22
6 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pediatrik 2.1.1 Definisi Menurut Americant Academy of pediatrics (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara anatomi, fisiologis, imunologi, psikologi, perkembangan dan metabolisme ( AAP, 2012). Masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Penggunaan untuk pediatrik merupakan hal khusus yang berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh, maupun enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Sesuai dengan alasan tersebut maka dosis obat, formulasi, hasil pengobatan dan efek samping obat yang timbul sangat beragam sepanjang anak-anak. Oleh karena itu, anggapan bahwa pediatrik sama dengan orang dewasa dalam ukuran kecil tidaklah tepat (Departemen Kesehatan, 2009). 2.1.2 Klasifikasi Populasi Pediatrik Secara internasional populasi pediatrik dikelompokan menjadi: a. Preterm newborn Infants ( bayi premature yang baru lahir). b. Term newborn infants ( bayi yang baru lahir umur 0-28 hari).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pediatrik - UMBJM

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

6

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pediatrik

2.1.1 Definisi

Menurut Americant Academy of pediatrics (AAP), pediatrik adalah

spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan

sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga

merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis,

sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak.

Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara anatomi, fisiologis,

imunologi, psikologi, perkembangan dan metabolisme ( AAP, 2012).

Masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan

perkembangan yang cepat. Penggunaan untuk pediatrik merupakan hal

khusus yang berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ,

sistem dalam tubuh, maupun enzim yang bertanggung jawab terhadap

metabolisme dan ekskresi obat. Sesuai dengan alasan tersebut maka

dosis obat, formulasi, hasil pengobatan dan efek samping obat yang

timbul sangat beragam sepanjang anak-anak. Oleh karena itu, anggapan

bahwa pediatrik sama dengan orang dewasa dalam ukuran kecil

tidaklah tepat (Departemen Kesehatan, 2009).

2.1.2 Klasifikasi Populasi Pediatrik

Secara internasional populasi pediatrik dikelompokan menjadi:

a. Preterm newborn Infants ( bayi premature yang baru lahir).

b. Term newborn infants ( bayi yang baru lahir umur 0-28 hari).

7

c. In fants ans toddlers ( bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan

umur >28 hari sampai 23 bul an).

d. Children (anak-anak umur 2 -11 tahun).

e. Adolescents (anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun).

2.1.3 Fisiologi dan Kinetik Pada Pediatrik

Pada pediatrik, secara fisiologi beberapa organ penting belum matang

seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu akan mempengaruhi proses

farmakokinetik-farmakodinamik obat, dan perubahan akan terjadi sejalan

dengan pendewasaan, sehingga mempengaruhi efikasi atau toksisitas

obat (Departemen Kesehatan, 2009).

2.1.3.1Farmakokinetik-Farmakodinamik Pada Pediatrik (Departemen

Kesehatan, 2009)

Kinetik obat dalam tubuh anak-anak berbeda dengan dewasa

sesuai dengan bertambahnya usianya. Beberapa perubahan

farmakokinetik terja di selama periode perkembangan dan masa

anak-anak sampa imasa dewasa yang menjadi pertimbangan

dalam penetapan d osis untuk pediatrik.

a. Absorpsi

Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak

sebanding dengan pasien dewasa. Pada bayi dan anak

sekresi asam lambung belum sebanyak pada dewasa,

sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis. Hal tersebut

akan menurunkan absorpsi obat-obat yang bersifat asam

lemah seperti fenobarbital dan fenitoin, sebaliknya akan

meningkatkan absorbsi obat-obat bersifat basa lemah

seperti penisilin dan eritromisin. Waktu pengosongan

dan pH lambung akan mencapai tahap normal pada usia

sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung pada

bayi baru lahir yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa 3-4 jam.

8

Oleh karena itu harus diperhatikan pada pemberian obat

yang di absorbsi di lambung.

Peristaltik pada neonatus tidak beraturan dan mungkin

lembih lambat karena itu absorbsi obat di usus halus sulit

di prediksi. Absorpsi perkutan meningkat pada bayi dan

anak-anak terutama pada bayi premature karena kulitnya

lebih tipis, lebih lembab, dan lebih besar dalam rasio luas

permukaan tubuh per kilogram berat badan. Sebagai

contoh terjadinya peningkatan absorpsi obat melalui

kulit, terjadi pada penggunaan steroid, asam borat,

heksaklorofen, iodium, asam salisilat dan alkohol.

Absorpsi obat pada pemberian secara intramuskular

bervariasi dan sulit diperkirakan. Perbedaan masa otot,

ketidakstabilan vasomotor perifer, kontraksi otot dan

perfusi darah yang relatif lebih kecil dari dewasa,

kecuali presentasi air dalam otot bayi lebih besar

dibandingkan dewasa. Efek total dari faktor-faktor ini

sulit diperkirakan, misalnya diazepam memerlukan

waktu lebih lama. Oleh karena itu, pemberian secara

intramuskular jarang dilakukan pada neonatus kecuali

pada keadaan darurat atau tidak dimungkinkannya

pemberian secara intervena.

Pemberian secara rektal umumnya berguna untuk bayi

dan anak yang tidak memungkinkan menggunakan

sediaan oral seperti pada kondisi muntah, kejang. Namun

demikian, seperti halnya pada pasien dewasa, ada

kemungkinan terjadinya variasi individu pada suplai

darah ke rektum yang menyebabkan variasi dalam

9

kecepatan dan derajat absorpsi pada pemberian secara

rektal.

b. Distribusi

Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang

dewasa, karena adanya perbedaan volume cairan

ektraselluler, total air tubuh, komposisi jaringan lemak,

dan ikatan protein. Volume cairan ekstraseluler relatif

lebih tinggi dibandingkan orang dewasa, volume ini akan

terus menurun seiring bertambahnya usia; pada neonatus

50%, pada bayi berisia 4-6 bulan 35%, pada usia satu

tahun 25% sedangkan pada orang dewasa sebanyak 20-

25% dari total berat badan. Hal ini yang lebih penting

adalah total cairan dalam tubuh akan lebih tinggi pada

bayi yang dilahirkan secara premature (80-85% dari total

berat badan) dibandingkan pada bayi normal (75% dari

total berat badan) dan pada bayi usia 3 bulan 60% dan

pada orang dewasa (55% dari total berat badan).

Besarnya volume cairan ekstra sel dan total air tubuh

akan menyebabkan volume distribusi dari obat-obat yang

larut dalam air contoh fenobarbital Na, penicillin dan

aminoglikosida, akan meningkat sehingga dosis mg/kg

BB harus diturunkan.

Hal sebaliknya terjadi berupa lebih sedikitnya jaringan

lemak pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada

bayi premature 1-2% sedangkan pada bayi lahir cukup

bulan 15% sedangkan pada orang dewasa sekitar 20 %.

Sebagai konsekuensinya volume distribusi obat yang

larut lemak pada bayi dan anak lebih kecil dibandingkan

dengan orang dewasa sehingga diperlukan penurunan

10

dosis atau penyesuaian interval. Afnitas ikatan obat

dengan protein plasma pada bayi dan anak lebih rendah

dibandingkan dengan orang dewasa, hal ini ditambah

pula dengan terjadinya kompetisi untuk tempat ikatan

obat tertentu oleh senyawa endogen tertentu seperti

fenobarbital, salisilat dan fenitoin pada nonatus lebih

kecil daripada orang dewasa sehingga diperlukan dosis

yang lebih kecil atau interval yang lebih panjang.

Afnitas ikatan obat dengan protein akan sama dengan

orang dewasa pada usia 10-12 bulan. Sebagai contoh,

dosis gentamisin pada neonatus usia 0-7 hari 5mg/kg BB

setiap 48 jam, bayi usia 1-4 minggu tiap 36 jam, lebih

dari 1 bulan setiap 24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan 4

mg/kg BB setiap 24 jam.

c. Metabolisme

Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus

disebabkan oleh rendahnya aliran darah ke hati, asupan

obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi

empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi

belum sempurna, terutama pada proses oksidasi dan

glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan

asam sulfat berlangsung sempurna. Meskipun

metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase

pada anak masih belum sempurna dibadingkan pada

orang dewasa, sebagian kecil dari bagian ini

dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam

sulfat. Jalur metabolisme ini mungkin berhubungan

langsung dengan usia dan mungkin memerlukan waktu

selama beberapa bulan sampai satu tahun agar

11

berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan

klirens pada usia setelah satu tahun.

Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi

lebih besar daripada dosis dewasa agar tercapai

konsentrasi plasma terpeutik. Hal ini disebabkan bayi

belum mampu melakukan metabolisme senyawa tersebut

menjadi bentuk metabolit aktifnya.

d. Eliminasi melalui ginjal

Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus

menurun dan bersihan (clearance) obat tidak dapat

diprediksi, tergantung cara eliminasi obat tersebut di

ginjal. Pada umumunya obat dan metabolitnya

dieliminasi melalui ginjal. Kecepatan filtrasi glomerulus

pada neonatus adalah 0,6-0,8 mL/menit per 1,73 m2 dan

pada bayi adalah 2-4 mL/menit per 1,73 m2. Proses

filtrasi glomerulus, sekresi tubuler dan reabsorpsi

tubuler akan menunjukkan efesiensi ekskresi ginjal.

Proses perkembangan proses ini akan berlangsung

sekitar beberapa minggu sampai satu tahun kelahiran.

2.1.3.2 Efikasi dan Toksisitas Obat

Selain adanya perbedaan farmakokinetik antara pasien pediatri

dan pasien dewasa, faktor yang berhubungan dengan efikasi dan

toksisitas obat harus dipertimbangkan dalam perencanaan terapi

untuk pasien pediatri. Perubahan patofisiologi yang spesifik

berlangsung pada pasien pediatri yang mempunyai penyakit

tertentu. Contoh terjadinya perubahan patofisiologik dan

farmakodinamik pada pasien yang menderita asma kronik.

Manifestasi klinik asma kronik pada anak berbeda dengan

12

dewasa. Anak-anak menunjukkan tipe asma ekstrinsik yang

bersifat reversibel, sedangkan dewasa berupa asma non atopik

bronkial iritabilitas. Hal ini tampak dengan diperlukannya terapi

hiposensitisasi adjunctive pada pasien pediatri dengan asma

ekstrinsik.

Beberapa efek samping yang pasti terjadi pada neonatus telah

diketahui, dimana efek samping toksik lain dapat menjadi

perhatian untuk beberapa tahun selama masa anak-anak.

Toksisitas kloramfenikol meningkat pada neonatus karena

metabolisme yang belum sempurna dan tingginya

bioavailabilitas. Mirip dengan kloramfenikol, propilen glikol

yang ditambahkan kepada beberapa sediaan injeksi seperti

fenitoin, fenobarbital, digoksin, diazepam, vitamin D dan

hidralazin dapat menyebabkan hiperosmolalitas pada bayi.

Beberapa obat berkurang toksisitasnya pada pasien pediatri

dibanding pasien dewasa. Aminoglikosida lebih rendah

toksisitasnya pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Pada

pasien dewasa, toksisitas aminoglikosida berhubungan langsung

dengan akumulasi pada kompartemen perifer dan sensitifitas

pasien yang bersifat permanen terhadap konsentrasi

aminoglikosida di jaringan. Meskipun jaringan kompartemen

perifer neonatus untuk gentamisin telah dilaporkan mempunyai

ciri yang mendekati dengan kondisi pada pasien dewasa dengan

fungsi ginjal yang sama, gentamisin jarang bersifat nefrotoksik

untuk bayi. Perbedaan insiden nefrotoksik tersebut menunjukkan

bahwa neonatus mempunyai sensitifitas jaringan yang permanen

dan lebih rendah terhadap toksisitas dibandingkan pada pasien

dewasa.

13

Perbedaan efikasi, toksisitas dan ikatan protein obat pada pasien

pediatri dan pasien dewasa menimbulkan pertanyaan penting

tentang rentang terapeutik pada anak yang dapat diterima.

Contoh yang lain terjadinya sindrom reye, merupakan penyakit

fatal yang menyebabkan efek kerusakan pada banyak organ,

khususnya otak dan hati. Hal ini dapat terjadi berkaitan dengan

penggunaan aspirin oleh pasien pediatri yang sedang menderita

penyakit karena virus misalnya cacar air. Penyakit ini dapat

menyebabkan fatty liver dengan inflamasi minimal, dan

ensefalopati parah (dengan pembesaran otak). Hati sedikit

membengkak dan kencang, dan tampak perubahan pada ginjal.

Biasanya tidak terjadi jaundice. Diagnosis awal merupakan hal

penting, karena jika tidak dapat terjadi kerusakan otak atau

kematian. Perhatian juga perlu pada penggunaan tetrasiklin dan

fluorokinolon.

2.2 Interaksi Obat

2.2.1 Definis

Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang

lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat

yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat-obat dapat didefinisikan

sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat

berbeda ketika obat-obatan tersebut diberikan tunggal. Hasil klinis

interaksi obat-obat dapat dikatagorikan sebagai antagonis (yaitu,

1+1<2), sinergis (yaitu, 1+1>2) (Tatro, 2009).

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang

diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan

atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Efek-efeknya bisa

meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek baru

14

yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang terpikir oleh kita adalah

antara satu obat dengan obat yang lain. Tetapi interaksi bisa juga terjadi

antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan

mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infus (Syamsudin,

2013).

Interaksi obat dianggap berbahaya secara klinik bila berakibat

meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang

berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan

yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,

antikoagulan, dan obat-obatan sitostatik (Setiawan, 2011).

2.2.2 Mekanisme Interaksi Obat

Pemberian satu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat

terjadi melalui 2 mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik

(terjadi perubahan konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja

reseptor) dan interaksi farmakodinamik (terjadi modifikasi efek

farmakologis obat B tanpa mengubah konsentrasinya dalam cairan

jaringan. Selain dua mekanisme tersebut masih ada yang disebut

interaksi farmasetik yaitu obat berinterasi secara in vitro sehingga satu

atau kedua obat tidak aktif (Manik, 2012).

2.2.2.1 Interaksi Farmasetik

Menurut Litbang Kesehatan Volume XVIII No 4 Tahun 2008

Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas

farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi,

misalnya terjadiya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi

(invisible). Yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak

aktif.

15

2.2.2.2 Interaksi Farmakokinetik

Menurut Litbang Kesehatan Volume XVIII No 4 Tahun 2008

Interaksi dalam farmakokinetik yaitu absorpsi, distribusi,

metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun

menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara

farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat

diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun

masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya

perbedaan sifat fitokimia, yang menghasilkan sifat

farmakokinetik yang berbeda.

a. Mempengaruhi Absorpsi (Tatro 2009)

Kebanyakan interaksi yang dapat mengubah absorpsi obat

terjadi di saluran cerna. Terdapat banyak mekanisme dimana

suatu obat secara teori dapat mengubah absorpsi dan obat

lain. Termasuk didalamnya mengubah aliran darah

splanchnic, motilitas saluran cerna, pH saluran cerna,

kelarutan obat, metabolisme disaluran cerna, flora saluran

cerna ataupun mukosa saluran cerna. Namun sebagian besar

interaksi yang penting secara klinis melibatkan pembentukan

dari complex yang tidak dapat diabsorpsi.

b. Mempengaruhi Distribusi (Tatro, 2009)

Ikatan dengan protein: setelah diserap, obat dibawa oleh

darah kejaringan dan reseptor. Jumlah obat yang berkaitan

dengan reseptor ditentukan oleh absorpsi, metabolisme,

ekskresi dan ikatan dengan situs yang tidak aktif, serta afnitas

obat terhadap reseptor dan aktifitas intrinsik obat. Yang perlu

diperhatikan adalah obat yang terikat kuat pada albumin

plasma dan potensi perpindahan obat dari situs ikatan dengan

albumin karena adanya pemberian pemberian obat lain juga

berikatan dengan albumin. Mekanisme inilah yang banyak

16

digunakan untuk menjelaskan banyak interaksi. Perpindahan

obat dari ikatan dengan situs yang tidak aktif dapat

meningkatkan konsentrasi serum dari obat aktif tanpa adanya

perubahan yang nyata pada konsentrasi total serum. Namun

interaksi ini tidak terlalu penting secara klinis karena

cepatnya pencapaian kesetimbangan yang baru.

c. Mempengaruhi Metabolisme (Tatro, 2009)

Untuk mencapai efek sistemik, obat harus mencapai situs

reseptor, yang berarti obat tersebut harus mampu melintasi

membran plasma lipid. Oleh karena itu, obat tersebut

setidaknya harus larut di dalam lipid. Peran metabolisme

adalah mengubah senyawa aktif yang larut di dalam lipid

menjadi senyawa tidak aktif yang larut di dalam air sehingga

dapat diekskresikan secara efesien.

d. Mempengaruhi Ekskresi (Tatro, 2009)

Interaksi yang mempengaruhi ekskresi umumnya

mempengaruhi transport aktif di dalam tubulus ataupun efek

pH pada transport pasif dari asam lemah dan basa lemah.

2.2.2.3 Interaksi Farmakodinamik

Menurut Litbang Kesehatan Volume XVIII No 4 Tahun 2008

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang

bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik

yang sama sehingga terjadi efek aditif, sinergistik, atau

antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil

farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya

dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat

yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek

17

farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi

farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari

sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat.

a. Efek Aditif atau Sinergis (Baxter, 2008)

Dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama dan

diberikan pada saat yang bersamaan dapat menyebabkan efek

aditif. Efek aditif dapat muncul baik sebagai efek utama

maupun sebagai efek samping obat tersebut. Hal seperti ini

dapat digambarkan dengan istilah aditif, penjumlahan, sinergi

atau potensiasi. Kata ini memiliki definisi farmakologis yang

sering digunakan sebagai sinonim karena dalam prakteknya

sering sangat sulit untuk mengetahui sejauh mana

aktivitas/efektifitas obat menjadi lebih besar atau lebih kecil.

b. Efek antagonis (Baxter, 2008; Thanacoody, 2012)

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa obat yang

kerjanya bertentangan satu sama lain. Obat dengan aksi agonis

pada tipe reseptor tertentu dapat berinteraksi dengan obat

antagonis pada reseptor tersebut. ada banyak dari interaksi

yang terjadi pada situs reseptor, kebanyakan digunakan untuk

keuntungan dalam terapeutik. Antagonis spesifik dapat

digunakan untuk membalikkan efek dari obat lain pada situs

reseptor.

c. Sindrom Serotonin (Thanacoody, 2012)

Sindrom serotonin dengan kelebihan serotonin yang

disebabkan oleh penggunaan suatu obat, overdosis atau adanya

interaksi antar obat. Meskipun kasus yang parah jarang terjadi,

kasus ini menjadi semakin mudah dikenali pada pasien yang

menerima kombinasi obat serotonergik.

18

Sindrom serotonin dapat terjadi ketika dua atau lebih obat yang

mempengaruhi serotonin diberikan pada saat bersamaan atau

penggunaan obat serotonergik lain setelah penghentian salah

satu obat obat serotonergik. Sindrom ini ditandai dengan gejala

termasuk kebingungan, disorientasi, gerakan yang abnormal,

reflex berlebihan, demam, berkeringatan, diare, hipotensi

ataupun hipertensi. Diagnosis ditegakan jika tiga atau lebih

gejala tersebut muncul dan tidak ditemukannya penyebab lain.

d. Interaksi Obat atau uptake neurotransmitter (Baxter, 2008)

aksi sejumlah obat mencapai situs aksi pada neuron adrenergik

dapat dicegah dengan adanya obat lain. Antidepresan trisiklik

mencegah reuptake noradrenalin ke neuron adrenergik perifer.

2.2.3 Jenis Interaksi Obat

2.2.3.1 Interaksi Obat-Obat

Interaksi obat-obat dapat terjadi ketika dua obat atau lebih

diberikan pada saat yang bersamaan. interaksi obat-obat dapat

meningkatkan atau menurunkan efek terapetik ataupun efek

samping suatu obat. Interaksi antar obat dapat berakibat

menguntungkan ataupun merugikan (Moscou dan Snipe, 2009).

2.2.3.2 Interaksi Obat Makanan-Minuman

Telah diketahui bahwa makanan dapat menyebabkan perubahan

klinis yang penting dalam absorpsi obat melalui efek terhadap

motilitas saluran cerna atau dengan ikatan obat (Baxter, 2008).

2.2.3.3 Interaksi Obat Herbal

Ekstrak Glycyrrhizin glabra (licorice) yang digunakan dalam

pengobatan gangguan pencernaan dapat menyebabkan interaksi

19

yang signifikan pada pasien yang mengkonsumsi beberapa

produk herbal yang mengandung senyawa antiplatelet dan

atikoagulan yang dapat meningkatkan resiko pendarahan ketika

digunakan bersama dengan aspirin dan warfarin (Thanacoody,

2012).

2.2.3.4 Interaksi Obat-Penyakit

Interaksi obat dengan penyakit dikatakan terjadi ketika suatu

obat yang digunakan memiliki potensi untuk membuat penyakit

yang telah ada sebelumnya menjadi semakin parah

(Hidayatullah, 2012).

2.2.3.5 Interaksi Obat-Uji Laboratorium

Intreraksi obat dengan uji laboratorium terjadi apabila obat

mempengaruhi akurasi uji diagnostik, interaksi ini dapat terjadi

m`elalui gangguan kimia (Hidayatullah, 2012).

2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Obat (Tatro, 2009)

Dalam studi tentang interaksi obat, merupakan suatu yang umum terjadi

jika ditemukan banyaknya variasi respon pasien terhadap regimen obat

yang sama. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi variasi respon

diantaranya:

2.2.4.1 Faktor usia

a. Bayi dan balita

Proses metabolik belum sempurna, efek obat dapat lain.

b. Orang Lanjut usia

Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering

menderita penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler,

diabetes, arthritis. Orang lanjut usia seringkali funsi ginjal

menurun, sehingga ekskresi obat terganggu kemungkinan

20

fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia sering

tidak memadai.

2.2.4.2 Penyakit yang diderita

Pemberian obat yang merupakan kontra-indikasi untuk penyakit

tertentu.

2.2.4.3 Fungsi hati penderita

Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan metabolisme

obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian besar

terjadi di hati.

2.2.4.4 Fungsi ginjal penderita

Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan sekskresi obat

terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah,

juga dapat memperpanjang waktu paruh biologis (t½) obat

dalam hal ini ada 3 yang dilakukan, yaitu:

a. Dosis obat dikurangi

b. Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau

c. Kombinasi dari kedua hal diatas.

2.2.4.5 Kadar protein dalam darah/serum penderita

Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka

akan berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya

tinggi.

2.2.4.6 pH urin penderita

pH urin dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh.

2.2.4.7 Diet penderita

Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat.

2.2.5 Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Tatro,2009)

Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai resiko dan

manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau

modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan

21

interaksi yang dapat dihindari tiga derajat keparahan didefinisikan

sebagai:

a. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek

biasanya ringan; konsekunsi mungkin mengganggu atau tidak

terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi.

Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

b. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk kedalam moderate jika efek yang terjadi

dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan

tambahan, rawat inap, ataupun diperpanjang dirawat di rumah sakit

mungkin diperlukan (Tatro, 2009).

c. Keparahan mayor

Jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa

atau dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009).

Professional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi

obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkatan keparahan

interaksi, dan mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan

menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas pada professional

kesehatan untuk dapat menerapkan literature yang tersedia untuk setiap

situasi. Professional harus mampu untuk merekomendasi secara

individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa

pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari

interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya,

professional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap

efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut

diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

22

2.2.6 Penatalaksanaan Interaksi Obat (Syamsudin, 2013)

2.2.6.1 Mencegah kombinasi keseluruhan

Untuk sebagian interaksi obat resiko lebih banyak dari manfaat,

dan kombinasi mesti dihindari. Karena kelas obat biasanya

heterogen dalam hal interaksi obat, maka bisa dipilih alternatif

tanpa interaksi untuk salah satu obat obyek atau obat presipitan.

2.2.6.2 Menyesuaikan dosis obat obyek

Kadang-kadang dua obat yang berinteraksi bisa diberikan

dengan aman selama dosis obat objek disesuaikan.

2.2.6.3 Menjarakkan waktu pemberian obat untuk mencegah interaksi

Untuk beberapa interaksi obat yang melibatkan pengikatan di

dalam saluran pencernaan, untuk menghindari interaksi maka

obat objek dapat diberikan 2 jam sebelum atau 4 jam setelah

obat persipitan. Dengan demikian, obat objek bisa diserap ke

dalam sirkulasi sebelum obat persipitan datang.

2.2.6.4 Monitoring untuk deteksi diri

Dalam beberapa kasus jika kombinasi obat yang berinteraksi

perlu diberikan, maka interaksi bisa diatasi melalui monitoring

laboratorium atau klinis secara ketat untuk melihat evidence

interaksi. Dengan demikian bisa dilakukan perubahan dosis

sesuai kebutuhan atau bahkan pengentian obat (bila perlu),

2.2.6.5Berikan informasi tentang faktor resiko pasien yang

meningkatkan resiko outcome negatif

Dari pengalaman dokter dan apoteker serta publikasi penelitian

dapat diketahui dengan jelas bahwa sebagian besar pasien yang

menggunakan kombinasi obat yang saling berinteraksi tidak

menunjukkan kensekuensinya negatife. Sejumlah temuan

menunjukkan bahwa resiko miopati yang diinduksi statin

meningkat sesuai peningkatan satin dalam serum.

23

2.2.6.6 Perbaikan sistem skrining terkomputerisasi

Diketahui dengan jelas bahwa sistem skrining interaksi obat

secara terkomputerisasi belum sesukses yang diharapkan.

2.2.6.7 Jumlah interaksi yang berlebihan dalam sistem

Banyak apoteker menemukan bahwa sistem skrining interaksi

obat secara terkomputerisasi mendeteksi sejumlah interaksi obat

dengan signifikansi klinis yang meragukan.

2.2.6.8 Perbedaan kelas obat tidak diatasi dengan tepat

Hampir seluruh kelas obat saling berinteraksi secara heterogen,

karena masing-masing anggota suatu kelas obat sering tidak

dimetabolisme oleh transporter isozim sitokrom P450 atau ABC

(ATP-binding cassette) yang sama dengan anggota lain dalam

kelas obat tersebut.

2.3 Resep

2.3.1 Definisi

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, maupun

dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan

obat bagi pasien yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (Syamsuni, 2006).

Secara definisi dan teknis, resep artinya pemberian obat secra tidak

langasung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi

kepada pasien, format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut

disampaikan kepada farmasi ataupun apoteker si apotek agar diberikan

obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai permintaan

kepada pasien yang berhak (Jas, 2009).

Dari keamanan penggunaan, obat dibagi beberapa golongan. Secara

garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu obat bebas over the

24

counter (OTC) dan Ethical, harus dilayani dengan resep dokter. Jadi

sebagian obat tidak bisa diserahkan langsung pada pasien atau

masyarakat tetapi harus melalui resep dokter. Dalam sistem distribusi

obat nasional, peran dokter sebagai medical care dan alat kesehatan ikut

mengawasi penggunaan obat oleh masyarakat, apotek sebgai organ

distributor terdapat berhadapan langsung dengan masyarakat ataupun

pasien, dan apoteker berperan sebagai pharmaceutical care dan

informasi obat, serta melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek.

Didalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, kedua profesi ini

harus berada dalam satu tim yang solid dengan tujuan yang sama yaitu

melayani kesehatan dan menyembuhkan pasien (Jas, 2009).

2.3.2 Tujuan Penulisan Resep

Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan

kesehatan di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam

pemberian obat. Umumnya, rentang waktu buka instalasi

farmasi/apotek dalam pelayanan farmasi jauh lebih panjang dari pada

praktik dokter, sehingga dengan penulisan resep diharapkan akan

memudahkan pasien dalam mengakses obat-obatan yang diperlukan

sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran,

tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada

masyarakat dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat

diserahkan kepada masyarakat secara bebas. Selain itu, dengan adanya

penulisan resep, pemberian obat lebih rasional dibandingkan dispensing

(obat diberikan sendiri oleh dokter), dokter bebas memilih obat secara

tepat, ilmiah, selektif. Penulisan resep juga dapat membentuk pelayan

beriorentasi kepada pasien (patient oriented), resep itu sendiri dapat

menjadi medical record yang dapat dipertanggung jawabkan sifatnya

rahasia (Jas, 2009).

25

Selain itu dokter dan farmasis, tenaga perawat dan tenaga kesehatan

lainnya juga harus mampu merekomendasi secara individu berdasarkan

parameter-pasien tertentu. Terutama berkaitan dengan peresepan yang

berpotensi interaksi obat, karena professional perawatan kesehatan

harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan yang

diberikan terutama ketika bahaya yang timbul masih dapat dicegah

(Tatro, 2009).

2.4 Rawat Jalan

2.4.1 Definisi

Menurut faste (1998), pelayanan rawat jalan adalah suatu bentuk dari

pelayanan kedokteran yang secara sederhana. Pelayanan kedokteran

yang disediakan untuk pasien tidak dalam rawat inap (Hospitalization).

Keputusan Mentri Kesehatan No. 66/ Menkes/ II/ 1987 yang dimaksud

rawat jalam dan pelayanan rawat jalan. Rawat jalan adalah pelayanan

terhadap orang yang masuk rumah sakit, untuk keperluan observasi,

diagnose pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan kesehatan

lainnya tanpa tinggal diruang rawat inap. Pelayanan rawat jalan adalah

pelayanan yang diberikan di unit pelaksanaan fungsional rawat jalan

terdiri dari poliklinik umum dan poliklinik spesialit serta unit gawat

darurat.

Menurut Azrul Azwar, (1997) Rawat Jalan adalah pelayanan

kedokteran di Indonesia dapat dibedakan atas dua macam yaitu

diselenggarakan oleh swasta banyak macamnya, yaitu praktek bidan,

praktek gigi, praktek darurat (perorangan atau perkelompok), poliklinik,

balai pengobatan, dan sebagainya. Yang seperti ini sebagai pelaksanaan

pelayanan kesehatan tingkat pertama serta praktek dokter spesialis dan

26

rumah sakit sebagai jenjang sarana pelayanan kesehatan tingkat ke-2

dan ke-3.

2.5 Medscape

2.5.1 Definisi

Medscape adalah situs web yang menyediakan akses informasi medis

dan banyak digunakan oleh dokter, mahasiswa kedokteran, perawat dan

professional kesehatan sebagai wadah untuk pencarian informasi dan

wawasan bagi petugas kesehatan maupun bagi para awam yang ingin

memerlukan. Medscape pada dasarnya juga merupakan tempat jurnal-

jurnal kesehatan atapun mahasiswa kedokteran untuk mendapatkan

informasi tentang obat ataupun untuk menganalisis dan mendiagnosis

yang sangat berkaitan dengan dunia kesehatan.

2.6 Kerangaka Konsep

2.6.1 Definisi

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan

atau kaitan antara konsep-konsep atau variable-variabel yang akan

diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan

(Notoatmodjo, 2012).

27

Resep

Obat

Interaksi Obat

Medscape

Tingkat Interaksi

Obat

Minor Moderate Major