Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TEORI PERDAGANGAN INTERASIONAL DAN APLIKASINYA
2.1. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah pertukaran barang dan jasa maupun faktor-faktor
lain yang melewati perbatasan suatu negara, dan memberikan dampak terhadap
perekonomian domestik maupun global8. Dalam melakukan perdagangan internasional,
suatu negara memiliki dua alasan: pertama, tiap negara memiliki keunggulan yang berbeda
dalam menghasilkan suatu barang atau jasa. Karenanya, akan lebih menguntungkan apabila
masing-masing negara berspesialisasi pada keunggulannya yang secara relatif adalah lebih
baik dibandingkan negara lain. Kedua, melalui perdagangan maka mereka dapat mencapai
skala ekonomi dalam berproduksi. Apabila setiap negara memproduksi barang dalam
jumlah yang lebih besar (tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan domestiknya, tetapi juga
untuk diperdagangkan ke luar negeri) maka biaya yang dikeluarkan dalam berproduksi pun
akan relatif lebih rendah. Dengan perdagangan itu pula, akan lebih efisien bagi suatu
negara dibandingkan jika harus memproduksi semua barang sendiri.
Berangkat dari teori ini, perdagangan komoditas CPO Indonesia di pasar dunia pun
dilatarbelakangi oleh keunggulan yang dimiliki Indonesia dalam menghasilkan produk
minyak kelapa sawit. Produksi yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri,
sehingga hasil produksi selebihnya dapat diperdagangkan. Untuk itu, studi ini merasa perlu
melihat sejauh mana faktor-faktor di dalam perdagangan mempengaruhi besarnya ekspor
CPO di Indonesia.
8 James R. Markusen, et al. International Trade, Theory and Evidence. New York: McGraw Hill, 1995.
8Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
2.2. Kebijakan Pergadangan Internasional: Pajak Ekspor
Pajak ekspor, atau yang di Indonesia dikenal sebagai pungutan ekspor, merupakan
pungutan yang dibebankan terhadap barang ekspor. Jenis tarif yang ditetapkan pada pajak
ekspor terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Ad valorem tariff, persentase tarif yang ditetapkan atas nilai komoditas yang
diperdagangkan.
2. Spesific tariff, jumlah tarif yang ditetapkan atas setiap unit komoditas yang
diperdagangkan.
3. Compound tariff, kombinasi antara ad valorem dan spesific tariff.
(Salvatore, 2007: 248)
Bagi negara-negara maju dan industrial, kebijakan pajak ekspor jarang diterapkan.
Amerika Serikat, misalnya, yang tidak lagi memperbolehkan penerapan pajak ekspor sejak
adanya US Constitution. Akan tetapi, di negara-negara berkembang yang berorientasi
ekspor pada komoditas primer atau agrikultur kebijakan ini masih biasa diterapkan. Brazil,
misalnya, yang pada tahun 1996 menerapkan tarif pajak ekspor hingga 40 persen pada
komoditas gulanya. Ada pula Madagaskar yang memberlakukan pajak pada ekspor vanila,
kopi, merica dan cengkeh, Rusia pada ekspor minyak buminya, dan juga Indonesia pada
ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya9.
Pada dasarnya, penerapan pajak ekspor pada suatu komoditas bertujuan untuk
menjamin kecukupan pasokan dan stabilitas harga komoditas tersebut di pasar domestik.
Hal ini dapat digambarkan pada analisa grafis berikut.
9 International Trade Theory and Policy – Chapter 10-4: Export Taxes. http://www.internationalecon.com
9Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Gambar 2.1
Dampak Penerapan Pajak Ekspor pada Negara Eksportir dan Negara Importir
Negara Pengimpor Negara Pengekspor
Pada kondisi perdagangan bebas atau sebelum ada penerapan pajak ekspor, tingkat
harga di pasar dunia adalah sebesar PFT, sedangkan jumlah ekspor dan impor komoditas
adalah sebesar selisih penawaran dan permintaan pada masing-masing negara, atau yang
digambarkan dengan garis biru pada grafik di bawah ini. Akan tetapi, di saat terjadi
kelangkaan pasokan komoditas atau harga komoditas yang begitu tinggi di pasar domestik,
pemerintah negara eksportir kemudian menerapkan kebijakan pajak ekspor.
Tingginya pungutan menyebabkan produsen dan eksportir enggan mengekspor
komoditas dalam jumlah besar dan lebih memilih untuk mengalokasikan komoditas ini ke
pasar domestik. Akibatnya, pasokan di dalam negeri pun menjadi meningkat dan harga
domestik mengalami penurunan hingga tingkat harga PEX,T. Karena negara tersebut
merupakan negara eksportir besar, maka penurunan jumlah ekspor komoditas tersebut
memberi dampak pada menurunnya pasokan di pasar dunia, yang pada akhirnya akan
menyebabkan harga di pasar dunia meningkat hingga mencapai tingkat harga PIM,T.
10Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Akibatnya, negara pengimpor pun mengalami kenaikan harga sesuai pergerakan harga di
pasar dunia. Besar pajak ekspor yang diterima negara eksportir itu sendiri adalah sebesar
selisih PIM,T — PEX,T10 .
Indonesia sendiri menetapkan pungutan ekspor terhadap komoditas CPO dan
turunannya dengan tujuan melindungi pasar domestiknya. Sebab, CPO merupakan bahan
baku bagi minyak goreng, komoditas yang menjadi salah satu kebutuhan pokok
masyarakat. Kebijakan ini tentunya akan menjadi restriksi bagi ekspor CPO Indonesia.
Karena itu, perlu dianalisa lebih jauh apakah penetapan pungutan ekspor ini akan
berdampak negatif dan signifikan bagi perubahan ekspor CPO Indonesia.
2.3. Teori Permintaan: Barang Substitusi
Di dalam hukum permintaan dijelaskan bahwa dengan mengasumsikan faktor lainnya
tetap, kuantitas suatu barang yang diminta akan meningkat apabila harga barang tersebut
menurun, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini digambarkan oleh kurva D pada grafik
berikut, di mana saat harga barang berada pada tingkat harga P1, kuantitas permintaan di
pasar adalah sebersar Q1, tetapi di saat terjadi penurunan harga (menjadi P2) maka kuatitas
permintaan barang tersebut meningkat menjadi Q2.
Berangkat dari hukum permintaan ini, dapat diartikan bahwa jumlah permintaan akan
komoditas CPO di pasar dunia juga dipengaruhi oleh harga CPO itu sendiri; di mana
jumlah permintaan akan meningkat seiring menurunnya harga CPO di pasar dunia. Dalam
hal ini, ekspor CPO Indonesia menjadi proksi permintaan akan CPO dunia kepada
Indonesia, sehingga tentu saja faktor harga turut menjadi faktor penentu besar-kecilnya
ekspor CPO Indonesia.
10 International Trade Theory and Policy - Chapter 90-23: Welfare Effects of an Export Tax: Large Country.
http://www.internationalecon.com
11Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Gambar 2.2
Kurva Permintaan
P1
P2
Q1 Q2
D'
Harga
Q2
●
Kuantitas
Di lain pihak, kuantitas permintaan suatu barang tidak saja di pengaruhi oleh harga
barang itu sendiri. Perubahan harga barang lain yang berfungsi atau memiliki kegunaan
yang sama juga turut berpengaruh. Barang tersebut dikatakan sebagai barang substitusi, di
mana kedudukan keduanya dapat saling menggantikan. Sehingga, kenaikan harga barang
substitusi akan berdampak pada peningkatan kuantitas permintaan barang lain yang
memiliki kegunaan yang sama11. Pada grafik di atas, kenaikan kuantitas permintaan ini
digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan menjadi D', dan kuantitas yang
mencapai Q3.
Di pasar internasional, keberadaan CPO sebagai sumber minyak nabati berkaitan erat
dengan substitusinya yaitu minyak kedelai (soybean oil) dan juga minyak biji bunga
matahari (sunflowerseed oil). Karenanya, fluktuasi harga pada salah satu komoditas ini
tentu akan sangat berpengaruh pada harga komoditas substitusi. Padahal di sisi lain,
11 Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld. Microeconomics, 5th Ed (2000): 22.
12Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
perubahan harga di suatu komoditas akan berpengaruh pada jumlah permintaannya. Untuk
itu, perlu dilakukan pembuktian mengenai seberapa besar elastisitas yang ditimbulkan
akibat perubahan harga komoditas substitusi ini terhadap harga CPO di pasar dunia, yang
pada akhirnya dapat mempengaruhi ekspor CPO di Indonesia.
2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai faktor determinan perdagangan minyak nabati sebelumnya
pernah dilakukan oleh Lordkipanidze, Epperson, dan Ames (1996). Penelitian tersebut
berfokus pada impor minyak kanola (rapeseed oil) di Amerika Serikat. Dijelaskan bahwa
jumlah permintaan akan impor minyak Canola di Amerika Serikat ditentukan tidak saja
oleh faktor ekonomis, tetapi juga faktor nonekonomis. Faktor-faktor tersebut adalah harga
impor minyak kanola itu sendiri, harga minyak nabati lain yang menjadi substitusinya,
pendapatan bersih, nilai tukar dolar Kanada-Amerika Serikat, lagged imports, faktor tren,
dan musim12.
Analisa lain mengenai pengaruh komoditas substitusi di pasar minyak nabati juga
pernah dilakukan sebelumnya. Drajat., et al (1995) dalam analisa situasi pasarnya
mengemukakan bahwa di pasar internasional khususnya negara-negara Eropa, Amerika
Serikat dan Jepang, minyak kelapa sawit Indonesia bersaing dengan produk sejenis atau
komoditas substitusinya yang diproduksi oleh negara-negara pesaing13. Di sisi lain,
Wahyudi., et al (2001) juga mengemukakan bahwa minyak kelapa sawit memiliki peluang
ekspor yang semakin meningkat dibandingkan komoditas substitusinya maupun tanaman
perkebunan lain. Meskipun demikian, peluang tersebut masih sangat dipengaruhi oleh
fluktuasi harga di pasar internasional.
12 Nazibrola Lordkipanidze, James E. Epperson and Glenn C.W. Ames. An Economic Ananlysis of Import Demand for
Canola Oil in the United States (February 1996): 9-10. 13 Bambang Drajat, et al. Pengkajian Pengembangan Agribisnis Perkebunan: Upaya Pengembangan Pasar Produk
Agroindustri Perkebunan (Komoditas Kelapa Sawit) (1995): VII-1 – V11-3.
13Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
TREDA, CSIS dan LPEM FEUI (2005) pernah melakukan penelitian yang serupa
mengenai faktor determinan. Akan tetapi, di dalam pembahasannya dijelaskan bahwa daya
saing ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal yang berbeda, seperti tingginya
biaya produksi, kurangnya investasi, ketersediaan infrastruktur penunjang perdagangan
yang sangat minim dan juga kemampuan promosi yang masih lemah dibandingkan negara
pesaing lainnya14.
Di sisi lain, Larson (1996) melakukan penelitian mengenai subsektor minyak kelapa
sawit Indonesia. Peningkatan harga minyak goreng (cooking oil) di tahun 1994-1995
berdampak pada penetapan pajak ekspor atas CPO. Menurutnya, kebijakan pajak ekspor
yang diterapkan di Indonesia saat itu memang efektif untuk menurunkan harga di dalam
negeri. Akan tetapi, kebijakan ini ternyata berdampak negatif terhadap transfer pendapatan
para petani sawit di Indonesia dan juga keseimbangan di pasar dunia. Untuk itu, Larson
merekomendasikan agar dilakukan pencabutan pajak ekspor, sehingga kebijakan dapat
lebih disesuaikan dalam merespon harga di pasar intenasional15.
Mengacu dari beberapa penelitian tersebut dan teori lainnya, maka dilakukanlah studi
penelitian dengan tujuan menganalisa faktor-faktor determinan ekspor CPO di Indonesia,
seperti tingkat harga CPO di pasar dunia, nilai tukar, dan juga penerapan pungutan ekspor.
Di samping itu, diperhitungkan pula pengaruh harga dari komoditas substitusi CPO seperti
minyak kedelai (soybean oil), minyak biji bunga matahari (sunflowerseed oil), dan minyak
bumi, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap ekspor CPO Indoensia.
14 TREDA Ministry of Trade RI, CSIS, LPEM FEUI. Value Upgrading of Indonesian Palm Oil (2005): 2. 15 Donald F. Larson. Indonesia’s Palm Oil Subsector (September 1996): 1.
14Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
BAB 3
PERKEMBANGAN FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN
EKSPOR CPO INDONESIA
3.1. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor CPO Indonesia
3.1.1. Produksi CPO Indonesia
Di pasar dunia, Indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir CPO terbesar
kedua setelah Malaysia. Pada tahun 2006, produksi CPO keduanya mencakup 86% total
produksi dunia. Antara tahun 2001-2006, produksi CPO Indonesia sendiri selalu
mengalami kenaikan. Rata-rata pertumbuhan produksi CPO Indonesia adalah sebesar
13.9%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan Malaysia yang hanya
mencapai 6.6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini menunjukkan bahwa Indonesia
berpotensi untuk terus meningkatkan produksi CPOnya dan menjadi produsen terbesar di
dunia.
Tabel 3.1
Perbandingan Produksi CPO Indonesia dan Malaysia, Tahun 2001-2006
(dalam ribu ton) 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Indonesia 7.775 9.060 10.370 11.970 13.450 14.980
(%) 32,7% 36,2% 37.4% 40,1% 40,4% 42,6%
Malaysia 11.940 11.856 13.180 13.418 15.195 15.260
(%) 50,2% 47,4% 47,5% 44,9% 45,6% 43,4%
Dunia 23.773 25.021 27.752 29.877 33.328 35.160
Sumber: Oil World Annual 2005-2006
Tak dapat dielakkan bahwa faktor iklim dan kondisi tanah menjadi salah satu faktor
penentu produktifitas perkebunan kelapa sawit. Dengan iklim tropis yang dimilikinya,
15Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
kedua negara ini memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan negara produsen lain
sebab iklim inilah yang paling cocok untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Di
lain pihak, Indonesia memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan pesaing utamanya,
Malaysia. Ketersediaan lahan yang luas dan jumlah tenaga kerja yang banyak, merupakan
potensi yang dapat digunakan untuk lebih mengoptimalkan produksi CPO.
Tabel 3.2
Produksi CPO dan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 2001-2005
Tahun Produksi (ton) Luas Areal (Ha)
2001 8.396.472 4.713.435
2002 9.622.345 5.067.058
2003 10.440.834 5.283.557
2004 10.830.389 5.284.723
2005 11.861.615 5.453.817
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI
Pertambahan produksi CPO di Indonesia berjalan seiring dengan pertambahan luas
areal perkebunan kelapa sawit. Hingga tahun 2005, penggunaan lahan terus meningkat
hingga mencapai 5.453.817 Ha. Adapun daerah persebaran perkebunan ini berada di
sebagian besar pulau Sumatra (4.266.721 Ha), dengan provinsi Sumatra Utara (910.188
Ha) dan Riau (1.457.599 Ha) sebagai daerah dengan luas areal perkebunan terbesar,
provinsi Jawa Barat (6.251 Ha) dan Banten (19.137 Ha), sebagian wilayah Kalimantan
(1.081.620 Ha), Sulawesi (153.818 Ha), dan Papua (80.949 Ha)16.
Meningkatnya luar areal perkebunan ini disebabkan oleh makin banyaknya pelaku
usaha dalam perkebunan kelapa sawit. Meski diperoleh dalam jangka panjang, namun
return yang besar dari usaha perkebunan ini merupakan salah satu faktor daya tarik bagi
pengusaha ataupun investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha ini. Akibatnya,
perluasan lahan ataupun nilai investasi di tahun-tahun tersebut semakin meningkat
16 Teguh Wahyono, M. Akmal Agustira, dan Ratnawati NurkSumberhoiry. Profil Kelapa Sawit Indonesia 2005: hal 13.
16Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
dibandingkan beberapa tahun atau dekade sebelumnya. Di mana, memasuki tahun 2000-an
terbukti bahwa terjadi peningkatan yang sangat signifikan atas kepemilikian lahan
perusahaan swasta dan inti rakyat.
Gambar 3.1
Produksi CPO Indonesia (Ton) berdasarkan Kepemilikan Usaha, Tahun 1990
37695016%
124715651%
78850633%
Smallholders Government Private
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI
Gambar 3.2
Produksi CPO Indonesia (Ton) berdasarkan Kepemilikan Usaha, Tahun 2000
363390152%
146095421%
190565327%
Smallholders Government Private
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI
17Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
3.1.2. Konsumsi CPO Indonesia
CPO yang diproduksi Indonesia pada awalnya hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan ekspor saja. Akan tetapi seiring dimulainya pengembangan usaha perkebunan
kelapa sawit di tahun 1974, konsumsi dalam negeri mulai meningkat. Awalnya konsumsi
ini digunakan untuk mensubstitusi minyak kelapa yang supplainya tidak mencukupi
kebutuhan bahan baku minyak goreng. Namun pesatnya perkembangan produksi CPO
Indonesia, harga yang lebih murah, dan kualitas CPO yang lebih baik, justru menggeser
penggunaan minyak kelapa sebagai bahan baku utama pembuat minyak goreng. Bahkan di
tahun 2005, konsumsi minyak kelapa sawit mencapai 85% (sekitar 3.547 ribu Ton) dari
total konsumsi minyak dan lemak di pasar dalam negeri17.
Gambar 3.3
Penggunaan CPO pada Industri Makanan
Sumber: Profil Kelapa Sawit Indonesia, hal. 4.
17 Sumber: Oil World Monthly 2005 dalam Profil Kelapa Sawit Indonesia 2005, hal: 16.
18Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Selain digunakan sebagai bahan baku utama minyak goreng, CPO juga digunakan
dalam pembuatan margarin atau produk turunan lainnya yang banyak digunakan untuk
bahan baku industri makanan, seperti Olein, RDB Palm Oil, dan Stearin, dan juga produk
turunan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan kosmetik ataupun industri
kimia dan farmasi, seperti asam lemak dan Gliserin.
Gambar 3.4
Penggunaan CPO pada Oleokimia
Sumber: Profil Kelapa Sawit Indonesia, hal. 5.
3.1.3. Ekspor CPO Indonesia
Produksi CPO Indonesia yang begitu tinggi tidak sepenuhnya dapat terserap oleh
pasar domestik meskipun jumlah konsumsi terus mengalami peningkatan. Untuk itu,
kelebihan jumlah produksi ini diekspor ke pasar dunia. Antara tahun 2001-2006, rata-rata
proporsi ekspor CPO terhadap total produksi Indonesia mencapai 69.5%, di mana nilai
proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 75.4% dari total produksi. Hal ini
19Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
menunjukkan lonjakan yang sangat tajam mengingat di tahun 1990 produksi CPO sebagian
besar masih digunakan untuk konsumsi dalam negeri dan proporsi ekspor hanya sebesar
34%18. Namun perubahan mulai terjadi setelah memasuki tahun 1999, di mana nilai
proporsi itu mulai meningkat hingga melebihi 50%.
Tabel 3.3
Proporsi Ekspor dan Konsumsi CPO Indonesia terhadap Total Produksi, 2001-2006
(ribu ton)
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi (000 Ton) 7.775 9.060 10.370 11.970 13.450 14.980
Ekspor 4.617 6.094 7.167 8.706 9.862 11.300
(persentase) 59,4% 67,3% 69,1% 72,7% 73,3% 75,4%
Konsumsi 3.159 2.966 3.203 3.264 3.588 3.680
(persentase) 40,6% 32,7% 30,9% 27,3% 26,7% 24,6%
Sumber: Oil World Annual 2005-2006
Meskipun mengalami peningkatan, pertumbuhan ekspor CPO Indonesia sangat
fluktuatif baik dalam satuan nilai ataupun volume ekspor. Hal ini disebabkan karena
permintaan CPO di pasar dunia pun berubah-ubah seiring terjadinya perubahan permintaan
pada beberapa minyak nabati lain yang menjadi substitusi utama CPO, seperti minyak
kedelai, minyak kanola dan minyak biji bunga matahari. Di samping itu, perubahan harga
pada minyak bumi pun diperkirakan turuta berpengaruh. Sebab, beberapa negara importir
CPO terbesar menggunakan CPO sebagai bahan baku bagi bahan bakar alternatif
pengganti minyak bumi.
18 Teguh Wahyono, M. Akmal Agustira, dan Ratnawati Nurkhoiry. Profil Kelapa Sawit Indonesia 2005: hal 19.
20Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Gambar 3.5
Perkembangan Ekspor CPO Indonesia
-
100,000,000
200,000,000
300,000,000
400,000,000
500,000,000
600,000,000
700,000,000
800,000,000
900,000,000
Jan-0
1
Apr-0
1Ju
l-01
Oct-01
Jan-0
2
Apr-0
2Ju
l-02
Oct-02
Jan-0
3
Apr-0
3Ju
l-03
Oct-03
Jan-0
4
Apr-0
4Ju
l-04
Oct-04
Jan-0
5
Apr-0
5Ju
l-05
Oct-05
Jan-0
6
Apr-0
6Ju
l-06
Oct-06 Bulan
Volume (Kg), Nilai (Rp)
Volume Ekspor CPO Nilai Ekspor CPO
Sumber: Badan Pusat Statistik
Adapun negara-negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia adalah India, Belanda,
Singapura, Malaysia dan Cina. India merupakan importir CPO terbesar Indonesia dengan
nilai mencapai US$ 738.263.037 pada tahun 2006, atau sebesar 37% total nilai ekspor CPO
Indonesia. Sedangkan pertumbuhan terbesar pada impor CPO dari Indonesia terjadi pada
negara Cina, di mana di 2006 ia mengalami pertumbuhan sebesar 516.86% dari tahun
sebelumnya. Di lain pihak, meskipun merupakan penghasil CPO terbesar di dunia,
Malaysia tetap mengimpor CPO dari Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan
industri hilir dalam negerinya. Hanya saja besar impor CPOnya sangat berfluktuasi. Di
samping Belanda, beberapa negara Eropa lain seperti Jerman, juga melakukan impor CPO
dari Indonesia.
Pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dipandang sudah cukup baik. Hanya saja, untuk
dapat bersaing di pasar dunia dan menjadi produsen sekaligus eksportir CPO terbesar
diperlukan upaya yang cukup berat mengingat masih banyak kendala yang harus dihadapi,
baik itu kendala ekonomis maupun non-ekonomis. Sejumlah pengusaha kelapa sawit baik
21Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
yang bergerak dalam bisnis pengolahan maupun usaha ekspor mengeluhkan beberapa
kendala, mulai dari kondisi perkebunan kelapa sawit itu sendiri, penerapan pajak ekspor
oleh pemerintah, keterbatasan akan modal usaha, hingga masalah rumitnya birokrasi dalam
hal perizinan usaha.
Kapasitas produksi kelapa sawit di Indonesia dinilai belum cukup maksimal. Hal ini
diperkirakan terjadi karena banyaknya kondisi perkebunan yang telah melampaui usia
produktif dan minimnya perolehan bibit unggul dan pupuk. Akan tetapi hal ini dapat
diatasi apabila para pengusaha melakukan investasi yang lebih besar dalam upaya
peremajaan dan perluasan lahan, dan juga penyediaan bibit unggul dan pupuk yang selama
ini dibutuhkan.
Di sisi lain, sedikitnya penyaluran kredit di bidang pertanian, khususnya di sektor
perkebunan kelapa sawit ini pun turut mempengaruhi besarnya ekspor CPO. Di tahun 2005
saja, rata-rata jumlah kredit pertanian hanya sebesar 5.94% dari total kredit nasional. Itu
berarti, ketersediaan modal kerja untuk jangka panjang sangatlah terbatas. Sedikit sulit
bagi pengusaha kelapa sawit untuk dapat meningkatkan kapasitas produksinya, hingga
pada akhirnya jumlah ekspor pun bisa menurun.
Hambatan lain yang dihadapi oleh pengusaha maupun eksportir adalah rumitnya
birokrasi, khususnya menyangkut hal perizinan usaha atau proses ekspor. Tidak sedikit
terjadi pungutan retribusi yang dilakukan oleh petugas terkait, yang pada akhirnya akan
menambah biaya dan mengakibatkan harga kelapa sawit Indonesia kurang kompetitif.
Di sisi lain, isu lingkungan atau eco-labelling pun turut menjadi penghambat bagi
peningkatan ekspor CPO Indonesia. Beberapa negara maju seperti negara-negara Uni
Eropa dan Amerika Serikat saat ini menjadi sangat selektif dalam mengimpor komoditas
ini. Mereka tidak menginginkan terjadinya perusakan hutan yang kemudian dijadikan
sebagai lahan perkebunan kelapa sawit.
22Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Ekspor CPO juga mengalami beberapa hambatan di pasar internasional, seperti
hambatan tarif yang masih cukup tinggi di beberapa negara importir seperti India. Hingga
tahun 2006, India menerapkan bea masuk terhadap komoditas CPO sebesar 67.6%.
Sedangkan Pakistan dan Cina, masing-masing menerapkan bea masuk terhadap CPO
sebesar 60% dan 9%.
3.2. Kebijakan Pungutan Ekspor CPO Indonesia
Kebijakan pungutan ekspor yang ditetapkan atas komoditas CPO dan turunannya
dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku
industri minyak goreng dan menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Hal
ini dilakukan mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok
masyarakat, sehingga pemerintah merasa perlu melakukan kebijakan terkait dengan
kestabilan supplai dan harga di dalam negeri.
Penetapan pungutan ekspor terhadap CPO terus mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Akan tetapi semua perubahan ini terjadi seiring dengan perubahan harga
CPO di pasar dunia. Pada tahun 1979, misalnya, pemerintah sempat menerapkan pajak
ekspor yang sangat tinggi atau dengan melarang adanya ekspor CPO. Begitu pula di tahun
1984, pajak ekspor sempat mencapai 37.18% akibat harga CPO di pasar dunia begitu
tinggi. Akan tetapi, rendahnya harga di pertengahan 1986 menyebabkan dilakukannya
deregulasi dengan menerapkan pajak ekspor sebesar nol persen. Deregulasi juga dilakukan
di tahun 1997 dengan tujuan peningkatan potensi ekspor Indonesia dalam menghadapi
pasar global. Hal ini terus berlanjut hingga memasuki tahun 2000. Bahkan untuk
23Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
mendorong pertumbuhan ekspor, besaran tarif pajak ekspor terus mengalami perubahan
seperti yang tertera pada tabel berikut19.
Tabel 3.4
Penetapan Tarif Pajak Ekspor CPO
Tahun Tarif Pajak Ekspor
1999 40%
2000 5%
2001 3%
2004 1%
2005 3%
Sumber: Keputusan Menteri Keuangan RI
Memasuki tahun 2005, besar pajak ekspor ditentukan berdasarkan harga pungutan
ekspor (HPE). Adapun nilai pajak ekspor atau yang saat ini disebut sebagai pungutan
ekspor CPO, diperoleh dari perhitungan tersendiri yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan RI, di mana:
Pungutan Ekspor (PE) = Tarif Pungutan Ekspor χ Harga Patokan Ekspor (HPE) χ
Jumlah Satuan Barang χ Kurs.
HPE ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau
pejabat yang ditunjuk dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, dengan
berpedoman pada harga rata-rata internasional dan atau harga rata-rata FOB di beberapa
pelabuhan di Indonesia dalam satu bulan sebelum penetapan HPE20. Sedangkan kurs yang
19 Bambang P. S. Brodjonegoro. “Politik Ekonomi: Antara Liberalisasi vs Proteksi pada Pengembangan Industri Kelapa
Sawit Indonesia”, Prediksi dan Rekomendasi: Revitalisasi Industri Kelapa Sawit sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2010-2020, hal 98.
20 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 35/M-DAG/PER/8/2007, pasal 1 dan 2.
24Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
digunakan untuk menghitung nilai pungutan ekspor adalah kurs pajak ekspor yang
ditetapkan oleh Departemen Keuangan dan diperbaharui setiap minggunya.
Adapun tarif pungutan ekspor yang dikenakan pada komoditas CPO dan turunannya
tergolong dalam bentuk ad valorem tariff. Besar tarif ini ditentukan oleh menteri keuangan
yang disesuaikan dengan harga rata-rata CPO di pasar dunia (CIF Rotterdam) satu bulan
sebelum penetapan HPE21, di mana pada saat harga di pasar dunia mengalami peningkatan,
maka tarif ekspor CPO pun meningkat dengan klasifikasi tertentu. Saat studi penelitian ini
dilakukan, tarif pungutan ekspor diterapkan dengan klasifikasi sebagai berikut:
Tabel 3.5
Ketentuan Pengenaan Tarif Pungutan Ekspor CPO
Harga CPO di Pasar Dunia (per ton) Tarif Pungutan Ekspor
US$ 550 > price CPO 0.0%
US$ 550 ≤ price CPO < US$ 650 2.5%
US$ 650 ≤ price CPO < US$ 750 5.0%
US$ 750 ≤ price CPO < US$ 850 7.5%
US$ 850 ≤ price CPO 10.0%
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan No. 94/PMK.011/2007
Dampak penerapan pungutan ekspor CPO di Indonesia tidak saja dirasakan oleh para
eksportir, tetapi juga oleh para petani sawit. Kenaikan beban ini akan menurunkan daya
saing ekspor CPO Indonesia di pasar dunia. Agar tetap dapat bersaing dengan harga yang
kompetitif, produsen meminimisasi biaya dengan menekan harga beli tandan buah segar
dari para petani sawit. Karena itulah, pungutan ekspor ini justru lebih memberatkan para
petani dibandingkan produsen ataupun eksportir CPO itu sendiri.
21 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 35/M-DAG/PER/8/2007, pasal 3 ayat (1).
25Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
3.3. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat
Selepas tahun 2001 hingga 2006, nilai tukar antara rupiah dan dolar Amerika Serikat
sesungguhnya tidak mengalami fluktuasi yang cukup berarti. Hanya saja di kuartal pertama
tahun 2001 sempat terjadi depresiasi rupiah, di mana pada bulan April nilai tukar rupiah
terhadap dolar mencapai Rp 11.675 per US$ dari nilai Rp 9.450 per US$ di awal tahun.
Fluktuasi ini terus terjadi sepanjang tahun 2001. Hal ini disebabkan oleh dampak krisis
ekonomi tahun 1998 yang belum sepenuhnya dapat teratasi, seperti masalah restrukturisasi
utang yang belum tuntas, dampak otonomi daerah, serta tekanan suku bunga yang memiliki
pengaruh sangat besar bagi APBN. Dari sisi eksternal, ancaman Bank Dunia untuk
menghentikan pinjaman baru kepada Indonesia telah mengakibatkan sentimen negatif di
pasar valuta asing.
Gambar 3.6
Perbandingan Volume Ekspor dan Kurs Rupiah per US Dollar Tahun 2001-2006
-
100,000,000
200,000,000
300,000,000
400,000,000
500,000,000
600,000,000
700,000,000
800,000,000
900,000,000
Jan
01
Apr 0
1
Jul 0
1
Oct
01
Jan
02
Apr 0
2
Jul 0
2
Oct
02
Jan
03
Apr 0
3
Jul 0
3
Oct
03
Jan
04
Apr 0
4
Jul 0
4
Oct
04
Jan
05
Apr 0
5
Jul 0
5
Oct
05
Jan
06
Apr 0
6
Jul 0
6
Oct
06
Bulan
Ekspor Volume (Kg)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
Kurs Rupiah/US$
Export_Vol KURS
Sumber: Bank Indonesia dalam www.bi.go.id; Badan Pusat Statistik
Setelah tahun 2001, nilai tukar rupiah berfluktuasi dalam nilai yang dikatakan
normal. Meskipun demikian, fluktuasi tersebut menunjukan tren yang terus meningkat,
26Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
yang berarti nilai rupiah cenderung melemah terhadap dolar. Dalam hal ekspor, kondisi ini
tentunya mengutungkan. Sebab, di saat mata uang suatu negara bernilai rendah terhadap
mata uang lain, berarti harga barang-barang negara tersebut relatif lebih murah. Sehingga,
permintaan pasar dunia terhadap barang-barang yang dihasilkan negara itu pun meningkat
(ekspor negara itu meningkat).
Dari grafik perbandingan ekspor dan nilai tukar di atas, kita dapat melihat bahwa
secara garis besar hubungan antara nilai tukar rupiah-dolar Amerika Serikat dengan
volume ekspor CPO Indonesia pun menunjukkan hubungan serupa. Saat rupiah mengalami
tren depresiasi (nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat meningkat), volume
ekspor CPO pun mengalami tren peningkatan. Hal itu terlihat dari pergerakan kedua
variabel ini yang sejajar.
3.4. Harga Minyak Bumi
Gambar 3.7
Harga Minyak Bumi di Pasar Dunia
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
Jan-
01
May
-01
Sep-
01
Jan-
02
May
-02
Sep-
02
Jan-
03
May
-03
Sep-
03
Jan-
04
May
-04
Sep-
04
Jan-
05
May
-05
Sep-
05
Jan-
06
May
-06
Sep-
06
Bulan
US$/barrel
Sumber: International Monetary Fund, www.imf.org/external/np/res/commod/index.asp
27Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Sepanjang tahun 2001 hingga 2006, harga minyak bumi di pasar dunia menunjukkan
tren peningkatan. Slope kenaikan harga yang cukup tajam terjadi saat memasuki tahun
2004. Bahkan, hingga saat studi penelitian ini dibuat, harga minyak bumi di pasar dunia
pun masih terus mengalami peningkatan. Kondisi tersebut dipicu oleh jumlah permintaan
yang cukup besar di pasar dunia, sedangkan kuantitas yang ditawarkan tidak cukup besar
dan berfluktuasi.
Harga minyak bumi yang terus melonjak tentunya berdampak pada perubahan
kuantitas ataupun harga komoditas substitusi minyak bumi. Dalam hal ini, perdagangan
komoditas minyak kelapa sawit yang menjadi salah satu sumber energi alternatif
diperkirakan turut terpengaruh.
3.5. Perkembangan Pasar Minyak dan Lemak Dunia
Kebutuhan minyak dan lemak di pasar dunia terpenuhi oleh 13 sumber minyak nabati
yang terdiri dari minyak kedelai (soybean oil), minyak biji bunga matahari (sunflowerseed
oil), minyak biji kapas (cottonseed oil), minyak kanola (rapeseed oil), minyak kacang
tanah (groundnut oil), minyak kelapa sawit (palm oil), minyak inti sawit (palm kernel oil),
minyak wijen (sesameseed oil), minyak kelapa (coconut oil), minyak biji jarak (castorseed
oil), minyak jagung (corn oil), minyak zaitun (olive oil), dan minyak biji rami (linseed oil);
dan 4 sumber minyak dan lemak hewani, seperti minyak ikan (fish oil), mentega (butter),
tallow, dan lemak babi (lard). Dengan karakteristik dan struktur kimia yang hampir serupa,
minyak-minyak nabati tersebut memiliki kegunaan yang sama di berbagai industri, baik
industri pangan ataupun nonpangan. Sifat substitusi inilah yang menyebabkan jumlah
permintaan atau harga masing-masing minyak nabati saling berpengaruh satu sama lain di
pasar dunia. Untuk itu, studi penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai
28Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
29
perkembangan minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari yang merupakan salah satu
substitusi CPO sebagai minyak nabati.
Kebutuhan akan minyak dan lemak dunia sebagian besar terpenuhi oleh hasil
produksi minyak kedelai, minyak kelapa sawit, dan minyak kanola, yang masing-masing
pada tahun 2001 berkontribusi sebesar 23.6%, 20.3%, dan 11.6% terhadap total produksi
minyak dan lemak dunia. Sedangkan minyak biji bunga matahari menempati urutan
keempat dengan kontribusi sebesar 7%. Memasuki tahun 2004, produksi minyak kelapa
sawit lebih unggul dari produksi minyak kedelai yang mengalami penurunan di tahun
tersebut. Kekeringan yang terjadi di Brazil bagian selatan dan Argentina menjadi penyebab
utama penurunan produksi minyak kedelai saat itu, mengingat kedua negara tersebut
berperan sebagai produsen minyak kedelai terbesar dunia setelah Amerika Serikat.
Peningkatan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia akibat pertambahan
luas areal dan jumlah produsen di sektor perkebunan kelapa sawit pun turut mendorong
terjadinya selisih ini. Namun secara keseluruhan, pertumbuhan produksi minyak dan lemak
dunia mencapai rata-rata pertumbuhan sebesar 4.01% per tahun, seperti yang terlihat pada
tabel 3.6 berikut.
Di lain pihak, antara tahun 2001 hingga 2005 jumlah konsumsi minyak dan lemak
dunia terus mengalami pertumbuhan yang positif dengan tingkat pertumbuhan tertinggi
sebesar 5.4% pada tahun 2005. Meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi
di sebagian besar negara diperkirakan menjadi salah satu faktor pemicu pertumbuhan ini.
Terlebih lagi, beberapa jenis minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak kelapa sawit
dan minyak kanola memiliki kegunaan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak
bumi yang semakin langka di tengah permintaan dunia yang begitu tinggi. Akibatnya,
permintaan akan minyak nabati tersebut menjadi semakin meningkat.
Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
30
Tabel 3.6 Perkembangan Produksi Minyak dan Lemak Dunia, Tahun 2001-2005
(ribu ton)
2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata No Minyak/Lemak Produksi % Produksi % Produksi % Produksi % Produksi % Pertumbuhan
1 Palm Oil 23941 20.3% 25221 20.9% 28082 22.4% 30890 23.4% 33499 24.0% 8.8% 2 Palm Kernel Oil 2935 2.5% 3017 2.5% 3331 2.7% 3567 2.7% 3924 2.8% 7.6% 3 Soybean Oil 27781 23.6% 29799 24.8% 31291 25.0% 30723 23.3% 33491 24.0% 4.9% 4 Cottonseed Oil 4048 3.4% 4181 3.5% 4006 3.2% 4414 3.3% 5022 3.6% 5.8% 5 Groundnut Oil 5037 4.3% 5230 4.3% 4505 3.6% 4746 3.6% 4503 3.2% -2.5% 6 Sunflower Oil 8196 7.0% 7647 6.4% 8970 7.2% 9410 7.1% 9705 6.9% 4.7% 7 Rapesseed Oil 13696 11.6% 13320 11.1% 12659 10.1% 14905 11.3% 16023 11.5% 4.4% 8 Corn Oil 1960 1.7% 2022 1.7% 2015 1.6% 2015 1.5% 2117 1.5% 2.0% 9 Coconut Oil 3515 3.0% 3132 2.6% 3286 2.6% 3060 2.3% 3227 2.3% -1.8%
10 Olive Oil 2761 2.3% 2654 2.2% 2849 2.3% 3055 2.3% 2887 2.1% 1.3% 11 Castor Oil 515 0.4% 440 0.4% 419 0.3% 492 0.4% 543 0.4% 2.1% 12 Sesame Oil 741 0.6% 828 0.7% 780 0.6% 834 0.6% 839 0.6% 3.4% 13 Linseed Oil 646 0.5% 632 0.5% 596 0.5% 635 0.5% 628 0.4% -0.6%
Total Minyak Nabati 95772 81.3% 98123 81.5% 102789 82.0% 108746 82.4% 116408 83.3% 14 Butter 6096 5.2% 6300 5.2% 6275 5.0% 6484 4.9% 6678 4.8% 2.3% 15 Tallow 8153 6.9% 8063 6.7% 8025 6.4% 8239 6.2% 8181 5.9% 0.1% 16 Fish Oil 1132 1.0% 954 0.8% 984 0.8% 1070 0.8% 998 0.7% -2.6% 17 Lard 6720 5.7% 6948 5.8% 7210 5.8% 7363 5.6% 7543 5.4% 2.9%
Total Lemak 22101 18.7% 22265 18.5% 22494 18.0% 23156 17.6% 23400 16.7%
Total Minyak dan Lemak 117873 120388 125283 131902 139808 4.0% Sumber: Oil World Monthly 2005 dalam Kondisi Terkini Pasar Global Minyak Sawit, diolah
Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Adapun pertumbuhan konsumsi minyak dan lemak tertinggi di periode tersebut
terjadi pada Cina, yang merupakan negara berpenduduk terbesar dan perekonomian
terbesar kedua di dunia, dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi minyak dan lemak
sebesar 7.9% per tahun atau mencapai 25.650 ribu ton di tahun 2005. Pertumbuhan ini
menjadikan Cina sebagai konsumen terbesar, mengalahkan Uni Eropa yang di tahun 2002
masih menduduki peringkat pertama, seperti yang digambarkan pada grafik di atas. Dari
sini dapat dilihat bahwa konsumsi minyak dan lemak dalam jumlah besar memang
dilakukan oleh negara-negara berpenduduk besar seperti Amerika Serikat, India, dan juga
Commonwealth of Independent States (negara-negara pecahan Uni Soviet). Akan tetapi
dari analisa data yang ada, dapat ditelaah lebih lanjut bahwa negara-negara penghasil
minyak nabati itu sendiri, seperti Malaysia dan Indonesia, menunjukkan tingkat
pertumbuhan rata-rata per tahun yang juga cukup besar, yaitu 6.2% dan 4.8%. Hal itu
diperkirakan terjadi karena penyerapan hasil produksi di pasar domestiknya semakin
meningkat seiring perkembangan industri hilir dari minyak nabati yang dihasilkan di
masing-masing negara.
Gambar 3.8
Negara Konsumen Utama 17 Minyak dan Lemak Dunia(Volume 000 Ton)
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Volume (000 Ton)
Cina EU Amerika Serikat India CIS
Sumber: Malaysian Palm Oil Board dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2005, diolah
31Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
Di pasar dunia, permintaan akan komoditas CPO sendiri mengalami perubahan yang
cukup cepat. Hal ini terlihat dari perubahan yang cukup besar pada jumlah impor CPO
yang dilakukan oleh beberapa negara pada satu dekade terakhir. Cina, misalnya,
mengalami peningkatan jumlah impor lebih dari 100% antara tahun 2001 hingga 2005.
Dengan ini, Cina menjadi negara pengimpr CPO terbesar dunia, mengungguli India yang
berada di tingkat kedua. Selain karena keduanya merupakan negara besar yang
berpenduduk sangat banyak, konsumsi CPO yang begitu besar ini diakibatkan karena
banyaknya pengembangan biodiesel dengan bahan baku CPO dilakukan di negara itu. Hal
itu juga dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa seperti Belanda, Jerman, dan Italia.
Tabel 3.7
Negara Pengimpor Utama Minyak Kelapa Sawit Dunia Tahun 1995 - 2005
Volume ('000/Ton)
Country 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 China, P.R. 1.595 1.370 1.860 1.373 1.347 1.764 2.120 2.660 3.353 3.851 4.350 EU 1.738 1.867 2.045 2.142 2.287 2.419 3.019 3.370 3.593 3.945 4.534 Pakistan 1.122 1.104 1.144 1.114 1.052 1.107 1.325 1.300 1.468 1.432 1.675 Egypt 353 385 367 408 511 524 525 611 678 702 765 India 863 1.254 1.469 1.672 3.257 3.650 3.492 3.461 4.067 3.451 3.326 Japan 351 361 370 357 365 373 393 415 428 466 492 Malaysia 38 15 31 66 165 57 166 371 473 713 555 Turkey 201 171 241 174 166 208 283 260 352 347 424 South Korea 156 184 197 152 172 200 226 215 213 217 235 Myanmar 305 235 280 248 225 202 200 153 227 268 290 USA 102 125 135 116 143 165 171 219 211 274 376 Bangladesh 39 109 177 93 107 226 380 436 481 644 843 Indonesia 55 109 93 19 4 7 7 17 10 13 12 South Africa 128 147 145 140 169 168 217 237 242 266 270 Saudi Arabia 164 160 193 182 211 201 212 275 266 236 295 Kenya 177 171 209 187 214 216 218 239 240 300 329 Ex – USSR 58 51 110 103 152 192 393 454 508 592 706 Other 3.012 2.952 3.166 2.699 3.423 3.544 4.230 4.684 4.984 6.235 6.931 TOTAL 10.457 10.770 12.232 11.245 13.970 15.223 17.577 19.377 21.794 23.952 26.408
Sumber: Malaysian Palm Oil Board dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2005
Di sisi lain, peningkatan yang terjadi pada penawaran CPO di pasar dunia tidaklah
sebesar peningkatan yang terjadi pada permintaannya. Pertumbuhan penawaran dalam
32Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008
sepuluh dekade terakhir hanya sebesar 119%, padahal pertumbuhan permintaan mencapai
153%. Apabila kondisi ini terus terjadi, dikhawatirkan nantinya akan terjadi peningkatan
harga CPO di pasar dunia.
Tabel 3.8
Negara Produsen Utama Minyak Kelapa Sawit Dunia Tahun 1995 – 2005
Volume ('000/Ton)
Country 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Malaysia 7.810 8.386 9.069 8.320 10.554 10.842 11.804 11.909 13.355 13.976 14.962 Indonesia 4.220 4.540 5.380 5.100 6.250 7.050 8.080 9.370 10.530 12.350 13.600 Nigeria 660 670 680 690 720 740 770 775 785 790 800 Colombia 353 410 441 424 500 524 548 528 527 632 662 Cote d'Ivoire 300 280 259 269 264 278 205 240 220 270 260 Thailand 316 375 390 475 560 525 625 600 640 668 685 Papua New Guinea 225 272 275 210 264 336 329 316 326 345 350 Ecuador 178 188 203 200 263 218 228 241 247 263 298 Costa Rica 90 109 119 105 122 137 150 128 155 195 195 Honduras 76 76 77 92 90 101 130 126 158 170 178 Brazil 75 79 80 89 92 108 110 118 129 142 160 Venezuela 34 45 54 44 60 70 52 55 41 63 66 Guetamala 22 36 50 47 53 65 70 86 85 87 90 Others 852 820 869 855 833 873 883 900 913 958 1.020
TOTAL 15.211 16.286 17.946 16.920 20.625 21.867 23.984 25.392 28.111 30.909 33.326
Sumber: Malaysian Palm Oil Board dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2005
33Faktor-faktor determinan..., Fatimah Hani'atu Tasnim, FE UI, 2008