Upload
vanthien
View
253
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Singkat PKS Rambutan
PKS Rambutan (gambar 2.1) merupakan salah satu Pabrik dari 11 PKS
yang dimiliki PT. Perkebunan Nusantara-III, yang terletak di Desa Paya Bagas
Kecamatan Rambutan, Kotamadya Tebing Tinggi, Propinsi Sumatera Utara,
sekitar 85 km kearah Tenggara Kota Medan.
PKS Rambutan dibangun pada tahun 1983 dengan kapasitas olah 30
ton/jam. Dimana sumber bahan baku (TBS) berasal dari kebun seinduk, kebun
pihak ketiga terutama Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang berada di daerah
Serdang Bedagai/Deli Serdang dan sekitarnya.
Gambar 2.1 Gambar PKS Rambutan PTPN III.
2.1.1. Profil Pabrik
Adapun profil pabrik PT. Perkebunan Nusantara III adalah sebagai
berikut:
2.1.1.1. Sumber Bahan Baku dan Realisasi Penerimaan
Sumber bahan baku TBS yang masuk ke PKS Rambutan berasal dari :
1. Kebun Seinduk yang terdiri dari :
1. Kebun Rambutan.
2. Kebun Tanah Raja.
Universitas Sumatera Utara
3. Kebun Gunung Pamela.
4. Kebun Gunung Monako.
5. Kebun Sarang Giting.
6. Kebun Silau Dunia.
7. Kebun Sei Putih.
8. Kebun Gunung Para
2. Pihak III yang terdiri dari :
1. PIR
2. Pembelian TBS pihak III
2.1.1.2. Sumber Daya Manusia
Untuk mendukung kelancaran Pengoperasian Pabrik PKS - Rambutan
mempunyai Tenaga Kerja sebanyak 223 orang dengan perincian sbb. :
1. Karyawan Pimpinan = 7 orang.
2. Karyawan Pengolahan. = 82 orang (2 Shift)
3. Karyawan Laboratorium / Sortasi = 32 orang
4. Karyawan Bengkel = 40 orang
5. Karyawan Dinas Sipil = 14 orang
6. Karyawan Administrasi = 17 orang
7. Karyawan Bagian Umum/Hansip = 23 orang
8. Karyawan Bagian Produksi = 8 orang
2.1.1.3. Kegiatan Usaha
PKS Rambutan mengolah Tandan Buah Segar (TBS) buah Sawit menjadi
Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel.
2.1.1.4. Stasiun Pengolahan
Untuk mengolah TBS menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel, PKS
Rambutan memiliki 11 stasiun kerja yang saling terkait, yaitu :
1. Stasiun penerimaan TBS dan pengiriman produksi.
2. Stasiun Loading Ramp.
3. Stasiun Rebusan
4. Stasiun Threshing
Universitas Sumatera Utara
5. Stasiun Pressing
6. Stasiun Klarifikasi
7. Stasiun Kernel
8. Stasiun Water treatment
9. Stasiun Power Plant
10. Stasiun Boiler
11. Stasiun Fat-fit dan Effluent
Skematik Diagram Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit dijelaskan pada gambar
2.2. Secara garis besar, skema tersebut menjelaskan seluruh bagian pemerosesan
kelapa sawit yang ada di pabrik kelapa sawit.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Skematik Diagram Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit
Boiler
Kernel Station
Dust
Feul (Fibre & Shell)
Gas
Nut Nut Silo Ripple Mill Clay Bath Kernel Silo
Press
Digester
Threser
Sterillizer BPV Turbin
Fibre Sparator
CPO
Vibro Sparator
Crude Oil Tank Low Speed
Sparator
Oil Tank Oil Purifier
Oil Station
Water Recourses Eksternal
Anion-Kation Dearator
Steam
Hot Water
Water
Hot Water Tank
Storage Tank
Fat Pit Effluent Treatment Plant
Condensate to Fat Pit
Waste Water Cooler
Condensat Heater Waste to Effluent
Land Application
Kernel Oil Recovery
Clarifier Tank
FFB From Plantation
Crude Oil
Sumber: Bagian Perencanaan PTPN 3
CPO
Kernel
High Pullutan Low Pollutan
Raw Water Water
Steam & Hot Water Oil
Nut & Kernel FFB
Steam to proces
Power Station
Water Treatment Plant
Fibre & shell
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Bahan Baku (Raw Material)
Bahan baku yang diolah adalah buah kelapa sawit (gambar 2.3). Keadaan
awal buah sawit adalah berkumpul dalam satu tandan. Buah kelapa sawit
termasuk jenis monokotil. Bagian-bagian utama yang terdapat pada buah kelapa
sawit adalah sebagai berikut.
1. Lapisan bagian luar (epicarpium) yang disebut sebagai kulit luar.
2. Lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah yang
mengandung minyak.
3. Lapisan dalam (endocarpium) yang disebut inti, berada dalam biji dan
mengandung minyak. Diantara mesocarpium dengan endocarpium
terdapat cangkang (shell) yang keras.
Gambar 2.3. Tandan Buah Segar
2.2 Lori
Pada proses perebusan, buah dilunakkan sehingga daging buah mudah
lepas dari biji sewaktu diaduk dalam bejana peremas. Rebusan berupa bejana
silindris mendatar dengan pintu pada kedua atau salah satu ujungnya. TBS
dimasukkan dalam rebusan menggunakan lori (gambar 2.4) (Mangoensoekarjo,
2003). Lori tersebut ditarik masuk kedalam tabung perebus yang bermuatan 8 lori,
kapasitas satu lori 2,5 ton dan berat lori 1,5 ton, yang bergerak diatas rel. Bantalan
Universitas Sumatera Utara
(gambar 2.5) yang digunakan pada lori adalah bantalan luncur (journal bearing).
Beban kerja yang besar dan gesekan antara poros dan bantalan menyebabkan
bantalan akan aus. Dari hasil survey lapangan yang dilakukan langsung di PKS
Rambutan (PTPN-III) ,berdasarkan hasil wawancara dengan operator dan staf
bagian pemeliharaan, maka data-data yang kami dapat tentang kondisi lori
pengangkut buah sawit ke perebusan adalah sebagai berikut :
1. Dioperasikan pada tingkat suhu yang berbeda (panas dan pendinginan
yang mendadak) antara diluar dan didalam sterilizer.
2. Bekerja secara kontinu selama pabrik beroperasi selama 45 jam
seminggu dengan beban ± 4 ton.
3. Pelumasan menggunakan sistem grease yang dilakukan sekali dalam 1
bulan, akan tetapi sistem ini kurang menguntungkan karena pada saat
lori masuk ke perebusan, sistem ini tidak berfungsi karena pelumas akan
meleleh ketika berada dalam sterilizer.
Gambar 2.4 Lori Pengangkut buah sawit
Universitas Sumatera Utara
Poros
Bantalan
Gambar 2.5 Bantalan dan Poros Lori
Kondisi kerja yang demikian maka terjadi perubahan sifat mekanik bahan
bantalan sehingga bantalan mudah aus dan pecah. Jika terjadi kelonggaran yang
besar antara poros dan bantalan akan menyebabkan roda lori sering anjlok keluar
rel dan juga menyebabkan cepatnya terjadi kerusakan lori.
Kasus yang sering terjadi pada bantalan dan poros adalah keausan yang
cepat pada bantalan. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya, apa penyebab
cepatnya laju keausan pada bantalan sehingga menimbulkan biaya perbaikan dan
penggantian yang besar. Untuk itu perlu dilakukan analisa penyebab kegagalan
sehingga bisa diperoleh rekomendasi agar kegagalan serupa tidak terjadi lagi.
2.3. Poros dengan Beban Lentur Murni
Poros untuk mesin pada umumnya terbuat dari baja batang yang ditarik
dingin dan difinis, baja karbon konstruksi mesin (disebut bahan S-C) dihasilkan
dari ingot yang dikil (baja yang dideoksidasikan dengan ferro silikon dan dicor;
kadar karbon terjamin) (Sularso, 2004). Jenis-jenis baja S-C beserta dengan
kekuatan tariknya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Sularso, Kiyokatsu Suga, “Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin“
Tabel 2.1 Baja karbon untuk konstruksi mesin dan baja batang yang difinis
dingin untuk poros
Standar dan macam
Lambang
Perlakuan
panas
Kekuatan tarik
(kg/ mm2)
Keterangan
Baja karbon
konstruksi mesin
(JIS G 4501)
S30C
S35C
S40C
S45C
S50C
S55C
Penormalan
“
“
“
“
“
48
52
55
58
62
66
Poros (gandar) dari kereta tambang dan kereta rel tidak dibebani dengan
puntiran melainkan hanya mendapatkan pembebanan lentur saja. Jika beban pada
satu poros didapatkan sebagai ½ dari berat kendaraan dengan muatan maksimum
dikurangi berat poros dan roda, maka besarnya momen lentur M1 (N.mm) yang
terjadi pada dudukan roda dapat dihitung.
Menurut Sularso (2004) dari bahan yang dipilih dapat ditentukan tegangan
lentur yang diizinkan σa (N/mm2). Diameter ds (mm) yang diperlukan dapat
diperoleh dari rumus berikut ini.
σa 3S
13
S
11
d10,2M
/32)d(M
ZM
==≤π
........................... (2.1)
31
1a
S Mσ
10,2d
= .................................................... (2.2)
Dalam kenyataan, poros tidak hanya mendapatkan beban statis saja
melainkan juga beban dinamis. Jika perhitungan ds dilakukan sekedar untuk
mencakup beban dinamis secara sederhana saja, maka dalam persamaan kedua
diatas dapat diambil faktor keamanan yang lebih besar untuk menentukan σa.
Tetapi dalam perhitungan yang lebih teliti, beban dinamis dalam arah tegak dan
mendatar harus ditambahkan pada beban statis. Bagian poros dimana dipasangkan
naaf roda disebut dudukan roda. Beban tambahan dalam arah vertikal dan
horizontal menimbulkan momen pada dudukan roda inti.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Sularso, Kiyokatsu Suga, “Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin“
2W
2W
2W
2W
Poros yang digerakkan oleh suatu penggerak mula juga mendapatkan
beban puntir. Namun demikian poros ini dapat dianggap sebagai poros pengikut
dengan cara mengalikan ketiga harga momen tersebut diatas (yang ditimbulkan
oleh gaya-gaya statis, vertikal dan horizontal) dengan faktor tambahan (m) pada
Tabel 2.2 (Sularso, 2004).
Tabel 2.2 Faktor tambahan tegangan pada gandar
Pemakaian Gandar Faktor Tambahan
Tegangan m
Gandar pengikut (tidak termasuk gandar dengan rem
cakra)
1,0
Gandar yang digerakkan; ditumpu pada ujungnya 1,1 – 1,2
Gandar yang digerakkan; lentur silang 1,1 – 1,2
Gandar yang digerakkan; lenturan terbuka 1,2 – 1,3
Simbol dari bagian perangkat roda dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Q0 Q0
Gambar 2.6. Gandar
R0
P G
W
R0
Universitas Sumatera Utara
Rumus-rumus dari Sularso (2004) adalah sebagai berikut:
M1 = (j – g) W / 4 ................................................. (2.3)
dimana:
M1 = Momen pada tumpuan roda karena beban statis (N.mm)
j = Jarak bantalan radial (mm)
g = Jarak telapak roda (mm)
W = Beban statis pada satu gandar (N)
M2 = αv . M1 .......................................................... (2.4)
dimana:
M2 = Momen pada tumpuan roda karena gaya vertikal
tambahan (N.mm)
αv = statisBeban
rtikalgerakan ve karenaahan Beban tamb
M1 = Momen pada tumpuan roda karena beban statis (N.mm)
P = αL..W ............................................................... (2.5)
dimana:
P = Beban horizontal (N)
αL = gandar satu pada statisBeban horizontalBeban
W = Beban statis pada satu gandar (N)
Q0 = P. (h/j) ............................................................ (2.6)
dimana:
Q0 = Beban pada bantalan karena beban horizontal (N)
P = Beban horizontal (N)
h = Tinggi titik berat (mm)
j = Jarak bantalan radial (mm)
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Sularso, Kiyokatsu Suga, “Dasar Perencanaan Dan Pemilihan Elemen Mesin“
R0 = P.(h + r)/g ..................................................... (2.7)
dimana:
R0 = Beban pada telapak roda karena beban horizontal (N)
P = Beban horizontal (N)
h = Tinggi titik berat (mm)
r = Jari-jari telapak roda (mm)
g = Jarak telapak roda (mm)
M3 = P.r + Q0(a + l) – R0[(a + l) – (j – g)/2] .......... (2.8)
dimana:
M3 = Momen lentur pada naaf tumpuan roda sebelah dalam karena
beban horizontal (N.mm)
P = Beban horizontal (N)
r = Jari-jari telapak roda (mm)
Q0 = Beban pada bantalan karena beban horizontal (N)
R0 = Beban pada telapak roda karena beban horizontal (N)
a = Jarak dari tengah bantalan ke ujung luar naaf roda (mm)
l = Panjang naaf roda (mm)
j = Jarak bantalan radial (mm)
g = Jarak telapak roda (mm)
Harga αvdan αLdapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Kecepatan kerja terhadap pembebanan
Kecepatan kerja maksimum (km/jam) αv
αL
120 atau kurang 0,4 0,3
120 – 160 0,5 0,4
160 – 190 0,6 0,4
190 – 210 0,7 0,5
Universitas Sumatera Utara
Dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa:
( )31
321Wb
S MMMmσ10,2d
++≥ ............................ (2.9)
Setelah ds ditentukan maka tegangan lentur σb (N/mm2) yang terjadi pada
dudukan roda dapat dihitung. Selanjutnya jika σWb /σb sama dengan 1 atau lebih,
maka:
3s
321b d
)MM10,2m(Mσ ++≥ ............................... (2.10)
1σ
σnb
Wb ≥= ......................................................... (2.11)
2.4. Bantalan
Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga
putaran atau gerakan bolak-baliknya dapat berlangsung secara halus, aman, dan
panjang umur. Bantalan harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta
elemen mesin lainnya bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak berfungsi dengan
baik maka prestasi seluruh sistem akan menurun atau tak dapat bekerja secara
semestinya.,Jadi, bantalan dalam permesinan dapat disamakan peranannya dengan
pondasi pada gedung (Sularso, 2004).
2.4.1 Klasifikasi bantalan
Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
2.4.1.1. Atas dasar gerakan bantalan terhadap poros
1. Bantalan luncur.
Pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara poros dan bantalan
karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalan dengan
perantaraan lapisan pelumas (Sularso, 2004).
Gambar 2.7 menjelaskan dua jenis bantalan yang disebut bos. Bos
padat (a) dibuat dengan penuangan, penarikan, pembubutan atau dengan
menggunakan suatu proses metalurgi-tepung. Bos berlapis (b) biasanya
adalah jenis bercelah. Pada salah satu metoda pembuatannya, bahan
Universitas Sumatera Utara
berlapis tersebut dituang secara kontinu pada sepotong pelat baja yg tipis.
Potongan berbabit ini kemudian diproses melalui penekanan,
pembentukan, dan penghalusan, sehingga menghasilkan bos berlapis
(Shigley, 1984).
(a) Bos padat (b) Bos berlapis
Gambar 2.7 Bantalan bulat
2. Bantalan gelinding.
Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang
berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti bola (peluru),
rol atau rol jarum, dan rol bulat.
2.4.1.2. Atas dasar arah beban terhadap poros
1. Bantalan radial.
Arah beban yang ditumptu bantalan ini adalah tegak lurus sumbu
poros.
2. Bantalan aksial.
Arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros.
3. Bantalan gelinding khusus.
Bantalan ini dapat menumpu beban yang arahnya sejajar dan tegak
lurus sumbu poros (Sularso, 2004).
2.4.2. Perbandingan Antara Bantalan Luncur dan Bantalan Gelinding
Bantalan luncur mampu menumpu poros berputaran tinggi dengan beban
besar. Bantalan ini sederhana konstruksinya dan dapat dibuat serta dipasang
dengan mudah. Karena gesekannya yang besar pada waktu mulai jalan, bantalan
Universitas Sumatera Utara
luncur memerlukan momen awal yang besar. Pelumasan pada bantalan ini tidak
begitu sederhana. Panas yang timbul dari gesekan yang besar, terutama pada
beban besar, memerlukan pendinginan khusus. Sekalipun demikian, karena
adanya lapisan pelumas, bantalan ini dapat meredam tumbukan dan getaran
sehingga hampir tidak bersuara.
Bantalan gelinding pada umumnya lebih cocok untuk beban kecil daripada
bantalan luncur, tergantung pada bentuk elemen gelindingnya. Putaran pada
bantalan ini dibatasi oleh gaya sentrifugal yang timbul pada elemen tersebut.
Karena hanya konstruksinya yang sukar dan ketelitiannya yang tinggi, maka
bantalan gelinding hanya dapat dibuat oleh pabrik-pabrik tertentu saja. Adapun
harganya pada umumnya lebih mahal daripada bantalan luncur. Untuk menekan
biaya pembuatan serta memudahkan pemakaian, bantalan gelinding diproduksikan
menurut standar dalam pelbagai ukuran dan bentuk. Keunggulan bantalan ini
adalah pada gesekannya yang sangat rendah. Pelumasannya juga sangat
sederhana. cukup dengan minyak gemuk, bahkan pada jenis yang memakai cil
sendiri tidak perlu pelumasan lagi. Meskipun ketelitiannya sangat tinggi, namun
karena adanya gerakan elemen gelinding dan sangkar, pada putaran tinggi
bantalan ini agak gaduh dibandingkan dengan bantalan luncur (Sularso, 2004).
2.4.3. Bahan untuk bantalan luncur
Bahan untuk bantalan luncur harus memenuhi persyaratan berikut
(Sularso, 2004):
1. Mempunyai kekuatan cukup (tahan beban dan kelelahan).
2. Dapat menyesuaikan diri terhadap lenturan poros yang tidak terlalu
besar atau terhadap perubahan bentuk yang kecil.
3. Mempunyai sifat anti las (tidak dapat menempel) terhadap poros jika
terjadi kontak dan gesekan antara logam dan logam.
4. Sangat tahan karat.
5. Dapat membenamkan kotoran atau debu kecil yang terkurung di dalam
bantalan.
6. Murah harganya.
7. Tidak terlalu terpengaruh oleh temperatur.
Universitas Sumatera Utara
Pada bantalan yang akan kita bahas yaitu bantalan berpelumas batas
(boundary lubrication), dimana dua permukaan saling meluncur satu terhadap
yang lain dengan hanya sebagian lapisan pelumas diantara permukaan. Pelumasan
batas (gambar 2.8b) atau lapisan tipis terjadi pada bantalan yang dilumasi secara
hidrodinamis sewaktu mulai bergerak atau berhenti. Bila bantalan bekerja
dibawah kondisi hidrodinamis dan sebagian dibawah kondisi lapisan tipis, maka
terjadi pelumasan lapisan campuran (mixed-film lubrication). Kondisi seperti ini
dapat juga disebut kondisi bantalan kering. Pada gambar 2.8a menjelaskan
bantalan dalam kondisi kering, dan juga dalam kondisi berpelumas (Shigley,
1984).
(a) Dry (b) Lubricated
Gambar 2.8. Arah gerakan poros pada awal putaran
2.5. Sistem Manajemen Pemeliharaan Pabrik
Menurut BS3811: 1974 menyatakan bahwa pemeliharaan adalah suatu
kombinasi dari berbagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga suatu barang
dalam atau untuk memperbaikinya sampai suatu kondisi yang diterima (Corder
A.S, 1992).
2.5.1 Jenis-jenis Manajemen pemeliharaan pabrik
Jenis-jenis menejemen pemeliharaan pabrik antara lain :
2.5.1.1. Pemeliharaan Rutin (Preventive Maintenance)
w
h w
w
w
Q (flow)
Universitas Sumatera Utara
Sistem pemeliharaan ini adalah melakukan pemeliharaan pada selang
waktu yang ditentukan sebelumnya, atau terhadap kriteria lain yang diuraikan dan
dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan bagian-bagian lain tidak memenuhi
kondisi yang bisa diterima (Corder A.S, 1992).
Seperti dalam industri motor masih dikenal istilah ‘servis’ istilah ini
meliputi semua pemeriksaan dan penyetelan yang tercakup dalam buku petunjuk
pemeliharaan, terutama pelumasan, pengisian kembali, pemeriksaan minor dan
sebagainya. Dalam setiap kejadian pemeliharaan korektif biasanya memerlukan
keadaan berhenti, sedangkan pemeliharaan rutin (preventive maintenance) dapat
dilakukan pada waktu berhenti maupun waktu berjalan (Corder A.S, 1992).
2.5.1.2. Pemeliharaan setelah rusak (Breakdown Maintenance)
Pemeliharaan setelah rusak (Breakdown) merupakan pemeliharaan yang
dilakukan terhadap peralatan setelah peralatan mengalami kerusakan sehinggga
terjadi kegagalan yang menghasilkan ketidaktersediaan suatu alat (Corder A.S,
1992).
Pada mulanya semua industri menggunakan sistem ini. Jika industri
memakai sistem ini maka kerusakan mesin akan berulang dan frekuensi
kerusakannya sama setiap tahunnya. Industri yang menggunakan sistem ini
dianjurkan menyiapkan cadangan mesin (stand by machine) bagi mesin-mesin
yang vital. Sifat lain dari sistem ini adalah data dan file informasi, dimana data
dan file informasi perbaikan mesin/peralatan harus tetap dijaga. Pada sistem ini
untuk pembongkaran tahunan tidak ada karena pada saat dilakukan penyetelan
dan perbaikan, unit-unit cadanganlah yang dipakai. Sistem Breakdown
Maintenance ini sudah banyak ditinggalkan oleh industri-industri karena sudah
ketinggalan zaman karena tidak sistematik secara keseluruhannya dan banyak
mengeluarkan biaya (Hamsi, 2004).
2.5.1.3. Pemeliharaan darurat (emergency maintenance)
Pemeliharaan darurat adalah pemeliharaan yang perlu segera dilakukan
untuk mencegah akibat yang serius (Corder A.S, 1992).
Misalnya sebuah mesin sedang beroperasi namun tiba-tiba mesin tersebut
mati. Berapa kalipun dihidupkan ternyata tidak mau hidup lagi. Ketika tutup
mesin dibuka ternyata air radiator mesin habis, setelah diperiksa didapat
Universitas Sumatera Utara
kerusakan di bagian pipa radiator, dan ada juga bagian mesin yang retak. Akibat
kerusakan tersebut maka diperlukan adanya reparasi atau penggantian unit yang
mengakibatkan operasi mesin harus terhenti untuk beberapa saat.
2.5.2. Maksud dan Tujuan Manajemen Pemeliharaan Pabrik
Adapun maksud pemeliharaan adalah untuk meningkatkan efektivitas serta
porsi keuntungan bagi perusahaan. Hal ini bisa dimungkinkan karena dengan
dilakukannya perawatan maka dapat ditekan ongkos produksi disamping dapat
pula ditingkatkan kapasitas produksi suatu mesin.
Adapun tujuan utama dilakukannya pemeliharaan (Corder A.S, 1992)
adalah:
1. Untuk memperpanjang usia kegunaan aset yaitu setiap bagian dari suatu
tempat kerja, bangunan dan isinya. Hal ini terutama penting di negara
berkembang karena kurangnya sumber daya modal untuk penggantinya.
Di negara yang sudah maju, lebih murah mengganti daripada memelihara.
2. Untuk menjamin ketersediaan optimum peralatan yang dipasang untuk
produksi atau jasa dan mendapatkan laba investasi (return on investment)
semaksimum mungkin.
3. Untuk menjamin kesiapan operasional dari seluruh peralatan yang
diperlukan dalam keadaan darurat setiap waktu, misalnya unit cadangan,
unit pemadam kebakaran dan penyelamat dan sebagainya.
4. Untuk menjamin keselamatan orang-orang yang menggunakan sarana
tersebut.
2.6. Pemeliharaan Korektif (Corrective Maintenance)
Pemeliharaan korektif adalah pemeliharaan yang dilakukan untuk
memperbaiki suatu bagian (termasuk penyetelan dan reparasi) yang telah terhenti
untuk memenuhi suati kondisi yang bisa diterima. Pemeliharaan korektif meliputi
reparasi minor terutama untuk rencana jangka pendek (Corder A.S, 1992).
Reparasi mesin setelah mengalami kerusakan bukanlah kebijaksanaan
pemeliharaan yang paling baik. Biaya pemeliharaan terbesar biasanya bukan biaya
reparasi, bahkan bila hal itu dilakukan dengan kerja lembur. Lebih sering unsur
biaya pokok adalah biaya berhenti untuk reparasi. Kerusakan-kerusakan yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada mesin walaupun reparasi dilakukan secara cepat akan menghentikan
operasi, para karyawan dan mesin menganggur, produksi terganggu bahkan dapat
menghentikan jalannya produksi (Mashar, 2008).
Pemeliharaan korektif merupakan perbaikan peningkatan kemampuan
peralatan mesin kedepan karena kegagalan atau pengurangan kemampuan mesin
selama pemeliharaan preventive dikerjakan atau sebaliknya, demi perbaikan mesin
dan optimal dalam penggunaannya. Pemeliharaan korektif terdiri dari beberapa
bagian (Dhillon, 2006) seperti:
1. Perbaikan karena rusak.
Bagian ini fokus dengan perbaikan pada bagian kerusakan peralatan
supaya kembali kepada kondisi operasionalnya.
2. Overhaul.
Bagian ini fokus dengan perbaikan atau memulihkan kembali
(restoring) peralatan ke keadaan yang semula yang dapat dipergunakan
(complete serviceable) untuk seluruh peralatan di pabrik tersebut.
3. Salvage.
Bagian ini fokus dengan pembuangan dari material yang tidak dapat
diperbaiki dan pemanfaatan material yang masih bisa dipakai dari
peralatan yang tidak dapat diperbaiki pada overhaul, perbaikan karena
rusak dan rebuild programs.
4. Servicing.
Tipe bagian pemeliharaan korektif ini mungkin dibutuhkan karena
adanya tindakan pemeliharaan korektif, seperti pengelasan, dan lainnya.
5. Rebuild.
Bagian ini fokus dengan pemulihkan kembali (restoring) peralatan ke
keadaan yang standard sedekat mungkin ke keadaan aslinya berkenaan
dengan keadaan fisik, daya guna dan perpanjangan masa pakai.
Gambar 2.9 berikut menjelaskan tentang grafik pola kecenderungan
kerusakan alat pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Grafik Pola Kerusakan Alat pada Umumnya
Dari gambar 2.9 diatas ada 3 daerah pembagian tentang perbandingan
jumlah kerusakan terhadap waktu pemakaian alat. Pada tabel 2.4 berikut
menjelaskan tentang alasan kerusakan yang terjadi menurut Dhillon (2006).
Tabel 2.4 Alasan kerusakan pada 3 daerah gambar 2.6
Daerah Alasan Kerusakan
I Awal Pemakaian Manufaktur yang buruk
Proses yang buruk
Pengendalian mutu yang buruk
Kesalahan manusia (Human error)
Material yang tidak memenuhi syarat dan keahlian
II Pemakaian Normal Faktor keamanan yang rendah
Cacat yang tidak terdeteksi
Kesalahan manusia (Human error)
Penyalahgunaan alat
Kondisi kerja lebih tinggi daripada yang diharapkan
Awal Pe- makaian
Pemakaian Normal
Alat rusak
X Titik kritis
Waktu
Jumlah Kerusakan
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan alami
III Alat Rusak Keausan karena gesekan
Pemeliharaan yang tidak baik
Pengamalan pemeriksaan yang salah
Korosi dan creep
Desain lifetime yang pendek
Keausan disebabkan oleh usia Sumber: (Dhillon, 2006)
Dari gambar 2.9 diatas dapat dilihat bahwa suatu peralataan baru
mempunyai suatu kemungkinan kegagalan atau kerusakan yang tinggi. Hal ini
disebabkan kelalaian pekerja dan atau kerusakan internal komponen dari pabrik
pembuat alat (ini disebut kegagalan produk). Tingkat kerusakan alat akan
menurun setelah pekerja mulai terbiasa menggunakan alat tersebut. Setelah
melewati masa kritis, alat akan semakin sering mengalami gangguan, sehingga
perbaikan akan semakin sering dilakukan, sampai masa pakai alat tersebut habis.
Pada masa ini artinya alat sudah tidak mungkin diperbaiki lagi (Modul panduan
P2K3)
Pada awal periode, kemungkinan terjadinya kerusakan dari peralatan
tersebut menjadi tinggi karena masalah instalasi pemakaian di awal minggu.
Setelah periode ini kemungkinan kegagalan relatif rendah. Setelah peralatan
berjalan dengan normal, maka tingkat kerusakan akan stabil dan meningkat
kembali seiring berjalannya waktu (Mobley, 2004).
Menurut Mobley (2004) dalam bukunya Maintenance Fundamentals Edisi
2, 2004, bahwa pemeliharaan atau maintenance dapat digolongkan menjadi tiga
tipe bagian besar pemeliharaan, seperti yang dijelaskan pada gambar 2.10 berikut:
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.10 Struktur dari Maintenance
MAINTENANCE
Reliability-driven Modification
Retrofit Redesign
Change order
Predictive Statistical analysis
Trends Vibration monitoring Tribology
Thermography Ultrasonics Other NDT
Time-Equipment Periodic
Fixed intervals Hard time limits
Specific time
Equipment-driven Self-scheduled Machine-cued Control limits
When deficient As required
Event-driven
Breakdonws Emergency Remedial Repairs
Rebuilds
PREVENTIVE (PM)
CORRECTIVE (CM)
IMPROVEMENT (MI)
Sumber : R. Keith Mobley 2004
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar 2.10 diatas dapat dilihat bagaimana pembagian pemeliharaan
yang cukup lengkap. Pada pembagian sistem pemeliharaan corrective terdapat 1
bagian utama sistem pemeliharaan yang terdiri dari Breakdonws Maintenance,
Emergency Maintenance, Remedial Maintenance, Repairs Maintenance dan
Rebuilds Maintenance.
Pada pembagian bagian sistem corrective Maintenance terdapat salah satu
bagian yang membahas mengenai Remedial (untuk perbaikan kedepan). Imilah
yang menjadi fokus karena tujuan utama dari skripsi ini adalah perbaikan bantalan
lori.
Masalah utama yang dijumpai pada bantalan lori adalah terjadinya
keausan bagian atas bantalan akibat gesekan dengan poros setelah sekian waktu
pemakaian. Mekanisme keausan disebabkan gesekan sering juga disebut dengan
istilah tribology.
2.7. Mekanisme Tribology
Istilah ini digambarkan pada tahun 1967 oleh Committee of The
Organization for Economic Cooperation and Development. Kata Tribology
sendiri diambil dari kata Yunani, “Tribos” yang artinya adalah menggosok atau
meluncur. Tribology ini adalah salah satu cabang ilmu dalam bidang engineering
yang fokus membahas tentang tiga bagian penting fenomena dalam permesinan
yang sangat erat hubungannya satu sama lain. Ketiga bagian tersebut adalah
gesekan (friction), keausan (wear) dan pelumasan (lubrication) (Stachowiak).
Ketiga bagian ini pasti terjadi pada permesinan dan amatlah penting untuk
dibahas. Jadi dapat disimpulkan pembahasan pada bagian pemeliharaan korektif
dan analisa kegagalan ini adalah memperhitungkan terjadinya gesekan dalam
setiap komponen permesinan yang dapat menyebabkan keausan. Supaya
kedepannya dapat diambil suatu tindakan pencegahan/perbaikan untuk mengatasi
keausan tersebut.
Aus terjadi karena adanya kontak gesek antara dua permukaan benda dan
menyebabkan adanya perpindahan material. Hal ini menyebabkan adanya
pengurangan dimensi pada benda tersebut. Defenisi keausan menurut standard
Jerman (DIN 50 320) bahwa keausan di artikan sebagai kehilangan material
Universitas Sumatera Utara
secara bertahap dari permukaan benda yang bersentuhan akibat dari adanya
kontak dengan solid (benda padat), liquid (benda cair) atau gas pada permukaanya
(Mang, 2007). Keausan yang terjadi pada setiap sistem mekanisme sebenarnya
sangat sulit diprediksi secara teori atau perumusannya, karena banyak faktor
dilapangan yang menyebabkan kesulitan dan kekeliruan dalam memprediksi
keausan tersebut. Faktor itu adalah variasi suhu, variasi kecepatan, variasi jumlah
kontaminasi, kecepatan awal-akhir dan faktor lainnya (Ludema, 1996).
Keausan sendiri terbagi dalam bebrapa jenis keausan, seperti keausan
abrasif, adesif, korosif, keausan fatik, kimia, erosi dan lain-lain. Keausan yang
terjadi pada pembahasan skripsi ini adalan keusan jenis abrasif. Abrasif dan
kontak lelah (fatigue cantact) adalah hal yang paling penting dalam perhitungan
keausan pada permesinan. Bisa diperkirakan bahwa total keausan yang terjadi
pada elemen-elemen mesin dapat kisarkan antara 80-90% adalah keausan abrasif
dan dalam 8% adalan keausan lelah (fatigue wear). Kontribusi dari jenis keausan
yang lain sangatlah kecil. Sebagian besar pengamatan keausan dilakukan secara
tidak langsung. Salah satunya adalah dengan menimbang berat spesimen atau
benda kerja. Ini adalah cara yang termudah untuk dapat mendeteksi keausan. Dari
menimbang berat benda kerja yang akan dianalisa, kita dapat mengetahui berapa
total material yang telah aus dari selisih berat awal benda kerja sebelum operasi
dengan berat benda kerja setelah operasi, tetapi distribusi kedalaman keausan
yang terjadi pada permukaan kontak sulit untuk diketahui (Zmitrowicz, 2006).
Mempresdiksi keausan yang terjadi pada permesinan cukuplah sulit. Setiap
rumus pada literatur yang dapat mengitung laju keausan hanya sebatas prediksi
atau pendekatan saja. Pada tahun 1950-an J. F. Archard menemukan suatu hukum
yang dapat memprediksi terjadinya keausan pada material yang saling bergesekan
dan dia menamai hukum itu dengan dirinya sendiri, yaitu hukum keausan Archard
(Archard wear law).
Berdasarkan hukum keausan Archard tentang hukum keausan (wear law)
bahwa persamaan volume keausan dapat diperoleh dari (Stachowiak):
V = K Ar L = K L HW ......................................... (2.11)
Universitas Sumatera Utara
Dimana :
V = Volume keausan (m3)
L = Jarak lintas meluncur (m)
W = Beban (N)
K = Koefisien keausan
H = Kekerasan material (Pascal, N/m2)
Ar = Area kontak (m2)
2.8. Proses Maintenance di PKS Rambutan
Dalam melaksanakan pemeliharaan Pabrik Kelapa Sawit PKS Rambutan
mengacu ke prosedur / instruksi kerja (IK) PTP Nusantara III, adapun system
pelaksanaan pemeliharaan dilaksanakan secara Corrective, Preventive dan
Predictive Maintenance dengan alur proses dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Skema Alur Proses Kegiatan Pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
Untuk pekerjaan corrective maintenance mengacu ke IK 3.02-02
mengenai Pelaksanaan Kegiatan Teknik, dimana setiap pelaksanaan breakdown
maintenance yang harus mengacu pada Work Order yang diminta pengguna alat.
Untuk pekerjaan preventive mengacu ke IK 3.02 – 02/08 mengenai Pemeliharaan /
Perawatan Mesin dan Instalasi PKS dan IK 3.02 – 02/09 mengenai Pemeliharaan /
Perawatan Mesin dan Instalasi Listrik. Sedangkan untuk pekerjaan Predictive
Maintenance mengacu ke IK 3.02 – 00/06 mengenai Pelaksanaan Predictive
Maintenance.
Dalam pelaksanaan pekerjaan corrective dan preventive maintenance yang
dilaksanakan secara TS (menggunakan tenaga sendiri) spare part yang digunakan
berasal dari gudang, system pengadaan terdiri dari 3 kategori, yaitu :
1. Pengadaan local (OPL) oleh managemen unit langsung.
2. Pengadaan di tingkat Distrik Manager, melalui DPBB kewenangan
DM
3. Pengadaan di tingkat Kantor Direksi, melalui DPBB kewenangan
Kandir (Kantor Direksi).
Ketiga jenis kategori ini dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya sistem
keagenan atas barang/bahan yang akan diadakan, untuk barang keagenan harus
diadakan dengan kewenangan Kandir, serta berdasarkan nilai pengajuan, untuk
nilai pengajuan < Rp. 50 jt dapat diadakan secara OPL, sedangkan yang nilai
pengajuannya antara Rp. 50 jt s/d Rp. 200 jt menjadi kewenangan DM sedangkan
yang nilai pengajuannya lebih dari Rp. 200 jt menjadi kewenangan Kandir.
Untuk pekerjaan corrective maintenance dan preventive maintenance yang
dilaksanakan oleh tenaga pemborong (TP) atau outsourcing, pelaksanaanya
berdasarkan P4T (Pengajuan Permintaan Pekerjaan Pemeliharaan/Teknik) yang
terdiri dari 2 kategori:
1. P4T di tingkat Distrik Manager.
2. P4T di tingkat Kantor Direksi.
Kedua jenis kategori ini dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya sistem
keagenan atas peralatan yang akan diperbaiki, serta berdasarkan nilai pengajuan,
Universitas Sumatera Utara
untuk nilai pengajuan < Rp. 250 jt menjadi kewenangan DM sedangkan yang nilai
pengajuannya lebih dari Rp. 250 jt menjadi kewenangan Kandir.
Kegiatan pemeliharaan preventive dapat dipermudah dan berjalan secara
efektif dengan menggunakan sistem komputer. Setiap pabrik pasti membutuhkan
sparepart, equipment, tool, material dan consumable dalam proses operasinya.
Semua ini dapat di jadwalkan secara komputerisasi, dan ini akan membantu
sistem pemeliharaan preventive dalam mengantur workorder, biaya, pembelian
dan penjadwalan kegiatan pemeliharaan. Pabrik kelapa sawit Kebun Rambutan
PTPN III dalam hal ini tidak lagi menggunakan system komputerisasi (CMMS)
dalam membantu proses pemeliharaannya.
Universitas Sumatera Utara