46
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Kepala 2.1.1 Epidemiologi Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (headache) pada sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore didapati prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%, wanita 85% (p = 0.0002). Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian pendahuluan di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mendapati hasil pria 78% sedangkan wanitanya 88% (Widjaja, 2005). Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari 70% penduduknya pernah mengalami nyeri kepala, lebih dari 5% mencari atau mengusahakan pengobatan, tetapi hanya ± 1% yang datang ke dokter atau rumah sakit khusus untuk keluhan nyeri kepalanya. Penelitian yang dilakukan di Singapura didapatkan prevalensi life time nyeri kepala penduduk singapura adalah laki-laki 80%, wanita 85%. Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU, didapatkan hasil laki-laki 78% sedangkan wanitanya 88%. Dari hasil pengamatan jenis penyakit dari pasien yang berobat jalan di praktek sore Syahrir selama tahun 2003, ternyata nyeri kepala menduduki proporsi tempat teratas, sekitar 42% dari keseluruhan pasien neurologi. (Bahrudin, 2013). Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri Kepala

2.1.1 Epidemiologi

Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (headache) pada

sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore

didapati prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%,

wanita 85% (p = 0.0002). Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian

pendahuluan di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mendapati

hasil pria 78% sedangkan wanitanya 88% (Widjaja, 2005).

Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari 70% penduduknya pernah

mengalami nyeri kepala, lebih dari 5% mencari atau mengusahakan pengobatan,

tetapi hanya ± 1% yang datang ke dokter atau rumah sakit khusus untuk keluhan

nyeri kepalanya. Penelitian yang dilakukan di Singapura didapatkan prevalensi life

time nyeri kepala penduduk singapura adalah laki-laki 80%, wanita 85%. Angka

tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa

Fakultas Kedokteran USU, didapatkan hasil laki-laki 78% sedangkan wanitanya 88%.

Dari hasil pengamatan jenis penyakit dari pasien yang berobat jalan di praktek sore

Syahrir selama tahun 2003, ternyata nyeri kepala menduduki proporsi tempat teratas,

sekitar 42% dari keseluruhan pasien neurologi. (Bahrudin, 2013).

Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien

saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

5

kepala masih merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh nyeri kepala mulai

dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai kecemasan (Hidayati,

2016).

2.1.2 Definisi

Sakit Kepala merupakan keluhan utama yang paling sering disajikan kepada

dokter. Setiap jenis “sakit kepala” mempunyai dasar organik, walaupun pada

sebagian terdapat juga faktor etiologik yang bersifat patogenik (Sidharta, 2012).

Nyeri Kepala adalah semua perasaan yang tidak menyenangkan di daerah

kepala. Nyeri di leher atau kerongkongan tidak dimasukkan dalam nyeri kepala

(Bahrudin, 2013).

Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah

kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area

oksipital dan sebagian daerah tengkuk). International Headache Society (IHS) pada

tahun 1988 telah membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu, nyeri kepala primer dan

nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa disertai adanya

penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala

yang disertai penyebab struktural organik (Nurwulandari, 2014).

Nyeri kepala didefinisikan sebagai suatu perasaan tidak mengenakkan pada

daerah kepala yang sering dikeluhkan dari para penderitanya karena dapat

mengganggu aktivitas sehari-hari (Nurwulandari, 2014).

Nyeri kepala adalah salah satu keluhan yang paling umum dikeluhkan oleh

pasien saat datang ke dokter perawatan primer dan neurolog. Meskipun sebagian

besar nyeri kepala adalah jinak (tidak membahayakan), namun dokter dihadapkan

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

6

pada tugas penting untuk membedakan gangguan nyeri kepala yang jinak dan yang

berpotensi mengancam nyawa. Mengingat banyak penyakit sering disertai dengan

keluhan nyeri kepala, perlu pendekatan yang terfokus dan sistematis untuk

memfasilitasi diagnosis dan pengobatan yang tepat pada berbagai jenis nyeri kepala

(Hidayati, 2016).

2.1.4 Faktor resiko

Dalam penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016), stres mencetus

serangan nyeri kepala terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%), sedangkan faktor

pencetus yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca yang mempengaruhi

34 orang (19,3%) (Tabel 2.1) (Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016).

Tabel 2.1 Distribusi Faktor Resiko Pencetus Nyeri Kepala

Pencetus Frekuensi %

Stress

Perubahan pola tidur

Melewatkan waktu malam

Menstruasi

Asap rokok

Perubahan cuaca

Menonton / bermain laptop

149

110

74

66

68

34

56

84,6

62,5

42

37,5

38,6

19,3

31,8 (Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016)

Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), secara umum, kami

dapat membagi faktor resiko ke dalam kategori pola hidup, bersekolah dan kejiwaan.

Penyebab khas yang sering ditemukan dari faktor-faktor pola hidup yaitu meliputi:

1. Konsumsi kafein

2. Konsumsi alkohol

3. Merokok

4. Kurangnya aktivitas fisik

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

7

Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), ditemukannya

konsumen kafein yang biasanya berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri

kepala pada orang dewasa dan remaja. Sedangkan baik dari penelitian HUNT dan

survei dari pelajar SMA di Munich, Jerman, menunjukkan bahwa adanya hubungan

yang signifikan antara merokok dan terjadinya nyeri kepala. Kemudian berbeda

dengan orang dewasa, pada remaja mengkonsumsi alkohol juga merupakan faktor

resiko dari terjadinya nyeri kepala. Dan dari sebuah hubungan yang signifikan antara

minum koktail dan terjadinya nyeri kepala ditemukan di antara pelajar SMA. Dan

lagi, baik dari penelitian HUNT dan Munich menunjukkan bahwa ditemukan adanya

hubungan dengan kurangnya aktivitas fisik dengan terjadinya nyeri kepala. Kemudian

tidak mengherankan, kelebihan berat badan juga bisa dihubungkan dengan nyeri

kepala pada kalangan remaja. Dalam sebuah penelitian di Amerika menunjukkan

bahwa kehilangan berat badan juga berhubungan dengan penurunan jumlah angka

pada kasus terjadinya nyeri kepala. Penelitian lain menunjukkan tidak ada pengaruh

hubungan dengan mengkonsumsi air mineral, melewatkan waktu makan atau riwayat

meningitis dan penggunaan komputer sehari-hari (video game, media elektronik) juga

tidak berpengaruh terhadap terjadinya nyeri kepala yang ditimbulkan.

Stres di sekolah serta harapan dan tuntutan dari orang tua yang sangat tinggi

merupakan salah satu faktor resiko untuk meningkatkan kondisi terjadinya nyeri

kepala pada pelajar. Kemudian dari penelitian menunjukkan bahwa meluangkan

waktu senggang yang efektif (meluangkan waktu yang tepat tanpa kegiatan yang

direncanakan) mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala. Dalam sebuah survei

terhadap pelajar SMA, ditemukan 80% mengeluh nyeri kepala dan lebih dari 40%

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

8

memiliki aktifitas kurang dari dua jam yang tidak direncanakan per hari (Straube,

Heinen, Ebinger et al, 2013).

Faktor resiko lain yang termasuk stres emosional yang timbul antara lain dari

kedua orang tua dan faktor kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah penelitian dari

Lower Saxony, Negara bagian Jerman, terdapat hubungan antara adanya konflik di

dalam keluarga terhadap terjadinya nyeri kepala termasuk hal biasa, terutama pada

anak laki-laki. Dalam sebuah penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa pada anak-

anak dengan nyeri kepala kronis, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang

ada, secara signifikan memiliki jumlah yang lebih rendah pada Angka Lingkungan

Keluarga Global dan lebih sering dilaporkan terjadi kekerasan fisik dan perceraian

terhadap ke-dua orang tua mereka (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat adanya hubungan

antara kekerasan fisik dan dengan frekuensi nyeri kepala. Selain kekerasan fisik, baik

pelecehan seksual dan stres emosional, serta kurangnya perhatian, merupakan faktor

resiko yang signifikan berhubungan dengan onset awal dan kronisitas terhadap

terjadinya nyeri kepala. Hubungan tersebut adalah diagnosis tersendiri dari depresi

atau gangguan kecemasan. Begitu juga sebaliknya, sebuah hubungan yang kooperatif,

bukan hubungan dari keluarga dapat terhindar terhadap terjadinya nyeri kepala (Tabel

2.2) (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

9

Tabel 2.2 Faktor-faktor Resiko Terhadap Nyeri Kepala Pada Anak-anak dan Remaja

Risk factor Age group

(years) n

Result

OR; 95% (confidence interval)

To little activity 13-19

12-18

1260

5847

OR: 2,2 (1,3-3,7)

OR: 1,2 (1,1-1,4)

Regular nicotine use

11-26

13-19

12-18

980

1260

5847

OR: 2,16 (1,39-3,35) for frequent headaches

OR: 2,7 (1,4-5,1)

OR: 1,5 (1,3-1,7)

Reguler alcohol ingestion 13-19 1260 OR: 3,4 (1,9-6,0)

Overwight 12-18 5847 OR: 1,4 (1,2-1,6)

Regular coffe ingestion 13-19 1260 OR: 2,4 (1,3-4,7)

No free time 8-15 1434 boys

541 girls

OR: 2,12 (1,29-3,48)

OR: 0,99 (0,28-3,47)

Listening to music 13-17 1025 OR: 2,1 (1,2-3,7) for 1-2h/daily

Divorce of parents 13-15 4645 OR: 5,8 (1,2-28,0)

Negative personal experience 12-13 1694 OR: 1,88 (1,41-2,52)

Lack of satisfaction 12-13 1694 OR: 1,85 (1,48-2,31)

Familial disagreements 8-15 1434 boys

541 girls

OR: 1,78 (1,05-3,02)

OR: 1,25 (1,01-1,55)

Abuse 13-15 3955 OR: 1,6 (1,4-1,9)

Bullying 11-15 123

227

rare: OR: 1,40 (1,30-1,50)

weekly: OR: 1,86 (1,70-2,05)

Unfair treatment by teacher 11-15 4119 OR: 1,24 (1,15-1,34)

High familial expectations 12-13 1694 OR: 1,40 (1,11-1,74)

OR = Odds Ratio (Strauble, Heinen, Ebinger et al, 2013)

Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), bersekolah

merupakan bagian terpenting dari kehidupan setiap anak-anak dan remaja. Penelitian

telah memberikan perhatian yang cukup besar untuk pengaruh terhadap perilaku

mengintimidasi dan trauma fisik pada pengembangan masalah somatik dan

emosional. Misalnya, berkembangnya faktor resiko terjadinya nyeri kepala berulang

kali meningkat sebesar 25% ketika anak-anak sekolah merasa guru mereka

memperlakukan mereka secara sangat tidak adil dan tidak wajar. Begitu juga

sebaliknya, ketika merasa diperlakukan adil dan sewajarnya bisa mengakibatkan

mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala dengan lebih dari 40%. Perilaku

mengintimidasi meningkatkan faktor resiko terjadinya nyeri kepala dan melakukan

penatalaksanaan nyeri kepala tersebut. Ada hubungan yang kuat antara keparahan

yang dirasakan akibat bullying dan frekuensi terjadinya nyeri kepala. Sebuah

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

10

penelitian cross-sectional di 28 negara menunjukkan bahwa terjadinya perilaku

mengintimidasi meningkatkan sekali faktor resiko terjadinya nyeri kepala sebesar

40%, sementara dalam satu minggu akibat dari bullying menimbulkan terjadinya

nyeri kepala sebesar 80-90%.

Jika salah satu ketegori dari semua faktor-faktor resiko ini bersama-sama

sebagai penyebab stres, maka salah satu akan dapat menimbulkan pertanyaan apakah

stres yang dirasakan tersebut berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri kepala.

Sedangkan penelitian yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara frekuensi

migrain dan jangka waktu terhadap pemeriksaan nyeri kepala tersebut menunjukkan

ke arah tersebut. Terdapat sekitar 20% dari pelajar SMA mengeluhkan stres yang

berlebihan, pada umumnya tidak selalu penyebab bersekolah sebagai faktor

terjadinya stres paling utama. Tingkat subjektif stres akan lebih tinggi pada pelajar

dengan migrain dibandingkan pada pelajar dengan nyeri kepala tipe tegang atau tanpa

nyeri kepala (Tabel 2.2) (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).

Beberapa penyakit seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, dan

gangguan intra kranial lain dapat mengakibatkan terjadinya nyeri kepala. Nyeri

kepala karena adanya gangguan struktural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor

metastasis, dan gangguan intra kranial lain terkategori dalam nyeri kepala sekunder.

Bila didapatkan kasus nyeri kepala pada orang dengan penyakit-penyakit yang

berisiko untuk terjadi nyeri kepala maka nyeri kepala ini masuk dalam (secondary

headache risk factors) (Hidayati, 2016).

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

11

2.1.4 Etiologi

Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah kondisi

yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri kepala yang

timbul pertama kali dan akut awas ini adalah manifestasi awal dari penyakit sistemik

atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi sistemik yang lebih teliti

(Bahrudin, 2013).

Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya:

meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra

kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma) yang

keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013).

Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala

dapat diringkas sebagai berikut:

a. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal.

b. Encephalomeningitis.

c. Migraine.

d. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi.

e. Neoplasm (Tumor otak).

f. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan ekstradural,

perdarahan subdular.

g. Ear dan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis.

h. Dental: Gigi, gusi.

i. Cluster headache.

j. Otot: Tension headache.

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

12

k. Arteritis temporalis.

l. Trigeminal neuralgia.

Bila hurut terdepan dirangkai, maka terbentuk kata “CEMENTED COAT”.

Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual,

manuver valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga,

aktivitas seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio Venous

Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau penyakit vaskuler

(Hidayati, 2016).

2.1.5 Patofisiologi

Menurut Akbar (2010), beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri

kepala terus berkembang hingga sekarang. Seperti, teori vasodilatasi kranial, aktivasi

trigeminal perifer, lokalisasi dan fisiologi second order trigeminovascular neurons,

cortical spreading depression, aktivasi rostral brainstem.

Rangsang nyeri bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement

maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-nosiseptor pada struktur

peka nyeri di kepala. Jika struktur tersebut yang terletak pada atau pun diatas

tentorium serebelli dirangsang maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar pada

daerah didepan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan

melewati puncak kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini

ditransmisi oleh saraf trigeminus (Akbar, 2010).

Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah

tentorium (pada fossa kranii posterior) radiks servikalis bagian atas dengan cabang-

cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang garis

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

13

tersebut, yaitu daerah oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini

ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3. Akan tetapi

kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N. oksipitalis mayor akan

menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi ipsilateral. Telah dibuktikan

adanya hubungan erat antara inti trigeminus dengan radiks dorsalis segmen servikal

atas. Trigemino cervical reflex dapat dibuktikan dengan cara stimulasi

n.supraorbitalis dan direkam dengan cara pemasangan elektrode pada otot

sternokleidomastoideus. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari trigemino-cervical

reflex ditransmisikan melalui polysinaptic route, termasuk spinal trigeminal nuklei

dan mencapai servikal motorneuron. Dengan adanya hubungan ini didapatkan bahwa

nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau diteruskan kearah kepala dan sebaliknya

(Akbar, 2010).

Menurut Kinik, Alehan, Erol et al (2010), salah satu teori yang paling populer

mengenai penyebab nyeri kepala ini adalah kontraksi otot wajah, leher, dan bahu.

Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m. temporalis, m.

masseter, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis posterior, dan m.

levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita nyeri kepala ini

mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar daripada

orang lain yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang sakit kepala setelah

adanya kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi tubuh yang

dipertahankan lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot ataupun posisi tidur

yang salah. Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan sakit kepala kronis bisa

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

14

sangat sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi peningkatan nyeri terhadap

kontraksi otot.

Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan

kontraksi otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh

darah sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen dan

menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri (Goadsby,

Lipton, Ferrari, 2002; Kinik, Alehan, Erol et al, 2010).

Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul akibat

perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan beberapa zat

kimia lain - yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa dengan perubahan

biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum diketahui bagaimana

zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini mengaktifkan jalur

nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk menekan nyeri. Pada

satu sisi, ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa menyebabkan sakit kepala

pada orang dengan gangguan zat kimia (Akbar, 2010).

Menurut Sidharta (2012), “sakit kepala” timbul sebagai hasil perangsangan

terhadap bangunan-bangunan di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap nyeri.

Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka-nyeri ialah otot-otot oksipital, temporal

dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostinum. Tulang tengkorak

sendiri tidak peka-nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang peka-nyeri terdiri dari

meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi sinus venosus serta

arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak

peka-nyeri.

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

15

Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa:

a. Infeksi selaput otak: meningitis, ensefalitis.

b. Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural

atau setelah dilakukan pneumo atau zat kontras-ensefalografi.

c. Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial,

penyumbatan jalan lintasan likwor, trombosis sinus venosus, edema

serebri atau tekanan intrakranial yang menurun secara tiba-tiba dan

cepat.

d. Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada

infeksi umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik),

gangguan metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan

hiperkapnia), pemakaian obat vasodilatasi, keadaan pasca kontusio

serebri, insufisiensi serebrovaskuler akut, tekanan darah sistemik yang

melonjak secara tiba-tiba (seperti pada nefritis akut, feokhromositoma

dan intoksikasi karena kombinasi “monoamine oxydase inhibitor”

dengan tyramine).

e. Gangguan pembuluh darah darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi

(migraine dan “cluster headache”) dan radang (arteritis temporalis).

f. Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala,

seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.

g. Penjalaran nyeri (referred pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis),

sinus (sinusitis), baseos kranii (karsinoma nasofarings), gigi-geligi

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

16

(pulpids dan molar III yang mendesak gigi) dan daerah leher

(spondiloartrosis deformans servikalis).

h. Ketegangan otot kepala-leher-bahu sebagai manifestasi psiko-organik

pada keadaan depresi dan “streess”. Dalam hal ini “sakit kepala”

merupakan sinonim dari “pusing kepala”.

Menurut Bahrudin (2013), banyak faktor yang berperan dalam mekanisme

patofisiologi nyeri kepala primer ini, akan tetapi pada dasarnya secara umum

patofisiologisnya hampir mirip satu sama lainnya dengan disertai adanya sedikit

perbedaan spesifik yang masing-masing belum diketahui dengan benar.

2.1.6 Pemeriksaan

Menurut Bahrudin (2013); Hidayati (2016), seperti bidang ilmu kedokteran

lainnya, pertama, tentu saja, secara umum adalah anamnesis dan pemeriksaani-

pemeriksaan. Pemeriksaan pasien nyeri kepala terdiri dari:

A. Anamnesis

B. Pemeriksaan obyektif

C. Pemeriksaan dengan alat

D. Pemeriksaan laboratorium

A. Anamnesis

Menurut Bahrudin (2013), anamnesis sangat penting karena pada pasien nyeri

kepala gejala obyektif sering hanya sedikit. Cara melakukan anamnesis pada pasien

nyeri kepala adalah sebagai berikut:

1. Pertanyaan yang pertama dilakukan adalah tentang menceritakan

mengenai keluhan nyeri kepala pasien. Hal ini penting untuk

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

17

mengetahui karakteristik nyeri kepala yang dikeluhkan pasien seperti

apa.

2. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang bila terjadi serangan nyeri kepala,

apa yang dirasakan oleh pasien tersebut.

3. Selanjutnya ada tiga pertanyaan yang harus ditanyakan sehubungan

dengan waktu:

a. Sudah berapa lama pasien menderita nyeri kepalanya (misal, sejak

masih sekolah, dst.).

b. Mengenai frekuensi nyeri kepalanya yaitu, apakah nyeri kepala

seperti ini sering dirasakan dan apakah nyeri kepala ini terjadi

sebelum, selama, atau sesudah menstruasi.

c. Pada saat terjadi serangan nyeri kepala tersebut, perlu ditanyakan

mengenai berapa lama nyeri kepala tersebut dirasakan (beberapa

detik, menit, jam, atau hari).

4. Mengenai lokasi nyeri kepalanya, ada tiga pertanyaan yang harus

diajukan, diantaranya yaitu:

a. Pada bagian yang mana nyeri kepala tersebut mulai dirasakan dan

apakah mulai dari kening.

b. Apakah nyeri kepala yang dirasakan pada bagian dalam (seperti

pada migrain) atau pada permukaan kepala saja.

c. Apakah nyeri kepala yang dirasakan pada pasien tersebut ini

berpindah-pindah.

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

18

5. Tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kepala:

a. Apa yang dapat menyebabkan timbulnya serangan nyeri kepala

(misalnya, nyeri kepala timbul setelah minum anggur merah,

makan coklat, dll.).

b. Hal apa saja yang dapat menambah rasa nyeri kepala pada pasien

tersebut (misalnya, batuk, mengejan, sering kali berhubungan

dengan meningkatnya tekanan intrakranial).

c. Obat apa yang dapat mengurangi rasa nyeri tersebut.

6. Mengenai sifat (kualitas) nyeri kepala, perlu ditanyakan:

a. Bagaimana sifat nyeri kepala yang pasien rasakan (misalnya,

kemeng, panas, seperti ditusuk pisau, atau berdenyut).

b. Apabila mengalami serangan nyeri kepala, apakah pasien masih

dapat bekerja, tidur, dan sebagainya (misalnya bila tidak dapat

tidur badan semakin kurus, tidak dapat melihat TV menunjukkan

nyeri kepala hebat).

7. Masih ada empat pertanyaan lain yang perlu diajukan:

a. Apakah yang pasien rasakan selain nyeri kepala (misalnya, selama

serangan nyeri kepala pasien merasakan mual, muntah).

b. Upaya pengobatan yang pasien lakukan sebelumnya dan selain

obat dan suntikan perlu ditanyakan juga tentang akupuntur, pijat,

dsb.

c. Menurut anda, apa penyebab nyeri kepala anda (misalnya, pasien

takut mengalami perdarahan otak, tumor otak, dsb.).

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

19

d. Setelah pasien lama menderita nyeri kepala, mengapa baru

sekarang berobat (misalnya, karena mendengar adanya obat baru,

dsb).

8. Sebaiknya, pada akhir anamnesis ditanyakan, apakah pasien masih ingin

menambahkan sesuatu.

Jawaban yang diungkapkan pasien dari pertanyaan yang kita barikan seperti di

atas dapat digunakan untuk membedakan jenis nyeri kepala (Bahrudin, 2013).

Menurut Hidayati (2016), anamnesis merupakan langkah pertama dalam

manajemen nyeri kepala. Peran anamnesis memegang posisi paling penting dalam

manajemen nyeri kepala, mengingat pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada

pasien dengan nyeri kepala sering ditemukan normal. Ada beberapa langkah dalam

anamnesis pasien dengan nyeri kepala. Beberapa langkah anamnesis pasien dengan

nyeri kepala ini secara sistematis tersusun dalam tabel 2.3, yang disingkat dengan “H.

SOCRATESS”. Tanpa anamnesis riwayat nyeri kepala yang cukup, intervensi

diagnostik dan pengobatan yang kita berikan pada pasien dengan nyeri kepala bisa

keliru. Ada kalanya pemeriksaan penunjang yang seharusnya tidak perlu dilakukan

dapat dilakukan, atau sebaliknya uji diagnostik atau laboratorik yang penting malah

tidak dilakukan. Sebelum melakukan anamnesis pada pasien dengan nyeri kepala,

data dasar perlu diambil terlebih dahulu.

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

20

Tabel 2.3 Langkah Anamnesis Pasien Dengan Nyeri Kepala (“H. SOCRATESS”)

H • History (riwayat)

S • Site (tempat)

O • Origin (tempat asal)

C • Character (karakter)

R • Radiation (penjalaran)

A • Associated symptoms (kumpulan gejala yang terkait)

T • Timing (waktu)

E • Exacerbating & relieving (hal yang memperparah dan memperingan)

S • Severity (derajat keparahan / intensitas)

S • State of health between attacks (kondisi kesehatan di antara

serangan)

(Hidayati, 2016)

Adapun penjabaran dari penelitian Hidayati (2016), tentang langkah anamnesis

pasien dengan nyeri kepala (“H. SOCRATESS”), adalah sebagai berikut:

1. History (Riwayat)

Langkah pertama dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala adalah

penggalian riwayat. Tujuan penggalian riwayat nyeri kepala adalah untuk

memberikan pandangan yang komprehensif tentang nyeri kepala pasien dan

mengetahui komorbiditas yang terkait atau masalah yang mungkin mempengaruhi

diagnosis dan perawatan. Saat menggali riwayat nyeri kepala ini dokter

berkesempatan untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasien. Hubungan yang

baik dengan pasien akan membantu proses terapeutik yang sedang berlangsung.

Riwayat penting untuk membedakan jenis nyeri kepala, apakah termasuk

nyeri kepala primer ataukah nyeri kepala sekunder. Beberapa riwayat yang perlu

digali tercantum dalam tabel 2.4.

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

21

Selain menggali riwayat penyakit sekarang, dokter harus tahu tentang riwayat

penyakit dahulu. Riwayat penyakit dahulu seperti adanya karsinoma (kanker

payudara, paru-paru, ginjal, melanoma) membuat dokter harus mempertimbangkan

diagnosis tumor metastasis. Trauma kepala dapat menyebabkan nyeri kepala pasca-

trauma, hematoma subdural, atau diseksi arteri ekstrakranial. Berbagai macam

gangguan terkait dengan gigi, sinus, telinga, atau hidung dapat muncul sebagai nyeri

kepala.

Nyeri kepala harian yang secara kronis dapat menjadi awal dari depresi.

Depresi dan epilepsi sering terjadi bersamaan dengan migrain. Komorbiditas

merupakan faktor penting dalam memilih terapi akut atau pencegahan. Komorbiditas

dengan asma mengharuskan dokter menghindari pemberian beta bloker.

Komorbiditas dengan hipertensi mewajibkan pemberian beta bloker. Terapi

pencegahan depresi bisa diberikan obat amitriptilin.

Tabel 2.4 Riwayat Yang Harus Digali Pada Pasien Dengan Nyeri Kepala.

Penyakit

a. Riwayat Penyakit Sekarang

b. Riwayat Penyakit Dahulu

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Pengobatan

a. Dosis

b. Efektif atau tidaknya obat

c. Efek samping pengobatan

Sosial

a. Keluarga

b. Pekerjaan

c. Pendidikan

d. Kebiasaan atau hobi

e. Psikologis

(Hidayati, 2016)

Riwayat pengobatan pasien juga perlu diketahui. Nitrat, antihistamin,

kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon dapat menyebabkan nyeri kepala. Selain itu

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

22

obat-obatan bebas yang dikonsumsi jangka lama dapat menyebabkan terjadinya MOH

(Medication Overuse Headache).

Dalam menghadapi kasus nyeri kepala dokter perlu tahu latar belakang sosial

dan psikologis mereka. Riwayat sosial yang perlu digali ini meliputi riwayat

keluarga, pekerjaan, pendidikan dan kebiasaan atau hobi. Stressor di rumah, di

sekolah, dan di tempat kerja harus dipahami, meskipun dokter tidak harus mengaitkan

gangguan nyeri kepala primer sematamata pada stres. Alkohol, tembakau, dan obat

yang dijual bebas dapat berkontribusi pada patogenesis nyeri kepala.

Banyak penderita migren melaporkan anggota keluarga besarnya ada yang

menderita migren. Migren memiliki komponen genetik. Genetik juga berperan pada

TTH, baik TTH frekuen maupun TTH kronik. Penyebab nyeri kepala sekunder

seperti aneurisma serebral mungkin juga didapatkan riwayat keturunan dalam

keluarga.

Dari penggalian riwayat ini dokter akan memiliki gambaran umum tentang

tingkat disabilitas yang diakibatkan oleh nyeri kepala pasien. Dokter akan mengetahui

bagaimana dampak nyeri kepala pada kehidupan keluarga, sekolah atau pekerjaan,

dan kehidupan sosial. Untuk menghemat waktu dokter, pasien seyogyanya diminta

terlebih dahulu menuliskan semua riwayat tersebut secara rinci sebelum pertemuan

awal dengan dokter.

2. Site (Tempat)

Lokasi dan sisi nyeri kepala dapat mengarahkan dokter pada diagnosis

tertentu. Sisi nyeri kepala pada migren atau sakit kepala klaster dan sefalgia

trigeminal-otonomik yang lain adalah pada satu sisi kepala (unilateral), sedangkan

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

23

pada TTH sisi nyerinya bilateral atau di seluruh kepala (holocephalic). Nyeri pada

migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang terkena biasanya di

daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga melibatkan daerah kepala

lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga muncul di daerah

occipitonuchal dan frontotemporal.

Nyeri kepala dengan serangan berulang dan "terkunci pada satu sisi" mungkin

juga merupakan gejala akibat penyakit organik yang mendasari.

3. Origin (Tempat asal)

Nyeri pada migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang

terkena biasanya di daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga

melibatkan daerah kepala lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga

muncul di daerah occipitonuchal dan frontotemporal. Rasa nyeri pada nyeri kepala

tipe tegang (TTH) berasal dari dahi.

4. Charakter (Karakter)

Karakteristik nyeri kepala pada migren adalah berdenyut dan pada TTH

adalah rasa menekan atau mengikat. Pada klaster nyeri yang dirasakan adalah

membosankan, rasa seperti dibor, atau nyeri yang sangat hebat atau pedih.

Migren ada yang disertai aura dan ada yang tidak. Aura biasanya mendahului

nyeri kepala migren. Kadang-kadang aura terjadi bersamaan dengan nyeri kepala

migren. Durasi aura berkisar antara beberapa menit menit sampai satu jam. Aura pada

migren yang paling umum terjadi adalah aura visual dan sensorik. Aura motorik dan

gangguan berbahasa jarang terjadi. Aura visual dan sensorik terdiri dari gejala positif

atau negatif. Gejala visual positif berupa pola terang atau kompleks, seperti skotoma

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

24

zig-zag yang gemilang, atau berupa bintikbintik dan seperti cahaya senter. Gejala

visual negatif berupa gangguan lapang pandang, skotoma kosong, atau kabur. Aura

sensorik dapat berupa hipersensitivitas atau parestesia.

Serangan neuralgia trigeminal berupa serangan paroksismal sesaat seperti

nyeri kesetrum. Nyeri seperti terbakar atau berdenyut pada mata atau nyeri periorbital

juga dapat menunjukkan adanya iskemia di daerah vertebrobasilar, perluasan

aneurisma pada dasar tengkorak, diseksi pembuluh darah ekstrakranial atau

intrakranial, oklusi sinus dural, atau inflamasi pada sinus kavernosus. Penyebab

nonvaskular termasuk sakit kepala klaster, short-lasting unilateral neuralgiform

headache with conjunctival injection and tearing (SUNCT), gangguan mata, dan

inflammatory meningeal syndromes.

Penyebab vaskular pada kasus nyeri kepala seperti perdarahan subarachnoid

aneurismal, apopleksi pituitari, dan reversible cerebral vasoconstriction syndrome

biasanya muncul dengan gambaran nyeri kepala seperti tersambar petir

(thunderclapheadache).

5. Radiation (Penjalaran)

Nyeri pada TTH menjalar dari dahi menuju kepala belakang atau menuju ke

temporomandibular joint. Nyeri kepala infratentorial, occipitonuchal, dan tulang

belakang servikal dapat memberikan nyeri rujuk (menjalar) pada dahi atau mata. Hal

ini terjadi karena adanya konvergensi aferen nosiseptif servikal pada servikal ke dua

dan ke tiga dengan aferen trigeminal dalam nukleus trigeminal kaudal dari batang

otak. Nyeri rujuk lain terjadi pada saat darah atau nanah menuju ruang subarachnoid.

Darah atau nanah dalam ruang subarachnoid akan menimbulkan nyeri kepala akut.

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

25

Nyeri kepala akut ini dapat bergerak ke bawah menyusuri kolumna spinalis menuju

daerah interskapula atau punggung bawah.

6. Associated symptoms (Kumpulan gejala yang terkait)

Mual, muntah umum terjadi pada nyeri kepala migren. Adanya mual dan

muntah ini membantu konfirmasi diagnosis migren, namun bukan merupakan gejala

yang patognomonik untuk migren. Muntah merupakan gejala yang patognomonik

pada pada peningkatan tekanan intrakranial. Muntah ini juga bisa menyertai

gangguan pada daerah postrema dari medula atau pada infeksi sistemik. Fotofobia,

fonofobia dan osmofobia atau olfaktofobia sering menyertai migren, meskipun

gejala-gejala ini juga mungkin terjadi pada meningitis.

Pasien dengan migren sering dapat memprediksi akan datangnya serangan

nyeri kepala karena adanya gejala pertanda yang terjadi beberapa jam atau hari

sebelum nyeri kepala. Gejala pertanda ini meliputi perubahan suasana hati, nafsu

makan, konsentrasi, dan pola tidur.

Gejala visual sesaat mendukung diagnosis migren. Namun, gangguan visual

sesaat yang disertai dengan gangguan ketajaman visual progresif (dengan atau tanpa

gangguan lapang pandang atau papil edema) dapat terjadi pada pasien dengan

peningkatan tekanan intrakranial. Amaurosis terjadi pada pasien dengan neuropati

optik iskemik anterior sekunder akibat vaskulitis (misalnya: giant cell arteritis) atau

emboli retina dari aterosklerosis atau diseksi arteri karotis.

Diplopia pada nyeri kepala dapat merupakan manifestasi dari migren tipe

basilar atau massa parasellar atau aneurisma arteri komunikans posterior. Gangguan

lapang pandang dapat disebabkan oleh adenoma hipofisis atau hipertensi intrakranial

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

26

idiopatik. Gejala dari infeksi saluran pernapasan atas atau sakit gigi mungkin

menunjukkan sinusitis akut sebagai penyebab sakit kepala.

Parestesia yang berasal dari tangan ke wajah biasa terjadi pada migren. Selain

migren parestesia dari tangan ke wajah juga dapat merupakan manifestasi dari kejang

parsial sensorik atau transient ischemic attack.

7. Timing (Waktu)

Nyeri kepala primer dengan durasi singkat: detik sampai menit mengarah pada

sefalgia trigeminalotonomik lain. Nyeri kepala primer dengan durasi hitungan jam

sampai hari mengarah pada nyeri kepala migren dan tension-type headaches, pada

migren yaitu selama 4-72 jam dan pada TTH selama setengah jam sampai 7 hari.

Migren dan tension-type headaches bisa berlangsung selama berhari-hari atau

mungkin berevolusi menjadi bentuk yang kronis (misalnya: lebih dari 15 hari per

bulan) atau berlangsung terus menerus. Frekuensi sakit kepala dalam sebuah episode

bisa berkali-kali per hari seperti pada sefalgia trigeminal-otonomik lain, berkali-kali

selama seminggu seperti pada nyeri kepala klaster, atau beberapa kali per minggu

atau bulan seperti pada serangan migrain atau tension type headache. Waktu nyeri

kepala pada klaster berada dalam dalam siklus diurnal, bulanan, atau tahunan.

8. Exacerbating and relieving (Hal yang memperparah dan memperingan)

a. Exacerbating (Hal yang memperparah)

Nyeri kepala pada migren bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin

(seperti berjalan atau naik tangga) sedangkan TTH tidak diperberat dengan aktivitas

fisik yang rutin.

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

27

Nyeri kepala migren berhubungan dengan menstruasi, ovulasi, stres,

hormonal, kelelahan, kurang tidur, depresi, atau lapar. Demikian pula faktor

lingkungan seperti asap, cahaya silau atau cahaya berkelap-kelip, parfum atau bau

kimia juga dapat mencetuskan migren.

Anggur merah merupakan penyebab klasik migrain. Alkohol adalah pemicu

nyeri kepala klaster. Perubahan dalam kebiasaan tidur berhubungan dengan

eksaserbasi nyeri kepala baik pada klaster maupun migren. Sleep apnea dapat

menyebabkan nyeri kepala pagi hari. Postur tegak memperburuk nyeri kepala akibat

hipotensi intrakranial, yang dapat terjadi secara spontan atau iatrogenik. Posisi

telentang, atau perubahan posisi, mungkin memperburuk nyeri kepala hipertensi

intrakranial. Nyeri kepala karena peningkatan tekanan intrakranial, kista koloid

ventrikel ke tiga, dan malformasi Arnold-Chiari khas diperburuk oleh batuk atau

manuver valsava. Batuk atau manuver valsava dapat memicu nyeri kepala primer

migren. Nyeri kepala terkait dengan aktivitas seksual harus dicurigai sebagai red

flags aneurisma intrakranial, meskipun bisa jadi hanya merupakan nyeri kepala

benigna berulang.

b. Relieving (Hal yang memperingan)

Biasanya penderita migren berkurang rasa nyeri kepalanya saat dipakai tidur

atau beristirahat di sebuah ruangan gelap dan tenang. Pasien dengan nyeri kepala

klaster dapat menggunakan berbagai teknik untuk meringankan nyeri kepala mereka,

mulai dari pengobatan rumahan seperti kompres dingin, hangat, teknik relaksasi, obat

herbal, obat resep, dll.

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

28

9. Severity (Derajat keparahan atau intensitas)

Derajat keparahan (intensitas) nyeri dapat digunakan untuk membedakan jenis

nyeri kepala primer. Dokter dapat meminta pasien untuk menggambarkan intensitas

nyeri kepala yang dirasakan pasien. Pasien diminta menunjuk skala dia antara skala 1

sampai 10. Skala 1 mewakili rasa nyeri yang hampir tidak terasa nyeri, dan 10

sebagai nyeri yang paling hebat.

Intensitas nyeri kepala pada migren adalah sedang sampai berat, pada nyeri

kepala tipe tegang (TTH) adalah ringan sampai sedang, sedangkan pada klaster

adalah berat sampai sangat berat (tidak tertahankan).

10. State of health between attacks (Kondisi kesehatan diantara serangan)

Pada nyeri kepala migren kondisi kesehatan diantara serangan adalah bebas

nyeri (free of pain). Pada klaster kondisi kesehatan di antara serangan juga bebas

nyeri (free of pain). Klaster bisa mengalami remisi spontan. Pada nyeri kepala tipe

tegang kondisi kesehatan di antara serangan pasien TTH hanya merasakan penurunan

nyeri kepala, namun tidak bebas sam sekali dari rasa nyeri kepala yang ada.

B. Pemeriksaan obyektif

Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan obyektif mencakup pemeriksaan

kesadaran (GCS), pemeriksaan nervus kranialis, dan pemeriksaan neurologis lainnya.

Pemeriksaan ini terutama ditujukan ke arah dugaan tentang tipe nyeri kepala sesuai

dengan anamnesis. Adanya defisit neurologi merujuk kepada nyeri kepala sekunder.

Menurut Hidayati (2016), sebagian besar pasien dengan nyeri kepala pada

pemeriksaan fisiknya ditemukan normal. Hanya sebagian kecil saja yang tidak

normal. Apabila ditemukan ketidaknormalan pada pemeriksaan fisik pasien dengan

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

29

nyeri kepala, maka hal ini merupakan tanda bahaya (red flags) (Tabel 2.5). Adanya

tanda bahaya (red flags) mewajibkan dokter melakukan tindakan lebih lanjut.

Apabila dokter umum menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan

selanjutnya adalah segera merujuk pasien ke neurolog. Apabila dokter neurolog yang

menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan selanjutnya adalah segera

melakukan pemeriksaan penunjang dan memberi terapi sesuai dengan diagnosis yang

telah ditetapkan (Hidayati, 2016).

Menurut Hidayati (2016), perubahan kulit dapat dikaitkan dengan berbagai

etiologi nyeri kepala. Bintik café-au-lait merupakan tanda neurofibromatosis.

Neurofibromatosis ini terkait dengan meningioma intrakranial dan schwannoma.

Kulit kering, alopesia (kebotakan), dan pembengkakan terlihat pada hipotiroidisme.

Lesi melanotik ganas mungkin berhubungan dengan penyakit metastasis ke otak.

Menurut Hidayati (2016), auskultasi bising di daerah karotis dan arteri

vertebral dan orbit dapat memperingatkan klinisi akan potensi stenosis arteri atau

diseksi, atau malformasi arteriovenous.

Pemeriksaan saraf kranial dapat menjadi petunjuk etiologi nyeri kepala.

Gangguan penciuman tersering disebabkan oleh trauma kepala. Gangguan penciuman

menunjukkan adanya gangguan pada alur penciuman (olfactory groove), misalnya

tumor frontotemporal. Pada pemeriksaan funduskopi, adanya perdarahan atau

papilledema mengharuskan dilakukannya imejing yang cepat untuk menyingkirkan

kemungkinan lesi desak ruang. Pemeriksaan lapang pandang yang menunjukkan

defek lapang pandang bitemporal ditemukan pada tumor hipofisis (Hidayati, 2016).

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

30

Selama serangan nyeri kepala klaster, dokter dapat menemukan adanya

lakrimasi ipsilateral, rhinorrhea, ptosis, miosis, dan wajah berkeringat pada pasien.

Kelainan gerakan mata bisa disebabkan oleh gangguan saraf okulomotor akibat

peningkatan tekanan intrakranial. Saraf kranial lainnya dapat dipengaruhi oleh

berbagai penyebab. Jika keterlibatan bersifat tidak menyeluruh, asimetris, dan

progresif, maka penyebab infiltratif seperti neoplasma, meningitis TB, dan

sarkoidosis harus dipertimbangkan (Hidayati, 2016).

Tabel 2.5 Red Flags (Tanda Bahaya) Untuk Nyeri Kepala: “SNOOP”

S • Systemic symptoms (simptom sistemik)

S • Secondary headache risk factors (faktor resiko nyeri kepala

sekunder)

S • Seizure (Kejang)

N • Neurologic symptoms or abnormal signs (symptom neurologi / tanda

abnormal)

O • Onset (onset)

O • Older (usia tua)

P • Progression of headache (nyeri kepala progresif)

P • Positional change (perubahan posisi)

P • Papilledema (papil edema)

P • Precipitated factors (faktor pencetus) (Hidayati, 2016)

Red flags adalah tanda bahaya atau kondisi yang harus diwaspadai. Beberapa

hal yang terkategori sebagai red flags pada kasus nyeri kepala terangkum dalam tabel

2.5 (Hidayati, 2016).

C. Pemeriksaan dengan alat

Pemeriksaan dengan alat sangat tergantung pada hasil pemeriksaan klinis dan

ada atau tidaknya defisit neurologis. Pemeriksaan tambahan tidak selalu diperlukan.

Pada kebanyakan kasus diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja.

Beberapa alat yang bisa digunakan antara lain:

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

31

1. Elektroensefalografi (EEG)

Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui lokasi

dari proses, bukan untuk mengetahui etiologisnya. Pemeriksaan dapat dilakukan

dengan serial, dan biaya masih dapat dijangkau oleh sebagaian besar masyarakat.

Indikasi untuk EEG:

a. Bila terdapat gangguan lapangan penglihatan.

b. Bila terdapat gangguan fungsi saraf otak.

c. Bila pasien mengeluh black-out (epilepsi?, sinkope?).

d. Nyeri kepala yang menetap pada satu sisi disertai dengan gangguan

saraf otak ringan.

e. Perubahan dari lamanya dan sifat nyeri kepala.

f. Bila setelah diberikan pengobatan tidak ada perbaikan dari nyeri

kepala.

2. CT scan

Menurut Bahrudin (2013), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui tidak

hanya letak dari proses tapi sering juga etiologi dari proses tersebut. Sayangnya,

biaya pemeriksaan masih mahal.

Menurut Bahrudin (2013), indikasi terdapat kejang fokus:

a. Bila terdapat kejang fokal.

b. Bila terdapat defisit neurologis yang persisten.

c. Nyeri kepala pada satu sisi yang tidak berubah disertai dengan

kelainan neurologis kontralateral dengan adanya suatu bruit.

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

32

d. Perubahan dari pola nyeri kepala baik mengenai frekuensi, sifat, dan

lamanya.

e. Penurunan kesadaran yang lebih lama dari satu jam disertai gangguan

saraf otak.

D. Pemeriksaan Laboratorium

Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini dikerjakan hanya bila ada indikasi:

a. Darah, bila diduga adanya infeksi atau gangguan penyakit dalam

(anemia, gangguan metabolik).

b. Cairan serebro spinal (CSS) bila pada pemeriksaan klinis dicurigai

adanya meningitis.

Secara ringkas dapat disimpulkan bila pasien mengeluh nyeri kepala pastikan

ada tanda meningeal atau tidak bila ada tanda meningeal lakukan pemeriksaan CT

scan (Gambar 2.1) (Bahrudin, 2013).

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

33

(Bahrudin, 2013) Gambar 2.1 Tahapan Pemeriksaan Pasien Dengan Nyeri Kepala

2.2.3 Pengobatan

Menurut Bahrudin (2013), sebelum memberikan terapi pada pasien nyeri

kepala, diagnosis harus ditegakkan lebih dahulu. Pemberian obat-obat simtomatis

kadang-kadang diperlukan untuk meringankan keluhan pasien. Jika nyeri kepala

tersebut merupakan gejala yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya,

maka pengobatan harus diberikan sesuai dengan etiologinya (CEMENTED COAT).

Menurut dari penelitian Hidayati (2016), hubungan yang baik antara dokter

dan pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri kepala. Komunikasi efektif yang

disertai dengan keterampilan interpersonal merupakan bagian integral dalam

manajemen pasien dengan nyeri kepala.

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

34

2.1.8 Komplikasi

Dikarenakan nyeri kepala adalah suatu gejala penyerta dari beberapa penyakit,

maka dari itu tidak ditemukan atau masih belum ditemukan sumber yang

mencantumkan suatu komplikasi dari nyeri kepala.

2.2 Penatalaksanaan Masalah Kesehatan Dengan Pendekatan Dokter Keluarga

Terhadap Nyeri Kepala

Adapun menurut dari peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan

pendekatan keluarga, memutuskan dan menetapkan peraturan Menteri Kesehatan

tentang penyelengaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, pada

pasal 1 penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan Pendekatan Keluarga

bertujuan untuk pada poin pertama dinyatakan sebagai berikut, yakni tujuan

meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya terhadap pelayanan kesehatan yang

komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif serta pelayanan kuratif dan

rehabilitatif dasar.

2.2.1 Karakteristik Dokter Keluarga

Menurut Setyawan (2011), dikutip dari bukunya, “Dokter Keluarga:

Paradigma Baru Pendekatan Pelayanan Kesehatan”, Dokter Keluarga memiliki

karakteristik sebagai berikit:

1. Menurut Lynn P. Carmichael (1993) Dokter Keluarga Berkarakter:

a. Memiliki kemampuan untuk mencegah penyakit dan

memelihara kesehatan pasien.

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

35

b. Menempatkan pasien sebagai bagian dari keluarga dan

masyarakat.

c. Memberikan pelayanan menyeluruh, dengan

mempertimbangkan pasien dan keluarganya.

d. Andal mendiagnosis, tanggap epidemiologi dan terampil

menangani penyakit.

e. Tanggap saling-aruh faktor biologik-emosi-sosial, dan

mewaspadai kemiripan penyakit.

2. Menurut Debra P. Hymovic dan Martha Underwood Barnards (1973)

Dokter Keluarga Memiliki Karakter:

a. Memberikan pelayanan responsif dan bertanggung jawab.

b. Melakukan pelayanan primer dan lanjut.

c. Melakukan diagnosis dini sehingga mencapai taraf kesehatan

tinggi.

d. Memandang pasien dan keluarga.

e. Melayani secara maksimal.

3. IDI (1982) Karakter Dokter Keluarga Adalah:

a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan

masyarakat.

b. Memberikan pelayanan menyeluruh dan maksimal.

c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan.

d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya.

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

36

e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab

atas kelanjutannya.

2.2.2 Kompetensi Dokter Keluarga

Menurut Setyawan (2011), didalam bukunya dikatakan bahwa kompetensi

Dokter Keluarga pada dasarnya sesuai dengan kompetensi umum dokter yang

tercantum dalam Kompetensi Inti Pendidikan Dokter Indonesia III (KIPDI III).

Dimana dalam KIPDI III seorang dokter harus menguasai 7 (tujuh) area kompetensi

dasar yang tercapai dengan berbagai macam kegiatan. Area kompetensi dasar tersebut

adalah:

1. Komunikasi Efektif

a. Berkomunikasi dengan pasien serta anggota keluarganya.

b. Berkomunikasi dengan sejawat.

c. Berkomunikasi dengan masyarakat.

d. Berkomunikasi dengan profesi lain.

2. Keterampilan Klinis

Memperoleh dan mencatat informasi yang akurat serta penting tentang

pasien dan keluarganya.

3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran

Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik,

perilaku dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan

tingkat primer.

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

37

4. Pengelolaan Masalah Kesehatan

a. Mengelola penyakit, keadaan sakit dan masalah pasien sebagai

individu yang utuh, bagian dari keluarga dan masyarakat.

b. Melakukan pencegahan penyakit dan keadaan sakit.

c. Melaksanakan pendidikan kesehatan dalam rangka promosi

kesehatan dan pencegahan penyakit.

d. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk

meningkatkan derajat kesehatan.

e. Mengelola sumber daya manusia serta sarana dan prasarana

secara efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan primer

dengan pendekatan kedokteran keluarga.

5. Pengelolaan Informasi

a. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk

membantu penegakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan

pencegahan dan promosi kesehatan, serta penjagaan dan

pemantauan status kesehatan pasien.

b. Memahami manfaat dan keterbatasan teknologi informasi.

c. Memanfaatkan informasi kesehatan.

6. Mawas Diri dan Pengembangan diri

a. Menerapkan mawas diri.

b. Mempratekkan belajar sepanjang hayat.

c. Mengembangkan pengetahuan baru.

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

38

7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan

Pasien

a. Memiliki sikap profesional.

b. Berperilaku profesional dalam bekerja sama.

c. Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang profesional.

d. Melakukan praktek kedokteran dalam masyarakat multikultural

di Indonesia.

e. Memenuhi aspek medikolegal dalam praktek kedokteran.

f. Menerapkan keselamatan pasien dalam praktek kedokteran.

Selain kompetensi dasar di atas, menurut Setyawan (2013) yang dikutib dari

bukunya, seorang Dokter Keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih

daripada seorang lulusan Fakultas Kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus

inilah yang perlu dilatihkan melalui program pelatihan. Yang dicantumkan di sini

hanyalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis

besar. Adapun kompetensi tersebut sebagai berikut:

1. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran

keluarga.

2. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik

dalam pelayanan kedokteran keluarga.

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

39

3. Menguasai ketrampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan

profesional dokter dengan pasien untuk:

a. Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua

anggota keluarga dengan perhatian khusus terhadap peran dan

risiko kesehatan keluarga.

b. Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk

bekerjasama menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan

kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta

pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga.

c. Dapat bekerjasama secara profesioanal secara harmonis dalam

satu tim pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran atau

pelayanan kesehatan.

4. Memiliki ketrampilan manajemen pelayanan klinis dalam hal:

a. Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan

memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa

pelayanan untuk menyelesaikan masalahnya.

b. Menyelenggarakan pelayanan kedokteran keluarga yang

bermutu dengan standar yang ditetapkan.

5. Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan

spiritual.

6. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan

pelayanan kesehatan termasuk sistem pembiayaan (Asuransi

Kesehatan atau JPKM).

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

40

2.2.3 Prinsip-prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga

Kemudian menurut Setyawan (2011), sehingga pada akhirnya dapat

disimpulkan bahwa Dokter Keluarga dalam prakteknya menerapkan menggunakan

prinsip-prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga, yaitu:

1. Memberikan layanan komprehensif dengan pendekatan holistik.

2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang kontinyu mulai dari

konsepsi sampai mati.

3. Mengutamakan pencegahan (empat tingkat pencegahan).

4. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang koordinatif dan

kolaboratif.

5. Memberikan pelayanan kesehatan individual sebagai bagian integral

dari keluarganya.

6. Mempertimbangkan keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungan

tempat pasien berada.

7. Sadar etika, moral dan hukum.

8. Memberikan pelayanan kesehatan yang sadar biaya dan sadar mutu.

9. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diaudit dan

dipertanggung jawabkan.

Menurut Setyawan (2011), adapun penjabaran prinsip-prinsip di atas adalah

sebagai berikut:

1. Pelayanan Kesehatan yang Komprehensif dengan Pendekatan Holistik.

a. Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Page 38: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

41

b. Memandang pasien sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya

bagian tubuhnya yang sakit.

2. Pelayanan Kesehatan yang Kontinyu.

a. Mempunyai rekam medis yang diisi dengan cermat.

b. Dianjurkan untuk berpraktek di tempat yang sama, dokter dan

kliniknya sebaiknya jangan berpindah-pindah.

c. Menjalin kerjasama dengan profesional dan institusi pelayanan

kesehatan lainnya untuk kepentingan pasien agar proses

konsultasi dan rujukan berjalan lancar.

3. Pelayanan Kesehatan yang Mengutamakan Pencegahan.

a. Melayani KIA, KB, vaksinasi.

b. Mendiagnosis dan mengobati penyakit sedini mungkin.

c. Mengkonsultasikan atau merujuk pasien pada waktunya.

d. Mencegah kecacatan.

4. Pelayanan Kesehatan yang Koordinatif dan Kolaboratif

a. Kerjasama profesional dengan semua pengandil agar dicapai

pelayanan kesehatan yang bermutu dan mencapai kesembuhan

optimal.

b. Memanfaatkan potensi pasien dan keluarganya seoptimal

mungkin untuk penyembuhan. Sebagai contoh: melatih anggota

keluarga untuk mengukur dan memantau suhu tubuh pasien

atau bahkan tekanan darah dan kadar gula darahnya. Hasil itu

Page 39: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

42

selanjutnya dilaporkan secara berkala kepada dokter yang

bersangkutan.

5. Penanganan Individual bagi Setiap Pasien sebagai Bagian Integral dari

Keluarganya.

a. Titik awal (entry point) pelayanan Dokter Keluarga adalah

individu seorang pasien.

b. Unit terkecil yang dilayaninya adalah individu pasien itu

sendiri sebagai bagian integral dari keluarganya.

c. Seluruh anggota keluarga dapat menjadi pasien seorang Dokter

Keluarga akan tetapi tetap dimungkinkan sebuah keluarga

mempunyai lebih dari satu dokter keluarga.

6. Pelayanan Kesehatan yang Mempertimbangkan Keluarga, Lingkungan

Kerja, Masyarakat dan Lingkungan Tempat Tinggalnya.

a. Selalu mempertimbangkan pengaruh keluarga, komunitas,

masyarakat dan lingkungannya yang dapat mempengaruhi

penyembuhan penyakitnya.

b. Memanfaatkan keluarga, komunitas, masyarakat dan

lingkungannya untuk membantu penyembuhan penyakitnya.

7. Pelayanan yang Menjungjung Tinggi Etika dan Hukum.

a. Mempertimbangkan etika dalam setiap tindak medis yang

dilakukan pada pasien.

b. Meminta ijin pada pasien untuk memberitakan penyakitnya

kepada keluarganya atau pihak lain.

Page 40: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

43

c. Menyadari bahwa setiap kelalaian dalam tindakannya dapat

menjadi masalah hukum.

8. Pelayanan Kesehatan yang Sadar Biaya dan Sadar Mutu.

a. Mempertimbangkan segi “cost-effectiveness” dalam merancang

tindakan medis untuk pasiennya.

b. Mampu mengelola dan mengembangkan secara efisien dengan

neraca positif sebuah klinik Dokter Keluarga dengan tetap

menjaga mutu pelayanan kesehatan.

c. Mampu bernegosiasi dengan pelayanan kesehatan yang lain

(Rumah Sakit, Apotik, Optik dan lain-lain) secara berimbang

sehingga tercapai kerjasama yang menguntungkan semua pihak

khususnya pasien.

d. Mampu bernegosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan

secara serasi dan selaras sehingga tercapai kerjasama yang

menguntungkan semua pihak khususnya pasien.

9. Pelayanan Kesehatan yang Dapat Diaudit dan Dapat

Dipertanggungjawabkan.

a. Rekam medis yang lengkap dan akurat yang dapat dibaca orang

lain yang berkepentingan.

b. Menyediakan SOP untuk setiap layanan medis.

c. Belajar sepanjang hayat dan memanfaatkan EBM (Evidence

Based Medicine) serta menggunakannya sebagai alat untuk

Page 41: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

44

merancang tindakan medis dan bukan sebagai pembuat

keputusan.

d. Menyadari keterbatasan kemampuan dan kewenangan.

e. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah rutin membahas berbagai

kasus sambil mengaudit penatalaksanaannya.

Pada gambar 2.2 dibandingkan prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga

yang diambil dari berbagai sumber yang tercantum di bawah tabel (Setyawan, 2011).

Gambar 2.2 Prinsip Pelayanan Dokter Keluarga

A B C D E

Access to care Continuity of care Continuous

care General

Comprehensive

and holistic

Continuity of

care Comprehensiveness

Cost effective

care Contextual

First contact

and continuous

care

Comprehensive

care

Coordination of

care

Comprehensive

care Prevention

Preventive and

promotive care

Coordination

of care Prevention Accessibility Community

Coordinative

and

collaborative

care

Contextual

care

Family

consideration

Coordinator of

care Collaborative Personal care

Community

consideration Togetherness

Family and

community

consideration

Family Ethics and law

consideration

Self reflective

Cost

containment

consideration

Managerial

Can be audited

and

accountable

care

(Setyawan, 2011)

Sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia yang tertuang

dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004 yang disempurnakan dengan

Page 42: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

45

rancangan SKN 2009 yang mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam

rangka pemenuhan hak asasi manusia, melaksanakan pemerataan upaya kesehatan

yang terjangkau dan bermutu, maka perlu dibentuk suatu model pelayanan kesehatan

yang dapat mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan berdasarkan SKN

(Setyawan, 2013).

Pelayanan kesehatan dokter keluarga merupakan salah satu sitem pelayanan

kesehatan dengan pendekatan pelayanan yang mencoba memenuhi hak asasi dan

mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan dokter

keluarga juga memperdayakan masyarakat yang dalam hal ini mulai dari keluarga

sampai dengan masyarakat disekitarnya dengan menumbuhkan paradigma sehat

(Setyawan, 2013).

Menurut Roebijoso (2003), dari buku Setyawan (2013), Konsep pendekatan

pelayanan dokter keluarga dapat dijabarkan dalam gambar 2.3 berikut ini:

Page 43: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

46

(Rubijoso, 2003)

Gambar 2.3 Konsep Pendekatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Setyawan (2013), untuk mencapai mutu pelayanan medik yang baik,

perlu disusun standar agar dokter keluarga dapat melaksanakan pelayanannya dengan

baik. Standar pelayanan tersebut telah tersusun dalam suatu Buku Standar Pelayanan

Dokter Keluarga.

Page 44: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

47

Di dalam UU RI No. 36 Th. 2009 tentang kesehatan, menyatakan bahwa

upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan

secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakata dalam bentuk pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh

pemerintah dan atau masyarakat.

Kemudian menurut Setyawan (2011), yang dikutib dari bukunya, terdapat

bahwa sesuai standar pelayanan paripurna, di dalam pelayanan yang disediakan

dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama untuk semua orang yang

bersifat paripurna (comprehensive), yaitu termasuk pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus (preventive &

spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan kecacatan

(disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan

memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan medicolegal etika kedokteran.

Pelayanan ini meliputi: (1) pelayanan medis strata pertama untuk semua orang, (2)

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, (3) pencegahan penyakit dan proteksi

khusus, (4) deteksi dini, (5) kuratif medik, (6) rehabilitasi medik dan sosial, (7)

kemampuan sosial keluarga, dan (8) etik medikolegal.

Adapun penjabaran pelayanan-pelayanan kesehatan menurut UU RI No. 36

Th. 2009 tentang kesehatan, adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan atau

serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan

kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

Page 45: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

48

2. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan

terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit.

3. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan atau

serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan

penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian

penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat

terjaga seoptimal mungkin.

4. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan atau serangkaian

kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat

sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang

berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai

dengan kemampuannya.

Adapun menurut Setyawan (2013), di dalam salah satu dari bagian Standar

Pelayanan Dokter Keluarga, yaitu, di dalam poin Standar Pelayanan Medis, yang

tertulis di dalam bukunya, pelayanan yang disediakan dokter keluarga merupakan

pelayanan medis yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara lage artis.

Pelayanan ini meliputi tindakan berupa: (1) Anamnesis; (2) Pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang; (3) Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding; (4)

Prognosis; (5) Konseling; (6) Konsultasi; (7) Rujukan; (8) Tindak lanjut; (9)

Tindakan; (10) Pengobatan rasional; dan (11) Pembinaan keluarga.

Kemudian untuk gejala nyeri kepala itu sendiri, menurut Hidayati (2016),

hubungan yang baik antara dokter dan pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri

kepala. Komunikasi efektif yang disertai dengan keterampilan interpersonal

Page 46: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/39736/3/BAB II.pdf · 2018-11-09 · tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran

49

merupakan bagian integral dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala. Ada

beberapa langkah dalam manajemen pasien. Pertama, tentu saja, adalah anamnesis

dan pemeriksaan. Dokter harus dapat membedakan nyeri kepala primer dan nyeri

kepala sekunder.