Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Definisi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2019:1) diabetes adalah
penyakit kronis kompleks yang membutuhkan perawatan medis berkelanjutan
dengan strategi pengurangan risiko multifaktorial di luar kendali glikemik.
Pendidikan dan dukungan manajemen diri pasien yang berkelanjutan sangat
penting untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi
jangka panjang.
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes
melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa, postprandial, aterosklerotik, dan
penyakit vaskular mikroangiopati serta neuropati. Pasien dengan kelainan
toleransi glukosa ringan dapat tetap beresiko mengalami komplikasi
metabolik diabetes (Price & Wilson, 2006:1260).
Diabetes melitus adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan pada
pankreas yang tidak dapat menghasilkan insulin sesuai dengan kebutuhan
tubuh dan atau ketidakmampuan dalam memecah insulin. Penyakit diabetes
juga menjadi faktor komplikasi dari beberapa penyakit lain (Maghfuri,
2016:2).
Diabetes melitus adalah suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri,
polidipsi, dan polifagi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia (glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau postprandial ≥ 200mg/dL).
Bila diabetes melitus tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme
lemak dan protein serta resiko timbulnya gangguan mikrovaskular atau
makrovaskular meningkat (Gunawan, dkk, 2016:495).
7
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2019:13), diabetes dapat
diklasifikasikan ke dalam kategori umum sebagai berikut:
a. Diabetes Melitus tipe-1
Sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen insulin. Kedua tipe ini
dapat muncul pada sembarang usia. Ditandai oleh destruksi sel-β secara
selektif dan defisiensi insulin absolut atau berat. Diabetes tipe-1 terbagi
menjadi dua subtipe yaitu autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kekurangan sel – sel beta dan idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan
tidak diketahui (Price & Wilson, 2006:1262).
b. Diabetes Melitus tipe-2
Dikenal sebagai diabetes tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe
nondependen insulin. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini dan
insiden diabetes tipe-2 tiap tahunnya sebesar 650.000 kasus baru (Price &
Wilson, 2006:1262).
c. Diabetes Gestasional (GDM)
Dikenal pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari
semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik,
obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional
terdahulu. Terjadi peningkatan sekresi hormon yang mempunyai efek
metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan
diabetogenik (Price & Wilson, 2006:1262).
d. Tipe Khusus Lain
Jenis diabetes spesifik karena penyebab lain, misalnya sindrom diabetes
monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes onset kedewasaan
[MODY] muda), penyakit pada pankreas eksokrin (seperti cysticfibrosis dan
pankreatitis), dan diabetes yang diinduksi obat atau bahan kimia (seperti
penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS, atau setelah
transplantasi organ) (ADA, 2019:13).
8
3. Perbedaan Diabetes Melitus Tipe-1 dan Diabetes Melitus Tipe- 2
Tabel 2.1 Perbedaan Diabetes Melitus tipe-1 dan Diabetes Melitus tipe-2
Ciri – Ciri Diabetes Melitus Tipe-1 Diabetes Melitus Tipe-2
1. Klinis • Onset < 20 tahun
• Berat badan normal
• Kadar insulin darah
menurun secara nyata
• Antibodi anti-sel pulau
• Ketoasidosis sering
terjadi
• Onset > 30 taun
• Obesitas
• Peningkatan kadar insulin darah
(awal), kadar insulin yang normal
hingga penurunan sedang (lanjut)
• Tidak ada Antibodi anti-sel pulau
• Ketoasidosis jarang terjadi, koma
hiperosmoler nonketotik.
2. Genetika • 30% - 70% bersamaan
dengan anak kembar
• Memiliki kolerasi dengan
kelas MHC gen HLA II
• 50% - 90% bersamaan dengan anak
kembar
• Tidak memiliki kolerasi HLA
• Berkolerasi dengan calon gen
diabetogenik (PPARs, calpain 10)
3. Patogenesis • Destruksi autoimun sel-β
yang dimediasi oleh sel-sel
T dan mediator humoral
(TNF,ILI,NO)
• Defisiensi absolut insulin
• Resistensi insulin dalam otot skeletal,
jaringan adiposa dan hati
• Disfungsi sel-β dan defisiensi relatif
insulin
4. Sel Islet • Insulitis dini
• Atrofi dan fibrosis yang
nyata
• Deplesi sel-β
• Tidak ada insulitis
• Atrofi fokal dan pengendapan amiloid
• Deplesi sel-β yang ringan
Sumber : Robbins & Cotran. 2008:8
4. Epidemiologi Diabetes Melitus
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar
16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis
600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di
Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang
dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes
paling sedikit 21
2 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderita diabetes.
Terdapat 75% penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit
vaskular, serangan jantung, gagal ginjal, dan stroke sebagai komplikasi yang
utama. Dampak ekonomi pada diabetes juga terlihat berakibat pada biaya
pengobatan dan hilangnya pendapatan (Price & Wilson, 2006:1260).
9
5. Faktor Risiko
Menurut Depkes RI (2008:9), faktor risiko adalah suatu aktivitas atau
kegiatan, zat atau bahan, kondisi dan faktor pencetus yang mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya penyakit diabetes melitus pada seseorang.
Pencegahan faktor risiko dilakukan untuk orang yang sehat dengan tujuan
agar orang tersebut tetap terjaga dalam kondisi normal.
Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi diabetes melitus, sebagai
berikut :
a. Faktor risiko melekat yang sulit dan mungkin tidak dapat dirubah yaitu umur,
jenis kelamin, keturunan, status sosial seperti suku, dan adat istiadat atau
budaya.
b. Faktor risiko perilaku yang dapat dirubah yaitu merokok, konsumsi alkohol,
kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi serat, konsumsi lemak, dan kalori
tinggi.
c. Faktor risiko lingkungan yaitu kondisi ekonomi daerah, lingkungan sosial,
status sosio-ekonomi, dan lingkungan fisik.
d. Faktor risiko fisik seperti obesitas, hipertensi, dan sindrom polikistik
ovarium.
e. Faktor risiko biologis seperti hiperglikemia, toleransi glukosa terganggu,
diabetes gestasional, dan dislipidemia (Depkes RI, 2008:10).
6. Etiologi Diabetes Melitus
a. Etiologi Diabetes Melitus tipe-1
Diabetes Melitus tipe-1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala – gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap
perusakan imunologik sel – sel yang memproduksi insulin. Individu yang
peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian –
kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
auto-antibodi terhadap sel beta yang akan mengakibatkan berkurangnya
sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis diabetes
melitus terjadi jika lebih dari 90% sel beta menjadi rusak. Pada diabetes
melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel beta telah rusak semuanya,
10
sehingga terjadi insulopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan
dengan defisiensi insulin (Price & Wilson, 2006:1261).
b. Etiologi Diabetes Melitus Tipe-2
Diabetes melitus tipe-2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta
terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor disebabkan karena berkurangnya jumlah
tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau
akibat ketidaknormalan reseptor insulin instriksik, akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan transport
glukosa. Ketidakabnormalan post-reseptor dapat mengganggu kerja insulin
yang pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dalam menurunkan jumlah
insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan
euglikemia (Price & Wilson, 2006:1261).
Tabel 2.2 Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut :
▪ Autoimun
▪ Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain ▪ Defek genetik fungsi sel beta
▪ Defek genetik kerja insulin
▪ Penyakit eksokrin pankreas
▪ Endokrinopati
▪ Karena obat atau zat kimia
▪ Infeksi, dll
Sumber : Perkeni, 2015:10
7. Diagnosis Diabetes Melitus
Gejala utama yang dapat diderita pasien dengan diabetes yang tidak
terdiagnosis meliputi: polidipsia, poliuria, nokturia, kelelahan ekstrim,
penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan, mengurangi tingkat
penyembuhan luka, penglihatan kabur, dan gatal genital / sering timbulnya
sariawan (Perkeni, 2015:11).
11
Bersama dengan gejala-gejala ini, diagnosis diabetes dengan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis diabetes melitus (Depkes RI, 2005:21). Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer (Perkeni, 2015:11).
Tabel 2.3 Kriteria Penegakan Diagnosis
Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam setelah makan
Normal <100 mg/dL <140 mg/dL
Pra-diabetes
IFG atau IGT
100 – 125 mg/dL
––
––
140–199 mg/dL
Diabetes ≥126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Sumber: Depkes RI, 2005:21
8. Penyakit Penyerta/Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi. Komplikasi pada diabetes melitus dibagi menjadi dua kategori
yaitu :
a. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik akut meliputi ketoasidosis diabetik, hiperglikemia,
hiperosmolar, koma nonketotik, dan hipoglikemia (Price & Wilson,
2006:1264).
b. Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Komplikasi kronik yang dapat muncul adalah retinopati diabetik,
glomerulosklerosis diabetik, nefropati diabetik, neuropati perifer dan penyakit
maskular yang mengacu pada aterosklerosis dengan berkembangnya penyakit
arteri koronaria, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, dan meningkatkan
resiko infeksi (Price & Wilson, 2006:1264).
12
9. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan menurut Perkeni
(2015:14) meliputi:
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan diabetes melitus,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes
melitus.
Menurut American Diabetes Association (2019:46) terdapat empat pilar
utama dalam penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu:
a. Edukasi / Pendidikan
Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan
dan keterampilan bagi pasien diabetes melitus yang bertujuan menjunjung
perubahan perilaku untuk meningkatkan pengetahuan pasien akan
penyakitnya (Depkes RI, 2005:68). Sesuai dengan standar nasional untuk
edukasi dan dukungan manajemen diri diabetes, penderita diabetes harus
berpartisipasi dalam edukasi manajemen diri diabetes untuk memfasilitasi
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan dalam
perawatan diri diabetes. Dukungan manajemen mandiri diabetes
direkomendasikan agar membantu penerapan dan mempertahankan
keterampilan dan perilaku yang diperlukan untuk manajemen diri yang
berkelanjutan (ADA, 2019:47).
Metode edukasi pasien dapat diterapkan dengan metode konseling,
ceramah, dialog dan diskusi, informasi cetak (leaflet) sampai dengan metode
audiovisual, demonstrasi tehnik, simulasi video, dan belajar dengan bantuan
komputer (Rantucci, 2009:136). Tujuan keseluruhan edukasi dan dukungan
manajemen diri diabetes adalah untuk mendukung informasi pengambilan
keputusan, perilaku perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif
dengan tim perawatan kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status
kesehatan, dan kualitas hidup dengan cara yang hemat biaya (ADA, 2019:47).
13
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis adalah menentukan apa yang harus dimakan dan
mengikuti rencana makan. Tidak ada pola makan satu ukuran untuk semua
penderita diabetes, dan perencanaan makan harus disesuaikan dengan
kebutuhan individu (ADA, 2019:47). Diet yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak,
sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
1) Karbohidrat : 10-67%
2) Protein : 10-15%
3) Lemak : 20-25% (Depkes RI, 2005:24).
Terapi nutrisi medis memiliki peran integral dalam manajemen diabetes
secara keseluruhan, dan setiap orang dengan diabetes harus secara aktif
terlibat dalam pendidikan, manajemen diri, dan perencanaan perawatan
dengan tim perawatan kesehatannya, termasuk pengembangan kolaboratif
dari makanan individual (ADA, 2019:47).
c. Aktivitas fisik/ jasmani
Aktivitas fisik adalah istilah umum yang mencakup semua gerakan untuk
meningkatkan penggunaan energi dan merupakan bagian penting dari rencana
manajemen diabetes. Olahraga adalah bentuk aktivitas fisik yang lebih
spesifik, terstruktur, dan dirancang untuk meningkatkan kebugaran fisik
(ADA, 2019: 51).
Olahraga telah terbukti meningkatkan kontrol glukosa darah, mengurangi
faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi terhadap penurunan berat badan,
dan meningkatkan kualitas hidup. Jika tidak dikontraindikasikan, pasien
dengan diabetes tipe-2 didorong untuk melakukan setidaknya dua sesi latihan
resistensi mingguan (olahraga dengan beban bebas atau mesin berat), dengan
setiap sesi terdiri dari setidaknya satu set (kelompok gerakan latihan berulang
yang berurutan) (ADA, 2019:52).
14
d. Terapi Farmakologis
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam
bentuk terapi obat hipoglikemik oral (OHO), terapi insulin, atau kombinasi
keduanya. Tujuan utama terapi pengobatan adalah untuk mengendalikan
kadar glukosa dalam darah dan mencegah terjadinya komplikasi (Depkes RI,
2005:26).
10. Terapi Diabetes Melitus
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan, sebagai berikut :
a. Obat Antihiperglikemia Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi lima golongan :
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Sulfonilurea merupakan pilihan untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, tetapi masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
resiko hipoglikemia yang berkepanjangan, sebaiknya hindari pemberian
sulfonilurea dengan jangka waktu yang panjang (Shahab, 2017:143).
b) Meglitinid (Rapid-acting prandial insulin releasers)
Meglitinid merupakan generasi baru obat yang menyerupai kerja
sulfonilurea, terutama bekerja pada fase pertama sekresi insulin pada sel
beta pankreas. Golongan obat ini terdiri dari dua macam obat, yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenil alanin).
Meglitinid dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun sebagai terapi
kombinasi. Apabila diberikan sebagai terapi tunggal, Meglitid sangat
jarang menyebabkan hipoglikemia (Shahab, 2017:144).
15
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizer)
a) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati,
dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin kontraindikasi pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular) (Shahab,
2017:144).
b) Tiazolidindion (PPAR-γ agonist)
Tiazolidindion (contohnya: rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan
pada peroxisome proliferator activated receptor (PPAR-γ), suatu reseptor
inti sel yang bekerja pada otot dan hati. Golongan obat ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah glukose
transporter, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer dan
menurunkan produksi glukosa hati. Obat ini dikontraindikasikan pada
keadaan gagal jantung kelas III-IV karena dapat memperberat edema /
retensi cairan (Shahab, 2017:145).
3) Penghambat Alfa Glukosidase (Alpha Glucosidase inhibitor)
Obat ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik
sesudah makan. Terutama bermanfaat untuk pasien dengan glukosa darah
puasa yang masih normal, tetapi mengalami peningkatan kadar glukosa
darah postprandial (Shahab, 2017:145). Efek samping yang mungkin
terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya obat
ini diberikan dengan dosis kecil, contoh obat golongan ini adalah
Acarbose (Perkeni, 2015:29).
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-
IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
16
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin (Perkeni, 2015:30).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter-2 inhibitors)
Obat jenis ini bekerja dengan cara menghambat SGLT-2 di dalam
nefron proximal, sehingga mengurangi reabsorpsi glukosa dan
meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin sampai 80 gram perhari.
Kerja obat ini tidak tergantung insulin, sehingga dapat digunakan pada
semua stadium dari DM tipe-2 (Shahab, 2017:146). Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, dan
Ipragliflozin (Perkeni, 2015:30).
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin dan agonis GLP-1.
1) Insulin
Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa
darahnya dengan kombinasi sulfonilurea dan metformin, langkah selanjutnya
adalah pemberian insulin. Efek kerja insulin adalah membantu transpor
glukosa dari darah ke dalam sel. Sediaan insulin untuk terapi dapat
digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu:
a) Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin
reguler
b) Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
c) Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
d) Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin) (Depkes RI, 2005:32).
2) Agonis GLP-1 (Incretin Mimetic)
Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat
badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan.
Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien diabetes melitus dengan obesitas.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
17
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain
rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide (Perkeni, 2015:39).
c. Terapi Kombinasi
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Namun dengan OHO dosis hampir
maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, maka
dilakukan terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda (Shahab, 2017:148).
B. Kepatuhan
1. Definisi Kepatuhan
Kepatuhan didefinisikan sebagai keterlibatan aktif, sukarela, dan
kolaboratif pasien dalam perilaku yang dapat diterima bersama untuk
menghasilkan hasil terapi. Konsep kepatuhan adalah pilihan dan kebersamaan
dalam penetapan tujuan, perencanaan perawatan, dan implementasi rejimen
(Delamater, 2006:72). Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan apakah seorang pasien menggunakan atau tidak obatnya
sesuai petunjuk atau tidak (Wiffen, et.al. 2010:2).
2. Faktor – Faktor Kepatuhan
Menurut Depkes RI (2008:9) beberapa penyebab dari ketidakpatuhan
pasien dalam penggunaan obat dapat disebabkan karena faktor pasien sendiri
maupun faktor-faktor yang lain. Diantaranya sebagai berikut:
a. Faktor Penyakit
1) Keparahan atau stadium penyakit, kadang orang yang merasa sudah lebih
baik kondisinya tidak mau meneruskan pengobatan
2) Lamanya terapi berlangsung, semakin lama waktu yang diberikan untuk
terapi, tingkat kepatuhan semakin rendah.
18
b. Faktor Terapi
1) Regimen pengobatan yang kompleks baik jumlah obat maupun jadwal
penggunaan obat
2) Kesulitan dalam penggunaan obat, misalnya: kesulitan menelan obat karena
ukuran tablet yang besar
3) Efek samping yang ditimbulkan, misalnya: mual, konstipasi, dll
4) Rutinitas sehari-hari yang tidak sesuai dengan jadwal penggunaan obat.
c. Faktor Pasien
1) Merasa kurang pemahaman mengenai keseriusan dari penyakit dan hasil yang
didapat jika tidak diobati
2) Menganggap pengobatan yang dilakukan tidak begitu efektif
3) Motivasi ingin sembuh
4) Kepribadian/perilaku, misalnya orang yang terbiasa hidup teratur dan disiplin
akan lebih patuh menjalani terapi
5) Dukungan lingkungan sekitar/keluarga
6) Sosio-demografi pasien : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan lain
sebagainya.
d. Faktor Komunikasi
1) Pengetahuan yang kurang tentang obat dan kesehatan
2) Kurang mendapat instruksi yang jelas tentang pengobatannya
3) Kurang mendapatkan cara atau solusi untuk mengubah gaya hidupnya
4) Ketidakpuasan dalam berinteraksi dengan tenaga ahli kesehatan
5) Apoteker tidak melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan.
3. Penilaian Kepatuhan
Pasien tidak selalu mengambil obat - obatan mereka persis seperti yang
ditentukan, dan tenaga kesehatan sering tidak menyadari bagaimana pasien
menggunakan obat-obatan mereka. Tujuan menilai kepatuhan bukan untuk
memantau pasien tetapi untuk mengetahui apakah pasien membutuhkan lebih
banyak informasi dan dukungan (NICE, 2019:13).
19
a. Respon Pengobatan
Metode penilaian ketaatan paling relevan secara klinis. Apabila pasien
telah mendapatkan obatnya, secara logika kesehatannya akan meningkat
(diasumsikan pilihan terapinya tepat). Penanda keberhasilan terapi yang tidak
invasif dan sederhana diperlukan melakukan pengukuran tekanan darah,
tingkat kolesterol atau tingkat glukosa darah (Wiffen, et.al, 2010:4).
b. Rekam Obat (lembar isian)
Metode ini dapat digunakan untuk memeriksa apakah pasien memperoleh
jumlah tablet yang tepat setiap waktu agar pasien tidak kehabisan persedian
jika mereka minum obat-obatnya dengan tepat (Wiffen, et.al, 2010:4).
c. Laporan Pribadi Pasien
Pasien hendaknya ditanya (tidak dengan cara dihakimi) apakah mereka
melewatkan atau menunda beberapa dosis, jika begitu berapa jumlahnya.
Hasil dari metode ini berhubungan erat dengan hasil yang terukur dan relatif
murah serta mudah dilakukan, namun pasien cenderung melebih-lebihkan
tingkat kepatuhan dan memberikan jawaban yang menurut mereka ingin
didengar oleh pihak yang meminta (Wiffen, et.al, 2010:4).
d. Pemantauan Obat Terapeutik
Metode ini menunjukan manfaat terbatas untuk menilai kepatuhan.
kepatuhan dapat diasumsikan jika kadar serum berada dalam rentang
terapeutik, tetapi tidak dalam jangka waktu yang lama. Tingkat subterapi ini
dapat menjadi indikator ketidakpatuhan atau ketidakpatuhan sementara, tetapi
juga dapat mencerminkan malabsorpsi obat atau interaksi obat (Wiffen, et.al,
2010:4).
4. Cara Meningkatkan Kepatuhan
a. Alarm
Alarm tidur dan panggilan telepon telah digunakan untuk mengingatkan
pasien untuk minum obat. Banyak pasien merasa perlu untuk mengatur alarm
pada ponsel mereka karena ini kurang jelas daripada alarm khusus (Wiffen,
et.al, 2010:6).
20
b. Pengingat Isi Ulang / Tindak Lanjut
Pengingat Pasien yang menghadiri klinik tindak lanjut dan mengulangi
resep lebih cenderung untuk mematuhi rejimen pengobatan mereka.
Dukungan kepatuhan sebaiknya tidak hanya berkonsentrasi pada minum obat,
tetapi juga memastikan bahwa pasien mematuhi terapi lain, janji rawat jalan
dll (Wiffen, et.al, 2010:6).
c. Penyederhanaan Rejimen
Pasien yang harus minum obat lebih dari tiga kali sehari cenderung
kurang patuh terhadap rejimen mereka. Idealnya rejimen harus
disederhanakan menjadi tiga kali sehari atau kurang, dengan waktu yang
sesuai dengan gaya hidup pasien (Wiffen, et.al, 2010:6).
d. Informasi Lisan dan Tulisan (leaflet)
Penjelasan sederhana tentang jadwal dosis dan kemungkinan efek
samping harus diberikan pada setiap resep. pasien mungkin tidak memahami
istilah yang tampak jelas bagi profesional kesehatan (Wiffen, et.al, 2010:6).
Tepat untuk menulis informasi pasien yang dibuat khusus untuk obat atau
terapi tertentu karena banyak penyakit kronis seperti penyakit diabetes yang
membutuhkan penjelasan singkat mengenai efek samping dll. Komunikasi
dua arah antara pasien dan profesional kesehatan mungkin perlu untuk
mendiskusikan perawatan dengan pasien. Pasien harus diberi waktu untuk
mengungkapkan ketakutan dan keyakinan mereka dan untuk mengajukan
pertanyaan tentang terapi (Wiffen, et.al, 2010:7).
C. Media Promosi Kesehatan
1. Definisi Media Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan adalah suatu kegiatan atau
usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, Kelompok, atau
individu agar dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih
baik. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perubahan
perilaku sasaran (Notoadmodjo, 2010:284). WHO menekankan bahwa
promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan memungkinkan
individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan meningkatkan
21
kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan diri sendiri
(self empowerment ) (Maulana, 2009:19).
Media Promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan adalah semua
sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin
disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronika
(TV, Radio, komputer, dan sebagainya) dan media luar ruang, sehingga
sasaran dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya diharapkan dapat
berubah kearah positif terhadap kesehatan. Tujuan media promosi kesehatan
antara lain sebagai berikut :
a. Media dapat mempermudah penyampaian informasi
b. Media dapat menghindari kesalahan persepsi
c. Media dapat mempermudah pengertian dan memperjelas informasi
d. Mengurangi komunikasi yang verbalistik
e. Memperlancar komunikasi, dan lain – lain (Notoadmodjo, 2010:290).
2. Penggolongan Media Promosi Kesehatan
Penggolongan media promosi kesehatan menurut Notoadmodjo
(2010:290) dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain :
a. Berdasarkan Bentuk Umum Penggunaanya
Dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Bahan bacaan meliputi : modul, buku rujukan / bacaan, folder, leaflet,
majalah, buletin, dan sebagainya.
2) Bahan peragaan meliputi : poster tunggal, poster seri, flipchart, transparan,
slide, film, dan seterusnya (Notoadmodjo, 2010:290)
b. Berdasarkan Cara Produksi
Dikelompokan menjadi tiga yaitu :
1) Media Cetak
Yaitu suatu medis statis dan mengutamakan pesan – pesan visual. Pada
umumnya terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar, atau foto dalam tata
warna. Antara lain sebagai berikut : poster, leaflet, brosur, majalah, surat
kabar, lembar balik, sticker, dan pamflet (Notoadmodjo, 2010:291).
22
2) Media Elektronik
Yaitu suatu media bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan didengar dalam
menyampaikan pesannya melalui alat bantu elektronika. Antar lain sebagai
berikut : TV, radio, film, video film, cassete, CD, dan VCD (Notoadmodjo,
2010:292).
3) Media Luar Ruang
Yaitu media yang menyampaikan pesannya diluar ruang secara umum
melalui media cetak dan elektronik secara statis, misalnya : papan reklame,
spanduk, pameran, banner, dan TV layar lebar (Notoadmodjo, 2010:292).
D. Leaflet
1. Definisi Leaflet
Leaflet adalah selembar kertas yang berisi tulisan cetak tentang sesuatu
masalah khusus untuk sasaran dengan tujuan tertentu (Syafrudin &
Fratidhina, 2009:166). Leaflet adalah bentuk penyampaian informasi atau
pesan – pesan kesehatan melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat
dalam bentuk kalimat maupun gambar, atau kombinasi (Notoadmodjo,
2007:69). Leaflet Informasi pasien membantu pasien tetap mengingat
informasi yang telah didiskusikan dan menyediakan sumber informasi untuk
acuan berikutnya (Wiffen, et.al, 2010:10).
Tujuan penggunaan leaflet untuk mengingatkan kembali tentang hal – hal
yang pernah diajarkan atau diceramahkan, dan leaflet biasanya diberikan
kepada sasaran setelah selesai pelajaran atau ceramah, dapat juga diberikan
sewaktu kampanye untuk memperkuat ide yang disampaikan (Syafrudin &
Fratidhina, 2009:166).
Menurut penelitian para ahli, indra yang paling banyak menyalurkan
pengetahuan kedalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari
pegetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui mata, sedangkan 13%
sampai 25% lainnya tersalur melalui indera yang lain. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa alat – alat visual lebih mempermudah cara penyampaian
dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan (Notoadmodjo, 2007:63).
23
2. Kekurangan dan Keuntungan Leaflet
a. Kekurangan Leaflet
1) Bila cetakannya tidak menarik, orang segan menyimpannya
2) Kebanyakan orang segan membacanya, apalagi bila hurufnya terlalu kecil dan
susunannya tidak menarik
3) Leaflet tidak bisa digunakan oleh individu yang kurang lancar membaca
(Syafrudin & Fratidhina, 2009:166)
b. Keuntungan Leaflet
1) Dapat disimpan lama dan bisa dilihat kembali
2) Dapat dipakai sebagai bahan bacaan rujukan
3) Isi dipercaya karena dicetak dan dikeluarkan oleh instansi resmi
4) Jangkauannya jauh dan dapat membantu jangkauan media lain
5) Jika perlu dapat dicetak ulang
6) Dapat dipakai untuk bahan diskusi pada kesempatan yang berbeda (Syafrudin
& Fratidhina, 2009:166).
E. Kuesioner MMAS-8
Kepatuhan obat dinilai dengan menggunakan kuisioner MMAS-8
(Morisky Medication 8-item Adherence Scale). MMAS-8 adalah kuesioner
yang memiliki skala terdiri dari delapan pertanyaan, tujuh item pertama
memiliki jawaban dikotomis (ya / tidak) yang menunjukkan perilaku patuh
atau tidak patuh, untuk item ke-8, pasien dapat memilih jawaban pada skala
likert 5 poin, dengan menyatakan seberapa sering terjadi seorang pasien tidak
minum obat. Skor MMAS-8 dapat berkisar dari 0 hingga 8 poin untuk
mengkategorikan pasien memiliki tingkat kepatuhan tinggi, sedang atau
rendah. Kuesioner MMAS-8 paling sering digunakan untuk mengukur
kepatuhan berobat pada pasien penderita penyakit kronik yang membutuhkan
terapi jangka panjang seperti hipertensi, asma, diabetes, osteoporosis,
epilepsi, dan pasien yang menggunakan warfarin (Morisky, dkk, 2011:256).
24
F. WhatsApp
Sumber: https://www.stickpng.com
Gambar 2.1 WhatsApps.
Whatsapp messenger adalah aplikasi pesan untuk ponsel cerdas
(smartphone) dengan basic mirip blackberry messenger. Whatsapp messenger
merupakan aplikasi pesan lintas platform yang memungkinkan kita bertukar
pesan tanpa biaya sms, karena menggunakan paket data internet yang sama
untuk email, browsing web, dan lain-lain. Aplikasi ini menggunakan koneksi
internet 3g, 4g, atau wifi untuk komunikasi data. WhatsApp dapat melakukan
obrolan online, berbagi file, memiliki fitur untuk mengirim gambar, video,
suara, lokasi GPS, status pesan yang memudahkan untuk mengetahui pesan
sudah terbaca/terkirim, fitur broadcats untuk kirim pesan kebanyak pengguna,
dan grup chat untuk mengirim pesan ke anggota sesama komunitas
(https://id.wikipedia.org/wiki/WhatsApp).
G. Google Form
Sumber : https://www.pngitem.com
Gambar 2.2 Google form.
Google formulir (atau juga google forms) adalah aplikasi administrasi
survei yang termasuk dalam suite kantor google drive bersama dengan google
dokumen, google sheets, dan google slides. Formulir menampilkan semua
fitur gabungan dan berbagi yang ditemukan di dokumen, spreadsheet, dan
slide. Google forms adalah alat yang memungkinkan mengumpulkan
informasi dari pengguna melalui survei ataupun kuis yang dipersonalisasi.
25
Informasi tersebut kemudian dikumpulkan dan secara otomatis terhubung ke
spreadsheet (https://id.wikipedia.org/wiki/Google).
Terdapat fitur-fitur baru, tetapi tidak terbatas pada pencarian menu, acak
pertanyaan untuk pesanan acak, membatasi tanggapan untuk satu kali per
orang, URL lebih pendek, tema yang dapat dikostum, secara otomatis
menghasilkan saran jawaban saat membuat formulir, dan opsi "Unggah file"
untuk pengguna menjawab pertanyaan yang mengharuskan mereka untuk
berbagi konten atau file dari komputer mereka atau google drive
(https://id.wikipedia.org/wiki/Google).
26
H. Kerangka Teori
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Sumber : (ADA, 2019), (Rantucci, 2009), (Depkes RI, 2008)
Terapi Nutrisi
Medis (TNM) Aktivitas
Jasmani/Fisik
Penyakit Diabetes Melitus Tipe - 2
Mengontrol Kadar Glukosa
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe - 2
Edukasi/Pendidikan
Faktor Sosio-demografi
• Jenis kelamin
• Usia
• Pendidikan
• Penghasilan
• Pekerjaan
Faktor Klinis
• Jumlah item obat
• Efek samping obat
• Penyakit penyerta
• Lama menderita DM
• Penggunaan obat alternatif
lain
Kepatuhan Pengunaan Obat
Penyuluhan
Penggunaan Media
Edukasi
Terapi
Farmakologi
Media
Elektronik
Media
Cetak
Leaflet
Konseling Diskusi/
wawancara
Faktor Lain
• Pengetahuan yang kurang terhadap
obat
• Gaya hidup yang tidak sehat
• Faktor komunikasi
• Motivasi ingin sembuh
Media Luar
Ruang
Poster
Brosur
Majalah
27
I. Kerangka Konsep
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
Gambaran kepatuhan penggunaan obat
pada pasien diabetes melitus tipe-2
sebelum dan setelah pemberian leaflet
di Bandar Lampung tahun 2020.
1. Gambaran karakteristik sosio-demografi
(jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
penghasilan, dan pekerjaan) pasien DM tipe-
2
2. Gambaran karakteristik klinis (jumlah item
obat, efek samping obat, penyakit penyerta,
lama menderita DM dan penggunaan obat
alternatif lain) pasien DM tipe-2
3. Gambaran kepatuhan penggunaan obat
sebelum dan setelah pemberian leaflet
berdasarkan karakteristik sosio-demografi.
4. Gambaran kepatuhan penggunaan obat
sebelum dan setelah pemberian leaflet
berdasarkan karakteristik klinis.
28
J. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Karakteristik sosio – demografi
a. Jenis kelamin Identitas gender
pasien
Mengisi kolom
Jenis kelamin
pada kuisioner
google form
Kuisioner
form
0 = laki – laki
1 = perempuan
Nominal
b.Usia
Lama hidup pasien
dihitung sejak lahir
sampai saat
dilakukan
pengambilan data
oleh peneliti
Mengisi kolom
usia pada
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0 = Anak
( < 17 tahun)
1 = dewasa
(17- 45 tahun)
2 = lansia
(46 - 65 tahun)
3 = manula
( > 65 tahun)
(Depkes, 2009)
Ordinal
c.Tingkat
pendidikan
Tingkat pendidikan
formal yang dicapai
pasien sesuai
dengan
pengakuannya
Mengisi kolom
tingkat
pendidikan pada
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0 = tidak tamat SD
1 = tamat SD
2 = tamat SMP
3 = tamat SMA
4 = tamat Sarjana
5 = lainnya
Ordinal
d.Penghasilan
Penghasilan pasien
yang diterima tiap
bulan
Mengisi kolom
penghasilan pada
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0 = < Rp.
2.200.000
1 = ≥ Rp.
2.200.000
(UMPL, 2019)
Ordinal
e. Pekerjaan Status pekerjaan
pasien saat ini.
Mengisi kolom
pekerjaan pada
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0 = tidak bekerja
1 = bekerja
Nominal
2. Karakteristik klinis
a. Jumlah item
obat
Jumlah obat anti
diabetes yang harus
diminum pasien
berdasarkan jenis
zat aktifnya
Mengisi kolom
Jumlah item obat
pada kuisioner
google form
Kuisioner
form
0 = < 5 Obat
1 = ≥ 5 Obat
(Bushardt, et.al,
2008:385)
Ordinal
b. Efek samping
obat
Efek tidak
diinginkan yang
terjadi setelah
menggunakan obat
anti diabetes
Mengisi kolom
efek samping obat
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0 = Ada
1 = Tidak Ada Nominal
c.Penyakit
penyerta
Penyakit selain
penyakit diabetes
melitus tipe-2 yang
juga diderita pasien
Mengisi kolom
Penyakit penyerta
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0 = Ada
1 = Tidak Ada Nominal
d.Lama
menderita
DM
Lama waktu pasien
didiagnosis
penyakit diabetes
Mengisi kolom
lama menderita
DM pada
Kuisioner
form
0 = 1-5 tahun
1 = 6-10 tahun
2 = 10-20 Tahun
Ordinal
29
melitus dan
menjalani
pengobatan
kuisioner google
form
(Restada, 2016:5)
e. Penggunaan
obat alternatif
lain
Tanaman obat atau
obat tradisional
yang
digunakan untuk
pengobatan.
Mengisi kolom
penggunaan obat
alternatif lain pada
kuisioner google
form
Kuisioner
form
0= Tidak
menggunakan
1= Menggunakan
Nominal
3.
Kepatuhan
menggunakan
obat
Istilah yang
menggambarkan
apakah pasien
menggunakan
obatnya sesuai atau
tidak.
Mengisi kolom
kepatuhan
Menggunakan
obat pada
kuisioner google
form
Kuisioner
form
Sebelum
pemberian media
leaflet
0 = kepatuhan
tinggi
1 = kepatuhan
sedang
2 = kepatuhan
rendah
(Morisky dkk,
2011:256)
Setelah
pemberian media
leaflet
0 = kepatuhan
tinggi
1 = kepatuhan
sedang
2 = kepatuhan
rendah
(Morisky dkk,
2011:256)
Ordinal