipe 1
Manifestasi DM tipe 1 terjadi akibat kekurangan insulin untuk menghantarkan
glukosa menembus membran sel ke dalam sel. Molekul glukosa menumpuk dalam
peredaran darah, mengakibatkan hiperglikemia. Hiperglikemia menyebabkan
hiperosmolaritas serum, yang menarik air dari ruang intraseluler ke dalam sirkulasi
umum. Peningkatan volume darah meningkatkan aliran darah ginjal dan
hiperglikemia bertindak sebagai diuretik osmosis. Diuretik osmosis yang dihasilkan
meningkatkan haluaran urine. Kondisi ini disebut poliuria. Ketika kadar glukosa
darah melebihi ambang batas glukosa – biasanya sekitar 180mg/dl – glukosa
diekskresikan ke dalam urine, suatu kondisi yang disebut glukosuria. Penurunan
volume intraselular dari peningkatan haluran urine menyebabkan dehidrasi. Mulut
14
menjadi kering dan sensor haus diaktifkan, yang menyebabkan orang tersebut minum
jumlah air yang banyak (Polidipsia) (LeMone, 2016).
Karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel tanpa insulin, produksi energi
menurun. Penurunan energi ini menstimulasi rasa lapar dan orang makan lebih
banyak (Polifagia). Meski asupan makan meningkat, berat badan orang tersebut turun
saat tubuh kehilangan air dan memecah protein dan lemak sebagai upaya
memulihkan sumber energi. Penglihatan yang buram juga umum terjadi, akibat
pengaruh osmotik yang menyebabkan pembengkakan lensa mata.
Oleh sebab itu, manifestasi klasik meliputi poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai
dengan penurunan berat badan, malaise, dan keletihan. Bergantung pada tingkat
kekurangan insulin, manifestasinya bervariasi dari ringgan hingga berat. Orang
dengan DM tipe 1 membutuhkan sumber insulin eksogen (eksternal) untuk
mempertahankan hidup (Le Mone, 2016).
b. Diabetes Tipe 2
Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan manifestasi yang lambat dan sering kali
tidak menyadari sampai mencari perawatan kesehatan untuk beberapa masalah lain.
Hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya tidak seberat pada DM tipe 2, tetapi
manifestasi yang sama muncul, khususnya poliuria dan polidipsia. Polifagia jarang
dijumpai dan penurunan berat badan tidak terjadi. Manifestasi lain juga akibat
15
hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan, paresthesia, dan infeksi kulit (LeMone,
2016).
2.1.5 Komplikasi
a. Komplikasi Akut
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Akibat gangguan pada sekresi hormon insulin, kerja insulin atau oleh keduanya
pada pasien diabetes melitus Tipe II dan kerusakan sel beta pula Langerhans pada
DM tipe I, pasien DM akan mengalami kondisi hiperglikemia akibat penurunan
uptake glukosa kedalam sel yang diikuti peningkatan lipolysis, gluconeogenesis di
hepar dan pemecahan protein. Peningkatan lipolisis dapat mengakibatkan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton), benda keton keluar melalui urine
(ketonuria), peningkatan aseton dalam tubuh akan menyebabkan bau napas seperti
buah (aseton) (Deni Yasmara et, al 2016).
Selain itu, kondisi hiperglikemik diperparah dengan peningkatan glukosa dari
proses gluconeogenesis di hepar. Kekurangan insulin juga akan mengakibatkan
pemecahan protein. Protein akan dikonversi menjadi glukosa sehingga
menyebabkan peningkatan BUN (blood urea nitrogen). Peningkatan BUN dan
peningkatan benda keton akan menyebabkan suatu kondisi yang dikenal dengan
asidosis metabolik. Manifestasi asidosis metabolik diantaranya pH (pH turun
dibawah 7,3) dan kadar bikarbonat (Deni Yasmara et, al 2016).
16
Mekanisme tubuh dalam mengatasi asidosis metabolik diatas dengan cara
meningkatkan frekuensi pernapasan dalam upaya mengeluarkan kelebihan CO2
yang dibentuksebagai upaya tubuh mebentuk ekuilibrium asam-basa. Pernapasan
tersebut dikenal dengan pernapasan Kusmaul. Kondisi diatas apabila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Kondisi hipoglikemik yang terjadi pada pasien juga akan menyebabkan syok
hipovolemik akibat diuresis osmotic yang tidak ditangani. Ketoasidosis/
ketoasidosis diabetic sering kali ditemukan pada DM tipe I dibandingkan tipe II,
karena pada DM tipe I kekurangan insulin lebih bersifat absolut (Deni Yasmara et,
al 2016).
2) Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
Komplikasi yang banyak dijumpai pada penderita diabetes tipe II adalah sindrom
hiperglikemik hiperosmolar nonketotik, peningkatan glukosa darah yang
disebebkan oleh gangguan sekresi insulin, resistensi insulin ataupun dapat
mengakibatkan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari 300
mg/100 mL. Peningkatan glukosa ini akan menyebabkan ambang batas ginjal
untuk glukosa, sehingga muncul manifetasi glukosuria yang diikuti dengan
diuresis osmotik (Deni Yasmara et, al 2016).
Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan kedalam urine (glukosuria),
ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
17
dan elektrolit yang berlebihan pasien akan mengalami dehidrasi dan kehilangan
banyak elektrolit, pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.
Selanjutnya pasien dapat mengalami penurunan serebral sehingga tanpa
penanganan yang cepat dan tepat pasien bisa mengalami koma dan meninggal
(Price & Wilson dalam Deni Yasmara et, al 2016).
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar glukosa darah rendah) umum terjadi pada penyandang DM
tipe I dan terkadang terjadi pada penyandang DM tipe 2 yang diobati dengan
agens hipoglikemik oral tertentu. Kondisi ini sering kali disebut syok insulin,
reaksi insulin, atau “penurunan” pada pasien DM tipe I. Hipoglikemia terutama
disebabkan oleh ketidaksesuaian antara asupan insulin (mis., kesalahan dosis
insulin), aktivitas fisik, dan kurang tersedianya karbohidrat (mis., melewatkan
makan). Asupan alcohol dan obat-obatan seperti kloramfenikol (Chloromycetin),
Coumadin, inhibitor monoamine oksidase (MAO), probensid (Benemid), salisat,
dan sulfonamide juga dapat menyebabkan hipoglikemia (LeMone, 2016).
Manifestasi hipoglikemia terjadi akibat respons kompensatorik sistem saraf
otonom (SSO) dan akibat kerusakan fungsi serebral akibat penurunan ketersediaan
glukosa yang dapat dipakai oleh otak. Manifestasi berbeda-beda, khususnya pada
lansia. Awitan mendadak dan glukosa darah biasanya kurang dari 450-60 mg/dl.
Hipoglikemia berat dapat menyebabkan kematian (LeMone, 2016).
18
b. Komplikasi Kronik
Menurut (Brunner & Suddarth, 2016) komplikasi kronik biasanya terjadi 10 – 15
tahun setelah awitan diabetes melitus. Komplikasinya mencakup berikut:
1) Penyakit makrovaskular (pembuluh darah besar): mempengaruhi sirkulasi
koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak.
2) Penyakit mikrovaskular (pembuluh darah kecil): mempengaruhi mata (retinopati)
dan ginjal (nefropati); kontrol kadar gula darah untuk menunda atau mencegah
awitan komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.
3) Penyakit neuropati: mempengaruhi saraf motorik dan otonom serta berperan
memunculkan sejumlah masalah, seperti impotensi dan ulkus kaki.
Menurut (Perkeni, 2015):
1) Retinopati diabetic
2) Nefropati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko atau memperlambat progress inefropati, dan untuk penderita
ginjal diabetic, mnurunkan asupan protein sampai bawah 0.8 gram/kgBB/ hari
tidak direkomendasikan memperbaiki risiko kardiovaskuler dan menurunkan GFR
ginjal.
3) Neuropati, pada neuropati perifer hilangnya sensasi distal merupakan faktor
pentingnya berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko
amputasi. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari. Setelah diagnosis DMT 2 ditegakkan,
pada setiap pasien perlu dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya
polineuropati distal yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi
19
sederhana (menggunakan monofilament 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling sedikit setiap tahun. Pada keadaan polineuropati perlu dilakukan
perawatan kaki yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan
amputasi. Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pergabalin
dapat mengurangi rasa sakit. Semua penyandang DM yang disertai neuropati
perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki utuk mengurangi risiko ulkus kaki.
Untuk pelaksanaan penyulit ini sering kali diperlukan kerjasama dengan bidang/
disiplin ilmu lain.
2.1.6 Penatalaksanaan
Apabila persepsi penyakit diderita negatif, maka kualitas hidup diabetisi akan rendah,
sedangkan apabila persepsi diabetisi terhadap penyakit yang diderita positif, maka
kualitas hidup diabetisi akan tinggi. Persepsi yang baik akan menyebabkan manajamen
akan bagus, manajemen bagus akan mengakibatkan gula darah diabetisi akan terkontrol,
sehingga komplikasi akan terpanjang dan kualitas hidup diabetisi akan baik. Jika
persepsi diabetisi tidak baik akan berdampak pada manajemen yang tidak bagus, maka
komplikasi bisa terjadi, maka kualitas hidup diabetisi tidak bagus.
Pada persepsi pasien yang tidak baik, perawat memberikan informasi terkait 5 pilar
seperti edukasi, terapi nutrisi, latihan jasmani, terapi farmakologis, dan monitoring
(Perkeni, 2015).
20
Penatalaksanaan DM meliputi terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis:
a. Terapi Non – Farmakologis
1) Edukasi
Persepsi yang baik dengan cara memberikan pendidikan atau edukasi yang baik
tentang kesehatan pasien, upaya tersebut merupakan pencegahan agar tidak
terjadinya komplikasi.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik (PERKENI, 2015). DM merupakan suatu penyakit
kronis yang memerlukan perilaku manajemen diri khusus seumur hidup. Perawat
memainkan peran penting dalam mengidentifikasi pasien yang menderita diabetes,
mengkaji keterampilan perawatan diri pasien DM, memberikan pendidikan
kesehatan dasar kepada pasien DM, mendukung penyuluhan yang diberikan oleh
spesialis dan merujuk pasien untuk menjalani perawatan tindak lanjut setelah
pulang (Bruner & Sudarth, 2016).
2) Terapi Nutrisi
Tujuan terapi nutrisi untuk orang dewasa dengan diabetes adalah untuk
mempromosikan dan mendukung pola makan sehat dalam mencapai dan
mempertahankan berat badan, glikemik, tekanan darah, dan tujuan lipid sambil
mengatasi masalah individu, termasuk akses ke makanan sehat, preferensi pribadi
dan budaya, dan faktor lainnya (ADA, 2018).
21
Tujuan nutrisi adalah untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah
dan tekanan darah dalam kisaran normal (atau seaman mungkin mendekati
normal) dan profil lipid dan lipoprotein yang menurunkan risiko penyakit
vaskuler, mencegah, atau setidaknya memperlambat, munculnya komplikasi
kronik; memenuhi kebutuhan nutrisi individu; dan menjaga kepuasan untuk makan
hanya pilihan makanan yang terbatas ketika bukti ilmiah yang ada
mengindikasikan demikian (Bruner & Sudarth, 2016).
Rencana makan harus mempertimbangkan pilihan makan pasien, gaya hidup,
waktu biasanya pasien makan, dan latar belakang etnis serta budaya pasien
(Bruner & Sudarth, 2016). Serta, bagi pasien yang membutuhkan insulin untuk
membantu mengontrol kadar gula darah, diperlukan konsistensi dalam
mempertahankan jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi pada setiap sesi
makan (Bruner & Sudarth, 2016).
3) Latihan jasmani
Mafaat olahraga sama bagi setiap orang, dengan atau tanpa DM: meningkatkan
kebugaran fisik, memperbaiki keadaan emosional, pengendalian berat badan, dan
meningkatkan kapasitas kerja. Pada penyandang DM, olahraga meningkatkan
ambilan glikosa oleh sel otot, yang kemungkinan mengurangi kebutuhan akan
insulin. Olahraga juga mengurangi kolestrol dan trigliserida, yang mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular. Penyandang DM harus berkonsultai dengan tenaga
kesehatan primer sebelumnya memulai atau menganti program olahraga.
22
Kemampuan untuk mempertahankan program olahraga dipengaruhi oleh banyak
faktor yang berbeda, termasuk keletihan dan kadar glukosa (LeMone, 2016).
Program olahraga untuk penyandang DM tipe 2 amat penting. Manfaat olahraga
teratur meliputi: menurunkan berat badan pada mereka yang kelebihan berat
badan, memperbaiki kontrol glikemik, meningkatkan kesejahteraan, bersosialisasi
dengan orang lain, dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular. Kombinasi diet,
olahraga, dan penurunan berat badan sering kali menurunkan kebutuhan akan
agens hipoglikemik oral. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan sensivitas
terhadpa insulin, peningkatan pengeluaran kkal, dan peningkatan harga diri.
Olahraga teratur dapat mencegah DM tipe 2 pada individu berisiko tinggi (ADA,
2009 dalam Le Mone, 2016).
Berikut ini panduan umum program olahraga (LeMone, 2016): Sebelum memulai
program, lakukan penapisan medis untuk hipertensi, neuropati, retinopati, dan
nefropati sebelumnya tidak terdiagnosis. Mulai program dengan olahraga ringan
dan secara bertahap tingkatkan intensitas dan durasi. Berolahraga minimal 150
menit seminggu dalam sesi pendek dan teratur. Masukan latihan tahanan
(penguatan otot) dan latihan aerobic dengan impak rendah dalam program.
b. Terapi farmakologis
Untuk mengetahui persepsi pasien terhadap terapi farmakologis maka yang dilakukan
seorang perawat dengan cara mengedukasi tentang obat dengan 7 benar pada obat
23
yaitu: benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar pemberian, benar
dokumentasi dan benar informasi. Ketika pasien mengetahui tentang 7 benar obat,
maka tidak akan terjadinya komplikasi sehingga kualitas hidup pasien DM akan
meningkat.
1) Obat – Obat Diabetes Melitus
Menurut (Perkeni, 2015) Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan. Berdasarkan cara kerja, Obat Antihiperglikemia Oral dibagi menjadi 5
golongan, yaitu: 1) Pemacu sekresi insulin (Insulin Seretagogue), yang termasuk,
yaitu: Sulfonilurea dan Gilinid. 2) Peningkatan Sensivitas terhadap insulin, yang
termasuk obat : Metfotrmin dan Tiazolidindion (TZD). 3) Penghambat Absorpsi
Glukosa di saaluran pencernaan. 4) Penghambat DPP – IV (Dipeptidly Peptidose –
IV. dan 5) Penghambat SGLT – 2 (Sodium Glucose Contransporter. Dan Obat
Antihiperglikemia Suntik, seperti: Insulin, jenis – jenis insulin menurut (Black,
2014) yaitu Kerja cepat (Rapid – acting insulin), Insulin kerja pendek (Short –
acting insulin), Insulin kerja menengah (Intermediate –acting insulin), dan Insulin
kerja panjang (Long – acting insulin).
2) Monitoring Farmakologis
Monitoring DM menurut (Perkeni, 2015), yaitu: Pemeriksaan Kadar Glukosa
Darah, pemeriksaan HbA1c, peemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau dan mencapai kontrol metabolik dan mengurangi bahaya
hipoglikemia (Le Mone, 2016), Glycated Albumin (GA) digunakan untuk menilai
indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme
hemoglobin dan masa hidup eritrosit seperti HbA1c merupakan indeks kontrol
24
glikemik jangka panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses metabolik albumin terjadi
lebih cepat daripada hemoglobin dengan perkira 15 – 20 hari sehingga GA
merupakan indeks kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa gangguan seperti
sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe obesitas dan gangguan fungsi tiroid
dapat mempengaruhi albumin yang berpotensi mempengaruhi nilai pengukuran
GA (Perkeni, 2015).
2.2 Persepsi
2.2.1 Definisi
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan suatu objek yang diawali oleh proses
pengindraan, proses diterimanya rangsangan oleh alat indra, kemudian individu
memiliki perhatian, selanjutnya diteruskan ke otak, lalu individu menyadari tentang
sesuatu yang diamati (Sunaryo, 2013).
Persepsi adalah pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dibentuk oleh
harapan dan pengalaman. Kadangkala persepsi merupakan suatu hambatan kita dalam
berkomunikasi. Karena apa yang kita persepsikan belum tentu sama dengan yang
dipersepsikan oleh orang lain (Anita Murwani & Istichomah, 2013).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses
akhir dan pandangan seseorang terhadap suatu kejadian yang diawali oleh alat indra,
25
kemudian kemudian individu memiliki perhatian, selanjutnya diteruskan ke otak, lalu
individu menyadari tentang sesuatu yang diamati.
2.2.2 Proses Terjadinya Persepsi
Proses terjadinya melalui tiga proses, yaitu prosses fisik, fisiologis, dan prsikologis.
Proses fisik terjadi melalui kealaman, yakni objek diberikan stimulus, kemudian
diterima oleh reseptor atau panca indra. Sementara itu, proses fisiologis terjadi melalui
stimulus yang dihantarkan ke saraf senssorik lalu disampaikan ke otak.Terakhir, proses
psikologis merupakan proses yang terjadi pada otak sehingga indiviu menyadari
stimulus yang diterima. Jadi, ketiga syarat tersebut sangat diperlukan demi tercapainya
suatu peersepsi yang baik (Sunaryo, 2013).
2.2.3 Macam-Macam Persepsi
Ada dua macam persepsi (Sunaryo, 2004), yaitu:
a. Eksternal Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang
datang dari luar diri individu.
b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal
dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri.
26
2.2.4 Dimensi – Dimensi Persepsi
Bahwa persepsi tentang lingkungan fisik dan sosial merupakan kegiatan internal dalam
menangkap stimulus dan kemudian memprosesnya melalui stimulus syaraf dan otak
sampai akhirnya tercipta struktur, stabilitas, dan makna darinya. untuk memahami
bekerjanya proses terebut, kita harus menyadari akan adanya dua dimensi pokok
fundamental dari persepsi:
a. Dimensi fisik (mengatur / mengorganisasi)
b. Dimensi psikologis (menafsirkan)
Kedua dimensi ini secara bersama-sama bertanggung jawab atas hasil – hasil
persepsi, sehingga pengertian tentangnya akan memberi gambaran tentang bagaimana
persepsi akan terjadi.
1) Dimensi persepsi secara fisik
Dimensi fisik ini merupakan tahap penting dari persepsi. Dimensi ini
menggambarkan perolehan kita akan informasi tentang dunia luar. Tahap
permulaan ini akup karakteristik – karakterisik stimulasi yang berupa energi,
hakekat dan fungsi mekanisme penerimaan manusia (mata, telinga, hidung, mulut
dan kulit) serta transmisi data melalui syaraf menuju ke otak, untuk kemudian
diubah ke dalan bentuk yang bermakna.
Bekerjanya anggota tubuh manusia pada tahap ini dapat dikatakan sama antara
satu dengan orang lainnya, baik yang berasal dari kebudayaan yang sama ataupun
berbeda. Karena setiap orang pada dasarnya memiliki mekanisme autonomis dan
biologis yang sama, yang menghubungkan mereka dengan lingkungannya.
27
2) Dimensi persepsi secara psikologis
Dibandingkan dengan penanganan stimuli secara fisik, keadaan individu (seperti
kepribadian, kecerdasan, pendidikan, emosi, keyakinan, nilai, sikap, motivasi, dan
lain-lain) mempunyai dampak yang jauh lebih menentukan terhadap persepsi
mengenai lingkungan dan prilaku. Pada tahap ini, setiap indivudu menciptakan
struktur, stabilitas, dan makna dalam persepsinya, serta memberikan sifat yang
pribadi dan penafsiran mengenai dunia luar.
2.2.5 Persepsi Penyakit Diabetisi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Scollan-Koliopoulos (2011) diketahui
bahwa penderita diabetes yang memiliki riwayat keturunan cenderung memiliki persepsi
bahwa dirinya mampu mengendalikan penyakitnya. Sampel penelitian tersebut
menunjukkan perilaku manajemen diri yang tinggi sebagai usaha mencapai
pengendalian penyakit yang optimal (Scollan-Koliopoulos, 2011). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Scollan-Koliopoulos (2010) juga menunjukkan kontribusi persepsi
penyakit terhadap cara penderita diabetes melakukan manajemen diri. Persepsi
konsekuensi yang dibentuk oleh penderita diabetes yang memiliki riwayat keturunan
cenderung berhubungan dengan cara penderita melakukan manajemen diri. Penderita
yang mengetahui bahwa diabetes dapat menimbulkan komplikasi akan cenderung
melakukan manajemen diri yang tinggi. Perilaku tersebut untuk menghindari
konsekuensi akibat penyakit diabetes (Scollan-Koliopoulos, 2010).
28
Persepsi penyakit merupakan cara pandang seseorang dalam menilai dan memahami
kondisi kesehatannya (Putriyani, 2013). Regulasi diri ialah hal yang penting dalam
persepsi penyakit sebab merupakan penentu timbulnya persepsi positif atau persepsi
negatif (Ibrahim N, Desa A, Chiew-Tong NK, 2011).
Persepsi penyakit yaitu pendekatan yang digunakan secara luas didalam psikologi
kesehatan, salah satunya digunakan yaitu untuk menjelaskan perilaku dan cara
mengatasi DMT2 (Weinman & Petrie, 1997; Anonim, 2014). Persepsi atau pemahaman
tentang kesehatan dipengaruhi oleh bagaimana penderita percaya terhadap
kemampuannya menjalani pengobatan, kehidupan, psikososial, pendidikan yang dimiliki
serta dukungan keluarga (Pricahyo, 2012). Kegagalan dalam mengelola aspek psikologi
dapat berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup pasien DMT2 dan persepsi pasien
terkait penyakit berkontribusi terhadap kualitas hidup pasien (Donald et al., 2012).
Menurut Yaragchi et al., (2012), Benyamin et, al., (2012) dan Long (2013) yang
menyatakan bahwa domain B-IPQ memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup. DMT2
merupakan salah satu penyakit kronis yang memerlukan pengobatan seumur hidup. Hal
inilah yang menyebabkan beberapa pasien mulai membangun persepsi tentang penyakit
yang dideritanya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penururnan kualitas
hidup, salah satunya adalah persepsi negatif yang dibangun ketika seseorang tidak dapat
mengelola penyakit yang dideritanya. Sebaliknya pasien yang beranggapan bahwa
kondisinya baik-baik saja cenderung mempunyai kualitas hidup yang baik, sehingga
dimensi dari B-IPQ akan cenderung lebih positif.
29
Persepsi penyakit telah diidentifikasi dalam beberapa studi sebagai faktor signifikan
yang mempengaruhi praktik perawatan diri, tekanan psikologis dan hasil kesehatan
lainnya di antara orang yang hidup dengan T2DM (Nuworza Kugbey et al., 2017).
2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Penyakit Diabetisi
Pada pasien DM dengan pendidikan lebih tinggi memiliki pemahaman yang lebih baik
tentang penyakitnya. Mereka mampu mengolah dampak yang muncul akibat penyakit
berikut penatalaksanaanya secara mandiri sesuai kemampuan yang dimiliki (Javanbakht,
et, al. 2012). Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan perolehan pengetahuan individu.
Pasien dengan pengetahuan yang layak memiliki kesadaran untuk merubah gaya hidup
kearah yang lebih sehat dan hidup yang berkualitas (Gultom, 2012).
2.2.7 Alat Ukur Persepsi Penyakit Diabetisi
a. The Illness Perception Questionnaire (IPQ-R)
The Illness Perception Questionnaire (IPQ-R), merupakan revisi dari IPQ asli yang
dikembangkan oleh Moss – Morris (2002). Versi IPQ-R berisi 7 domain kognitif dan
emosional antara lain garis waktu akut / kronis, garis waktu siklis, konsekuensi,
kontrol priadi, kontrol pengobatan, koherensi penyakit, representasi emosionl.
Penyebabnya dikategorikan sebagai berikut: 1) atribusi psikologis (stress atau
kekhawatiran, sikap mental, masalah dalam keluarga, kerja paksa, keadaan
emosional, kepradian), 2) faktor resiko ( hereditas, diet, perawatan medis yang buruk
dimasa lalu, peilaku sehari-hari, penuaan, rokok, dan alkohol), 3) kekebalan/ imunitas
30
(kuman, virus, polusi, kekebalan yang berubah), 4) kecelakaan atau kesempatan
(kebetulan aau nasib buruk, cedera, dan kecelakaan) (Moss-Morris et al., 2002).
b. Brief – Illness Perception Questionnaire (B-IPQ)
Brief – Illness Perception Questionnaire (B-IPQ) yaitu sejenis instrument yang
digunakan untuk mengetahui persepsi asien akan penyakit yang dideritanya karena
pasien akan diminta untuk menjawab pertanyaan tentang ancaman (rasa sakit)
kesehatan yang dirasakan. Instrumen B-IPQ sudah didigunakan di London, UK untuk
menggambarkan ancaman rasa sakit pada lima penyakit berbeda, antara lain asma,
DM tipe 2, miokardial, ginjal dan diagnosis awal setres serta sudah melewati uji
validitas instrument yang digunakan (Elizabeth B, et all., 2006).
Uji validitas dan Uji validitas dengan metode Person correlation (nilai korelasi
sedangkan uji reabilitas menggunakan teknik Internal consistency (Crombach alpha
coefficient 7) (Priyatno D., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh R. Dwi Bangga, et
al., (2016), instrumen B-IPQ versi Indonesia valid untuk mengukur persepsi penyakit
pada pasien diabetes melitus di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie kota
Pontianak dengan nilai korelasi masing-masing item > 0.3 (0.05), serta reliable untuk
mengukur persepsi penyakit pada pasien diabetes melitus di RSUD Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie kota Pontianak dengan nilai Cronbach alpha coefficient 0.812 >
0.7 (0.05).
31
Kuesioner persepsi penyakit dengan menggunakan B-IPQ yang terdiri dari 8
pertanyaan yang mencakup 9 pertanyaan yg mencakup 8 pertanyaan aspek penilaian
dan 1 pertanyaan terbuka. Delapan aspek penilaian tersebut diantaranya nilai
representasi penyakit kognitif yaitu konsekuensi (no.1), durasi waktu (no.2), tingkat
kontrol pribadi atas penyakit (no.3), kontrol (no.4) dan identitas (no.5). Untuk nilai
representasi emosional yaitu perhatian (no.6) dan emosional (no.8). Untuk nilai
representasi pemahaman yaitu pemahaman penyakit (no.7). Penilaian kuesioner
dilakukan dengan mengambil skor rata – rata dari responden pasien untuk setiap
domain yang terdiri dari satu pertanyaan jawaban diatas 5 berarti pasien menganggap
aspek penyakit ini dengan serius. Juga total sakit diperoleh dengan menambah
respons untuk masing – masing dari 8 pertanyaan dengan pertanyaan 3,4 dan 7
dicadangkan sebelum menambahkannya ke sekor. Total score kemudian dibagi 8 dan
angka yang dihasilkan mencerminkan seberapa serius pasien mamandang penyakit.
Sekor rata – rata diatas 5 menunjukkan bahwa pasien menganggap penyakit secara
serius.
2.3 Kualitas Hidup
2.3.1 Definisi
Kualitas Kehidupan sebagai persepsi individu tentang posisi mereka dalam kehidupan
dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan dalam kaitannya
dengan tujuan, harapan, standar, dan masalah mereka. Ini adalah konsep luas yang
dipengaruhi secara kompleks oleh kesehatan fisik, keadaan psikologis, kepercayaan
32
pribadi, hubungan sosial, dan hubungannya dengan ciri-ciri penting lingkungannya
(WHO, 2019).
Kualitas hidup (quality of life) merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk
mendapatkan hidup yang normal dengan persepsi secara individu mengenai tujuan,
harapan, standa dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang dialami dengan
dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut berada (Adam
dalam Nursalam, 2014). Kualitas hidup (quality of life) digunakan dalam bidang
pelayanan kesehatan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, dan
kemampuan untuk memenuhi, tuntutan kegiatan dalam kehidupan secara normal dan
dampak sakit dapat berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan
(Brooks & Anderson dalam Nurssalam, 2014).
2.3.2 Kualitas Hidup Pasien Diabetisi
Kualitas hidup diabetisi adalah gambaran perasaan puas dan bahagia akan kehidupan
secara umum, khususnya hidup dengan diabetes (Yudiyanto et al.,, 2008). Salah satu
luaran dari suatu terapi penyakit adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
untuk itu WHO memunculkan konsep kualitas hidup ini. Permasalahan kualitas hidup
perlu dipertimbangkan karena luaran terapi tidak hanya sekedar mempertimbangkan
data laboratorium dan hasil pemeriksaan fisik pasien setelah mendapat pengobatan saja
(Perwitasari, 2014).
33
Kualitas hidup digunakan sebagai acuan dalam penilaian outcome pasien diabetes
melitus tipe 2 (DMT2) (Sundaram et al., 2009). Penelitian sebelumnya melaporkan
bahwa pasien DMT2 memiliki kualitas hidup rendah dibandingkan populasi normal
(Kiadaliri et al., 2013). Penururnan kualitas hidup akibat dari penyakit yang diderita
maupun komplikasi yang menyertainya (Luscombe, 2000; Maddigan et al., 2006;
Andayani et al., 2010).
Salah satu faktor yang juga mempengaruhi kualitas hidup pasien DM adalah komplikasi
penyakit DM. Dari Hasil penelitian didapatkan bahwa hampir semua pasien mengalami
komplikasi penyakit DM (Margaretha Teli, 2017).
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien DM. Berdasarkan penelitian
sebelumnya terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan, status sosial
ekonomi berdasarkan jenis kelamin, pendapatan, status pernikahan, lama menderita,
komplikasi diabetes mellitus, aktivitas self care, efikasi diri, dukungan sosial dan depresi
dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 (Dika Erniantin et al., 2018).
2.3.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Diabetisi
a. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Naili Rafi’ah (2017), Penelitian menyebutkan usia 50
tahun sebanyak 53 orang dan usia <50 tahun sebanyak 28 orang yang terkena DM
34
dengan komplikasi menunjukan penyebab utamanya yaitu perubahan pola hidup.
Sehingga faktor usia mempengaruhi pada kualitas hidup pasien DM.
b. Jenis kelamin
Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien DM (Saputro,
2008).
c. Status Perkawinan
Terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan kualitas hidup
pasien diabetes melitus tipe II, sehingga penderita DM tipe II yang janda/ duda
mempunyai risiko 12,4 kali lebih besar untuk memiliki kualitas hidup yang lebih
rendah (tidak puas) daripada menikah atau memiliki pasangan (Dwi Wahyu
Ningtyas, et, al. 2013).
d. Pendidikan
Penelitian di Iran telah membuktikan hubungan tingkat pendidikan yang tinggi
dengan peningkatan nilai kualitas hidup, pasien DMT2 dengan pendidikan lebih
tinggi memiliki pemahaman yang lebih baik tentang penyakitnya (Javanbakht, et, al.
2012). Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan perolehan pengetahuan individu.
Pasien dengan pengetahuan yang layak memiliki kesadaran untuk merubah gaya
hidup kearah yang lebih ehat dan hidup yang berkualitas (Gultom, 2012).
Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup
pasien diabetes Melitus tipe II, sehingga penderita DM tipe II yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah (Sekolah Dasar) mempunyai resiko 1,9 kali lebih besar
35
untuk memiliki kualitas hidup yang lebih rendah (tidak puas) daripada yang
berpendidikan tinggi (SMA, PT/ Akademi) (Dwi Wahyu Ningtyas, et, al. 2013).
e. Lama Menderita DM
Dwi Wahyu Ningtyas, et, al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara lama menderita DM tipe II. Sehingga, pasien DM tipe II yang
menderita penyakit 10 tahun memiliki risiko 4 kali lebih besar memiliki kualitas
hidup yang lebih rendah (tidak puas) daripada yang menderita <10 tahun.
f. Pekerjaan
Penelitian yang dilakukan oleh Naili Rafi’ah (2017), Penelitian menyebutkan tidak
bekerja sebanyak 53 orang dan yang bekerja sebanyak 28 orang yang terkena DM
dengan komplikasi menunjukan penyebab utamanya yaitu perubahan pola hidup.
Sehingga faktor pekerjaan mempengaruhi pada kualitas hidup pasien DM.
2.3.4 Alat Ukur Kualitas Hidup Diabetisi
a. Pengukuran WHO – BREEF Quality of Life (QoL)
Terjemahan kuesioner WHO – BREEF Quality of Life (QoL) ini dilakukan atas
nama Organisasi Kesehatan Dunia oleh Dr Ratna Mardiati; Satya Joewana,
Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta; Dr Hartati Kurniadi; Isfandari, Kementerian
Kesehatan Indonesia dan Riza Sarasvita, Rumah Sakit Ketergantungan Obat
Fatmawati, Jakarta.
36
Kuesioner kualitas hidup dengan WHOQOL – BREF terdiri dari 26 pertanyaan yang
mencakup domain fungsi fisik, keterbatasan peranan emosi, fatigue, kesehatan
mental, fungsi sosial, nyeri, dan kesehatan umum. Kuesioner kualitas hidup dibagi
menjadi 4 domain yaitu domain 1 tentang kesehatan fisik (no.3, no.4, no.10, no.15,
no.16, no.17, no.18), domain 2 tentang kondisi psikologi (no.5, no.6, no.7, no.11,
no.19 dan no.26), domain 3 tentang hubungan sosial yaitu (no.20, no.21, no.22) dan
domain kondisi lingkungan yaitu (no.8, no.9, no.12, no.13, no.14, no.23, no.24, dan
no.25).
b. Pengukuran Diabetes Quality of Life (DQOL)
Diabetes Quality of Life (DQoL) yang dibuat oleh Jacobson dkk. (1988). DQoL
berfungsi untuk mengukur kepuasan, dampak, dan kekhawatiran pada pasien DMT2.
Alat ini mengukur kepuasan individu dengan berbagai komponen kehidupan seperti
kekhawatiran mereka baik sosial maupun masa depan dan besarnya dampak diabetes
dalam mempengaruhi kehidupan (Asseltyne, 2011).
Instrumen ini memiliki 46 item inti yang terdiri dari empat indikator, yaitu kepuasan
dengan pengobatan (15 item), dampak pengobatan (20 item), kekhawatiran tentang
dampak masa depan diabetes (empat item), dan kekhawatiran tentang isu-isu sosial
dan pekerjaan (tujuh item). Instrumen ini juga terdiri dari item kesehatan secara
keseluruhan. Dimensi dan skor total DQoL (skor rata-rata di empat dimensi) yang
mencetak 0-100 dimana 0 mewakili kualitas serendah mungkin hidup dan 100 yang
tertinggi (Asseltyne, 2011).
37
DQoL menggunakan skala model Likert dengan lima pilihan jawaban, adapun
beberapa bentuk pilihan jawabannya yaitu; sangat puas-sangat tidak puas, sangat
berdampak-sangat tidak berdampak, dan tidak pernah-selalu.
Gibbons dan Fitzpatrik (2009) menyatakan bahwa insrtumen ini telah digunakan di
berbagai penelitian kualitas hidup pada pasien diabetes dan memperoleh hasil yang
sangat baik untuk validitas, reliabilitas, tingkat respon.
Adapun konsistensi internalnya men-capai Alpha Chronbach 0,66-0,969. Selain itu,
kedua peneliti ini meng-evaluasi skala DQoL menunjukkan bahwa sebagian besar
skala ini memiliki bukti yang baik dari konsistensi internal meskipun beberapa item
memiliki Alpha rendah. Validitas diskriminatif telah mendukung sensitivitas skala ini
dalam mengidentifikasi kondisi kesehatan pasien yang beragam dengan berbagai
tingkat gejala dan komorbiditas.
38
2.4 Kerangka teori
Skema 2.1 Kerangka teori
DM
Faktor resiko DM tipe 2:
Obesitas
Pola makan dan nutrisi
yang buruk
Kurang aktivitas fisik
Prediabetes atau intoleransi
glukosa terganggu
Merokok
Riwayat DM
Penatalaksanaan DM:
Edukasi
Terapi nutrisi
Latihan jasmani
Terapi farmakologis
Monitoring
Komplikasi DM:
Komplikasi akut
Komplikasi kronik
Persepsi:
- Proses terjadinya persepsi
- Macam- macam persepsi
- Dimensi- dimensi persepsi
Persepsi penyakit DM:
Kualitas hidup:
- Domain kesehatan fisik
- Domain kesehatan psilologis
- Domain hubungan sosial
- Domain lingkungan
Kualitas hidup diabetisi