Upload
dangtu
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Pajak
Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat
bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor pajak.
Definisi pajak dikemukakan oleh Mardiasmo (2002:1) mengemukakan pengertian
pajak sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan
Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”.
Menurut P.J.A. Adriani pajak merupakan iuran kepada Negara yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Yang artinya bahwa memasukan pajak sebagai
suatu species ke dalam genus pungutan yang mempunyai fungsi sebagai budgeter.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH Pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai
public investment'
7
Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah,
bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan
proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk
menjalankan pemerintahan
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari
sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya
kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan
barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam
penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa
dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi
fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2012 tentang Ketentuan umum dan
tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan
8
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
2.1.1 JENIS-JENIS PAJAK
Pada umumnya Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
A. Menurut Golongannya
1. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya:
Pajak Penghasilan
2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan nilai.
B. Menurut Sifatnya
1. Pajak subjektif, yaitu Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh:
Pajak Penghasilan.
2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang mewah.
C. Menurut Lembaga Pemungutnya
1. Pajak Pusat, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
9
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak kendaraan
dan Bea balik nama kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran (pengganti
pajak pembangunan), pajak hiburan, dan pajak penerangan jalan.
Asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Pudyatmoko (2000:4) bahwa
pungutan pajak didasarkan pada :
1. Equality, adalah pungutan pajak yang adil dan merata.
2. Certainty, adalah Penetapan pajak yang tidak di tentukan wewenang-
wewenang.
3. Conveinance, adalah pembayaran pajak sebaiknya sesuai dengan saat yang
tidak menyulitkan wajib pajak.
4. Economy, biaya pungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib
pajak ditetapkan seminimum mungkin.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan yakni Undang-Undang No.17
Tahun 2000, setiap wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari kegiatan
usahanya wajib menyetor ke kas negara pajak atas penghasilan yang diterimanya.
Besarnya kewajiban perpajakan wajib pajak tersebut diatur dalam Undang-Undang
Perpajakan dan peraturan pemerintah.
Untuk mewujudkan keserasian dan mencapai tujuan pemungutan pajak, maka
diperlukan adanya asas atau prinsip yang dapat menjadi pemahaman atas perlakuan
pajak. Menurut Smith prinsip pemungutan pajak adalah :
10
1. Equality, Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang
dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang
dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equity ini tidak
diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib
pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan
dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakuan berbeda
2. Certainty, Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak
mengenal kompromi. Dalam asa ini kepastian hukum yang diutamakan
adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan
mengenai pembayarannya.
3. Convenience of payment, Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling
baik bagi wajib pajak,yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya
penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Economic of collections, Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat
mungkin,jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan
pajak itu sendiri.karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
2.1.2 TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
a. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel yaitu:
1). Stelsel Nyata (Riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak
(penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada
akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat
diketahun
11
2). Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-
undang, misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya
pajak terutang.
3). Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan
pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian
pada akhir tahun besar pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.
b. Asas Pemungutan Pajak
1). Asas Tempat Tinggal (Asas Domisili)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak (WP)
yang bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
negeri maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak (WP) dalam
negeri.
2). Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak (WP).
3). Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak
bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
12
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku
untuk Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).
c. Sistem Pemungutan Pajak
1). Official Assessment System
Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang.
Ciri-cirinya:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada
pemerintah (fiskus).
• Wajib Pajak (WP) bersifat pasif.
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
pemerintah (fiskus).
2). Self Assessment System
Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
Ciri-cirinya:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak
(WP) sendiri.
13
• Wajib Pajak (WP) aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak terutang.
• Pemerintah (fiskus) tidak ikut campur dan hanya mengawasi
3). Withholding System
Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak (WP)
2.2 DEFINISI PPH 22
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan
perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa
diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. PPh sendiri di golongan menjadi
beberapa jenis yaitu PPh 21, 22, 23, 25, 26, 28, 29 dan 31
PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dipungut oleh :
1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga
negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat
lain yang menjalankan fungsi yang sama.
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti
kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen.
14
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang
yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan
kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan
dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final
(contohnya PPh Pasal 22 atas impor film).
Pph 22 atas film impor dijelaskan pada SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-79/PJ/2011 TANGGAL 20 OKTOBER 2011 TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
102/PMK.011/2011 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN
PAJAK ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD
DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN BERUPA
FILM CERITA IMPOR DAN PENYERAHAN FILM CERITA IMPOR, SERTA
DASAR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS KEGIATAN
IMPOR FILM CERITA IMPOR
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
102/PMK.011/2011 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam
15
Daerah Pabean berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta
Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita
Impor, bersama ini disampaikan Peraturan Menteri Keuangan tersebut untuk dapat
dilaksanakan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1) Pada intinya, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur:
a. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean berupa Film Cerita Impor;
b. penentuan dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan
impor Film Cerita Impor; dan
c. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak tidak berwujud berupa Film Cerita Impor.
2) Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan
Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, adalah sebesar
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor. Pajak
Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Film Cerita Impor tersebut dipungut dan
dibayar pada saat impor.
3) Dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan impor Film Cerita
Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, adalah Nilai Impor atas
16
media Film Cerita Impor. Yang dimaksud dengan media Film Cerita Impor dapat
berupa pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya.
4) Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan
Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c, adalah sebesar
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor. Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan Film Cerita Impor tersebut dipungut pada
saat pertama kali masing-masing copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan
kepada Pengusaha Bioskop. Atas penyerahan copy Film Cerita Impor, Importir
wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5) Apabila terjadi penyerahan berikutnya atas copy Film Cerita Impor yang
sebelumnya telah diserahkan kepada Pengusaha Bioskop dan telah dipungut
Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Bioskop lain, maka atas penyerahan
tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sehingga tidak perlu diterbitkan
Faktur Pajak.
6) Contoh penghitungan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean berupa film Cerita Impor, penyerahan Film Cerita Impor, dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas kegiatan impor Film Cerita Impor
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
7) Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011
tersebut, maka ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.03/2010 mengenai Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk
17
penyerahan film cerita yaitu perkiraan hasil rata-rata per judul film tidak berlaku
untuk penyerahan Film Cerita Impor, namun tetap berlaku untuk penyerahan film
cerita produksi dalam negeri (nasional).
8) Pada saat diterbitkannya surat edaran ini, maka:
a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.3/1986 tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas film ceritera impor sebagaimana telah diubah dengan
Surat Edaran Nomor SE-29/PJ.3/1987 tanggal 4 Desember 1987 dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.52/1996 tanggal 1 Februari
1996, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
03/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor yang
bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
102/PMK.011/2011 dinyatakan tidak berlaku.
Contoh penghitungan pengenaan pajak pertambahan nilai atas pemanfaatan
barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor serta pemungutan pajak
penghasilan pasal 22 atas kegiatan impor film cerita impor :
1. Importir film PT A (memiliki Angka Pengenal Impor) pada tanggal 1 Agustus
2011 memasukkan Film Cerita Impor dalam bentuk pita seluloid dengan judul
“XYZ” ke dalam Daerah Pabean dengan durasi 90 menit sebanyak 20 copy film.
Maka penghitungan Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 atas pemasukan film
cerita impor tersebut adalah sebagai berikut:
18
• Bea Masuk = Rp21.450,00 x 90 x 20 copy =
Rp38.610.000,00
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.011/2011 tentang
Perubahan Kedelapan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006
tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas
Barang Impor, tarif Bea Masuk atas Film Cerita Impor adalah sebesar Rp21.450,00
per menit per copy film.
• PPN = 10% x Rp12.000.000,00 x 20 =
Rp24.000.000,00
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011 tentang Nilai
Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean berupa Film Cerita
Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor, Dasar Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Film Cerita Impor adalah sebesar
Rp12.000.000,00 per copy film.
• PPh Pasal 22 Impor = 2,5% x Nilai Impor pita seluloid Film
“XYZ”
= 2,5% x (CIF + Bea Masuk)
Diketahui bahwa:
� durasi 1 menit film dikonversi menjadi sepanjang 27,42 meter
pita seluloid;
19
� nilai CIF pita seluloid sebesar US$0,43 per meter;
� asumsi kurs US Dollar pada saat pemasukan tersebut US$1 =
Rp9.100,00.Sehingga penghitungan PPh Pasal 22 Impor
adalah sebagai berikut:
= 2,5% x{(0,43 x 27,42 x 90 x Rp9.100 x 20) +
Rp36.610.000,00})
= 2,5% x (Rp193.130.028,00 + Rp38.610.000,00)
= 2,5% x Rp231.740.028,00
= Rp5.793.500,00
• Pada tanggal 5 Agustus 2011, PT A menyerahkan pertama kali 15 copy
film “XYZ” kepada pengusaha bioskop PT B, maka penghitungan
PPN atas penyerahan film “XYZ” tersebut adalah sebagai berikut:
• PPN = 10% x DPP Nilai Lain atas penyerahan film cerita impor x jumlah copy
= 10% x Rp12.000.000,00 x 15
= Rp18.000.000,00
• Atas penyerahan 15 copy film tersebut, PT A wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada PT B.
• Pada tanggal 5 Agustus 2011, PT A juga menyerahkan pertama kali 5
copy film “XYZ” kepada pengusaha bioskop PT C, maka
penghitungan PPN atas penyerahan film “XYZ” tersebut adalah sebagai berikut:
• PPN = 10% x DPP Nilai Lain atas penyerahan film cerita impor x jumlah copy
= 10% x Rp12.000.000,00 x 5
20
= Rp6.000.000,00
• Atas penyerahan 5 copy film tersebut, PT A wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada PT C.
• Pada tanggal 12 Agustus 2011, PT A menyerahkan 5 copy film “XYZ”, yang sebelumnya telah diserahkan kepada pengusaha bioskop PT C, kepada pengusaha bioskop PT D, maka atas penyerahan tersebut tidak terutang PPN. Atas penyerahan 5 copy film tersebut, tidak perlu diterbitkan Faktur Pajak
• Atas transaksi-transaksi tersebut di atas, importir film PT A melaporkannya dalam SPT PPN Masa Agustus 2011 sebagai berikut:
- Pajak Keluaran = Rp24.000.000,00
(Hasil pemungutan PPN kepada bioskop)
- Pajak Masukan = Rp24.000.000,00
---------------------
(PPN yang dibayar pada saat impor)
- PPN Kurang/(Lebih) Bayar = NIHIL
2.3 DEFINISI PPH 26 ROYALTY FILM IMPOR
Pph 26 diartikan sebagai hutang pajak wajib pajak luar negeri yang menerima
penghasilan di Indonesia. Begitu pun dengan film impor yang masuk ke Indonesia.
Hal ini dijelakan pada Surat Edaran Dirjen Pajak SE - 3/PJ/2011 10 Januari 2011
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 3/PJ/2011
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA
ROYALTI DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS
PEMASUKAN FILM IMPOR DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
21
Dalam rangka memberikan pemahaman dan penerapan yang seragam terhadap
perlakuan Pajak Penghasilan dari penghasilan berupa royalti dan Pajak Pertambahan
Nilai atas pemasukan film impor ke Indonesia, dengan ini disampaikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, mengatur antara lain:
Pasal 4 ayat (1) huruf h, Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
Pasal 26 ayat (1) huruf c, Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah
jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang
wajib membayarkan yaitu royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009,
mengatur antara lain:
22
a. Pasal 1 angka 2, Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat dan
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud;
b. Pasal 1 angka 3, Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang ini;
c. Pasal 1 angka 10, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
d. Pasal 1 angka 17, Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terutang;
e. Pasal 1 angka 19, Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau
nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Pasal 1 angka 20, Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor
23
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.;
g. Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean;
h. Penjelasan Pasal 4 huruf g, yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud adalah :
1) angka 1, penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industri
atau hak serupa lainnya;
2) angka 5, penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran
radio.
3. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
mengatur bahwa yang dimaksud dengan Film adalah karya cipta seni dan budaya
yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan
asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video
dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan
ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau
tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi
mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
24
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar
Daerah Pabean, mengatur antara lain :
a. Pasal 2, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
b. Pasal 4, Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut;
c. Pasal 5 ayat (1) dan (2), Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah saat yang
diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
1) saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut
secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
2) saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
3) saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau penggantian Jasa
Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
4) saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang
memanfaatkannya. Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
25
berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud
di atas tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal
ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak;
d. Pasal 6 ayat (1), Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dipungut dan
disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
5. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana dikutip pada
butir 1, 2 dan 4, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Pajak Penghasilan
1) atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film
impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar
negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh
pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif
sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara
Indonesia dengan negara mitra;
2) namun apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan
pembelian film impor tersebut :
26
a) seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa
persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di
kemudian hari; atau
b) diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar
negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26;
b. Pajak Pertambahan Nilai
1) Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan
intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media
penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang
dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
2) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar;
3) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui
Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya
pajak;
4) Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut
Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang
27
digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah
sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan
nilai impor;
5) Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di
dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan
Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar.
2.4 DEFINISI PPN FILM IMPOR DAN LOKAL
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak
tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau
dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak
pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang
disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah
pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika
PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika
PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
28
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen.
Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang
No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No.
42 Tahun 2009.
Menteri Keuangan telah mengubah Nilai Lain yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) PPN dari semula perkiraan hasil rata-rata per judul film menjadi
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) saja. Semula Nilai Lain DPP PPN (semua)
diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang mengatur bahwa
Nilai Lain DPP PPN adalah :
a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah
Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga
jual rata-rata.
d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul
film.
e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar.
g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan.
29
h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah
harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli.
i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
j. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Berbeda dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang
mengatur "semua penyerahan film cerita" baik film impor maupun film lokal,
Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 hanya mengatur film impor
saja.Baik Nilai Lain DPP PPN saat impor maupun penyerahan ke bioskop. Menurut
saya, ada tiga aturan baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini :
a. DPP PPN atas impor media Film Cerita Impor
b. DPP PPN atas penyerahan copy Film Cerita Impor kepada Pengusaha
Bioskop
c. DPP PPh Pasal 22 atas impor media Film Cerita Impor.
DPP PPN ditetapkan hanya Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) saja.
Baik atas impor media Film Cerita Impor maupun atas penyerahan copy Film
Cerita Impor kepada Pengusaha Bioskop. Sedangkan DPP PPh Pasal 22 atas
impor Film Cerita Impor sebesar Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah
dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
30
Mekanisme Pengenaan PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar di
atur dalam ( SE - 13/PJ.51/2000 Jo SE - 24/PJ.51/2001 Jo KEP - 552/PJ./2001 Jo
KEP - 337/PJ./2003) :
1) Dalam penghitungan Dasar Pengenaan Pajak tersebut telah diperhitungkan nilai
tambah atas penyaluran/keagenannya, maka penyalur/agen kaset isi, compact disc
(CD), laser disc (LD), video compact disc karaoke (VCD.K) atau laser disc
karaoke (LD.K) tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2) Meskipun demikian, bagi PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Nilai lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak wajib mengenakan PPN 10% atas penyerahan
kaset/CD/LD/CD.K/LD.K sebagai barang dagangannya. PPN yang disetor ke kas
negara dihitung sebesar 10% x 20% x seluruh penyerahan barang dagangan.
3) Produsen media rekaman yang menyerahkan media rekaman wajib memotong
PPnBM yang terutang, karena media rekaman adalah Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah.
4) Produsen media rekaman yang melakukan pembelian media rekaman, secara
terpisah-pisah (pita kosong sendiri, C-zero sendiri, snappac sendiri), diperlakukan
sebagai pabrikan media rekaman yang siap rekam dan atas penyerahannya
terutang PPn BM dengan tarif 20%.
5) PPn BM yang dibayar atas impor atau perolehan bahan baku media rekaman oleh
pabrikan yang memproduksi media rekaman tidak dapat dikompensasi atau
dikemba1ikan namun dapat dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan
perundang-undangan Pajak Penghasilan.
6) Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Setandar atas :
- pembelian media rekaman (kaset kosong, CD kosong, atau LD kosong);
31
- pembayaran royalty;
- pembayaran pencetakan label;
- pembayaran jasa rekaman;
- pembelian atau pembuatan master rekaman lagu/ suara;
- pembayaran jasa periklanan pada televisi, radio, majalah, dan surat kabar.
dapat digunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penembusan stiker lunas
PPN.
Unsur PPn BM yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak ikut diperhitungkan.
7) Dalam hal jumlah nilai stiker lunas PPN yang diminta lebih besar daripada
jumlah Pajak Masukan tersebut di atas kekurangannya disetor tunai menggunakan
SSP ke kas negara.
8) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan selain yang tersebut di atas, tetap dapat
dikreditkan sehingga dapat dikompensasi atau direstitusi.
9) Dalam hal sampai dengan akhir suatu Masa Pajak masih terdapat Pajak Masukan
yang dimaksud pada huruf di atas, yang belum digunakan sebagai bukti
pembayaran PPN untuk penebusan stiker, maka Pajak Masukan tersebut dapat
dipergunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan stiker Masa Pajak
berikutnya selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah akhir tahun buku yang
bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan Pajak Penghasilan.
32
2.5 PENGERTIAN FILM
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau
bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran
melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau
tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi
mekanik, eletronik, dan/atau lainnya;
Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi
dengan zat peka cahaya.Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.Dalam bidang
fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan
pantulan cahaya yang tertangkap lensa.Pada generasi berikutnya fotografi bergeser
padapenggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.
Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami
perkembangan yang pesat.Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film),
pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip).Bertolak
dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang
memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka
pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa
menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film
yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar.Pada tahap
pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat
33
disimpan pada media yang fleksibel.Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan
Pada media selluloid, analog maupun digital.
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian film dari
istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk karya
seniaudio-visual.Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni
yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.Istilah film
pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan
zat peka cahaya.Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.Dalam bidang
fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan
pantulan cahaya yang tertangkap lensa.
Pada generasi berikutnya fotografi bergeser padapenggunaan media digital elektronik
sebagai penyimpan gambar.Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan
ini telah mengalami perkembangan yang pesat.Berturut-turut dikenal media
penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita,
cakram, memori chip).Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya
adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai
penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka
pengertian film telah bergeser.Sebuah filmcerita dapat diproduksi tanpa
menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film
yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar.Pada tahap
pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat
disimpan pada media yang fleksibel.Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan
Pada media selluloid, analog maupun digital.
34
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian film dari
istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yeng mengacu pada bentuk karya
seniaudio-visual.Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni
yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.
Film lokal atau nasional adalah sebuah hasil gambar berjalan yang di buat oleh
perusahaan film yang berada di Indonesia yang di edarkan di Indonesia. Sedangkan
film impor di artikan sebagai film asing yang di buat oleh Negara lain yang masuk ke
Indonesia dan di nikmati masyarakat Indonesia.